Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik preoperative adalah yang paling dapat dipercaya .Tanda- tanda hipovolemia
meliputi turgor kulit, hidrasi selaput lendir, denyut nadi yang kuat, denyut jantung dan tekanan
darah dan orthostatic berubah dari yang terlentang ke duduk atau posisi berdiri, dan mengukur
pengeluaran urin. Banyak obat yang pakai selama pembiusan, seperti halnya efek fisiologis dari
stress pembedahan, mengubah tanda-tanda ini dan memandang tak dapat dipercaya periode
sesudah operasi. Selama operasi, denyut nadi yang kuat (radial atau dorsalis pedis), pengeluaran
urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon tekanan darah ke tekanan ventilasi yang positive
dan vasodilatasi atau efek inotropic negative dari anestesi, adalah yang paling sering digunakan.
Pitting edema-presacral pada pasien yang tidur atau pada pretibial pada pasien yang dapat
berjalan- peningkatan pengeluaran urin adalah tanda hypervolemia pada pasien dengan dengan
jantung, hepar, dan fungsi ginjal yang normal. Gejala lanjut dari hypervolemia yaitu tachycardia,
pulmonary crackles, wheezing, cyanosis, dan frothy pulmonary secretion.
Tabel. Tanda-Tanda Kehilangan Cairan (Hipovolemia)
Evaluasi Laboratorium
Beberapa pengukuran laboratorium digunakan untuk menilai volume intravascular dan
ketercukupan perfusi jaringan Pengukuran ini meliputi serial hematocrits, seperti pH darah arteri,
berat jenis atau osmolalitas urin, konsentrasi klorida atau natrium dalam urin, Natrium dalam
darah, dan creatinin serum, ratio blood urea nitrogen (perbandingan BUN). Ini hanya pengukuran
volume intravascular secara tidak langsung dan sering tidak bisa dipercaya selama operasi sebab
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan hasilnya sering terlambat. Tanda-tanda laboratorium dari
dehidrasi yaitu peningkatan hematocrit progresif acidosis metabolic yang progresif, berat jenis
urin >1.010, Natrium dalam urin <10 mEq/L, osmolalitas > 450 mOsm/kg, hypernatremia, dan
ratio BUN- -kreatinin >10:1. Tanda-tanda pada foto roentgen adalah meningkatnya vaskularisasi
paru dan interstitiel yang ditandai dengan ( Kerly " B") atau infiltrasi difus pada alveolar adalah
tanda-tanda dari overload cairan
Pengukuran Hemodinamik
Monitoring CVP diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang normal jika
status volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya perubahan yang
cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan nilai yang rendah(< 5 mm Hg) mungkin normal
kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia. Lebih dari itu, respon dari bolus cairan ( 250 mL)
yang ditandai dengan: sedikit peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan indikasi penambahan
cairan, sedangkan suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg) kebutuhan cairan cukup dan
evaluasi kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12 mmHg dipertimbangkan.
hypervolemia dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya tekanan intrathorakal, atau
penyakit pericardial restriktif.
Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak berkorelasi dengan gejala
klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau sekunder dari fungsi ventrikel kanan,
kelainan fungsi tubuh; yang juga berhubungan dengan paru-paru atau penyakit pada ventrikel
kiri. Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP) <8 mmHg menunjukkan adanya
hypovolemia ,dikonfirmasi dengan gejala klinis; bagaimanapun, nilai <15 Mm Hg berhubungan
dengan pasien yang hipovolemia relative dengan compliance ventrikel lemah. Pengukuran PAOP
>18 mmHg dan biasanya menandakan beban volume ventrikel kiri yang berlebih. Adanya
penyakit katup Mitral (stenosis), stenosis aorta yang berat, atau myxoma atrium kiri atau
thrombus mengubah hubungan yang normal antara PAOP dan volume diastolic akhir ventrikel
kiri. Peningkatan tekanan pada thorak dan tekanan pada jalan nafas paru terlihat adanya
kesalahan; sebagai konsekwensi, semua pengukuran tekanan selalu diperoleh pada waktu akhir
expirasi . Teknik terbaru mengukur volume ventrikel dengan transesophageal echocardiography
atau oleh radioisotop dan lebih akurat tetapi belum banyak tersedia.
CAIRAN INTRAVENA
Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya.
Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam)
dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi
seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan oncotic plasma dan sebagian besar
ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang
cairan extracellular.
Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid untuk pasien dg
pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga plasma tekanan oncotic plasma,
koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravascular dan curah jantung.Ahli yang
lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang
cukup. Pendapat yang mengatakan bahwa koloid dapat menimbulkan edema pulmoner pada
pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan onkotik
interstitial paru-paru sama dengan plasma ( lihat Bab 22). Beberapa pernyataan dibawah ini yang
mendukung :
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid
dalam mengembalikan volume intravascular.
2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan kristaloid biasanya
memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.
3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami deficit cairan
extracellular melebihi deficit cairan intravascular..
4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan
menggunakan cairan koloid.
5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan
edema jaringan.
Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan mengganggu transport oksigen,
memperlambat penyembuhan luka dan memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah
pembedahan.
Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien dengan syok hemoragik
dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan
perfusi otak, dan pasien dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan kristaloid
telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat diberikan.
Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan tergantung dari derajat
dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan
hipotonik dan disebut juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan
elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga replacement type solution.
Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan
hipoglikemia dengan cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8
jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (> 24 h) disbanding pria.
Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka yang biasa digunakan
adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer Laktat. Walaupun sedikit hypotonic,
kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai
komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering dipakai sebagai larutan
fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika
larutan salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis
hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma
menurun dan konsentrasi Clorida meningkat.
Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan mengencerkan Packed Red Cell
untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan
pemeliharaan pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan pada terapi
hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 – 7,5% disarankan dipakai untuk
resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat
menyebabkan hemolisis.
Cairan Koloid
Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid untuk menjaga cairan
ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular 20-30
menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular 3-6 jam. Biasanya
indikasi pemakaian cairan koloid adalah :
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang berat
(misal: syok hemoragik) sampai ada transfusi darah.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana
Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar, koloid
diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid
telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma.
Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid bila dibutuhkan
cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah normal
saline ( Cl 145 – 154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik.
Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma atau polimer
glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi
plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan
resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi alpha dan beta globulin
yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang
alami da melibatkan aktivasi dari kalikrein.
Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan dengan histamine
mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United States.Dextran terdiri dari Dextran 70
( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi dengan
menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek antiplatelet. Pemberian melebihi 20
ml/kg/hari dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi anafilaksis.
Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaxis
berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi.
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul berkisar
450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul besar
dihancurkan pertama kali oleh amylase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan
lebih murah disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi
anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan
dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial.
Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang menjalani
bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat molekul rendah, sedikit efek
tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch.
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan normal dan
kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.
Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan menyebabkan defisit
cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan
normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 + 20
+ 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil
dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit
preoperatif. Sering terdapat hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.
Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood cell.
Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan volume
darah. Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah
>10-20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan
prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan
hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut:
Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.
Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).
Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah
normal.
Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah
RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Contoh :
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa banyak jumah
darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah melebihi
800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24%
(hemoglobin < 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,
contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.
TRANSFUSI
GOLONGAN DARAH
Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenic berbeda. Sedikitnya 20
antigen golongan darah terpisah dapat dikenal; tanda dari masing-masing adalah di bawah
control genetic dari chromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada
transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody ( alloantibodies). Antibodi
bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau
sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.
Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan B. Masing-masing
merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel
glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.)
Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibody
[ sebagian besar immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens ( Tabel 29-7) di dalam tahun
pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu
chromosom tempat berbeda. Tidak adanya antigen H( hh genotype, juga disebut Bombay pheno-
type) mencegah munculny gen A atau B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan
mempunyai anti-A, anti-B, dan anti-H antibodi.
Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome. Ada sekitar 46 Rh-berhubungan
dengan antigens, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan
menyesuaikan dengan antibody .Biasanya, ada atau tidak allele yang paling immunogenic dan
umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih
mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan allele ini disebut Rh-Negative dan biasanya
antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi
sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).
Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid,
Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian ( Kell,
Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic
serius.
TES KOMPATIBILITAS
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibody sebagai
hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di periksa adanya
antibody yang tidak baik.
Tabel. Golongan darah ABO
TIPE Adanya antibodi dalam serum Insidensi*
A anti– B 45%
B anti – A 8%
AB - 4%
O anti A, anti–B 43%
* angka rata-rata pada orang di Eropa
Tes ABO-Rh
Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO;
antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing),
mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah merah pasien
diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk menentukan
jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah
kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan antigen yang
dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika hasilnya
adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien
dengan sel darah merah Rh (+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan
pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.
Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch mempunyai
tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi
pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi
aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.
Screening Antibodi
Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya
dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak
langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah
dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan
penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel daraah. Screening ini
rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari
crossmatch .
Pemesanan Darah Untuk OperasiKebanyakan rumah sakit menyusun daftar operasi yang akan
dilakukan dan yang maksimum jumlah unit yang dapat dicrossmatch preoperati. Seperti pada
praktek mencegah berlebihan Crossmatching darah. Daftar pada umumnya didasarkan pada
masing-masing pengalaman institusi. Suatu crossmatch-to-transfusion perbandingan kurang dari
2.5:1 dipertimbangkan bisa diterima. Hanya suatu type and screen dilakukan jika timbulnya
transfusi untuk suatu prosedur kurang dari 10%. Jika transfusi diperlukan, dilakukan cross-match
. Pinjaman secara khas dibuat untuk pasien anemic dan mereka yang mempunyai kelainan
pembekuan.
TRANSFUSI DALAM KEADAAN DARURAT
Ketika pasien sedang exsanguinating, kebutuhan transfusi terjadi sebelum penyelesaian suatu
crossmatch, penyaringan , atau bahkan identifikasi tipe darah. Jika jenis darah pasien sudah
dikenal, dilakukan crossmatch kurang dari 5 menit, akan mengkonfirmasikan kompatibilitas
ABO. Jika jenis darah penerima tidak dikenal dan transfusi harus dimulai sebelum penentuan,
jenis O Rh-Negative darah mungkin bisa digunakan.
BANK DARAH
Darah dari pendonor disaring untuk mengeluarkan zat-zat yang dapat mempengaruhi kondisi
medis yang kurang baik bagi penerima donor. Hematocrit ditentukan, jika >37% untuk
allogeneic atau 32% untuk donor autologous, darah dikumpulkan, diidentifikasi, disaring untuk
antibodi, dan dilakukan pengujian adanya Hepatitis B, Hepatitis C, sipilis,human T cell leukemia
virus ( HTLV)-1 dan HTLV-2, dan Human immunodeficiency virus ( HIV)-1 dan HIV-2.
Kebanyakan pusat penelitian sedang melakukan tes terhadap asam nucleat virus RNA untuk
mendeteksi Hepatitis B dan C dan virus HIV ,dan sedang melakukan deteksi terhadap West Nile
Virus. Ada test yang sangat sensitif, dan mereka perlu membatasi virus dengan window positif
tetapi test negatif.
Pertama, darah dikumpulkan kemudian tambahkan larutan anticoagulant. Larutan yang paling
umum digunakan adalah CPDA-1, yang berisi sitrat sebagai antikoagulan (berikatan dengan
Calcium), fosfat sebagai buffer, dextrose sebagai sumber energi sel darah merah, dan adenosine
sebagai precursor dari sintesa ATP.
Darah dengan CPDA-1- dapat disimpan untuk 35 hari, setelah kelangsungan hidup sel darah
merah dengan cepat berkurang. Sebagai alternatif, penggunaan AS-1 ( Adsol) atau AS-3
( Nutrice) meluas umur rata-rata 6 minggu.
Semua unit yang dikumpulkan dipisahkan ke masing-masing komponen, yang diberi nama, sel
darah merah, platelets, dan plasma.
Ketika disentrifuge, 1 unit Whole blood utuh menghasilkan sekitar 250 mL packed red blood cel
( hematocrit 70%); mengikuti penambahan larutan saline, volume suatu unit packed red cell
sering mencapai 350 mL. Sel darah merah secara normal disimpan pada 1-6°C. Sel darah merah
dapat dibekukan dalam larutan glycerol hypertonis sampai 10 tahun. Teknik yang belakangan
pada umumnya disediakan untuk penyimpanan darah dengan phenotypes jarang. Supernatant
disentrifuge untuk menghasilkan platelets dan plasma. 1 Unit platelets yang diperoleh biasanya
berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20- 24°C untuk 5 hari. Sisa plasma supernatant
diproses dan dibekukan untuk menghasilkan Fresh frozen plasma; pembekuan cepat mencegah
inaktifasi faktor pembekuan ( V dan VIII). Pencairan yang lambat dari Fresh frozen plasma
menghasilkan suatu gelatin presipitat (cryo-precipitate) yang berisi faktor VIII dan fibrinogen
dengan konsentrasi tinggi. Ketika dipisahkan, cryoprecipitate ini dapat dibekukan kembali untuk
disimpan. Satu unit darah menghasilkan sekitar 200 mL plasma, yang mana dapat dibekukan
untuk disimpan; sekali ketika, harus ditransfusi dalam 24 jam. Platelets boleh sebagai alternatif
untuk mencapai plateletpheresis, yang ekuivalen dengan enam unit reguler dari pasien .
TRANSFUSI INTRAOPERATIF
Packed Red Blood Cells
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan penggunaan dan
pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah
merah tetapi tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive heart
failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel darah merah; kristaloid
dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama dengan jalur intravena yang kedua untuk
penggantian volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan kartu dari
bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk
menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk
mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang
sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus dihangatkan sampai 37°C. terutama jika lebih
dari 2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan
hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG) konsentrasi rendah dalam darah
yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-
disosiasi dan, menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah >
30°C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit
Platelets
Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan thrombocytopenia atau dysfunctional
platelets dengan pendarahan. Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan
hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.
Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan peningkatan perdarahan
selama pembedahan. Pasien dengan thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau
prosedur invasive harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung
trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam dan prosedur bedah
minor dapat dilakukan pada pasien dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi
trombosit normal dan hitung trombosit >50,000 x 109/L.
Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan 10,000-20,000 x 109/L
dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan
lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat
meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat
didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan
pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan. ABO-
compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu. Transfused Platelets biasanya
survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet
survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan adanyanit donor
tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet
transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit
normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi.
Platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan
pada pembedahan. ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu.
Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel
dapat meningkatkan platelet survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam
kaitan dengan adanya beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet Unit.
Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di (dalam) yang 70 mL plasma
pada setiap platelet unit dapat menyebabkan suatu reaksi hemolytic melawan terhadap butir-butir
darah merah penerima ketika sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi.
Administrasi Rh immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat melindungi dari Rh sensitisasi
yang mengikuti Rh-Positive platelet Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang
kuman melawan terhadap HLA antigens lymphocytes di (dalam) platelet berkonsentrasi) atau
platelet spesifik antigens memerlukan HLA-COMPATIBLE atau single-donor unit. Penggunaan
plateletpheresis transfusi boleh ber/kurang kemungkinan sensitisasi.
Transfusi Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien neutropenia
dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai
masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010
granulocytes pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya
reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain
permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi mempengaruhi
fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-CSF)
dan sargramostim ( granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah
sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.
KOMPLIKASI TRANSFUSI
A. Komplikasi Imun
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan sensitisasi donor ke sel darah
merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.
1. Reaksi Hemolytic
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah yang
ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien
terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible,
FFP, clotting faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B
( atau kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravascular.
Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed ( extravascular).
Febrile Reaksi
Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febrile. Reaksi ini
umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh suatu peningkatan temperatur
tanpa adanya hemolysis. Pasien dengan suatu riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi
lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge,
filtration, atau teknik freeze-thaw.
Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal bintik merah dan
bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan
dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat
diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan steroids.
Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi ini berat dan terjadi
setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA- Pasien dengan
Deficiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA
diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian
epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu
menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .
Purpura Posttransfusi
Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi menghancurkan
trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis
dalam hal ini dianjurkan.
Imun Supresi
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat
jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif nampak untuk
meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan
malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan.
Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan
virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi
yang serius setelah pembedahan atau trauma.
B. Komplikasi Infeksi
1. Infeksi virus
Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah
transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C
virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini
adalah anicteric, dan sedikitnya 50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu,
tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.
2. Infeksi parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan
Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.
3. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur
positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi
sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk
pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang
adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-
negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit.
Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi
sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.
C. Transfusi Darah Masif
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali
volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.
Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional thrombocytopenia.
Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi
dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa
Viscoelastic dari pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga
bermanfaat.
Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting setelah
transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena menyebabkan
depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5
menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar (
dan kemungkinan pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif ).
Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah cairan
intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi
,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung.
Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh
mengurangi timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.
Normovolemic Hemodilusi
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi sel darah
merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah dalam jumlah
besar ditumpahkan; lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume intravascuiar
terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter intravena yang besar
dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap normovolemic tetapi
dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu
sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di transfusikan kembali ke pasien
setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.
KONSEP UTAMA
1. Walaupun waktu paruh cairan kristaloid didalam intravascular adalah 20-30
menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam.
2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi hanya setelah kehilangan
darah lebih dari 10-20% dari volume darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis pasien dan
prosedur pembedahan.
3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO, antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan
antigen dalam transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,dan mengakibatkan hemolysis
intravascular.
4. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi hemolytic akut adalah
kenaikan temperatur, tachycardia yang tak dapat dijelaskan,hypotensi, hemoglobinuria
dan oozing difus dari lapangan operasi.
5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat menjadi immunosuppressive.
6. Pasien immunosupresi dan immunocompromised (misalnya, bayi premature dan
penerima transplantasi organ) terutama peka terhadap infeksi cytomegalovirus
(CMV) melalui transfusi. Seperti pasien yang hanya menerima unit CMV-NEGATIVE.
7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah yang massif adalah dilutional
thrombocytopenia.
8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada
pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit.
9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering setelah transfusi darah masif
adalah alkalosis metabolic post operative.
REFERENSI
Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc Graw-Hill Companies, Inc.
United State.
Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Pendahuluan.
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang
bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut
sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah suatu
tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Tanpa
pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka yang berakibat
ganda. Disatu pihak penderita dapat meninggal seketika, dilain pihak dokternya dapat dikenai
sanksi hukum yang digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice. Test kulit yang merupakan
salah satu upaya guna menghindari kejadian ini tidak dapat diandalkan, sebab ternyata dengan
test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk tidak timbulnya reaksi anafilaktik dengan
pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik pada
penderita yang amat sensitif. Olehnya itu upaya menghindari timbulnya syok anafilaktik ini
hampir tertutup bagi profesi dokter yang selalu berhadapan dengan suntikan. Satu-satunya jalan
yang dapat menolong kita dari malapetaka ini bukan menghindari penyuntikan, karena itu
merupakan senjata ampuh buat kita, tapi bagaimana kita memberi pertolongan secara lege-artis
bila kejadian itu menimpa kita. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam
pengelolaan syok anafilaktik. Makalah ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usaha-
usaha yang harus dilakukan dalam mengelola syok anafilaktik.
Insidens
Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat
kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang
akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya
kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun.
Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat
rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per 10.000) kejadian.
Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin
dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat
reaksi anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafilakis 0,01 % eksposue di Amerika. Gigitan
serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanyak dari syok anafilaktik.(1)
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan,
terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan
berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi
yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat
dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of
Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan
leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek
histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos
bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. (2)
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi
reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2
pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula
kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan
mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat
menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan
sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada
tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi
mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat
yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena dapat merangsang terlepasnya mediator.(2,3,4)
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama
dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan
mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya
dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras
radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun
NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat
terhambatnya enzim siklooksgenase.
Manifestasi klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat
yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang
kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini
menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan
gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan
bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga
berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala
hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai
akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua
akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah
menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume
relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat
segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
Gangguan kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala
ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin
merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus
harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat
berkembang kearah yang lebih berat.
Gangguan gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal
yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan
sirkulasi.
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik
Pengelolaan Anafilaksis dan syok Anafilaksis
Secara umum terapi anafilaksis bertujuan :
1. Mencegah efek mediator
Menghambat sintesis dan pelepasan mediator
Blokade reseptor
2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.
Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi
Penanganan syok anafilaktik
I. Terapi medikamentosa (7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :
Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat
terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga
tekanan darah dengan cepat naik kembali.
Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP
sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5
– 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat.
Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian
adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
Posisi
Letakkan pasien dengan posisi supine dengan kepala lebih rendah (tredelenberg) ± 10-150hingga
vena dapat terisi. Ini dapat tidak menyenangkan atau bahkan beresiko pada beberapa pasien. Bila
ragu-ragu, pasien dapat diletakkan dengan kepala lebih rendah saat operator telah siap untuk
melakukan punksi vena. Bahu dapat diganjal dengan handuk gulung atau botol cairan diantara
kedua bahu.1,2,3,4,5,7
Prosedur 1,2,3,4,5,7,9
1. Cek semua peralatan sebelum mulai.
2. Sterilisasi dan tutupi area yang akan diinsersi dengan sangat hati-hati.
3. Palpasi fossa subclavikularis dan cek hubungannya pada incisura sternalis. Bila
jari ditempatkan secara subclvikularis pada posisi lateral ter- dapat fossa yang jelas antara
clavicula dan costa II. Gerakkan jari ke arah medial menuju incisura sternalis dan jari
akan terhambat pada ujung medial clavicula. Ini adalah m. subclavius yang berjalan dari
costa I menuju permukaan inferior clavikula memberikan pola yang baik posisi costa I
dimana terletak vena subcalvia.
4. Letakkan jari telunjuk pada incisura sternalis dan ibu jari pada daerah pertemuan
antara clavicula dan costa I. Infiltrasi anestesi lokal (lidokain 1%) dengan jarum 25-gauge
2 cm lateral ibu jari dan 0,5 cm ke kaudal ke arah clavicula atau tepat di lateral dari
insersi m. subclavia costa I.
5. Vena berjalan di bawah clavicula menuju incisura sternalis. Gunakan jarum 18-
gauge yang halus dengan syringe 5 ml, masukkan jarum menusuk kulit dibagian lateral
ibu jari dan 0,5 cm di bawah clavikula yang dimaksud untuk membuat posisi khayal pada
bagian belakang incisura sternalis. Posisi jarum horizontal (paralel dengan lantai) untuk
mencegah pneumothoraks, dan bevel menghadap keatas atau ke arah kaki pasien untuk
mencegah kateter masuk ke arah leher. Aspirasi jarum lebih dulu, pertahankan jarum
secara cermat pada tepi bawah clavikula.
6. Jika tidak ada darah vena yang teraspirasi setelah penusukan sampai 5 cm tarik
pelan-pelan sambil diaspirasi jika masih belum ada juga ulangi sekali lagi, dan apabila
masih belum berhasil pindah ke arah kontralateral akan tetapi periksa foto thoraks dahulu
sebelum dilakukan untuk melihat adanya pneumothoraks
7. Bila darah teraspirasi maka posisi vena subclavia telah didapatkan dan kanula
atau jarum seldinger dipertahankan pada posisinya dengan mantap
8. Susupkan kawat, pasang kateter atau dilator dan kateter selanjutnya lepaskan
kawat
9. Lakukan dengan hati-hati untuk menghindari ikut masuknya udara untuk itu
sebaiknya ujung kateter tidak dibiarkan terbuka.
10. Cek bahwa aspirasi darah bebas melalui kateter dan tetesan berjalan dengan
lancar.
11. Kontrol letak kateter dengan foto thoraks.
Posisi
Pasien diposisikan dengan posisi supine dan tredelenberg, kepala pasien diposisikan lebih
rendah 150 dan 450ke arah kontralateral pada tem- pat penusukan.1,2,3,4,5,7
Prosedur1,2,3,4,5,7,9
1. Jelaskan kepada penderita tentang prosedur yang akan dilakukan.
2. Bersihkan daerah leher pada sisi yang akan diinsersi.
3. Palingkan kepala pasien ke sisi sebelah kiri. (adanya duktus thoracalis di debelah kiri membuat
sisi sebelah kanan menjadi pilihan yang baik.
4. Bila pasien sadar dan bila diminta untuk mengangkat kepala, otot leher akan dengan mudah
ditentukan. M. sternomastoideus mempunyai dua caput, caput sternalis dan caput clavicularis.
Insersinya ke mastoid. Sebuah segitiga dibentuk oleh kedua caput dan apeks dari segitiga ini
adalah titik insersi untuk jarum. Bila pasien tidak sadar anatomi ini mungkin sangat sulit untuk
ditentukan. Pada situasi seperti ini arteri sebaiknya dipalpasi setinggi aspek bawah cartilago
thyroideus, karena vena terletak tepat dilateralnya.
5. Infiltrasi anestesi lokal ke dalam tempat ini.
6. Sebaiknya menggunakan syringe dengan jarung yang halus. Susupkan spoit-jarum pada apeks
segitiga tepat disebelah lateral perabaan pulsasi arteri carotis, selanjutnya arahkan sepanjang
garis yang ditarik antara titik insersi dan papilla mamma pada sisi yang sama. Aspirasi tatkala
jarum dimajukan, hati-hati agar tidak memasukkan sejumlah udara.
7. Bila darah diaspirasi, vena sudah ditemukan. Tindakan berikutnya dapat diulangi dengan
meyakinkan menggunakan jarum yang lebih besar atau kanula.
8. Gunakan teknik Seldinger, jarum ditempatkan dalam vena agar supaya darah dapat dengan
mudah diaspirasi.
9. Masukkan kawat.
10. Susupkan kateter atau dilator dan kateter selanjutnya lepaskan kawat.
11. Cek aspirasi darah perlahan-lahan, fluktuasi tekanan pernapasan dan posisi foto.
Posisi
Pasien diposisikan dengan posisi supine dan tredelenberg, kepala pasien diposisikan lebih
rendah 15 0 dan 450ke arah kontralateral pada tempat penusukan.1
Prosedur1
1. Tempatkan pasien dengan kepala lebih rendah dengan muka menghadap ke sisi sebelahnya.
2. Identifikasi letak vena jugularis eksterna dengan menekan bagian proksimalnya.
3. Bersihkan daerah penusukan dengan alkohol.
4. Operator memakai sarung tangan steril selanjutnya desinfeksi daerah penusukan seluas
mungkin. Pasang doek steril yang berlubang.
5. Setelah vena jugularis eksterna tampak tempat tusukan diinfiltrasi dengan obat anestesi lokal.
6. Jarum dihubungkan dengan spoit 10 cc kemudian jarum ditusukkan ke dalam vena sambil
mengaspirasi untuk melihat adanya darah di dalam spoit.
7. Kateter difiksasi dengan baik.
8. Kontrol foto thoraks.
Posisi
Supine1
Prosedur1
1. Bersihkan dan atur areal sesuai dengan prosedur pembedahan. Salah satu hal yang utama
dalam rute ini adalah adanya kemungkinan sepsis da- erah yang kotor dan teknik asepsis yang
cermat harus sangat hati-hati.
2. Lakukan palpasi pada arteri dan identifikasi ligamentum inguinalis.
3. Masukkan di medial pulsasi dan dorong secara perlahan sambil terus menerus mengaspirasi
melalui jarum sehingga segera darah terlihat begitu pembuluh darah dimasuki. Jika jarum
dimasukkan 45o ke dalam kulit akan lebih mudah mengitrodusir kawat.
4. Masukkan kawat ujung yang terurai terlebih dahulu, melalui jarum kedalam vena. Perhatikan
untuk tidak membiarkan pembuluh darah terbuka di udara karena sewaktu-waktu dapat terjadi
emboli udara.
5. Cabut jarum dan masukkan kateter di sebelah luar kawat.
6. Cabut kawat dan aspirasi darah melalui kateter untuk memastikan keberadaanya dalam
pembuluh darah.
7. Balut dengan pembalut steril.
8. Kontrol foto untuk mrngetahui letak kateter.
Posisi
Pasien diposisikan dengan posisi supine atau duduk dengan abduksi lengan kearah luar
kira-kira 450 dari axis tubuh.1
Prosedur1
1. Daerah antecubital dibersihkan dulu dari lemak dan kotoran tubuh dengan alkohol.
2. Operator memakai masker dan sarung tangan steril dan sebelumnya mencuci tangan seperti
sebelum melakukan pembedahan dengan larutan chlorheksidin atau povidon-iodine surgical
scrub.
3. Desinfeksi dilakukan dengan yodium-alkohol atau povidone-iodine selama 2 menit dan
dibiarkan kering, kemudian ditutup dengan doek lubang steril.
4. Tourniquet dipasang pada lengan atas dan dikencangkan secukupnya sehingga aliran vena
terhenti tanpa menutup aliran arteri.
5. Setelah vena basilika terlihat, tempat tusukan diinfiltrasi dengan obat anestesi lokal seperti
lidokain 2 %.
6. Jarum kateter ditusukkan kedalam vena sampai terasa menembus vena dan terlihat darah keluar.
Jika sudah diperkiranan kateter juga telah menembus vena, mandrein ditarik dan selanjutnya
kateter didorong masuk.
7. Tourniquet dilepas dan kateter dimasukkan dan selanjutnya didorong sampai mendekati ketiak
(15-20 cm).
8. Lengan penderita diabduksi sampai sejajar dengan bahu dan kepala penderita diletakkan dalam
posisi menoleh kearah lengan tersebut.
9. Sambil melihat monitor EKG (untuk melihat bila ada gangguan irama jantung) kateter didorong
terus sampai diperkiran masuk di vena cava superior. Bila tidak ada monitor EKG, irama jantung
dipantau dengan meraba nadi penderita oleh seorang pembantu. Bila ada aritmia supraventrikuler
atau aritmia ventrikuler berarti ujung kateter masuk ke dalam atrium atau ventrikel. Kateter
ditarik sedikit sampai aritmia hilang.
10. Stylet kateter CVP dicabut selanjutnya kateter dihubungkan dengan spoit 10 cc yang berisi
sedikit NaCl untuk mengaspirasi adanya darah keluar. Bila tidak ada darah keluar kateter ditarik
sampai pada aspirasi didapat darah. Bila darah tetap tidak keluar, kateter harus ditarik semua dan
prosedur pemasangan dimulai lagi dari awal.
11. Setelah aspirasi keluar darah, infus dipasang dan klem infus dibuka lebar (hati-hati jangan
sampai ada udara masuk), cairan harus dapat menetes dengan lancar. Tetesan infus selanjutnya
diatur secukupnya.
12. Dengan stylet diurutkan pada perjalanan kateter, maka posisi ujung kateter dapat diperkirakan
dan bila perlu ditarik untuk disesuaikan.
13. Tempat tusukan dapat diolesi salep povidon-iodine, sisa kateter dilingkarkan dan ditutup
dengan kasa steril dan selanjutnya difiksasi dengan plester lebar agar tidak mudah tercabut dan
kateter tidak bergerak keluar masuk.Ditulis tanggal dan jam pemasangan kateter pada plester
tersebut dan pada status penderita.
14. Diambil foto thorax untuk memastikan letak ujung kateter dan bila perlu dilakukan
penyesuaian. Ujung kateter diharapkan pada vena cava superior atau atrium setinggi ruang antar
iga II.
Keuntungan kateterisasi via antecubital2
1. Relatif mudah dilakukan. Terutama pada pemula.
2. Potensi kerusakan arteri atau saraf mudah diidentifikasi dan mudah dihindarkan.
3. Tidak ada bahaya terjadinya komplikasi di dada seperti pneumothoraks.
4. Merupakan pilihan bila ada gangguan pembekuan darah dan relatif mudah dikontrol bila ada
perdarahan.
Rapid pulse
Low or Ensure adequate circulating volume (as
Signs of infection
normal or Sepsis above) and consider inotropes or
Pyrexia
high vasoconstrictors
Vasodilation/constriction
Breathlessness
Third heart sound
Oxygen, diuretics, sit up, consider
High Pink frothy sputum Heart failure
inotropes
Oedema
Tender liver
*Fluid challenge. In hypotension associated with a CVP in the normal range give repeated
boluses of intravenous fluid (250 - 500mls). Observe the effect on CVP, blood pressure, pulse,
urine output and capillary refill. Repeat the challenges until the CVP shows a sustained rise
and/or the other cardiovascular parameters return towards normal. With severe blood loss,
blood transfusion will be required after colloid or crystalloid have been used in initial
resuscitation. Saline or Ringers lactate should be used for diarrhoea/bowel
obstruction/vomiting/burns etc.
