Anda di halaman 1dari 242

Terapi Cairan dan Transfusi

PENILAIAN VOLUME INTRAVASKULER


Penilaian dan evaluasi  klinis volume intravascular biasanya dapat dipercaya, sebab pengukuran
volume cairan kompartemen belum ada. Volume cairan intravascular dapat ditaksir dengan
menggunakan pemeriksaan fisik atau laboratorium atau dengan bantuan monitoring
hemodynamic yang canggih. Dengan mengabaikan metoda yang ada, evaluasi serial diperlukan
untuk mengkonfirmasikan kesan awal dan panduan terapi cairan. Lebih dari itu,  perlu
melengkapi satu sama lain, sebab semua parameter tidak langsung, pengukuran volume
nonspesifik, kepercayaan pada tiap parameter mungkin salah.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik preoperative adalah yang paling dapat dipercaya .Tanda- tanda hipovolemia
meliputi turgor kulit, hidrasi selaput lendir, denyut nadi yang kuat, denyut jantung dan tekanan
darah dan orthostatic berubah dari yang terlentang ke duduk atau posisi berdiri, dan mengukur
pengeluaran urin. Banyak obat yang pakai selama pembiusan, seperti halnya efek fisiologis dari
stress pembedahan, mengubah tanda-tanda ini dan memandang tak dapat dipercaya periode
sesudah operasi. Selama operasi, denyut nadi yang kuat (radial atau dorsalis pedis), pengeluaran
urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon tekanan darah ke tekanan ventilasi yang positive
dan vasodilatasi atau efek inotropic negative dari anestesi, adalah yang paling sering digunakan. 
Pitting edema-presacral pada pasien yang tidur atau pada pretibial pada pasien yang dapat
berjalan- peningkatan pengeluaran urin adalah tanda hypervolemia pada pasien dengan dengan
jantung, hepar, dan fungsi ginjal yang normal. Gejala lanjut dari hypervolemia yaitu tachycardia,
pulmonary crackles, wheezing, cyanosis, dan frothy pulmonary secretion.
Tabel. Tanda-Tanda Kehilangan Cairan (Hipovolemia)

Evaluasi Laboratorium 
Beberapa pengukuran laboratorium digunakan untuk menilai volume intravascular dan
ketercukupan perfusi jaringan Pengukuran ini meliputi serial hematocrits, seperti pH darah arteri,
berat jenis atau osmolalitas urin, konsentrasi klorida atau natrium dalam urin, Natrium dalam
darah, dan creatinin serum, ratio blood urea nitrogen (perbandingan BUN). Ini hanya pengukuran
volume intravascular secara tidak langsung dan sering tidak bisa dipercaya selama operasi sebab
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan hasilnya sering terlambat. Tanda-tanda laboratorium dari
dehidrasi yaitu peningkatan hematocrit progresif acidosis metabolic yang progresif, berat jenis
urin >1.010, Natrium dalam urin <10 mEq/L, osmolalitas > 450 mOsm/kg, hypernatremia, dan
ratio BUN- -kreatinin >10:1. Tanda-tanda pada foto roentgen adalah meningkatnya vaskularisasi
paru dan interstitiel yang ditandai dengan ( Kerly " B") atau infiltrasi difus pada alveolar adalah
tanda-tanda dari overload cairan   
Pengukuran Hemodinamik  
Monitoring CVP diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang normal jika
status volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya perubahan yang
cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan nilai yang rendah(< 5 mm Hg) mungkin normal
kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia. Lebih dari itu, respon dari bolus cairan ( 250 mL)
yang ditandai dengan: sedikit peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan indikasi penambahan
cairan, sedangkan suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg) kebutuhan cairan cukup dan
evaluasi kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12 mmHg dipertimbangkan.
hypervolemia dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya tekanan intrathorakal, atau
penyakit pericardial restriktif.
Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak berkorelasi dengan gejala
klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau sekunder dari fungsi ventrikel kanan,
kelainan fungsi tubuh; yang juga berhubungan dengan paru-paru atau penyakit pada ventrikel
kiri. Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP) <8 mmHg menunjukkan adanya
hypovolemia ,dikonfirmasi dengan gejala klinis; bagaimanapun, nilai <15 Mm Hg berhubungan
dengan pasien yang hipovolemia relative dengan compliance ventrikel lemah. Pengukuran PAOP
>18 mmHg dan biasanya menandakan beban volume ventrikel kiri yang berlebih. Adanya
penyakit katup Mitral (stenosis), stenosis aorta yang berat, atau myxoma atrium kiri atau
thrombus mengubah hubungan yang normal antara PAOP dan volume diastolic akhir ventrikel
kiri. Peningkatan tekanan pada thorak dan tekanan pada jalan nafas paru terlihat adanya
kesalahan; sebagai konsekwensi, semua pengukuran tekanan selalu diperoleh pada waktu akhir
expirasi . Teknik terbaru mengukur volume ventrikel dengan transesophageal echocardiography
atau oleh radioisotop dan lebih akurat tetapi belum banyak tersedia. 
 
CAIRAN INTRAVENA  
Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya.
Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam)
dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi
seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan oncotic  plasma dan sebagian besar
ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang
cairan extracellular.  
Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid untuk pasien dg
pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga plasma tekanan oncotic plasma,
koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravascular dan curah jantung.Ahli yang
lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang
cukup. Pendapat yang mengatakan bahwa koloid dapat menimbulkan edema pulmoner pada
pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan onkotik
interstitial paru-paru sama dengan plasma ( lihat Bab 22). Beberapa pernyataan dibawah ini yang
mendukung : 
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid
dalam mengembalikan volume intravascular. 
2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan kristaloid biasanya
memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid. 
3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami deficit cairan
extracellular melebihi deficit cairan intravascular.. 
4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan
menggunakan cairan koloid. 
5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan
edema jaringan.
Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan mengganggu transport oksigen,
memperlambat penyembuhan luka dan memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah
pembedahan.

Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien dengan syok hemoragik
dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan
perfusi otak, dan pasien dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan kristaloid
telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat diberikan. 
Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan tergantung dari derajat
dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan
hipotonik dan disebut juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan
elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga replacement type solution.
Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan
hipoglikemia dengan cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8
jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (> 24 h) disbanding pria. 
Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka yang biasa digunakan
adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer Laktat. Walaupun sedikit hypotonic,
kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai
komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering dipakai sebagai larutan
fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika
larutan salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis
hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma
menurun dan konsentrasi Clorida meningkat. 
Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan mengencerkan Packed Red Cell
untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan
pemeliharaan pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan pada terapi
hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 – 7,5% disarankan dipakai untuk
resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat
menyebabkan hemolisis. 

Cairan Koloid
Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid untuk menjaga cairan
ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular 20-30
menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular 3-6 jam. Biasanya
indikasi pemakaian cairan koloid adalah : 
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang berat
(misal: syok hemoragik) sampai ada transfusi darah. 
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana 

Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar, koloid
diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid
telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma. 
Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid bila dibutuhkan
cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah normal
saline ( Cl 145 – 154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik. 
Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma atau polimer
glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi
plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan
resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi alpha dan beta globulin
yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang
alami da melibatkan aktivasi dari kalikrein. 
Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan dengan histamine
mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United States.Dextran terdiri dari Dextran 70
( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi dengan
menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek antiplatelet. Pemberian melebihi 20
ml/kg/hari dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi anafilaksis.
Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaxis
berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi. 
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul berkisar
450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul besar
dihancurkan pertama kali oleh amylase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan
lebih murah disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi
anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan
dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial.
Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang menjalani
bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat molekul rendah, sedikit efek
tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch.
 
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan normal dan
kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.

Kebutuhan Pemeliharaan Normal    


Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena
adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible
losses dari kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut:
Tabel Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan
       Berat Badan                                                       Kebutuhan        
10 kg pertama                                                            4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua                                                          2 ml/kg/jam
Masing-masing kg  > 20 kg                                       1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab: 40+20+5=65 ml/jam

Preexisting Deficit    
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan menyebabkan defisit
cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan
normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 + 20
+ 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil
dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit
preoperatif. Sering terdapat hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.

Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit cairan
preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan
penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan
perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan,
maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate
biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan
cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan intravascular ( normovolemia)
sampai bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat
diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL
(hematocrit 21 - 24%).
Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap normal. Hb
10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan jantung dan
paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang
terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari
banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb
yang diharapkan.
Tabel. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes) 
Umur                                          Volume Darah
NEONATES
     PREMATURE                            95 ML/KG
     FULL-TERM                             85 ML/KG
INFANTS                                       80 ML/KG
ADULTS
     MEN                                            75ML/KG
     WOMAN                                     65 ML/KG

Pada keadaan ini   kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood cell.

Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan volume
darah. Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah
>10-20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan
prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan
hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut: 
 Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.
 Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).
 Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah
normal.
 Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah
RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.
 Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Contoh :
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa banyak jumah
darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?

Volume Darah yang diperkirakan = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 ml.


RBCV 35 % =  5525 x 35 % = 1934 mL. 
RBCV30% = 5525 x 30 % = 1658 mL 
Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1934 - 1658 = 276 mL. 
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL = 828 mL.

Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah melebihi
800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24%
(hemoglobin < 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,
contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.

Tabel. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan


DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN               PENAMBAHAN CAIRAN
MINIMAL (contoh hernioraphy)                                        0 – 2 ml/Kg
SEDANG  ( contoh cholecystectomy)                               2 – 4 ml/Kg
BERAT (contohreseksi usus)                                               4 – 8 ml/Kg

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut:


1. Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan
hematocrit 2-3% (pada orang dewasa); dan 
2. 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan
hematocrit 10%.

Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi


Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat manipulasi dan
pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan
ini dapat digantikan menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah minimal,
moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi pada
masing-masing pasien.   

TRANSFUSI 
GOLONGAN DARAH
Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenic berbeda. Sedikitnya 20
antigen golongan darah terpisah dapat dikenal; tanda dari masing-masing adalah di bawah
control genetic dari chromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada
transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody ( alloantibodies). Antibodi
bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau
sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.

Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan B. Masing-masing
merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel
glycoprotein, menghasilkan antigen  yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.)
Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibody
[ sebagian besar immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens ( Tabel 29-7) di dalam tahun
pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu
chromosom tempat berbeda. Tidak adanya  antigen H( hh genotype, juga disebut Bombay pheno-
type) mencegah munculny gen A atau B; individu dengan  kondisi sangat jarang ini  akan
mempunyai anti-A, anti-B, dan anti-H antibodi.

Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome. Ada sekitar 46 Rh-berhubungan
dengan antigens, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan
menyesuaikan dengan antibody .Biasanya, ada atau tidak allele yang paling immunogenic dan
umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih
mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan allele ini disebut Rh-Negative dan biasanya
antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi
sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).

Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid,
Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian ( Kell,
Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic
serius. 

TES KOMPATIBILITAS 
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibody sebagai
hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di periksa adanya
antibody yang tidak baik.
Tabel. Golongan darah ABO
  TIPE                              Adanya antibodi dalam serum          Insidensi*
     A                                                anti– B                                    45%
     B                                                anti – A                                      8%
   AB                                                    -                                             4%
      O                                            anti A, anti–B                             43%
* angka rata-rata  pada orang di Eropa

Tes ABO-Rh
Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO;
antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing),
mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah merah pasien
diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk menentukan
jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah
kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan antigen yang
dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika hasilnya
adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien
dengan sel darah merah Rh (+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan
pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.

Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch mempunyai
tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi
pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi
aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.

Screening Antibodi
Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya
dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak
langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah
dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan
penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel daraah. Screening ini
rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari
crossmatch .

Type & Crossmatch versus Type & Screen


Timbulnya suatu reaksi hemolytic yang serius setelah transfusi dari ABO- dan Rh-Compatible
Transfusi dengan screening negatif tetapi tanpa crossmatch kurang dari 1%. Crossmatching,
bagaimanapun, meyakinkan pentingnya kemanan yang optimal dan mendeteksi adanya antibody
yang lain yang muncul dalam screening. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk prosedur
operasi elektif dg kemungkinan transfusi darah. Oleh karena waktunya sekitar 45 menit jika
sebelumnya prosedur dua type dan screen telah didokumentasikan, pada beberapa Center telah
memulai crossmatch secara komputer.

Pemesanan Darah Untuk OperasiKebanyakan rumah sakit menyusun daftar operasi yang akan
dilakukan dan yang maksimum jumlah unit yang dapat dicrossmatch preoperati. Seperti pada
praktek mencegah berlebihan Crossmatching darah. Daftar pada umumnya didasarkan pada
masing-masing pengalaman institusi. Suatu crossmatch-to-transfusion perbandingan kurang dari
2.5:1 dipertimbangkan bisa diterima. Hanya suatu type and screen dilakukan jika timbulnya
transfusi untuk suatu prosedur kurang dari 10%. Jika transfusi diperlukan, dilakukan cross-match
. Pinjaman secara khas dibuat untuk pasien anemic dan mereka yang mempunyai kelainan
pembekuan.
TRANSFUSI DALAM KEADAAN DARURAT
Ketika pasien sedang exsanguinating, kebutuhan transfusi terjadi sebelum penyelesaian suatu
crossmatch, penyaringan , atau bahkan identifikasi tipe darah. Jika jenis darah pasien sudah
dikenal, dilakukan crossmatch kurang dari 5 menit, akan mengkonfirmasikan kompatibilitas
ABO. Jika jenis darah penerima tidak dikenal dan transfusi harus dimulai sebelum penentuan,
jenis O Rh-Negative darah mungkin bisa digunakan.

BANK DARAH
Darah dari pendonor disaring untuk mengeluarkan zat-zat yang dapat mempengaruhi kondisi
medis yang kurang baik bagi penerima donor. Hematocrit ditentukan, jika >37% untuk
allogeneic atau 32% untuk donor autologous, darah dikumpulkan, diidentifikasi, disaring untuk
antibodi, dan dilakukan pengujian adanya Hepatitis B, Hepatitis C, sipilis,human T cell leukemia
virus ( HTLV)-1 dan HTLV-2, dan Human immunodeficiency virus ( HIV)-1 dan HIV-2.
Kebanyakan pusat penelitian sedang melakukan tes terhadap asam nucleat virus RNA untuk
mendeteksi Hepatitis B dan C dan virus HIV ,dan sedang melakukan deteksi terhadap West Nile
Virus. Ada test yang sangat sensitif, dan mereka perlu membatasi virus dengan window positif
tetapi test negatif.
Pertama, darah dikumpulkan kemudian tambahkan larutan anticoagulant. Larutan yang paling
umum digunakan adalah CPDA-1, yang berisi sitrat sebagai antikoagulan (berikatan dengan
Calcium), fosfat sebagai buffer, dextrose sebagai sumber energi sel darah merah, dan adenosine
sebagai precursor dari sintesa ATP.
Darah dengan CPDA-1- dapat disimpan untuk 35 hari, setelah kelangsungan hidup sel darah
merah dengan cepat berkurang. Sebagai alternatif, penggunaan AS-1 ( Adsol) atau AS-3
( Nutrice) meluas umur rata-rata 6 minggu.
Semua unit yang dikumpulkan dipisahkan ke masing-masing komponen, yang diberi nama, sel
darah merah, platelets, dan plasma.
Ketika disentrifuge, 1 unit Whole blood utuh menghasilkan sekitar 250 mL packed red blood cel
( hematocrit 70%); mengikuti penambahan larutan saline, volume suatu unit packed red cell
sering mencapai 350 mL. Sel darah merah secara normal disimpan pada 1-6°C. Sel darah merah
dapat dibekukan dalam larutan glycerol hypertonis sampai 10 tahun. Teknik yang belakangan
pada umumnya disediakan untuk penyimpanan darah dengan phenotypes jarang. Supernatant
disentrifuge untuk menghasilkan platelets dan plasma. 1 Unit platelets yang diperoleh biasanya
berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20- 24°C untuk 5 hari. Sisa plasma supernatant
diproses dan dibekukan untuk menghasilkan Fresh frozen plasma; pembekuan cepat mencegah
inaktifasi faktor pembekuan ( V dan VIII). Pencairan yang lambat dari Fresh frozen plasma
menghasilkan suatu gelatin presipitat (cryo-precipitate) yang berisi faktor VIII dan fibrinogen
dengan konsentrasi tinggi. Ketika dipisahkan, cryoprecipitate ini dapat dibekukan kembali untuk
disimpan. Satu unit darah menghasilkan sekitar 200 mL plasma, yang mana dapat dibekukan
untuk disimpan; sekali ketika, harus ditransfusi dalam 24 jam. Platelets boleh sebagai alternatif
untuk mencapai plateletpheresis, yang ekuivalen dengan enam unit reguler dari pasien .

TRANSFUSI INTRAOPERATIF   
Packed Red Blood Cells
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan penggunaan dan
pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah
merah tetapi tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive heart
failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel darah merah; kristaloid
dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama dengan jalur intravena yang kedua untuk
penggantian volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan kartu dari
bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk
menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk
mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang
sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus dihangatkan sampai 37°C. terutama jika lebih
dari 2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan
hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG) konsentrasi rendah dalam darah
yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-
disosiasi dan, menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah >
30°C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit

Fresh Frozen Plasma


Fresh Frozen Plasma ( FFP) berisi semua protein plasma, termasuk semua factor pembekuan.
Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi faktor terisolasi, pembalikan warfarin therapy, dan
koreksi coagulopathy berhubungan dengan penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya
meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada umumnya dosis awal 10-15
mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi faktor pembekuan yang normal.
FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah masive. Pasien dengan
defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan
FFP transfusi.
Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang sama sebagai unit darah utuh.
Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka terhadap protein plasma. ABO-COMPATIBLE
biasanya diberi tetapi tidak wajib. Seperti butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan
37°C sebelum transfusi.

Platelets
Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan thrombocytopenia atau dysfunctional
platelets dengan pendarahan. Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan
hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.
Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan peningkatan perdarahan
selama pembedahan. Pasien dengan thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau
prosedur invasive harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung
trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam dan prosedur bedah
minor dapat dilakukan pada pasien dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi
trombosit normal dan hitung trombosit >50,000 x 109/L.
Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan 10,000-20,000 x 109/L
dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan
lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat
meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat
didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan
pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan. ABO-
compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu. Transfused Platelets biasanya
survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet
survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan adanyanit donor
tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet
transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit
normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi.
Platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan
pada pembedahan. ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu.
Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel
dapat meningkatkan platelet survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam
kaitan dengan adanya beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet Unit.
Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di (dalam) yang 70 mL plasma
pada setiap platelet unit dapat menyebabkan suatu reaksi hemolytic melawan terhadap butir-butir
darah merah penerima ketika sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi.
Administrasi Rh immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat melindungi dari Rh sensitisasi
yang mengikuti Rh-Positive platelet Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang
kuman melawan terhadap HLA antigens lymphocytes di (dalam) platelet berkonsentrasi) atau
platelet spesifik antigens memerlukan HLA-COMPATIBLE atau single-donor unit. Penggunaan
plateletpheresis transfusi boleh ber/kurang kemungkinan sensitisasi. 

Transfusi Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien neutropenia
dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai
masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010
granulocytes pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya
reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain
permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi mempengaruhi
fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-CSF)
dan sargramostim ( granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah
sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.

KOMPLIKASI TRANSFUSI
A. Komplikasi Imun   
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan sensitisasi donor ke sel darah
merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.

1. Reaksi Hemolytic
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah yang
ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien
terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible,
FFP, clotting faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B
( atau kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravascular.
Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed ( extravascular).

