Anda di halaman 1dari 14

Dosis dan Jenis Terapi Cairan Kristaloid pada Pasien Dewasa Rawat Inap

Annemieke Smorenberg, Can Ince and AB Johan Groeneveld*

Abstrak Tujuan : Artikel ini membandingkan keuntungan dan kerugian berbagai jenis cairan kristaloid yang sering digunakan dalam resusitasi awal dan rumatan pada pasien dewasa yang dirawat inap. Perhatian khusus diberikan dalam hal dosis, komposisi cairan, ada tidaknya kandungan cairan penyangga dan elektrolit, berdasarkan literatur terbaru. Kami juga membahas penggunaan cairan hipertonik. Metode : Kami mengutip literatur berbahasa Inggris yang relevan mengenai luaran pasien berkaitan dengan volume dan jenis cairan yang digunakan. Hasil : Terapi pembatasan cairan menunjukkan hasil lebih baik dalam mencegah komplikasi dibandingkan dengan penggunaan cairan dengan volume besar, walaupun pembatasan penggunaan kristaloid tidak menunjukkan efek hemodinamik yang bermakna pada pasien operatif atau sepsis. Cairan hipertonik dapat dipakai sebagai terapi resusitasi dengan volume kecil tetapi di sisi lain menyebabkan hipernatremia. Cairan hipotonik merupakan kontraindikasi pada edema serebri, sebaliknya cairan hipertonik lebih bermanfaat dalam pencegahan dan perbaikan hasil. Larutan buffer mempunyai komposisi yang lebih identik dengan plasma dibandingkan larutan tidak setimbang, dan telah terbukti memperbaiki morbiditas dan mortalitas, khususnya karena mencegah gagal ginjal akut. Simpulan : Cairan kristaloid isotonik dan hipertonik adalah cairan pilihan untuk resusitasi hipovolemia dan syok. Fakta semakin menguatkan bahwa larutan buffer lebih memberi manfaat dibandingkan dengan cairan tidak setimbang. Cairan salin hipertonik efektif digunakan pada hipertensi intrakranial yang refrakter terhadap manitol, sebaliknya cairan hipotonik adalah kontraindikasi dalam kondisi tersebut.

Review Penggunaan terapi cairan pada pasien operasi dan kritis masih menjadi bahan perdebatan, sebagian karena data yang tidak tidak lengkap, perbedaan historis dan geografis, dan pengalaman yang kurang. Perdebatan tersebut juga mencakup jenis dan
1

jumlah cairan yang akan diberikan pada pasien yang mengalami hipovolemia dengan volume plasma kurang atau normal, dalam keadan syok, dan membutuhkan cairan untuk resusitasi dan larutan. Lebih jauh lagi, komposisi, ada tidaknya kandungan cairan penyangga, dan penambahan elektrolit, seperti natrium kalsium, dan magnesium, masih menjadi kontroversi. Tujuan ulasan ini adalah untuk menggambarkan penggunaan berbagai jenis cairan kristaloid pada penatalaksanaan pasien dewasa yang dirawat inap, dengan metode narasi untuk tujuan pendidikan, yang disadur dari berbagai penelitian klinis. Kami mengawali dengan membahas komposisi normal cairan dan elektolit tubuh, keseimbangan dan dosis cairan kristaloid. Selanjutnya kami membahas keuntungan dan kerugian relatif dari berbagai jenis cairan yang saat ini tersedia. Kami tidak membahas studi eksperimental pada binatang, maupun pada anak-anak. Artikel ini diakhiri dengan pembahasan mengenai terapi pengganti elektrolit.

Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh Tabel 1 menunjukkan keseimbangan cairan harian laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, dengan 45 liter total cairan tubuh (60% berat badan). Kebutuhan perharinya adalah 80-120 mEq natrium, 2-4 mEq kalsium, dan 20-30 mEq magnesium. Tujuan terapi cairan adalah mengoreksi defisit dan memenuhi kebutuhan harian serta mempertahankan konsentrasi normalnya dalam tubuh.