VI.2. Karakteristik pasien
Kateterisasi jugularis interna mungkin sulit dilakukan pada pasien yang obes mengingat
penanda pada leher sulit ditemukan. Kateterisasi vena subklavia harus dihindari pada pasien
yang menderita hipoksemia berat karena komplikasi pneumothoraks sering terjadi dan kurang
bisa ditoleransi oleh pasien tersebut. Kateterisasi femoral harus dihindari pada pasien yang
menampakkan tanda-tanda infeksi pada regio inguinal karena insersi kateter femoral memiliki
resiko tinggi untuk menyebabkan infeksi. Jika kanulasi vena sentral dibutuhkan untuk resusitasi
pasien syok, akses vena femoral sebaiknya dipertimbangkan karena cepat dilakukan khususnya
bila kateterisasi vena subklavia dan jugularis interna sulit dilakukan. Setelah resusitasi kateter
dapat dipindahkan ketempat yang lebih tepat untuk pasien ini.7
Adapun pasien-pasien yang menggunakan ventilator sebelum dilakukan pemasangan
kateter sebaiknya sementara dilepas dahulu dari ven- tilator (Tekanan akhir ekspirasi yang
tinggi) mengingat bahaya untuk resiko terjadinya pneumothoraks.2,5
VI.3. Komplikasi Mekanik
Mayoritas komplikasi mekanik terjadi selama pemasangan kateter vena sentralis,
dimana infeksi dan komplikasi trombotik terjadi bersamaan, komplikasi mekanik yang paling
sering adalah punksi arteri, hematoma, pneumothoraks, dan gangguan syaraf. Resiko
keseluruhan komplikasi ini sama dengan kateterisasi pada vena jugularis interna, kateterisasi
vena subclavia. Dalam analisa yang berskala besar didapati resiko pneumothoraks sama dengan
keteterisasi jugularis interna dan subclavia. Komplikasi mekanik, khususnya punksi arteri dan
formasi hematoma, paling sering terjadi selama pemasangan kanula pada femoralis. Kebanyakan
punksi arteri dapat dikenali pada aspirasi darah warna merah cerah yang tampak pada syringe.
Penderita dengan hipoksemia atau hipotensi, dimana perubahan warna dan denyut melemah
kemungkinan wajar terjadi, hubungan terhadap kateter ke tekanan transduser dapat memperkuat
kanulasi vena. Penggunaan ultrasonic locating devices telah menunjukkan dapat mengurangi
frekwensi dari komplikasi mekanik pada pemasangan garis sentral.3,7,8,9
Penusukan arteri5
a. Pencegahan : 1. Penusukan jarum jangan sampai terlalu dalam
b. Penanganan : 1. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
2. Lakukan penekanan secara manual di daerah penusukan selam 5 menit
Pneumothoraks5
a. Pencegahan : 1. Lepaskan pasien dari ventilator sebelum melakukan penusukan
2. Pilih pasang kateter disebelah kanan dibanding yang sebelah kiri
3. Hindari penusukan yang berulang-ulang (Maksimal 2 kali)
b. Penanganan : 1. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
2. Jika terjadi tension pneumothoraks segera lakukan punksi dengan abbocath no.14-16
didaerah midclavicular intercostal 2 setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
Hematothoraks5
a. Pencegahan : 1. Lepaskan pasien dari ventilator sebelum melakukan penusukan
2. Pilih pasang kateter disebelah kanan dibanding yang sebelah kiri
3. Hindari penusukan yang berulang-ulang (Maksimal 2 kali)
b. Penanganan : 1. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
2. Jika terjadi tension pneumothoraks segera lakukan punksi dengan abbocath no.14-16
didaerah midclavicular intercostal 2 setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
Iatrogenik bilateral5
Pencegahan : Jika pemasangan keteter tidak berhasil maka selanjutnya usahakan percobaan
berikutnya pada pendekatan ipsilateral jugularis interna atau subclavia sebelum mencoba di
kontralateral vena subclavia.
Disritmia Kardiak5
a. Pencegahan : 1. Minta bantuan seseorang untuk melihat ke monitor EKG apakah ada
disritmia pada saat pemasangan kateter.
b. Penanganan : 1. Reposisikan kembali kateter; jika disritmia menetap maka terapi disritmia
sesuai protokol ACLS
2. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
VI.4. Komplikasi Infeksi
Tingkat suspek atau penguatan kateter, sehubungan dengan infeksi aliran darah
merupakan yang tertinggi untuk kateter femoralis dan terendah untuk subclavia. Uji klinis
menunjukkan rendahnya tingkat hubungan antara kateter dengan infeksi aliran darah dengan
penggunaan antimikroba dan pengisian kateter. Pengisian kateter dengan chlorhexidine,
sulfadiziane, minocycline, dan rifampisin paling sering digunakan.
Perkembangan mikroorganisme yang resisten pada pengunaan tipe kateter belum teruraikan.
Persiapan kulit dengan solusi chlorhexidine menuju ke solusi iodine kemungkinan lebih manjur
dalam mencegah infeksi penggunaan rutin antibiotik prophylactic untuk penempatan garis tidak
dapat dibenarkan menyangkut proliferasi antibiotik pada mikroorganisme yang resisten.
Meskipun tindakan pencegahan, kateter yang berhubungan dengan infeksi masih terjadi. Jika
kateter, yang berhubungan dengan infeksi tergolong suspek, sampel darah untuk kultur harus
digambarkan untuk mengukur jumlah bakteri.
Tanda atau gejala sitematik dari sepsis merupakan indikasi empiris untuk terapi antibiotik
pada perawatan infeksi yang disebabkan oleh staphylococcus epidermidis atau S. aureus. Ulasan
gram- negative harus termasuk dalam imunitas penderita neutroperia. Sekali terapi antibiotik
dimulai, kateter dapat diganti. Penderita dengan syok septik dan tanpa etiologi infeksi lain,
kateter harus dipindahkan dan ditempatkan di bagian lain. Jika kultur dari ujung kateter telah
positif diganti dengan kawat, kemudian kateter harus ditarik dan bagian lain diganti yang baru.
Jika ujung kateter negative, lebih mudah terjadi infeksi.3,7,8,9
VI.8. Perawatan
Pemeliharaan yang baik dari kateter vena centralis dan penempatan sisi mungkin
memperkecil resiko dari kateter sehubungan dengan komplikasi. Aplikasi rutin dari antibiotik
topikal belum terbukti dalam mengurangi tingkat infeksi aliran darah dan dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri resisten dan jamur.
Sekarang ini, tidak ada fakta-fakta yang kuat mengenai penggunaan kasa atau jas steriil, atau
rekomendasi yang dibuat berkenaan frekwensi penggantian pakaian secara rutin. Bagaimanapun
juga, pemeriksaan visual secara rutin untuk eritema atau pus, dan palpasi harus menjadi
perawatan standar untuk kateter yang tidak tertinggal. Pusat kateter merupakan sumber infeksi
yang paling sering. Pusat kateter ini harus diganti secara rutin, setidaknya setiap tiga hari, untuk
mengurangi insiden infeksi. Resiko infeksi menjadi banyak sekali setelah lima sampai tujuh hari
setelah kateterisasi. Bagaimanapun percobaan penggantian rutin kateter menjadi kawat belum
menunjukkan pengurangan dalam infeksi sehubungan dengan kateter, sementara penempatan
kateter pada bagian lain memberikan hasil yaitu peningkatan jumlah komplikasi mekanik.
Kateter harus dipindahkan sebelum lebih lama lagi untuk infeksi yang dapat meningkat sewaktu-
waktu.3,7
REFERENSI
1. Chen H. M.D., Christopher J.S. M.D., Venous And Arterial access. In : Manual Of Common
Bedside Surgical Procedures, 2nd Edition. Halsted Residents Of The Johns Hopkins
Hospital,Lippincott Williams & Wilkins, 2000, pp.36-57
2. Sanjiv J.Shah,M.D., Carolyn S. Calfee,M.D. High Flow Infusion Technique. In : Clinical
Procedures In Emergency Medicine, 3rd Edition. Philadelphia, WB Saunders,1998, pp. 352
3. Wolf Scott W.,M.D. Intravenous Access In Adults. In : Perioperative Fluid Therapy, Part III,
Departement Of Anesthesiology University Of Texas Medical Branch Of Galveston Texas,
USA, 2006, pp. 102-5
4. Singer M. M.D.,Webb A.R. M.D., Central Venous Catheter-Use. In: Critical Care 2 nd Edition,
Oxford Handbook, Departement Of Intensive Care University College London Hospitals,2005,
pp. 114-7
5. Caroline ozment, M.D.,et all. Central Venous Line Placement,Subclavian
Venipuncture,Infraclavicular Approach, Reviw Article Of Intensive Care Medicine, 2003
6. Komisi Trauma ATLS Pusat. Pemantauan Tekanan Vena Sentral. Pada: Buku ATLS Edisi
American College Of Surgeons Committee On Trauma,2007. Hal: 111-2
7. David C.McGee,M.D., Michael K. Gould,M.D., Preventing Complications Of Central Venous
Catheterization. In : Current Concepts Review Article Of New England Journal Of
Medicine,2003.pp. 1123-33
8. Roberto E.Rusminosky, M.D.,MPH,FACS, Complications Of Central Venous Catheterization,
Departement Of Surgery West Virginia University, 2007, pp: 681-9
9. Alan S. Graham,M.D.,et all, Central Venous Catheterization. In : Clinical Medicine, The New
England Journal Of Medicine,2007
10. Lewis A.Eisen, et all, Mechanical Complication Of Central Venous Catheters. In: Journal Of
Intensive Care Medicine,2006. pp: 40-6
11. William T. Mc.Gee. Central Venous Catheterization:Better & Worse. In : Journal Of Intensive
Care Medicine, 2006, pp: 51-2
12. Seong Hoon Ko, et all. Massive Thrombosis After Central Venous Catheterization.In a Patient
With Previously Undiagnosed Bechet’s Disease. In : Journal Korean Medicine,2001. Pp: 814-6
13. Hocking G. M.D. Central Venous Access and Monitoriing. In : Article of Practical Procedures,
Frimley Park Hospital, Portsmouth Road,2000.
Terapi Oksigen
PENDAHULUAN
Peranan oksigen dan nutrient dalam metabolisme memproduksi energi utama
untuk berlangsungnya kehidupan sangat bergantung pada fungsi paru yang menghantarkan
oksigen sampai berdifusi lewat alveoli kekapiler dan fungsi sirkulasi sebagai transporter
oksigen kejaringan.Disamping sebagai bahan bakar pembentukan energi oksigen dapat juga
dipakai sebagai terapi berbagai kondisi tertentu.
Peran oksigen sebagai obat maka pemberian oksigen juga punya indikasi, dosis, cara
pemberian dan efek samping yang berbahaya.
Untuk aman dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan sirkulasi dan sifat
sifat oksigen itu sendiri.
FUNGSI RESPIRASI
Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow
dn diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis. Dengan perkataan lain adanya
keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi.
Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar kedalam paru untuk ditukar pada
membran alveolo kapiler. Prinsip pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana
gas akan bergerak dari tekanan tinggi ketekanan rendah.
Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika inspirasi
spontan dimulai akan terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis eksterna akibatnya
rongga dada berkembang maka tekanan intrapulmoner jadi negatif sehingga udara masuk
kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang membutuhkan energi dimana diafragma
bertanggung jawab 60% udara ventilasi waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang ekspirasi
merupakan proses passif oleh karena elastisitas jaringan paru.
Transport Oksigen
Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari udara luar ke
sel mitokondria. Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan terlarut
dalam plasma.
Setiap 100 cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o cc, dimana
hanya 3% yang dibawa terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh Hb terutama oleh ion Fe dari
unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4 molekul oksigen untuk membentuk
oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat reversible. Setiap eritrosit mempunyai 280 juta
molekul Hb, dimana setiap molekul Hb mempunyai 4 unit heme. Setiap eitrosit dapat membawa
miliaran molekul oksigen.
Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi hemoglobin
(SaO2). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen artinya saturasinya 100%.
Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan Hb.
Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh rantai
polipeptide dimana tiap rantai mengandung kelompok heme yang mengandung Fe membawa
satu molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap molekul dapat mengikat 4 molekul
oksigen. Kapasitas Hb membawa oksigen setiap gram Hb dapat mengikat 1,34 cc oksigen, maka
menurut persamaan :
Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru oksigen berikatan dengan Hb, bila PaO2 rendah
seperti dalam kapiler jaringan oksigen dilepas dari Hb.
Fungsi utama sistem respirasi adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2 dalam darah
arteri sedekat mungkin kenormal,dalam keadaan tertentu.
Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan cara lain
hanya bisa menilai tidak adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin adekuatnya
fungsi respirasi.
Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas harus diketahui affinitas oksigen
untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika eritrosit melalui kapiler alveoli;
oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan PaO2 dan berikatan dengan Hb.
Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2, dimana kita
dapat mengetahui sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2 mempengaruhi SaO2 secara
bermakna, semakin besar saturasi semakin baik mutu Hb, semakin besar volume O2 yang dapat
diangkut oleh darah kejaringan.
Menurut rumus :
g HbO2
SaO2 = ----------- x 100 %
Hb total
g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb
Volume persen O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 x total Hb x 1,34.
Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml O2.
Deliveri O2 = CaO2 x CO x10
CaO2 (oxygen content dalam darah arteri) = (SaO2 xHbx1,34) + (PaO2x0,031).
CO (cardiac output) = SV(stroke volume ) x HR (heart rate).
Dikalikan 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2 per 100 cc darah.
Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar DO2
terpenuhi.
Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve berbantuk S
disebut kurve disosiasi oxyhaemoglobine.
Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97% dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%.
PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan partiel tersebut Hb mengikat O2 hanya 50%,
bila P50 diatas 27 mmHg maka artinya diperlukan PaO2 yang lebih tinggi untuk mengikat O2
dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi
sulit melepaskannya kejaringan.
Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada kurva
disosiasi oksihemoglobin. Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah :
TERAPI OKSIGEN
Tujuan : Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.sehingga metabolisme intra
sellular berjalan lancar untuk memproduksi fosfat bernergi tinggi sebagai motor kehidupan
disamping untuk terapi beberapa keadaan tertentu.
Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus dikoreksi latar
belakang penyebab terjadi gangguan oksigenasi mulai dari sumber oksigen,ventilasi,diffusi
perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima oksigen.
Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara rendahnya
kadar oksigen dijaringan disebut hipoksia.
Secara praktis hipoksia dengan sebab apapun dibagi atas :
1. Hipoksi hipoksemia: Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2
dalam darah akibat gangguan mulai ventilasi, distribusi dan diffusi dalam paru. Ventilasi
bisa berupa obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi
karena odem atau penebalan dinding alveoli.
2. Hipoksi anemia : Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun
oksigenasi baik, Transfusi adalah jalan keluarnya.
3. Hipoksia stagnasi : Terlambatnya aliran darah karena viskositas meningkat,
obstruksi, syok stadium lanjut.
4. Hipoksia histotoksik : Kerusakan dijaringan/sel tidak mampu lagi menggunakan
O2 yang dihantarkan pada keracunan atau sepsis yang berat
Indikasi :
1. Gagal nafas akut dibutuhkan pembebasan jalan nafas dan nafas bantu.
2. Syok oleh berbagai kausa dimana terjadi gangguan perfusi jaringan.
3. Infarct myocard acute dimana tidak seimbang oksigen demand dengan oksigen
supply.
4. Dalam kondisi metabolisme rate tinggi( tirotokikosis, sepsis,hipertermia).dimana
kebutuhanoksigen meningkat.
5. Keracunan gas CO (karbon monoksida) dimana affinitasnya terhadap Hb tinggi.
6. Preoksigenasi menjelang anestesi.mencegah hipoksia dan hiperkarbia
7. Penderita tak sadar untuk memperbaiki oksigenasi diotak.
8. Untuk mengatasi keadaan seperti empisema paska bedah, pneumotorak, emboli
udara pemberian oksigen mampu mengusir gas nitrogen yang menumpuk dalam rongga
tubuh.
9. Asidosis apakah respiratorik maupun metabolik dimana terjadi metabolisme
anaerob.
10. Anemia berat, jumlah Hb maupun kualitas Hb yang kurang dalam transport
oksigen.
Pemberian oksigen untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas akut sesuai dengan
ketentuan sebagai berikut.
Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal.
Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui kanul
binasal.
Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang dapat memberi
oksigen 100 %
Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri oksigen <50% , awasi ketat.
Atur kadar oksigen berdasarkan PaO2 atau SaO2 kalau ada fasilitas BGA.
Dalam keadaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri 100% O2.
Persiapan alat :
1. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral, siap pakai.
2. Tabung pelembab ((humidifier).
3. Pengukur aliran oksigen (flow meter).
4. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai
Metode pemberian oksigen :
A. Sistem aliran rendah:
1. Aliran rendah konsentrasi rendah (low flow low concentration)
Kateter nasal atau binasal
2. Aliran rendah konsentrasi tinggi (low flow high concentration).
Sungkup muka sederhana (simple mask); konsentrasi O2 yang masuk tergantung
pada pola nafas dan kecepatan aliran O2.
Sungkup muka kantong rebreating;dilengkapi dengan kantong yang menampung
aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan udara nafas tanpa valve sehingga
terjadi rebreathing.
Sungkup muka kantong non rebreating, dilengkapi dengan expiratory valve (katup
ekspirasi), sehinggan tidak rebreathing.
Kerugian :
Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat tali binasal. FiO2 akan
berkurang bila pasien bernafas dengan mulut.
Sungkup venturi
Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan pasien dipakai pada pasien
dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi dan hipoksemia sedang samapi berat.
Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang kita berikan dengan cara
apapun dan berapa besar kebutuhan pasien.
RINGKASAN
Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang terjadinya
hipoksia dan didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi, sirkulasi dan sifat dari
oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai terapi haruslah dianggap sebagai obat dalam penggunaanya
harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan cara mencegah/mengatasi efek
sampingnya. Dalam pemberian oksigen dosis tinggi jangan lupa pantau PaO2.
Dasar Dasar Ventilasi Mekanik
PENDAHULUAN
Tahun 1934 tuan Guedel buat pertama kalinya memperkenalkan nafas terkendali (control
respirasi) dalam dunia anestesi.
Problema pneumothorak pada kasus-kasus thoracotomi yang berpuluh tahun menjadi momok
bagi ahli bedah dan anestesi kini dapat diatasi dengan pernafasan terkendali.
Lebih luas lagi penggunaan pernafasan terkendali dalam menciptakan kondisi operasi yang
optimal, bersamaan dengan penggunaan obat-obat pelemas otot sangat banyak membantu ahli
bedah dan anestesi memperpendek masa operasi, penghematan penggunaan darah dan obat-obat
anestesi serta cepatnya masa pemulihan. Kemudian lebih dikembangkan lagi dalam mencegah
atau mengatasi kegagalan pernafasan dengan penggunaan alat mekanis (ventilator) di unit
perawatan intensif. Demikian banyaknya manfaat yang diberikannya namun tak sedikit juga
masalah yang ditimbulkannya.
KRITERIA PONTOPPIDAN
Close Monitoring, Intubation
Criteria Normal Oxygen Physical Tx Ventilation
Trakeostomi
Mechanics :
Respiratory rate/Min 12 -25 25 – 35 >35, <10
Vital capacity ml/kg 70 – 30 30 – 15 < 15
Inspiratory force cmH2o 100 - 50 50 – 25 < 25
Oksigenation :
A – a DO2 mmHg 50 – 200 200 – 350 > 350
PaO2 mmHg 100 – 75 200 – 70 < 70
(air) (mask O2) (mask O2)
Ventilation :
VD/VT 0,3 – 0,4 0,4 – 0,6 > 0,6
PaCO2 mmHg 35 – 45 45 – 60 > 60
VENTILATOR
Alat untuk memberikan ventilasi buatan secara mekanis.
Ada 2 macam :
a. Ventilator tekanan negatif.
Ventilator ini membuat tekanan negatif (tekanan < 1 atmosfer) di sekeliling tubuh sehingga dada
akan mengembang akibatnya tekanan intrathorakal dan alveolar turun dan udara luar masuk
keparu.
Contoh : Cabinet ventilator, kepala asien saja diluar ventilator.
Cuirass ventilator , hanya dada dan abdomen saja didalam ventilator.
Kebutuhan pokok suatu ventilator adalah mampu memberikan tidal volume yang stabil, dalam
menghadapi hambatan trehadap pengembangan paru ,harus mampu memberikan tidal volime
dengan flow yang adekuat mempertahanlkan minute ventilation dengan perbandingan masa
inspirasi dan expirasi minimal 1:1 dalam adanya resistensi yang tinggi terhadap inflasi paru.
BEBERAPA PENGERTIAN
Untuk mempermudah pengertian dalam membicarakan ventilasi mekanik beberapa istilah mutlak
harus diketahui.
Respiratory cycle : Cyclus saat mulai inspirasi sampai kembali mulai inspirasi.,terdiri dari 2
fase:
1. Fase inspirasi (inflasi).
2. Fase expirasi (exhalasi) trediri dari:
Fase deflasi
Peak pressure : Tekanan maksimum yang dicapai pada jalan nafas pasien selama
berlangsungnya ventilasi mekanik. Durasi peak pressure menetukan bentuk gelombang tekanan
positif. Bisa saja respiratory cycle dan besarnya peak pressure sama tapi durasi peak pressure
beda. Beberapa ventilator bentuk gelonmbang tekanan positif bisa diatur. Ada bentuk segitiga
,dome dan trapezium. Ini penting untuk pengembangan atelectase baik dipilih bentuk
trapezium, sementara bentuk segi tiga dipakai untuk kondisi hipovolemik.
Peak inspiratory flow rate : Kecepatan aliran gas maksimum yang diberikan selama inspirasi
agar tidal volume yang cukup tercapai. Besarnya yang diberikan tergantung pada masa inspirasi
dan besarnya tidal volume yang diinginkan.Pada tidal volume yang konstant besarnya inspiratory
flow rate yang menetukan panjang pendeknya masa inspirasi. Jadi inspirasi expirasi ratio
ditentukan oleh inspiratory flow rate,frekuensi nafas & tidal volume. Kita inginkan I:E ratio 1:2
sedangkan frekuensi nafas 15 x/menit, sedang tidal volume diinginkan 800 cc, maka inspiratory
flow rate bisa ditentukan :
Respiratory cycle = 60/15 detik = 4 detik.
Inspiratory time = 1/3 x 4 detik= 4/3 detik.
Ins,flow rate = 800: 4/3 cc/detik
= 800x 4/3 x60 cc / menit.= 36 L /menit.
Pada orang normal, sadar, peak insp, flow rate kira-kira 30 - 40 L / menit (4 –6 x minute
ventilation).
Controled ventilation: Pernafasan pasien diambil alih seluruhnya oleh ventilator dimana pasien
apnoe.
Assisted ventilation/ compensated ventilation: Pasien bernafas spontan tapi tidal volume tak
ade- kuat,dibantu dengan ventilasi agar tidal volume adekuat. Dalam hal ini sebagian nafas
pasien dikendalikan ventilator ,usaha inspirasi pasien membuattekanan subatsmosferik pada jalan
nafas mentriger respirator / ventilator agar memberikan ventilasi kepada pasien. Bila frekuensi
nafas pasien > 30x / menit,maka inspirasi pasien tak cukup membuat tekanan negatif untuk
mentriger ventilator .maka dengan kondisi seperti ini cara assisted tak ideal.
Disebut PEEP optimal yaitu pada tekanan berapa tercapai PaO2 maksimal tetapi
dengan gangguan circulasi yang minimal.,diperkirakan PEEP sebesar 5 cm H2O mampu
menaikkan PaO2 sebesar 60 mm Hg. Harus diingat penggunaan PEEP justru akan lebih
mengganggu circulasi ketimbang IPPV karena selama resoiratory cycle tekanan tetap positif
dalam thorak. Tetapi untungnya tidak seluruh tekanan positif pada PEEP tersebut ditransmisi
kestruktur intra thorak apalagi kondisi paru dengan compliance yang rendah.
Bila ada perdarahan, shock ataupun obstruksi jalan nafas boleh dikatakan pemakaian PEEP tak
ada respons dalam memperbaiki hipoksemia / intrapulmonary shunting.
Penggunaan PEEP pada pernafasan spontan disebut Continous Positive Pressure Breathing
(CPPB) atau Continous Positive Airway Pressure (CPAP).dimana selama pernafasan
spontan diberi ekanan positif baik selama inspirasi maupun akhir expirasi.Sebaiknya
penggunaan PEEP atau CPAP hati2 pda keadaan hipovolemi,maupun cardiac output menurun
tau meningginya tekanan intrakranial (ICP). Pemberiaqn tekanan negatif pada waktu expirasi
seperti IPNPV atau NEEP,diharapkan mampumengurangi effek tekanan positif pada venous
return terutam pada pasien shock hipovolemik, tetapi sebaiknya diperbaiki dengan blood volume
expander dulu sementara NEEP atau IPNPV diberikan.Jangan lupa IPNPV maupun NEEP bisa
menimbulkan atelectase/airway collaps untuk itu hanya digunakan kalau darurat
saja.Penggunaan EIP pada dasarnya agar terjamin distribusi ventilasi yang merata tetapi effek
gangguan circulasi menonjol.
SIGH : Adalah periodik hiperinflasi (extra large tidal volume). Secara periodik diberi tidal
volume yang besarnya 2-3x normal tidal volume,untuk meningkatkan compliance paru
mencegah mikro atelektasis yang mungkin timbul pada pasein yang diberi normal tidal volume
terus menerus.Tetapi bila diberi tidal volume 12-15 cc/Kg BB ideal, dengan frekuensi pernfasan
10-12 x permenit ,sigh system tak diperlukan hanya sering bahaya alkalosis. Beberapa ventilator
seperti Bear dilengkapi sarana sigh, biasanya daitur sigh voluime 2-3x tidal volume
biasa,sementara frekuensinya 3-5 x per jam.
Status Ventilasi
Parameter PaCO2
Perubahan mode
CMV - ACV - SIMV - PS/VS - CPAP - weaning
Hipovolemia
Maka :
Dari (1) & (3) perbedaan tekanan
antara mulut &alveoli konstant = 0,5 x 6 = 3 cmH2O (5)
Dan dari ( 1 ) & (4) pertambahan
volume alveoli adalah = 0,5 x 1 = 0,5 l (6)
Dengan demikian dari (2) & (6)
tekanan dalam alveoli pada akhir
periode adalah = 0,5/0,05 = 10 cmH2O (7)
Dan dari (1) & (3) tekanan pada
mulut pada permulaan inflasi oleh
karena airway resistance adalah = 3 cmN2O (8).
dan dari (7) & (8) ,tekanan pada
muiut tepat sebelum akhir inflasi
oleh sebab airway resistance dan
tekanan alveoli adalah = ( 10 + 3 ) cmH2O
= 13 cmH2O.
b.Tamponade jantun
Selama fase inspirasi pada respirasi terkontrol jantung tertekan diantara paru yang mengembang
dengan tekanan positif sehingga cardiac output terganggu. Sedangkan pada pernafasan spontan
pengaruh ini sangat sedikit oleh sebab tekanan intrapleural sangat rendah. Makin tinggi tekanan
positif makin panjang fase inspirasi (makin besar I:E ratio) makin besar cardiac tamponade.
Tetesan infus sering terlihat melambat ketika tekanan intra thorak meninggi selama
inspirasi/inflasi. Bila kita gunakan CVP tak hanya tekanan vena meningkat tetapi juga fluktuasi
akibat variasi tekanan intra thorak akan terlihat.
d. Cerebral Vasokonstriksi
Overventilasi bisa menyebabkan cerebral vasokonstriksi dan bagaimana mekanismenya belum
begitu di mengerti, tetapi masalahnya karena penurunan PaCO2 dibuktikan oleh Ketty & Smith
1946.
e.Yang lain-lain
Bila dilakukan respirasi terkontrol tanpa pipa tracheal bisa menyebabkan: Masuknya sebagian
gas keperut tetapi dengan tekanan sampai 15 cmH2O jarang menyebabkan distensi perut. Ruptur
membran timpani pernah dilaporkan selama respirasi terkontrol.
CHECKLIST TO IDENTIFY CANDIDATES FOR A TRIAL OF SPONTANEOUS
BREATHING
Respiratory Criteria :
PaO2 ≥ 60 mmHg on FiO2 < 40 – 50 % and PEEP ≤ 5 – 8 cmH2O
PaO2 normal or baseline
Patient is able to initiate an inspiratory effort
Cardiovascular Criteria :
≤
Blood presure normal without vasopressor or with minimum
vasopressor support (e.g, dopamine < 5 ug/kg/min)
REFERENSI
Mati Otak (Brain Death)
PENDAHULUAN
Otak orang dewasa yang beratnya 2% dari berat badan,dilayani sirkulasi darah 15% dari kardiak
output dan membutuhkan oksigen 20% dari konsumsi oksigen seluruh tubuh atau lebih kurang
3,3 ml O2 /100 gram otak menit yang dikenal dengan istilah laju metabolik otak untuk
O2(CMRO2) dimana (55-60)% nya digunakan untuk mempertahankan intergritas seratus
milyard neuron otak berupa homeostasis, mempertahankan perbedaan ion,stabilitas
membran,aktifitas mitokondria dan pengeluaran CO2,sementara (40-45)% nya digunakan untuk
fungsi neuron berupa pembentukan dan penghantaran impuls. Tergantung pada aliran darah
otak(CBF),oksigen dan glukose.
Sumber energi otak sebagian besar diperoleh dari glukose sedangkan sumber yang lain ialah
hidroksi butirat dan aceto asetat.Ketidak mampuan perfusi otak karena penurunan CBF dibawah
kritis untuk memenuhi pasokan oksigen dan nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan
intregritas metabolisme dan fungsi neuron yang merupakan dasar kerusakan otak yang dikenal
dengan iskemia cerebri dengan konsekwensi mulai dari transsient ischemic attack( TIA) sampai
terjadi mati otak.
Penurunan CMRO2 sampai 2,0 cc/100 gram otak/menit berakibat koma sedangkan penurunan
CMRO2 sampai dibawah sepertiga normal bisa menyebabkan brain stem death (mati batang
otak).
Yang termasuk batang otak adalah medulla oblongata,pons,thalanus,hipothalamus,retikular
aktivating system,basal ganglia,limbik system tetapi yang utama adalah medulla oblongata dan
pons dimana terletak pusat pernafasan dan sirkulasi, kesadaran dan nukeus syaraf kranial.
Koma dengan sebab yang ditetapkan, dan tidak adanya induced hipotermia, dan obat-obat
yang bersifat depressant. Jika ada indikasi pemeriksaan ethanol darah,dan toksikologi harus
dilakukan dan temperatur tubuh juga dicatat.
Tidak dijumpai gerakan otot spontan,tanda-tanda sikap abnormal
(decerebrasi&decorticasi) atau menggigil dalam keadaan tanpa muscle relaxant (pelemas otot)
atau obat sedatif.
Cranial reflexes & responses:(minimal lima reflex negatif).
1. Tak ada respons reflex cahaya pupil.ini disamarkan oleh obat
antikolenergik.
2. Tak ada cornea reflex.
3. Tak ada respons terhadap stimulus sakit yang hebat seperti tekanan pada
supra orbital.
4. Tak ada respons terhadap stimulus jalan nafas bagian atas dan bawah
umpama pharyngeal atau penghisapan endotracheal.
5. Tak ada respons okular bila telinga diirigasi dengn 50 cc air es (tak ada
gerakan mata) (reflexoculovestibular). Hal ini bisa disamarkan oleh obat
ototoksik,penekan vestibular.
6. Tak ada gerakan bola mata bila kepala diputar (reflex oculocephalic).
Tak ada gerakan nafas spontan selama tiga menit bila ventilator dilepas dan PaCO2 > 50
Torr pada Akhir test apnoe dalam hal ini tanpa pelemas otot, tak dilakukan bila ICP tinggi. Jika
pada riwayat penyakit pasien mempunyai ketergantungan pada stimulus hipoksia untuk
pernafasan umpama pada penderita COPD(chronic obstructive pulmonary diseases) maka PaO2
pada akhir test harus < 50 Torr. Jadi dicatat PaO2 dan PaCO2 pada akhir test apnoe.
Test apnoe :
Test ini diulang dengan selang waktu 25- 40 menit. Untuk mencegah kesalahan pengamatan.
Gambaran EEG yang isoelektris. Dengan minimal tehnik pencatatan yang telah
ditetapkan bisa terjadi atas pengaruh sedatif encepfalitis,trauma otak atau anoksia atau
hipotermia yang dalam.
Kegagalan menaikkan heart rate (kecepatan denyut jantung) dengan pemberian 1-2
miligram. Sulfas atropin intra vena setelah lima menit atau kenaikan tak lebih 5 x/ menit
Penetapan diagmosis MBO perlu untuk menentukan sikap kita dalam mempertahankan atau
mengakhiri tindakan resusitasi gawat darurat.
