Anda di halaman 1dari 12

Dosis dan Jenis Terapi Cairan Kristaloid pada

Pasien Dewasa yang Dirawat Di Rumah Sakit


Abstrak
Tujuan : Di dalam review narasi ini, memberikan gambaran dari pro dan kontra berbagai
penggunaan cairan kristaloid untuk infuse selama resusitasi awal atau fase pemeliharaan pada
pasien dewasa yang dirawat di RS. Penekanan khusus diberikan pada dosis, komposisi cairan,
adanya buffer (dalam cairan yang seimbang) dan elektrolit, berdasarkan literature terbaru.
Kami juga mengulas tentang penggunaan cairan hipertonis
Metode : Kami memilih literatur klinik yang sesuai dalam bahasa Inggris secara khusus
memeriksa hasil pasien yang berhubungan dengan volume dan jenis cairan
Hasil : Terapi cairan yang terbatas dapat mencegah komplikasi yang terlihat dengan jelas,
terapi dengan volume besar, walaupun pemberian cairan terbatas dengan kristaloid mungkin
tidak menunjukkan efek hemodinamik yang besar pada pembedahan atau pasien sepsis.
Cairan hipertonis mungkin memberikan tujuan resusitasi volume kecil tetapi dapat
memberikan kerugian berupa hipernatremia. Cairan hipotonis merupakan kontraindikasi pada
edema serebral impending, sedangkan cairan hipertonis mungkin lebih membantu dalam
memperbaiki daripada mencegah kondisi ini dan meningkatkan hasil. Cairan yang seimbang
memberikan pendekatan yang lebih baik untuk komposisi plasma daripada cairan yang tidak
seimbang, dan bukti manfaat dalam morbiditas dan mortalitas meningkat, khususnya
membantu dalam mencegah gangguan ginjal akut.
Kesimpulan : Cairan kristaloid isotonic dan hipertonik merupakan pilihan cairan untuk
resusitasi dari hipovolemia dan shock. Bukti bahwa cairan seimbang lebih baik daripada
cairan yang tidak seimbang meningkat. Cairan hipertonik efektif pada hipertensi intracranial
yang refrakter terhadap mannitol, sedangkan cairan hipotonik merupakan kontraindikasi pada
kondisi ini.
Kata kunci : shock, hipovolemia, resusitasi cairan, normali saline, ringers lctate, saline
hipertonik
Review
Pembahasan mengenai terapi cairan pada pembedahan dan pasien dengan kondisi kritis
sedang berlangsung, sebagian karena data yang tidak cukup, sejarah dan geografi yang
berbeda, dan sedikitnya pelatihan. Ini termasuk jenis dan jumlah cairan yang diberikan ketika
pasien mengalami hipovolemik dengan volume plasma yang rendah, atau pada shock, dengan
volume plasma rendah atau normal, dan pada kebutuhan cairan untuk resusitasi atau terapi
pemeliharaan lanjutan. Selain itu, komposisi, ada atau tidak adanya buffer (disebut juga

cairan seimbang dan cairan tidak seimbang) dan tambahan berupa elektrolit tertentu, seperti
kalium, kalsium dan magnesium, masih merupakan kontroversi.
Review ini bertujuan untuk menjelaskan penggunaan berbagai cairan kristaloid dalam terapi
pasien dewasa yang dirawat di RS, dengan cara narasi untuk tujuan pendidikan,
melalui berbagai kondisi klinis dan pertimbangan oleh evaluasi berbagai penelitian. Pertama
kami mendiskusikan cairan normal dan komposisi elektrolit pada tubuh, keseimbangan dan
dosis cairan kristaloid, sebelum memulai pada diskusi tentang pro dan kontra relatif, dalam
berbagai keadaan, dari berbagai cairan kristaloid yang tersedia saat ini. Kami tidak akan
mendiskusikan eksperimen pada hewan atau data dan studi pediatric. Kami mengakhiri
dengan diskusi mengenai elektrolit spesifik.
Keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh
Table 1 menunjukkan keseimbangan cairan sehari-hari pada laki-laki dewasa sehat 70 kg
dengan 45 % dari cairan tubuh total (60 % dari berat badan). Kebutuhan sehari-hari yaitu
natrium 80-120 mEq, kalium 50-100 mEq, kalsium 2-4 mEq dan magnesium 20-30 mEq.
Terapi cairan dan elektrolit bertujuan untuk memperbaiki kekurangan, dan mempertahankan
kebutuhan harian dan konsentrasi normal dalam cairan tubuh (table 2).