Tabel 1 Keseimbangan cairan harian pada Laki-Laki Dewasa dengan Berat Badan 70 Kg

Cairan yang masuk Minuman Air makanan Air hasil oksidasi 350 ml 1400 ml dalam 850 ml

Cairan yang keluar Urin Kulit 1500 ml 500 ml

Pernapasan Feses

400 ml 200 ml 2600 ml

Total

2600 ml

Total

Pada pasien rawat inap atau penyakit kritis dapat terjadi peningkatan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini dikarenakan demam, muntah, diare, kehilangan

darah/plasma (trauma atau operasi), dan polyuria. Pada pasien demam di atas 37 0C, perkiraan kehilangan cairan dapat dihitung dengan rumus 10 ml/kgBB untuk setiap kenaikan 10C. Perhitungan yang teliti tentang analisis masukan dan keluaran cairan serta estimasi kehilangan cairan diperlukan untuk menentukan kondisi keseimbangan cairan pasien. Penilaian ini juga mencakup pengukuran berat badan harian, meskipun hal tersebut dapat dikacaukan oleh asupan makanan. Di ICU, pengukuran berat badan agak sulit walaupun hal tersebut secara klinis relevan dengan perburukan keadaan pada kelompok pasien tertentu yang mengalami gangguan ginjal, berkaitan dengan keseimbangan cairan. Penilaian hipovolemia sulit dilakukan pada pasien rawat inap, baik dengan pemeriksaan fisis sederhana maupun pemeriksaan fisiologis yang lebih lengkap. Hipovolemia sering terjadi pada keadaan hipotensi, saturasi oksigen rendah, atau pada keadaan yang membutuhkan pengobatan isotropik atau obat vasopresor. Keadaankeadaan tersebut memerlukan penanganan terapi cairan meskipun manfaat yang didapat hanya pada preload dan berespon terhadap terapi cairan. dan tidak berpengaruh terhadap volume plasma sirkulasi. Respon tersebut ditandai dengan peningkatan volume sekuncup atau cardiac output jika dilakukan penambahan cairan, atau secara sederhana dapat dilakukan dengan mengangkat tungkai secara pasif dengan tujuan meningkatkan aliran balik vena. Penggabungan beberapa strategi ini digunakan dalam terapi pengisian volume plasma, bahkan pada pasien syok untuk menghindari bahaya overhidrasi. Hipovolemia berat dapat terjadi sampai interstisial bahkan ruang interseluler, dan penggantian kehilangan cairan ini dapat dilakukan dengan pemberian terapi cairan intravena. Hipovolemia dan hipoperfusi jaringan dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Kehilangan cairan di sisi lain juga selalu melibatkan konstituen plasma yang lain, antara lain natrium, kalium, magnesium, serta anion lain seperti klorida dan bikarbonat. Dengan demikian kehilangan elektrolit menyertai kehilangan cairan, sebagai contoh pada pasien perioperatif. Sebagai tambahan, keadaan postoperatif ditandai dengan pelepasan vasopresin non osmotik, dan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dengan pelepasan hormon yang menyebabkan retensi air dan natrium di ginjal sebagai kompensasi kehilangan cairan ekstrarenal. Penggantian plasma yang hilang harus mencakup semua komponen plasma, untuk mencegah gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa, walaupun penyebabnya

bukan hipovolemia dan syok yang mengakibatkan perubahan pada produksi dan eliminasi asam dan mengubah distribusi elektolit antara ruang intra dan ekstravaskuler. Elektrolit pasien juga harus diperiksa sebagai pertimbangan jenis cairan yang akan digunakan untuk resusitasi dan mempertahankan euvolemia.

Penatalaksanaan Hipovolemia dan Syok Pada bagian ini akan dibahas dosis dan jenis cairan kristaloid. Pengisisan cairan kristaloid dapat menurunkan mortalitas pada pasien hipovolemia, seperti pada kasus perdarahan. Namun jenis dan dosis yang optimal tergantung pada berbagai kondisi klinis yang terjadi.
Tabel 2 Komposisi Cairan Tubuh
Na+ (mmol/l) K+ (mmol/l) Ca+2 (mmol/l) Mg2+ (mmol/l) HCO3 (mmol/l) Lactate (mmol/l) Other buffer Cl(mmol/l) Organic acid Protein