Bila diagnose MBO sudah pasti maka pasien dinyatakan meninggal dengan sertifikat kematian.
Walau jantung masih berdenyut, tidak diperlukan persetujuan keluarga untuk membuat
sertifikasi kematian. Tetapi bila pasien telah menyatakan dirinya sebagai donor organ sebelum
kematiannya maka setelah onset braindeath resusitasi terus dilakukan sampai organ tubuh pasien
dikeluarkan untuk mempertahankan keawetan organ, tetapi kontra indikasi bila dijumpai
beberapa keadaan tertentu dibahas dalam management resusitasi untuk transplantasi organ.
Setelah MBO cardiac death (mati jantung) sekunder biasanya terjadi setelah 72 jam sejak MBO
tetapi kadang kadang walau jarang bisa sampai satu bulan.ini karena merupakan efektor autonom
yang bekerja tanpa pengaruh syaraf pusat dalam waktu terbatas.
Sikap kita ventilator dihentikan biarkan saja sampai circulasi berhenti sendiri.
Mati jantung adalah henti jantung yang irreversible dimana EKG isoelektris selama minimal 30
menit, (intractable electric asystole) walaupun terapi CPR telah optimal. Tidak ada pulsasi tetapi
ada EKG complex (mechanical asystole tanpa electric asistole) bukanlah tanda irreversibelity
cardiac.
Selama aktifitas EKG berlangsung kita harus bersikap bahwa masih ada waktu untuk
memulihkan circulasi spontan. Sebenarnya aktifitas EKG bisa berlangsung setelah beberapa
menit terjadi henti jantung tanpa resusitasi atau berjam-jam selama CPR dilakukan.
Selama CPR dengan dada tertutup tanpa monitoring EKG tak bisa dibuktikan adanya henti
jantung yang irreversible oleh karena ventrikel fibrilasi mungkin ada dan ventrikel fibrilasi selalu
mungkin reversible. Ada beberapa kasus ventrikel fibrilasi setelah CPR berjam-jam disertai
defibrilasi pulih kembali kesadarannya.
Bila telah dilakukan CPR ditemukan sirkulasi spontan,reaksi pupil positif ,respirasi spontan,
gerakan spontan ini menunjukkan adanya oksigenasi serebral.
Bila pupil tetap dilatasi tanpa reaksi,tanpa respirasi spontan selama 1-2 jam,walaupun sirkulasi
spontan sudah dicapai, ini menunjukkan kerusakan otak yang hebat walaupun tidak selalu
disertai mati batang otak.
Perlu diketahui pupil dilatasi /fixed bisa dijumpai diluar mati otak yaitu kontussio
serebri,perdarahan intra kranial,pemberian katekolamin waktu resusitasi atau overdosis obat-obat
hipnotik.
Secara kasar pasien yang sadar dalam waktu sepuluh menit sesudah sirkulasi spontan akan pulih
kembali dengan fungsi otak yang normal,tetapi setelah 6-12 jam sejak sirkulasi spontan
dilakukan penekanan yang kuat pada sudut mandibula, tanpa respons nyeri, tanpa Doll eyes,
biasanya pasien akan menderita kerusakan otak yang permanent (Bates).
Bila fasilitas EEG,monitor gas darah tak ada maka angiografi karotid yang menunjukkan tidak
ada flow intrakranial alternatif yang dapat diterima sebagai bukti adanya MBO.
Pada tahun 1988 IDI mengeluarkan pernyataan berkaitan kapan seorang dinyatakan mati.
Bila pernafasan spontan dan jantung telah pasti berhenti,setelah dilakukan CPR optimal.
Bila telah dipastikan terjadi MBO, tetapi pada CPR darurat dimana tidak mungkin
menentukan MBO maka seorang dapat dinyatakan mati bila :
1. Ditemukan tanda-tanda mati jantung.
2. Setelah dimulai CPR pasien tetap tidak sadar, tidak muncul nafas spontan reflex
muntah negatf serta pupil tetap dilatasi. Selama lebih 30 menit kecuali pasien hipotermik
atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.
Check list untuk diagnose klinis dari brain death menurut Medical Center of Pittsburgh
University dalam menerbitkan sertifikasi kematian :
I. Tidak adanya cofounding factors
Tekanan darah sistolik > 90 mmHg tanpa vaso pressor dan perfusi perifer adekuat.
Suhu tubuh > 32 derajat C dibawah 32 C EEG bisa isoelektris.
Tanpa obat mendepressi CNS (anestetik,narkotik,sedatif,alkohol). Kadar sedatif tidak
lebih besar dari subterapetik, kadar alkohol tak >= 100 mg %. Bila curiga lakukan test
toksikologi. Tak menggunakan pelemas otot, bisa membuat apnoe atau gerakan(-).
Tidak ada uremia,meningo ensefalopati,hepato ensefalopati atau metaboilik ensefalopati
bila ada harus diambil EEG untuk menentukan brain death.
III .Test untuk mengkonfirmasi diagnose brain death (Confirmatory test) evaluasi fungsi
neuron atau sirkulasi darah intra kranial.
EEG adanya elektro serebral silence, lebih dari 30 menit. Test ini dilakukan bila ada
encefalopati, penyebab koma tidak tahu atau global iskemia sudah berlangsung 24 jam atau
paling sedikit satu pemeriksaan tidak dilakukan atau test apnoe tidak bisa dilakukan takut terjadi
henti jantung.
Cerebral arteriografi (4 pembuluh darah serebral) tidak dijumpai sirkulasi darah
intrakranial, test ini dilakukan. kalau pasien hipotermia berat, mendapat CNS depressant,
alkohol atau pelemas otot.
IV. Komentar : Semua hasil pemeriksaan telah memenuhi kriteria MBO walaupun
jantung masih berdenyut.
Sertifikasi kematian
Setelah mempertimbangkan hasil-hasil diatas dengan ini kami menyatakan kematian atas nama,
jenis kelamin, umur dan alamat, tanggal, jam, meninggal.
Ditanda-tangani oleh dua orang dokter. Langkah selanjutnya memberi tahu keluarganya akan
dihentikan bantuan hidup yang ujungnya sia-sia bukan berarti membiarkan mati.
Bila keluarga sudah menerima tentang kematian otak maka ventilator, monitor, infus di stop
dilakukan oleh petugas yang merawat, biarkan sampai jantung berhenti sendiri. Bila akan
dilakukan transplantasi organ minta persetujuan tertulis dari keluarga. Bila setuju maka teruskan
bantuan utama untuk mencegah injury organ.
Kontroversi MBO
Ada bukti-bukti menunjukkan residual neuron function yang bisa bertahan walaupun telah
dinyatakan semua kriteria telah dipenuhi untuk diagnose MBO.
Termasuk berlanjutnya produksi hormon hipofise/hipotalamus dan bertahannya suhu tubuh tetap
normal walaupun pada angiografi 4 pembuluh darah serebral tidak ada tanda-tanda sirkulasi
intrakranial.
Masih ada spontanous depolarisation bisa ditest dengan menempatkan elektrode lebih dalam
meskipun EEG cortex isoelectric silence.
Adanya enviromental responsiveness dibuktikan dengan naiknya tekanan darah dan kecepatan
denyut jantung sebagai respons pembedahan selama organ procurement diduga respons terhadap
stimulus komponen extra kranial dari ANS.
Namun hal ini bisa terjadi sebab definisi MBO adalah hilangnya permanent semua fungsi neuron
terpadu bukan kematian semua cell.
Ringkasan :Kriteria MBO yang digunakan sejak 1968 di Universitas Pittsburgh termasuk
ketiadaan total, aktivitas serebrum dan batang otak pada dua pemeriksaan klinis dengan interval
minimal dua jam,tanpa depresan CNS,pelumpuh otot dan hipotermi. Diantara dua pemeriksaan
klinis dilakukan perekaman EEG dengan atau tanpa stimulasi suara,dengan pembesaran dua
mikrovolt per mm menunjjukan rekaman isoelektrik selama minimal 30 menit.
Tidak terdapatnya pernafasan spontan selama 3 menit dimana PaCO2 harus >50 torr untuk
penderita COPD yang memerlukan hipoksia untuk pernafasan maka PaO2<50 torr untuk ini
perlu analisa gas darah.
Reflex dan respons saraf otak termasuk reflex pupil harus tak ada. Laju jantung tak boleh
meningkat selama pemberian atropin iv. Semua aktivitas batang otak tidak ada kecuali aktivitas
sumsum tulang karena neuron sumsum tulang belakang masih hidup setelah mati otak. Bila
fasilitas EEG atau BGA tidak ada, maka angiografi untuk memastikan tidak ada perfusi
intrakranial sebagai alternatif. Namun bila pemeriksaan laboratorium juga tak ada maka
pemeriksaan klinis saja mencukupi.
Persetujuan keluarga tidak perlu untuk sertifikasi mati otak dan dua dokter minimal menanda-
tangani sertifikat kematian pasien.
REFERENSI
Badai Tiroid
Sinonim
Thyroid Storm, Decompensated Hyperthyroidism, Krisis Tirotoksikosis
Pokok-Pokok Diagnosis
Hipertirodism yang sudah berlangsung lama, tidak terkontrol atau kontrol yang jelek.
Mekanisme termoregulasi tubuh rusak, menyebabkan hiperpireksia.
Perubahan status mental.
Penyakit atau kejadian pencetus, seperti : pembedahan tiroid, infeksi, trauma, masalah
abdomen akutum, atau anestesi.
Gejala dan tanda hipertiroidism berat.
Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid berisi folikel tiroid dengan sel epitel kuboid sederhana. Rongga folikel
dipertahankan oleh koloid. Sel folikel mensintesa tiroglobulin dan mensekresikannya ke dalam
koloid folikel. Tiap molekul tiroglobulin mengandung asam amino tirosin, blok pembentuk
hormon tiroid.
Pembentukan hormon tiroid melalui 3 tahap dasar sebagai berikut :
1. Ion Iodide diabsorpsi dari diet pada saluran pencernaan dan dihantarkan ke dalam
kelenjar tiroid melalui aliran darah. Protein karier pada membran basalis sel folikel
mentranspor ion iodide ke dalam sitoplasma. Sel folikel secara normal mempertahankan
konsentrasi Iodide intrasel beberapa kali lebih besar dibanding ekstrasel.
2. ) oleh enzim tiroid peroksidase. Di sini juga terjadi pembubuhan 1atau 2 ion
Iodide ke dalam molekul tirosin dari tiroglobulin.Ion Iodide berdifusi ke permukaan
apeks tiap sel folikel, diubah menjadi bentuk Iodide aktif (I +
3. Molekul tirosin yang telah terpasang ion Iodide berpasangan membentuk molekul
hormon tiroid yang tetap tergabung di dalam tiroglobulin. Hormon tiroksin atau
tetraiodotironin (T4) mengandung 4 ion iodide. Triiodotironin (T3) mengandung 3 ion
iodide. Tiap molekul tiroglobulin mengandung 4-8 molekul hormon T3 atau T4 atau
kedua-duanya.
Faktor utama yang mengontrol kecepatan pelepasan hormon tiroid adalah konsentrasi TSH di
dalam darah sirkulasi. TSH merangsang transpor iodide ke dalam sel folikel dan merangsang
produksi tiroglobulin dan tiroid peroksidase. Juga merangsang pelepasan hormon tiroid. Di
bawah pengaruh TSH terjadi tahap-tahap sebagai berikut :
1. Sel folikel melepaskan tiroglobulin dari folikel dengan cara endocitosis.
2. Enzim lisosom memecah protein, dan asam amino dan hormon tiroid memasuki
sitoplasma. Asam amino didaur ulang dan digunakan untuk mensintesa tiroglobulin.
3. Molekul T3 dan T4 yang dilepaskan berdifusi menyeberang membrana basalis
dan memasuki aliran darah. Kira-kira 90 % dari sekresi tiroid adalah T4. T3 disekresikan
dalam jumlah kecil dibanding T4.
4. Kurang lebih 75 % molekul T4 dan 70 % molekul T3 memasuki aliran darah
berikatan dengan protein transpor, disebut Thyroid-binding Globulins (TBGs).
0,3 % T3 sirkulasi dan 0,03 % dari T4 sirkulasi adalah bebas untuk berdifusi ke dalam jaringan
perifer.Terbanyak sisa T4 dan T3 dalam sirkulasi melekat pada transthyretin, disebut Thyroid-
binding prealbumin (TBPA), atau melekat pada albumin. Hanya dalam jumlah kecil Hormon
tiroid tinggal tak terikat,
TSH berperan penting dalam sintesa dan sekresi hormon tiroid. TRH merangsang sekresi TSH ,
dimana estrogen mempunyai efek positif, mempercepat respon TSH terhadap TRH. T4 dan T3
berperan penting dalam feedback negatif, inhibisi terhadap sekresi TSH.
Beberapa hormon yang lain termasuk kortisol (dan glukokortikoid yang lain), dopamin, dan
somatistatin menghambat pelepasan TSH.
Pda keadaan normal TSH mempertahankan kadar T4 dan T3 sirkulasi dalam rentang fisiologi
yang sempit. Jumlah ini lebih kurang 90 mcg tiap hari, dimana hanya 20 % T3 sirkulasi yang
dibuat oleh kelenjar tiroid. Sisanya didapat dari deiodinasi oleh enzim 5’ deiodinase, yang terjadi
di beberapa jaringan perifer terutama hati dan ginjal. Cara yang lain dengan degradasi metabolik
tiroksin yang sudah ada dan dianggap bahwa sulfasi memainkan peran yang menonjol dalam
individu yang sakit kritis.
Fungsi hormon tiroid:
Hormon tiroid dengan mudah menyeberang membran sel dan mempengaruhi hampir setiap sel
dalam tubuh. Didalam sel berikatan dengan : (1) reseptor dalam inti sel, mengaktifkan gen yang
mengontrol sintesa enzim yang terlibat perubahan dan penggunaan energi, (2) reseptor pada
permukaan mitokondria, meningkatkan kecepatan produksi ATP mitokondria (3) reseptor dalam
sitoplasma, menahan tempat penyimpanan.
Hormon tiroid juga penting untuk pertumbuhan normal rangka, otot dan sistem saraf pada masa
pertumbuhan.
Pertimbangan Umum
Badai tiroid / krisis tirotoksikosis merupakan hasil akhir dari kegagalan mekanisme kompensasi
tubuh terhadap hipertiroidism berat. Secara klinis, badai tiroid didefinisikan sebagai manifestasi
hipertiroidism yang mengancam jiwa. Tidak ada laboratorium penilai patognomonik untuk badai
tiroid. Bagaimanapun, karena angka mortalitasnya tinggi yang harus diwaspadai adalah
diagnosisnya dan memberikan penanganan yang agresif dan tepat.
A. Insidensi
Sejak adanya Obat Anti Tiroid (OAT), beberapa studi menyatakan bahwa insiden badai tiroid 2-
8% dari semua pasien yang diakui RS untuk penanganan hipertiroidism. Badai Tiroid terjadi
pada wanita 9–10 kali lebih besar daripada laki-laki, mungkin refleksi insiden yang lebih tinggi
penyakit tiroid pada wanita. Tidak ada perbedaan umur atau ras. Kontrol hipertiroidism kronik
dengan OAT sangat efektif dalam mencegah decompensasi.
B. Patofisiologi :
Patofisiologi krisis tirotoksikosis tidak diketahui dengan baik. Penunjuk overaktifitas kelenjar
tiroid (kadar T4 / T3 total/ bebas) tidak signifikan lebih tinggi daripada dalam kasus
hipertiroidism biasa. Meskipun gejala dan tanda hipertiroidsm menandakan overaktivitas
simpatis, kadar dalam plasma dan kecepatan sekresi epinefrin dan norepinefrin secara nyata
normal pada pasien dengan badai tiroid. Karena ini memberi kesan bahwa sensitifitas terhadap
catekolamin meningkat dan peningkatan c AMP merupakan data aktivitas adrenergik meningkat.
Mekanisme yang menuntun pada status dekompensasi khas badai tiroid belum ada studi yang
baik. BMR dan termogenesis meningkat dan ada degradasi protein jaringan, meskipun sintesa
dan degradasi protein meningkat, hipertiroidism menghasilkan balance nitrogen negatif, muscle
wasting, dan konsentrasi albumin menurun. Meskipun klirens kortisol meningkat, kecepatan
produksinya juga naik, sehingga kadar cortisol tetap, secara esensial tak berubah. Hormon tiroid
berpengaruh langsung kardiostimulasi, menyebabkan takikardi dan peningkatan kontraktilitas.
Peningkaatan thermogenesis menyebabkan vasodilatasi sebagai bagian dari respon kompensasi
terhadap peningkatan suhu tubuh.
Berbagai sistem organ terpengaruh, pada sistem kardiovaskuler banyak terjadi perubahan
termasuk peningkatan denyut jantung, stroke volume, cardiac output dan kontraktilitas jantung.
Tahanan vaskuler perifer menurun. Perubahan dalam sistem respirasi termasuk takipneu,
penurunan kapasitas vital, kapasitas difusi dan komplien paru, ditambah dengan peningkatan
respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Kelemahan otot. Fungsi gastrointestinal lebih
cepat, dengan pemendekan waktu transit intestinal, peningkatan aktifitas listrik basal duodenal
dan diare sekretoris. Pada sistem saraf pusat terjadi peningkatan perubahan katekolamin dan
peningkatan sensitifitas reseptor terhadap neurotransmiter.
Ciri-ciri Klinis
Badai Tiroid biasanya terlihat pada pasien dengan diketahui hipertiroidism, tetapi dapat berada
dalam pasien dengan tiroktoksikosis yang tidak terdiagnosa sebelumnya. Badai Tiroid sering
terlihat dalam hubungan dengan 1dari daftar panjang keadaan pencetus, tetapi, dua keadaan yang
paling umum adalah pertama prosedur bedah beberapa kali terutama bedah tiroid pada pasien
hipertiroid yang tak terkontrol atau prsiapan yaneg buruk dan yang kedua infeksi. Badai Tiroid
sekarang sangat tidak lazim mengikuti bedah tiroid oleh karena persiapan preoperasi dan kontrol
hipertiroidism dengan Obat Anti Tiroid. Faktor pencetus yang lain termasuk penyakit
Cardiovaskular ( termasuk AMI), penyakit sistemik , trauma, ketosidasis diabetik, perabaan
besar kelenjar hipertiroid tak terobati, pemberiaan zat kontras teriodinasi, stroke, dan
preeklampsi-eklampsi. Eksaserbasi hipertiroidism dapat terjadi mengikuti penanganan iodine
radioaktif pada penyakit grave. Pasien yang sengaja atau tidak sengaja menelan hormon tiroid
dalam jumlah berlebihan dapat ada dengan hipertiroidism berat tetapi biasanya tanpa gambaran
lengkap terlihat dalam badai tiroid.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Fungsi hati pada umumnya abnormal, termasuk peningkatan aminotransferase,
hiperbilirubinemi, hepatomegali, nilai Alkali Phosphatase juga naik, tetapi biasanya lebih
menunjukkan peningkatan dalam fraksi tulang daripada fraksi hati. Ca serum meningkat sebagai
refleksi peningkatan resorpsi tulang. Diagnosa Badai Tiroid pada dasarnya adalah sebuah
klinikal. Adanya demam tinggi dan perubahan status mental pada pasien sakit berat dengan
hipertiroidism harus memerlukan tindakan agresif sebagai krisis tirotoksikosis. Bahkan test
laboratorium hanya mengkonfirmasi adanya hipertiroid yaitu kadar tiroksin (T4) total dan bebas
yang tinggi dan kadar T3 yang meningkat dan penurunan dan hampir tak terdeteksi kadar TSH.
Dimana kadar T3 dan T4 dapat turun pada penyakit non tiroid yang terjadi bersama-sama. Pada
kenyataannya kadar T3 dan T4 tidak berhubungan dengan gambaran klinis pasien.
Penanganan
Managemen Badai Tiroid dapat didiskusikan dalam tiga kategori luas : 1. kontrol hipertiroidism,
2. penanganan penyakit pencetus, 3. tindakan supportif yang lain, diringkaskan dalam tabel 1.
A. Kontrol Hipertiroidism
Beberapa zat terapi yang bertindak melalui mekanisme yang berbeda untuk memblok sintesa,
sekresi, dan pengaktifan atau aksi hormon tiroid dapat digunakan bersama-sama untuk
mengontrol dengan cepat hipertiroidism.
1. Thioureas : PTU, methimazole, dan carbimazole menghambat sintesa hormon
tiroid secara primer dengan cara mengkatalis reaksi inhibisi oleh enzym tiroid
peroksidase. Reaksi ini termasuk Oxidasi, Organifikasi dan Iodotyrosine Coupling. PTU
juga inhibitor lemah pada konversi T4 ke T3 di perifer. Methimazole mempunyai potensi
yang lebih besar daripada PTU. Pada pasien koma dengan Badai Tiroid, PTU atau
methimazole dapat diberikan melalui NGT oleh karena obat ini tidak tersedia dalam
bentuk parenteral. Tidak ada persetujuan tentang dosis optimum obat anti tiroid. Satu
regimen untuk memulai PTU pada dosis awal 600-1200 mg / hari dalam dosis terbagi 4 x.
Pilihan yang lain 60-120 mg / hari methimazol dapat diberikan dalam 4 dosis terbagi.
Pasien yang tidak dapat peroral dapat diberikan perectal. Orang lain dianjurkan
pemberian loading dosis 600 – 1200 mg PTU diikuti dengan 200 – 300 mg tiap 8 jam.
Dimana banyak investigator menanyakan apakah penambahan inhibisi pada
tiroperoksidase dapat dicapai pada dosis PTU dengan kelebihan 300 mg/hari.
Methimazole diberikan 1/10 dosis diatas. Waktu paruh PTU serum adalah 75 menit,
Methimazole 60 – 240 menit. Dimana waktu tinggal intratiroid methimazole adalah 20
jam dan lama kerjanya selama 40 jam. Data ini digunakan untuk mendukung pemberian
methimazole 1 kali sehari . Dimana dalam situasi mengancam jiwa badai tiroid, dapat
dipilih pemberian methimazole 3 atau 4 kali perhari. PTU juga inhibitor lemah terhadap 5
deiodinase, enzim yang mengubah T4 ke T3, dan ini merupakan keuntungan umum atas
methimazole, bahkan dua obat ini tidak pernah dibandingkan secara langsung. Resistensi
pada efek obat anti tiroid secara ekstreme tidak lazim. ESO akut tidak lazim, tetapi reaksi
alergi, lekopeni dan hepatotoxisitas dapat terjadi.
2. Ipodate Sodium. Adalah agen radiokontras yang berisi Iodine digunakan untuk
imaging fesica felea. Satu dari inhibitor 5’ deiodinase paling potens. Studi klinis dengan
Ipodate pada hipertiroidsm menunjukkan bahwa obat mempunyai onset kerja sangat
cepat, menghasilkan tanda penurunan nilai T3 serum dalam waktu 4 – 6 jam dan
normalisasi nilai T3 serum dalam waktu 24 – 28 jam. Mekanisme efek antitiroid Ipodate
adalah komplek. Disamping inhibisi konversi T4 ke T3, juga menurunkan kadar T4
serum. Sekalipun pada derajat lebih rendah, menunjukkan efek tambahan langsung pada
sintesa hormon tiroid. Sebaliknya nilai T3 adalah lebih tinggi pada pasien dengan
pengobatan Ipodate. Observasi tetap dengan obat yang menyebabkan inhibisi 5’
deiodinase. Meskipun Ipodate adalah zat kontras yang berisi Iodine. Studi uptake
radioiodine pada pasien dengan penyakit grave dengan pengobatan ipodate dalam waktu
lebih dari satu tahun menyatakan uptake normal satu minggu setelah penghentian terapi
Ipodate. Ipodate Sodium diberikan peroral sebagai kapsul berisi 500 mg, range dosis
yang dianjurkan 1 – 3 g/ hari. Pada pasien tidak sadar, Ipodate dapat diberikan melalui
rute NGT. Ipodate Na menggantikan pemberian oral KI pada pengobatan hipertiroidsm
berat. Telah direkomendasi bila PTU/ MTZ diberikan sebelum (mendahului) pemberian
obat-obatan yang berisi iodine untuk mencegah eksaserbasi hipertiroidsm yang dimediasi
Iodine.
3. Lithium. Dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi yodium
lithium dikonsentrasi oleh Tiroid dan menghambat Iodine uptake oleh Tiroid, juga
menghambat pelepasan hormon Tiroid. Dosis 300 – 400 mg/ 8 jam dapat digunakan
mengontrol sementara pasien Tirotoxicosis alergi Iodine. Dosis disesuaikan seperlunya
untuk pertahankan nilai Lithium serum kurang lebih 1 mg/ l.
4. Iodida. Iodida memblok pelepasan hormon Tiroid dari kelenjar. Juga berefek
inhibitor sintesa hormon Tiroid. Efek inhibitor ini pada sintesa hormon Tiroid adalah
sementara, dan pada pasien terbanyak jalan keluar dari inhibisi ini terjadi dengan waktu
sampai sebuah fenomen yang menunjuk pada efek Wolff – Chaihoff. Iodida diberikan
hanya setelah sintesa hormon tiroid dihambat oleh pemberian Thiomeas sebelumnya.
Sodium Iodida dapat diberikan pada dosis 1 g/ hari. Pilihan lain jika pasien mampu
pengobatan peroral, larutan lugol pada dosis 10 tts 3x/ hari atau larutan KI tersaturasi
dengan dosis 3 tts 3x/ hari dapat diberikan. Pemberian dosis besar Iodida anorganik akan
dapat diprediksi mengurangi uptake radioiodine oleh kelenjar tiroid selama beberapa
minggu. Bahkan, pemberian Iodida anorganik sebelumnya akan menghindarkan
penanganan selanjutnya dengan Iodine radioaktif selama beberapa minggu
5. Propanolol. β Adrenergik blocker melemahkan beberapa manifestasi
hipertiroidism perifer. Jadi zat ini dapat membalikkan peningkatan denyut jantung ,
cardiac output, tremor otot yang disebabkan hormon tiroid. Dimana kehilangan berat
badan tidak dipengaruhi oleh β blocker. Propranolol selain antiadrenergik, juga sebagai
inhibitor 5’ deiodinase lemah dan menurunkan kadar T3. Keuntungan khasiat inhibisi 5’
deiodinase propranolol melebihi β adrenergik blocker yang lain adalah tidak jelas
memberikan aksi yang serupa PTU dan Ipodate Sodium. Zat β Adrenergik blocker yang
lain seperti Esmolol dan Labetolol juga telah digunakan secara sukses. Respon
propranolol bervariasi dari pasien ke pasien, dan dosis harus dititrasi sesuai respon klinis.
Dosis awal biasanya 0,5 – 1 mg IV pelan 5-10 menit, total 10 mg. Hal ini dapat diikuti
dengan 40-60 mg peroral/ 6 jam. Jika pasien tidak mampu minum peroral , propranolol
diberikan IV dosis 1-2 mg / 3-4 jam. Hal ini menegaskan nilai bahwa rekomendasi dosis
ini hanya petunjuk umum yang digunakan secara awalnya. Penyesuaian dosis berikutnya
harus sesuai respon klinis. Kadar propranolol darah pada range 50-100 μ g / ml
menunjukkan pemberian efektif β bloker. Dimana kadar propranolol darah tidak
digunakan secara luas dalam praktek klinik. Karena jauh lebih sederhana dengan
mengikuti respon denyut jantung klinis dan tekanan darah. ESO β adrenergik bloker pada
pasien dengan badai tiroid termasuk gagal jantung, bradikardi, hipotensi dan peningkatan
resistensi jalan napas.
6. Glukokortikoid. Literatur lebih lama memperingatkan bahwa insufisiensi adrenal
mungkin terjadi pada paien dengan Badai Tiroid oleh karena percepatan degradasi
kortisol. Dimana hipotesa ini tidak pernah divalidasi, dan Rutin menggunakan
penggantian glukokortikoid yang turun. Glukokortikoid mengerjakan,dimana beberapa
efek bermanfat pada fungsi tiroid pada Badai Tiroid. Pada pasien yang menerima
penggantian tiroxine, glukokortikoid , maka konsentrasi T3 serum mungkin dengan
inhibisi 5 diodinase perifer. Pada tambahan glukokortikoid menurunkan nilai serum T4
pada pasien dengan penyakit grave. Akhirnya Glukokortikoid dalam dosis farmakologis
menghambat selusi TSH. Regimen 2 – 4 mg dexa/ 6 jam . Pasien yang dicurigai
mempunyai insufisiensi adrenal harus diobati sesuai dengan dosis lebih tinggi pada
Hidrocotism.
7. Therapy Extrakorpus. Pertukaran antara transfusi dan Plasmaferesis telah
dianjurkan sebagai jalan pembersihan Hormon Tiroid jumlah besar dari sirkulasi.
Pengalaman dengan teknik ini terbatas. Selanjtnya dengan ketersediaan obat anti Tiroid
potensi hal itu sepertinya tak dibutuhkan.
B. Tindakan Suportif Umum
Termasuk penggantian cairan dan elektrolit, dan kontrol hiperpireksia. Hal yang terakhir
menggunakan cooling blanket. Salisilat harus dihindari, karena obat ini dapat menghambat
ikatan T4 dan T3 pada ikatan protein dan meningkatkan konsentrasi T4 dan T3 bebas. Sebagai
tambahan tindakan khusus untuk penanganan yang tepat terhadap penyakit pencetus, aritmia
jantung, dan kegagalan jantung kongestif harus dimulai jika ada indikasi.
Prognosis
Data terbanyak pada statistik mortalitas Badai Tiroid adalah lama dan tidak ada seri terbaru.
Gambaran survival bervariasi dari 24 – 66 persen pada seri yang terdahulu. Penyakit pencetus
merupakan faktor nyata yang penting pada prognosis.
TABEL 1. Penanganan Badai Tiroid
Diposting oleh Ivan-Atjeh Anestesi
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Penanganan Gagal Jantung di ICU
ACE Inhibitor
Semua pasien dengan gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri sebaiknya
dicoba pemberian ACE inhibitor, kecuali ada kontra indikasi spesifik. Ace inhibitor telah
terbukti meningkatkan status fungsional dan mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung yang sedang atau berat.
ACE Inhibitor telah didemonstrasikan sebagai obat yang lebih efektif dalam mengurangi
morbilitas dan mortalitas dibanding kombinasi dari isosorbid dinitrat dan hidralazin. ACE
inhibitor dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal pada pasien gagal jantung yang
menampilkan gejala fatigue atau dispnea ringan dan tidak menampakkan adanya gejala atau
tanda-tanda overload volume. Suatu diuretic (spinoralakton) harus ditambahkan jika gejala-
gejala tersebut nampak (pantau kadar potasium serum)
ACE inhibitor mempunyai kontra indikasi pada pasien stenosis aorta sedang sampai berat,
stenosis arteri renal bilateral, kardiomiopati obstruktif, hipertrofi dan tamponade perikardial.
ACE inhibitor tidak boleh diberikan (atau diputuskan pemberiannya) pada pasien dengan
potassium serum > 5,5 mEQ/L. ACE inhibitor harus dihindari pemberiannya pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal yang akut. Pemberian ACE inhibitor harus sangat hati-hati pada pasien
Angina yang tidak terkontrol karena ACE inhibitor dapat menyebabkan peningkatan Angina
pada pasien ini.
Dosis rendah dari suatu ACE inhibitor (captopril 6,25 mg atau enalapril 1,25 mg iv). Harus
diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistol < 100 mmHg, pasien dengan kadar serum
sodium < 135 mEq/L, pasien dengan kreatinin serum > 2,0 mg/dl (atau yang diperkirakan
kreatinin klirensnya < 40 ml/menit) dan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat.
Fungsi ginjal pada pasien-pasien ini harus dipantau secara ketat. Dan pemberian obat dihentikan
bila fungsi ginjal memburuk.
Potassium sparing diuretic harus dihentikan pada semua pasien yang telah mulai dengan
pengobatan ACE inhibitor tanpa harus memperhatikan kadar potassium serumnya.
Digoksin
Digoksin diindikasikan pada pasien dengan disfungsi sistol ventrikel kiri dan atrial fibrilasi yang
kronik. Khasiat/mamfaat digoksin pada pasien yang gagal jantung dalam mengembalikan irama
sinus masih banyak diperdebatkan. Digoksin dapat mencegah semakin memburuknya gejala
klinik pasien dengan gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistole ventrikel kiri .
Baru-baru ini suatu studi mengenai digoksin dari Digitalis Investigation Group (DIG) tidak
menunjukkan adanya manfaat dari digoksin pada angka mortalitas tapi memperlihatkan
penurunan dalam angka rata-rata rawat inap pada kelompok digoksin dibanding dengan plasebo.