Reaksi Hemolytic Akut


Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan Inkompatibilitas ABO dan
frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling umum adalah
misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat.
Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar,
gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi,
manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat
dijelaskan , hipotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi.
Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang
dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah yang
inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml
darah yang ABO inkompatibel. Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai berikut:
 Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan segera.
 Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
 Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
 Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
 Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
Reaksi hemolytic lambat
Suatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut hemolysis extravascular biasanya ringan dan
disebabkan oleh antibody non D antigen Sistem Rh atau ke asing alleles di system lain seperti
Kell, Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-compatible,pasien
mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat
itu
Sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel
darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak
terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel darah, dapat
mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem
Kidd antigen. Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala
biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak meningkat
setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai
hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs)
Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di membrane sel darah. Test ini tidak bisa
membedakan antara membrane antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane
antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih
terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor. 
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi transfusi hemolytic
lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin)
dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.

2. Reaksi Imun Nonhemolitik


Reaksi imun Nonhemolytic adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke donor lekosit,
platelets, atau protein plasma.

Febrile Reaksi
Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febrile. Reaksi ini
umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh suatu peningkatan temperatur
tanpa adanya hemolysis. Pasien dengan suatu riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi
lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge,
filtration, atau teknik freeze-thaw.

Reaksi Urtikaria   
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal bintik merah dan
bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan
dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat
diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan steroids.

Reaksi Anafilaksis    
Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi ini berat dan terjadi
setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA- Pasien dengan
Deficiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA
diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian
epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu
menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .

Edema Pulmonary Noncardiogenic   


Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [ TRALI]) merupakan
komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi antileukocytic atau
anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi
di sirkulasi pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin.
Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS),
tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy suportif.

Graft versus Host Disease 


Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah berisi lymfosit
mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri tidak dapat
dipercaya mencegah penyakit graft-versus-host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah,
granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi
dari transfusi.

Purpura Posttransfusi
Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi menghancurkan
trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis
dalam hal ini dianjurkan. 

Imun Supresi   
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat
jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif nampak untuk
meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan
malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan.
Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan
virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi
yang serius setelah pembedahan atau trauma.

B. Komplikasi Infeksi 
1. Infeksi virus
Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah
transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C
virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini
adalah anicteric, dan sedikitnya 50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu,
tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.

Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )


Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah.
Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA
yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko
dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.
Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit sistemik
ringan atau asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu menjadi
pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan virus. Pasien
immunosupresi dan Immunocompromise ( misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi
organ ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien menerima
hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV
dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative.
Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan
pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah
leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah;
leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah
transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasient
immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak
mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.

2. Infeksi parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan
Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

3. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur
positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi
sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk
pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang
adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-
negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit.
Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi
sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.
C. Transfusi Darah Masif
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali
volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.

Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional thrombocytopenia.
Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi
dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa
Viscoelastic dari pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga
bermanfaat.

Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting setelah
transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena menyebabkan
depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5
menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar (
dan kemungkinan pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif ).

Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah cairan
intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi
,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung.
Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh
mengurangi timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.

Keseimbangan asam basa 


Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam
sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida dan asam laktat), berkenaan
dengan metabolisme acidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang
terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic
postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic berakhir dan alkalosis
metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar.
Konsentrasi Kalium Serum Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan
meningkat dengan waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing
kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah
ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama
sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolisme.

STRATEGI ALTERNATIF UNTUK PENAGANAN KEHILANGAN DARAH SELAMA


PEMBEDAHAN
Transfusi Autologous
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan tinggi untuk
transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama operasi. Darah ini
dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien diperbolehkan untuk
mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih 34% atau hemoglobin
sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan
membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi eritropoetin
rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada umumnya dikumpulkan
sebelum operasi. Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai
efek tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker.
Walaupun transfusi autologous mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka
tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang
berhubungan dengan n kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label,
pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan
dengan allergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang/penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative autologous dilakukan
dengan frekwensi berkurang.

Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang 


Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vascular dan bedah tulang. Darah di
aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah ( heparin) ke
dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang merah di
konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian di
transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai
hematocrits 50-60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah
lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang busuk dan
tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel malignan
via teknik tills tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan rein-fusion
darah tanpa centrifugae.

Normovolemic Hemodilusi
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi sel darah
merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah dalam jumlah
besar ditumpahkan; lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume intravascuiar
terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter intravena yang besar
dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap normovolemic tetapi
dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu
sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di transfusikan kembali ke pasien
setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.

Donor - Transfusi Langsung


Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang mengandung ABO
kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan umumnya memerlukan
donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah dan mengkonfirmasikan
kompatibilitas.
Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor secara random
tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman.

KONSEP UTAMA
1. Walaupun waktu paruh cairan kristaloid didalam intravascular adalah 20-30
menit, kebanyakan     cairan koloid mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam.
2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi hanya setelah kehilangan
darah lebih dari 10-20% dari volume darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis pasien dan
prosedur pembedahan.
3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO, antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan
antigen dalam transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,dan mengakibatkan hemolysis
intravascular.
4. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi hemolytic akut adalah
kenaikan temperatur, tachycardia yang tak dapat dijelaskan,hypotensi, hemoglobinuria
dan oozing difus dari lapangan operasi.
5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat menjadi immunosuppressive.
6. Pasien immunosupresi dan immunocompromised (misalnya, bayi premature dan
penerima transplantasi organ) terutama  peka  terhadap infeksi cytomegalovirus
(CMV) melalui transfusi. Seperti pasien yang hanya menerima unit CMV-NEGATIVE.
7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah yang massif adalah dilutional 
thrombocytopenia.
8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada
pasien   normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit.
9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering setelah transfusi darah masif
adalah  alkalosis metabolic post operative.
REFERENSI
Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc Graw-Hill Companies, Inc.
United State.
Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Pendahuluan. 
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang
bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut
sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah suatu
tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Tanpa
pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka yang berakibat
ganda. Disatu pihak penderita dapat meninggal seketika, dilain pihak dokternya dapat dikenai
sanksi hukum yang digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice. Test kulit yang merupakan
salah satu upaya guna menghindari kejadian ini tidak dapat diandalkan, sebab ternyata dengan
test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk tidak timbulnya reaksi anafilaktik dengan
pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik pada
penderita yang amat sensitif. Olehnya itu upaya menghindari timbulnya syok anafilaktik ini
hampir tertutup bagi profesi dokter yang selalu berhadapan dengan suntikan. Satu-satunya jalan
yang dapat menolong kita dari malapetaka ini bukan menghindari penyuntikan, karena itu
merupakan senjata ampuh buat kita, tapi bagaimana kita memberi pertolongan secara lege-artis
bila kejadian itu menimpa kita. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam
pengelolaan syok anafilaktik. Makalah ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usaha-
usaha yang harus dilakukan dalam mengelola syok anafilaktik.
 
Insidens 
Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat
kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang
akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya
kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun.
Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat
rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per 10.000) kejadian.
Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin
dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat
reaksi anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafilakis 0,01 % eksposue di Amerika. Gigitan
serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanyak dari syok anafilaktik.(1)
 
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan,
terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan
berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi
yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat
dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of
Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan
leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek
histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos
bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. (2)
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi
reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2
pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula
kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan
mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat
menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan
sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada
tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi
mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat
yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena dapat merangsang terlepasnya mediator.(2,3,4)
 
Reaksi Anafilaktoid 
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama
dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan
mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya
dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras
radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun
NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat
terhambatnya enzim siklooksgenase.
 

 
Manifestasi klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat
yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)
 
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang
kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini
menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan
gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan
bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
 
Sistem sirkulasi 
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga
berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala
hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai
akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua
akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah
menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume
relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat
segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
 
Gangguan kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala
ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin
merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus
harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat
berkembang kearah yang lebih berat.
 
Gangguan gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal
yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan
sirkulasi.
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik
 
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik
 
Pengelolaan Anafilaksis dan syok Anafilaksis
Secara umum terapi anafilaksis bertujuan :
1. Mencegah efek mediator
 Menghambat sintesis dan pelepasan mediator
 Blokade reseptor
2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.
 
Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi
  
Penanganan syok anafilaktik 
I. Terapi medikamentosa (7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :
 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat
terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga
tekanan darah dengan cepat naik kembali.
 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP
sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5
– 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat.
Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.

2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian
adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.


Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat
syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan
tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin
yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid
dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.
Obat obat yang dibutuhkan :
 Adrenalin
 Aminofilin
 Antihistamin
 Kortikosteroid
II. Terapi supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya
dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus
dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan
membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka
pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan
utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia,
Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan
infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera
harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya
henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek
seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Perangkat yang dibutuhkan :
 Oksigen
 Posisi Trendelenburg (kursi)
 Infus set dan cairannya
 Resusitation kit
Pencegahan
1. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen
(serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi
anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-
penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang
sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita yang
dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat
terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan
stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu
hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta
perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang
mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
Masalah hukum
Walaupun test kulit tidak memberi jaminan 100 % namun demi kepentingan, test kulit sebaiknya
dilakukan sebelum menyuntikan obat-obatan yang telah pernah dilaporkan sebagai obat yang
dapat menimbulkan syok anafilaksis.Seandainya test kulit negatif dan pada pemberian dosis
pernah terjadi syok anafilaksis kemudian tak dapat tertolong maka pertanyaannya adalah :
1. Sudahkah kita melakukan tugas kita dengan baik yakni menggunakan standar
profesi yang optimal ? Disini dituntut pengetahuan dan keterampilan dalam bertindak.
2. Tersediakah obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk melakukan
RKP yang sempurna. Disini dituntut tersedianya obat-obatan perfection dan peralatan
yang lengkap untuk bertindak sesuai dengan standar profesi yang muktahir.
Jika semuanya telah kita lakukan dengan sempurna, maka paling tidak beban moril akan jauh
lebih rendah dan terhindar dari tuntutan hukum.
 
Kesimpulan
1. Syok anafilaksis merupakan reaksi alergi yang tergolong emergency life-
threatening.
2. Reaksi anafilaksis atau anafilaktoid dapat memberi gejala yang sama, walaupun
mekanismenya berbeda.
3. Test kulit senantiasa diperlukan, pada penggunaan obat-obat yang sangat dicurigai
(untuk kepentingan aspek hukum).
4. Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan sangat bermanfaat.
5. Drug of choise dari syok anafilaktik adalah adrenalin.
6. Keterampilan RKP dan ketersediaan Resusitation kit, emergency drug mutlak
pada tempat-tempat dimana penyuntikan banyak dilakukan.
Referensi.
1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical
care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB
Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
2. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed
McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9
4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update
on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga
Surabaya.
5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies,
Med.Exam. Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
6. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
7. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
8. Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American
Medical Association 172 : 4,1960.
9. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
10. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case
report,British Medical Journal June 1966.
11. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
12. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general
Anesthesia : Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.
Penulis : 
Kanulasi Vena Sentral

INDIKASI KATETERISASI VENA SENTRAL


1. Untuk menginfus cairan atau obat-obatan yang mungkin mengiritasi vena perifer.
2. Kanulasi jangka panjang untuk obat-obatan dan cairan, contohnya total nutrisi
parenteral atau kemoterapi. 
3.  Penderita syok.
4. Kanulasi cepat ke jantung terutama untuk pemberian obat-obatan dalam situasi
resusitasi.
5. Bila kanulasi ke vena perifer sulit dilakukan akibat vena yang kolaps seperti pada
hipovolemia, ketika vena periper sulit ditemukan misalnya pada orang gemuk atau
tranfusi cairan dibutuhkan secara cepat.
6. Pada kerusakan vena, digunakan pada beberapa pasien dimana semua vena perifer
telah digunakan atau rusak.
7. Pengukuran tekanan vena sentral (Central Venous Pressure)
8. Prosedur khusus, contohnya pemacu jantung, hemofiltrasi atau dialisis.

KONTRAINDIKASI KATETERISASI VENA SENTRAL


1. Kanulasi vena sentral harus dipertimbangkan pemasangannya pada penderita
dengan gangguan pada faal pembekuan darah. Dapat terjadi hema- tom yang berbahaya
pada pemasangan melalui vena subclavia dan jugularis, terutama bila mengenai
pembuluh arteri.
2. Bila daerah pemasangan ada infeksi atau tanda-tanda radang harus dicari tempat
lain yang lebih baik.
3. Kelainan anatomi dan taruma thoraks bagian atas misalnya fraktur clavicula,
meningkatkan resiko via clavicula.
4. Penyakit paru yang kritis (COPD, asma) yang akan meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks pada pendekatan subclavia. 
5. Penderita yang sementara di heparinisasi.
6. Trombosis da koagulopati
7. Penderita menolak atau tidak koperatif
8. Operator yang tidak berpengalaman yang tidak diawasi supervisor1,2,3,4,5,9
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebelum melakukan kateterisasi  ke vena sentral.
1. Sebaiknya pemasangan kateterisasi vena sentral dilakukan diruang tindakan yang
steril  (bila ada) dan tidak dilakukan dilakukan di tengah bang- sal ruang perawatan untuk
menghindari kontaminasi dan saling mengganggu dengan pasien lain
2. Buat informed konsen dan persetujuan keluarga.
3. Bila penderita masih sadar, sebelum pemasangan sebaiknya penderita
diberitahukan terlebih dahulu maksud dan tujuan serta prosedur kate- terisasi  vena
sentral tersebut.
4. Kateterisasi vena sentral harus dilakukan se-asepsis mungkin mirip dengan
prosedur pembedahan.
5. Waspadalah akan masuknya udara, walaupun pasien dalam keadaan head-down.
6. Selalu memikirkan dimana ujung jarum berada.
7. Darah harus dapat diaspirasi dengan mudah dari kateter intravena sebelum cairan
infus atau obat dimasukkan. Bila tidak dapat diaspirasi de- ngan mudah berarti terjadi
kesalahan penempatan sampai dibuktikan sebaliknya.
8. Jangan menarik kembali kateter yang telah/masih ada di dalam jarum logam
(misal venocath) karena bahaya terpotongnya kateter oleh ujung jarum. Bila sampai
terpotong maka pengambilannya hanya bisa dilakukan dengan cara pembedahan.
9. Kanulasi vena sentral dapat memakai kateter panjang untuk pemakaian jangka
lama atau dengan kateter vena yang pendek misalnya abbocath ukuran besar untuk
sementara pada keadaan darurat. Bila vena sudah terisi cairan dapat dilanjutkan dengan
kanulasi vena perifer.
10. Dipasaran telah tersedia kateter intra vena dengan berbagai ukuran, diameter dan
panjang yang bervariasi baik dengan single lumen atau  multi lumen. Pilihlah yang sesuai
dengan kebutuhan. Sesuaikan dengan lokasi pemasangan, lama pemasangan, indikasi
pemasangan dan kemampuan ekonomi pasien.

TEMPAT KATETERISASI VENA SENTRAL1,2,3,4,5,7,9


Kanulasi vena sentral dapat dipasang melalui beberapa tempat, masing-masing letak mempunyai
keuntungan-keuntungan dan kerugian-keru- gian tersendiri.
Kanulasi vena sentral dapat dilakukan melalui :
1. Vena subclavia (pendekatan infraclavicular dan supraclavicular) .
2. Vena jugularis, pada vena jugularis interna (VJI) dan eksterna (VJE).
3. Vena femoralis
4. Vena antecubital, pada vena basilica atau cephalica.
5. Vena umbilikalis, pada bayi baru lahir.
Akan tetapi tempat yang paling sering dilakukan insersi yaitu : vena subclavia (pendekatan
infraclavicular), vena jugularis interna, vena antecubital  dan vena femoralis.

KATETERISASI VENA SUBCLAVIA


Anatomi
Vena subclavia adalah kelanjutan dari vena axillaris. Dimulai pada tepi lateral kosta I, terus
melintas diatas costa dan berakhir saat bergabung dengan vena jugularis interna di medial ujung
klavicula. Ini mempunyai beberapa hubungan penting. Arteri subclavia biasanya terletak di
posterior dan superior (yakni chepalad) dari vena dan dipisahkan oleh m. scalenus anterior pada
tempat insersi otot ini ke kosta I. Arteri dan vena keduanya membentuk sulcus pada permukaan
atas kosta. Pleksus brakhialis terletak di posterior arteri dan dengan demikian terletak di posterior
vena dengan jarak yang lebih dekat. Nervus phrenikus melintas di anterior dan dapat melintas di
bagian medial costa I. Nervus vagus juga berjalan di bagian anterior subclavia tetapi agak sedikit
di medial nervus phrenikus. Nervus laryngeus recurren adalah cabang dari n. vegus. Cabang
kanan terpisah dari vagus setinggi arteri subclavia dan memutar di belakang arteri dan naik ke
atas sehingga berdekatan dengan trachea. Cabang kiri terpisah dari vagus setinggi arkus aorta,
dan memutar di belakang arkus, naik pada fissura antara oesophagus dan trakea. Saraf-saraf
tersebut juga jaraknya dekat dengan vena. Pleura dapat meluas hingga 1 inci diatas bagian
medial clavicula dan mencapai setinggi collum costa I dimana lebih tinggi dibanding dengan
artikulasio sternoclavikularis. Vena dengan demikian berada di sebelah anterior pleura tetapi
pleura meluas pada ke dua arah atas dan bawah dari vena.1,3,7

Teknik Kateterisasi Vena Subclavia


Persiapan peralatan :
1. Disinfektan (betadine,alkohol)
2. Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
3. Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 25-gauge.
4. Kateter dan dilator
5. IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
6. Jarum insersi 18-gauge (panjang 5 cm)
7. 0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01,2,3,4,5,7

Posisi
Letakkan pasien dengan posisi supine dengan kepala lebih rendah (tredelenberg) ± 10-150hingga
vena dapat terisi. Ini dapat tidak menyenangkan atau bahkan beresiko pada beberapa pasien. Bila
ragu-ragu, pasien dapat diletakkan dengan kepala lebih rendah saat operator telah siap untuk
melakukan punksi vena. Bahu dapat diganjal dengan handuk gulung atau botol cairan diantara
kedua bahu.1,2,3,4,5,7

Prosedur 1,2,3,4,5,7,9
1. Cek semua peralatan sebelum mulai.
2. Sterilisasi dan tutupi area yang akan diinsersi dengan sangat hati-hati.
3. Palpasi fossa subclavikularis dan cek hubungannya pada incisura sternalis. Bila
jari ditempatkan secara subclvikularis pada posisi lateral ter- dapat fossa yang jelas antara
clavicula dan costa II. Gerakkan jari ke arah medial menuju incisura sternalis dan jari
akan terhambat pada ujung medial clavicula. Ini adalah m. subclavius yang berjalan dari
costa I menuju permukaan inferior clavikula memberikan pola yang baik posisi costa I
dimana terletak vena subcalvia.
4. Letakkan jari telunjuk pada incisura sternalis dan ibu jari pada daerah pertemuan
antara clavicula dan costa I. Infiltrasi anestesi lokal (lidokain 1%) dengan jarum 25-gauge
2 cm lateral ibu jari dan 0,5 cm ke kaudal ke arah clavicula atau  tepat di lateral dari
insersi m. subclavia costa I.
5. Vena berjalan di bawah clavicula menuju incisura sternalis. Gunakan jarum 18-
gauge  yang halus dengan  syringe 5 ml, masukkan jarum menusuk kulit dibagian lateral
ibu jari dan 0,5 cm di bawah clavikula yang dimaksud untuk membuat posisi khayal pada
bagian belakang incisura sternalis. Posisi jarum horizontal (paralel dengan lantai) untuk
mencegah pneumothoraks, dan bevel menghadap keatas atau ke arah kaki pasien untuk
mencegah kateter masuk ke arah leher. Aspirasi jarum lebih dulu, pertahankan jarum
secara cermat pada tepi bawah clavikula.  
6. Jika tidak ada darah vena yang teraspirasi setelah penusukan sampai 5 cm tarik
pelan-pelan sambil diaspirasi jika masih belum ada juga ulangi sekali lagi, dan apabila
masih belum berhasil pindah ke arah kontralateral akan tetapi periksa foto thoraks dahulu
sebelum dilakukan untuk melihat adanya pneumothoraks 
7. Bila darah teraspirasi maka posisi vena subclavia telah didapatkan dan kanula
atau jarum seldinger dipertahankan pada posisinya dengan mantap 
8. Susupkan kawat, pasang kateter atau dilator dan kateter selanjutnya lepaskan
kawat  
9. Lakukan dengan hati-hati untuk menghindari ikut masuknya udara untuk itu
sebaiknya ujung kateter tidak dibiarkan terbuka.
10. Cek bahwa aspirasi darah bebas melalui kateter dan tetesan berjalan dengan
lancar.
11. Kontrol letak kateter dengan foto thoraks. 