Pada pasien yang dirawat di RS atau pasien dengan kondisi kritis, bagaimanapun, kebutuhan
cairan dan elektrolit dapat meningkat yang mengikuti kondisi demam, muntah, diare,
kehilangan darah/ plasma (trauma dan pembedahan), dan poliuria. Pada demam, formula
tersedia untuk memperkirakan insensible loss, yaitu sekitar 10 ml/kg per 1 derajat C
meningkat pada temperature diatas 37 derajat C. Analisa yang cermat pada intake dan output
cairan, serta estimasi insensible loss, mungkin diperlukan untuk memperbaiki
ketidakseimbangan status cairan pasien. Penilaian ini mungkin juga termasuk menghitung
berat badan setiap hari, meskipun dapat dikacaukan oleh asupan makanan. Di dalam ICU,
memperoleh berat badan setiap hari dapat menjadi sulit dan, meskipun secara klinis relevan
di beberapa (ginjal) kelompok pasien, dapat menjadi buruk terkait dengan keseimbangan
cairan.

Penilaian hipovolemi sulit pada pasien yang dirawat di RS dan terdapat banyak metode, dari
fisik yang sederhana sampai yang kompleks, telah dijelaskan. Hipovolemia sering, secara
benar atau salah, dipertimbangkan dalam kasus hipotensi, tekanan pengisian yang rendah,
saturasi oksigen hemoglobin vena sentral atau campuran rendah, atau membutuhkan isotropic
atau obat-obatan vasopresor, yang memicu secara klinis untuk infus cairan, meskipun ini
mungkin bermanfaat bagi pasien hanya dengan adanya preload dan responsif cairan, terlepas
dari volume sirkulasi plasma. Responsive cairan didefinisikan sebagai peningkatan stroke
volume atau cardiac output dengan pemberian cairan atau, lebih disukai, peninggian kaki
secara pasif untuk meningkatkan venous return. Penggabungan strategi ini dalam pembuatan
keputusan loading cairan, bahkan pada pasien shock, mungkin membantu mencegah
overhidrasi yang berpotensi membahayakan.
Meskipun tidak diragukan lagi, hipovolemia berat mungkin termasuk interstitial dan akhirnya
ruang intraseluler, dan pemenuhan kebutuhan volume ini dapat dicapai dengan pemberian
cairan intravena. Hipovolemia dan penurunan perfusi organ dapat menyebabkan hipoksia
jaringan yang menyebabkan shock. Kehilangan cairan sebaliknya selalu termasuk konstituen
cairan plasma, termasuk natrium, kalium dan magnesium, dan anionnya, seperti klorida dan
bikarbonat, dan elektrolit lain. Kehilangan elektrolit juga mengikuti kehilangan cairan,
misalnya perioperatif. Sebagai tambahan, saat post operatif ditandai dengan pelepasan
vasopressin, dan aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron dan aksis hipotalamuspituitari-adrenal, dengan pelepasan hormone yang menyebabkan retensi cairan dan natrium di
ginjal untuk mengkompensasi kehilangan cairan ekstrarenal.
Penggantian kehilangan plasma harus mencakup semua komponen, untuk mencegah
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, bahkan secara independen dari perubahan
hypovolemia dan shock yang diinduksi dalam produksi dan eliminasi asam dan pergeseran
dalam distribusi elektrolit antara ruang intra dan ekstravaskuler. Harus mempertimbangkan
status elektrolit pasien sebelum memilih jenis cairan yang optimal untuk resusitasi dan
memelihara
euvolemia.
Mengobati hipovolemia dan shock
Pada bagian ini, kami akan membahas dosis dan jenis cairan dari perspektif kristaloid.
Pemberian cairan kristaloid dapat menurunkan kematian pada pasien hipovolemik, misalnya