Dengan cara yang sama penelitian RADIANCE memperlihatkan bahwa penghentian digoksin
pasien CHF menghasilkan efek yang lebih buruk pada payah jantung dan rata-rata perawatan
lebih tinggi dibanding pada pasien yang terus memakan obat ini. Oleh karena itu Digoksin selalu
digunakan pada pasien gangguan jantung yang berat dan harus ditambah dengan obat-obat lain
pada pasien gangguan jantung ringan dan sedang dengan gejala sisa setelah pengobatan optimal
dengan ACE inhibitor dan Diuretik. Digoksin harus digunakan dengan hati-hati pada IMA.
Angka penelitian menunjukkan bahwa digoksin meningkatkan mortalitas pasien dengan sindrom
Iskemia akut.
Digoksin memilih indek terapi yang sempit, dan jika dosis tidak tepat dan tingkat serum tidak
pantau, pasien mungkin menderita keracunan yang cukup berarti. Data terbaru mengatakan
bahwa serum > 1,2 mg/ml sangat sedikit keuntungan terapi tapi meningkatkan resiko keracunan .
Usia pasien, berat dan fungsi ginjal harus dimasukkan dalam perhitungan dosis (loading &
maintenance) (tabel 23.1)
Loading dosis harus digunakan sangat berhati-hati pada pasien yang memakai digoksin. Saat ini
laju volume distribusi digoksin berkurang diatas 50 % pada gangguan gunjal dan untuk itu
loading dosis harus dikurangi lebih dari 50 % pada pasien ini. Penulis resep juga harus meneliti
berbagai obat yang mengubah farmakokinetik digoksin tabel 23.2
Beta Bloker
Beta Bloker telah memperlihatkan kegunaan secara tetap pada pasien gangguan jantung . Obat
ini memperbaiki tingkat fungsi NYHA dan LVEF pada pasien idiopati atau Iskemia
cardiomypathi. Bagaimanapun mereka tidak bisa digunakan pada pasien dekompensata akut
kecuali pada pasien disfungsi diastol. Peningkatan progresif dosis beta bloker tampaknya
menjadi faktor penting yang memberikan keuntungan hemodinamik dan fungsional pada pasien
gangguan jantung (perbaikan keadaan neurohormonal). Penelitian memperlihatkan bahwa untuk
memperbaiki fraksi ejeksi dibutuhkan waktu beberapa bulan. Dalam kenyataannya pemberian
secara perlahan dosis anti hipertensi dari beta bloker biasanya berperan agar hemodinamik
menjadi baik seperti fungsi penurunan. Data-data ini menyarankan bahwa beta bloker harusnya
tidak digunakan pada pasien-pasien gangguan jantung dekompensata akut tapi agaknya harus
digunakan pada pasien stabil yang selalu menerima terapi obat maksimal. Beta bloker
memperlihatkan hal sebaliknya pada pasien gangguan jantung yang memotong signal siklus
neurohormonal yang rusak, tumbuh abnormal, kesalahan teknis dan merusak miosit sehingga
pengaturan gerakan/kontraksi ventrikel terganggu. Setelah 3 bulan terapi tampilan LV membaik
secara menyolok pada sebagian besar pasien . Setelah 3-6 bulan diterapi dengan beta bloker
terlihat pengurangan volume sistole maupun diastole. Setelah 18 bulan terapi , massa ventrikel
terlihat mengecil dan ventrikel menjadi lebih bagus atau normal ukurannya.
Metoprolol, bucindolol, carvedilol, bisoprolol dan nebivolol telah memperlihatkan hasil yang
baik pada pasien gagal jantung. Bagaimanapun, carvedilol mengurangi efek mortalitas yang
besar dibanding beta bloker yang lain. Di Amerika Serikat, carvedilol heart failure study group
mengaitkan carvedilol dengan berkurangnya mortalitas sebanyak 65 %. Carvedilol memiliki
karakteristik unik yang membedakannya dengan beta bloker lain, termasuk alpha blokade dan
bahan anti oksidan. Apakah gambaran ini dihitung untuk keuntungan penulisan tidak bisa
dibedakan dari data yang sejenis.
Dobutamine
Dobutamine mungkin memiliki peranan pada pasien gagal ventrikel kiri akut sampai iskemia
miokard. Pada penataan ini dobutamine bisa menyebabkan hibernasi miokardium dan perbaikan
fungsi jantung. Peranan dobutamin pada pasien gagal jantung kronik belum jelas. Pada gagal
jantung kronik yang berperan adalah hiperaktivasi simpatetik dan penurunan fungsi pengaturan
reseptor beta. Infus jangka pendek atau lanjut dari terapi beta stimulan tidak memperlihatkan
manfaat pada pasien-pasien ini. Obat ini dikaitkan dengan peningkatan frekuensi aritmia
ventrikel yang mungkin meningkatkan angka kematian. Bagaimanapun dobutamin
memperlihatkan stimulasi denyut nadi sebentar (kurang dari 1 jam). Untuk memproduksi analog
yang bermanfaat untuk efek dari aktivitas fisik. Efek ini tidak diperlihatkan jika dobutamin
diberikan lebih dari 4 jam.
Anticoagulan
Anticoagulan rutin dianjurkan. Pasien dengan riwayat sistemik atau emboli paru, atrial fibrilasi
yang baru terjadi atau thrombus ventrikel kiri harus diberi anticoagulan sampai rasio protrombin
time 1,2 – 1,8 waktu normal. (normal = 2,0 – 3,0 menit).
Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin yang
rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan dengan proses penyakit dan atau
proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi penurunan síntesa albumin, pergeseran distribusi dari
ruangan intravaskular ke interstitial,dan pelepasan hormon yang meningkatkan
dekstruksi metabolisme albumin.9,10 Level serum pre-albumin juga dapat menjadi petunjuk
yang lebih cepat adanya suatu stres fisiologik dan sebagai indikator status nutrisi.10 Level serum
hemoglobin dan trace elements seperti magnesium dan fosfor merupakan tiga indikator biokimia
tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan
magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung, saraf dan
neuromuskular.11,12 Selain itu Delayed hypersensitivity dan Total Lymphocyte Count
(TLC) adalah dua pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi imun sekaligus
berfungsi sebagai screening.
Penilaian global subyektif (Subjective global assessment/SGA) juga merupakan alat penilai
status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan makan, kehilangan berat badan yang baru
ataupun kronis, gangguan gastrointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan diagnosis yang
dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian jaringan lemak subkutan dan
penyimpanannya dalam otot skelet juga merupakan bagian dari SGA, dan bersama dengan
evaluasi edema dan ascites, membantu untuk menegakkan kemungkinanmalnutrisi sebelumnya.
Level stres pada pasien sakit kritis juga harus dinilai karena bisa memperburuk status nutrisi
penderita secara keseluruhan.13
KEBUTUHAN ENERGI PADA PENDERITA SAKIT KRITIS
Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan terapi nutrisi. Nitrogen
secarakontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran yang bersifat homeostatik pada
jaringan protein tubuh. Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan menggunakan formula
yang mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin (urine urea
nitrogen/UUN), dan nitrogen dari protein dalam makanan:
Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah nitrogen dalam makanan
bisa dihitung dengan membagi jumlah protein terukur dengan 6,25. Faktor koreksi 4
ditambahkan untukmengkompensasi kehilangan nitrogen pada feses, air liur dan kulit.
Keseimbangan nitrogen positif adalah kondisi dimana asupan nitrogen melebihi ekskresi
nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan
dapat mempertahankan lean body mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai
dengan ekskresi nitrogen yang melebihi asupan.3,13-15 Kebutuhan energi dapat juga
diperkirakan dengan formula persamaan Harris-Bennedict (tabel 1), atau kalorimetri indirek.
Persamaan Harris-Bennedict pada pasien hipermetabolik harus ditambahkan
faktor stres.3,5 Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan kebutuhan energi dengan
menggunakan prosedur ini cenderung berlebih dalam perhitungan energi expenditure pada pasien
dengan sakit kritis hingga 15%.3,15 Sejumlah ahli menggunakan perumusan yang sederhana
"Rule of Thumb" dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari. Selain
itu penetapan Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum memberikan nutrisi.
REE adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada
kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE sering juga disebut BMR (Basal Metabolic
Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy Expenditure). Perkiraan REE
yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian
nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise.16 Banyak
metode yang tersedia untuk memperkirakan REE, salah satunya adalah kalorimetri yang dapat
dipertimbangkan sebagai gold standarddan direkomendasi sebagai metode pengukuran REE pada
pasien-pasien sakit kritis.5,17,18
Nutrisi Parenteral
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi dengan
baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak
adekuat dengansuplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien
dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada
pasien ICU, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam.
Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat. Hal yang paling
ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total Parenteral Nutrition) melalui
vena sentral adalah infeksi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:6
1. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan femoral.
2. Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
3. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
4. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
5. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
6. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep antimikroba.
7. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.
KAPAN SEBAIKNYA MEMULAI TERAPI NUTRISI
Pada pasien sakit kritis yang menderita kurang gizi dan tidak menerima makanan melalui oral,
enteral atau parenteral, maka nutrisi harus dimulai sedini mungkin. Keuntungan pemberian dini,
menyebabkanhemodinamik pasien menjadi stabil, yang telah ditunjukkan dengan penurunan
permeabilitas intestinal dan penurunan disfungsi organ multipel. Pada praktek klinis, pemberian
makanan enteral dini dimulai dalam24 hingga 48 jam setelah trauma.23 Moore
dkk.24 mengamati adanya penurunan pada komplikasi klinispasien dengan cedera abdomen yang
menerima makanan melalui NGT dibandingkan grup kontrol yang menerima TPN yang dimulai
pada hari ke-6 setelah operasi. Peneliti yang lain juga mengkonfirmasikan hasil yang sama
yang mendukung keuntungan pemberian nutrisi secara dini.
Tinjauan literatur baru-baru ini menemukan bahwa TPN yang diberikan pada penderita kurang
gizi pada periode preoperatif akan menurunkan komplikasi post operasi hampir 10%. Namun
jika diberikan ketika periode post operasi, maka resiko komplikasi post operasi,
terutama komplikasi infeksi akan meningkat.24
NUTRISI PADA BERBAGAI KONDISI DAN PENYAKIT
Nutrisi Pada Keadaan Trauma
Pasien trauma cenderung mengalami malnutrisi protein akut karena hipermetabolisme yang
persisten,yang mana akan menekan respon imun dan peningkatan terjadinya kegagalan multi
organ (MOF) yangberhubungan dengan infeksi nosokomial. Pemberian substrat tambahan dari
luar lebih awal akan dapatmemenuhi kebutuhan akibat peningkatan kebutuhan metabolik yang
dapat mencegah atau memperlambatmalnutrisi protein akut dan menjamin outcome
pasien. Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada TPN karena
alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat hiperglisemia. Intoleransi TEN dapat
terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping abdomen, diare, keluarnya makanan dari selang
nasogastrik. Pemberian TPN secara dini tidak diindikasikan kecuali pasien mengalami malnutisi
berat.
Nutrisi pada Pasien Sepsis
Pada pasien sepsis, Total Energy Expenditure (TEE) pada minggu pertama kurang lebih 25
kcal/kg/ hari, tetapi pada minggu kedua TEE akan meningkat secara signifikan. Kalorimetri
indirek merupakan caraterbaik untuk menghitung kebutuhan kalori, proporsi serta kuantitas zat
nutrisi yang digunakan. Pemberianglukosa sebagai sumber energi utama dapat mencapai 4 - 5
mg/kg/menit dan memenuhi 50 - 60% dari kebutuhan kalori total atau 60 - 70% dari kalori non
protein. Pemberian glukosa yang berlebihan dapatmengakibatkan hipertrigliseridemia,
hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan produksi CO2 yang dapat memperburuk
insufisiensi pernafasan dan ketergantungan terhadap ventilator, steatosis hepatis, dan kolestasis.
Pemberian lemak sebaiknya memenuhi 25 - 30% dari kebutuhan total kalori dan 30 - 40% dari
kalori non protein. Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi neutrofil dan limfosit,
menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia yang dikarenakan oleh
gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran alveolokapiler, merangsang steatosis
hepatik, dan meningkatkan sintesis PGE2. Dalam keadaan katabolik, protein otot dan viseral
dipergunakan sebagai energi di dalam otot dan untuk glukoneogenesis hepatik (alanin dan
glutamin). Kebutuhan protein melebihi kebutuhan protein normal yaitu 1,2
g/kg/protein/hari.Kuantitas protein sebaiknya memenuhi 15 - 20 % darikebutuhan kalori total
dengan rasio kalori non protein/ nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1.15,25
Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure)
ARF secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi. Meski demikian
kondisitraumatik akut yang menetap dapat meningkatkan REE (misalnya pada sepsis meningkat
hingga 30%). Adanya penurunan toleransi terhadap glukosa dan resistensi insulin menyebabkan
uremia akut, asidosis atau peningkatan glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan
perhatian yang hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin
dimungkinkan dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik. Pemberian lipid harus
dibatasi hingga 20 - 25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting karena
osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2 yang rendah dan asam
lemak essensial. Protein atau asamamino diberikan 1,0 - 1,5 g/kg/hari tergantung dari beratnya
penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5 - 2,5 g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat
dan mendapat terapi menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki klirens
urea mingguan yang lebih besar.6,15
Nutrisi pada Pankreatitis Akut
Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa pemberian nutrisi enteral
dapatmeningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi parenteral pada pankreatitis akut berguna
sebagai tambahan pada pemeliharaan nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring dengan
peningkatan status nutrisi, terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan
berat. Pada pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun hiperkalorik dapat
mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi hipokalorik sebesar 15 - 20
kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal pada pasien-pasien non bedah dengan
MOF. Pemberian protein sebesar 1,2 - 1,5 g/kg/hari optimal untuk sebagian besar
pasien pankreatitis akut. Pemberian nutrisi peroral dapat mulai diberikan apabila nyeri sudah
teratasi dan enzim pankreas telah kembali normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan
protein dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan dan diberikan lemak
dengan hati-hati setelah 3 - 6 hari.6,15
Nutrisi pada Penyakit Hati
Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus diberikan dengan hati-hati
untukmencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih dari 1gr/kg perhari. Pembatasan protein
diperlukan padaensefalopati hepatik kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari, dosis ini dapat
ditingkatkan dengan hati-hati menuju kearah pemberian normal. Ensefalopati
hepatik menyebabkan hilangnya Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan
peningkatan pengambilan asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat
neurotransmiter. Pada pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang diperkaya
dengan BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa memperburuk ensefalopati yang
sudah ada. Kegagalan fungsi hati fulminan dapat menurunkan glukoneogenesis sehingga terjadi
hipoglikemia yang memerlukan pemberian infus glukosa. Lipid dapat diberikan, karena masih
dapat ditoleransi dengan baik.6
KESIMPULAN
Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat keparahan cedera atau
penyakitnya, danstatus nutrisi sebelumnya. Pasien sakit kritis memperlihatkan respon metabolik
yang khas terhadap kondisi sakitnya. Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi
(misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi "counter regulatory hormone "
(misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan serangkaian
proses yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek yang jelas pada status
metabolik dan nutrisi pasien.
Penilaian secara objektif status nutrisi pasien di ICU adalah sulit, karena proses dari penyakit
mengacaukan metode penilaian yang kita gunakan. Status nutrisi adalah fenomena multi
dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator
nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran energi.
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi dan nitrogen, namun
harusdihindari overfeeding seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas
hiperkarbia,hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia. Pada pasien sakit
kritis tujuan pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk pemenuhan
kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat merugikan
karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang menyebabkan
ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi.
Secara umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis
adalahmeminimalkan keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan protein dengan
cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan fungsi jaringan khususnya hati, sistem imun,
sistem otot dan otot-otot pernapasan, dan memodifikasi perubahan metabolik dan
fungsi metabolik dengan menggunakan substrat khusus.
REFERENSI
Nutrisi Parenteral
Pendahuluan
Nutrisi parenteral tidak menggantikan fungsi alamiah usus, karena itu hanya merupakan
jalan pintas sementara sampai usus berfungsi normal kembali.
Nutrisi parenteral di indikasikan sebagai “ jalur subtistusi ” bagi penderita dengan
saluran digestif yang tidak dapat dapat menerima dan mencerna makanan . Sedang “ jalur
suplemen “ di indikasikan bagi kasus luka bakar yang luas, contusio cerebri, trauma ganda, dan
sepsis dimana peningkatan kebutuhan enersi dan nutrisi sangat tinggi dimana usus tidak dapat
menampung volume makanan yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi katabolisme.
Pertimbangan Umum Pemberian Nutrisi
Bantuan nutrisi parenteral bisa diberikan secara sentral parenteral nutrisi atau secara
perifer parentral nutrisi . Pemilihan antara Total Parenteral Nutrisi ( TPN) dan Perifer parenteral
Nutrisi (PPN) sangat tergantung pada resiko pemasangan sentral kateter, lama pemberian sampai
pada ditoleransi pemberian secara oral atau enteral serta tergantung pada osmolaritas cairan
nutrisi parenteral yang akan diberikan.
Pemberian bantuan nutrisi perifer hanya dapat mentolerir osmolaritas cairan nutrisi < 900
m osmol/L. Akan tetapi bisa saja walaupun jalur enteral su- dah tersedia , tetapi terdapat
kontraindikasi relatif untuk memberikan nutrisi enteral, terutama pada fase-fae awal postpertif,
maka untuk pasien ini parenteral nutrisi umumnya digunakan sebagai bantuan nutrisi awal.
Perinsipnya adalah : “Start Slow, Go Slow” dengan tujuan akhir adalah pemberian secara enteral.
Kebutuhan Cairan
Penderita dewasa pada umumnya sekitar 30-50ml / KgBB / hari.
Setiap kenaikan suhu 1 ° kebutuhan cairan bertambah 10 – 20 % dari kebutuhan harian.
Penderita dengan oligouria cairan yang diperlukan adalah Insesible Water Lose
(IWL)ditambah produksi urine perhari. (IWL = 15 cc x Berat Badan)
Kebutuhan Energi
Energi expanditure harus dihitung agar keseimbangan nitrogen yang lebih baik dapat dicapai dan
dipertahankan. Metode yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi ada dua cara yaitu:
1. Rumus Harris-Benedict
Harris-Benedict mengkalkulasikan kebutuhan energy seseorang dalam keadaan istirahat,
nonstres, setelah puasa overnigt. Pada keadaan metabolic-stress, maka harus dikalikan stress
faktor.
Koreksi kebutuhan energi (kkal/hari) : Basal Energy Expenditure (BEE) x Factor stress
Faktor stress
Koreksi kebutuhan energi dihitung sesuai tingkat hipermetabolisme :
Post operasi (tanpa komplikasi) 1,0 – 1,10
Fraktur tulang panjang 1,15 – 1,30
Kanker 1,10 – 1,30
Peritonitis/sepsis 1,10 – 1,30
Infeksi serius/ multiple trauma 1,20 – 1,40
Sindrom kegagalan organ multiple 1,20 – 1,40
Luka bakar 1,20 – 2,00
Trauma Kapitis 1,6
2. Rule of Thumb
Dalam menghitung kebutuhan awal kalori, Sejumlah ahli menggunakan perumusan
sederhana Rule of Thumb yaitu 25 – 30 kkal/kg/hari. Cara ini mudah digunakan tetapi tidak
mengikuti faktor usia, jenis kelamin atau komposisi tubuh sehingga kesalahan juga bisa terjadi.
Sumber Kalori
Karbohidrat (50 – 70%)
Lemak (30 – 50%)
Karbohidrat Sebagai Sumber Energi
Asupan karbohidrat di dalam diet pada pasien kritis sebaiknya berkisar 45% - 60% dari
kebutuhan kalori
Setiap gram karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori.
Beberapa jenis karbohidrat yang lazim menjadi sumber energi dengan perbedaan jalur
metabolismenya adalah : glukosa, fruktosa, sorbitokl, maltose, xylitol.
Dosis aman dari masing-masing karbohidrat:
Glikosa ( Dektrose ) : 6 gram / KgBB /Hari.
Fruktosa / Sarbitol : 3 gram / Kg BB/hari.
Xylitol / maltose : 1,5 gram / KgBB /hari.
Campuran GFX ( Glukosa, Fruktosa – Xylitol ) yang ideal secara metabolik adalah dengan
perban-dingan GFX = 4:2:1.
Mikronutrien
Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6
(piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak dibandingkan
kebutuhan normal sehari-harinya.
Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi defisiensi pada TPN.
Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin yang larut dalam air.
Defisiensi besi, selenium, zinc, mangan dan copper sering terjadi pada pasien sakit kritis.
Pemberian didasarkan kebutuhan setiap hari :
- Calcium : 0,2 – 0,3 meq / kg BB/ hari
- Magnesium : 0,35 – 0,45 meq / kg BB/ hari
- Fosfat : 30 – 40 mmol/ hari
- Zink : 3 – 10 mg/ hari
Immunonutrient
Perkembangan terbaru dalam tunjangan nutrisi diperkenalkannya immunonutrient .
Tiga grup nutrient utama yang termasuk dalam immunonutrient adalah:
· Amino acids (arginine, glutamin, glycin )
· Fatty acid.
· Nucleotide.
Nutrient – nutrient tersebut diatas adalah ingredients yang memegang peran penting dalam
proses “wound healing” peningkatan sistem immune dan mencegah proses inflamasi
kesemuanya essenstial untuk proses penyembuhan yang pada pasien-pasien critical ill sangat
menurun.
NON
PROTEIN ASAM
HARI SUMBER JUMLAH
KALORI AMINO MOsm/ L
KE SUBSTRAT ml/ 24 jam
(k.cal/ 24 (gr/ 24 jam)
jam)
I RINGER D 1000 200 - 588
5% 1500 300 - 278
DEXTROSE
5%
TOTAL 2500 500 -
II&III RINGER D 1000 200 - 588
5% 1500 600 - 550
DEXTROSE
10%
TOTAL 2500 800
VI RINGER D 1000 200 - 588
Dst. 5% 1000 800 - 1100
DEXTROSE
20%
TOTAL 2000 1000 -
NB: Osmolaritas ( 580 + 1100 ) = 840 mOSm ,masih dapat diberikan lewat vena perifer jika
diteteskan bersama .
Dextrose 20% dapat dicampur dengan Reguler insulin 20 unit/ 500 cc
B. Dengan Larutan Dextose Dan Asam Amino Lewat Perifer.
HARI SUMBER JUMLAH NON ASAM MOsm/ L
KE SUBSTRAT ml/ 24 jam PROTEIN AMINO
KALORI (gr/ 24 jam)
(k.cal/ 24
jam)
I RINGER D 5% 1000 200 - 588
DEXTROSE 5% 1500 300 - 550
TOTAL 2500 500 -
II&III ASAM AMINO 2,5% + 1000 300 25 772
KH 10 % 1500 600 - 550
DEXTROSE 10%
TOTAL 2500 900 25
IVDst. ASAM AMINO 2,5% + 1000 300 25 772
Nya KH 10 % 1000 800 - 1100
DEXTROSE 20%
TOTAL 2000 1100 25 940
NB: semua sumber substrat menetes bersama 24 jam, melalui vena perifer
D. Larutan Karbohidrat ( Fgx ), Asam Amino & Lemak . (Ini adalah sistem TPN terlengkap
tetapi juga termahal )
HARI SUMBER JUMLAH NON ASAM Mosm/ L
KE SUBSTRAT ml/ 24 jam PROTEIN AMINO
KALORI (gr/ 24 jam)
(k.cal/ 24 jam)
I GLUKOSE 10% 1500 600 - 555
ASAM AMINO 2.7% 1000 200 27 600
TOTAL 2500 800 27 716
II GLUKOSE 20% 1000 800 - 1110
LIPID 10% 500 500 - 300
ASAM AMINO 10% 500 - 50 900
TOTAL 2000 1300 50 855
III GFX – 421 1000 1667 - 2100
LIPID 10% 500 500 - 300
ASAM AMINO 10% 1000 - 100 900
TOTAL 2500 1667 100 1500
IV GFX – 421 1000 1167 - 2100
Dst. Nya LIPID 20% 500 1000 - 350
ASAM AMINO 10% 1500 - 150 900
TOTAL 3000 2167 150 1380
Pemantauan Penderita
Kemajuan dan kemunduran keadaan umum penderita dipantau setiap harinya, termasuk
keseimbangan cairan dan elektrolitnya (bila fasilitas ada). Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan adalah :
1. Darah
a. Darah rutin: pemeriksaan hemaglobin, hemetokrik, leukosit, mula-mula dua kali seminggu
selanjutnya sekali seminggu.
b. Gula darah : setiap hari selama seminggu, kemudian dua kali seminggu.
c. Protein dan albumin : mula-mula dua kali seminggu, kemudian sekali seminggu.
2. Urine
Volume urine diukur setiap hari.
GARIS BESAR
Untuk mencapai toleransi optimal dan keuntungan dari pemberian makanan melalui tube,
maka formula yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan kebutuhan setiap individu pasien.
Produk-produk yang diformulasikan secara khusus yang tersedia memiliki keunikan
kandungan gizi dan kebutuhan metabolik disesuaikan untuk beberapa kondisi klinis akut dan
kronis.
Perbaikan berkelanjutan dalam hal komposisi formula telah memudahkan keberhasilan
pemberian makanan enteral pada banyak situasi klinis terutama pada penyakit kritis dimana
pemberian makanan enteral yang pada awalnya tidak dapat ditoleransi, bahkan hampir tidak
mungkin.
IMPLIKASI KLINIS
Untuk mencapai keuntungan optimal dari pemberian makanan enteral dimulai dengan memilih
formula yang tepat. Pemilihan formula enteral didasarkan pada kondisi klinis pasien, status
penyakit sebelumnya, kebutuhan metabolik, fungsi gastrointestinal, lokasi masuknya tube dan
diameternya. Seorang dokter dapat memilih formula enteral yang paling sesuai dan efektif dari
sisi biaya dari sejumlah besar variasi produk komersial yang tersedia.
PENDAHULUAN
Pilihan formula amat penting untuk keberhasilan pemberian makanan enteral, baik dalam
mendukung kebutuhan metabolik maupun meningkatkan toleransi gastrointestinal. Saat memilih
formula enteral, dokter harus memperhatikan hal-hal berikut:
Kebutuhan metabolik amat penting terhadap keberhasilan pemberian makanan enteral
berdasarkan kondisi klinis atau penyakit yang diderita antara lain :
1. Kilo kalori;
2. Volume cairan;
3. Densitas kalori;
4. Kebutuhan protein/ nitrogen,
5. Vitamin,
6. Mineral,
7. Zat gizi esensial sesuai kondisi.
Kapasitas absorpsi dan digestif gastrointestinal.
Tube / selang (lokasi dan diameternya)
KEBUTUHAN METABOLIK
Kilo kalori
Kebutuhan energi dari kebanyakan pasien rawat inap dapat dipenuhi dengan memberikan
kebutuhan 25-35 kcal/ kg/hr. Pengaturan eukalorik atau bahkan sedikit hipokalorik, menjadi
tujuan terapeutik pada pasien kritis akan mencegah timbulnya stress metabolik yang terkait
suplai gizi yang berlebihan. Kelebihan pemberian makanan berhubungan dengan berbagai
komplikasi metabolik antara lain; retensi CO2, ventilasi meningkat, intoleransi glukosa, infiltrasi
lemak hati, ketidakseimbangan elektrolit; kelebihan cairan, dan intoleransi gastrointestinal. Jauh
lebih mudah memulai pemberian makanan pada tingkat kalori konservatif dan meningkatkan
sesuai toleransi ketimbang memperbaiki gangguan metabolik yang diakibatkan oleh pemberian
makanan secara berlebihan.
Pemeriksaan secara hati-hati terhadap status hidrasi pasien dapat membantu dokter menghindari
kelebihan atau kekurangan dosis kalori (dan protein) yang terkait dengan timbulnya edema atau
dehidrasi. Parameter klinik dan laboratorium membantu dalam penilaian status hidrasi, termasuk
diantaranya sodium serum, rasio urea nitrogen terhadap kreatinin darah, berat badan, berat jenis
urin, dan turgor kulit. Untuk menghindari kelebihan makanan, dimana pasien yang berada
dibawah berat badan ideal, kebutuhan energi dan protein dasarnya harus melihat berat badan
pasien sebelumnya. Untuk menghindari kelebihan makanan pada pasien gemuk; dokter harus
menghitung kebutuhan energi dan protein berdasarkan acuan atau berat badan untuk tinggi
badan yang ideal.
Sukrosa.
Sukrosa berperan terhadap tingkat kemanisan dan osmolalitas formula. Ini merupakan sumber
energi yang siap pakai sehubungan dengan hidrolisis intestinal yang cepat terhadap terhadap
molekul-molekul glukosa dan fruktosa.
Laktosa.
Laktosa dihidrolisis oleh laktase diusus halus menjadi glukosa dan galaktosa. Intoleransi laktosa
seringkali terjadi dan dapat terkait dengan defisiensi laktase primer. Hal ini juga dapat terjadi
sekunder pada cedera usus atau pada status penyakit lainnya. Gejala intoleransi berkisar antara
flatulens dan rasa tidak enak pada gastrointestinal yang ringan hingga diare osmotik yang berat.
Untuk menghindari potensi intoleransi laktosa, kebanyakan formula enteral umumnya bebas
laktosa.
Fruktosa.
Fruktosa memberikan lebih sedikit peningkatan kadar glukosa darah post prandial dibanding
karbohidrat lainnya. Pada tingkatan sedang, zat ini baik untuk penderita diabetes. Fruktosa juga
penting untuk pemanis yang meningkatkan “palatabilitas” oral dari produk yang menggunakan
baik suplemen oral maupun enteral yang bersumber tunggal.
PROTEIN DAN ASAM AMINO.
Protein terdapat dalam formula enteral sebagai protein intake sebagai bentuk yang dihidrolisis
parsial oligo- atau di- dan tripeptida, atau sebagai hidrolisat penuh bebas (kristalin) L-asam
amino (Tabel 3). Protein yang dihidrolisis penuh atau parsial dapat meningkatkan osmolitas
formula. Meski kebanyakan pasien merasa lebih baik dengan sumber protein intak, protein dalam
bentuk di- atau tripeptida dapat ditoleransi lebih baik oleh pasien kritis atau penderita disfungsi
gastrointestinal atau hipoproteinemia berat. Nitrogen dalam bentuk peptida diabsorpsi lebih cepat
dan merata dibanding nitrogen yang berasal dari asam amino bebas baik oleh usus yang sehat
maupun usus yang sakit.
Valin, leusin dan isoleusin merupakan asam amino esensial rantai cabang (BCAAs) yang
dimobilisasi dari otot rangka selama stres metabolik. Meski telah diteliti secara luas, penggunaan
formula enteral yang difortifikasi dengan BCAAs pada kadar yang lebih tinggi dibanding yang
berada dalam protein tidak serta merta lebih baik secara klinis.
LEMAK
Lemak adalah sumber energi utama yang memberikan asam lemak esensial dan membawa
vitamin larut lemak. Sebagai sumber energi primer, lemak dan karbohidrat secara umum
memiliki distribusi kalori yang bersilangan terkait satu sama lain. Contohnya, formula enteral
yang dirancang untuk mengatur respons glukosa darah atau produksi CO2 memiliki prosentase
yang lebih tinggi dari total kalori yang diturunkan dari lemak relatif terhadap karbohidrat,
sementara formula yang dirancang untuk disfungsi gastrointestinal mengandung prosentase
kalori total yang jauh lebih rendah dari lemak relatif terhadap karbohidrat. Lemak tidak berperan
secara bermakna terhadap osmolitas formula.
Komponen lemak dalam formula enteral biasanya terdiri dari berbagai kombinasi asam lemak
polyunsaturated (PUFAs), asam lemak monounsaturated (MUFA), trigliserida rantai sedang
(MCTs), produk lipid terstruktur, dan asam lemak n-3 (tabel 4). Asam lemak digambarkan secara
lebih terinci dalam BAB 4. “Karbohidrat, Protei dan Lemak”.
Serat terlarut.
Serat terlarut seperti getah dan pectin terfermentasi dalam kolon membentuk asam lemak rantai
pendek (SCFAs) asetat, butirat dan propionat. SCFAs kurang dari 6 korban panjangnya dan
menjadi substrat energi yang disukai untuk kolonosit. SCFAs juga memiliki efek tropik melalui
saluran intestinal.
SCFAs cepat diserap oleh mukosa kolon dan dimetabolisir untuk mendapatkan energi. Absorpsi
kolonosit SCFAs disertai oleh absorpsi natrium dan air, yang mana formula serat fortifikasi dapat
mengurangi insidens diare pada pasien yang diberi intake melalui tube. Diare juga dihindari oleh
karena serat dapat memperlambat waktu transit kolonik melalui proses yang dimediasi
kolesistokinin. Meskipun SCFAs yang dihasilkan melalui fermentasi dapat menguntungkan,
namun formula enteral berisi serat perlu digunakan secara hati-hati pada pasien yang mengalami
depresi motilitas gastrointestinal.