Plasma Cairan plasma Cairan interstisial Cairan intraseluler

142 153

4 4,3

5 5,4

2 2,2

101 109

27 29

2 2,2

1 1

6 6,5

16 17

139

114

31

10

160

26

10

100

20

65

Berbeda dengan kristaloid, cairan koloid bertahan dalam sirkulasi dan meningkatkan tekanan intravaskuler dengan cara meningkatkan tekanan osmotik koloid. Cairan koloid memberikan efek pengganti plasma 3-4 kali lipat lebih kuat daripada cairan kristaloid. Perbandingan 1:3 sampai 1:4 antara koloid dan kristaloid dapat terjadi pada keadaan seperti sepsis karena terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan retensi substansi koloid berkurang, dengan syarat target hemodinamik terkait dengan volume plasma telah tercapai. Penulis berpendapat bahwa pada praktiknya hanya dibutuhkan volume kristaloid 10-40% lebih banyak dibanding koloid, untuk menghasilkan hasil resusitasi yang sama. Oleh sebab itu, perbandingan tiga sampai empat kali lipat kebutuhan kristaloid untuk penggantian plasma terlalu berlebihan. Pada pasien perdarahan, 100-200% ringer asetat sudah mencukupi untuk penggantian kehilangan darah. Dalam studi lain hanya 20% volume kristaloid yang

bertahan intravaskuler dan >60% mengisi ruang ekstravaskuler dalam beberapa menit atau diekskresi melalui ginjal dalam beberapa jam. Dalam sebuah penelitian SAFE study (sebuah penelitian di Australia yang meneliti kegunaan cairan albumin di ICU), albumin hanya menghemat 40% volume salin disertai peningkatan sedikit tekanan vena sentral dan tekanan darah arteri, serta penurunan denyut jantung. Memang semakin sederhana target hemodinamik, seperti tekanan hidrostatik yang statis, semakin sedikit target tersebut menggambarkan volume plasma, semakin tidak akurat dalam memantau resusitasi. Hal ini menjelaskan bahwa efek hemodinamik kristaloid jauh lebih rendah daripada koloid. Sebaliknya semakin berat hipovolemia, semakin lambat clearance dan semakin panjang waktu paruh volume cairan kristaloid, sesuai dengan penghitungan konsentrasi hemoglobin. Penyesuaian volume pada vena yang terlibat akan mengurangi efek ekspansi volume plasma dari cairan infus. Meskipun terapi cairan sangat penting dalam penanganan syok dan hipoperfusi jaringan, overhidrasi dan keseimbangan cairan terlalu positif juga berbahaya karena mengakibatkan disfungsi organ pasca sepsis, trauma atau operasi. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan mengenai jenis dan dosis cairan yang dapat mengoptimalisasi hemodinamik dan status volume, dengan resiko minimal overhidrasi. Pada pasien bedah dan sakit kritis dengan hipovolemia atau syok, kristaloid nampaknya tidak berbeda jauh dengan koloid dalam meningkatkan mortalitas. Kelebihan cairan kristaloid dapat

diekskresikan oleh ginjal, kadang-kadang bahkan melebihi ekskresi koloid, dengan demikian membatasi peningkatan keseimbangan cairan selama beberapa jam atau hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa resusitasi dengan kristaloid menghasilkan keseimbangan cairan lebih positif dan resiko edema paru lebih besar daripada cairan koloid. Besarnya efek ini telah ditekankan sebelumnya. Kecenderungan cairan kristaloid untuk meningkatkan resiko terjadinya edema paru, pada keadaan meningkatnya permeabilitas vaskuler dan edema (sepsis), belum diketahui pasti. Dalam suatu penelitian, dapat dijelaskan bahwa edema paru, yang ditandai perubahan secara radiologis dan pertukaran gas, terjadi karena peningkatan ekstrim pengisian cairan pada jantung (tidak berespon terhadap terapi cairan) dan pengisian vaskuler paru (kongesti paru). Mekanisme ini tidak bergantung pada jenis cairan yang digunakan. Selama hipotermia pasca serangan jantung, cairan kristaloid lebih memberi manfaat daripada salin hipertonik, dan cairan ini tidak menyebabkan