setelah perdarahan, tetapi jenis dan dosis cairan kristaloid yang optimal tetap bergantung pada
berbagai kondisi klinik
Sebaliknya, koloid tetap ada dalam sirkulasi dan meingkatkan volume intravaskuler dengan
cara meningkatkan tekanan osmotic koloid. Oleh karena itu cairan koloid tiga sampai empat
kali
lipat
lebih besar (berkelanjutan) memperluas volume plasma dan efek hemodinamik bila
dibandingkan dengan kristaloid, dalam pemberian volume infuse. Rasio 1:3 sampai 1:4 untuk
koloid versus kristaloid untuk menghasilkan volume plasma yang sama, mungkin berlaku
pada kondisi seperti sepsis dimana terjadi peningkatan permeabilitas yang menyebabkan
pembatasan retensi koloid intravaskuler, dimana tujuan akhir hemodinamik sama yang
berhubungan dengan volume plasma yang dicapai. Penulis menyarankan, walaupun dalam
praktek sehari-hari hanya 10%-40% lebih banyak kristaloid daripada koloid yang digunkan
untuk infuse, dan hasilnya sama dalam tujuan dan akhir resusitasi. Oleh karena itu, tiga
sampai empat kali lipat peningkatan kebutuhan kristaloid untuk mengganti volume plasma
yang
diberikan
mungkin
agak
berlebihan dalam praktek klinis dan cenderung kurang sesuai. Pada pasien perdarahan, 100200 % ringers asetat dapat mencukupi kehilangan darah. Namun, pada studi lain hanya 20 %
infuse cairan kristaloid yang tetap berada di intravaskuler dan lebih dari 60 %
menyeimbangkan dengan ruang ekstravaskuler dalam beberapa menit atau diekskresikan oleh
ginjal dalam beberapa jam setelah pemberian. Albumin hanya menghemat sekitar 40 % dari
pemberian cairan yang disebut dalam studi SAFE (studi pada orang Australia yang meneliti
keamanan cairan albumin dalam perawatan intensif) bersamaan dengan peningkatan vena
sentral dan tekanan darah arteri, dan penurunan denyut jantung.
Memang ada kemungkinan bahwa target hemodinamik sederhana, seperti tekanan hidrostatik
statis, kurang mencerminkan volume plasma, dan kurang tepat bila digunakan sebagai
panduan resusitasi, yang lebih sederhana adalah perbedaan volume antisipasi antara jenis
cairan resusitasi. Ini dapat menjelaskan beberapa ketidakcocokan yang disebutkan di atas
dan, sebaliknya, menunjukkan bahwa efek hemodinamik kristaloid jauh kurang dari kira-kira
jumlah yang sama dari infus koloid. Sebaliknya, semakin berat hipovolemi, semakin lambat
clearance dan semakin lama waktu paruh volume cairan infuse kristaloid yang diberikan,
yang dapat dihitung dari kinetic konsentrasi hemoglobin. Akhirnya, pemberian volume tanpa
tekanan pada vena dapat menurunkan volume plasma yang merupakan efek dari infuse
cairan.
Walaupun terapi cairan merupakan hal yang penting dalam terapi shock dan hipoperfusi
jaringan, overhidrasi dan pemberian cairan yang terlalu banyak, secara umum merupakan hal
yang berbahaya yang dapat menyebabkan disfungsi organ setelah sepsis, trauma atau
pembedahan, memunculkan pertanyaan mengenai jenis dan dosis cairan yang dapat
mengoptimalkan hemodinamik dan status volume, dengan resiko terkecil terjadi kelebihan
cairan. Kristaloid tampaknya tidak kalah dengan koloid, dalam meningkatkan mortalitas,
pada pasien bedah dan pasien kondisi kritis dengan hipovolemi atau shock dengan berbagai
penyebab. Kelebihan cairan infuse kristaloid dapat diekskresikan oleh ginjal, terkadang lebih
banyak dibanding cairan koloid, dan dengan demikian dapat membatasi keseimbangan cairan

yang meningkat selama beberapa jam dan beberapa hari. Bagaimanapun, umumnya
disarankan melakukan resusitasi dengan kristaloid dengan hasil keseimbangan cairan yang
lebih baik dan resiko pembentukan edema daripada koloid (pulmonal), meskipun besarnya
efek ini mungkin juga telah ditekankan sebelumnya.
Kecenderungan cairan kristaloid dalam meningkatkan pembentukan edema pulmonal, bahkan
pada peningkatan permeabilitas vaskuler pulmonal dan edema (pada sepsis), belum
dikonfirmasi, asalkan pemberian cairan dilakukan dengan benar dapat mengisi pembuluh
darah jantung dan paru. Kecenderungan terbentuknya edema pulmonal, yang terliht dari
gambaran radiologi dan perubahan pergantian gas pada studi lain, dapat menjelaskan
pemberian cairan pada pengisian jantung (unresponsive cairan) dan pengisian pembuluh
darah paru (kongesti paru), bergantung pada jenis cairan. Selama hipotermi setelah henti
jantung, kristaloid isotonic lebih dibutuhkan dibandingkan starch dan cairan hipertonis, tetapi
hal ini tidak menyebabkan edema serebral. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian
cairan kristalois yang terlalu banyak memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk terjadi
edema perifer (dan sindrom kompartemen) daripada resusitasi dengan koloid, terhadap target
hemodinamik yang sama, misalnya setelah trauma multiple, dan ini dapat merugikan. Tabel 3
merangkum pro dan kontra penggunaan cairan kristaloid dalam klinik (seimbang atau tidak
seimbang), yang berhubungan dengan volume cairan.