Serat tak larut .
Serat-serat tak larut seperti soy polisakarida, serat kacang polong, dan serat teh yang banyak
terdapat dalam massa diet. Soy polisakarida awalnya merupakan sumber serat yang paling
banyak digunakan pada formula enteral. Serat ini dapat meningkatkan output feses dan berat
feses. Juga dapat memperbaiki konsistensi feses dengan memberi sumber massa (bulk).
Tehnologi terkini telah meningkatkan jumlah dan tipe serat yang tersedia untuk digunakan dalam
formula enteral, sehingga memungkinkan untuk mencampurkan antara serat larut dengan serat
tak larut untuk mencapai efek fisiologis yang diinginkan. Disarankan agar intake serat pada
dewasa sehat terdiri atas 75 % tak larut dan 25 % larut.
Fruktooligosakarida (FOS).
FOS merupakan karbohidrat yang tak dapat dicerna yang difermentasikan dalam kolon menjadi
SCFA. Secara alamiah terdapat pada bawang merah, terigu (serealia), rumput-rumputan
(barley), pisang, tomat dan madu. FOS yang merupakan oligosakarida terdiri dari 1 molekul
sukrosa yang berikatan dengan satu, dua atau tiga unit fruktosa tambahan, tidak didegradasi oleh
cairan lambung pH rendah atau dicerna oleh enzim-enzim gastrointestinal. Serat ini tetap intak
melewati usus halus dan masuk kedalam usus besar dimana akan difermentasikan oleh bifido
bakteria dan mikroorganisme lainnya dalam kolon menjadi laktat dan SCFAs.
Bakteri bifido merupakan sekelompok bekteri yang menguntungkan yang penting dalam
menjaga keseimbangan ekologis secara optimal diusus bagian bawah. Bakteri ini mendominasi
dalam usus bayi dan bakteri terbanyak ketiga pada orang dewasa. Beberapa penelitian klinis
menunjukkan bahwa diet tambahan dengan FOS dapat meningkatkan jumlah bakteri bifido.
Proliferasi spesies bakteri bifido karena adanya FOS dan produksi zat fermentasi seperti laktat
asetat dapat menurunkan pH usus besar dan menimbulkan suasana yang buruk bagi bakteri
patogen seperti Clostridium dificile. Selanjutnya, FOS tidak digunakan oleh bakteri patogen
seperti Clostridium perfringens, Clostridium difficile dan Escherechia coli.
Diet serat dalam formula cair
Diantara manfaat potensial dari serat dalam formula enteral antara lain berkurangnya konstipasi
dan diare, mempertahankan mukosa usus, dan menurunkan angka kejadian hiperglikemia.
KLASIFIKASI FORMULA MAKANAN ENTERAL
Formula enteral dapat dikelompokkan berdasarkan kesesuaian penggunaannya dalam berbagai
kondisi klinis. Ada dua klasifikasi dasar antara lain;
1. Formula enteral standar yang sesuai bagi pasien yang memiliki fungsi
gastrointestinal yang normal.
2. Formula enteral formulasi khusus bagi pasien kritis yang membutuhkan protein
yang banyak, mengalami perubahan fungsi gastrointestinal, atau memiliki kebutuhan
nutrisi yang spesifik terhadap penyakitnya.
Formula enteral standar
Formula enteral standar biasanya digunakan pada pasien dengan fungsi gastrointestinal yang
normal. Formula ini menyediakan nutrisi lengkap dan seimbang, dan diformulasikan sebagai
sumber makanan tunggal untuk jangka lama. Formula enteral standar memiliki keseimbangan
antara protein, karbohidrat ( 50 % dari kalori total ) dan lemak ( 30 % dari kalori total ), dan
kemungkinan dapat di fortifikasi serat maupun tidak. Komponen protein biasanya merupakan
protein intak ( utuh ), seperti kasein atau isolat protein soy. Keuntungan lainnya dari formula
enteral standar antara lain :
1. Profil zat gizi konsentrat yang sesuai bagi pasien yang memiliki kapasitas intake
dan kebutuhan kalori yang menurun seiring penyakit kronis atau penuaan.
2. Sedikitnya 100 % RDI untuk Vitamin dan mineral dalam 1200 – 1500 ml volume
total.
3. Rasio kalori nitrogen 135 : 1 digunakan untuk meningkatkan keseimbangan
nitrogen positif untuk pasien yang menerima pemberian makanan dengan tube jangka
panjang.
4. Campuran asam lemak yang sesuai rekomendasi terbaru < 10 % dari kalori total
dari lemak tersaturasi dan 10 % dari kalori total dari lemak polyunsaturated, dan sisanya
dari lemak monounsaturated.
5. Campuran serat terlarut dan tidak larut yang sesuai dengan rekomendasi terbaru
dari 10 – 13 gr/ 1000 kcal dan membantu mempertahankan keseimbangan
mikroorganisme usus besar.
6. Fortifikasi dengan zat-zat gizi (β-carotene, carnitine, “ultra trace mineral”)
dilaporkan mengalami penurunan jumlah pasien dengan pemberian makanan feeding tube
jangka panjang.
Beberapa pasien dapat diuntungkan dari formula enteral standar dengan konsentrasi protein yang
lebih tinggi ( 25 % dari kalori ) relatif terhadap kalori total ( seperti, rasio keseluruhan non
protein terhadap kalori yang lebih rendah). Pasien-pasien ini sering mengalami luka seperti ulkus
tekanan atau peningkatan kebutuhan protein terkait dengan penuaan. Meskipun kebutuhan kalori
total pasien-pasien ini kemungkinan tidak meningkat, kadar protein yang lebih tinggi perlu
diberikan bersama dengan mineral ultratrace, zat gizi esensial khusus, dan rasio potassium
terhadap nitrogen yang sesuai dapat membantu penyembuhan luka.
Formula yang dirancang untuk pasien kritis atau yang mengalami perubahan fungsi
gastrointestinal.
Formula ini biasanya menyediakan sejumlah komponen protein dalam bentuk peptida rantai
pendek atau sedang karena lebih mudah diserap dibanding protein utuh (intak) atau asam amino
bebas. Sebagaimana halnya, sejumlah komponen lemak yang sering tersedia dalam bentuk MCT
tidak memerlukan lipase pankreas atau garam empedu untuk dapat diabsorpsi. Formula yang
difortifikasi dengan mineral ultra trace dan zat gizi esensial memiliki keuntungan tambahan.
Penyakit kritis dan stres metabolik.
Cedera berat dapat mnyebabkan perubahan buruk dalam metabolisme. Perubahan ini bervariasi
sesuai dengan jenis trauma, status kesehatan sebelumnya, dan perawatan medis.
Hipermetabolisme yang dimediasi oleh hormon dan percepatan katabolisme seringkali
ditemukan setelah terjadi trauma. Perubahan metabolik lainnya yang biasa diamati setelah cedera
berat atau selama penyakit kritis antara lain :
Peningkatan laju metabolik basal dan ekskresi nitrogen
Perubahan keseimbangan cairan & elektrolit
Sintesis protein pada fase akut
Respon inflamasi
Imunosupresi
Traktus gastrointestinal seingkali dipengaruhi oleh cedera. Aliran darah dapat berkurang karena
perdarahan dan menyebabkan kehilangan oksigen dan zat-zat gizi yang dapat merusak sel
mukosa. Adanya nutrisi intraluminnal dapat membantu melindungi saluran cerna. Zat gizi
spesifik seperti glutamin dan arginin dapat memberi keuntungan tambahan karena terlibat dalam
berbagai proses metabolik termasuk diantaranya sistem kekebalan. Zat gizi enteral yang sangat
penting selama kondisi kritis maupaun saat terjadi stres metabolik antara lain beberapa jenis dan
jumlah protein, lemak dan karbihidrat, juga glutamin, arginin, β -caroten, taurin, canitin, vitamin
E dan zinc (seng).
Idealnya formula enteral yang digunakan untuk pasien kritis atau stres metabolik dapat
diberikan sejumlah komponen protein dalam bentuk hidrolisis di- atau tripeptida.
Syarat lainnya yang perlu diperhatikan ketika memilih formula pada pasien ini mencakup antara
lain:
Prosentase kilokalori total yang lebih rendah dari lemak, dengan bagian lemak disuplai
dalam benuk MCT
Fortifikasi dengan ultratrace mineral dan zat-zat gizi esensial.
Rasio potassium terhadap nitrogen yang sesuai.
Disfungsi gastrointestinal.
Pasien-pasien dengan disfungsi gastrointestinal biasanya tidak dapat mendigesti dan
mengabsorpsi zat gizi intake, terutama protein dan lemak. Untuk alasan ini, formula enteral
yang digunakan paling sering pada disfungsi gastrointestinal oleh yang menyediakan protein
dalm bentuk peptida dan asam amino bebas, dan memberikan kilokalori total lemak yang rendah,
dengan trigliserida rantai sedang sebagai sumber lemak primernya.
Pertimbangan relevan lainnya saat memilih formula untuk pasien ini termasuk mamfaat potensial
sejumlah glutamin tambahan, yang merupakan substrat metabolik penting untuk sel-sel mukosa
usus, dan arginin untuk meningkatkan sintesis kolagen luka dan protein dan memperbaiki fungsi
kekebalan seluler.
Formula enteral untuk penyakit tertentu (spesifik)
Formula untuk penyakit spesifik dirancang untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan metabolik
dari suatu kondisi kronik dan untuk mengkompensasi adanya disfungsi organ dengan
memberikan kombinasi makronutrien yang optimal, serta mikronutrien dan ultra trace mineral.
Formula untuk penyakit spesifik ini juga mengandung zat gizi seperti arginin, taurin, dan
glutamin yang penting pada berbagai status penyakit.
Kebanyakan formula untuk penyakit spesifik ini dapat digunakan dalam bentuk suplemen
nutrisional oral sebagaimana pemberian enteral lewat tube. Formula enteral untuk penyakit
spesifik ini tersedia untuk kondisi berikut :
Intoleransi glukosa.
Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien dengan gangguan metabolisme insulin adalah untuk
mencapai dan mempertahankan kadar glukosa serum senormal mungkin. Karena cairan
karbohidrat konsentrasi tinggi lebih cepat diserap dibanding cairan yang berisi lemak sebagai
karbohidrat, kontrol glikemik yang lebih baik dicapai pada pasien dengan intoleransi glukosa
dengan menggunakan formula yang rendah karbohidrat dan tinggi lemak. Penelitian
menunjukkan bahwa beberapa pasien memiliki respon glikemik post prandial yang lebih rendah
pada saat diberi nutrisi rendah karbohidrat dan tinggi lemak. Pasien-pasien ini termasuk
diantaranya pasien diabetes mellitus tipe 1 dan 2, begitu pula pasien hiperglikemia terkait dengan
kondisi medis lainnya (termasuk penyakit pankreas, stres, diabetes yang diinduksi oleh zat
kimiawi atau obat-obatan dan sindrom genetika tertentu).
Profil lemak.
Kelainan sekresi atau metabolisme insulin juga menyebabkan dislipidemia pada pasien diabetes.
Kelainan lemak ini merupakan faktor resiko tingginya penyakit aterosklerotik vaskular yang
cepat pada pasien diabetik. Hal ini disarankan agar asam lemak tersaturasi menyuplai < 10 %
dari energi total dan asam lemak polyunsaturated memberi tidak lebih dari 10 %. Sisa energi
disediakan oleh asam lemak monounsaturated. Intake kolesterol harian sebaiknya < 300 mg. hal
ini menunjukkan bahwa dengan menggantikan beberapa karbohidrat dengan sumber lemak yang
kaya akan asam lemak monosaturasi dapat memberi kontrol glikemik yang lebih baik tanpa
meningkatkan faktor resiko penyakit kardiovaskular.
Serat dan myoinositol. Zat gizi lainnya yang membantu penatalaksanaan intoleransi glukosa
antara lain serat dan myoinositol. Formula dengan tambahan serat dapat membantu menjaga
fungsi usus normal dan penting bagi pasien dengan perubahan peristaltik saluran cerna akibat
neuropati diabetik. Intake serat yang disarankan adalah 10 – 13 gr / 1000 kcal.
Myoinositol merupakan alkohol siklik dengan struktur kimiawi yang menyerupai glukosa.
Pertimbangan myoinositol sebagai zat gizi esensial meningkat karena myoinositol trifosfat
merupakan kurir kedua bagi stimuli hormonal yang dimediasi reseptor dalam mobilisasi kalsium
intraseluler. Myoinositol juga merupakan substrat biosintesis phosphatidyl inositol dan
polyphospoinositide yang merupakan komponen esensial biomembran. Defisiensi myoinositol
berdampak pada munculnya nefropati dan neuropati diabetik. Fungsi myoinositol dalam
konduksi saraf adalah dengan memodulasi enzim sodium-potassium ATP-ase. Karena glukosa
dan myoinositol memiliki struktur yang mirip, dua substansi ini berkompetisi memperebutkan
transport pembawa kedalam jaringan. Kompetisi ini berakibat munculnya deplesi myoinositol
selektif pada saraf perifer dan glomerulus ginjal. Selanjutnya, pasien dengan diabetes melitus
akan kehilangan myoinositol secara berlebihan melalui urine.
Kegagalan pernafasan akut.
Kegagalan pernafasan akut dapat terjadi akibat adanya cedera langsung pada parenkim paru,
seperti kontusio, inhalasi zat toksik, atau trauma dada ; dapat pula disebabkan oleh cedera tidak
langsung seperti sepsis, shock, atau multipel trauma pada bagian lain dari tubuh.
Kerusakan paru-paru memiliki mekanisme kompleks dan mengakibatkan pelepasan sejumlah
mediator jaringan dan inflamasi. Aktifasi respons inflamasi melalui pelepasan produk seperti
faktor nekrosis dan tumor (TNF α), interleukin-8 (IL-8), leukotrin B4 (BT B4), oksidan-oksidan,
lekosit, dan enzim yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi platelet, dan pembekuan
intravaskuler.
Hal ini dapat menyebabkan buruknya perfusi vaskuler, edema alveolar, dan yang paling parah
kegagalan pernafasan. Pada saat yang sama perekrutan sel-sel inflamasi pada sirkulasi lokal
meningkat, yang lebih lanjut dapat menimbulkan resiko fungsional dan struktural terhadap
jaringan paru.
Regulasi kerusakan paru melalui asam-asam lemak.
Dalam model kerusakan paru akut yang berbeda, bukti menunjukkan bahwa diet berisi
eicosapentaenoil acid (EPA), asam linoleat gamma (GLA) dan antioksidan dapat mengurangi
permeabilitas mikrovaskuler paru-paru, infiltrasi neutrofil dan sintesis eucasanoid. Selanjutnya,
hemodinamika kardiovaskuler, pertukaran gas, dan fungsi makrofage alveolar membaik dengan
diet tipe ini.
Suplementasi antioksidan.
Inflamasi paru-paru dapat menghasilkan metabolik oksigen toksik termasuk anion superoksida,
hidrogen peroksida, radikal hidroksil, dan asam hipoklorat. Radikal-radikal oksigen toksik ini
dapat merusak sel-sel parenkim dan sel endotel, peroksidasi lemak inisiasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler. Cedera paru akibat radikal oksigen toksik normalnya dapat dicegah
dengan antioksidan endogen yang berada dalam epitel. Antioksidan-antioksidan ini antara lain
protein serum seruloplasmin dan tranferin, vitamin C, vitamin E, β-caroten dan glutathion
terededuksi. Beberapa penelitian terakhir telah mendokumentasikan perubahan kadar
seruloplasmin dan transferin, vitamin E, dan glutathion pada cairan bilasan bronkoalveolar dan
serum yang berasal dari pasien dengan cedera paru-paru. Temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa beban oksidan diproduksi dari inflamasi paru-paru pada cedera paru dan
dapat melampaui antioksidan endogen dan berperan lebih jauh terhadap cedera. Suplementasi
dengan antioksidan eksogen termasuk dengan vitamin E, vit.c, β-caroten, taurin, selenium dan
molybenum dapat memperlambat cedera paru yang terjadi akibat adanya inflamasi pulmonal dan
kemudian terjadi pelepasan metabolit oksigen toksik. Fungsi taurin sebagai antioksidan utama
menjaga permeabilitas membran yang disebabkan oleh oksidasi dan kerusakan bronki yang
disebabkan oleh NO2.
Modifikasi rasio karbohidrat / lipid. Beberapa pasien dengan kondisi serius dapat mengalami
retensi CO2. Pada kasus ini, disarankan untuk mengurangi kalori total dan rasio karbohidrat
terhadap lemak untuk menurunkan produksi CO2.
Air.
Karena pasien dengan gagal pernapasan akut & COPD seringkali memerlukan
retriksi/pembatasan cairan dan diuresis, formula enteral yang dapat membantu adalah tinggi
kalori dan kandungan air yang rendah. Untuk pasien dengan retriksi cairan, formula yang
memberikan sedikitnya 100% RDI vitamin dan mineral dalam volume total yang rendah (<1400
cc) amat berguna.
Fosfor.
Pasien yang bergantung pada ventilator cenderung mengalami hipofosfotemia dan menimbulkan
reduksi terhadap transport oksigen. Karena penurunan 2,3- difosfogliserat dalam sel darah
merah, afinitas oksigen terhadap hemoglobin meningkat, menyebabkan hipoksia jaringan.
Selanjutnya, ATP jaringan , yang merupakan campuran fosfat mayor kaya energi untuk fungsi
sel, menurun. Karena hifofosfotemia dilaporkan dapat menyebabkan kegagalan pernafasan, perlu
dilakukan perawatan untuk memastikan intake 100% RDI fosfor, dengan tambahan
suplementasi fosfor sesuai kebutuhan.
Pengalaman klinik.
Suatu penelitian yang dilakukan multisentra, pada pasien dengan ARDS sekunder karena sepsis,
pneumonia, trauma, atau cedera aspirasi menunjukkan bahwa penggunaan formula enteral
dengan EPA, GLA dan antioksidan dapat mereduksi waktu ventilasi mekanik dan munculnya
kegagalan parenkim yang baru, sebagai tambahan terhadap perubahan lain yang dapat
memperbaiki fungsi pernapasan. Penggunaan jenis formula ini berhubungan dengan influx
protein paru yang rendah, dan hitung netrofil rendah, begitu pula kadar pada IL-8, TNF α dan
LT B4 dibanding pasien-pasien yang menerima formula konvensional. Temuan ini
menunjukkan bahwa formula yang diperkaya dengan minyak tertentu dan antioksidan menjadi
adjuvan yang bermanfaat dalam penatalaksanaan pasien-pasien dengan inflamasi paru.
Penyakit paru obstruksi kronik (COPD).
Banyak pasien dengan COPD dan kegagalan pernapasan menimbulkan gejala malnutrisi
bermakna yang mengakibatkan gangguan pada otot-otot pernapasan. Banyak dari pasien ini
terkena oleh karena retensi CO2 dan oksigen darah tereduksi. Salah satu tujuan terapi nutrisi ini
adalah untuk mereduksi kadar CO2 dalam darah. Serat karbohidrat, protein dan lemak
dimetabolisir, CO2 dihasilkan dan O2 dikonsumsi. Respiratory Quetient (RQ) menunjukkan
rasio CO2 yang dihasilkan terhadap O2 yang dikonsumsi selama proses tersebut. CO2 yang lebih
banyak dihasilkan oleh metabolisme karbohidrat dibanding protein atau metabolisme lemak. RQ
untuk karbohidrat 1.0 , protein 0.8 dan lemak 0.7.
Diet dengan proporsi kalori lebih tinggi dari lemak dibanding kalori dari karbohidrat dapat
mengurangi produksi CO2 dan quotient pernapasan dapat menurunkan kebutuhan oksigen
jaringan. Fenomena ini tampaknya hanya bermakan klinis pada saat pemberian sejumlah besar
kalori. Jenis formula ini diindikasikan untuk pasien yang memerlukan sejumlah besar kalori,
untuk pasien yang mengalami hiperkapnia sehingga menimbulkan insufisiensi pernapasan, dan
pada pasien dengan insufisiensi pernapasan yang mengalami kesulitan lepas dari ventilator
sehubungan dengan hiperkapnianya.
Penyakit ginjal.
Pasien-pasien dengan penyakit, ginjal memerlukan evaluasi cermat mengenai kebutuhan
nutrisinya yang dapat dimodifikasi tidak hanya sehubungan dengan perkembangan penyakit,
namun juga menjadi terapi. Pada pasien yang menjalani dialisis, hilangnya protein yang
disebabkan oleh metode ini juga perlu dipertimbangkan.
Pasien sebelum dialisis seringkali mengalami retriksi intake protein lebih besar dibanding pasien
yang menjalani dialisis kronis. Sejalan dengan terganggunya fungsi ginjal, perlu reduksi dalam
suplai fosfor, cairan, potassium dan sodium untuk membatasi akumulasi mineral-mineral ini dan
mencegah terjadinya hipertensi.
Rasio kilokalori nonprotein terhadap nitrogen.
Secara umum, pasien ginjal diuntungkan dengan formula padat kalori. Karena formula ini dapat
meminimalkan volume cairan, memberikan rasio kilokalori nonprotein terhadap nitrogen (NPK :
N) yang cukup untuk menyerap nitrogen secara optimal dan mencegah uremia. Pada pasien
sebelum dialisis biasanya dipertahankan pada protein rendah, diet padat kalori yang membatasi
elektrolit dan cairan. Untuk menggunakan nitrogen secara optimal pada pasien predialisis, rasio
NPK : N yang sering digunakan adalah > 350 : 1. Diet protein dapat dikurangi hingga pada 1,2
gr/ kg/ hari saat pasien mulai menjalani dialisis kronik. Meskipun intake protein ini biasanya
dapat ditoleransi dengan baik, hal ini masih penting bagi pasien dialisis kronis untuk menjaga
rasio NPK : N ( 150 : 1 ) untuk optimalnya penggunaan nitrogen.
Vitamin dan mineral.
Vitamin dan mineral yang sering dibatasi pada pasien penyakit ginjal stadium akhir ESRD antara
lain fosfor, magnesium, vitamin A, dan vitamin D. Sehubungan dengan potensi terjadinya
oxalosis, vitamin C sebaiknya tidak berlebihan. Pasien ESRD mendapat keuntungan dari
peningkatan pemberian vitamin B6 dan asam folat.
Elektrolit
Kebutuhan elektrolit pada pasien ESRD dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor klinis, antara
lain penyakit ginjal penyerta, kondisi penyerta lainnya, jumlah fungsi ginjal residual, dan
pengobatan sebelumnya. Untuk alasan ini, pemilihan formula makanan yang memiliki
kandungan elektrolit rendah dapat memudahkan tiap individu mendapatkan suplementasi
seperlunya.
Karbohidrat dan lemak.
ESRD seringkali merupakan suatu penyakit sekunder terhadap DM yang lama. Oleh karena itu,
penting untuk mengevaluasi komponen karbohidrat dan lemak dalam formula feeding tube atau
suplemen oral. Pasien Diabetik dengan ESRD mendapatkan keuntungan dari formula yang
mendistribusikan kilokalori non protein yang sama antara karbohidrat dan lemak. Untuk
menghindari peningkatan kadar lipid serum, campuran lemak harus sesuai dengan rekomendasi
sebelumnya.
Penyakit Hati.
Malnutrisi sering terjadi diantara pasien dengan penyakir hati berat. Status gizi amat
berhubungan dengan perjalanan klinis, terutama terhadap mortalitas pembedahan pada pasien
transplantasi. Fakta terakhir ini membuat dukungan nutrisi yang adekuat menjadi penting pada
pasien-pasien ini. Berbagai mekanisme yang terlibat dalam malnutrisi, antara lain penurunan
ingesti karena anorexia, merasa cepat kenyang karena asites, retriksi sodium, diet asupan yang
tidak diresepkan secara adekuat, efek samping pengobatan, dan berbagai derajat malabsorbsi dan
hipermetabolisme. Bila formula enteral polimer standar dapat diberikan pada pasien dengan
gagal hepar, maka ada beberapa kondisi yang dapat membantu oleh pemberian formula ini.
Sindrom asitik edematosa.
Sindrom ini secara signifikan dapat membatasi suplai sodium dan air, terutama pada saat
sindrom tidak merespon balik terhadap pengobatan. Oleh karena itu penting pada kasus-kasus ini
untuk menggunakan formula dengan konsentrasi kalori yang tinggi ( >1,5 kcal/ml ) dan
kandungan sodium rendah.
Ensefalopati Portal-Sistemik (PSE).
Pasien dengan sirosis hati biasanya mengalami status hiperkatabolik dan memerlukan suplai
protein tinggi untuk mencapai keseimbangan nitrogen positif. Berbeda dengan perkiraan,
kebanyakan pasien dengan insufisiensi hepatik mentoleransi suplai diet protein tanpa munculnya
PSE, terutama bila proteinnya disertai jumlah kalori nonprotein yang cukup untuk mencegah
katabolisme protein. Namun, terdapat sekelompok kecil pasien dengan PSE yang tidak berespon
terhadap terapi khusus atau timbul PSE bila diet protein dinaikkan untuk meraih keseimbangan
nitrogen positif. Peningkatan rasio kalori nonprotein terhadap nitrogen dalam rangka untuk
mengurangi pembentukan amonia dan urea dapat memperbaiki PSE dengan menjaga protein diet
dibawah kadar rekomendasi. Dalam situasi ini, formula yang diperkaya dengan asam amino
rantai cabang dapat digunakan meskipun manfaatnya masih diperdebatkan. Kebanyakan pasien
dengan insufisiensi hepar mengalami malabsorpsi pada derajat tertentu menunjukkan
ketidakcukupan sekresi garam empedu, pertumbuhan bakteri usus berlebihan, atau insufisiensi
pankreas. Absorpsi lemak dapat membaik dengan menggantikan sejumlah lemak dalam formula
dengan asam lemak rantai sedang.
Intoleransi glukosa.
Pasien dengan penyakit hati biasanya mengalami intoleransi glukosa pada derajat tertentu yang
utamanya disebabkan oleh resistensi insulin perifer. Formula yang tepat dapat digunakan untuk
penyakit hati harus berisi kompleks karbohidrat dan serat tambahan untuk membantu regulasi
gula darah.
Vitamin dan trace elements.
Defisiensi vitamin disebabkan oleh berbagai mekanisme dan seringkali terjadi sehingga
penyediaan vitamin dan mineral yang adekuat merupakan salah satu faktor dalam terapi nutrisi
untuk penyakit hepar. Pasien dengan kolestasis lama biasanya mengalami malabsorpsi vitamin
larut lemak. Perlu dicatat bahwa pasien alkoholik dapat muncul defisiensi thiamin akut dengan
akibat gangguan neurologis yang ireversibel, terutama pada saat infus glukosa atau pemberian
makanan ulangan.
Defisiensi zink/ seng juga sering terjadi dan penggantian dapat menjadi kunci perbaikan klinis
pasien. Kolestasis menurunkan ekskresi tembaga dan disarankan agar memberi diet dengan
membatasi tembaga.
Serat.
Serat dalam formula dapat membantu untuk mengurangi absorpsi amonia dalam colon dan
mengurangi frekuensi konstipasi atau diare.
HIV / AIDS.
Pasien dengan HIV/ AIDS memiliki kebutuhan gizi spesifik sehubungan dengan proses penyakit
dan terganggunya status gizi pada gangguan imun. Pasien-pasien ini beresiko tinggi untuk
munculnya malnutrisi kalori protein (PCM) dan berbagai defisiensi zat gizi spesifik seperti
Vitamin E, vitamin C, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, zat besi, zink dan selenium.
Malnutrisi Kalori Protein (PCM)
PCM sering terjadi pada pasien HIV / AIDS dan merupakan tipe malnutrisi terkait sindrom
wasting yang sering terlihat pada populasi pasien ini. PCM berhubungan dengan :
Berkurangnya ukuran thymus
Hilangnya aktifitas sel NK
Hilangnya sel T helper CD4+
Berubahnya migrasi limfosit mukosa usus
Hilangnya aktifitas sistem komplemen.
Kebutuhan protein meningkat saat intake kalori terbatas seperti pada anorexia, rasa cepat
kenyang, auatu kesulitan mengunyah atau menelan. Pasien dengan HIV/ AIDS dapat dibantu
dengan formula enteral dengan banyak protein dan rasio NPK: N yang lebih rendah dari produk
enteral tinggi protein standar yang biasa tersedia.
Asam lemak N-3.
Asam α linolenat dan turunan rantai panjangnya, asam docosahexanoat (DHA) dan asam
eicosapentanoat (EPA) merupakan asam-asam lemak N-3. Meningkatnya kejadian menunjukkan
bahwa asam lemak penting ini dan memiliki metabolisme yang berbeda.
Meskipun EPA secara struktural mirip dengan asam arakhidonat n-6, EPA membentuk
serangkaian 3 prostaglandin (tromboxan A3) dan 2 leukotrin, sementara asam arakhidonat
membentuk 2 seri prostaglandin (tromboxan A2) dan 4 seri lekotrin. Prostaglandin dan lekotrin
yang dihasilkan oleh asam lemak n-3 menimbulkan status anti agrgasi platelet dan netrofil yang
lebih bersifat vasodilator dibanding yang dihasilkan oleh asam lemak n-6. Diet tambahan
dengan asam lemak n-3 terkait dengan penurunan produksi prostaglandin seri 2 yang bersifat
imunosupresif dan memperbaiki respons imun yang dimediasi oleh sel. Untuk alasan ini, formula
yang berisi asam lemak n-3 dibanding n-6 bermanfaat bagi pasien dengan gangguan sistem imun
atau terhadap pasien yang mengalami respon inflamasi sistemik terhadap cedera atau infeksi.
(lihat BAB 4 untuk ulasan lengkap tentang asam lemak n-3 dan n-6).
Trigliserida rantai medium (MCT)
MCT memberikan ketersediaan sumber energi tanpa efek imunosupresif dari trigliserida n-6
rantai panjang.
MCT dapat dengan mudah diabsorpsi tanpa lipase pankreas atau garam empedu dan seringkali
digunakan untuk pasien dengan malabsorpsi dan maldigesti. MCT dapat berperan dalam
berperan dalam perbaikan pengosongan lambung dan absorpsi usus. Zat ini dapat dihidrolisis
sempurna pada mukosa usus dan lebih cepat dioksidasi dibanding asam lemak rantai panjang
oleh berbagai jaringan termasuk oleh hati, usus halus dan otot rangka.
Serat
Diet serat berguna dalam meregulasi fungsi usus terutama pada pasien-pasien diare. Pasien
dengan berak encer, jarang buang air, membentuk feses yang lebih baik dan waktu transit yang
lebih lama bila diet serat ditambahkan dalam makanan.
Vitamin dan mineral
HIV/ AIDS terkait dengan defisiensi vitamin E, Vitamin C, asam folat, Vitamin B6 dan vitamin
B12, juga mineral besi, zink, dan selenium. Para dokter harus memastikan agar pasien HIV/
AIDS menerima formula enteral yang ditambahkan dengan zat gizi ini. Pemberian makanan
terhadap pasien-pasien ini juga termasuk ultratrace mineral, dan zat gizi esensial lainnya.
Lipodistrofi yang terkait AIDS.
Patogenesis lipodistrofi yang terkait AIDS masih belum jelas. Digambarkan dengan adanya
anomali lemak serum dan redistribusi lemak tubuh. Lemak tubuh yang terdistribusi ini terdiri
atas akumulasi lemak dibagian bawah dan disamping perut, penurunan massa otot ekstremitas
atas dan bawah, pertumbuhan payudara pada wanita dan akumulasi lemak pada punggung
bawah. Kelainan lipid digambarkan dengan peninggian trigliserida, kolesterol total, VLDL dan
LDL juga peningkatan HDL. Sebagai tambahan , pasien mengalami perubahan glukosa darah,
resistensi terhadap insulin, dan peningkatan peptida C.
Lipodistrofi ini juga disebut lipodistrofi Crix Bell karena banyak pasien dengan kelainan ini
menjalani pengobatan dengan MSD Crixivan. Bagaimanapun sekitar 78 % pasien yang
mengalami gejala ini telah diobati sedikitnya satu inhibitor protease virus. Secara umum
gejalanya sangat mirip dengan sindrom cushing.
Pasien perlu disarankan agar berhenti merokok, mengurangi konsumsi lemak tersaturasi dan
olahraga teratur. Penting untuk menambah diet dengan asam lemak n-3 dan antioksidan untuk
mengurangi trigliserida dan mencegah oksidasi yang dimediasi penyakit arterial. Saran untuk
pengobatan rendah lemak bergantung penilaian medis dan perlu diberikan secara hati-hati untuk
mencegah ketidaksesuaian dengan obat lain.