Keuntungan kateterisasi Vena Subclavia2


1. Sangat baik untuk kanulasi jangka panjang karena posisi kateter dapat difikasasi
dengan baik sehingga tidak mudah bergerak dan tidak meng- ganggu pergerakan pasien.
2. Vena subclavia hampir selalu ada dan anatomi ini umumnya tetap.
3. Relatif kurang infeksi dibanding pemasangan di tempat lain.
4. Kateter mudah masuk ke vena kava superior serta landmarknya lebih mudah pada
orang yang obes..
Kelemahan Kateterisasi Vena Subclavia2
1. Umumnya dilakukan dengan teknik “buta” sehingga mudah merusak stuktur di
dalam yang tidak terlihat.
2. Pleura, arteri, nervus phrenicus bahkan trakea mudah terjangkau oleh jarum yang
salah masuk sehingga relatif lebih banyak komplikasi pneumothoraks dibanding teknik
lainnya.
3. Bila terjadi komplikasi perdarahan relatif susah untuk ditangani.

Komplikasi kateterisasi vena subclavia1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12


1. Hematom
2. Cellulitis
3. Trombosis
4. Plebitis
5. Cedera pada saraf
6. Penusukan pada arteri
7. Pneumothoraks
8. Hemopneumothoraks
9. Penusukan saraf
10. Fistel arteri-vena
11. Neuropati perifer
12. Kateter terputus/tertinggal di dalam
13. Teknik monitor tidak tepat
14. Posisi kateter tidak tepat
IV.2. KATETERISASI VENA JUGULARIS INTERNA
Anatomi
          Vena jugularis interna keluar dari kranium melalui foramen jugularis. Pada titik ini berada
di posterior arteri karotis, tetapi pada saat turun ber- ada di lateral arteri karotis. Berakhir pada
saat bergabung dengan vena subclavia diantara dan dibelakang sternum serta cavut clavikularis
dari m. sternomastoideus. Arteri carotis berada di sebelah medial vena demikian pula halnya
sinus karotikus. Vagus juga terletak diantara vena dan arteri tetapi pada posisi posterior. Trunkus
simpatikus berada di sebelah belakang arteri namun demikian terletak disebelah medial dan
posterior vena. Ganglion stellatum terdiri dari ganglion servikalis inferior dan ganglion torakalis
I, terletak di depan kollum kosta I dan di medial arteri vertebralis. Nervus phrenikus terletak di
sebelah lateral dan posterior vena. Pleura terletak di posterior vena yang hanya pada bagian
bawah pada bagian setinggi thoracic inlet (T1). Setinggi ini, duktur torasikus juga terletak pada
arah posterior pada sisi sebelah kiri. Meluas ke arah anterior di atas arteri subclavia sinistra dan
berakhir ke dalam vena subclavia.1,2,3,7

Teknik Kateterisasi Vena jugularis interna


Persiapan peralatan :
a.  Disinfektan (betadine,alkohol)
b.  Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
c.  Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 22- dan 25-gauge.
d.  Kateter dan dilator
e.  IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
f.  Jarum insersi 18-gauge (panjang 5-8 cm)
g.  0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01,2,3,4,5,7

Posisi
        Pasien diposisikan dengan posisi supine dan tredelenberg, kepala pasien diposisikan lebih
rendah 150 dan 450ke arah  kontralateral pada tem- pat penusukan.1,2,3,4,5,7

Prosedur1,2,3,4,5,7,9
1.     Jelaskan kepada penderita tentang prosedur yang akan dilakukan.
2.     Bersihkan daerah leher pada sisi yang akan diinsersi.
3.     Palingkan kepala pasien ke sisi sebelah kiri. (adanya duktus thoracalis di debelah kiri membuat
sisi sebelah kanan menjadi pilihan yang baik.
4.    Bila pasien sadar dan bila diminta untuk mengangkat kepala, otot leher akan dengan mudah
ditentukan. M. sternomastoideus mempunyai dua caput, caput sternalis dan caput clavicularis.
Insersinya ke mastoid. Sebuah segitiga dibentuk oleh kedua caput dan apeks dari segitiga ini
adalah titik insersi untuk jarum. Bila pasien tidak sadar anatomi ini mungkin sangat sulit untuk
ditentukan. Pada situasi seperti ini arteri sebaiknya dipalpasi setinggi aspek bawah cartilago
thyroideus, karena vena terletak tepat dilateralnya.
5.     Infiltrasi anestesi lokal ke dalam tempat ini.
6.    Sebaiknya menggunakan syringe dengan jarung yang halus. Susupkan spoit-jarum pada apeks
segitiga tepat disebelah lateral  perabaan pulsasi arteri carotis, selanjutnya arahkan sepanjang
garis yang ditarik antara titik insersi dan papilla mamma pada sisi yang sama. Aspirasi tatkala
jarum dimajukan, hati-hati agar tidak memasukkan sejumlah udara.

7.     Bila darah diaspirasi, vena sudah ditemukan. Tindakan berikutnya dapat diulangi dengan
meyakinkan menggunakan jarum yang lebih besar atau kanula.
8.     Gunakan teknik Seldinger, jarum ditempatkan dalam vena agar supaya darah dapat dengan
mudah diaspirasi.
9.     Masukkan kawat.
10.   Susupkan kateter atau dilator dan kateter selanjutnya lepaskan kawat.
11.   Cek aspirasi darah perlahan-lahan, fluktuasi tekanan pernapasan dan posisi foto.

Keuntungan kateterisasi vena jugularis interna2


1.     Cara pendekatan ini relatif aman bagi yang berpengalaman.
2.     Dapat digunakan untuk kanulasi jangka panjang.
3.     Kateter mudah masuk ke vena cava superior.
4.     Sangat baik bila kanulasi juga digunakan untuk mengukur tekanan vena sentral.
5.     Posisi kateter mudah diketahui melalui foto.

Kelemahan Kateterisasi Vena Jugularis Interna2


1.     Mudah terjadi komplikasi karena banyak sturktur disekitarnya.
2.     Teknik ini sulit dilakukan pada orang dengan leher pendek atau tebal.
3.     Punksi arteri karotis sering terjadi. Sangat berbahaya pada orang tua dengan pembuluh darah
yang atherosklerosis.
4.     Bisa terjadi kebocoran duktus torasikus bila dilakukan di sebelah kiri.
5.     Mudah terjadi infeksi atau trombosis karena gerakan kepala yang mempengaruhi letak kateter.
6.     Relatif kurang nyaman buat pasien karena akan mengganggu pergerakan lehernya.

Komplikasi Kateterisasi Vena Jugularis Interna1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12


1.     Hematom
2.     Cellulitis
3.     Trombosis
4.     Plebitis
5.     Cedera pada saraf
6.     Penusukan arteri carotid
7.     Pneumotoraks
8.     Penusukan saraf
9.     Cylothoraks
10.   Fistel arteri-vena
11.   Neuropati perifer
12.   Kateter terputus/tertinggal didalam
13.   Monitoring yang tidak akurat
14.   Salah posisi kateter

IV.3. KATETERISASI VENA JUGULARIS EKSTERNA


Anatomi
         Anatomi Vena superfisial ini mudah terlihat dan diindetifikasi meskipun penderita
menderita hipovolemi. Terbentuk dari cabang posterior vena retromandibularis dan vena
aurikularis posterior, vena jugularis eksterna melewati otot sternokleidomastoideus dan
kemudian menembus fascia sevikais profunda tepat diatas klavikula.1
 
Teknik kateterisasi vena jugularis eksterna
Persiapan peralatan :
a.  Disinfektan (betadine,alkohol)
b.  Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
c.   Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 22- dan 25-gauge.
d.  Kateter dan dilator
e.  IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
f.  Jarum insersi 18-gauge (panjang 5-8 cm)
g.  0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01

Posisi
        Pasien diposisikan dengan posisi supine dan tredelenberg, kepala pasien diposisikan lebih
rendah 15 0  dan 450ke arah  kontralateral pada tempat penusukan.1

Prosedur1
1.     Tempatkan pasien dengan kepala lebih rendah dengan muka menghadap ke sisi sebelahnya.
2.     Identifikasi letak vena jugularis eksterna dengan menekan bagian proksimalnya.
3.     Bersihkan daerah penusukan dengan  alkohol.
4.     Operator memakai sarung tangan steril selanjutnya desinfeksi daerah penusukan seluas
mungkin. Pasang doek steril yang berlubang.
5.     Setelah vena jugularis eksterna tampak tempat tusukan diinfiltrasi dengan obat anestesi lokal.
6.    Jarum dihubungkan dengan spoit 10 cc kemudian jarum ditusukkan ke dalam vena sambil
mengaspirasi untuk melihat adanya darah di dalam spoit.
7.     Kateter difiksasi dengan baik.
8.     Kontrol foto thoraks.

Keuntungan Kateterisasi Vena Jugularis Eksterna.2


1.     Letak vena superfisial sehingga relatif mudah dilakukan. Cocok untuk yang kurang pengalaman
melakukan kanulasi vena sentral di vena jugu- laris interna, vena subclavia atau vena femoral.
2.      Relatif sedikit struktur penting yang dapat rusak. Seperti penusukan arteri atau saraf.
3.      Koagulopati hanya merupakan kontra indikasi relatif.

Kelemahan Kateterisasi Vena Jugularis Eksterna2


1.      Kadang-kadang terrjadi kesulitan vena sentral melalui fascia servikalis.
2.      Mudah terinfeksi karena letaknya yang superficial.
3.      Kurang nyaman buat penderita karena mengganggu pergerakan leher.
4.      Sulit melakukan fikasasi dan mudah lepas jika menggunakan plester.
IV.4. KATETERISASI VENA FEMORAL
Anatomi
         Anatomi vena femoral relatif konsesisten. Pada apeks segitiga femoral, terbentang dari
posterior ke arteri femoralis tetapi karena ia mengikuti kaki kaki ke atas ligamentum inguinalis
maka ia terletak di medial arteri. Dua petunjuk lokal adalah ligamnetum inguinalis di atas dan
pulsasi arteri sebelah lateral vena. Saraf femoralis disebelah lateral arteri.1

Teknik Kateterisasi Vena Femoral


Persiapan peralatan :
a.  Disinfektan (betadine,alkohol)
b.  Handscoen, masker,penutup kepala, jas sterile dan handuk
c.  Spoit 5 ml 2 buah,jarum ukuran 22- dan 25-gauge.
d.  Kateter dan dilator
e.  IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
f.  Jarum insersi 18-gauge (panjang 5-8 cm)
g.  0,035 j wire, duk steril, scalpel, benang silk no.2,01

Posisi
         Supine1

Prosedur1
1.     Bersihkan dan atur areal sesuai dengan prosedur pembedahan. Salah satu hal yang utama 
dalam rute ini adalah adanya kemungkinan sepsis da- erah yang kotor dan teknik asepsis yang
cermat harus sangat hati-hati.
2.     Lakukan palpasi pada arteri dan identifikasi ligamentum inguinalis.
3.    Masukkan di medial pulsasi dan dorong secara perlahan sambil terus menerus mengaspirasi
melalui jarum sehingga segera darah terlihat begitu pembuluh darah dimasuki. Jika jarum
dimasukkan 45o ke dalam kulit akan lebih mudah mengitrodusir kawat.
4.     Masukkan kawat ujung yang terurai terlebih dahulu, melalui jarum kedalam vena. Perhatikan
untuk tidak membiarkan pembuluh darah terbuka di udara karena sewaktu-waktu dapat terjadi
emboli udara.
5.      Cabut jarum dan masukkan kateter di sebelah luar kawat.
6.      Cabut kawat dan aspirasi darah melalui kateter untuk memastikan keberadaanya dalam
pembuluh darah.
7.      Balut dengan pembalut steril.
8.      Kontrol foto untuk mrngetahui letak kateter.

Keuntungan Kateterisasi Vena Femoral


1.      Tekniknya relatif mudah dilakukan
2.      Anatominya relatif mudah diingat.
3.      Struktur yang penting relatif sedikit di daerah penusukan.

Kelemahan Kateterisasi Vena Femoral


1.      Mudah terjadi infeksi dan sepsis
2.      Mudah terjadi tombosis dan pembengkakan pada kaki.
3.      Relatif kurang nyaman buat pasien.
4.      Dapat mengganggu pergerakan penderita, sehingga kurang baik untuk pasien yang direncakan
mobilisasi dini.

Komplikasi Kateterisasi Vena Femoral1,2


1.      Hematom
2.      Cellulitis
3.      Trombosis
4.      Plebitis
5.      Penusukan arteri
6.      Fistel arteri-vena
7.      Neuropati perifer
8.      Kateter terputus dan tertinggsl di dalam
9.      Teknik monitor yang tidak tepat
10.    Posisi katetes tidak tepat

IV.5. KATETERISASI VENA ANTECUBITI


Anatomi1

Teknik kateterisasi vena via antecubital


Persiapan peralatan :
a.  Disinfektan (betadine,alkohol)
b.  Spoit 3 ml 2 buah,jarum ukuran 25-gauge.
c.  IV tubing dan flush (Infus set, triway dan Nacl 500 ml)
d.  Introducer (14-gauge angiographic catheter)
e.  Silastic catheter dengan guidewire
f.  Gunting, pemegang jarum, benang silk no.3,0
g.  Suture wing,haas steeril dan plester1

Posisi
         Pasien diposisikan dengan posisi supine atau duduk dengan abduksi lengan kearah luar
kira-kira 450 dari axis tubuh.1

Prosedur1
1.      Daerah antecubital dibersihkan dulu dari lemak dan kotoran tubuh dengan alkohol.
2.    Operator memakai masker dan sarung tangan steril dan sebelumnya mencuci tangan seperti
sebelum melakukan pembedahan dengan larutan chlorheksidin atau povidon-iodine surgical
scrub.
3.     Desinfeksi dilakukan dengan yodium-alkohol atau povidone-iodine selama 2 menit dan
dibiarkan kering, kemudian ditutup dengan doek lubang steril.
4.      Tourniquet dipasang pada lengan atas dan dikencangkan secukupnya sehingga aliran vena
terhenti tanpa menutup aliran arteri.
5.      Setelah vena basilika terlihat, tempat tusukan diinfiltrasi dengan obat anestesi lokal seperti
lidokain 2 %.
6.    Jarum kateter ditusukkan kedalam vena sampai terasa menembus vena dan terlihat darah keluar.
Jika sudah diperkiranan kateter juga telah menembus vena, mandrein ditarik dan selanjutnya
kateter didorong masuk.
7.      Tourniquet dilepas dan kateter  dimasukkan dan selanjutnya didorong sampai mendekati ketiak
(15-20 cm).
8.      Lengan penderita diabduksi sampai sejajar dengan bahu dan kepala penderita diletakkan dalam
posisi menoleh kearah lengan tersebut.
9.    Sambil melihat monitor EKG (untuk melihat bila ada gangguan irama jantung) kateter didorong
terus sampai diperkiran masuk di vena cava superior. Bila tidak ada monitor EKG, irama jantung
dipantau dengan meraba nadi penderita oleh seorang pembantu. Bila ada aritmia supraventrikuler
atau aritmia ventrikuler berarti ujung kateter masuk ke dalam atrium atau ventrikel. Kateter
ditarik sedikit sampai aritmia hilang.
10.   Stylet kateter CVP dicabut selanjutnya kateter dihubungkan dengan spoit 10 cc yang berisi
sedikit NaCl untuk mengaspirasi adanya darah keluar. Bila tidak ada darah keluar kateter ditarik
sampai pada aspirasi didapat darah. Bila darah tetap tidak keluar, kateter harus ditarik semua dan
prosedur  pemasangan dimulai lagi dari awal.
11.    Setelah aspirasi keluar darah, infus dipasang dan klem infus dibuka lebar (hati-hati jangan
sampai ada udara masuk), cairan harus dapat menetes dengan lancar. Tetesan infus selanjutnya
diatur secukupnya.
12.    Dengan stylet diurutkan pada perjalanan kateter, maka posisi ujung kateter dapat diperkirakan
dan bila perlu ditarik untuk disesuaikan.
13.   Tempat tusukan dapat diolesi salep povidon-iodine, sisa kateter dilingkarkan dan ditutup
dengan kasa steril dan selanjutnya difiksasi dengan plester lebar agar tidak mudah tercabut dan
kateter tidak bergerak keluar masuk.Ditulis tanggal dan jam pemasangan kateter pada plester
tersebut dan pada status penderita.
14.   Diambil foto thorax untuk memastikan letak ujung kateter dan bila perlu dilakukan
penyesuaian. Ujung kateter diharapkan pada vena cava superior atau atrium setinggi ruang antar
iga II.
Keuntungan kateterisasi via antecubital2
1.      Relatif mudah dilakukan. Terutama pada pemula.
2.      Potensi kerusakan arteri atau saraf mudah diidentifikasi dan mudah dihindarkan.
3.      Tidak ada bahaya terjadinya komplikasi di dada seperti pneumothoraks.
4.      Merupakan pilihan bila ada gangguan pembekuan darah dan relatif mudah dikontrol bila ada
perdarahan.

Kelemahan kateterisasi via antecubital2


1.      Sering ditemukan kateter sulit melewati axilla.
2.      Pada keadaan tertentu sulit mengidentifikasi vena seperti orang gemuk, penderita edema di
lengan atau vena kolaps.
3.      Kateter kadang-kadang bisa masuk ke daerah leher daripada ke dalam dada.
4.      Mudah terjadi trombosis atau infeksi bila menggunakan  kateter yang panjang. 