Dibandingkan dengan kristaloid isotonic, cairan hipertonik dengan volume kecil dapat
memperbaiki euvolemia dan hemodinamik tanpa memperbesar ruang intersisial pada
hipovolemik dan shock. Cairan hipertonik dengan volume kecil 3-7 % (disertai atau tidak
dengan cairan koloid) secara umum digunakan dalam pengobatan emergensi untuk pasien
trauma dengan perdarahan dan atau trauman otak berat. Cairan hipertonik hanya dibutuhkan
dalam volume sedikit daripada kristaloid isotonis dalam memelihara hemodinamik, juga
perioperatif, tapi mungkin tidak membawa keuntungan lain dalam kondisi tersebut. Jenis
cairan ini memberikan efek volume yang cepat, lebih besar dibandingkan cairan isotonis, dan
mempunyai efek inotropik positif tanpa terlalu banyak pengenceran factor koagulasi, dan
mungkin mencegah, menunda atau memperbaiki peningkatan tekanan intracranial. Dengan
membatasi kebutuhan volume, cairan hipertonik juga dapat mencegah perkembangan
sindrom kompartmen abdominal, dibanding dengan ringer laktat selama resusitasi dari luka
bakar. Cairan hipertonik juga mempunyai komponen anti inflamasi, Namun demikian, studi

klinis resmi dalam skala besar pada subjek tidak meyakinkan, karena penggunaannya tidak
menurunkan morbiditas atau mortalitas.
Cairan laktat hipertonik juga tersedia, dan seperti cairan hipertonik lain, juga mempunyai
efek inotropik positif pada jantung. Saline hipertonik 3-7 % dapat dianggap sebagai
osmoterapi ketika digunakan untuk menurunkan tekanan intrakanial, sebagai obat primer atau
ketika mannitol gagal, dimana lebih sering digunakan. Namun, kadar natrium serum diatas
160 mmol/l mungkin lebih menurunkan edema serebral. Terapi mungkin lebih efektif dalam
mengendalikan hipertensi intracranial dibanding mannitol, tetapi tidak meningkatkan hasil.
Secara jelas, efek samping mayor adalah hipernatremia berat, dimana kadang-kadang susah
untuk dikendalikan. Sebaliknya, cairan hipotonik sebaiknya dihindari pada kondisi ini, karena
beresiko terjadi perburukan edema, sedangkan resusitasi yang kurang dan hipotensi resultan
juga berhubungan dengan hasil yang buruk. Jadi pengelolaan membutuhkan keseimbangan
yang dilakukan dengan hati-hati, dibantu dengan hemodinamik dan pengawasan tekanan
intracranial, antara hemodinamik sistemik dan tekanan perfusi serebral.
Strategi terapi cairan perioperatif : dosis dan target
Dosis dan cara terapi cairan kristaloid pada kasus emergensi atau perioperatif masih dalam
kontroversi. Meskipun pengisian volume plasma berkurang dan efek hemodinamik kristaloid
vs koloid, untuk pemberian volume cairan infuse, pengaturan pembatasan cairan (biasanya <7
ml/kg/jam) telah disarankan dalam mengurangi komplikasi dari strategi cairan standar atau
yang lebih liberal, tanpa memperhatikan jenis cairan yang digunakan, dalam studi
randomisasi pada pasien bedah. Pembedahan termasuk abdominal, pankreatik, colorectal,
vesica fellea, vascular, dan pembedahan pinggul dan lutut, sedangkan definisi pengaturan
cairan berbeda pada sejumlah studi. Komplikasi dapat dicegah termasuk kebocoran
anastomose, gangguan gastrointestinal dengan mual dan muntah, infeksi, komplikasi
pulmonal, dan yang lainnya. Memang banyak dari komplikasi tersebut disebabkan karena
overhidrasi, khususnya karena pemberian kristaloid, sedangkan pembatasan cairan sering
merujuk pada keterbatasan kristaloid.
Namun, terlalu membatasi terapi cairan pada resusitasi yang kurang dan secara potensial
berhubungan dengan gejala sisa yang merugikan, termasuk hipoperfusi gastrointestinal,
kebocoran anastomosis, mual, muntah, dan lainnya, dimana dapat dicegah dengan pemberian
yang lebih banyak dari cairan kristaloid atau koloid. Perioperatif, tujuan diarahkan dengan
mengoptimalkan hemodinamik dengan cairan yang menurunkan komplikasi postoperative
(lebih banyak koloid, kadang-kadang kristaloid), karena dosis cairan sesuai kebutuhan
individu dan dengan melihat fungsi jantung individu, kemudian dapat diputuskan
memberikan cairan yang lebih banyak atau terbatas.
Oleh karena itu, perdebatan volume cairan dan target hemodinamik dikacaukan oleh jenis
cairan, dengan meningkatkan keraguan tentang keamanan koloid sintetik, sedikitnya pada
sepsis dan mungkin tidak pada trauma dan pembedahan, sehingga lebih disukai kristaloid.
Juga, rasio resiko dan manfaat dapat ditentukan oleh beratnya hipovolemia dan shock selama
pemberian cairan infuse. Bagaimanapun, kelaparan preoperative termasuk cairan dapat
menyebabkan hipovolemia postoperative, dan penulis telah mempelajari efek optimasi pra