Pertimbangan- pertimbangan untuk evaluasi formula enteral khusus. Saat memutuskan
untuk menggunakan tipe formula tertentu, perlu dipertimbangkan hal-hal dibawah ini :
Profil zat gizi perlu disesuaikan dengan anomali metabolik yang ada dengan kebutuhan
nutrisi khusus untuk situasi klinis tertentu.
Keputusan perlu didasarkan pada penelitian terkontrol, acak, dan perpektif (bukan studi
kasus).
Informasi yang diperoleh dari model hewan hanya dapat digunakan secara terbatas pada
manusia.
Aplikasi klinis berdasarkan penelitian pada produk tertentu belum tentu baik untuk
produk lainnya.
Informasi yang didapatkan pada penggunaan produk pada penyakit tertentu tidak dapat
disamakan dengan populasi lainnya (seperti hasil yang didapatkan dengan formula tertentu yang
diberikan terhadap pasien luka bakar tidak perlu diberikan pada pasien trauma).
Saat mengevaluasi formula yang diberikan, diperlukan pengguanaan kriteria yang teliti
dalam penilaiannya.
Sistem terbuka dan tertutup
Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan melalui sistem terbuka maupun tertutup. Sistem
terbuka menggunakan kantung tempat formula. Hal ini memudahkan manipulasi kandungan zat
gizi bila diperlukan. Sistem tertutup merupakan sebuah unit tersegel yang berisi formula enteral
yang tidak dapat ditambah lagi.
Keduanya memiliki keuntungan dan kerugian. Sistem terbuka lebih mudah terkontaminasi,
karena membutuhkan banyak penanganan dan formula harus dipersiapkan dalam jumlah kecil
untuk mencegah tergantung dalam waktu lama. Sehingga sistem terbuka memerlukan
pengawasan lebih ketat. Sistem tertutup tersegel pada saat proses pengepakan. Dan hal ini untuk
menjaga mutunya. Sistem ini dapat memengurangi kemungkinan manipulasi dan kontaminasi,
juga mengurangi penanganan dan sampah karena mudah digunakan. Namun, sistem tertutup
perlu penanganan secara hati-hati dan perlu mengikuti instruksi untuk mencegah kontaminasi
saat membuka kontainer. Begitu sistem dihubungkan, durasi pemberian makanan antara 24 – 48
jam, tergantung mereknya. Setelah melewati waktunya, kontainer/ kantong tersebut harus
dibuang.
Keputusan penggunaan sistem yang mana bergantung pada evaluasi oleh institusi atau rumah
sakit, sumber dana yang tersedia, kuantitas dan tipe formula, ketersediaan waktu dan staf ahli
gizi dan perawat terlatih.
KESIMPULAN
Pemberian nutrisi enteral merupakan bentuk terapi nutrisi yang memuaskan dan bagian penting
bagi penatalaksanaan medis. Pemilihan formula penting untuk meningkatkan keuntungan nutrisi
dan toleransi terhadap makanan. Untuk memilih formula yang tepat, para dokter harus
memperhatikan kondisi klinis pasien termasuk diantaranya status penyakit yang ada sebelumnya,
kebutuhan metabolik, kapasitas pencernaan dan absorpsi dan lokasi dan diameter feeding tube.
Formula enteral standar direkomendasikan pada pasien dengan fungsi gstrointestinal normal
yang tidak membutuhkan zat gizi tertentu. Untuk pasien dengan perubahan kebutuhan zat gizi
makro dan mikro akibat penyakit akut atau kronis, perlu pemilihan formula khusus. Formula ini
tersedia dalam bentuk kadar protein yang tinggi, berbagai derajat hidrolisis zat gizi makro atau
sejumlah zat gizi esensial yang diketahui menguntungkan terhadap kondisi klinis tertentu.
Kemajuan dalam formula enteral membantu keberhasilan pemberian makanan enteral dalam
berbagai kondisi klinis yang sebelumnya tidak dapat ditoleransi atau tidak memungkinkan,
terutama pada saat kritis.
REFERENSI
Program manual Total Nutritional Therapy - TNT. Chapter 14
Penanganan Luka Bakar
PENDAHULUAN
Luka bakar menjadi masalah oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan
perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas
dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di Amerika dilaporkan sekitar 2 – 3 juta penderita setiap
tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 – 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai
saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka
kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 1998 dilaporkan
sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, 62 % dari jumlah tersebut merupakan luka bakar
derajat II – III( > 40 %) dengan angka kematian 37,38%. Angka ini lebih kurang sama dengan
tahun berikutnnya, di tahun 1999 jumlah kasus yang dirawat adalah 88 kasus, 75 % dari jumlah
tersebut merupakan luka bakar derajat II – III dan dengan angka kematian > 40 %dengan masa
rawat terpanjang antara 32 – 38 hari.1,2
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data bahwa kematian umumnya
terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera
pada saluran napas. 2
Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa perawatan (masalah jangka pendek).
Sementara sisa kasus yang bertahan hidup menghadapi masalah tersendiri, antara lain lamanya
masa perawatan yang berkisar antara 40– 14 hari hari rawat dan dengan penyulit yang timbul
(masalah jangka panjang).1, 2
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera berat yang memerlukan penatalaksanaan
sebaik-baiknya sejak awal. Peran masyarakat yang berhadapan langsung serta pertolongan
petugas yang menerima kasus ini pertama kali sangat menentukan perjalanan penyakit ini
selanjutnya.1
Pada umumnya pasien luka bakar datang akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway
tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma, namun masih dapat
terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi dalam 48 – 72 jam pascatrauma. Cedera
inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut.2
Pada fase ini dapat terjadi pula gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat
cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Pada luka bakar berat atau mayor terjadi
perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein
dan elektrolit) dari intravaskular ke jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya
hipovolemik intravaskular dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik
terganggu sehingga sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan gangguan
perfusi sel atau jaringan atau organ (syok). Syok yang timbul harus segera diatasi dengan
melakukan resusitasi cairan. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan
keadaan hiperdinamik yang masih berkaitan dengan instabilitas sirkulasi.2
Gambar 5. Perbandingan estimasi dari luasnya daerah terbakar pada anak-anak dan dewasa.9, 13
Metode Lund dan Browder
Metode ini, jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat. Metode
ini mengkompensasi variasitubuh bentuk dengan usia sehingga dapat memberikan penilaian
yang daerah luka bakar yang akurat pada anak-anak.9, 14
Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan
persentasenya sama dengan dewasa.
Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan
persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Tabel 2. Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body
surface area affected by burns in children.
Berdasarkan kritieria diatas dimana pasien memiliki luka bakar derajat II dengan luas luka bakar
± 70 %, maka pasien termasuk dalam kriteria luka bakar berat (mayor burn).
TRAUMA INHALASI
1 Patofisiologi
Trauma panas langsung yang disebabkan akibat menghirup udara panas dengan suhu (150 ° C
atau lebih tinggi) biasanya mengakibatkan luka bakar di orofaring, wajah, dan saluran nafas
bagian atas (di atas pita suara). Bahkan udara dengan panas berlebih dengan cepat didinginkan
sebelum mencapai saluran pernafasan bawah karena efisiensi pertukaran panas luar biasa di
orofaring dan nasopharing.4
Panas dan bahan kimia dalam asap menghasilkan cedera langsung pada mukosa saluran nafas,
mengakibatkan edema, eritema, dan ulserasi. 4, 13, 14 Meskipun terjadi perubahan mukosa namun
perubahan anatomis mungkin timbul beberapa saat setelah luka bakar, perubahan fisiologis tidak
akan timbul sampai terjadinya edema yang cukup secara klinis mengganggu patensi jalan napas
atas. Ini tidak mungkin terjadi selama 12 sampai 18 jam. 4
Dalam beberapa keadaan makin diperburuk oleh keracunan carbon moniksida (CO). Keracunan
ini dapat menyebabkan rasa mual, muntah , sakit kepala sampai gangguan mental, kejang dan
kematian tergangtung dari level karboksihemoglobin dalam darah penderita.13, 14
Pemberian cairan dengan volume besar yang diperlukan untuk penanganan luka bakar, dan
perlepasan mediator dari kulit yang terbakar, sebagian bertanggung jawab memperberat cedera.
Oksidan dari asap dan dari sel-sel inflamasi merupakan penyebab utama cedera. 4
2. Tahapan Klinis
Perjalanan klinis pasien dengan cedera inhalasi dibagi menjadi tiga tahap: 5
a. Tahap Pertama
Insufisiensi paru akut - Pasien dengan cedera paru berat akan menunjukkaninsufisiensi paru akut
dalam 0-36 jam setelah cedera dengan asfiksia, keracunankarbon
monoksida, bronkospasme, obstruksi saluran napas atas dan kerusakanparenkim.
b. Tahap Kedua
Edema paru - Tahap kedua ini terjadi pada 5-30% pasien, biasanya 48-96 jam setelahterbakar.
c. Tahap Ketiga
Bronchopneumonia - Muncul di 15-60% dari jumlah pasien dengan laporan angka kematian 50-
86%. Bronchopneumonia biasanya terjadi 3-10 hari setelah luka
bakar,sering berkaitan dengan dahak lendir yang banyak
yang terbentuk di cabangtracheobronchial. Pneumonia muncul dalam beberapa
hari pertama biasanya karenaspesies staphylococcus resisten penisilin, dan setelah 3-
4 hari, terjadi perunahan florapada luka bakar luka ini tercermin dalam gambaran pada paru-
paru spesies gramnegatif, terutama spesies Pseudomonas.
3 Diagnosa
Deteksi dini cedera bronkopulmonalis sangat penting dalam meningkatkankelangsungan
hidup setelah dicurigai adanya trauma inhalasi.5
Tanda Klinis : Adanya riwayat paparan asap di ruang tertutup (pasien dengan stuporatau sadar)5, 13, 14
Temuan Fisik: luka bakar wajah / hangus pada bulu hidung / bronchorrhea / dahakdengan jelaga
(Spooty sputum), teumuan auskultasi (whezing atau rales).5, 13, 14
Laju pernafasan yang cepat di indikasikan akibat terjadinya kerusakan saluran nafas bawah yang
di pengaruhi oleh edema yang terjadi kemudian atau bisa juga diindikasikan akibat inhalasi asap
dengan keracunan metabolik.14
Temuan laboratorium: hipoksemia dan / atau peningkatan kadar karbon monoksida 5, 13
4 Metode Diagnostik
Chest X-ray kurang membantu dan merupakan metode
yang kurang sensitif karenapasien masuk sangat jarang ditemukan abnormal dan mungkin masih
tetap normalselama tujuh hari kedepan setelah luka bakar.5, 14
Metode diagnostik standar pada setiap pasien luka bakar adalah bronkoskopi untuk
cedera saluran nafas bagian atas.5, 14
Temuan positif adalah: edema jalan napas,peradangan,
nekrosis mukosa, adanya jelaga pada saluran nafas, jaringan yang luruh,material
karbon pada jalan napas. Semua pasien yang memiliki tanda klinis cederainhalasi yang
tercantum di atas harus menjalani bronkoskopi baik melalui endotrakeal
tube atau transnasal dengan sedasi untuk menentukan adanya cedera inhalasi.5
Untuk menentukan cedera parenkim metode yang paling spesifik adalah 133 Xe lung
scanning, metode ini melibatkan injeksi intravena gas xenon radioaktif diikuti olehserial chest
scintiphotograms. Teknik ini mengidentifikasi daerah udara yang terperangkap dari
obstruksi jalan nafas parsial atau total dengan gambaran daerahyang menunjukkan menurun laju
gas di alveolar. Selain itu tes fungsi paru dapatdilakukan dan dapat menunjukkan
peningkatan resistensi dan penurunan aliran pada mereka yang abnormal dengan 133 scan Xe.5
5 Penanganan
Perawatan umum
Penanganan dari cedera inhalasi harus mulai segera mungkin dengan pemberianoksigen 100%
melalui masker wajah atau kanul hidung. Hal ini membantu reverse efek dari keracunan CO
dan juga membantu dalam bersihannya.5, 14 Oksigen 100% menurunkan waktu paruhnya dari 250
menjadi kurang dari 50 menit. 5
COHb level
COHb level Symtoms
0 - 10% Minimal (normal level in heavy smokers)
10-20% Nausea, headache
20-30% Drowsiness, lethargy
30-40% Confusion, agitation
40-50% Coma, respiratory depression Death
> 50%
COHb = Carboxyhaemoglobin
Pemeliharaan jalan napas sangat penting. Jika adanya bukti awal edema saluran napas bagian
atas timbul, intubasi dini diperlukan karena edema saluran udara bagian atas biasanya meningkat
selama 8-12 h. Intubasi propilaktik tanpa indikasi yang baik tidakmesti dilakukan. Metode
intubasi harus dilakukan sesuai dengan yang dianggap familier oleh intubator; baik rute
hidung maupun mulut. Kadang-kadang, cedera sekitar wajah dan leher memungkinkan resiko
edema pada saluran napas, sehinggateknik intubasi standar dengan pelumpuh mungkin tidak
aman. Dalam beberapasituasi, awake nasotracheal intubasi atau intubasi serat optik, lebih
disukai oleh beberapa personil yang berpengalaman.5
Pengunaan suxsamethonium dapat menyebabkan hiperkalemia akut, hal ini dikarenakan migrasi
ektra-junctional reseptor asetilkolin. Penggunaannya aman dalam beberapa jam pertama, akan
tetapi tidak boleh digunakan untuk 12 bulan kemudian.14
Table 4. Kriteria Intubasi5
Criteria Nilai
PaO2 (mm Hg) < 60
PaCO2 (mm Hg) > 50 (acutely)
P/F ratio < 200
Respiratory/ventilatory Impending
failure Upper airway edema Severe
Table 5. Kriteria Ekstubasi 5
Criteria Value
Kebocoran cairan dan protein kedalam ruang interstitial sering kali menyebabkan hilangnya
lapisan interstitial yang ditandai dengan peningkatan aliran limfe. Efek yang nyata dari
perubahan tersebut adalah perkembangan edema yang masiv selama 12 – 24 jam setelah trauma
termal yang disertai dengan hilangnnya volume cairan intravaskular. Perkembangan edema yang
progresive ini sangat tergantung pada kecukupan volume resusitasi karena pemberian cairan
akan berdampak pada perkembangan terjadinnya edema.3
Hipotensi yang dihubungkan dengan trauma luka bakar juga mempunyai peranan dalam
menyebabkan depresi miokard. Respon inflamasi akibat trauma termal menyebabkan
pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin dalam jumlah
yang besar. Mediator TNF-α dan beberapa faktor yang tidak dikenal dianggap berperan dalam
menyebabkan depresi fungsi miokard. Hipotensi disebabkan oleh deplesi volume intravaskular
dan depresi miokard akan menginduksi suatu reflek yang akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sistemik. Semua faktor ini menyebabkan penurunan curah jantung dan
penurunan perfusi jaringan jika pasien tidak diresusitasi secara optimal. Jika pasien dapat
bertahan pada stadium awal luka bakar dan sudah teresusitasi secara edekwat, tingkat
hiperdinamik sirkulasi pasien masih berkembang kurang lebih 3 sampai 4 hari setelah trauma.
Respon hiperdinamik sirkulasi ini dipicu oleh reaksi inflamasi akibat adanya kerusakan jaringan
yang besar akibat luka bakar. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya SIRS ( Sistemic
Imflammatory Response Syndrome) yang ditandai dengan takikardi, menurunnya resistensi
pembuluh darah sistemik dan peningkatan curah jantung.3
SIRS merupakan suatu tanda tanda yang bersifat berat yang ditandai dengan takikardi, takipnue,
demam, hingga hipotensi yang bersifat refrakter. Dan hal ini merupakan suatu bentuk syok dan
disfungsi multi organ yang bersifat berat. Pada pasien dengan cedera termal, sebagian besar
penyebab SIRS adalah luka bakar itu sendiri. SIRS yang disertai dengan infeksi juga sering
terjadi. Resusitasi yang tertunda atau tidak adekwat merupakan faktor independent untuk resiko
berkembangnnya SIRS.3
a. Kristaloid
Beberapa protokol resusitasi menggunakan kombinasi kristaloid, koloid, dan cairan hipertonik,
telah dikembangkan (Tabel 6). Resusitasi cairan isotonik kristaloid di gunakan pada sebagian
pusat penanganan luka bakar dan umumnnya merupakan hasil resusitasi yang adekwat. Buffer
cairan kristaloid seperti ringer laktat merupakan cairan yang paling popular untuk resusitasi
sampai saat ini. Formula resusitasi yang klasik di modifikasi oleh Brooke dan Parkland. Formula
modifikasi dari Brooke di kembangkan dari formula Evans dan Brooke yang menyarankan
pemberian 2 ml/ kg / % dari total tubuh yang terkena luka bakar selama 24 jam pertama dan
merupakan jenis formula pertama yang berdasarkan persentase total permukaan tubuh yang
terkena luka bakar. Formula Brooke merupakan modifikasi dari formula Evans yang
mengandung persentase kristaloid yang relatif lebih besar di bandingkan koloid pada formula
Evans. Modifikasi formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru yang
dikembangkan oleh Baxter dan Shires menghasilkan perkembangan 4 ml /kg / % luas permukaan
tubuh yang terkena luka bakar. Setengan dari volume cairan resusitasi diberikan pada 8 jam
pertama dan setengahnya lagi di berikan pada 16 jam berikutnnya setelah trauma. Akan tetapi
perlu diperhatikan bahwa formula ini merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi
cairan di mana pasien harus di monitor secara ketat untuk mengoptimalisasi resusitasi syoks
akibat luka bakar. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama untuk
pasien dengan area luka bakar yang luas sering di prediksi dengan menggunakan rumus
Parkland.3
Kristaloid merupakan cairan yang paling sering digukan untuk resusitasi syok akibat luka bakar.
Sampai saat ini tidak ada studi prosfektif yang dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin
hipertonik memiliki mamfaat yang lebih dibandingkan kristaloid isotonik dalam hal resusitasi
pasien pasien luka bakar. Selain itu kriataloid isotonik lebih murah dibandingkan koloid,
meskipun kerugian penggunaan kristaloid memerlukan volume yang realtif lebih besar untuk
resusitasi syok akibat luka bakar dan berpotensi menyebabkan terjadinnya edema jaringan. Ada
kemungkinan hal ini terjadi akibat resusitasi yang berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat.
Penumpukan cairan ini terjadi terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan studi tidak
memperlihatkan insiden edema paru pada pasien yang menerima resusitasi dengan kristaloid.
Kolm dkk, baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa kebanyakan pasien-pasien luka bakar tidak
memperlihatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru setelah luka bakar dan edema
paru jarang terjadi selama tekanan pengisian intravaskuler dipertahankan dalam batas normal.
Komplikasi potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah
hipoalbuminemia dan ketidak seimbangan elektrolit. Perubahan ini belum memperlihatkan
hubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas.3
Ta
bel 6 . Formula untuk perkiraan resusitasi luka bakar pada orang dewasa.3
Formula hipertonik
Monafo (salin hipertonik) 250 mEq sodium / ltr
(1-2 ml/kg/% luka bakar)
Warden RL + 50 mEq NaHCO3
(Modifikasi hipertonik) (4 ml/kg/% luka bakar/8 jam pertama)
RL (jaga urin autput/ 8 jam kedua)
RL + Albumin
(jaga urin autput/ 8 jam ketiga)
b. Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan yang lebih dalam menjaga volume intravaskular
dengan volume yang lebih sedikit dengan waktu yang lebih pendek dibandingkan kristaloid.
Pada pasien dengan endotel yang intak koloid lebih bertahan lama dibandingkan kristaloid dalam
kompartemen intravaskular. Protein plasma memegang peranan yang penting dalam dalam
mempertahankan volume vaskular dengan memberikan tekanan koloidosmotik yang berlawanan
dengan tekanan hidrostatik intravaskular.3
Meskipun demikian pada pasien luka bakar memperlihatkan penigkatan vermianilitas vaskular
terhadap cairan elektrolit dan kolid sehingga menyebabkan para peneliti mempertanyakan
penggunaan koloid pada 8-24 jam pertama setelah luka bakar. Akibat peningkatan permeabilitas
vaskular yang diobservasi pada luka bakar, koloid mungkin saja tidak bertahan lebih lama dalam
sirkulasi di bandingkan dengan kristaloid. Lebih lanjut beberapa ahli merasa khawatir jika aliran
koloid ke interstitial dapat memperburuk edema.3
Meskipun demikian tingkat dan durasi permeabilitas vaskuler terhadap protein plasma belum
sepenuhnnya jelas dan sangat tergantung pada beratnya luka bakar. Kemudian, beberapa
pendekatan empiris terhadap penggunaan koloid pada resusitasi syok luka bakar setelah dibuat
beberapa ahli menganjurkan untuk menghindari penggunaan koloid dalam 28 jam pertama
setelah trauma luka bakar. Mereke berpendapat bahwa koloid belum menunjukkan adanya
keuntungan dibandingkan kristaloid dalam resusitasi akibat syok luka bakar dan dapat
memperburuk edema. Yang lain menganjurkan penggunaan koloid protein pada 8-12 jam
pertama setelah luka bakar, sedangkan kelompok ke tiga mennganjurkan penggunaan koloid
protein selama resusitasi syok luka bakar. Semua pendekatan tadi masih bersifat tidak jelas
karena tidak ada bukti ilmiah yang kuat yang mendukung pendekatan manapun. Studi terhadap
binatang menunjukkanbahwa koloid yang diberikan dalam 8 jam pertama setelah luka bakar
secara signifikan menurunkan kebutuhan cairan total. Beberapa peneliti yang menunjukkan
pemberian albumin pada 6-8 jam pertama setelah luka bakar tidak meningkatkan insiden
komplikasi pulmoner. Meski demikian, resusitasi koloid dalam 24 jam pertama setelah luka
bakar tidak menimbulkan adanya perbaikanout-come bila dibandingkan dengan resusitasi
kristaloid. Lebih lanjut, meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih tinggi
pada pasien luka bakar yang menerima albumin sebagai protokol resusitasi awal dengan 2,4
resiko relatif mortalitas dibanding dengan pasien yang hanya mendapatkan kristaloid. Meski
demikian, meta-analisis ini diragukan metodeloginnya. Secara keseluruhan konsensus
dinyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menentukan apakah pemberian albumin
dalam resusitasi luka bakar menguntungkan atau merugikan. Oleh karena biaya yang lebih besar
dan keuntungan yang sedikit, koloid tidak digunakan secara rutin di Amerika serikat untuk
resusitasi awal pada pasien luka bakar. Namun demikian, banyak yang tetap melakukan
pemberian albumin sebagai bagian dari protokol resusitasi luka bakar. Hal ini sangat jelas pada
populasi anak-anak dimana kadar protein plasma menurun secara cepat setelah luka bakar.3
c. Cairan hipertonik
Penggunaan salin hipertonik baik sendiri maupun bersama sama dengan koloid setelah
dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar. Salah satu
keuntungan dari cairan hipertonik adalah mengurangi kebutuhan volume untuk mencapai tingkat
yang sama dengan cairan isotonik. Secara teoritis pengurangan volume dari koloid yang
dibutuhkan ini akan mengurangi resiko terjadinya resiko edema paru dan edema jaringan yang
dapat mengurangi insiden intubasi trakeal. Cairan salin hipertonik telah memperlihatkan
ekspansi volume intravaskular dengan jalan memindahkan cairan dari intra selular dan
kompartemen interstisial. Bagaimanapun ekspansi intravaskular ini bersifat sementara. Beberapa
peneliti telah memperlihatkan besarnya total cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi tidak akan
berkurang bila digunakan cairan hipertonik pada awal luka bakar.3
Walupun semua keuntungan cairan hipertonik yang digunakan untuk resusitasi luka bakar perlu
dipertimbangkan, cairan hipertonik mungkin berguna pada suatu keadaan tertentu. Keadaan
tertentu termasuk keadan dimana sulit untuk menggunakan volume cairan yang besar dan pada
pasien dengan penyakit penyerta yang mempunyai resiko untuk terjadinnya gagal jantung.
Bagaimanapun tidak ada kesepakatan yang menyatakan cairan hipertonik mana yang paling
menguntungkan. Beberapa penelitian telah mempelajari cairan hipertonik salin dan hipertonik
laktat salin. Terdapat suatu studi yang memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada
pasien yang menerima laktat salin hipertonik di bandingkan pasien yang menerima cairan
isotonik. Pada beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan cairan hipertonik pada resusitasi
luka bakar. Griswold dkk, melaporkan penambahan volume pada pasien yang menerima albumin
dan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin hipertonik, dan Jelenko dkk
melaporkan berkurangnya insiden eskriotomi, pengurangan hari penggunaan vetilator, dan
berkurangnya volume cairan yang di butuhkan pada pasien yang menerima kombinasi albumin
dan salin hipertonik di bandingkan pasien yang hanya menerima cairan kristaloid isotonik. Akan
tetapi Gun dkk, tidak memperhatikan volume cairan saat memberikan fresh frozen plasma yang
digabungkan dengan cairan salin hipertonik.3
Kekhawatiran utama dalam penambahan cairan salin hipertonik adalah berkembangnya
hipernatremia. Konsentrasi natrium serum lebih dari 160 mEq/L telah dilaporkan terjadinnya
pada 40% - 50 % pasien yang menerima saline hiper tonik untuk resusitasi luka bakar. Huang
dkk, melaporkan beberapa kasus kematian yang berhubungan dengan teknik resusitasi ini.
Karena berpotensinnya terjadi gangguan elektrolit yang berat dan sedikitnnya bukti yang
menunjukkan bahwa resusitasi dengan hipertonik akan meningkatkan tingkat mortalitas, cairan
garam isotonik digunakan pada sebagian besar pusat resusitasi luka bakar. Secara keseluruhan
cairan hipertonik hanya digunakan oleh para ahli yang mempunyai pengalaman
menggunakannya, karena adanya beberapa resiko dan komplikasi.
Rekomendasi-rekomendasi
Rekomendasi : Kristaloid saat ini merupakan cairan yang terpilih dan paling sering digunakan
untuk resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar (level IB).3
Rasional : Sebagian besar studi tidak memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk, dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa sebagian besar pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler
paru setelah trauma dan insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian
intravaskular dipertahankan dalam batas normal. Berdasarkan tinjauan sistematik oleh
Schierhout dan Roberts dari 26 RCTs dengan 1622 pasien yang mendapatkan koloid atau
kristaloid, mortalitas adalah outcomeutama yang dinilai. Hasil yang didapatkan adalah mortalitas
pada pasien yang mendapat cairan koloid lebih besar 4 % di banding yang mendapat kristaloid
(95% CI 0-8%).3
Rekomendasi : Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari dalam 24 jam
pertama setelah trauma luka bakar (level II B).3
Rasional : Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding kristaloid pada awal resusitasi
cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk edema formationpada awal-awal
terjadinnya luka bakar. Hal ini oleh karena selama 8-24 jam setelah luka bakar terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga koloid mengalami influks masuk kedalam
interstitium sehingga memperburuk edema. Studi meta-analisis terakhir memperlihatkan
mortalitas lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan albumin sebagai bagian resusitasi awal
dengan 2,4 kali resiko relatif mortalitas di banding yang mendapatkan kristaloid.3
Rekomendasi : Cairan koloid dan atau cairan hipertonik (salin) mengurangi kebutuhan cairan
total dan memperbaiki performa jantung pada luka bakar (level I B).3
Rasional : Cairan hipertonik memperlihatkan daya ekspansi volume intravaskular dengan
memobilisasi cairan dari kompartemen intraseluler dan interstitial serta mengurangi disfungsi
kontraksi jantung yang berkaitan dengan luka bakar.3
Formula resusitasi
Banyak formula telah dirancang untuk menentukan jumlah cairan yang tepat
untuk diberikankan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi eksperimental
tentang patofisiologi syok pada luka bakar. 15
Kebanyakan unit luka bakar umumnnya menggunakan formua Parkland atau yang mirip
dengannya.15 .Formula Parkland yang menggunakan larutan kristaloid Ringer Laktat (RL) 4
cc/kg/% luka bakar. Setengah nya diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya diberikan dalam
16 jam kemudian.1, 3, 9, 13, 15
Formula Ini merupakan pedoman untuk resusitasi langsung dari
jumlah cairan yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi yang memadai.15
Selain dari jumlah cairan diatas, pada anak-anak menerima cairan pemeliharaandengan
pertitungan perjam nya:9
4 ml / kg untuk 10 kg pertama dari berat badan, ditambah.
2 ml / kg untuk 10 kg kedua dari berat badan, ditambah.
1 ml / kg untuk berat badan > 20 kg.
Adapun target resusitasi (End poits)9 pada formula ini adalah
Urine output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa
Urine output dari 1,0-1,5 ml / kg / jam pada anak-anak
MONITORING RESUSITASI
Setiap pasien luka bakar mempunyai reaksi yang berbeda-
beda dan jugamemerlukan dukungan cairan dalam jumlah yang juga bervariasi. Berbagai
faktordapat mempengaruhi respon pasien pada saat resusitasi seperti usia,
kedalaman lukabakar, trauma inhalasi yang bersamaan, dan penyakit penyerta. Jika
klinisimenggunakan sebuah endpoint dari resusitasi yang handal dan akurat dalam mengukur
kecukupan perfusi seluler, maka mereka akan tahu kapan harus''menghentikan'' terapi
cairan yang agresif serta dapat menghindari masalah over-resusitasi. 7
1. Tradisional endpoints.
Marker tradisional keberhasilan resusitasi seperti tekanan darah dan nadi dapat
normal karena merupakan bagian kompensasi syok serta tidak dapat mendeteksi hipoperfusi
selular yang tersembunyi. Pengukuran noninvasif dari tekanan darah mungkin sulit di nilai
karena adanya edema jaringan.Takikardi mungkin juga akibat dari nyeri dan kecemasan, yang
umum terjadi pada pasien luka bakar dan oleh karena itu merupakan marker yang kurang dapat
dipercaya akibat dari hipovolemia. Secara tradisional, urine output telah
digunakan sebagai pemandu resusitasi. Urine output mencerminkan keadaan perfusi ginjal, yang
sensitif terhadap penurunan cardiac output dan hipovolemik. The American
Burn Association menyarankankan bahwakecapatan cairan infus harus dititrasi
untuk mendapatkan urin output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa, Dengan munculnya
kompartemen sindrom, beberapa klinisi luka bakar yang berpengalaman
mulai dapat menerima urin output yang lebih lebih rendah sebagai endpoint resusitasi. Namun,
ada beberapa penelitian yang telah menunjukkan nilai output urin per jam dapat menggambarkan
perfusi yang cukup memadai. Tetapi, terdapat pula banyak studi yang menyoroti kegagalan
penilaian urin output dalam menilai kecukupan perfusi global. Karena keterbatasan marker
tradisional dalam hal resusitasi inilah, sehingga telah menimbulkan banyak minat untuk
menggunakan metode yang lebih maju dalam pemantauan endpoint resusitasi. 7
Opioid
Opioid intravena tetap menjadi metode yang paling populer dalam mengurangi nyeri pada luka
bakar. Morfin telah banyak diteliti dan digunakan dalam hal ini. Secara
farmakokinetik, metabolit aktif dari morfin pada prinsipnya tidak berbeda secara
signifikan antara pasien dengan dan tampa luka bakar, sehingga dapat digunakandosis yang
sama. Pada umum dibandingkan dengan opioid lain, morfin memiliki sifatsedatif dan antitusif,
hal ini tergantung pada metode pemberian, morfin memilikidurasi
yang relatif panjang. Metabolit morfin, terutama morfin-6-glukuronat,memainkan peran
aktif dalam analgesia, terutama ketika morfin digunakan untuk
periode lama. Morfin biasanya digunakan dengan PCA untuk penanganan
nyeri lukabakar. Kelemahannya PCA sangat bergantung
pada kemampuan pasien dalammenggunakan peralatan. Infus dengan kecepatan
tetap telah digunakan pasca operasi pada pasien dengan luka
bakar tetapi kelihatannya ketika timbulnya rasa sakit yang hebat, metode ini hanya dapat
memberikan tingkat analgesia yang rendah.12
Opioid lain yang lebih umum digunakan dalam anestesi telah dapat digunakan dalam prosedur
penanganan nyeri. Onset yang cepat, meningkatnnya kelarutan dalam lemak, dan
kemudahan dalam titrasi membuat obat ini mempunyai keuntungan yangpotensial, meskipun
potensi depresi pernafasan masih menjadi suatu kekhawatiran. PCA fentanyl telahdigunakan
untuk menagani nyeri pasca operasi pada luka bakar dan juga telah berhasil
digunakan melalui rute intranasal pada pasien anak. Remifentanil, dengan masa kerja yang
sangat cepat, telah digunakan selama pembedahan luka bakar, dan mungkin layak digunakan
ini di luar ruang operasi, meskipun keamanan obat ini dalam penggunaannya masih perlu di teliti
lagi.12
Pemberian pethidine (meperidin) telah dapat dilakukan dengan menggunakan PCA,
tapi yang menjadi masalah adalah dengan norpethidine (normeperidine) yang bisa berakibat
mudah terjadi toksisitas, terutama pada dosis tinggi, penggunaan jangka panjang, atau pasien
dengan gangguan ginjal.12
Obat lain, seperti benzodiazepines, dapat digunakan dalam kombinasi dengan opioid untuk
mengurangi kecemasan yang berat, namun kombinasi ini berisiko terjadinya depresi pernapasan
yang lebih besar. Lorazepam, yang dikombinasikan dengan morfin, telah memperlihatkan
peningkatkan analgesia pada pasien yang dengan nyeri yang lebih hebat. Meskipun penggunaan
opioid untuk penanganan nyari pada luka bakar telah meluas, tetapi ketergantungan opioid secara
psikologis tidak terjadi hal ini sebagai konsekuensi dari pengobatan nyeri pada luka bakar,
walaupun
ketergantungan fisik dapat terjadi. Opioid juga secarateori sering dikaitkan dengan depresi dari
fungsi kekebalantubuh dan dalam satu studi retrospektif penggunaan opioid dihubungkan dengan
peningkatan risiko infeksi pada pasien dengan luka bakar. 12
Nonopioid Analgesia
Berbagai obat nonopioid telah diteliti untuk menangani nyeri pada luka bakar. Pada salah satu
pusat studi luka bakar telah dilakukan pengamatan dimana opioid tidak digunakan, kemudian
didapatkan bahwa pengurangan nyeri diperoleh dengan menggunakan nonopioids adalah serupa
dengan yang diperoleh dengan menggunakan opioids. Di samping itu, ada keengganan untuk
memberikan opioid kepada pasien usia lanjut dengan luka bakar karena berakibat pada
peningkatan risiko efek samping.12
Non Steroid anti-inflamatory Drugs (NSAIDs) telah berhasil digunakan untuk menangani nyeri
atau mengurangi penggunaan opioid dalam berbagai kondisi nyeri akut. Penggunaan secara
parenteral obat NSAIDs, seperti ketorolac, seperti yang telah dijelaskan dapat diberikan untuk
menangani luka bakar. Penggunaan ketorolac dalam hubungannya dengan manfaat lainnya
berupa efek anti-inflamasi yang diperlukan pada luka bakar perlu diperhatikan. Pasien luka bakar
biasanya selalu berhadapan dengan hipovolemia atau gangguan ginjal sehingga
penggunaan NSAID pada pasien luka bakar telah dikaitkan dengan memburuk fungsi ginjal.