Komplikasi kateterisasi vena cubital1


1.  Perdarahan
2.  Arrhytmia
3.   Infeksi
4.   Catheter cloting dan kingking

V. PENGUKURAN TEKANAN VENA SENTRAL (CVP)


        Pengukuran tekanan vena sentral (CVP) merupakan prosedur yang relatif sederhana dan
digunakan sebagai pedoman standar untuk menilai kemampuan sisi kanan jantung menerima
beban cairan. Kalau dilakukan dengan benar, respon CVP pada pemberian cairan membantu
mengevaluasi penggantian volume. CVP merupakan prosedur yang dapat memberikan gambaran
tentang volume intravaskuler, tegangan vena-vena besar serta fungsi jantung kanan.6
           Normal CVP yaitu antara 0-8 mmHg ( 3-12 cmH2O) yang diukur melalui kateter yang
dipasang pada vena jugularis interna/eksterna atau vena subclavia yang dapat memberikan
informasi tentang tekanan pada vena sentral yang nantinya dapat digunakan untuk menentukan
seberapa besar volume cairan yang dapat diberikan pada pasien serta mengetahui fungsi jantung
kanan.
         Penggunaan transducer tekanan elektronik lebih dianjurkan untuk mengukur manometri
yang dihubungkan dengan triway.Suatu kantong reser- voar cairan dan tabung vertikal yang diisi
dengan cairan, ketinggian dari permukaan  cairan dalam tabung manandakan tekanan dari CVP.
Titik 0 pada transduser tekanan diletakkan setinggi atrium kiri (kira-kira pada linea axillaris
media) daripada diletakkan pada sternum yang akan terpengaruh oleh posisi
pasien(supine/semierect/prone). Pastikan tidak terdapat kateter tidak terblok atau kinking dengan
cara mengguyur cairan dari kantong cairan. Setelah itu hubungkan kembali kantong cairan
dengan triway yang terhubung dengan manometer tubing. Setelah triway dibuka maka akan
terlihat level permukaan cairan akan bergerak turun sampai level pengukuran CVP yang dibaca
dalam bentuk cmH20.Pulsasi vena dan perubahan mengikuti pola respirasi harus terlihat pada
jalur tetapi bukan sebagai gelombang tekanan ventrikel kanan (misalnya pada saat kateter masuk
terlalu dalam).4,13

Faktor-faktor yang meningkatkan CVP :


1.  Overload cairan
2.  Tamponade jantung dan effusi pericard
3.  Penyakit katup trikuspid
4.  Gagal jantung kanan

Faktor-faktor yang menurunkan CVP :


1.  Hipovolemik
2.  Dehidrasi
3.  Vasodilatasi

Table 5. Guide to interpretation of the CVP in the hypotensive patient

CVP Other features that may be Diagnosis to


Treatment
reading present consider
Rapid pulse Give fluid challenges* until CVP rises
Blood pressure normal or and does not fall back again. If CVP
Low low Hypovolaemia rises and stays up but urine output or
Low urine output blood pressure does not improve
Poor capillary refill consider inotropes

Rapid pulse
Low or Ensure adequate circulating volume (as
Signs of infection
normal or Sepsis above) and consider inotropes or
Pyrexia
high vasoconstrictors
Vasodilation/constriction

Treat as above. Venoconstriction may


Rapid pulse
cause CVP to be normal. Give fluid
Normal Low urine output Hypovolaemia
challenges* and observe effect as
Poor capillary refill
above.

Unilateral breath sounds


Assymetrical chest
movement Tension
High Thoracocentesis then intercostal drain
Resonant chest with tracheal pneumothorax
deviation
Rapid pulse

Breathlessness
Third heart sound
Oxygen, diuretics, sit up, consider
High Pink frothy sputum Heart failure
inotropes
Oedema
Tender liver

Very Rapid pulse Pericardial


Pericardiocentesis and drainage
High Muffled heart sounds tamponade

*Fluid challenge. In hypotension associated with a CVP in the normal range give repeated
boluses of intravenous fluid (250 - 500mls). Observe the effect on CVP, blood pressure, pulse,
urine output and capillary refill. Repeat the challenges until the CVP shows a sustained rise
and/or the other cardiovascular parameters return towards normal. With severe blood loss,
blood transfusion will be required after colloid or crystalloid have been used in initial
resuscitation. Saline or Ringers lactate should be used for diarrhoea/bowel
obstruction/vomiting/burns etc.  

VI. PENCEGAHAN KOMPLIKASI KATETERISASI VENA SENTRAL


           Di Amerika Serikat dilaporkan para klinisi telah melakukan kateterisasi vena sentral lebih
dari 5 juta kateter setiap tahunnya. Lebih dari 15 % pasien yang dikateterisasi mengalami
komplikasi. Komplikasi mekanik 5-19 %, Komplikasi berupa infeksi 5-26 %, Komplikasi
thrombosis 2-26 %. Untuk itu dibawah ini akan dijelaskan tentang cara atau  metode untuk
mengurangi frekwensi terjadinya komplikasi tersebut diatas.7

VI.1. Tipe-tipe kateter7


            Saat ini kateter yang paling sering digunakan untuk kateterisasi vena sentral adalah
kateter yang mengandung antimikroba yaitu kateter yang mengandung kombinasi chlorhexidine
dan silver sulfadiazine serta kateter yang mengandung kombinasi minocyclin dan rifampin. Pada
studi uji klinik secara random keduanya menunjukkan nilai yang rendah pada efek kateter
terhadap terjadinya infeksi sistemik.                    Berdasarkan bukti saat ini menunjukkan
penggunaan kateter minocyclin dan rifampin adalah lebih efektif dan mempunyai resiko infeksi
lebih rendah dibandingkan dengan kateter chlorhexidine dan silver sulfadiazine.
            Jumlah lumen kateter tidak secara langsung mempengaruhi angka kejadian komplikasi
infeksi. Akan tetapi, pemilihan baik itu single lumen ataupun multilumen kateter dibuat
berdasarkan pertimbangan jumlah obat atau nutrisi yang akan diberikan.

 
VI.2. Karakteristik pasien
              Kateterisasi jugularis interna mungkin sulit dilakukan pada pasien yang obes mengingat
penanda pada leher sulit ditemukan. Kateterisasi vena subklavia harus dihindari pada pasien
yang menderita hipoksemia berat karena komplikasi pneumothoraks sering terjadi  dan kurang
bisa ditoleransi oleh pasien tersebut. Kateterisasi femoral harus dihindari pada pasien yang
menampakkan tanda-tanda infeksi pada regio inguinal karena insersi kateter femoral memiliki
resiko tinggi untuk menyebabkan infeksi. Jika kanulasi vena sentral dibutuhkan untuk resusitasi
pasien syok, akses vena femoral sebaiknya dipertimbangkan karena cepat dilakukan khususnya
bila kateterisasi vena subklavia dan jugularis interna sulit dilakukan. Setelah resusitasi kateter
dapat dipindahkan ketempat yang lebih tepat untuk pasien ini.7
         Adapun pasien-pasien yang menggunakan ventilator sebelum dilakukan pemasangan
kateter sebaiknya sementara dilepas  dahulu dari ven- tilator (Tekanan akhir ekspirasi yang
tinggi) mengingat bahaya untuk resiko terjadinya pneumothoraks.2,5

VI.3. Komplikasi Mekanik
Mayoritas komplikasi mekanik terjadi selama pemasangan kateter vena sentralis,
dimana infeksi dan komplikasi trombotik terjadi bersamaan, komplikasi mekanik yang paling
sering adalah punksi arteri, hematoma, pneumothoraks, dan gangguan syaraf. Resiko
keseluruhan komplikasi ini sama dengan kateterisasi pada vena jugularis interna, kateterisasi
vena subclavia. Dalam analisa yang berskala besar didapati resiko pneumothoraks sama dengan
keteterisasi jugularis interna dan subclavia. Komplikasi mekanik, khususnya punksi arteri dan
formasi hematoma, paling sering terjadi selama pemasangan kanula pada femoralis. Kebanyakan
punksi arteri dapat dikenali pada aspirasi darah warna merah cerah yang tampak pada syringe. 
Penderita dengan hipoksemia atau hipotensi, dimana perubahan warna dan denyut melemah
kemungkinan wajar terjadi, hubungan terhadap kateter ke tekanan transduser dapat memperkuat
kanulasi vena. Penggunaan ultrasonic locating devices telah menunjukkan dapat mengurangi
frekwensi dari komplikasi mekanik pada pemasangan garis sentral.3,7,8,9

Penusukan arteri5
a.  Pencegahan :         1. Penusukan jarum jangan sampai terlalu dalam
       b.  Penanganan :        1. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
                            2. Lakukan penekanan secara manual di daerah penusukan selam 5 menit
Pneumothoraks5
a.  Pencegahan :      1. Lepaskan pasien dari ventilator sebelum melakukan penusukan
                      2. Pilih pasang kateter disebelah kanan dibanding yang sebelah kiri
                      3. Hindari penusukan yang berulang-ulang (Maksimal 2 kali)
        b.  Penanganan :      1. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
                                    2. Jika terjadi tension pneumothoraks segera lakukan punksi dengan  abbocath no.14-16
didaerah midclavicular intercostal 2 setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
Hematothoraks5
a.  Pencegahan :      1. Lepaskan pasien dari ventilator sebelum melakukan penusukan
                      2. Pilih pasang kateter disebelah kanan dibanding yang sebelah kiri
                      3. Hindari penusukan yang berulang-ulang (Maksimal 2 kali)
         b.  Penanganan :     1. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
                                   2. Jika terjadi tension pneumothoraks segera lakukan punksi dengan  abbocath no.14-16
didaerah midclavicular intercostal 2 setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
Iatrogenik bilateral5
Pencegahan : Jika pemasangan keteter tidak berhasil maka selanjutnya usahakan percobaan
berikutnya pada pendekatan  ipsilateral jugularis interna atau subclavia sebelum mencoba di
kontralateral vena subclavia.

Disritmia Kardiak5
  a.  Pencegahan :     1.  Minta bantuan seseorang untuk melihat ke monitor EKG apakah ada
 disritmia pada saat pemasangan kateter.
  b. Penanganan :     1. Reposisikan kembali kateter; jika disritmia menetap maka terapi disritmia
sesuai protokol ACLS
                       2. Kontrol foto thoraks segera setelah pemasangan
                       
VI.4. Komplikasi Infeksi
Tingkat suspek atau penguatan kateter, sehubungan dengan infeksi aliran darah
merupakan yang tertinggi untuk kateter femoralis dan terendah untuk subclavia. Uji klinis
menunjukkan rendahnya tingkat hubungan antara kateter dengan infeksi aliran darah dengan
penggunaan antimikroba dan pengisian kateter. Pengisian kateter dengan chlorhexidine,
sulfadiziane, minocycline, dan rifampisin paling sering digunakan.
Perkembangan mikroorganisme yang resisten pada pengunaan tipe kateter belum teruraikan.
Persiapan kulit dengan solusi chlorhexidine menuju ke solusi iodine kemungkinan lebih manjur
dalam mencegah infeksi penggunaan rutin antibiotik prophylactic untuk penempatan garis tidak
dapat dibenarkan menyangkut proliferasi antibiotik pada mikroorganisme yang resisten.
Meskipun tindakan pencegahan, kateter yang berhubungan dengan infeksi masih terjadi. Jika
kateter, yang berhubungan dengan infeksi tergolong suspek, sampel darah untuk kultur harus
digambarkan untuk mengukur jumlah bakteri.
Tanda atau gejala sitematik dari sepsis merupakan indikasi empiris untuk terapi antibiotik
pada perawatan infeksi yang disebabkan oleh staphylococcus epidermidis atau S. aureus. Ulasan
gram- negative harus termasuk dalam imunitas penderita neutroperia. Sekali terapi antibiotik
dimulai, kateter dapat diganti. Penderita dengan syok septik dan tanpa etiologi infeksi lain,
kateter harus dipindahkan dan ditempatkan di bagian lain. Jika kultur dari ujung kateter telah
positif diganti dengan kawat, kemudian kateter harus ditarik dan bagian lain diganti yang baru.
Jika ujung kateter negative, lebih mudah terjadi infeksi.3,7,8,9

VI.5. Komplikasi Trombosis.


Penderita dengan kateter yang tidak tertinggal lebih tinggi resiko untuk mengalami
komplikasi trombosis.Resiko kateter sehubungan dengan trombosis tidak berhubungan dengan
penempatan sisi. Persentase tertinggi tejadi kateter femoralis dan yang paling sedikit terjadi pada
subclavia. Dengan semua kateter, trombosit berpotensi untuk emboli. Untuk mencegah
komplikasi trombosis ini, usahakan jangan pernah menarik kateter melewati bevel jarum oleh
karena dapat menggores atau bahkan sampai terputus. Jika komplikasi terjadi maka
penanganannya adalah segera lakukan foto x-ray dan konsul ke dokter yang lebih ahli dalam
melepaskan emboli kateter.5 Semakin sering terjadi komplikasi maka tidak dapat dilakukan
kanulasi pada pembuluh darah.3,7,8,9,12

VI.7 Pengalaman Dalam Kateterisasi


             Tingkat pengalaman dalam hal kateterisasi juga dapat menurunkan terjadinya
komplikasi.Insersi kateter oleh klinisi yang telah melakukan lebih dari 50 kali pemasangan
adalah 50%  masih lebih baik dan dapat menurunkan komplikasi mekanik dibandingkan dengan
klinis yang telah melakukan insersi kurang dari 50 kali. Jika klinisi tidak berhasil melakukan
insersi sebanyak tiga kali percobaan maka segera minta bantuan kepada orang yang lebih ahli
untuk melakukan pemasangan. Insidens terjadinya komplikasi mekanik pada percobaan
pemasangan kateter 3 kali atau lebih adalah 6 kali lebih banyak dibandingkan dengan yang hanya
satu kali percobaan.7 

VI.8 Penuntun ultrasound


             Penggunaan ultrasound sebagai penuntun telah dipromosikan sebagai metode yang dapat
menurunkan ankag resiko komplikasi selama kateterisasi vena sntral. Pada tekhnik ini,
ultrasound probe digunakan untuk melokalisasi vena dan mengukur seberapa dalam dibawah
kulit. Dibawah visualisasi ultrasound,jarum introducer kemudian dituntun melewati kulit ke
dalam pembuluh darah. Selama kateterisasi vena jugularis interna, penuntun ultrasound
menurunkan ankga kejadian komplikasi mekanik, kegagalan penempatan dan waktu yang
digunakan untuk insersi. Namun penggunaannya selama kateterisasi vena subclavia masih
diragukan hasilnya pada uji klinik, kemungkinan olah karena alasan anatomis. Penggunaan
penuntun ultrasound seharusnya rutin dipertimbangkan untuk kasus-kasus kateterisasi pada vena
jugularis interna.7,9,12 

VI.6 Mengenali Tertusuknya Arteri dan Mencegah Emboli


                Pada pasien dengan tekanan darah normal dan tekanan oksigen arteri yang normal,
tertusuknya arteri biasanya mudah dikenali dengan aliran yang berdenyut dari spoit dan
warnanya berupa warna darah merah terang. Meski demikian, pada pasien yang didapati dengan
hipotensi atau desaturasi arterial, tanda-tanda diatas mungkin tidak didapatkan. Jika terdapat
keraguan apakah jarum intoduser berada dalam arteri atau vena, sebuah kateter lumen tunggal 18
G (termasuk perlengkapannya) sebaiknya diinsersikan melalui mandrin/wire dan menuju
pembuluh darah. Langkah ini tidak membutuhkan penggunaan dilator. Kateter ini selanjutnya 
bisa disambungkan ke transducer bertekanan untuk konfirmasi adanya bentuk gelombang vena
dan tekanan vena. Contoh-contoh simultan untuk mengukur gas darah selanjutnya dapat diambil,
satu dari kateter dan yang lainnya dari arteri. Akan didapatkan perubahan substansial pada
tekanan oksigen jika kateter berada dalam vena.
            Pernafasan spontan pada pasien menghasilkan tekanan negatif intratorasik selama
inspirasi. Jika kateter terbuka terhadap udara bebas, tekanan intratorasik ini dapat mengalirkan
udara menuju vena yang menyebabkan emboli udara. Meskipun hanya sedikit, emboli udara
dapat bersifat fatal,khususnya jika ditransmisikan ke sirkulasi sistemik melalui defek septum
arterial atau ventrikular. Untuk mencegah komplikasi ini, kateter HUBS harus selalu tertutup
setiap waktu, dan pasien seharusnya diposisikan tredelenberg selama insersi. Jika terjadi emboli
udara, pasien diposisikan tredelenberg dengan condong left lateral dekubitus untuk mencegah
pergerakan udara menuju jalur ventrikular kanan. Oksigen 100%sebaiknya diberikan untuk
mempercepat penyerapan udara. Jika kateter berada dalam jantung, aspirasi udara sebaiknya
dilaksanakan.5,7

VI.7. Antibiotik profilaksis


              Banyak penelitian mengenai antibiotikprofilaksis telah didemonstrasikan dan strategi ini
berhubungan dengan pengurangan jumlah infeksi ke dalam darah melalui kateter. Meski
demikian, penggunaan antibiotic diragukan karena perhatian bahwa ini akan meningkatkan
munculnya organisme yang resistensi antibiotic.7

VI.8. Perawatan
Pemeliharaan yang baik dari kateter vena centralis dan penempatan sisi mungkin
memperkecil resiko dari kateter sehubungan dengan komplikasi. Aplikasi rutin dari antibiotik
topikal belum terbukti dalam mengurangi tingkat infeksi aliran darah dan dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri resisten dan jamur.
Sekarang ini, tidak ada fakta-fakta yang kuat mengenai penggunaan kasa atau jas steriil, atau
rekomendasi yang dibuat berkenaan frekwensi penggantian pakaian secara rutin. Bagaimanapun
juga, pemeriksaan visual secara rutin untuk eritema atau pus, dan palpasi harus menjadi
perawatan standar untuk kateter yang tidak tertinggal. Pusat kateter merupakan sumber infeksi
yang paling sering. Pusat kateter ini harus diganti secara rutin, setidaknya setiap tiga hari, untuk
mengurangi insiden infeksi. Resiko infeksi menjadi banyak sekali setelah lima sampai tujuh hari
setelah kateterisasi. Bagaimanapun percobaan penggantian rutin kateter menjadi kawat belum
menunjukkan pengurangan dalam infeksi sehubungan dengan kateter, sementara penempatan
kateter pada bagian lain memberikan hasil yaitu peningkatan jumlah komplikasi mekanik.
Kateter harus dipindahkan sebelum lebih lama lagi untuk infeksi yang dapat meningkat sewaktu-
waktu.3,7   
  
REFERENSI
 1.  Chen H. M.D., Christopher J.S. M.D., Venous And Arterial access. In : Manual Of Common
Bedside Surgical Procedures, 2nd Edition. Halsted Residents Of The Johns Hopkins
Hospital,Lippincott Williams & Wilkins, 2000, pp.36-57
2.  Sanjiv J.Shah,M.D., Carolyn S. Calfee,M.D. High Flow Infusion Technique. In : Clinical
Procedures In Emergency Medicine, 3rd Edition. Philadelphia, WB Saunders,1998, pp. 352
3.   Wolf Scott W.,M.D. Intravenous Access In Adults. In : Perioperative Fluid Therapy, Part III,
Departement Of Anesthesiology University Of Texas Medical Branch Of Galveston Texas,
USA, 2006, pp. 102-5
4.   Singer M. M.D.,Webb A.R. M.D., Central Venous Catheter-Use. In: Critical Care 2 nd Edition,
Oxford Handbook, Departement Of Intensive Care University College London Hospitals,2005,
pp. 114-7
5.   Caroline ozment, M.D.,et all. Central Venous Line Placement,Subclavian
Venipuncture,Infraclavicular Approach, Reviw Article Of Intensive Care Medicine, 2003
6.  Komisi Trauma ATLS Pusat. Pemantauan Tekanan Vena Sentral. Pada: Buku ATLS Edisi
American College Of Surgeons Committee On Trauma,2007. Hal: 111-2
7.   David C.McGee,M.D., Michael K. Gould,M.D., Preventing Complications Of Central Venous
Catheterization. In : Current Concepts Review Article Of New England Journal Of
Medicine,2003.pp. 1123-33
8.  Roberto E.Rusminosky, M.D.,MPH,FACS, Complications Of Central Venous Catheterization,
Departement Of Surgery West Virginia University, 2007, pp: 681-9
9.    Alan S. Graham,M.D.,et all, Central Venous Catheterization. In : Clinical Medicine, The New
England Journal Of Medicine,2007
10.  Lewis A.Eisen, et all, Mechanical Complication Of Central Venous Catheters. In: Journal Of
Intensive Care Medicine,2006. pp: 40-6
11.  William T. Mc.Gee. Central Venous Catheterization:Better & Worse. In : Journal Of Intensive
Care Medicine, 2006, pp: 51-2
12.  Seong Hoon Ko, et all. Massive Thrombosis After Central Venous Catheterization.In a Patient
With Previously Undiagnosed Bechet’s Disease. In : Journal Korean Medicine,2001. Pp: 814-6
13.  Hocking G. M.D. Central Venous Access and Monitoriing. In : Article of Practical Procedures,
Frimley Park Hospital, Portsmouth Road,2000.
Terapi Oksigen
PENDAHULUAN
Peranan oksigen dan nutrient dalam metabolisme memproduksi energi utama
untuk berlangsungnya kehidupan sangat bergantung pada fungsi paru yang menghantarkan
oksigen sampai berdifusi lewat alveoli kekapiler dan fungsi sirkulasi sebagai transporter
oksigen kejaringan.Disamping sebagai bahan bakar pembentukan energi oksigen dapat juga
dipakai sebagai terapi berbagai kondisi tertentu.
Peran oksigen sebagai obat maka pemberian oksigen juga punya indikasi, dosis, cara
pemberian dan efek samping yang berbahaya.
Untuk aman dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan sirkulasi dan sifat
sifat oksigen itu sendiri.