edema serebri. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian kristaloid berlebihan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menyebabkab edema perifer (dan sindrom kompartemen) dibandingkan resusitasi koloid, terutama pada kasus pasca trauma. Table 3 merangkum keuntungan dan kerugian penggunaan cairan kristaloid (setimbang dan tidak setimbang) terkait dengan volume cairan. Dibandingkan cairan kristaloid isotonik, cairan hipertonik dalam volume relatif kecil dapat mengembalikan volume normal dan hemodinamik tanpa ekspansi cairan ke ruang interstisial. Cairan salin hipertonik 3-7% (dengan atau tanpa cairan koloid)

umumnya digunakan pada pasien trauma perdarahan dan atau trauma otak berat. Volume larutan hipertonik yang dibutuhkan untuk mempertahankan hemodinamik lebih kecil daripada larutan isotonik. Jenis cairan ini mempercepat ekspansi volume plasma, dan efeknya lebih cepat daripada cairan isotonik. Cairan ini juga memiliki efek inotropik positif, tidak mempengaruhi dilusi faktor koagulasi, dan memperbaiki atau mencegah kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus luka bakar, pembatasan kebutuhan volume cairan hipertonik dapat mencegah terjadinya sindrom kompartemen abdominal, dibandingkan dengan penggunaan ringer laktat. Namun

demikian belum ada bukti dalam studi klinis lebih bahwa penggunaannya menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Table 3 Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid tidak setimbang terkait dosis

Dosis kurang Hipooksigensi jaringan Resiko gagal ginjal akut

Dosis Berlebihan Edema jaringan dan hipooksigenasi Sindrom ginjal kompartemen dan disfungsi

Asidosis laktat dan anion lain

Asidosis metabolic hiperkloremik dan resiko hypernatremia

Gangguan gastrointestinal

Kebocoran

anastomosis,

diare,

dan

gangguan gastrointestinal lain Edema paru, kongesti hepar Memperpanjang penggunaan ventilator

Cairan laktat hipertonik juga tersedia, dan seperti halnya cairan hipertonik yang lain, cairan ini juga memiliki efek inotropik positif terhadap jantung. Cairan salin hipertonik 3-7% juga dapat dianggap sebagai osmoterapi apabila digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial, dipakai sebagai obat utama bila penggunaan manitol tidak berhasil. Namun kadar natrium >160mmol/l menyulitkan dalam penanganan edema serebri. Penggunaannya dalam mengontrol tekanan intrakranial lebih efektif dibandingkan mannitol, tetapi tidak memperbaiki outcome (hasil). Jelas bahwa efek samping utamanya adalah hypernatremia berat yang kadang sulit dikontrol. Sebaliknya pada keadaan tersebut cairan hipotonik harus dihindari karena meningkatkan resiko edema, sedangkan resusitasi yang tidak adekuat dan hipotensi juga memperburuk outcome (hasil). Oleh sebab itu dibutuhkan keseimbangan antara hemodinamik sistemik dan perfusi serebral, dengan cara pemantauan hemodinamik dan tekanan intrakranial.

Strategi terapi cairan perioperatif : dosis dan target Dosis dan penggunaan terapi cairan kristaloid pada operasi emergensi atau perioperatif masih kontroversial. Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa, infus koloid lebih menimbulkan efek ekspansi dan hemodinamik dibanding infus koloid. Namun pemberian infus kristaloid dengan dosis dibatasi (<7ml/kgBB/jam) justru kurang menimbulkan komplikasi dibandingkan dosis standar yang sering digunakan. Penelitian tersebut melibatkan sampel pasien operasi perut, pankreas, usus, kandung empedu, vaskuler, pinggul, dan lutut, dengan dosis cairan yang berbeda-beda pada setiap operasi. Komplikasi yang dapat dicegah termasuk kebocoran anastomosis, gangguan gastrointestinal, infeksi, komplikasi paru, dll. Banyak komplikasi tersebut yang diakibatkan oleh overhidrasi terutama kristaloid, sedangkan pembatasan cairan biasaya merujuk pada pembatasan kristaloid. Namun pembatasan cairan yang berlebihan juga dapat mengakibatkan resusitasi tidak adekuat dan berpotensi menimbulkan kekambuhan, hipoperfusi gastrointestinal, kebocoran anastomosis, mual, muntah, dll. Komplikasi-komplikasi tersebut dapat dicegah dengan pemberian cairan (koloid dan kristaloid) yang tidak dibatasi. Optimalisasi hemodiamik perioperatif dengan terapi cairan dengan dosis tepat (baik koloid maupun kristaloid) dapat mengurangi komplikasi pascaoperasi.