Kecemasan juga dapat menyebabkan atau memperburuk ulserasi gastrointestinal
sehingga penggunaan NSAID pada pasien luka bakar harus dibatasi. Meskipun potensi risiko
gastrointestinal lebih rendah dibandingkan dengan obat siklooksigenase-2-selektif inhibitor,
tetapi obat-obatan ini memiliki resiko terhadap kardiovaskuler dan ginjal yang signifikan.
Sehingga, penggunaan keterolak sebagai analgesik pada pasien luka bakar harus
dipertimbangkan untung dan ruginya serta mampaat klinisnya secara potensial.12
Secara Eksperimental nyeri luka bakar dapat dikurangi dengan menggunakan antagonis NMDA
seperti ketamin. Tetapi sayangnya, dosis tinggi dari ketamin sering dikaitkan dengan efek
samping yang tidak menyenangkan, seperti halusinasi dan dysphoria. Ketamine dosis rendah
mungkin efektif sebagai analgesik dan dapat mengurangi kebutuhan opioid. Ini adalah pilihan
yang menarik sebagai Ketamine yang bekerja pada reseptor NMDA telah terbukti mengurangi
sensitisasi sentral dan pengembangan hiperalgesia sekunder dari nyeri neuropatik pada model
hewan. Pengalaman dalam beberapa percobaan kecil dan seri kasus yang lebih besar
telahmemberikan bukti bahwa Ketamine efektif dan aman untuk pengelolaan nyeri pada pasien
luka bakar.12
NUTRISI
Pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan nutrisi yang baik untuk menghindari kehilanagan
masa tubuh yang berlebihan dan mencegah kelemahan yang akan terjadi. Dukungan nutrisi yang
segera diindikasikan untuk mengatur "stress respon" beratkarena akan terjadinya katabolisme.
Dukungan nutrisi juga diindikasikan untuk pasienyang sudah mengalami kekurangan
gizi. Tingkat dukungan nutrisi harus disesuaikandengan ukuran luka
bakar. Pemberian protein, kalori dan mikronutrisi harus ditingkatkan sesuai kebutuhan sebelum
terjadinnya komplikasi yang akan menyebabkan
terjadinnya kehilangan berat badan, dan perkembangan ke arah protein energy malnutrition.4
Dalam memberikan dukungan nutrisi , maka harus di nilai beberpapa hal yaitu : kebutuhan
energi (kalori), kebutuhan protein, kebutuhan cairan, kebutuhan mikronutrien, dan nutrient mix.4
Untuk menilai kebutuhan energi (kalori) pada umumnya digunakan rumus Harris-Benedict untuk
menghitung Basal Energy Expenditure (BEE). Adapun rumus tersebut adalah: 4
Ket : BB: Berat badan (dalam kg), TB: Tinggi Badan (dalam cm),
U : Umur (dalam tahun)
BEE : Basal Energy Expenditure
Untuk menghitung kebutuhan total energi = (BEE) X stress faktors. Adapun Stress faktor untuk
luka bakar berat (Severe burn) adalah 2,0.4
Pada pasien luka bakar rata tata memerlukan protein 1,2 sampai 2 gr / kg / hari, sementara untuk
luka bakar mayor (major burn) membutuhkan protein sebanyak 1,5 – 2
gr/kg/hari. Pemberian kandungan protein lebih dari 2 gr/kg/hari tidak akan meningkatkan sintesis
protein lebih jauh lagi dan protein tersebut hanya digunakan untuk kalori.2
Karbohidrat merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk sebagian besar jaringan,
tetapi harus ada batas yang jelas dalam jumlah penggunaan karbohidrat, terutama pada
pasien dengan luka
bakar hypermetabolic atau septik. Kelebihan karbohidrat hanyaakan menyebabkan pembentukan
lemak, yang akan membutuhkan energi yang lebihbesar dalam proses memproduksinya. Selain
itu peningkatan karbonhidrat akan
mengarah ke pada peningkatan produksi karbon dioksida.4 Untuk mencegah hal itu terjadi maka
dibutuhkanlah suatu nutrient mix. Secara optimum komposisi pencampuran makronutrien
(macronutrient mix) adalah sebagai berikut; karbonhidrat 55-60 %, lemak 20-25 %, protein 20-
25 %.2
Pemberian makanan enteral berdasarkan beberapa study telah menunjukan
dapat melindungi usus dari tranlocation toksis dan mikroorganisme, yang juga dapat mengurangi
angka kejadian sepsis.14
REFERENSI
Penanganan Demam Berdarah
BATASAN
Demam Berdarah Dengue : Adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue
melalui gigitan nyamuk Aedes Aigypti.
Kriteria WHO
Klinis :
1. Panas 2 – 7 hari
2. Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif.
3. Adanya pembesaran hepar
4. Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi
meningkat dan lemah serta akral dingin.
Laboratorium :
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)
DHF Shock (DSS) : Adalah demam berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi,
terdiri dari :
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin.
DHF grade IV :
1. Shock berat,
2. Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba.
PENATALAKSANAAN
Pada penderita dewasa
1. Cairan :
Infus NaCl 0,9 % / Dextrose 5 % atau Ringer Laktat
Plasma expander, apabila shock sulit diatasi.
Pemberian cairan ini dipertahankan minimal 12 – 24 jam maksimal 48 jam setelah shock
teratasi.
Perlu observasi ketat akan kemungkinan oedema paru dan gagal jantung, serta terjadinya
shock ulang.
2. Tranfusi darah segar pada penderita dengan perdarahan masif. 3. Obat :
Antibiotika : diberikan pada penderita shock membangkang dan/ atau dengan gejala
sepsis
Kortikosteroid : pemberiannya controversial Hati-hati pada penderita dengan gastritis.
Heparin : diberikan pada penderita dengan DIC Dosis 100 mg/kg BB setiap 6 jam i.v.
Pada penderita DSS (DBD Grade III dan IV) anak-anak
1. Cairan. Cairan yang diberikan bisa berupa :
Kristaloid :
Ringer Laktat
5 % Dextrose di dalam larutan Ringer Laktat
5 % Dextrose di dalam larutan Ringer asetat
5 % Dextrose di dalam larutan setengah normal garam faali, dan
5 % Dextrose di dalam larutan normal garam faali.
Koloidal :
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dextran 40)
Plasma.
1. RL / D 5 % dalam Ringer Asetat / larutan normal garam faali, diberikan 10 –20
ml/kg BB/ 1 jam.
2. Pada kasus yang berat (grade IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg BB (1 x atau 2
x).
3. Jika renjatan berlangsung terus (HCT tinggi) diberikan larutan koloidal (Dextran
atau Plasma) sejumlah 10 – 20 ml/kg BB/ 1 jam.
2. Tranfusi darah. Diberikan pada :
Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan yang berkelanjutan.
Gejala perdarahan yang nyata, misal : hematemesis dan melena.
Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan. Jika jumlah
thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun, maka : Antipiretika : yang diberikan
sebaiknya Parasetamol (mencegah timbulnya Efek samping pedarahan dan asidosis)
3. Obat penenang : diberikan pada kasus yang sangat gelisah. Dapat diberikan Diazepam 0,3 –
0,5 mg/kgBB /kali (bila tidak terjadi gangguan system pernapasan) atau Largactil 1
mg/kgBB/kali. Bila penderita kejang dapat diberikan kombinasi Diazepam (0,3 mg/kgBB) i.v.
dan diikuti Dilantin (2 mg/kgBB/jam 3 kali sehari).
4. Oksigen
5. Koreksi asidosis. Penggunaannya masih controversial, Natrium bicarbonat dapat diberikan 1
– 2 mEq/kgBB, diberikan dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung
dengan rumus : Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base defisit.
6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi
7. Kortikosteroid. Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan
dengan dosis:
Hidrokortison 6 – 8 mg/kgBB/ 6 – 8 jam i.v.
Methyl prednisolon 30 mg/kgBB/hari i.v.
Dexamethazon 1 – 2 mg/kgBB sebagai dosis awal, kemudian 1 mg/kgBB/hari i.v.
8. Dopamine.
REFERENSI
Guidelines Stroke 2007
PENATALAKSANAAN UMUM STROKE AKUT
A. PENATALAKSANAAN DI UGD
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka harus dilakukan
evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan cermat, meliputi:
1. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas saat serangan,
gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan, gangguan
visual, penurunan kesadaran, serta faktor2 resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol,
diabetes, dll).
2. Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis,
dan tanda2 distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung
dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
3. Pemeriksaan Neurologik dan Skala stroke, Pemeriksaan neurologik terutama
pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningeal, sistem motorik, sikap dan cara jalan,
refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini
adalah NIHSS (NATIONAL Institutes of Health Stroke Scale).
National Institutes of Health Stroke Scale
4. Studi diagnostic, meliputi :
Manitol 0,25 – 0,50 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap 4 – 6 jam dengan target
≤ 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB iv.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 – 40 mmHg)
Paralisis neuromuskular dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi
naiknya ICP dengan cara mengurangi naiknya TIK dan tekanan vena akibat batuk, suction,
bucking ventilator. Pasien dengan kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan muscle relaxant
sebelum tindakan suction atau lidokain sebagai alternatif.
Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi udem otak dantekanan TIK yang
tinggi pada stroke iskemik, pemberiannya diperbolehkan bila yakin tidak ada kontraindikasi.
Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar.
Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek
massa dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
e. Penanganan transformasi hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimtomatik, sedang untuk
yang simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan.
f. Pengendalian kejang
Bila kejang berikan diazepam bolus lambat iv 5 – 10 mg diikuti pemberian phenitoin
loading dose 15 – 20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
Bila kejang belum teratasi maka perlu rawat di ICU.
Tidak dianjurkan pemberian antikonvulsan profilaktik pada penderita stroke iskemik
tanpa kejang.
Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi profilaktik selama
1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.
g. Pengendalian suhu tubuh
Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diberikan antipiretika dan diatasi
penyebabnya.
Berikan acetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5°C.
Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(tracheal, darah dan urin) dan diberikan antibiotika. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa
CSS harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. Jika didapatkanmeningitis harus diikuti terapi
antibiotik.
h. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Laboratorium : kimia darh, fungsi ginjal, hematologi, dan faal hemostasis, kadar gula
darah, analisa urin, analisa gas darah dan elektrolit.
Bila ada kecurigaan PSA lakukan punksi lumbal untuk pemeriksaan CSS.
Pemeriksaan radiologi: rontgen dada, CT scan
B. PENATALAKSANAAN UMUM DI RUANG RAWAT
1. CAIRAN
Berikan ciran isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena
sentral dipertahankan antara 5 – 12 mmHg.
Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral)
Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan ( urin sehari + 500 ml + 300 ml per kenaikan panas 1
derajat celcius).
Elektrolit (sodium, potasium, calcium, magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila
terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai hasil analisa gas darah.
Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. NUTRISI
Nutrisi enteral paling lambat harus sudah diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelannya baik.
Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun, makanan diberikan melalui
pipa nasogastrik.
Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
1. Karbohidrat 30-40% dari total kalori
2. Lemak 20-35% (pada gangguan nafas lebih tinggi, 35-55%)
3. Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1,4-2,0 g/kgBB/hari; pada
gangguan fungsi ginjal < 0,8 g/kgBB/hari)
Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan > 6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrotomi.
Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
Perhatikaan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan
(misal: hindarkan makanan yang banyak mengandung vit K pada pasien yang mendapat
warfarin).
Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari tekanan darah arteri
rata-rata dalam 1 jam pertama.
Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105 mmHg, tangguhkan
pemberian obat anti hipertensi.
Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak harus
dipertahankan > 70 mmHg.
Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah harus dipertahankan
dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.
Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg harus dicegah segera pada waktu
pasca operasi dekompresi.
Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus diberikan obat menaikkan
tekanan darah (vasopresor)
PERHATIAN :
1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke, kandung
kencing penuh, nyeri, respon fisiologis dari hipoksia atau peningkatan tekanan
intrakranial.
2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di atas
akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase menunggu 5-20 menit
pengukuran berikutnya.
C. OBAT PARENTERAL UNTUK TERAPI EMERGENSI HIPERTENSI PADA
STROKE AKUT
D. OBAT ORAL UNTUK TERAPI URGENSI HIPERTENSI PADA STROKE AKUT
E. FLOWCHART PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT
Sumber :
Guidelines Stroke 2007, PERDOSSI
Stroke, Journal of American Stroke Association 2007
Akses Vaskuler pada Pediatrik
Akses atau jalan masuk ke sirkulasi/pembuluh darah sangat menentukan dalam tunjangan
hidup lanjut pada anak. Bila akses ke pembuluh darah dapat dicapai dalam menit-menit
pertama, obat dan cairan dapat diberikan segera sehingga resusitasi mungkin lebih
berhasil. Ada beberapa pilihan akses yang dapat digunakan tergantung dari kebutuhan
klinik dan ketrampilan penolong yaitu vena perifer, vena sentral dan intraoseus.
Walaupun jalur tabung endotrakeal dapat digunakan untuk pemberian beberapa obat pada
keadaan darurat akses intravena atau intraoseus lebih baik dan harus ada untuk pemberian
cairan terutama pada gangguan kardiopulmonal yang bukan disebabkan oleh gangguan
jantung seperti trauma dan sepsis. Jalur endotrakeal digunakan untuk pemberian obat
adrenalin, lidokain dan nalokson pada resusitasi bila akses vaskular tidak dapat dicapai
dalam waktu tiga menit.
Pemberian obat intrakardial tidak dianjurkan pada resusitasi jantung paru karena risiko
laserasi pembuluh darah koroner, tamponade jantung dan pneumotoraks lagi pula tidak
menghasilkan sirkulasi obat yang lebih cepat dari jalur intravena. Pemberian intrakardial
juga menyebabkan ventilasi dan penekanan dada harus dihentikan sebentar.
Bila vena perifer dapat terlihat atau diraba akses vena perifer harus dicoba lebih dahulu
meskipun kanulasi seringkali sulit karena pembuluh darah kolaps pada keadaan syok dan
henti napas atau jantung. Dalam keadaan demikian kanulasi vena perifer hanya dilakukan
pada pembuluh darah besar yaitu vena basilika dan
vena safena magna. Jika faktor kecepatan sangat penting dan pemasangan jarum/ kateter
di vena perifer sulit, pada anak balita lebih baik dilakukan kanulasi intraoseus yang
kemudian dilanjutkan dengan kanulasi vena besar atau seksi vena untuk pemberian obat
dan cairan lanjutan. Tempat yang disukai untuk penusukan jarum intraoseus pada bayi
dan anak kecil ialah bagian proksimal tulang kering (tibia).
Indikasi kontra kanulasi intraoseus adalah fraktur tulang panggul atau tulang yang
letaknya lebih proksimal dan fraktur tulang setempat. Sebaliknya pada resusitasi anak
besar (lebih dari lima tahun) bila kanulasi vena perifer tidak berhasil pada menit-menit
pertama, harus dilakukan kanulasi vena sentral atau seksi vena safena magna.
Dari penelitian pada hewan dan juga manusia ternyata tidak ada perbedaan dalam waktu
kerja obat dan kadar puncak dalam darah antara pemberian obat di vena perifer, vena
sentral dan intraoseus bila setelah pemberian tersebut diberikan bolus cairan NaCl
sebanyak 5 - 10 mililiter.
Langkah-langkah akses vena
Bila usaha pertama tidak berhasil dan perlu akses vaskular untuk pemberian obat atau
cairan.
V. Jugularis eksterna
Walaupun merupakan akses yang baik untuk kanulasi vena sentral v. jugularis eksterna
adalah vena perifer. Akses vena ini hanya digunakan bila kanulasi vena perifer lain gagal,
akan tetapi tidak dilakukan pada resusitasi pasien dengan gagal napas atau sumbatan jalan
napas karena untuk mencapainya leher harus diregangkan dan diputar ke arah
berlawanan.
Peralatan
Alat-alat yang dibutuhkan adalah kapas/ kasa dengan larutan antiseptik (povidoniodin)
dan alkohol, wing needle (no. 19, 21, 23, 25) atau kateter IV (no. 14, 16, 18, 20, 22, 24),
semprit dan cairan NaCl 0,9%, plester untuk fiksasi serta turniket yang kadang-kadang
diperlukan untuk membendung aliran darah di daerah lengan dan kaki. Untuk kanulasi
vena daerah kepala turniket yang digunakan berupa pita karet yang agak lebar.
Teknik kanulasi vena perifer di lengan,ketiak dan kaki dengan kateter intravena
Kanulasi vena harus dilakukan secara steril dengan melakukan upaya pencegahan/
pencegahan (universal precaution). Bilamana mungkin cuci tangan lebih dahulu dengan
air dan sabun atau larutan disinfektan sebelum melakukan tindakan kecuali dalam
tindakan resusitasi darurat.
Lengan dipegang erat oleh rekan yang membantu sehingga tidak dapat bergerak, letakkan
gulungan kasa atau kain di belakang siku sehingga fosa kubiti menonjol ke atas sedang
pada kanulasi vena di daerah kaki arahkan telapak kaki keluar sehingga maleolus
medialis menghadap ke atas kemudian pasang turniket di daerah proksimal vena. Bila
akan memasang kateter di vena aksilaris regangkan lengan atas dan bawah sejauhnya
sehingga ketiak terbuka dan menonjol.
Kenakan sarung tangan dan bersihkan kulit di permukaan bawah daerah vena dengan
cairan antiseptik. Bilas jarum atau kateter dengan larutan NaCl steril kemudian lepaskan
semprit sehingga lubang jarum/kateter terisi cairan. Dengan tangan yang bebas tarik atau
regang kulit di daerah vena dan tusuk kulit dengan jarum 0,5 - 1 cm ke arah distal atau
lateral letak vena dan dorong jarum dengan ujung menghadap ke bawah ke arah vena
sampai darah keluar ke pangkal jarum atau kateter, lepaskan bendungan dan hubungkan
kateter dengan semprit untuk memasukkan cairan sedikit sebelum menghubungkannya
dengan pipa infus.
Kemudian fiksasi kateter dengan plester, tutup dengan kasa steril dan pasang bidai agar
posisi lengan atau kaki tidak berubah.
Teknik kanulasi vena jugularis eksterna
Baringkan anak dengan posisi kepala lebih rendah 15-30o (atau ganjal bahu
sehingga kepala terkulai/tengadah), arahkan kepala ke arah berlawanan dengan letak
vena yang akan dituju dan pertahankan dalam posisi demikian (Gambar 37).
Bersihkan kulit dengan cairan antiseptik, raba vena jugularis eksterna yang terlihat
menyilang m. sterno-cleido-mastoideus pada batas sepertiga tengah dan sepertiga distal.
Minta pada rekan yang membantu menekan ujung vena di atas klavikula sehingga vena
tidak akan bergeser, kemudian tusukkan jarum ke kulit
dan vena dan setelah keluar darah hubungkan pipa set infus dengan jarum. Setelah itu
gunakan plester untuk memantapkan letak jarum/kateter.
Kanulasi intraoseus
Pada keadaan darurat akses intravena seringkali sukar dilakukan sementara setiap
kelambatan akan mempengaruhi hasil tindakan resusitasi. Karena itu pada resusitasi anak
balita akses intraoseus yang dimulai hampir 60 tahun lalu menjadi pilihan untuk
pemberian cairan, obat maupun komponen darah ke dalam pleksus vena di sumsum
tulang yang tidak kolaps. Akses intraoseus dapat dicapai dalam waktu 30 sampai 60 detik
dan umumnya semua obat yang digunakan pada resusitasi dapat diberikan melalui jalan
intraoseus (Gambar 38). Pemberian cairan untuk mengganti kehilangan dan obat atau
cairan yang agak pekat harus dilaksanakan dengan pemberian tekanan untuk mengatasi
tahanan jaringan pembuluh darah dalam sumsum tulang yang mengalirkan darah ke
sirkulasi umum melalui korteks tulang.
Pemberian cairan intraoseus dilakukan bila kanulasi akses vena lain gagal atau perlu
waktu lebih dari dua menit.
Alat-alat yang dibutuhkan:
• Jarum intraoseus
• Semprit dengan cairan NaCl
• Set IVFD
Gambar 41. Kanulasi vena Jugularis interna
Teknik kanulasi v. subklavia
Baringkan anak dengan posisi kepala ke bawah 30o dengan kepala diarahkan
kearah berlawanan dengan tempat penusukan fiksasi kepala dan badan sehingga
tidak bergerak.
Kenakan sarung tangan dan bersihkan daerah dada atas dengan cairan antiseptik.
Tentukan tempat penusukan 1 cm di bawah pertengahan klavikula atau antara sepertiga
tengah dan sepertiga medial klavikula. Berikan anestesi lokal dengan suntikan infiltrasi
Lignokain 1% dan tutup daerah sekitar dengan kain penutup steril hubungkan jarum
dengan semprit dan tusukkan jarum di bawah klavikula dan arahkan ke tonjolan supra
sternal. Dorong jarum sambil menarik pompa semprit menyusur bawah klavikula. Segera
setelah keluar darah lepaskan semprit dari jarum sambil menutup ujung jarum untuk
mencegah emboli udara. Bila tidak berhasil tarik kembali jarum kearah kulit sambil tetap
menarik pompa sempritkemudian dorong kembali jarum dengan arah sedikit lebih ke
atas(Gambar 42).
Masukkan kawat pemandu ke dalam jarum dan pembuluh darah, jahit kateter ke kulit dan
tarik kembali kawat pemandu. Tutup ujung kateter sebelum menghubungkan dengan pipa
IVFD untuk mencegah emboli udara . Fiksasi dengan plester dan buat foto toraks untuk
memastikan letak kateter dan memastikan tidak ada pneumotoraks.
Gambar 42. Kanulasi vena subklavia
Seksi vena safena magna
Seksi vena safena magna dilakukan bila kanulasi vena perifer, vena sentral dan intraoseus
tidak berhasil.
Alat-alat:
• Bidai untuk fiksasi tungkai bawah
• Lignokain 1% dengan semprit 2 ml dan jarum no. 23
• Bisturi (scalpel) dan Mosquito bengkok
• Benang dan jarum
Teknik seksi vena
Tentukan tempat insisi kulit yaitu satu jari (2 cm) pada anak, setengah lebar jari (1 cm)
pada bayi dan 2 jari pada anak besar di sebelah anterior maleolus medialis (Gambar 43).
Kenakan sarung tangan dan bersihkan daerah insisi dengan cairan antiseptik kemudian
tutup daerah sekitar dengan kain penutup steril. Berikan anestesi lokal dengan suntikan
infiltrasi Lignokain 1% dan iris kulit dengan scalpel.
Bebaskan jaringan subkutan dengan mosquito klem dan congkel vena setelah terlihat,
kemudian bebaskan vena. Potong benang sepanjang 15-30 cm dua lembar dan buat
simpul di daerah proksimal dan distal vena kemudian ikat ujung distal.
Buat lubang pada vena dengan ujung bisturi atau gunting runcing, hati-hati jangan sampai
putus kemudian sambil memegang ikatan distal vena masukkan kanul kateter intravena
kemudian fiksasi dengan ikatan benang proksimal secukupnya dan jahitan kulit dan
hubungkan ujung kanul/kateter dengan pipa infus.
Gambar 43. Seksi vena safena magna
Akses arteri
Kanulasi arteri dilakukan untuk mendapatkan sampel darah pemeriksaan analisis gas
darah dan pada anak biasanya dilakukan di a. radialis atau a. tibialis posterior.
Alat-alat:
• Semprit dengan heparin
• Wing needle atau jarum no. 20
• Plester
Teknik pungsi arteri
Sebelum melakukan pungsi arteri radialis lakukan uji Allen untuk memastikan adanya a.
ulnaris. Tekan kedua arteri di pergelangan tangan dan lepaskan tekanan pada a. ulnaris.
Kulit akan kembali kemerahan yang menunjukkan kembalinya sirkulasi. Bila sirkulasi
tidak pulih kembali jangan lakukan pungsi a. radialis.
Dorong telapak tangan 45-60o sehingga hiperekstensi dan pertahankan dalam posisi ini
bila perlu dengan mengganjal pergelangan tangan (Gambar 44).
Kenakan sarung tangan, raba arteri radialis dan bersihkan daerah pergelangan tangan
anak dengan cairan antiseptik kemudian tusuk jarum dengan susut 45o dan dorong jarum
perlahan-lahan sampai keluar darah. Ambil contoh darah dengan semprit kemudian tekan
selama 5 menit untuk mencegah hematoma.
Bila akan memasang kateter arteri tusuk kulit tempat arteri radialis dengan jarum no. 20
dengan sudut 30o sampai keluar darah kemudian turunkan jarum 10o dan masukkan
kateter no. 20-24 yang telah dibilas dengan heparin dan perlahanlahan dorong kateter
sampai masuk ke dalam arteri. Cabut jarum dan hubungkan kateter dengan sebuah T-
konektor dan hubungkan dengan infus cairan NaCl dan heparin yang kontinu (1-5 U/ml).
Tutup tempat tususkan dengan kasa steril dan plester dan fiksasi tangan dengan bidai.
Gambar 44. Pungsi arteri radialis
REFERENSI
Gangguan Irama Jantung pada Pediatrik
Gangguan irama jantung pada bayi dan anak merupakan kegawatan yang harus segera diatasi.
Pada usia tersebut henti jantung primer sangat jarang terjadi. Henti jantung biasanya sekunder
akibat hipoksia dan asidosis yang disebabkan oleh karena gangguan pada sistem pernapasan atau
syok.
Karena itu pada bayi dan anak dengan gangguan irama jantung harus segera diperbaiki jalan
napas, ventilasi yang efektif, oksigenasi yang adekuat dan stabilisasi hemodinamik.
Elektrokardiogram
Gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang menggambarkan proses depolarisasi dan
repolarisasi miokard disetiap siklus jantung yang meliputi gelombang P, QRS dan T (Gambar 1).
Depolarisasi mulai dari nodus sinoatrial (SA) yang terletak pada pertemuan vena cava superior
dengan atrium kanan dan melalui jaringan di atrium melalui jaras internodal menuju nodus
atrioventrikel (AV) yang daya penjalarannya lebih lambat. Kemudian melalui berkas His
(Bundle of His) akan cepat menyebabkan depolarisasi miokard ventrikel (Gambar 2).
Denyut jantung normal ditentukan oleh usia dan tingkat aktivitas serta keadaan patologis seperti
demam atau perdarahan. Terdapat variasi yang besar pada denyut jantung yang normal dan
berkurang secara berangsur sesuai umur (Tabel 1). Keadaan klinis anak dan saat baru bangun
tidur harus selalu dipertimbangkan, ketika hendak mengevaluasi denyut jantung. Bayi demam
dengan fungsi kardiovaskular normal, denyut jantung bisa mencapai 200 kali permenit atau
lebih. Keadaan ini sulit untuk dibedakan antara sinus takikardia dan takiaritmia (takikardia
supraventrikular).
Pemantauan EKG
Gambaran EKG harus dipantau terus menerus pada anak dengan fungsi pernapasan atau
kardiovaskular yang tidak stabil, termasuk anak dengan henti jantung paru yang lama.
EKG tidak bisa memberikan informasi keadaan kontraklitas miokard atau kualitas perfusi
jaringan. Oleh karena itu penanganan harus didasarkan pada evaluasi klinis pasien dihubungkan
dengan rekaman EKG.
Perangkat
Sistem pemantauan EKG terdiri dari layar dan takometer, frekuensi denyut jantung dapat
diketahui dengan menghitung jarak interval R-R. Idealnya sistem ini dilengkapi dengan alat
pencetak/perekam. Beberapa monitor juga mampu menyimpan data gangguan irama yang bisa
diperlihatkan kembali dan dianalisis kemudian. Rangsangan EKG disalurkan dari pasien ke layar
monitor melalui 3 kabel yang berwarna ditempelkan ke pasien dengan bantalan perekat sekali
pakai atau elektroda logam. Keduanya tersedia dalam ukuran kecil untuk anak. Bantalan perekat
yang besar untuk dewasa. Bila elektroda ditempatkan pada lokasi yang tepat akanmenghasilkan
gambaran EKG yang baik dengan gelombang P yang jelas, takometer akan terangsang oleh
gelombang R bukan oleh gelombang T .Elektroda harus ditempatkan di pinggir dada depan agar
tidak mengganggukompresi dada sewaktu resusitasi jantung paru , dan tidak menggangu
auskultasijantung (Gambar 4).
Artefak
Kita harus mengenal artefak yang umumnya terdeteksi pada rekaman EKG. Ada 4 jenis artefak
yang sering dijumpai .
1. Garis datar (mirip asistole) atau garis yang bergelombang (mirip fibirilasi kasar),
disebabkan karena kabel atau elektroda yang terlepas.
2. Gelombang T yang tinggi, oleh takometer dibaca sebagai gelombang R sehingga
denyut jantung terhitung dua kali lipat dari sebenarnya.
3. Tidak adanya gelombang P, karena penempatan elektroda yang tegak lurus
terhadap aksis gelombang P.
4. Gangguan / interferences perangkat elektrik di sekitarnya.
Artefak dapat menyulitkan interpretasi EKG. Penilaian klinis anak harus selalu diselaraskan
dengan gambaran EKG sebelum pengobatan.
Irama abnormal
Prinsip pengobatan
Gangguan irama jantung pada anak harus segera mendapat penanganan bila disertai dengan
penurunan curah jantung atau kecenderungan akan terjadi kolaps hemodinamik.
Curah jantung merupakan hasil dari perkalian isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung.
Penurunan curahjantung dapat disebabkan karena denyut jantung yang terlalu cepat dengan
akibat tidak cukupnya pengisian darah pada waktu diastole yang selanjutnya akan menyebabkan
isi sekuncup yang rendah, dan frekuensi jantung yang lambat.
Gangguan irama jantung yang spesifik memerlukan evaluasi akhli kardiologi anak. Tetapi
gangguan irama jantung yang umum yang disertai dengan kolaps hemodinamik harus dapat
dilakukan oleh setiap dokter.