FUNGSI RESPIRASI  
Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow
dn diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis. Dengan perkataan lain adanya
keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi.
Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar kedalam paru untuk ditukar pada
membran alveolo kapiler. Prinsip pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana
gas akan bergerak dari tekanan tinggi ketekanan rendah.
Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika  inspirasi
spontan dimulai akan terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis eksterna akibatnya
rongga dada berkembang maka tekanan intrapulmoner jadi negatif sehingga udara masuk
kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang membutuhkan energi dimana diafragma
bertanggung jawab 60% udara ventilasi waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang ekspirasi
merupakan proses passif oleh karena elastisitas jaringan paru.

Transport Oksigen
Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari udara luar ke
sel mitokondria. Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan terlarut
dalam plasma.
Setiap 100 cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o cc, dimana
hanya 3% yang dibawa terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh Hb terutama oleh ion Fe dari
unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4 molekul oksigen untuk membentuk
oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat reversible. Setiap eritrosit mempunyai  280 juta
molekul Hb, dimana setiap molekul Hb mempunyai 4 unit heme. Setiap eitrosit dapat membawa
miliaran molekul oksigen.
Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi hemoglobin
(SaO2). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen artinya saturasinya 100%.
Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan Hb.
Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh rantai
polipeptide dimana tiap rantai mengandung kelompok heme yang mengandung Fe membawa
satu molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap molekul dapat mengikat 4 molekul
oksigen. Kapasitas Hb membawa oksigen setiap gram Hb dapat mengikat 1,34 cc oksigen, maka
menurut persamaan :

Ikatan O2 = (Hb  x  SaO2  x 1,34)

Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru oksigen berikatan dengan Hb, bila PaO2 rendah
seperti dalam kapiler jaringan oksigen dilepas dari Hb.
Fungsi utama sistem respirasi adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2 dalam darah
arteri sedekat mungkin kenormal,dalam keadaan tertentu.                                       
Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan cara lain
hanya bisa menilai tidak adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin adekuatnya
fungsi respirasi.
Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas harus diketahui affinitas oksigen
untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika eritrosit melalui kapiler alveoli;
oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan PaO2 dan berikatan dengan Hb.

Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2, dimana kita
dapat mengetahui sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2 mempengaruhi SaO2 secara
bermakna, semakin besar saturasi semakin baik mutu Hb, semakin besar volume O2 yang dapat
diangkut oleh darah kejaringan.
Menurut rumus :
 g HbO2
SaO2 = ----------- x 100 %
Hb total
g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb
Volume persen O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 x total Hb x 1,34.
Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml O2.
Deliveri O2 = CaO2 x CO x10 
CaO2 (oxygen content dalam darah arteri) = (SaO2 xHbx1,34) + (PaO2x0,031). 
CO (cardiac output) = SV(stroke volume ) x HR (heart rate). 
Dikalikan 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2 per 100 cc darah.
Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar DO2
terpenuhi. 
Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve berbantuk S
disebut kurve disosiasi oxyhaemoglobine. 
Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97% dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%.
PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan partiel tersebut Hb mengikat O2 hanya 50%,
bila P50 diatas 27 mmHg maka artinya diperlukan PaO2 yang lebih tinggi untuk mengikat O2
dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi
sulit melepaskannya kejaringan.
Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada kurva
disosiasi oksihemoglobin. Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah :
 

PaO2 SaO2(%) Clinical


(mmHg)
100 97 Muda normal
80 95 Orang tua
60 90 Bahu kurva (penurunan O2 yang bermakna)
40 75 Transport O2 lemah,kadar O2 dalam darah vena (normal),
  hipoksemia kritis.
20 35 Level terendah yang ditoleransi.
    
Penurunan PaO2 kira-kira 25 mmHg dari 95 menjadi 70 mmHg hanya mempengaruhi sedikit
perubahan pada oksihemoglobin sama artinya dengan situasi seorang mendaki ketinggian 6000
feet dari permukaan laut, atau bertambahnya umur dari 20 tahun menjadi 70 tahun, atau
penderita penyakit paru yang moderate. Tetapi penurunan PaO2 sebesar 25 mmHg dari 6o
menjadi 35 mmHg lain halnya, akan terjadi perubahan yang serius.
Pengikatan PaO2 diatas 90 mmHg tidak akan mempengaruhi kemampuan Hb mengangkut O2
karena Hb cukup jenuh pada PaO2 80 mmHg. Penurunan affinitas oksigen digambarkan dengan
kurve bergeser kekanan. Sebaliknya peningkatan affinitas oksigen dengan gambran kurve
bergeser kekiri. Jika pH darah menurun (asidosis) maka kurva bergeser kekanan artinya oksigen
lebih mudah dilepas dijaringan sebaliknya bila alkalosis maka affinitas Hb tehadap oksigen
meningkat dan oksigen sukar dilepas. Disamping pH ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kurve bergeser kekanan:
a. Peninggian konsentrasi CO2.
b. Peninggian temperatur darah
c. Peninggian 2,3 difosfogliserat(DPG)  dalam darah
Sebaliknya akan menggeser kurve kekiri  dan Hb fetus dalam jumlah besar dalam darah akan
menggeser kurve kekiri juga.

TERAPI OKSIGEN
Tujuan : Mempertahankan oksigenasi  jaringan yang adekuat.sehingga metabolisme intra
sellular berjalan lancar untuk memproduksi fosfat bernergi tinggi sebagai motor kehidupan
disamping untuk terapi beberapa keadaan tertentu.
Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus dikoreksi  latar
belakang penyebab terjadi gangguan oksigenasi mulai dari sumber oksigen,ventilasi,diffusi
perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima oksigen.
Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara rendahnya
kadar oksigen dijaringan disebut hipoksia.
Secara praktis hipoksia  dengan sebab apapun dibagi atas :
1. Hipoksi hipoksemia:  Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2
dalam darah akibat gangguan mulai ventilasi, distribusi dan diffusi dalam paru. Ventilasi
bisa berupa obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi
karena odem atau penebalan dinding alveoli. 
2. Hipoksi anemia : Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun
oksigenasi baik, Transfusi adalah jalan keluarnya. 
3. Hipoksia stagnasi : Terlambatnya aliran darah karena viskositas meningkat,
obstruksi, syok stadium lanjut. 
4. Hipoksia histotoksik : Kerusakan dijaringan/sel tidak mampu lagi menggunakan
O2 yang dihantarkan pada keracunan atau sepsis yang berat
Indikasi :
1. Gagal nafas akut dibutuhkan pembebasan jalan nafas dan nafas bantu.
2. Syok oleh berbagai kausa dimana terjadi gangguan perfusi jaringan.
3. Infarct myocard acute dimana tidak seimbang oksigen demand dengan oksigen
supply.
4. Dalam kondisi metabolisme rate tinggi( tirotokikosis, sepsis,hipertermia).dimana
kebutuhanoksigen meningkat.
5. Keracunan gas CO (karbon monoksida) dimana affinitasnya terhadap Hb tinggi.
6. Preoksigenasi menjelang anestesi.mencegah hipoksia dan hiperkarbia
7. Penderita tak sadar untuk memperbaiki oksigenasi diotak.
8. Untuk mengatasi keadaan seperti empisema paska bedah, pneumotorak, emboli
udara pemberian oksigen mampu mengusir gas nitrogen yang menumpuk dalam rongga
tubuh.
9. Asidosis apakah respiratorik  maupun metabolik dimana terjadi metabolisme
anaerob.
10. Anemia berat, jumlah Hb maupun kualitas Hb yang kurang dalam transport
oksigen.

Pemberian oksigen  untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas akut sesuai dengan
ketentuan sebagai berikut.
 Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal.
 Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui kanul
binasal.
 Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang dapat memberi
oksigen 100 % 
 Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri oksigen <50% , awasi ketat.
 Atur kadar oksigen berdasarkan PaO2 atau SaO2 kalau ada fasilitas BGA.
 Dalam keadaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri 100% O2.   

Persiapan alat :
1. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral, siap pakai.
2. Tabung pelembab ((humidifier).
3. Pengukur aliran oksigen (flow meter).   
4. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai
                      
Metode pemberian oksigen :
A. Sistem aliran rendah:
1.  Aliran rendah konsentrasi rendah (low flow low concentration)
 Kateter nasal atau binasal
2.  Aliran rendah konsentrasi tinggi (low flow high concentration).
 Sungkup muka sederhana (simple mask); konsentrasi O2 yang masuk tergantung
pada pola nafas dan kecepatan aliran O2.
 Sungkup muka kantong rebreating;dilengkapi dengan kantong yang menampung
aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan udara nafas tanpa valve sehingga
terjadi rebreathing.
 Sungkup muka kantong non rebreating, dilengkapi dengan expiratory valve (katup
ekspirasi), sehinggan tidak rebreathing.

B. Sistem aliran tinggi : 


1.  Aliran tinggi konsentrasi rendah (High flow low concentration)
 Sungkup venturi
2.  Aliran tinggi konsentrasi tinggi (High flow high concentration)
 Head box
 Sungkup CPAP (Continous positive airway pressure)

ad.A1 Kanul binasal


Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan konsentrasi udara inspirasi
(FiO2) 24-44% dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit.
Konsentrasi oksigen yang diberikan tergantung tingginya aliran dan volume tidal nafas pasien.
Konsentrasi bertambah 4% untuk setiap tambahan 1 liter/menit O2, misalnya aliran 1 liter/menit
= 24% .2 liter/menit 28% dan seterusnya maksimal 6 liter/menit.
                    
Keuntungan    :
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur, baik diberikan dalam jangka
waktu lama. Pasien dapat bergerak bebas, Makan minum dan Bicara.

Kerugian :
Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat tali binasal. FiO2 akan
berkurang bila pasien bernafas dengan mulut.

Ad. A2 Sungkup muka sederhana


Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 mencapai 60%.
Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring, orofaring sebagai penyimpanan
anatomik.

Sungkup muka dengan kantong rebreating:


 Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 dicapai 80%.
 Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi dimana 1/3 bagian volume
udara exhalasi masuk  kekantong dan 2/3 nya melalui lubang-lubang bagian samping.

Sungkup muka dengan kantong non rebreating:


 Aliran O2 diberikan 8-12 liter/menit, dengan konsentrasi O2 mencapai 100%.
 Udara inspirasi tak bercampur dengan udara ekspirasi(exhalasi) dan tidak dipengaruhi
oleh udara luar.

Kerugian pakai sungkup :


 Mengikat sungkup dengan ketat teus melekat pada pipi pasien agar tak terjadi kebocoran. 
 Dapat terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama kalau tidak sadar.

Sungkup venturi
Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan pasien dipakai pada pasien
dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi dan hipoksemia sedang samapi berat.
Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang kita berikan dengan cara
apapun dan berapa besar kebutuhan pasien.
  

Tabel. Pemberian oksigen

EFEK SAMPING PEMBERIAN OKSIGEN


1. Oksigen sendiri tidak membakar tetapi adanya O2 belebihan dalam udara kamar
bila ada sumber api akan meningkatkan resiko kebakaran.
2. Hipoventilasi : Penderita COPD(PPOM) pengendalian pusat nafas sentral oleh
hipoksia (hypoxic drive) maka bila hipoksia dihilangkan tidak ada rangsangan pada pusat
nafas terjadi hipoventilasi sampai apnoe.
3. Hipoksia bisa terjadi kalau oksigen diberikan dengan tekanan tinggi secara
mendadak.
4. Atelektase terjadi oleh karena pengusiran nitrogen dari alveoli akibat pemberian
oksigen konsentrasi tinggi hampir 100%  dalam waktu yang lama (>24 jam).Gas nitrogen
biasanya meregang dinding alveoli.
5. Keracunan oksigen : Bisa menyeluruh dan bisa setempat. Karena pemberian O2
dengan PaO2 > 100 torr dalam waktu lama (bervariasi untuk setiap individu), pada
keadaan akut bisa terjadi kejang dan pada keadaan kronis gejala nyeri  retro sternal,
parestesia, mual dan muntah. Pada bayi prematur bisa terjadi retrolental fibroplasia
karena penyempitan pembuluh darah retina akibat fibrosis.Keracunan lokal terjadi
kerusakan sel epitel kapiler paru sehingga difusi terganggu. Pencegahan jangan memberi
oksigen konsentrasi >50% lebih dari 24 jam dan setiap pemberian oksigen konsentrasi
tinggi harus dipantau PaO2.

RINGKASAN
Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang terjadinya
hipoksia dan didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi, sirkulasi dan sifat dari
oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai terapi haruslah dianggap sebagai obat dalam penggunaanya
harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan cara mencegah/mengatasi efek
sampingnya. Dalam pemberian oksigen dosis tinggi jangan lupa pantau PaO2.
Dasar Dasar Ventilasi Mekanik

PENDAHULUAN
Tahun 1934 tuan Guedel buat pertama kalinya memperkenalkan nafas terkendali (control
respirasi) dalam dunia anestesi.
Problema pneumothorak pada kasus-kasus thoracotomi yang berpuluh tahun menjadi momok
bagi ahli bedah dan anestesi kini dapat diatasi dengan pernafasan terkendali.
Lebih luas lagi penggunaan pernafasan terkendali dalam menciptakan kondisi operasi yang
optimal, bersamaan dengan penggunaan obat-obat pelemas otot sangat banyak membantu ahli
bedah dan anestesi memperpendek masa operasi, penghematan penggunaan darah dan obat-obat
anestesi serta cepatnya masa pemulihan. Kemudian lebih dikembangkan lagi dalam mencegah
atau mengatasi  kegagalan pernafasan dengan penggunaan alat mekanis (ventilator) di unit
perawatan intensif. Demikian banyaknya manfaat yang diberikannya namun tak sedikit juga
masalah yang ditimbulkannya.

DEFINISI VENTILASI MEKANIK


Ventilasi mekanik adalah ventilasi yang sebagian atau seluruhnya dilaksanakan dengan bantuan
mekanis.

TUJUAN VENTILASI MEKANIK


1. Memperbaiki pertukaran gas (Mengatasi hipoksemia, Menurunkan hiperkarbia,
Memperbaiki asidosis respiratorik akut)
2. Mengatasi distress nafas (Menurunkan konsumsi oksigen, Menurunkan beban
kerja otot nafas)
3. Memperbaiki ketidakseimbangan (Membuka atelektase, Memperbaiki
compliance, Mencegah cedera paru lebih lanjut)
4. Kontrol eliminasi CO2  (Penderita dengan TIK meningkat)
5. Menurunkan kerja jantung (Gagal jantung)
6. Profilaksis (Pasca operasi bedah besar)

INDIKASI VENTILASI MEKANIK


·  Gagal nafas akut
Hiperkapnik (tipe 2)    : Gagal pompa ventilasi, Gagal mekanik ventilasi, PaCO2 > 45 mmHg, pH < 7.30,
(Ganggaun : pusat nafas, otot nafas, jalan nafas, dinding dada, saraf Perifer) 
Hipoksemik (tipe 1)     : Gagal pertukaran gas, Gagal untuk oksigenasi, PaO2 < 55 mmHg dengan FiO2 > 60%,
(Ganggauan pada paru – alveoli, jantung)
Kombinasi tipe 1 dan 2
·   Pencegahan ancaman gagal nafas

  KRITERIA PONTOPPIDAN
Close Monitoring, Intubation
Criteria Normal Oxygen Physical Tx Ventilation
Trakeostomi
Mechanics :
 Respiratory rate/Min 12 -25 25 – 35 >35, <10
 Vital capacity ml/kg 70 – 30 30 – 15 < 15
 Inspiratory force cmH2o 100 - 50 50 – 25 < 25
Oksigenation :
  A – a DO2 mmHg 50 – 200 200 – 350 > 350
  PaO2 mmHg 100 – 75 200 – 70 < 70
(air) (mask O2) (mask O2)
Ventilation :
  VD/VT 0,3 – 0,4 0,4 – 0,6 > 0,6
  PaCO2 mmHg 35 – 45 45 – 60 > 60

VENTILATOR
Alat untuk memberikan ventilasi buatan secara mekanis.
Ada 2 macam  :                                    
a. Ventilator tekanan negatif.
Ventilator ini membuat tekanan negatif (tekanan < 1 atmosfer) di sekeliling tubuh sehingga dada
akan mengembang akibatnya tekanan intrathorakal dan alveolar turun dan udara luar masuk
keparu.
Contoh : Cabinet ventilator, kepala asien saja diluar ventilator.
                Cuirass ventilator , hanya dada dan abdomen saja didalam ventilator.

b. Ventilator tekanan positif.


Ventilator ini disebut juga intermitten pressure ventilator, memberikan tekanan positifdiatas 1
atmosfer (dalam hal ini satu atsmosfer dianggap sama dengan nol ), pada jalan nafas (airway)
untuk memventilasi paru.

Di klassifikasikan kedalam 3 type:


1. Pressure cycle ventilator: Prinsipnya : Inspirasi akan berakhir bila tekanan yang
ditetapkan (preset pressure) telah dicapai tidak perduli tidal volume cukup atau tidak.
Lama jnspirasi tergantung pada kecepatan aliran gas inspirasi (inspiratory flow
rate), makin tinggi flow rate makin cepat cycling. pressure dicapai makin pendek pendek
masa inspirasi. Setiap ada obstruksi ,penurunan compliance paru,atau peninggian tonus
otot polos saluran pernafasan akan mempercepat tercapainya cycling pressure.Dalam hal
ini tidal volume berubah2 tergantung kondisi paru, oleh karena itu selama penggunaan
pressure cycle ventilatorexpired tidal volume harus diukur sesering mungkin untuk
mencegah atau mendeteksi terjadinya hypo atau hyperventilasi. Untungnya terbatas
tekanan maksimum pada airway sehingga bahaya barotrauma minimal dan mampu
mengkompensir kebocoran circuit. Sikap kita penggunaan pressure cycle ventilator hanya
untuk paru yang sehat dan jangka pendek. Contoh: Bird,Bennet PR-2. 
2. Volume cycled ventilator : System ini inspirasi akan berakhir bila volume yang
ditetapkan (preset volume) telah dicapai tanpa memandang tekanan
yang ditimbulkannya ,mampu mengkompensir perubahan pulmonal tapi tak bisa
mengkompensir kebocoran circuit. Dalam hal ini tidal volume konstant sementara
tekanan airway berubah2 sesuai kondisi paru sehingga bisa saja mencapai tekanan yang
cukup tinggi untuk menimbulkan barotrauma. Untuk ini perlu valve yang membatasi
kenaikan tekanan yang berlebihan (tekanan inflasi) yang dianggap optimal  20-
30cmH2O. Disamping keuntunganya dengan tidal volume yang konstant, jeleknya mesin
tetap memompa walaupun telah terputus hubungan dengan pasien untuk itu perlu system
alarm untuk mencegahnya.Walaupun tidal volume konstant namun pengukuran tidal
volume secara periodik diperlukan kemungkinan adanya kebocoran circuit. Contoh:
Engstoom,RCF4, Servo, Bear, Bourns.
3. Time cycled ventilator : Dalam system ini masa inspirasi akan berakhir bila
waktu yang  telah ditetapkan (preset time) telah dicapai. Dengan model ini tidal volume
konstant tidak tergantung kondisi paru  Walaupun dapat memberikan tidal voliume yang
konstant untuk menyesuaikan tidal volume kita perlukan intergrasi ketiga komponen
yaitu inspiratory flow rate,inspirasi time dan inspirasi expirasi ratio. Contoh :
Engstroom, Radeliff.