operasi dengan ringer laktat dan ditemukan bahwa dapat menurunkan morbiditas
postoperative. Pada terapi emergensi trauma, hindari pemberian cairan kristaloid yang terlalu
banyak sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik.
Kesimpulan dari bagian ini, pemberian cairan kristaloid sebagai pilihan pertama pada klinik,
untuk resusitasi hipovolemia atau shock, dengan menggunakan infuse cepat 500-1000 ml,
asalkan pasien mungkin responsif cairan pada awal atau memang merespon cairan selama
pemberian. Pada fase pemeliharaan, insensible loss dihitung 1 L per hari yang dihasilkan dari
infuse cairan sekitar 2-2,5 L per hari. Untuk resusitasi dan pemeliharaaan, pertimbangan
khususdigunakan pada kasus injuri otak, trauma dan pembedahan, ketika pembatasan cairan
dan elektrolit lebih dipilih untuk membatasi keseimbangan cairan positif, ketika
keseimbangan cairan negative daripada mempertahankan keseimbangan.
Komposisi dan penggunaan klinik berbagai cairan kristaloid
Kami akan membahas berbagai jenis cairan kristaloid dan komponennya. Normal atau
fisiologis saline pertama kali dijelaskan dan digunakan pada tahun 1831, dan kemudian NaCl
0,9 % digunakan secara luas untuk cairan intravena di rumah sakit, meskipun ragu pada
komponen normal atau fisiologikal. Penambahan laktat sebagai buffer untuk lebih
menyerupai komposisi elektrolit plasma manusia menghasilkan cairan Ringer laktat (atau
Hartmann), namun masih sedikit hipotonik dengan kemampuan untuk menurunkan
osmolalitas serum. Cairan hipotonik, termasuk koloid (albumin) dan kristaloid, dapat
meningkatkan (beresiko untuk) edema serebral pada injuri otak karena trauma, yang
tampaknya ditentukan sebagian oleh tekanan osmotic, kecuali ekskresi yang cepat dari urin
hipotonik mempertahankan osmolalitas plasma. Infuse dekstrose hipotonik 5 % dalam air
juga merupakan kontraindikasi pada injuri otak karena trauma, jika terjadi penurunan
osmolalitas plasma. Cairan ini mempunyai efek minimal pada volume plasma dan tidak
sesuai untuk resusitasi cairan. Oleh karena itu, normal saline atau cairan isotonic seimbang
lebih dipilih untuk mengobati hipovolemia pada injuri otak. Natrium bikarbonat terdapat pada
cairan hipertonik. Bahkan, manfaat dari terapi asidosis (laktat) metabolic selama iskemik dan
resusitasi masih controversial, natrium bikarbonat masih digunakan secara luas untuk
memperbaiki asidosis metabolic dari berbagai penyebab dan terapi tambahan untuk menjaga
pH antara 7.15-7.20 pada pasien resiko tinggi tetap secara umum direkomendasikan. Natrium
bikarbonat juga digunakan pada pencegahan nefropati kontras, meskipun mungkin tidak lebih
efektif dari prehidrasi dengan normal saline. Sebaliknya, infuse mungkin tidak berbahaya,
dan menyebabkan hipernatremi dan alkalosis jika cairan hipertonik (terlalu banyak)
digunakan.
Secara umum diterapkan cairan kristaloid dari osmolalitas, komposisi kationik dan anionik
dijelaskan dalam table 4