Volume cairan, target hemodinamik, serta jenis cairan yang lebih efektif masih menjadi bahan perdebatan. Dengan meningkatnya keraguan tentang keamanan penggunaan koloid pada pasien sepsis, penggunaan kristaloid lebih disarankan. Hal itu juga tergantung pada tingkat keparahan hipovolemia atau syok ketika pasien diinfus. Dalam beberapa kasus, keadaan terlalu lapar pra operasi dapat menyebabkan hipovolemia pasca operasi. Penulis telah mempelajari efek optimalisasi pra operasi dengan pemberian ringer laktat dan menemukan bahwa tindakan tersebut mengurangi morbiditas pasca operasi. Dalam perawatan trauma emergensi, pemberian cairan kristaloid dengan volume yang tepat dapat memberikan hasil yang lebih baik. Sebagai penutup, kristaloid merupakan terapi pilihan pertama untuk resusitasi hipovolemia dan syok, yaitu infus cepat 500-1000 ml, dengan catatan pasien berespon terhadap terapi awal cairan dan selama pemberian infus. Resusitasi dan larutan dengan pertimbangan khusus berlaku untuk cedera otak, trauma, dan operasi, karena pembatasan cairan diperlukan untuk membatasi keseimbangan cairan positif, mencegah gagal jantung serta edema.

Komposisi dan Penggunaan Klinis Berbagai Jenis Cairan Kristaloid Sekarang kita akan membahas berbagai jenis cairan kristaloid dan sifat-sifatnya. Salin normal atau fisiologis merupakan cairan pertama yang diperkenalkan dan digunakan pada tahun 1831. Sejak saat itu NaCl 0,9% menjadi cairan intravena yang paling banyak digunakan di rumah sakit, meskipun ada perdebatan mengenai sifat normal atau fisiologis-nya. Penambahan laktat sebagai penyangga agar komposisiya menyerupai elektrolit manusia menghasilkan ringer laktat atau larutan Hartmann. Namun cairan ini masih bersifat sedikit hipotonis dan sifatnya menurunkan osmolaritas serum. Cairan hipotonik, termasuk koloid (albumin) dan kristaloid dapat meningkatkan resiko edema serebral pada cedera otak traumatis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotik, sebaliknya ekskresi urin melalui ginjal mempertahankan osmolalitas plasma. Dengan demikian, infus dextrose 5% hipotonik juga kontraindikasi pada cedera otak traumatis karena menurunkan osmolalitas plasma. Cairan ini memiliki efek minimum pada volume plasma sehingga bukan merupakan cairan resusitasi yang baik. Oleh karena itu cairan normal salin atau cairan solusi setimbang lebih disukai untuk

penatalaksanaan cedera otak. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk larutan hipertonik. Meskipun manfaatnya dalam mengobati asidosis laktat metabolik selama iskemia dan resusitasi masih kotroversial, natrium bikarbonat masih banyak digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik karena penyebab lain dan sebagai terapi tambahan untuk menjaga pH antara 7,15-7,20 pada pasien beresiko tinggi. Natrium bikarbonat juga digunakan dalam pencegahan nefropati kontras, meskipun mungkin pemberian normal salin prehidrasi lebih efektif. Sebaliknya penggunaan sebagai infus dapat megakibatkan hipernatremia dan alkalosis jika penggunaan larutan hipertonik terlalu banyak. Osmolaritas, kationik, dan anionik larutan kristaloid dijelaskan pada table 4.