Kebutuhan pokok suatu ventilator adalah mampu memberikan tidal volume yang stabil, dalam
menghadapi hambatan trehadap pengembangan paru ,harus mampu memberikan tidal volime
dengan flow yang adekuat mempertahanlkan minute ventilation dengan perbandingan masa
inspirasi dan expirasi minimal 1:1 dalam adanya resistensi  yang tinggi terhadap inflasi paru.

BEBERAPA PENGERTIAN 
Untuk mempermudah pengertian dalam membicarakan ventilasi mekanik beberapa istilah mutlak
harus  diketahui. 
Respiratory cycle : Cyclus saat mulai inspirasi sampai kembali mulai inspirasi.,terdiri dari 2
fase:
1. Fase inspirasi (inflasi).
2. Fase expirasi (exhalasi) trediri dari:
 Fase deflasi

 Fase expiratory pauze.

I : E ratio  : Perbandingan lamanya fase inspirasi dan expirasi.


Paling baik masa fase expirasi lebih dari setengah respiratory cycle. Untuk mengurangi
hambatan terhadap circulasi minimal I:E ratio 1:1 lebih baik 1:2 atau 1:3.  Kalau frekuensi nafas 
15x/menit,dan I: E ratio 1:3 maka masa inspirasi  1/4 respiatory cycle, = 1/4 x 60/15 detik = 1
detik.sedangkan masa expirasi = 3 detik.
Bila masa inspirasi > 1,5 detik,akan terjadi gangguan circulasi  bila kurang dari 0,5 detik
akan timbul gangguan distribusi udara (ventilasi) dimana VD/VT  ratio > 50%.

Peak pressure : Tekanan maksimum yang dicapai pada jalan nafas pasien selama
berlangsungnya ventilasi mekanik. Durasi peak pressure menetukan bentuk gelombang tekanan
positif. Bisa saja respiratory cycle dan besarnya peak pressure sama tapi durasi peak pressure
beda. Beberapa ventilator bentuk gelonmbang tekanan positif bisa diatur. Ada bentuk segitiga
,dome dan trapezium. Ini penting untuk pengembangan atelectase baik dipilih bentuk
trapezium, sementara bentuk segi tiga  dipakai untuk kondisi hipovolemik. 

Peak inspiratory flow rate :  Kecepatan aliran gas maksimum yang diberikan selama inspirasi
agar tidal volume yang cukup tercapai. Besarnya yang diberikan tergantung pada masa inspirasi
dan besarnya tidal volume yang diinginkan.Pada tidal volume yang konstant besarnya inspiratory
flow rate yang menetukan panjang pendeknya masa inspirasi. Jadi inspirasi expirasi ratio
ditentukan oleh inspiratory flow rate,frekuensi nafas & tidal volume. Kita inginkan I:E ratio 1:2
sedangkan frekuensi nafas 15 x/menit, sedang tidal volume diinginkan 800 cc, maka inspiratory
flow rate bisa ditentukan :
                         Respiratory cycle        = 60/15 detik = 4 detik.
                         Inspiratory time           = 1/3 x 4 detik= 4/3 detik.
                         Ins,flow rate                 = 800: 4/3 cc/detik
                                                  = 800x 4/3 x60 cc / menit.= 36 L /menit.
Pada orang normal, sadar, peak insp, flow rate kira-kira 30 - 40 L / menit    (4 –6 x minute
ventilation).

Controled ventilation: Pernafasan pasien diambil alih seluruhnya oleh ventilator dimana pasien
apnoe.

Assisted ventilation/ compensated ventilation: Pasien bernafas spontan tapi tidal volume tak
ade- kuat,dibantu dengan ventilasi agar  tidal volume adekuat. Dalam hal ini sebagian nafas
pasien dikendalikan ventilator ,usaha inspirasi pasien membuattekanan subatsmosferik pada jalan
nafas mentriger respirator / ventilator agar memberikan ventilasi kepada pasien. Bila frekuensi
nafas pasien > 30x / menit,maka inspirasi pasien tak cukup membuat tekanan negatif untuk
mentriger ventilator .maka dengan kondisi seperti ini cara assisted tak ideal.

Intermittent mandatory ventilation (IMV):  Konsep IMV ditemukan setelah kegagalan system


assisted ventilation. Praktis dengan IMV menghilangkan penggunaan assisted ventilation. Dalam
hal ini dibiarkan bernafas spontan dengan kecepatan sendiri,pada interval tertentu diberi ventilasi
oleh ventilator tanpa memandang bentuk/frekuensi peenafasan pasien. Jeleknya kadang-
kadang pasien menarik nafas serentak dengan ventilasi dari ventilator sehingga terjadi
overdistensi alveoli. Penggunaan system IMV sangat populer dalam proses weaning (penyapihan
dari ventilator).
                    
Intermittent positive pressure  pressure breathing (IPPB): Pemberian tekanan positif pada
waktu inspiarsi sedangkan expirasi berjalan passif, tetapi pasien bernafas spontan tetapi bila
pasien apnoe maka istilah breathing ditukar jadi ventilation atau  intermittent positive pressurew
ventilation (IPPV).
IPPV dengan pemberian tekanan positif pada akhir expirasi (positive end expiratory
pressure - PEEP) disebut juga Continous Positive Pressure Ventilation (CPPV). Kalau pemberian
tekanan positif selama inspirasi sedangkan pada fase expirasi hanya padafase deflasi saja diberi
tekanan negatif tetapi tidak pada fase expiratory pause maka disebut Intermittent Positive
Negative Pressure Ventilation ( IPNPV).
Bila tekanan negatif tersebut diberikan selama periode expirasi disebut Negative End
Expiratory Pressure (NEEP).
Bila pada akhir inspirasi ,peak pressure dipertahankan beberapa detik disebut End
Inspiratory Pauze (EIP).
Penggunaan PEEP pada dasarnya adalah bila dengan IPPV keadaan hipoksemi tak
terkoreksi dimana dengan IPPV 50% O2 tak mampu mempertahankan PaO2
sekitar70mmHg. Harapan yang ingin dicapai dengan system PEEP adalah :
 Meningkatkan functional rasidual capacity (FRC) diatas closing volume.
 Membuka atelectase.
 Mencegah penutupan small airway.
 Mendorong cairan intra alveolar atau interstitial kembali kedalam kapilersehingga
mengurangi odema pulmonum

Disebut PEEP optimal yaitu pada tekanan berapa tercapai PaO2 maksimal tetapi
dengan  gangguan circulasi yang minimal.,diperkirakan PEEP sebesar 5 cm H2O mampu
menaikkan PaO2 sebesar 60 mm Hg. Harus diingat penggunaan PEEP justru akan lebih
mengganggu circulasi ketimbang IPPV karena selama resoiratory cycle tekanan tetap positif
dalam thorak. Tetapi untungnya tidak seluruh tekanan positif pada PEEP tersebut ditransmisi
kestruktur intra thorak apalagi kondisi paru dengan compliance yang rendah.
Bila ada perdarahan, shock ataupun obstruksi jalan nafas boleh dikatakan pemakaian PEEP tak
ada respons dalam memperbaiki hipoksemia / intrapulmonary shunting.
Penggunaan PEEP pada pernafasan spontan disebut Continous Positive Pressure Breathing
(CPPB) atau Continous Positive Airway Pressure (CPAP).dimana selama pernafasan
spontan  diberi ekanan positif baik selama inspirasi maupun akhir expirasi.Sebaiknya
penggunaan PEEP atau CPAP hati2 pda keadaan hipovolemi,maupun cardiac output menurun
tau meningginya tekanan intrakranial (ICP). Pemberiaqn tekanan negatif pada waktu expirasi
seperti IPNPV atau NEEP,diharapkan mampumengurangi effek tekanan positif pada venous
return terutam pada pasien shock hipovolemik, tetapi sebaiknya diperbaiki dengan blood volume
expander dulu sementara NEEP atau IPNPV diberikan.Jangan lupa IPNPV maupun NEEP bisa
menimbulkan atelectase/airway collaps untuk itu hanya digunakan kalau darurat
saja.Penggunaan EIP pada dasarnya agar terjamin distribusi ventilasi yang merata tetapi effek
gangguan circulasi menonjol.

SIGH  : Adalah periodik hiperinflasi (extra large tidal volume). Secara periodik diberi tidal
volume yang besarnya 2-3x normal tidal volume,untuk meningkatkan compliance paru
mencegah mikro atelektasis yang mungkin timbul  pada pasein yang diberi normal tidal volume
terus menerus.Tetapi bila diberi tidal volume 12-15 cc/Kg BB ideal, dengan frekuensi pernfasan
10-12 x permenit ,sigh system tak diperlukan hanya sering bahaya alkalosis. Beberapa ventilator
seperti Bear dilengkapi sarana sigh, biasanya daitur sigh voluime 2-3x tidal volume
biasa,sementara frekuensinya 3-5 x per jam.

PEMANTAUAN VENTILASI MEKANIK


1. Pasien : Pemeriksaan fisik, foto thorak, EKG, Sp O2,  lab gas darah
2. Interaksi pasien dengan ventilator : Peak inspiratory pressure, exhaled tidal
volume, minute volume, rate, nafas spontan, trigger, mode ventilasi
3. Ventilator : Sirkuit, Setting humidifier, ventilator, Setting alarm
EVALUASI
 Status Oksigenasi

 Parameter PaO2, SpO2

 Mencapai PaO2, SpO2 yang diinginkan dgn FiO2 terendah

 Variabel FiO2, Mean airway pressure, I:E ratio

 Bila perlu ditambah PEEP

 Status Ventilasi

 Parameter PaCO2

 Variabel tidal volume, rate, dead space

 Atur minute volume untuk PaCO2 yang diinginkan

 Waspada efek samping

 Perubahan mode

 CMV - ACV - SIMV - PS/VS - CPAP - weaning

 Tergantung kondisi penderita, perbaikan atau perburukan yang terjadi

 Status hemodinamik (Terjadi gangguan hemodinamik pada awal ventilasi mekanik)

 Perubahan tekanan negatif ke positif VR, SV, CO, tensi

 Perbaikan ventilasi dan oksigenasi katekolamin , tonus simpatis , tonus vaskuler 

 Pemberian sedativa :   tonus simpatis , tonus vaskuler 

 Hipovolemia

 Terapi vasoaktif dan cairan

PERBEDAAN ANTARA PERNAFASAN TERKENDALI (CONTROLLED


RESPIRATION) DENGAN PERNAFASAN SPONTAN
Kita ketahui bahwa otot-otot pernafasan terutama diaphragma membantu memperbesar rongga
thorak, volume spesifik gas didalamnya meningkat, sementara tekanannya menurun.
Perbedaan antara tekanan dalam pleura dan alveoli mengatasi elastisitas paru sedangkan
perbedaan tekanan antara alveoli dan udara luar mengatasai tahanan jalan nafas (airway
resistance).
Besarnya perbedaan kedua tekanan ini berbeda satu dengan lainnya. Bila pernafasan tenang
tanpa obstruksi walaupun dengan kecepatan aliran gas yang tinggi, perbedaan tekanan melalui
airway (antara udara luar dan alveoli) lebih kurang 2 cm H2O sementara antara alveoli dan
intrapleural bervariasi dari -10 cm H2O pada akhir inspirasi sampai -5 cm H2O pada akhir
expirasi.

a.Tekanan intra pulmonal


Selama pernafasan spontan udara luar masuk kedalam paru oleh karena perbedaan tekanan yang
ditimbulkan antara mulut dan alveoli. Perbedaan tekanan ini tak seberapa oleh karena hanya
untuk mengatasi airway resistance sedangkan usaha otot-otot pernafasan dipakai untuk
mengatasi elastisitas paru. Oleh karena tekanan pada mulut adalah tekanan atmosfer maka
tekanan didalam alveoli selama inspirasi harus subatsmosfer. Menjelang akhir inspirasi tekanan
dalam alveoli menjadi atmosfer lagi. Bila expirasi dimulai tekanan dalam alveoli naik beberapa
cm H2O diatas atmosfer dan perlahan-lahan turun jadi atsmosfer lagi ketika paru kosong
(kempis).
Sebaliknya selama respirasi terkontrol dengan tekanan positif tekanan di alveoli meningkat dari
satu atsmosfer sampai lebih kurang 16 cm H2O ( untuk tidal volume 800 cc dengan compliance
paru kira-kira 0.05 L / cm H2O ) dan selama expirasi tekanan turun jadi atsmosfer  lagi ketika
paru kosong.

b.Tekanan intra pleural :


Selama pernafasan spontan tekanan intrapleural normal lebih kurang - 5 cm H2O, pada akhir
expirasi. Selama inspirasi penurunan lebih besar lagi lebih kurang - 10 cm H2O, dan kembali
jadi -5 cmH2O selama expirasi.
Pada respirasi terkontrol bila tidal volume 800 cc, sedangkan compliance paru (CL) 0,05 L
/cmH2O tekanan intrapleural meningkat selama inspirasi dari  -5cmH2O jadi + 3cmH2O dan
turun jadi -5cmH2O lagi selama expirasi. Kenaikan sebesar 8cm H2O ini diperoleh dari tidal
volume dibagi compliance total (compliance paru dan dinding dada, yaitu 800 : 2x50 =8).

HUBUNGAN PEAK PRESSURE, COMPLIANCE & PEAK INSPIRATORY FLOW


RATE
Agar udara bisa mengalir dari luar ke alveoli, tekanan pada mulut selama inspirasi harus lebih
besar dari tekanan dalam alveoli sebaliknya selama expirasi tekanan pada alveoli lebih besar dari
tekanan pada mulut.
Pada akhir inspirasi tekanan pada mulut sama dengan tekanan dalam alveoli. Pada expirasi
tekanan pada mulut turun cepat jadi nol sedangkan dalam alveoli turun lambat sampai nol
.Perbedaan terbesar tekanan antara mulut dan alveoli pada saat aliran gas masuk paru paling
tinggi. Ketika menjelang akhir inspirasi perbedaan tekanan berangsur-angsur menurun dan pada
akhir inspirasi tak ada aliran lagi dan tekanan sama diseluruh tractus respiratorius.
Makin besar airway resistance, makin besar aliran gas(flow rate) makin besar pula perbedaan
tekanan antara mulut dan alveoli berarti makin tinggi pula peak pressure pada mulut dibanding di
alveoli.
Pada akhir inspirasi tekanan pada mulut dicatat dengan manometer sama dengan dialveoli
sementara volume udara yang masuk alveoli dapat diketahui bila compliance paru diketahui.
Kita ketahui compliance paru adalah hubungan antara kenaikan volume alveoli dan tekanan
alveoli. Dalam keadaan normal compliance paru 0,05 L/ cm H2O maksudnya setiap kenaikan 1
cmH2O tekanan dalam alveoli akan menaikkan volume alveoli sebesar 0,05 L= 50 cc.
Biasanya makin besar tekanan pada mulut akan menberikan tidal volume yang lebih besar tetapi
dalam keadaan tertentu dimana airway resistance cukup tinggi atau compliance paru rendah
diperlukan tekanan mulut yang lebih tinggi untuk memberikan tidal volume yang normal.
Tahanan jalan nafas (airway resistance) adalah hubungan antara perbedaan tekanan melalui
airway(antara mulut dan alveoli) dengan kecepatan aliran gas inspirasi (Inspiratory flow rate)
dengan kata lain perbedaan tekanan per unit flow biasanya diukur dalam cmH2O/ L/ detik.
           
Contoh :  
Jika airway resistance                       2cmH2O/L/detik
Gas flow melalui airway                    30 l/menit (0,5 L/detik)
Maka perbedaan tekanan antara
            Mulut dan alveoli                                2x 0,5 = 1 cmH2O
            Sebaliknya bila diketahui flowgas     30 L/menit
            Perbedaan tekanan mulut alvewoli    1 cmH2O
            Maka airway resistance                      1 : 0,5= 2 cmH2O/L/detik
Contoh lengkap :
             Bila satu ventilator memberikan
             gas flow dengan kecepatan               =   0,5 L/detik                     (1)
             kepada pasien dengan compliance   =   0,05 L/ cmH2O            (2)
             dan airway resistance                        =   6 cmH2O/L/detik         (3)
             selama periode                                  =   1 detik                            (4)

Maka :
          
             Dari (1) &  (3) perbedaan tekanan
             antara mulut &alveoli konstant        =   0,5 x 6  = 3 cmH2O      (5)
        
             Dan dari ( 1 ) & (4) pertambahan
             volume alveoli adalah                        =  0,5 x 1   =  0,5 l             (6)
        
             Dengan demikian dari (2) & (6)
             tekanan dalam alveoli pada akhir
             periode adalah                                    =  0,5/0,05 =  10 cmH2O (7)
          
             Dan dari (1) & (3)  tekanan pada
             mulut pada permulaan inflasi oleh
             karena airway resistance  adalah       =   3 cmN2O                     (8).
             dan dari (7) & (8) ,tekanan pada
             muiut tepat sebelum akhir inflasi
             oleh sebab airway resistance dan
             tekanan alveoli adalah                       =   ( 10 + 3 ) cmH2O
                                                                         =      13 cmH2O.