Klorida dan cairan seimbang


Isi klorida pada normal saline (0,9 % NaCl), disebut dengan cairan yang tidak seimbang,
dimana terdapat 154 mmol/l, lebih tinggi daripada yang ditemukan dalam plasma (101-110
mmol/l) dan lebih tinggi daripada cairan seimbang pada ringer atau hartmann, dimana
beberapa anion adalah laktat buffer, asetat, atau glukonat sebagai ganti klorida. Perbedaan ion
yang kuat pada cairan ini lebih tinggi daripada saline (sebagai contoh mendekati plasma, 42
mEq/l). Walaupun pH cairan ini tidak berbeda banyak, efek in vivo nya pada keseimbangan
asam basa sangat berbeda. Memang infuse saline umumnya dapat menyebabkan asidosis
metabolic hiperkloremik dan hiperkalemia, khususnya ketika infuse volume besar, sedangkan
infuse cairan seimbang tidak menyebabkan efek ini.
Meskipun penggunaan saline dapat menyebabkan disfungsi organ (terlihat pada studi pada
hewan) dan mungkin menyebabkan gejala gastrointestinal setelah pembedahan, kerusakan
akibat asidosis hiperkloremik pada studi klinik masih belum pasti. Selain itu, pengenceran
plasma, karena pemberian cairan infuse mengandung bikarbonat (atau precursor anion
buffer), termasuk dekstrosa 5 % dalam air, menurunkan perbedaan ion yang kuat dan pH
darah.
Bagaimanapun, Shaw dkk, pada studi retrospektif yang besar, menggunakan sampel yang
cocok, baru-baru ini menemukan bahwa setelah pembedahan penggunaan normal saline
menghasilkan peningkatan mortalitas daripada cairan seimbang selama dan setelah
pembedahan (5.6 % vs 2.9 %), mencegah asidosis metabolic hiperkloremik dengan baik.
Sebagai tambahan, pemberian cairan seimbang berhubungan dengan morbiditas yang
berkurang yang ditunjukkan dengan penggunaan ventilator beberapa hari, berkurangnya
kebutuhan cairan, berkurangnya kebutuhan untuk transfuse, sedikitnya infeksi major dan

berkurangnya kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa cairan
yang seimbang lebih disukai daripada saline dengan mempertimbangkan resiko gangguan
metabolic seperti asidosis metabolic hiperkloremik dan morbiditas pasien, dan klinis. Namun,
mekanisme dari beberapa efek pada manusia masih belum jelas dan penelitian lebih lanjut
pada efek morbisitas dan mortalitas masih dibutuhkan.
Akhirnya, kami berhati-hati terhadap penggunaan cairan seimbang yang mengandung kalium
pada pasien anuria dengan insufisiensi renal karena infuse kalium tidak dapat diekskresikan.
Laktat reshuttled melalui siklus Cori
Uptake hepatic menghasilkan glukoneogenesis, sebuah proses yang menghasilkan energy.
Oksidasi dari 30-60 % infuse laktat, bahkan pada shock septic dan kardiogenik, sehingga
menghemat komponen lain. Laktat dapat berfungsi sebagai bahan bakar untuk liver, bahkan
jantung dan otak, khususnya ketika substrat lain kurang tersedia. Infuse cairan yang
mengandung laktat (dalam jumlah besar) mungkin sedikit meningkatkan kadar laktat serum
sementara (tetapi tidak menurunkan pH), khususnya pada kasus disfungsi liver. Hal ini dapat
meningkatkan lkadar glukosa pada pasien diabetes mellitus dengan control buruk atau
sebaliknya meningkatkan glukoneogenesis. Penggunaan ringer laktat lebih aman dan
menyelamatkan lebih banyak kehidupan daripada penggunaan cairan starch, ketika
dibandingkan pada resusitasi shock septic.
Cairan ringer asetat mirip dengan ringer laktat, komponen ringer asetat dan cairan lainnya,
mirip dengan laktat, tidak dimetabolisme secara lengkap. Laktat memasuki siklus asam
trikarbosiklik dan dibakar, dengan demikian membutuhkan oksigen dengan sebagian
menggantikan substrat lain. Memang ketika pemberian infuse, sekitar 90 % dioksidasi. Asetat
sebagai buffer, sehingga setelah infuse, peningkatan konsentrasi bikarbonat dan pH, sama
ketika bikarbonat equimolar diinfus, pada asidosis yang mengikuti diare atau insufisiensi
renal. Juga, asetat menyebabkan vasodilatasi dan depresi miokardial, dan dapat berbahaya
pada pasien dengan shock, meskipun telah ditolak pada studi lain. Pada kenyataannya, barubaru ini menunjukkan bahwa resusitasi pada shock septic dengan ringer asetat menghasilkan
kelangsungan hidup lebih besar daripada resusitasi dengan koloid, tetapi hal ini dapat
dikaitkan dengan efek samping dari starch.
Efek renal
Di satu sisi, cairan kristaloid lebih baik dalam memelihara dieresis dan fungsi renal, dan
mencegah kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal daripada koloid pada penyakit kritis, tetapi
tidak pada pasien sehat, mungkin oleh menurunnya tekanan osmotic koloid plasma
menyebabkan filtrasi glomerular. Namun, pemberian cairan kristaloid yang terlalu banyak
dapat dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal.
Baru-baru ini bukti menyarankan bahwa hal ini juga bergantung pada jenis kristaloid yang
diberikan dan bukti untuk efek perlindungan ginjal pada cairan kristaloid seimbang (versus
cairan yang tidak seimbang) yang diakumulasi. Infuse ringer laktat hipotonik pada pasien
sehat lebih cepat diekskresikan melalui urin daripada normal saline (membutuhkan beberapa