Klorida dan larutan bufffer Kandungan klorida salin normal (NaCl 0,9%), suatu larutan tidak setimbang, adalah 154 mmol/l. Kadar tersebut jauh lebih tinggi daripada plasma (101-110 mmol/l) dan lebih tinggi daripada cairan setimbang (dimodifikasi) yaitu larutan ringer atau Hartmann. Pada larutan setimbang beberapa anion adalah penyangga (buffer) seperti laktat, asetat, atau glukonat, dan bukan klorida. Perbedaan ion pada larutan buffer lebih kuat daripada larutan salin (lebih menyerupai plasma, 42 mEq/l). Meskipun perbedaan pH larutan-larutan ini tidak berbeda jauh, namun, efek in vivo-nya pada keseimbangan asam basa sangat signifikan. Infus NaCl dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik hiperkloremik dan hiperkalemia terutama apabila pemberian infus berlebihan, sedangkan infus larutan buffer tidak menimbulkan efek tersebut. Meskipun penggunaan NaCl dapat menyebabkan disfungsi organ (telah dibuktikan dalam percobaan terhadap hewan) dan dapat menimbulkan gejala gastrointestinal pasca operasi, kerusakan akibat asidosis hiperkloremik dalam penelitian masih belum diketahui pasti. Selain itu, delusi plasma akibat infus cairan yang tidak mengandung bikarbonat (atau anion prekursor buffer), termasuk dekstrosa 5%, mengurangi perbedaan ion kuat dan pH darah. Shaw dkk, dalam sebuan penelitian retrospektif, baru-baru ini menemukan bahwa penggunaan NaCl menghasilkan angka mortalitas lebih tinggi daripada menggunakan larutan buffer selama dan pasca operasi (5,6% vs 2,9%), juga mencegah asidosis metabolik hiperkloremik. Selain itu, pemberian larutan buffer juga dikaitkan dengan penurunan morbiditas yang dibuktikan dengan berkurangnya hari penggunaan

ventilator, pengurangan kebutuhan cairan, pengurangan kebutuhan transfusi, penuruan resiko infeksi dan penurunan angka hemodialisa. Hal ini menunjukkan bahwa larutan buffer lebih dianjurkan daripada salin mengingat penggunaan salin meningkatkan risiko gangguan metabolik seperti asidosis metabolik hiperkloremik, meningkatkan

morbiditas, dan memperburuk klinis. Namun, mekanisme dari beberapa efeknya masih belum jelas sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang morbiditas dan mortalitas pada manusia. Pada akhirnya, harus hati-hati menggunakan larutan buffer yang mengandung kalium pada pasien auria dengan insufisiensi ginjal karena kalium yang diinfuskan tidak dapat diekskresikan.

Osm (mOsm/kg)

pH

Na+ (mmol/l)

K+ (mmol/l)

Ca+2 (mmol/l)

Mg+2 (mmol/l)

HCO3 (mmol/l)

Laktat (mmol/l)

Penyangga lain

Cl(mmol/l)

NaCl 0,0% Ringer Ringer laktat Ringer laktat Hartman Modifikasi Seimbang Cairan Na bikarbonat 1,4% Na bikarbonat 4,2 % Na bikarbonat 8,4 % NaCl 3% NaCl 7%

308 309 273 273 280 290 294 299 333

5,5

154 147 130 130 131 145 140 140 167

4 5,4 5,4 5,4 4 5 10

5 2,7 2,7 29 2 2,5 1 1,5 3 167 29 29a 24a 50b 47a

154 156 109

6,5 6,5 6,5 5,5 5,5 >7,0

112

127

1,000

>7,0

500

500

98

2,000 1,026 2,394

>7,0

1,000 514 1,197

1,000

103 513 1,119 7

Laktat dimetabolisme melalui Siklus Cori Ambilan hepar diproses melalui glukoneogenesis, suatu proses yang

membutuhkan energi. 30-60% infus laktat akan mengalami oksidasi, bahkan pada keadaan sepsis dan syok kardiogenik, sehingga menghemat substrat lain. Hal ini