EFEK NEGATIF DARI PERNAFASAN TERKENDALI


A.  Pengaruh pada cardiovascular
a. Hilangnya mekanisme thoracic pum
Turunnya tekanan dalam thorak selama pernafasan spontan tak hanya menyedot udara kedalam
paru tapi juga darah dari luar thorak kedalam vena-vena besar dan jantung. Dengan respirasi
terkontrol mekanisme ini terganggu lebih-lebih bila digunakan PEEP.
Perbedaan tekanan dalam keadaan normal antara vena-vena dalam thorak dan diluar thorak
terganggu oleh pengaruh tekanan positif dalam paru ditransmisi ke dalam struktur intrathorak
terutama pasien dengan emphysema pulmonum.
Selama pernafasan spontan tekanan  intrathorakal(intra pleural) pada kedalaman inspirasi sebesar
- 10 cmH2O sedangkan selama respirasi terkontrol menjadi + 3 cmH2O hanya pada saat expirasi
yang tenang tekanan negatif intrapleural baik respirasi spontan maupun terkontrol sama
besarnya.
Pada akhir inspirasi pada respirasi terkontrol tekanan vena centralis meninggi dan venous
gradient menurun akibatnya venous return menurun, cardiac output menurun dan tekanan darah
juga menurun. Dalam keadaan normal keadaan ini cepat dikompensir oleh kenaikan tekanan
vena peripher yang memperbaiki tekanan venous gradient dan mengembalikan venous return
seperti semula.
Pemulihan venous gradient penting untuk mempertahankan cardiac output yang cukupselama
respirasi tercontrol, ini sangat tergantung pada volume darah yang cukup dalam circulasi dan
efektivitas tonus vascular. Mekanisme kompensasi ini bisa menghilang pada keadaan tertentu
seperti hipovolemik dan pengaruh obat-obatan.
Bila salah satu faktor tadi  terganggu atau fase inspirasi terlalu panjang maka pengaruh tekanan
positif terhadap circulasi semakin besar. Umpama perdarahan yang hebat sangat mengurangi
volume darah akan terjadi vasokonstriksi extensif untuk mengkompensir hipovolemi dan hal ini
tak mungkin berlanjut terus apalagi dengan respirasi terkontrol akan memperburuk circulasi.

b.Tamponade jantun
Selama fase  inspirasi pada respirasi terkontrol jantung tertekan diantara paru yang mengembang
dengan tekanan positif sehingga cardiac output terganggu. Sedangkan pada pernafasan spontan
pengaruh ini sangat sedikit oleh sebab tekanan intrapleural sangat rendah. Makin tinggi tekanan
positif makin panjang fase inspirasi (makin besar I:E ratio) makin besar cardiac tamponade.
Tetesan infus sering terlihat melambat ketika tekanan intra thorak meninggi selama
inspirasi/inflasi. Bila kita gunakan CVP tak hanya tekanan vena meningkat tetapi juga fluktuasi
akibat variasi tekanan intra thorak akan terlihat.

c. Gangguan terhadap pulmonary blood flow 


Tekanan kapiler pulmonal normal kira-kira 11 cm H2O. Oleh tekanan positif pada alveolar
kapiler paru dengan sendirinya akan tertekan sebagian atau seluruhnya.
Walaupun tekanan serendah 6,5 cm H2O dalam paru bisa menurunkan circulasi kapiler paru dan
menambah beban jantung kanan. Ini akan mudah ditolerir oleh kebanyakan pasien tetapi tak
mungkin oleh pasien gagal jantung.
Tekanan sedemikian rendah dalam paru cukup untuk mencetuskan gagal jantung kanan.

B. Kerusakan pada paru sendiri


a.Ruptur alveoli :
Sangat jarang sekali bila berkerja singkat kecuali pasien yang sudah ada bullous emphysematous.
Dia katakan dengan tekanan sebesar 40-80 cmH2O bisa bikin ruptur alveoli pada mamalia yang
parunya tak dilindungi rangka thorak. Tetapi pada paru yang dilindungi rangka thorak dan otot-
otot pada binatang hidup diperlukan tekanan 80-140 cm H2O untuk timbulnya ruptur alveoli. 
Tekanan intra pulmonary maksimum yang dianggap aman pada mamalia yang sehat kurang lebih
70 cm H2O. Tekanan yang dibuat dengan reservoir bag jarang melebihi 60 cm H2O. Namun kini
banyak alat-alat yang mampu memberikan tekanan inflasi yang lebih tinggi kemungkinan
rusaknya paru harus diwaspadai.
Jika diberikan tekanan yang sama dari luar terhadap thorak/abdomen perlindungan terhadap
overdistensi paru dapat diperoleh dan dalam keadaan tertentu tekanan sampai 230 cm H2O
masih bisa ditolerir tanpa kerusakan paru.

b. Distribusi ventilasi yang tak merata ( uneven ventilation)


Distribusi gas dalam paru dengan ventilasi mekanik umumnya tak merata. Bila ini terjadi maka
ventilasi perfusi ratio akan terganggu. Resiko ini besar kemungkinan terjadi perfusi dengan darah
tanpa oksigenasi yang akan menimbulkan hipoksemia atau intrapulmonary  shunting.
Pada paru yang sehat biasanya underventilated lung diikuti akhirnya dengan turunnyaaliran
darah sehingga dengan demikian shunt bisa dikurangi, sebaliknya bila ventilasi sangat baik
sedangkan perfusi sangat jelek akan menyebabkan wasted ventilation dan meningkatnya
physiological dead space sehingga ventilasi total yang normal akan meningkatkan PaCO2.
Uneven ventilasi bisa disebabkan perubahan elastisitas paru yang terlokalisir atau perubahan dari
patency airway seperti pada asthma bronchiale, chronic bronchitis, emphysema dan lain-lain.
Terpisah dari penyebab pathologis posisi  lateral bisa bikin uneven ventilasi oleh sebab
menurunnya ventilasi pada dependent lung, juga retraksi pembedahan dengan membatasi expansi
sebagian kecil / besar paru, begitu juga penumpukan sekresi lokal bisa menyebabkan hal yang
sama.
Kita selalu berusaha mengurangi pengaruh tekanan positif terhadap circulasi dengan
meninggikan inspiratory flow rate dimana masa inspirasi diperpendek untuk menurunkan
tekanan rata-rata intra pleural hal ini menyebabkan perbedaan besar tekanan alveoli yang
berdekatan. Baik menaikkan inspiratory flow rate maupun tekanan positif pada mulut
kecenderungan terjadinya uneven ventilasi akan lebih besar.

c. Gangguan Asam Basa


Keseimbangan asam basa akan terganggu setiap deviasi ventilasi alveolar dari normal.
Overventilasi akan menurunkan PaCO2 dan kenaikan pH, sebaliknya underventilasi akan
menaikkan PaCO2 dan menurunkan pH walaupun overventilasi lebih baik dari underventilasi
oleh karena pengaruhnya tak seberapa dalam waktu singkat namun keduanya tak diingini.

d. Cerebral Vasokonstriksi
Overventilasi bisa menyebabkan cerebral vasokonstriksi dan bagaimana mekanismenya belum
begitu di mengerti, tetapi masalahnya karena penurunan PaCO2 dibuktikan oleh Ketty & Smith
1946.

e.Yang lain-lain
Bila dilakukan respirasi terkontrol tanpa pipa tracheal bisa menyebabkan: Masuknya sebagian
gas keperut tetapi dengan tekanan sampai 15 cmH2O jarang menyebabkan distensi perut. Ruptur
membran timpani pernah dilaporkan selama respirasi terkontrol.
CHECKLIST TO IDENTIFY CANDIDATES FOR A TRIAL OF SPONTANEOUS
BREATHING

 Respiratory Criteria :
 PaO2 ≥ 60 mmHg on FiO2 < 40 – 50 % and PEEP ≤ 5 – 8 cmH2O
 PaO2 normal or baseline
 Patient is able to initiate an inspiratory effort
Cardiovascular Criteria :
 

 ≤
 Blood presure normal without vasopressor or with minimum  
  vasopressor support (e.g, dopamine < 5 ug/kg/min)

Adequate Mental Status :


Patient is arousable, or Glasgow Coma Scale ≥ 13

Absence of Correctable Comorbid Condition


 Patient is afebrile
 There are no significant electrolit abnormalities

IDENTIFYING PATIENT WHO WILL TOLERATE BY SPONTANEOUS BREATHING


TRIAL

Measurement  Reference Range in  Threshold for


Adults Successful SBT
Tidal Volume (VT) 5 ‐ 7 ml/kg 4 – 6 ml/kg
Respiratory Rate (RR) 10 – 18 bpm 30 – 38 bpm
Total Ventilation (VE) 5 – 6 L/min 10 – 15 L/min
RR/VT Ratio 20 – 40/L 100/L
Maximum Inspiratory ‐90 to ‐120 cm H2O ‐15 to ‐30 cm H2O
Pressure (Pimax)

VENTILATOR BUNDLE ELEMENTS


1. HOB elevation
2. Appropriate DVT prophylaxis
3. Appropriate PUD prophylaxis
4. Appropriate sedation
5. Assessment of readiness to extubate

REFERENSI
Mati Otak (Brain Death)
PENDAHULUAN
Otak orang dewasa yang beratnya 2% dari berat badan,dilayani sirkulasi darah 15% dari kardiak
output dan membutuhkan oksigen 20% dari konsumsi oksigen seluruh tubuh atau lebih kurang
3,3 ml O2 /100 gram otak menit yang dikenal dengan istilah laju metabolik otak untuk
O2(CMRO2) dimana (55-60)% nya digunakan untuk mempertahankan intergritas seratus
milyard neuron otak berupa homeostasis, mempertahankan perbedaan ion,stabilitas
membran,aktifitas mitokondria dan pengeluaran CO2,sementara (40-45)% nya digunakan untuk
fungsi neuron berupa pembentukan dan penghantaran impuls. Tergantung pada aliran darah
otak(CBF),oksigen dan glukose.
Sumber energi otak sebagian besar diperoleh dari glukose sedangkan sumber yang lain ialah
hidroksi butirat dan aceto asetat.Ketidak mampuan perfusi otak karena penurunan CBF dibawah
kritis untuk memenuhi pasokan oksigen dan nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan
intregritas metabolisme dan fungsi neuron yang merupakan dasar kerusakan otak yang dikenal
dengan iskemia cerebri dengan konsekwensi mulai dari transsient ischemic attack( TIA) sampai
terjadi mati otak.
Penurunan CMRO2 sampai 2,0 cc/100 gram otak/menit berakibat koma sedangkan penurunan
CMRO2 sampai dibawah sepertiga normal bisa menyebabkan brain stem death (mati batang
otak).
Yang termasuk batang otak adalah medulla oblongata,pons,thalanus,hipothalamus,retikular
aktivating system,basal ganglia,limbik system tetapi yang utama adalah medulla oblongata dan
pons dimana terletak pusat pernafasan dan sirkulasi, kesadaran dan nukeus syaraf kranial.

MATI BATANG OTAK (MBO)


Yang dimaksud mati dewasa ini adalah mati batang otak walaupun jantung masih berdenyut dan
respirasi dengan ventilator masih dipertahankan.
Dahulu definisi kematian adalah apnoe (henti nafas) dan circulatory arrest (henti sirkulasi)
dimana aktivitas cerebral terhenti sebentar (reversible) masih mungkin dilakukan
cardiopulmonary dan brain resusitasi kemungkinan fungsi otak kembali normal, kematian seperti
ini disebut Clinical death(mati klinis).
Bila mati klinis berlanjut tanpa resusitasi akan terjadi nekrosis seluruh jaringan tubuh dimulai
dari otak, disebut biological death (mati biologis).
Sedangkan sosial death (mati sosial) (persistent vegetative state)(sindroma apalika)
menggambarkan kerusakan otak yang irreversible dimana pasien tetap tak sadar /tidak responsif
tetapi mempunyai EEG yang masih aktif dan beberapa reflek masih utuh.
Cerebral death (mati cerebral) dimana cerebrum mengalami nekrosis terutama neocortical. Brain
death (total brain death)(mati otak total) adalah mati cerebral dengan nekrosis sisa otak lainnya
(cerebellum,midbrain dan brain stem).(otak kecil,otak tengah dan batang otak).
Harus dibedakan brain death dengan severe neurological dysfunction dimana masih ada menetap
sedikit aktifitas otak, biasanya kita bagi dua golongan:

A. Locked in Syndrome (paralytic akinesia) - (cerebrospinal dysconection)


     Dalam keadaan ini : 
 Mental awareness (+).
 Cranial nerve dysfunction (+)
 Voluntary muscle movement (-)
     Umpama : lesi medulla-pontine.
               
B. Apalic syndrome :
Depressi awareness yang dalam depressi EEG sampai isoelektrik. Fungsi brain stem masih
berlangsung atau bisa ditimbulkan.
Untuk itu baik fungsi cortical maupun brainstem harus diteliti dengan kriteria yang ditetapkan
dalam menentukan brain death. Yaitu yang ditetapkan oleh Presbyterian University Hospital
Pittsburg.
Kriteria untuk menentukan diagnosis MBO (mati batang otak). Pasien yang diobservasi harus di
rumah sakit, dengan dua kali pemeriksaan klinik dimana jarak (interval) kedua pemeriksaan
tidak kurang dari dua jam dilakukan oleh minimal 2 ahli yang mendapat kompetensi
(neurologist, neurosurgeon atau intensivist) bersama atau terpisah.

 Koma dengan sebab yang ditetapkan, dan tidak adanya induced hipotermia, dan obat-obat
yang bersifat depressant. Jika ada indikasi pemeriksaan ethanol darah,dan toksikologi harus
dilakukan dan temperatur tubuh juga dicatat.
 Tidak dijumpai gerakan otot spontan,tanda-tanda sikap abnormal
(decerebrasi&decorticasi) atau menggigil dalam keadaan tanpa muscle relaxant (pelemas otot)
atau obat sedatif.
 Cranial reflexes & responses:(minimal lima reflex negatif).
1. Tak ada respons reflex cahaya pupil.ini disamarkan oleh obat
antikolenergik.
2. Tak ada cornea reflex.
3. Tak ada respons terhadap stimulus sakit yang hebat seperti tekanan pada
supra orbital.
4. Tak ada respons terhadap stimulus jalan nafas bagian atas dan bawah
umpama pharyngeal atau penghisapan endotracheal.
5. Tak ada respons okular bila telinga diirigasi dengn 50 cc air es (tak ada
gerakan mata) (reflexoculovestibular). Hal ini bisa disamarkan oleh obat
ototoksik,penekan vestibular.
6. Tak ada gerakan bola mata bila kepala diputar (reflex oculocephalic).
 Tak ada gerakan nafas spontan selama tiga menit bila ventilator dilepas dan PaCO2 > 50
Torr pada Akhir test apnoe dalam hal ini tanpa pelemas otot, tak dilakukan bila ICP tinggi. Jika
pada riwayat penyakit pasien mempunyai ketergantungan pada stimulus hipoksia untuk
pernafasan umpama pada penderita COPD(chronic obstructive pulmonary diseases) maka PaO2
pada akhir test harus < 50 Torr. Jadi dicatat PaO2 dan PaCO2 pada akhir test apnoe.
Test apnoe :

1. Pre oksigenasi selama 10 menit dengan O2 100 % untuk mencegah


hipoksia.
2. Beri CO2 5% dalam 95% selama 5 menit berikutnya untuk menjamin
PaCO2 awal 40 torr.
3. Ventilator dilepas, insuflasi O2 6L/menit via kateter lewat karina.selama
sepuluh menit. Untuk mencegah hipoksia, agar tak terjadi kerusakan organ.

Test ini diulang dengan selang waktu 25- 40 menit. Untuk mencegah kesalahan pengamatan.

 Gambaran EEG yang isoelektris. Dengan minimal tehnik pencatatan yang telah
ditetapkan bisa terjadi atas pengaruh sedatif encepfalitis,trauma otak atau anoksia atau
hipotermia yang dalam.
 Kegagalan menaikkan heart rate (kecepatan denyut jantung) dengan pemberian 1-2
miligram. Sulfas atropin intra vena setelah lima menit atau kenaikan tak lebih 5 x/ menit

Penetapan diagmosis MBO perlu untuk menentukan sikap kita dalam mempertahankan atau
mengakhiri tindakan resusitasi gawat darurat. 
Bila diagnose MBO sudah pasti maka pasien dinyatakan meninggal dengan sertifikat kematian.
Walau jantung masih berdenyut, tidak diperlukan persetujuan keluarga untuk membuat
sertifikasi kematian. Tetapi bila pasien telah menyatakan dirinya sebagai donor organ sebelum
kematiannya maka setelah onset braindeath resusitasi terus dilakukan sampai organ tubuh pasien
dikeluarkan untuk mempertahankan keawetan organ, tetapi kontra indikasi bila dijumpai
beberapa keadaan tertentu dibahas dalam management resusitasi untuk transplantasi organ.
Setelah MBO cardiac death (mati jantung) sekunder biasanya terjadi setelah 72 jam sejak MBO
tetapi kadang kadang walau jarang bisa sampai satu bulan.ini karena merupakan efektor autonom
yang bekerja tanpa pengaruh syaraf pusat dalam waktu terbatas.
Sikap kita ventilator dihentikan biarkan saja sampai circulasi berhenti sendiri.
Mati jantung adalah henti jantung yang irreversible dimana EKG isoelektris selama minimal 30
menit, (intractable electric asystole) walaupun terapi CPR telah optimal. Tidak ada pulsasi tetapi
ada EKG complex (mechanical asystole tanpa electric asistole) bukanlah tanda irreversibelity
cardiac.
Selama aktifitas EKG berlangsung kita harus bersikap bahwa masih ada waktu untuk
memulihkan circulasi spontan. Sebenarnya aktifitas EKG bisa berlangsung setelah beberapa
menit terjadi henti jantung tanpa resusitasi atau berjam-jam selama CPR dilakukan.
Selama CPR dengan dada tertutup tanpa monitoring EKG tak bisa dibuktikan adanya henti
jantung yang irreversible oleh karena ventrikel fibrilasi mungkin ada dan ventrikel fibrilasi selalu
mungkin reversible. Ada beberapa kasus ventrikel fibrilasi setelah CPR berjam-jam disertai
defibrilasi pulih kembali kesadarannya.
Bila telah dilakukan CPR ditemukan sirkulasi spontan,reaksi pupil positif ,respirasi spontan,
gerakan spontan ini menunjukkan adanya oksigenasi serebral.
Bila pupil tetap dilatasi tanpa reaksi,tanpa respirasi spontan selama 1-2 jam,walaupun sirkulasi
spontan sudah dicapai, ini menunjukkan kerusakan otak yang hebat walaupun tidak selalu
disertai mati batang otak.
Perlu diketahui pupil dilatasi /fixed bisa dijumpai diluar mati otak yaitu kontussio
serebri,perdarahan intra kranial,pemberian katekolamin waktu resusitasi atau overdosis obat-obat
hipnotik.
Secara kasar pasien yang sadar dalam waktu sepuluh menit sesudah sirkulasi spontan akan pulih
kembali dengan fungsi otak yang normal,tetapi setelah 6-12 jam sejak sirkulasi spontan
dilakukan penekanan yang kuat pada sudut mandibula, tanpa respons nyeri, tanpa Doll eyes,
biasanya pasien akan menderita kerusakan otak yang permanent (Bates).
Bila fasilitas EEG,monitor gas darah tak ada maka angiografi karotid yang menunjukkan tidak
ada flow intrakranial alternatif yang dapat diterima sebagai bukti adanya MBO.
Pada tahun 1988 IDI mengeluarkan pernyataan berkaitan kapan seorang dinyatakan mati.
 Bila pernafasan spontan dan jantung telah pasti berhenti,setelah dilakukan CPR optimal.
 Bila telah dipastikan terjadi MBO, tetapi pada CPR darurat dimana tidak mungkin
menentukan MBO maka seorang dapat dinyatakan mati bila :
1. Ditemukan tanda-tanda mati jantung.
2. Setelah dimulai CPR pasien tetap tidak sadar, tidak muncul nafas spontan reflex
muntah negatf serta pupil tetap dilatasi. Selama lebih 30 menit kecuali pasien hipotermik
atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.
Check list untuk diagnose klinis dari brain death menurut Medical Center of Pittsburgh
University dalam menerbitkan sertifikasi kematian :
I.  Tidak adanya cofounding factors
 Tekanan darah sistolik > 90 mmHg tanpa vaso pressor dan perfusi perifer adekuat.
 Suhu tubuh > 32 derajat C dibawah 32 C EEG bisa isoelektris.
 Tanpa obat mendepressi CNS (anestetik,narkotik,sedatif,alkohol). Kadar sedatif tidak
lebih besar dari subterapetik, kadar alkohol tak >= 100 mg %. Bila curiga lakukan test
toksikologi. Tak menggunakan pelemas otot, bisa membuat apnoe atau gerakan(-). 
 Tidak ada uremia,meningo ensefalopati,hepato ensefalopati atau metaboilik ensefalopati
bila ada harus diambil EEG untuk menentukan brain death. 