jam), tetapi ini dapat dikaitkan pada sebagian hipotonisitas cairan daripada pencegahan
hyperchloremia, walaupun normokloremia dapat melindungi terhadap penurunan pengukuran
aliran darah renal (dan gaster) yang berhubungan dengan hiperkloremia. Percobaan pada
hewan memang menyarakan bahwa hiperkloremia menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah renal dan menurunkan aliran darah setelah efek vasokonstriksi langsung
ginjal dengan anion klorida. Hadimioglu dkk membandingkan dalam penelitian acak
terkontrol cairan seimbang dengan normal saline sebagai pengganti cairan intraoperatif
selama pembedahan transplantasi ginjal, pembedahan, dan menunjukkan bahwa hanya saline
yang menurunkan pH, bikarbonat dan basa. Studi ini dan studi lain tidak menunjukkan
perbedaan efek pada fungsi renal, tetapi studi ini mungkin kurang mempunyai bukti kuat.
Sebaliknya, studi kohort sekuensial yang besar baru-baru ini menyarankan bahwa
penggunaan regimen cairan dengan pembatasan klorida pada cairan ringer laktat
(dibandingkan dengan klorida yang banyak dan regimen berbasis saline) tidak menurunkan
mortalitas, tetapi menurunkan penyakit ginjal akut dan membutuhkan terapi pengganti ginjal.
Pada studi oleh Shaw dkk yang disebutkan di atas, pemberian cairan seimbang berhubungan
dengan penurunan kebutuhan terapi pengganti ginjal setelah laparotomi dari 4.8 % menjadi
1.0 % (p< 0.001), bahkan setelah penyesuaian. Insidensi injuri tubular dan penyakit ginjal
akut pada pasien pembedahan jantung yang diterapi natrium bikarbonat mungkin lebih
rendah daripada ketika saline ekuimolar digunakan. Namun, implikasi untuk pasien dirawat
di rumah sakit dengan faktor risiko disfungsi ginjal masih harus ditetapkan.
Depresi imun dan koagulasi
Kontroversi lain berkaitan dengan dugaan efek system imun pada cairan seimbang
dibandingkan cairan yang tidak seimbang. Studi menyarankan bahwa, saline yang tidak
seimbang mempunyai komponen proinflamasi, berhubungan dengan aktivasi neutrofil. Saline
yang tidak seimbang menyebabkan efek merugikan pada resusitasi traumda dan sepsis.
Ringer laktat juga sebagai proinflamasi tetapi ternyata bahwa D-laktat dalam campuran
racemic sebagian besar bertanggung jawab, sehingga eliminasinya menghilangkan efek
tersebut. Saline hipertonik telah diklaim mempunyai komponen antiinflamasi, tetapi hal ini
tidak diragukan lagi. Sebaliknya, anion klorida dapat merusak koagulasi. Namun, saline dan
ringer laktat (cairan berbahan koloid) sama-sama menyebabkan, secara ex vivo, keadaan
hiperkoagulasi pada 20 sampai 40% pengenceran darah dan penurunan koagulabilitas pada
pengenceran 60%.
Cairan elektrolit untuk terapi gangguan elektrolit
Pada pasien yang dirawat di RS dan pasien pembedahan atau pasien dengan kondisi kritis,
gangguan elektrolit umum terjadi. Cairan tersedia secara selektif menambah defisit elektrolit
tertentu. Alkalosis hipokalemia adalah faktor umum dan factor risiko dalam penggunaan
diuretik, muntah dan diare, dan lainnya, menyebabkan penurunan klorida. Kondisi ini dapat
diikuti dengan hipomagnesemia dan merupakan factor resiko untuk depresi kardiak,
hipooksigenasi jaringan dan gangguan ritme. Koreksi hipokalemia mungkin dapat lebih
berhasil dengan pemberian kalium ketika hipomagnesemia secara bersamaan dikoreksi.
Pemenuhan kalium dapat dicapai dengan pemberian oral dan enteral, jika berfungsi, atau