10

menunjukkan bahwa laktat dapat menjadi sumber bahan bakar untuk hati, bahkan jantung dan otak terutama ketika substrat lain kurang tersedia. Infus laktat dalam kuantitas besar akan sedikit meningkatkan serum laktat, tetapi tidak menurunkan pH, khususnya pada disfungsi hati. Ini dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien DM terkontrol atau meningkatkan glukoneogenesis. Pada resusitasi syok septik, penggunaan ringer laktat lebih aman dan menurunkan angka kematian daripada larutan dekstros. Ringer asetat hampir identik dengan riger laktat. Asetat, komponen dari ringer laktat dan larutan lain, sama halnya dengan laktat, cepat dimetabolisme. Asetat masuk ke siklus asam trikarboksilat kemudian dioksidasi sehingga membutuhkan oksigen. Memang ketika diinfus sekitar 90% laktat akan teroksidasi. Asetat berperan sebagai penyangga, sehingga setelah diinfus konsentrasi bikarbonat dan pH naik, seperti ketika menginfuskan bikarbonat pada keadaan asidosis karena diare atau insufisienasi ginjal. Selain itu, asetat mempunyai efek vasodilatasi dan sifat menekan miokard, dan sehingga dapat membahayakan pada pasien dengan syok, tetapi teori ini telah disangkal oleh penelitian lain. Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa resusitasi syok septik dengan ringer asetat menghasilkan usia harapan hidup lebih panjang dibanding resusitasi koloid, tetapi hal ini mungkin merupakan efek samping dekstros.

Efek Renal Di satu sisi, larutan kristaloid memiliki keunggulan dibanding koloid dalam mempertahankan diuresis dan fungsi ginjal, dan mencegah kebutuhan hemodialisa. Namun hal ini hanya berlaku pada pasien dengan penyakit kritis, tidak pada objek penelitian yang sehat. Mungkin hal ini karena penurunan tekanan osmotik koloid

plasma memperbaiki filtrasi glomerulus. Namun, cairan kristaloid yang berlebihan dapat meningkatkan kebutuhan hemodialisa. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hal ini juga tergantung pada jenis kristaloid yang diberikan dan ada bukti bahwa larutan kristaloid setimbang memiliki efek protektif terhadap ginjal., tetapi hal ini adalah diakibatkan hipotonisitas, bukan pencegahan hiperkloremia. Perlu diingat bahwa normokloremia dapat mencegah penurunan aliran darah ginjal (dan lambung) karena hiperkloremia. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa hiperkloremia dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan menurunkan aliran darah karena efek vasokonstriksi ginjal dari anion klorida.

11

Hadimioglu dkk meneliti keseimbangan cairan dengan menggunakan NaCl sebagai cairan intraoperatif pada operasi transplantasi ginjal. Hasilnya NaCl menurunkan pH, bikarbonat, dan peningkatan basa. Penelitian ini dan beberapa penelitian lain tidak menujukkan perbedaan efek pada fungsi ginjal, tetapi penelitian-penelitian tersebut mungkin sudah tidak valid. Sebaliknya, sebuah studi kohort terbaru menunjukkan bahwa penggunaan larutan RL yang dimodifikasi dengan klorida teresktriksi (dibandingkan dengan RL dengan klorida dan larutan berbasis salin) tidak menurunkan angka kematian, tetapi menurunkan gagal ginjal akut dan kebutuhan untuk hemodialisa. Dalam penelitian Shaw dkk yang disebutkan di atas, pemberian cairan bermanfaat dengan berkurangnya angka kebutuhan hemodialisa setelah laparotomi, sekitar 4,8-1,0% (P <0,001), bahkan setelah penyesuaian faktor bias. Insiden cedera tubular dan gagal ginjal akut pada pasien bedah jantung yang diterapi dengan natrium bikarbonat lebih rendah daripada terapi salin. Namun, implikasi untuk pasien rawat inap dengan faktor risiko disfungsi ginjal masih harus dibuktikan.

Depresi imun dan koagulasi Kontroversi lain berkaitan dengan efek sistem imun larutan buffer dibandingkan larutan tidak setimbang. Telah diduga bahwa larutan salin buffer memiliki sifat proinflamasi, yaitu dengan aktivasi neutrofil. Hal ini dapat menyebabkan efek merugikan pada kasus trauma dan resusitasi sepsis. Ringer laktat juga diduga bersifat proinflamasi tetapi ternyata sifat tersebut merupakan efek resusitasi D-laktat dengan campuran racemic. Pendapat tersebut kemudian ditinggalkan. Salin hipertonik diklaim memiliki sifat anti inflamasi tetapi pendapat tersebut masih meragukan. Sedangkan anion klorida diduga mengganggu fungsi koagulasi. Selain itu, salin dan ringer laktat sama-sama menginduksi hiperkoagulasi pada pengenceran darah 20-40% Sebaliknya terjadi penurunan koagulabilitas pada pengenceran 60%.