Gangguan irama jantung dapat diklasifikasikan:
• Denyut nadi yang cepat = takiaritmia
• Denyut nadi yang lambat = bradiaritmia
• Tidak teraba denyut nadi = henti jantung (kolaps)
Irama yang lambat disertai dengan gangguan hemodinamik pada umumnya disebabkan oleh blok
AV atau adanya penekanan terhadap nodus SA oleh karena
hipoksia dan asidosis. Pengobatan awal adalah memperbaiki jalan napas, ventilasi dan (golongan
obat simpatomitetik)
Tidak teraba denyut nadi karena asistole, fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel tanpa denyut
nadi atau aktivitas listrik tanpa denyut nadi seperti pada disosiasi elektromekanik.
Takiaritmia
Sinus takikardia
Sinus takikardia adalah denyut jantung melebihi nilai normal sesuai umur (Tabel 1).
Gambar 5. Sinus takikardia pada anak demam (180 denyut permenit)
Pengobatan
Pengobatan ditujukan langsung terhadap penyebabnya.
Takikardia supraventrikular
Takikardia supraventrikular (SVT) ditandai dengan adanya perubahan frekuensi denyut jantung
yang mendadak bertambah cepat. Walaupun SVT pada bayi dan anak umumnya masih dapat
ditolerir, tetapi lambat laun dapat menyebabkan kolaps jantung dan akhirnya syok.
Gambaran EKG pada SVT (Gambar 6) adalah sebagai berikut:
Denyut jantung pada SVT tergantung umur anak. Pada bayi sekitar 240 kalipermenit atau
lebih
Irama teratur kecuali adanya AV blok
Gelombang P sulit diidentifikasi terutama bila denyut jantung ventrikel cepat
Lama QRS normal (dibawah 0.08 detik) pada kebanyakan (90%) anak. SVT dengan
konduksi aberasi (QRS yang lebar) sulit dibedakan dari takikardia ventrikel, tetapi bentuk seperti
ini jarang dijumpai pada bayi dan anak.
Perubahan ST dan T merupakan tanda iskemik miokard bila takikardia menetap.
Gambar 6. gambaran SVT pada bayi (denyut jantung > 300 kali.menit)
Membedakan sinus takikardia yang ekstrim karena sepsis atau hipovolemik dengan SVT adalah
sulit, keduanya bisa menyebabkan perfusi sistemik yang jelek, Beberapa hal yang membedakan
antara sinus takikardia yang ekstrim dengan SVT antara lain adalah:
1. Denyut jantung. Denyut jantung pada sinus takikardia selalu dibawah 200 kali/
min. sedangkan pada SVT pada bayi diatas 230 x/min.
2. Gambaran EKG. Gelombang P sulit diidentifikasi pada sinus takikardia maupun
SVT. Bila gelombang P dapat diidentifikasi, aksis dari gelombang P biasanya tidak
normal pada SVT tetapi normal pada sinus takikardia.
3. Variasi pada sinus takikardia kecepatan denyut dapat bervariasi tetapi pada SVT
tidak. Biasanya SVT menghilang secara mendadak sedangkan pada sinus takikardia
denyut jantung berkurang secara berangsur-angsur.
Pengobatan
Synchronized cardioversion
Direct current synchronized cardioversion merupakan pengobatan pilihan untuk pasien dengan
takiaritmia yang disertai dengan gangguan kardiovaskular.
Dosis awal yang diberikan pertama kali 0,5 J/kg dan bila takiaritmia masih menetap dapat
diulang dengan dosis dilipat gandakan. Jika tidak terjadi konversi ke irama sinus diagnosa SVT
perlu ditinjau kembali, sinus takikardia biasanya akan menetap.
Prosedur melakukan synchronized cardioversion
1. EKG dihubungkan ke defibrilator bila memakai alat tanpa monitor EKG
langsung.
2. Aktifkan sirkuit sinkron (adanya kedipan cahaya ditiap gelombang QRS
dilayar monitor pada modul yang lama QRS harus berdiri tegak.
3. Tombol harus ditekan dan dipertahankan sampai selesai syok (selama
beberapa kompleks QRS).
Idealnya pada bayi dan anak harus diintubasi dengan ventilasi dan oksigen 100% sebelum
kardioversi dan dipasang akses vaskular (vena atau intraosseus). Pemberian sedasi dan analgetika
perlu dipertimbangkan, bila pasien disertai dengan syok kardioversi tidak boleh ditunda.
Adenosin.
Adenosin adalah obat pilihan pengobatan SVT pada bayi dan anak. Adenosin adalah suatu
nukleosida endogen yang memblok transient AV blok.
Sementara untuk menghambat sirkuit reentery, termasuk jaringan junctional AV. Manfaat utama
ednosin adalah waktu paruh yang singkat kurang dari 10 detik sehingga mengurangi efek
samping dan relatif aman. Adenosin tidak berinteraksi dengan obat jantung lainnya dan bisa
digunakan pada anak dengan sindrom Wolf Parkinson White dan gangguan irama lainnya. Pada
bayi dengan SVT dan syok, pemakaian adenosin bisa diberikan sebelum kardioversi bila telah
dipasang akses vaskular, tetapi kardioversi harus segera diberikan bila akses vaskular tidak
ada / terpasang.
Dosis: 0,1 mg/kg bolus secara cepat dengan pemantauan EKG. Karena waktu paruhnya sangat
cepat maka harus cepat dibilas dengan 2-3 mg garam fisiologis. Bila belum ada respons dapat
diulang setiap 2 menit sampai dosis maksimum tidak melebihi 12 mg.
Verapamil.
Verapamil adalah anatagonis kalsium, efek antiaritmia verapamil melalui perlambatan konduksi
dan pemanjangan masa refrakter di jaringan AV. Verapamil mempunyai efek inotropik negatif
dan menyebabkan depresi miokard yang serius.
Telah dilaporkan bahwa pada pemberian verapamil dapat menyebabkan bradikardia, hipotensi
dan asistole. Verapamil tidak boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, gagal jantung ,dan
anak yang telah mendapat obat golongan badrenergik.
Dosis verapamil : 0,1-0,2 mg/kg selama 10 menit kemudian dilanjutkan 5 μg/ kg/menit.
Takikardia ventrikular
Takikardia ventrikular (VT) sangat jarang dijumpai pada anak. Denyut ventrikel bervariasi dari
mendekati normal sampai diatas 400 kali permenit. Denyut ventrikel yang lambat dapat
ditoleransi dengan baik, tetapi denyut ventrikel yang cepat akan mengurangi isi sekuncup, curah
jantung serta cepat memburuk menjadi fibrilasi ventrikel.
Umumnya anak dengan VT mempunyai kelainan struktural jantung atau sindrom perpanjangan
QT. Penyebab lainnya adalah hipoksemia, asidosi, gangguan elektrolit, keracunan obat seperti
anti depresi golongan trisiklik.
Gambaran EKG pada VT (Gambar 7) adalah sebagai berikut:
Denyut ventrikel minimal 120 kali permenit dan teratur
QRS lebar lebih dari 0,08 detik
Gelombang P tidak dapat diidentifikasi. Bila ada tidak berhubungan dengan QRS
(disosiasi AV). Denyut melambat, depolarisasi atrium secara retrograde dengan perbandingan
1:1.
Gelombang T berlawanan arah dengan QRS
Mungkin sulit membedakan SVT dengan kondusi aberans dari VT. Untungnya SVT
dengan konduksi aberans pada anak dijumpai sangat sedikit (dibawah 10%).
Pengobatan
VT tanpa teraba nadi ditanggulangi seperti fibrilasi ventrikel. Bila VT dengan tanda-tanda syok
(curah jantung yang rendah, perfusi yang jelek) tetapi nadi teraba, dilakukan “synchronized
cardioversion: Idealnya pasien telah diintubasi dengan pemberian oksigen 100%, ventilasi yang
adekuat, pasang akses vaskular dengan sedasi dan analgesi yang adekuat.
Bila penyebab VT diketahui (misal gangguan elektrolit atau keracunan obat) harus diobati
penyebabnya.
Lidokain.
Digunakan untuk menaikkan ambang rangsang dari fibrilasi ventrikel dan menekan ektropik
ventrikel paska kardioversi, jadi harus diberikan sebelum kardioversi jika terpasang akses
vaskular dan obat tersedia. Dosis awal 1 mg/kg selama 2 menit dan dilanjutkan dengan drip 20-
50 mg/kg/menit. Kardioversi pada anak tidak boleh ditunda pada anak yang tidak stabil dan drip
lidokain harus ditinjau kembali setelahtimbul sirkulasi spontan terutama bila penyebabnya adalah
miokarditis atau kelainan struktur jantung.
Kadar lidokain yang berlebihan di dalam plasma dapat menekan miokard dan gangguan sirkulasi
dengan gejala dari susunan saraf pusat berupa mengantuk, disoriantasi, dan kejang. Bila ada
gangguan klirens lidokain seperti kegagalan jantung kongestif, dosisnya harus dikurangi
maksimum 20 mg/kgBB/menit.
Bretylium tosylate
Tidak ada data mengenai penggunaan bretylium tosylate pada kelompok usia anak.
Bradiaritmia
Hipoksemia, hipotensi dan asidosis akan menganggu fungsi normal dari nodus SA dan nodus AV
dan akan memperlambat konduksi melalui jaras (pathway) yang normal. Sinus bradikardia, henti
nodus sinus dengan irama junctional yang lambat atau irama ventrikel escape dengan berbagai
derajat AV blok sering dijumpai pada anak dengan gangguan irama terminal.
Gambaran EKG pada bradiaritmia adalah sebagai berikut :
Denyut jantung yang lambat
Gelombang P yang kadang-kadang sulit dinilai
Gelombang QRS yang normal atau memanjang.
Pengobatan
Bila resusitasi kardiopulmonal diperlukan maka evaluasi spesifik terhadap bradiaritmia tidak
diperlukan. Bradikardia (frekuensi denyut jantung < 60 x/menit) pada bayi dan anak yang
disertai dengan perfusi perifer yang buruk perlu mendapat penanganan walaupun dengan tekanan
darah normal. Pemberian oksigen 100% dengan ventilasi yang adekuat, kompresi dada dan
pemberian epinefrin serta atropin dapat dipakai seperlunya.
Epinefrin
Merupakan obat golongan inotropik derivat katekolamin yang menstimulasi reseptor a dan b.
stimulasi b reseptor akan meningkatkan kontraksi miokard dan denyut jantung. Pemberian dosis
awal epinefrin secara intravena atau intraoseus yang telah direkomendasikan untuk bradikardia
simptomatik tidak respons dengan ventilasi dan pemberian oksigen 100% maka epinefrin
diberikan dengan dosis 0,01 mg/kgBB dengan perbandingan 1: 10.000 (0,1 ml/kg). Dosis yang
diberikan melalui endotrakeal tube 0,1 ml/kgBB dengan perbandingan 1: 1000 (0,1 ml/kg)
yang diencerkan dengan 3-5 ml.
Atropin sulfat
Merupakan obat golongan para simptolitik yang dapat mempercepat sinus dan atau pacu jantung
atrial dan mempercepat konduksi AV. Atropin sulfat hanya digunakan untuk penanganan
bradikardia setelah ventilasi dan oksigenasi adekuat tidak memberikan respons. Umumnya
bradikardia disebabkan karena hipoksemia.
Atropin juga digunakan untuk penanganan bradikardia karena refleks vagal selama intubasi bila
oksigenasi baik. Walaupun digunakan untuk bradikardia dengan tanda syok secara klinis (perfusi
yang jelek atau hipotensi), pada keadaan ini pemberian epinefrin lebih efektif. Bradikardia yang
simptomatik dengan AV blok dapat diatasi dengan atropin.
Dosis vagolitik atropin yang dipakai adalah adalah 0,02 mg/kgBB, dosis minimal 0,1 mg dan
dosis tunggal maksimal pada anak 0,5 mg . Atropin dapat diulang setelah 5 menit dengan pada
anak 1,0 mg . Dosis intravena ini bisa juga diberikan melalui endotrakeal tube, walaupun
penyerapan ke dalam sirkulasi melalui jalan ini tidak dapat dipercaya. Dosisnya 2 sampai 3 kali
lebih tinggi dari dosis intravena.
Takikardia setelah pemberian atropin biasanya berupa sinus takikardia dan dapat ditoleransi
dengan baik.
Henti nadi
Henti nadi adalah diagnosis klinis, tidak teraba nadi setelah henti napas. Bisa karena asistole,
fibrilasi ventrikel atau aktivitas listrik tanpa denyut nadi (termasuk disosiasi elektromekanik).
Asistole
Henti nadi karena aktifitas listrik jantung perlu dikonfirmasikan secara klinis (henti nadi, henti
pernapasan spontan, perfusi yang jelek) dimana garis yang datar bisa disebabkan oleh lepasnya
lead EKG. Gambar EKG pada asitole (Gambar 8)
• Gambar datar di layar monitor EKG
• Gelombang P kadang-kadang terlihat
Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel disebabkan karena depolarisasi ventrikel yang kacau, tidak teratur karena
getaran miokard tanpa kontraksi, tanpa sistole ventrikel sehingga nadi tidak teraba. VF adalah
keadaan terminal yang tidak biasa dijumpai pada kelompok usia anak dan hanya 10% terjadi
pada anak dengan gangguan irama terminal. Hasil resusitasi VF lebih baik daripada asistol atau
disosiasi elektromekanikal.
Penanganan pertama pada bayi dan anak tanpa denyut nadi adalah ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat dan dilakukan kompresi dada luar. Dilakukan defibrilasi bila VF dikonfirmasikan dilayar
monitor EKG. Penanganan VT tanpa denyut nadi sama seperti VF.
Gambaran EKG pada fibrilasi ventrikel (Gambar 9)
Tidak bisa diidentifikasi gelombang P, QRS atau T
Gelombang VF yang kacau dan diklasifikasikan berdasarkan tingginya gelombang atas
kasar atau halus.
Gambar 9. Gambaran EKG pada fibrilasi ventrikel kasar (Chaotic)
Pengobatan
Defibrilasi
Merupakan pengobatan definitif dari VF atau VT tanpa denyut nadi, tetapi defibrilasi tidak
diindikasikan pada asistol. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada diteruskan sampai
akan dilakukan defibrilasi. Idealnya telah dipasang akses vaskular, tetapi tidak sampai menunda
tindakan defbrilasi untuk mendapatkan akses vaskular.
Defibrilasi adalah depolirsasi massa sel miokard kritis yang tidak dibatasi waktu (asinkron)
sehingga terjadi depolarisasi spontan miokard yang teratur. Jika depolarisasi yang teratur tidak
kembali ,VF akan berlanjut menjadi garis datar, pada saat ini tidak mungkin mengembalikan
kegiatan aktifitas spontan jantung.
Berhasilnya defibrilasi memerlukan arus listrik yang cukup mencapai jantung. Aliran arus ini
tergantung pada energi yang diberikan (Joule) dan tahanan transtoraks (Ohm) yang bisa menahan
aliran arus. Bila tahanan transtoraks tinggi maka dibutuhan lebih banyak energi untuk
mendapatkan arus yang cukup sehingga defibrilasi atau kardioversi berhasil. Faktor yang
mempengaruhi tahanan transtoraks adalah energi yang diberikan, ukuran elektroda, jumlah syok,
interval antar syok, fase ventilasi, ukuran dada dan tekanan pedal elektroda.
Dosis energi
Dosis energi yang optimal untuk defibrilasi pada bayi dan anak belum didapatkan.Informasi
yang ada tidak mendemonstrasikan hubungan dosis energi dengan berat badan. Dosis awal 2 J/kg
BB sampai didapati data yang lebih lanjut. Untuk meminimalkan tahanan transtoraks, operator
harus menekan kuat pedal elektroda
selama defibrilasi. Jika VF menetap setelah defibrilasi 2 J/kgBB, energi bisa dilipat gandakan 4
J/kg BB . Pada defibrilasi kedua jumlah arus yang mencapai jantung akan meningkat, karena
tindakan pertama akan mengurangi tahanan transtoraks. Pada defibrilasi ketiga bila masih
diperlukan tetap dengan energi 4 J/kgBB. Tiga kali syok harus dilakukan secepatnya dan
berurutan.
VF yang menetap memerlukan pengobatan tambahan dengan epinefrin, lidokain atau bretylium
dengan interval tiap dosis 30-60 detik setelah defibrilasi (4J/kgBB). Jika VF berhasil diterminasi
tetapi berulang, dilakukan defibrilasi ulang dengan energi yang paling akhir.
Ukuran pedal
Ukuran pedal ditentukan oleh tahanan transtoraks, yang paling besar lebih merendahkan tahanan.
Pedal yang sebaiknya ukuran yang paling besar sehingga memungkinkan kontak yang baik oleh
seluruh permukaan pedal dengan jarak kedua yang baik. Pedal bayi (4,5 cm) digunakan sampai
usia setahun atau berat badan diatas 10 kg.Pedal dewasa (8-13 cm) untuk anak diatas setahun
atau berat badan diatas 10 kg.
Antar permukaan elektroda
Kulit merupakan penghambat antara elektroda pedal dan jantung, yang merendahkan tahanan
antara permukaan (seperti krim atau pasta elektroda, bantuan busa yang dibasahi NaCl 0,9%)
dapat direkomendasikan. Gel untuk sonografi tidak diperbolehkan. Bantalan yang ada alkohol
berisiko luka bakar yang serius dan pedal tanpa perantara menyebabkan tahanan dada yang
besar.
Perantara antar permukaan dari pedal yang satu (misalnya cairan NaCl 0,9% dan bantalan yang
dibasahi NaCl 0,9%) tidak boleh kontak dengan elektroda lainnya karena bisa terjadi jembatan
listrik. Bila ini terjadi ada sirkuit pendek yang jumlah arusnya tidak adekuat melintas kejantung.
Posisi elektroda
Elektroda pedal ditempatkan sedemikian rupa sehingga jantung berada diantaranya. Posisi
elektroda anteriorposterior dengan satu elektroda di depan dada diatas jantung dan satu lagi di
belakang , secara teoritis lebih superior tetapi tidak praktis selama resusitasi jantung paru. Posisi
elektroda standar, satu pedal ditempatkan didada kanan atas dibawah klavikula dan lainnya
disebelah kiri dari puting susu kiri di linea axilaris anterior. Posisi elektroda bayangan cermin
untuk pasien dekstrokardia.
Keamanan
Defibrilasi berpotensi bahaya bagi operator dan orang sekitarnya yang kontak dengan arus listrik.
Orang yang melakukan harus selalu memberitahukan akan dimulainya tindakan defibrilasi,
sebelum tindakan defibrilasi orang yang menekan tombol defibrilator harus menyebutkan dengan
jelas dan keras : setelah hitungan ketiga “saya bebas” satu “ saya bebas”, dst.
Operator mengecek kembali, memastikan tidak ada kontak dengan pasien termasuk tenaga medis
yang melakukan ventilasi dengan kompresi.
Semua tangan harus menjauhi dari semua peralatan yang kontak dengan pasien termasuk
endotrakeal tube, kantong ventilasi dan cairan intravena. Akhirnya operator menyebutkan tiga
semua bebas dan melakukan defibrilasi.
Percobaan defibrilator
Pada bayi diperlukan dosis yang sangat kecil, energi yang disimpan dan energi yang dihasilkan
oleh defibrilator mungkin jelas berbeda. Defibrilator perlu diperiksa secara periodik untuk
keamanan dan ketepatan:
Urutan defibrilasi
Jika terlihat VF dilayar monitor :
1. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada terus menerus tanpa henti
2. Berikan perantara konduktif dipedal bayi (usia pasien dibawah atau sama dengan
setahun) atau pedal dewasa (usia pasien diatas setahun)
3. Hidupkan defibrilator, jangan aktifkan modus sinkron
4. Tentukan dosis energi dan isi kapasitor
5. Hentikan kompresi dada dan letakkan pedal pada posisi yang tepat didada.
6. Memeriksa kembali irama jantung dilayar monitor
7. Jauhkan orang sekitarnya jangan sampai ada kontak denganpasien, tempat tidur
atau peralatan
8. Tekan pedal yang kuat dan pada waktu bersamaan tekan tombol defibrilasi
9. Evaluasi EKG
Disosiasi elektromekanik
Disosiasi elektromekanik (EMD) adalah aktivitas listrik tanpa denyut nadi, ditandai oleh adanya
aktivitas listrik yang teratur di EKG tetapi curah jantung tidak adekuat dan nadi tidak teraba.
Penyebabnya bisa hipoksemia, asidosis berat, hipovolemia, pneumotoraks dan tamponade
pericardial. Penyebab lainnya hipokalemia, hipertermia dan keracunan obat (termasuk kelebihan
dosis antidepresan trisiklik,penghambat b). hasil aktif dari EMD adalah jelek, kecuali penyebab
spesifik cepat diidentifikasi dan ditangani. Kompresi dada, hiperventilasi dengan oksigen
100%, intubasi dan pemberian epinefrin dan sambil mencari penyebab EMD.
BATASAN
Kejang adalah gerakan abnormal pada neonatus oleh karena gangguan fungsi sistem neuron.
KLASIFIKASI
Klonik : Fokal, Multifokal, Migratory
Tonik : Unilateral, Dekortisasi, Deserebrasi
Mioklonik : Fokal, Bilateral
Subtle : Nistagmus, Deviasi mata, Gerakan mengisap, mengunyah, Gerakan seperti
mengayuh se-peda, Gerakan seperti berenang, Mengejap-ngejapkan mata dan flutter kelopak
mata, Apnea
ETIOLOGI
Penyulit perinatal : Ensefalopati neonatal, Trauma susunan saraf pusat (SSP) dan
perdarahan intrakranial
Gangguan metabolisme : Hipoglikemia, Hipokalsemia, Hipomagnesemia,
Hipo/hipernatremia, Ketergantungan piridoksin, Gangguan metabolisme asam amino, Asidemia
organik, Gangguan yang berkaitan dengan biotin, Intoleransi fruktosa, Kelainan mitokondria,
Storage disease, Penyakit Menkes ‘kinky hair
Infeksi : Meningitis, Ensefalitis, Abses otak
Gangguan perkembangan
Obat-obatan/toksin
Polisitemia/hiperviskositas
Infark fokal
Familial
Ensefalopati hipertensif
Tidak diketahui
PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat pelepasan elektrik secara berlebihan, yaitu oleh karena depolarisasi dari
neuron dalam SSP. Depolarisasi terjadi akibat masuknya Na pada proses Na-K pump. Untuk
mempertahankan proses Na-K pump diperlukan energi. Depolarisasi yang berlebihan
disebabkan :
Kegagalan proses Na-K pump oleh karena penurunan produksi energi, misalnya pada
keadaan hipoksemia, iskemia dan hipoglikemia
Perubahan permeabilitas membran neuron → peningkatan masukan Na dan terjadi
depolarisasi yang berlebihan, misalnya pada keadaan hipokalsemia dan hipomagnesemia
Eksitasi neurotransmiter lebih kuat dari inhibisinya → peningkatan depolarisasi, misalnya
pada keadaan ketergantungan piridoksin
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis yang terperinci mengenai aktivitas kejang :
Kejang klonik fokal : Hentakan klonik yang bersifat fokal dan tidak disertai
penurunan kesadaran. Gerakan klonik berlangsung lambat (1-3 kejang/detik) sering terjadi pada
sebelah lengan atau satu sisi wajah dan mungkin menyebar kebagian tubuh yang lain pada satu
sisi yang sama
Kejang klonik multifokal : Gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak
yang berpindah-pindah dari satu ke anggota gerak lainnya dan sering terlihat pada bayi normal <
34 minggu
Kejang tonik : Gerakan bersifat fokal atau umum dan dapat menyerupai posisi
dekortisasi atau deserebrasi, pergerakan sering berupa deviasi mata, gerakan klonik atau apnea,
dan sering pada bayi prematur
Kejang mioklonik : Berupa gerakan menyentak yang sinkron, tunggal atau
multipel pada tangan, kaki atau keduanya dan biasanya berhubungan dengan kelainan SSP
Kejang subtle : Mengejap-ngejapkan mata dan flutter kelopak mata, Gerakan
mulut dan lidah berupa mengisap-isap, mengunyah dan menguap, Posisi ekstremitas dengan
posisi tonik, Apnea
Pemeriksaan fisis, terutama status neurologik
Laboratorium
Metabolik : Glukosa ↓, Na ↑/↓, Ca ↓, Mg ↓
Work-up sepsis : Leukositosis/leukopenia, kultur darah, urin dan cairan likuor (+)
Work-up TORCH
Skrining sekresi obat dalam urin dan kadar teofilin dalam darah bila
memugkinkan
Analisis gas : Asidosis, hipoksia
Pungsi lumbal : Menyokong kearah etiologi
Radiologi (jika memungkinkan)
USG kepala : Perdarahan intraventrikular → daerah yang lebih ekogenik di
intraventrikular
CT scan : Perdarahan subaraknoid → lesi hiperdens di subaraknoid
Magnetic resonance imaging (MRI) : Perdarahan intraventrikular akut →
gambaran signal yang isodens
• EEG
Kejang tonik → gambaran EEG berupa lesi multifokal yang abnormal.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding sesuai dengan etiologi
TERAPI
Mempertahankan ventilasi, oksigenasi, tekanan, elektrolit, pH darah
Penyebab : Hipoglikemia atau hipokalsemia → lihat penanganan hipoglikemia atau
hipokalsemia
Anti kejang:
Fenobarbital
Dosis awal : 20 mg/kgBB i.v./i.m. Jika setelah 60 menit, kejang masih ada berikan dosis ke-2 (10
mg/kgBB)
Jika kejang masih ada, 2-4 jam kemudian dapat diberikan luminal 10 mg/kgBB. Dosis
maksimum loading dose fenobarbital 30-40 mg/kgBB
Jika fenobarbital tidak memberikan respons → fenitoin
Dosis rumatan : 3,5-4,5 mg/kgBB, dosis tunggal atau 2x/hari i.m./p.o., diberikan 12 jam setelah
loading dose.
Pemberian dihentikan jika pemeriksaan fisis normal, tidak ada kejang rekurens dan gambaran
EEG normal. Pada penderita yang mempunyai risiko untuk terjadinya kejang rekurens (hipoxic
ischemic encephalopaty/HIE, malformasi korteks serebri) pemberian fenobarbital dilanjutkan
sampai umur 2 bulan
Fenitoin
Loading dose : 15 - 25 mg / kgBB/ IV, kecepatan tidak melebihi 0,5 mg / kgBB / menit.
Selanjutnya 5 mg/ kgBB/ hari
Rumatan : diberikan 4-8 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis i.v.
Diazepam
Hanya untuk menghentikan kejang dengan segera.
Pemberian harus dengan monitoring ketat, sebaiknya di rawat di ruang intensif
Dosis: 0,1-0,3 mg/kgBB pengenceran dengan NaCl fisiologis (1:4), i.v., perlahan-lahan sampai
kejang berhenti
Lorazepam
Bila resisten terhadap fenobarbital dan fenitoin
Dosis 0,05 mg/kgBB/dosis, i.v. dalam 2-5 menit
Paraldehid
Bila tidak berhasil dengan antikonvulsan lain
Dosis : 0,1-0,3 ml/kgBB, diencerkan dalam minyak mineral (rasio 1:1 atau 2:1), dalam bentuk
rektal/supositoria dan tidak boleh diberikan > 3x/hari
Obat lain
Ca : Untuk mengatasi kejang karena hipokalsemia
Mg : Bila penyebabnya hipomagnesemia, dosis Mg-sulfat 50% 0,1-0,2 ml/kgBB i.m.
setiap 12 jam
Piridoksin : Bila penyebabnya defisiensi/ketergantungan piridoksin, dosis 50 mg i.v
(Selama pemberiannya harus dimonitor EEG). Rumatan : Untuk ketergantungan 10-100 mg/hari
p.o.(4 dosis) Untuk defisiensi 5 mg/hari p.o. (4 dosis)
PROGNOSIS
Secara umum baik bila : Penyebabnya gangguan metabolik, Pemeriksaan neurologik normal,
EEG normal, Kejang bersifat familial ringan,
Prognosis buruk bila : Penyebabnya malformasi kongenital, asfiksia berat dan perdarahan
intraventrikular berat, Kejang berlangsung > beberapa hari, Pemeriksaan neurologik abnormal,
EEG abnormal
REFERENSI
1. Behrman RE, Vaughan VC, Mc Kay RJ. Disturbance of repiratory tract. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 364-75.
2. Fenichel GM. Seizures. Neonatal neurology; edisi ke-3. New York: Churchill
Livingstone Inc, 1990; 17-34.
3. Gomella TL. Neurologic diseases. Neonatology, management, procedures, on-call
problems, diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 382-7.
4. Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Neurological problems. Neonatal intensive care;
edisi ke-3. Philadelphia: Bailliere Tindall, 1989; 224-8.
5. Kuban K, Filiano J. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 493-
504.
6. Menkes JH. Paroxysmal disorder. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME,
penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991;
445-9.
7. Krisis Hipertensi pada Pediatrik
8. Hipertensi tidak biasa dijumpai pada anak. Tekanan darah jarang diukur secara rutin pada
anak yang tampak sehat-sehat saja, oleh karena itu maka hipertensi biasanya disertai
gejala yang berlainan. Gejala nerologis tampak lebih nyata pada anak dibandingkan
dewasa. Kemungkinan terdapat gejala sakit kepala hebat, disertai atau tidak disertai
muntah, memberi kesan peningkatan tekanan intrakranial. Anak dapat pula mengalami
kejang atau koma yang akut. Beberapa anak akan menunjukkan palsi fasial atau
hemiplegia, dan pada bayi bisa disertai apnue.
9. Pengukuran tekanan darah
Mengukur tekanan darah pada anak bisa sulit dan kacau apabila tidak dilakukan dengan
benar. Petunjuk-petunjuk ini hendaknya diperhatikan. Pergunakan manset ukuran terbesar
yang sesuai dengan ukuran lengan atas. Manset yang terlalu kecil akan menunjukkan
tekanan darah yang salah karena terlalu tinggi.
Nilai tekanan darah sistolik lebih dapat dipercaya daripada tekanan diastolik, oleh karena
suara Korotkoff yang keempat tidak terdengar atau sampai nilai nol.
Apabila digunakan alat pengukur elektronik, hasilnya sering tidak meyakinkan, maka
sebaiknya lakukan pemeriksaan ulang secara normal sebelum diadakan tindakan.
Peningkatan tekanan darah pada anak yang berontak, kesakitan atau berteriak, harus
diulang lagi setelah keadaan anak tenang.
Apabila anak sangat kecil atau gelisah, penggunaan alat doppler mungkin menolong
secara kasar, tekanan sistolik dapat pula diukur dengan cara palpasi.
Tekanan darah anak normal meningkat sesuai dengan umur, pembacaan harus
dibandingkan dengan nilai normal yang sesuai umur anak. Apabila tekanan darah
meningkat melebihi 95 percentile dan terus meningkat, maka pengobatan harus dimulai.
Simptomatologi peningkatan tekanan darah meningkat pula dengan bertambahnya umur
anak, dan diagnosis menjadi tidak sulit.
Pengobatan darurat
Pengobatan pendahuluan akan bergantung kepada keadaan klinik. Jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi, harus diperhatikan dan ditanggulangi seperti biasa.
Demikian pula dilaksanakan pemantauan status nerologik. Konvulsi biasanya dapat
diatasi dengan diazepam, dan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial harus
ditanggulangi sebagaimana mestinya.
Segera setelah resusitasi dilakukan, maka pengobatan hipertensi harus dimulai setelah
berkonsultasi dengan ahli saraf anak atau kardiologi anak, karena penurunan tekanan darh
yang terlalu cepat bisa berbahaya bagi anak.
Pemantauan tekanan darah, penglihatan dan pupil sangat penting pada saat ini oleh
karena penurunan tekanan darah dapat menyebabkan infark dikepala nervus optikus.
Setiap perubahan harus diikuti dengan peningkatan tekanan darah segera, dengan air
garam fisiologis atau koloid. Kadang-kadang anak menderita
anuri, pemeriksaan fungsi ginjal, (kreatinin serum, urea dan elektrolit) harus dinilai
secara tepat.
Beberapa obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah anak dapat dilihat pada
Table 1
10. Tabel 1. Obat-obat yang digunakan pada hipertensi berat
11.
12.
Beberapa ahli mungkin menganjurkan pemberian nifedipin sebagi pengobatan sementara
sebelum dipindah, anak harus tetap dipantau tekanan darahnya dan infus intravena harus
dimulai.
Anak-anak ini harus dirawat didalam unit yang berpengalaman dalam penanggulangan
hipertensi anak. Biasanya dipusat nefrologi anak atau kardiologi anak. Konsultasi yang
memadai harus dilakukan sebelum pemindahan pasien.
REFERENSI