dengan lambat, administrasi cairan terkonsentrasi intravena pada tingkat maksimum 20 mEq /
jam, atau lebih tinggi jika diindikasikan. Infuse cairan seimbang yang mengandung kalium
dapat menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya pada pasien dengan insufisiensi renal dan
anuria dimana pemberian kalium ekstra tidak dapat diekskresikan, meskipun, di sisi lain,
pencegahan asidosis mungkin dapat memperbaiki peningkatan konsentrasi kalium serum
yang berbahaya.
Disnatremia sering ditemukan pada ICU dan berhubungan dengan tingginya mortalitas di RS.
Saline hipertonik digunakan pada terapi mendesak, ketika diindikasikan, hiponatremia.
Glukosa 5 % secara umum digunakan untuk untuk terapi hipernatremia. Untuk memelihara
terapi cairan pada pasien yang kelaparan, cairan yang lebih lengkap dan seimbang lebih
mungkin untuk memelihara konsentrasi elektrolit plasma normal dan keseimbangan asam
basa dari sekedar saline yang mengandung natrium. Untuk cairan tersebut yang menyerupai
plasma tetapi tidak identik sejauh komposisinya diperitmbangkan, glukosa 5 % dapat
ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan energy.
Hipokalsemia juga relative sering pada pasien postoperative dan pasien penyakit kritis dan
mungkin mempunyai konsekuensi yang merugikan. Sangat mungkin bahwa kebanyakan
pasien sakit kritis berada dalam keseimbangan kalsium yang negatif, ketika imobilisasi,
diterapi dengan hemofiltrasi venovenous berbasis sitrat untuk injuri ginjal akut, dan lain
sebagainya. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan pengeroposan tulang yang bertahap.
Hipokalsemia, bahkan ketika disesuaikan untuk hipoalbuminemia, dan yang dihasilkan dari
pergeseran kalsium ekstra ke intraseluler dan hypovitaminosis D, mungkin berhubungan
dengan penyakit kritis neuro dan miopati. Kalsium sulit untuk dimasukkan dalam (alkali)
cairan, karena mudah menjadi tidak larut.
Terapi pengganti ginjal lanjutan adalah baik diketahui sebagai factor resiko hipofosfatemia
pada penyakit kritis. Yang terakhir juga menjadi fitur dari pemberian makanan berulang dan
hypophosphatemia demikian relatif sering ditemui pada pasien sakit kritis (dengan dan tanpa
kegagalan ginjal). Hipofosfatemia berhubungan dengan kelemahan otot dan kebutuhan
ventilator mekanik yang lebih lama, dan oleh karena itumembutuhkan pencegahan dan
koreksi dengan cairan natrium-kalium-fosfat, lebih dipilih melalui infuse berkelanjutan.
Sekarang, cairan pengganti yang mengandung fosfat mencegah hipofosfatemia selama terapi
pengganti ginjal berkelanjutan.
Kesimpulan
Cairan kristaloid adalah cairan yang dipilih untuk mengisi dan menjaga volume plasma pada
pasien yang dirawat di RS dengan hipovolemia atau shock, walaupun volume relatif besar
harus diberikan untuk meningkatkan sirkulasi volume plasma dan pengiriman oksigen
jaringan. Pemberian kristaloid terlalu banyak meningkatkan resiko overload cairan dengan
hipernatremia, edema perifer dan pulmonal, dan sindrom kompartemen. Oleh karena itu,
resusitasi yang kurang dan terlalu berlebihan seharusnya dihindari dengan pengawasan yang
hati-hati. Bukti bahwa cairan yang seimbang lebih unggul, khususnya dalam membantu
mencegah kerusakan ginjal akut dan ketika isotonic, untuk yang tidak seimbang meningkat.

Cairan hipotonik secara umum merupakan kontraindikasi pada kondisi dengan atau beresiko
edema serebral. Pada fase pemeliharaan dengan infuse cairan non oral, cairan yang lebih
menyerupai komposisi air plasma daripada normal saline juga direkomendasikan. Kami
akhirnya menyarankan pengobatan dengan dipandu natrium serum dengan salin hipertonik
untuk edema serebral refrakter dengan mannitol dan hipertensi intrakranial.

Anda mungkin juga menyukai