Larutan elektrolit untuk penanganan gangguan elektrolit Gangguan elektrolit merupakan kondisi yang sering terjadi pada pasien rawat inap, operasi, atau penyakit kritis. Telah tersedia larutan yang dapat mengoreksi secara spesifik gangguan elektrolit tertentu. Alkalosis hipokalemia sering terjadi dengan faktor

12

risikonya antara lain penggunaan diuretik, muntah, diare, dan keadaan lain yang menyebabkan penurunan klorida. Kondisi ini dapat disertai dengan hipomagnesemia dan bisa menjadi risiko faktor untuk depresi jantung, hipooksigenasi jaringan dan gangguan irama jantung. Koreksi hipokalemia akan lebih mudah apabila

hipomagnesemia juga dikoreksi secara bersamaan. Suplementasi dapat diberikan secara oral dan enteral, dan jika memungkinkan melalui cairan intravena dengan dosis 20mEq/jam, atau dapat ditingkatkan jika ada indikasi. Infus larutan buffer yang mengandung kalium harus hati-hati jika diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan anuria. Di sisi lain, pencegahan asidosis dapat mencegah efek berbahaya peningkatan konsentrasi kalium. Gangguan natrium sering ditemukan pada pasien ICU dan berkaitan dengan mortalitas di rumah sakit. Pada hiponatremia, salin hipertonik merupakan terapi emergensi yang sering digunakan. Glukosa 5% umumnya digunakan dalam penanganan hipernatremia. Untuk terapi cairan larutan pada pasien yang kelaparan, larutan buffer yang kandungannya lebih lengkap digunakan untuk memelihara konsentrasi elektrolit plasma dan keseimbangan asam-basa. Glukosa 5% dapat ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hipokalsemia relatif sering dijumpai pada pasien post operatif dan penyakit kritis. Keadaan ini memiliki efek yang membahayakan. Kebanyakan pasien sakit kritis berada dalam keseimbangan kalsium negatif. Defisit kalsium dapat menyebabkan keropos tulang secara bertahap. Hipokalsemia disebabkan oleh hipoalbuminemia pergeseran kalsium dari ekstra ke intraseluler serta hipovitaminosis D. Keadaan ini diduga sebagai penyebab beberapa penyakit neuropati dan miopati. Kalsium sulit untuk dimasukkan melalui cairan alkalis karena sifatnya tidak larut dalam air. Terapi pangganti ginjal berkelanjutan sudah diketahui sebagai faktor resiko hipofosfatemia. Hipofosfatemia relatif sering ditemukan pada pasien sakit kritis yang disertai atau tanpa gagal ginjal. Hal ini mungkin berhubungan dengan kelemahan otot dan kebutuhan berkepanjangan untuk ventilator mekanik, dan karena itu memerlukan pencegahan dan koreksi dengan larutan natrium-kalium-fosfat, lebih dianjurkan pemberian melalui infus secara kontinyu. Saat ini, cairan pengganti yang mengandung fosfat telah tersedia untuk mencegah hipofosfatemia selama hemodialisa berkelanjutan. Kesimpulan

13

Cairan kristaloid adalah cairan pilihan untuk menambah dan mempertahankan volume plasma pada pasien rawat inap dengan hipovolemia atau syok, meskipun dibutuhkan volume relatif besar untuk meningkatkan volume plasma sirkulasi dan oksigenasi jaringan. Pemberian terapi kristaloid yang berlebihan meningkatkan resiko overhidrasi dengan hipernatremia, edema perifer dan paru serta sindrom kompartemen. Oleh karena itu, baik resusitasi yang tidak adekuat maupun overhidrasi harus dihindari dengan pemantauan secara cermat. Telah terbukti bahwa larutan buffer lebih unggul dibanding larutan tidak setimbang, terutama dalam membantu mencegah gagal ginjal akut. Larutan hipotonik adalah kontraindikasi dalam kondisi dengan atau berisiko untuk edema serebral. Pada tahap cairan rumatan, larutan yang lebih menyerupai komposisi cairan plasma lebih direkomendasikan dibanding larutan salin normal. Pada akhirnya kami merekomendasikan pengobatan dengan salin hipertonik untuk edema serebral dan hipertensi intrakranial yang refrakter dengan manitol.

14

Anda mungkin juga menyukai