II. Absen fungsi serebral dan batang otak


 Tak ada reflex batang otak termasuk test apnoe.
 Tak ada responsivity dan reseptivity dari serebral.
1. Tak respons terhadap stimulus nyeri (penekanan supra orbital).
2. Tak ada gerakan otot spontan, deserebrate rigidity atau decorticasi atau kejang.
3. Tak ada reflex cahaya pupil(fixed) (paling penting)(takperlu dilatasi atau equal).
4. Tak ada reflex kornea (kelemahan facial sebelumnya bisa bikin reflex kornea
negatif).
5. Tidak ada reflek batuk dan menelan (tak respons terhadap stimulus jalan nafas
atas dan bawah) dengan menyedot faring atau trakea, via pipa trakeal. (test n. vagus dan
glossopharyngeal)
6. Tak ada reflex okulosefalik dengan memutar kepala arah kesisi kontralateral tidak
ada gerakan bola mata, tak boleh pada fractur cervical.
7. Tak ada reflex okulo vestibular (meninggikan kepala 30 derajat, lakukan irigasi
50 cc air es kedalam saluran telinga luar tidak ada gerakan bola mata boneka.( test
labirinth).
8. Tidak ada peningkatan denyut jantung kalaupun ada tak lebih dari lima kali menit
sesudah 5 menit diberikan 0,04 mg/kg atropin iv. Sebagai test fungsi n vagus dimana
atropin sebagai vagolitik. Dicatat denyut jantung sebelum dan sesudah test atropin.
9. Apnoe pada saat PaCO2 > 60 mmHg merupakan stimulus paling kuat untuk
merangsang pusat nafas.minimal 30 detik. Dicatat PaCO2 dan PaO2 pada akhir test apnoe.

III .Test untuk mengkonfirmasi diagnose brain death (Confirmatory test) evaluasi fungsi
neuron atau sirkulasi darah intra kranial.
 EEG adanya elektro serebral silence, lebih dari 30 menit. Test ini dilakukan bila ada
encefalopati, penyebab koma tidak tahu atau global iskemia sudah berlangsung 24 jam atau
paling sedikit satu pemeriksaan tidak dilakukan atau test apnoe tidak bisa dilakukan takut terjadi
henti jantung.
 Cerebral arteriografi (4 pembuluh darah serebral) tidak dijumpai sirkulasi darah
intrakranial, test ini dilakukan. kalau pasien hipotermia berat, mendapat  CNS depressant,
alkohol atau pelemas otot.

IV. Komentar : Semua hasil pemeriksaan telah memenuhi kriteria MBO walaupun
jantung masih berdenyut.

Sertifikasi kematian
Setelah mempertimbangkan hasil-hasil diatas dengan ini kami menyatakan kematian atas nama,
jenis kelamin, umur dan alamat, tanggal, jam, meninggal. 
Ditanda-tangani oleh dua orang dokter. Langkah selanjutnya memberi tahu keluarganya akan
dihentikan bantuan hidup yang ujungnya sia-sia bukan berarti membiarkan mati. 
Bila keluarga sudah menerima tentang kematian otak maka ventilator, monitor, infus di stop
dilakukan oleh petugas yang merawat, biarkan sampai jantung berhenti sendiri. Bila akan
dilakukan transplantasi organ minta persetujuan tertulis dari keluarga. Bila setuju maka teruskan
bantuan utama untuk mencegah injury organ.

Kontroversi MBO                                  
Ada bukti-bukti menunjukkan residual neuron function yang bisa bertahan walaupun telah
dinyatakan semua kriteria telah dipenuhi untuk diagnose MBO.
Termasuk berlanjutnya produksi hormon hipofise/hipotalamus dan bertahannya suhu tubuh tetap
normal walaupun pada angiografi 4 pembuluh darah serebral tidak ada tanda-tanda sirkulasi
intrakranial.
Masih ada spontanous depolarisation bisa ditest dengan menempatkan elektrode lebih dalam
meskipun EEG cortex isoelectric silence.
Adanya enviromental responsiveness dibuktikan dengan naiknya tekanan darah dan kecepatan
denyut jantung sebagai respons pembedahan selama organ procurement diduga respons terhadap
stimulus komponen extra kranial dari ANS.
Namun hal ini bisa terjadi sebab definisi MBO adalah hilangnya permanent semua fungsi neuron
terpadu bukan kematian semua cell.
Ringkasan :Kriteria MBO yang digunakan sejak 1968 di Universitas Pittsburgh termasuk
ketiadaan total, aktivitas serebrum dan batang otak pada dua pemeriksaan klinis dengan interval
minimal dua jam,tanpa depresan CNS,pelumpuh otot dan hipotermi. Diantara dua pemeriksaan
klinis dilakukan perekaman EEG dengan atau tanpa stimulasi suara,dengan pembesaran dua
mikrovolt per mm menunjjukan rekaman isoelektrik selama minimal 30 menit.
Tidak terdapatnya pernafasan spontan selama 3 menit dimana PaCO2 harus >50 torr untuk
penderita COPD yang memerlukan hipoksia untuk pernafasan maka PaO2<50 torr untuk ini
perlu analisa gas darah.
Reflex dan respons saraf otak termasuk reflex pupil harus tak ada. Laju jantung tak boleh
meningkat selama pemberian atropin iv. Semua aktivitas batang otak tidak ada kecuali aktivitas
sumsum tulang karena neuron sumsum tulang belakang masih hidup setelah mati otak. Bila
fasilitas EEG atau BGA tidak ada, maka angiografi untuk memastikan tidak ada perfusi
intrakranial sebagai alternatif. Namun bila pemeriksaan laboratorium juga tak ada maka
pemeriksaan klinis saja mencukupi.
Persetujuan keluarga tidak perlu untuk sertifikasi mati otak dan dua dokter minimal menanda-
tangani sertifikat kematian pasien.

REFERENSI
Badai Tiroid
Sinonim
Thyroid Storm, Decompensated Hyperthyroidism, Krisis Tirotoksikosis

Pokok-Pokok Diagnosis
 Hipertirodism yang sudah berlangsung lama, tidak terkontrol atau kontrol yang jelek.
 Mekanisme termoregulasi tubuh rusak, menyebabkan hiperpireksia.
 Perubahan status mental.
 Penyakit atau kejadian pencetus, seperti : pembedahan tiroid, infeksi, trauma, masalah
abdomen akutum, atau anestesi. 
 Gejala dan tanda hipertiroidism berat.
 
Fisiologi Tiroid 
Kelenjar tiroid berisi folikel tiroid dengan sel epitel kuboid sederhana. Rongga folikel
dipertahankan oleh koloid. Sel folikel mensintesa tiroglobulin dan mensekresikannya ke dalam
koloid folikel. Tiap molekul tiroglobulin mengandung asam amino tirosin, blok pembentuk
hormon tiroid.
Pembentukan hormon tiroid melalui 3 tahap dasar sebagai berikut :
1. Ion Iodide diabsorpsi dari diet pada saluran pencernaan dan dihantarkan ke dalam
kelenjar tiroid melalui aliran darah. Protein karier pada membran basalis sel folikel
mentranspor ion iodide ke dalam sitoplasma. Sel folikel secara normal mempertahankan
konsentrasi Iodide intrasel beberapa kali lebih besar dibanding ekstrasel.
2. ) oleh enzim tiroid peroksidase. Di sini juga terjadi pembubuhan 1atau 2 ion
Iodide ke dalam molekul tirosin dari tiroglobulin.Ion Iodide berdifusi ke permukaan
apeks tiap sel folikel, diubah menjadi bentuk Iodide aktif (I +
3. Molekul tirosin yang telah terpasang ion Iodide berpasangan membentuk molekul
hormon tiroid yang tetap tergabung di dalam tiroglobulin. Hormon tiroksin atau
tetraiodotironin (T4) mengandung 4 ion iodide. Triiodotironin (T3) mengandung 3 ion
iodide. Tiap molekul tiroglobulin mengandung 4-8 molekul hormon T3 atau T4 atau
kedua-duanya.
Faktor utama yang mengontrol kecepatan pelepasan hormon tiroid adalah konsentrasi TSH di
dalam darah sirkulasi. TSH merangsang transpor iodide ke dalam sel folikel dan merangsang
produksi tiroglobulin dan tiroid peroksidase. Juga merangsang pelepasan hormon tiroid. Di
bawah pengaruh TSH terjadi tahap-tahap sebagai berikut :
1. Sel folikel melepaskan tiroglobulin dari folikel dengan cara endocitosis.
2. Enzim lisosom memecah protein, dan asam amino dan hormon tiroid memasuki
sitoplasma. Asam amino didaur ulang dan digunakan untuk mensintesa tiroglobulin.
3. Molekul T3 dan T4 yang dilepaskan berdifusi menyeberang membrana basalis
dan memasuki aliran darah. Kira-kira 90 % dari sekresi tiroid adalah T4. T3 disekresikan
dalam jumlah kecil dibanding T4.
4. Kurang lebih 75 % molekul T4 dan 70 % molekul T3 memasuki aliran darah
berikatan dengan protein transpor, disebut Thyroid-binding Globulins (TBGs).
0,3 % T3 sirkulasi dan 0,03 % dari T4 sirkulasi adalah bebas untuk berdifusi ke dalam jaringan
perifer.Terbanyak sisa T4 dan T3 dalam sirkulasi melekat pada transthyretin, disebut Thyroid-
binding prealbumin (TBPA), atau melekat pada albumin. Hanya dalam jumlah kecil Hormon
tiroid tinggal tak terikat,
TSH berperan penting dalam sintesa dan sekresi hormon tiroid. TRH merangsang sekresi TSH ,
dimana estrogen mempunyai efek positif, mempercepat respon TSH terhadap TRH. T4 dan T3
berperan penting dalam feedback negatif, inhibisi terhadap sekresi TSH.
Beberapa hormon yang lain termasuk kortisol (dan glukokortikoid yang lain), dopamin, dan
somatistatin menghambat pelepasan TSH.
Pda keadaan normal TSH mempertahankan kadar T4 dan T3 sirkulasi dalam rentang fisiologi
yang sempit. Jumlah ini lebih kurang 90 mcg tiap hari, dimana hanya 20 % T3 sirkulasi yang
dibuat oleh kelenjar tiroid. Sisanya didapat dari deiodinasi oleh enzim 5’ deiodinase, yang terjadi
di beberapa jaringan perifer terutama hati dan ginjal. Cara yang lain dengan degradasi metabolik
tiroksin yang sudah ada dan dianggap bahwa sulfasi memainkan peran yang menonjol dalam
individu yang sakit kritis.
 
Fungsi hormon tiroid:
Hormon tiroid dengan mudah menyeberang membran sel dan mempengaruhi hampir setiap sel
dalam tubuh. Didalam sel berikatan dengan : (1) reseptor dalam inti sel, mengaktifkan gen yang
mengontrol sintesa enzim yang terlibat perubahan dan penggunaan energi, (2) reseptor pada
permukaan mitokondria, meningkatkan kecepatan produksi ATP mitokondria (3) reseptor dalam
sitoplasma, menahan tempat penyimpanan.
Hormon tiroid juga penting untuk pertumbuhan normal rangka, otot dan sistem saraf pada masa
pertumbuhan.
 
Pertimbangan Umum   
Badai tiroid / krisis tirotoksikosis merupakan hasil akhir dari kegagalan mekanisme kompensasi
tubuh terhadap hipertiroidism berat. Secara klinis, badai tiroid didefinisikan sebagai manifestasi
hipertiroidism yang mengancam jiwa. Tidak ada laboratorium penilai patognomonik untuk badai
tiroid. Bagaimanapun, karena angka mortalitasnya tinggi yang harus diwaspadai adalah
diagnosisnya dan memberikan penanganan yang agresif dan tepat. 
 
A. Insidensi
Sejak adanya Obat Anti Tiroid (OAT), beberapa studi menyatakan bahwa insiden badai tiroid 2-
8% dari semua pasien yang diakui RS untuk penanganan hipertiroidism. Badai Tiroid terjadi
pada wanita 9–10 kali lebih besar daripada laki-laki, mungkin refleksi insiden yang lebih tinggi
penyakit tiroid pada wanita. Tidak ada perbedaan umur atau ras. Kontrol hipertiroidism kronik
dengan OAT sangat efektif dalam mencegah decompensasi.
 
B. Patofisiologi :
Patofisiologi krisis tirotoksikosis tidak diketahui dengan baik. Penunjuk overaktifitas kelenjar
tiroid (kadar T4 / T3 total/ bebas) tidak signifikan lebih tinggi daripada dalam kasus
hipertiroidism biasa. Meskipun gejala dan tanda hipertiroidsm menandakan overaktivitas
simpatis, kadar dalam plasma dan kecepatan sekresi epinefrin dan norepinefrin secara nyata
normal pada pasien dengan badai tiroid. Karena ini memberi kesan bahwa sensitifitas terhadap
catekolamin meningkat dan peningkatan c AMP merupakan data aktivitas adrenergik meningkat.
Mekanisme yang menuntun pada status dekompensasi khas badai tiroid belum ada studi yang
baik. BMR dan termogenesis meningkat dan ada degradasi protein jaringan, meskipun sintesa
dan degradasi protein meningkat, hipertiroidism menghasilkan balance nitrogen negatif, muscle
wasting, dan konsentrasi albumin menurun. Meskipun klirens kortisol meningkat, kecepatan
produksinya juga naik, sehingga kadar cortisol tetap, secara esensial tak berubah. Hormon tiroid
berpengaruh langsung kardiostimulasi, menyebabkan takikardi dan peningkatan kontraktilitas.
Peningkaatan thermogenesis menyebabkan vasodilatasi sebagai bagian dari respon kompensasi
terhadap peningkatan suhu tubuh.
Berbagai sistem organ terpengaruh, pada sistem kardiovaskuler banyak terjadi perubahan
termasuk peningkatan denyut jantung, stroke volume, cardiac output dan kontraktilitas jantung.
Tahanan vaskuler perifer menurun. Perubahan dalam sistem respirasi termasuk takipneu,
penurunan kapasitas vital, kapasitas difusi dan komplien paru, ditambah dengan peningkatan
respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Kelemahan otot. Fungsi gastrointestinal lebih
cepat, dengan pemendekan waktu transit intestinal, peningkatan aktifitas listrik basal duodenal
dan diare sekretoris. Pada sistem saraf pusat terjadi peningkatan perubahan katekolamin dan
peningkatan sensitifitas reseptor terhadap neurotransmiter.
 
Ciri-ciri Klinis  
Badai Tiroid biasanya terlihat pada pasien dengan diketahui hipertiroidism, tetapi dapat berada
dalam pasien dengan tiroktoksikosis yang tidak terdiagnosa sebelumnya. Badai Tiroid sering
terlihat dalam hubungan dengan 1dari daftar panjang keadaan pencetus, tetapi, dua keadaan yang
paling umum adalah pertama prosedur bedah beberapa kali terutama bedah tiroid pada pasien
hipertiroid yang tak terkontrol atau prsiapan yaneg buruk dan yang kedua infeksi. Badai Tiroid
sekarang sangat tidak lazim mengikuti bedah tiroid oleh karena persiapan preoperasi dan kontrol
hipertiroidism dengan Obat Anti Tiroid. Faktor pencetus yang lain termasuk penyakit
Cardiovaskular ( termasuk AMI), penyakit sistemik , trauma, ketosidasis diabetik, perabaan
besar kelenjar hipertiroid tak terobati, pemberiaan zat kontras teriodinasi, stroke, dan
preeklampsi-eklampsi. Eksaserbasi hipertiroidism dapat terjadi mengikuti penanganan iodine
radioaktif pada penyakit grave. Pasien yang sengaja atau tidak sengaja menelan hormon tiroid
dalam jumlah berlebihan dapat ada dengan hipertiroidism berat tetapi biasanya tanpa gambaran
lengkap terlihat dalam badai tiroid.

A. Gejala dan Tanda


Badai Tiroid bercirikan dalam ciri-ciri klinis sebagai tirotoxicosis berat dengan demam dan
perubahan status mental. Perubahan status mental termasuk bingung, agitasi, psikosis nyata, atau
ekstremenya koma. Manifestasi kardiovaskuler umum termasuk takikardi yang tak sesuai dengan
demamnya, aritmia jantung (sinus atau SVT, termasuk AF) dan gagal jantung kongestif. Pasien
yang menunjukkan CHF biasanya umur tua dan mempunyai riwayat penyakit jantung yang
mendasari. Namun, hal itu didokumentasi baik bahwa hipertiroidism menyebabkan CHF bahkan
dalam tak adanya penyakit jantung yang mendasari. Hipotensi dan shok merupakan manifestasi
lambat. Manifestasi gastrointestinal termasuk mual, muntah, diare, dan nyeri perut. Sering
dengan kehilangan berat badan dan cachexia. Goiter hampir selalu ada dan dapat difus atau
multinoduler. Karena beberapa pasien ini terdapat penyakit grave, goiter lebih sering difus dan
tidak lunak. Sering ada tanda kelemahan otot, seperti myopati proximal dan cachexia umum. Ada
tremor, kulit hangat, lembab, kemerahan, lunak dan seperti beludru. Refleks dapat cepat. Pasien
dengan penyakit grave juga terdapat oftalmopati dan dermopati.

B. Pemeriksaan Laboratorium
Fungsi hati pada umumnya abnormal, termasuk peningkatan aminotransferase,
hiperbilirubinemi, hepatomegali, nilai Alkali Phosphatase juga naik, tetapi biasanya lebih
menunjukkan peningkatan dalam fraksi tulang daripada fraksi hati. Ca serum meningkat sebagai
refleksi peningkatan resorpsi tulang. Diagnosa Badai Tiroid pada dasarnya adalah sebuah
klinikal. Adanya demam tinggi dan perubahan status mental pada pasien sakit berat dengan
hipertiroidism harus memerlukan tindakan agresif sebagai krisis tirotoksikosis. Bahkan test
laboratorium hanya mengkonfirmasi adanya hipertiroid yaitu kadar tiroksin (T4) total dan bebas
yang tinggi dan kadar T3 yang meningkat dan penurunan dan hampir tak terdeteksi kadar TSH.
Dimana kadar T3 dan T4 dapat turun pada penyakit non tiroid yang terjadi bersama-sama. Pada
kenyataannya kadar T3 dan T4 tidak berhubungan dengan gambaran klinis pasien.
 
Penanganan
Managemen Badai Tiroid dapat didiskusikan dalam tiga kategori luas : 1. kontrol hipertiroidism,
2. penanganan penyakit pencetus, 3. tindakan supportif yang lain, diringkaskan dalam tabel 1.
A. Kontrol Hipertiroidism 
Beberapa zat terapi yang bertindak melalui mekanisme yang berbeda untuk memblok sintesa,
sekresi, dan pengaktifan atau aksi hormon tiroid dapat digunakan bersama-sama untuk
mengontrol dengan cepat hipertiroidism.
1. Thioureas : PTU, methimazole, dan carbimazole menghambat sintesa hormon
tiroid secara primer dengan cara mengkatalis reaksi inhibisi oleh enzym tiroid
peroksidase. Reaksi ini termasuk Oxidasi, Organifikasi dan Iodotyrosine Coupling. PTU
juga inhibitor lemah pada konversi T4 ke T3 di perifer. Methimazole mempunyai potensi
yang lebih besar daripada PTU. Pada pasien koma dengan Badai Tiroid, PTU atau
methimazole dapat diberikan melalui NGT oleh karena obat ini tidak tersedia dalam
bentuk parenteral. Tidak ada persetujuan tentang dosis optimum obat anti tiroid. Satu
regimen untuk memulai PTU pada dosis awal 600-1200 mg / hari dalam dosis terbagi 4 x.
Pilihan yang lain 60-120 mg / hari methimazol dapat diberikan dalam 4 dosis terbagi.
Pasien yang tidak dapat peroral dapat diberikan perectal. Orang lain dianjurkan
pemberian loading dosis 600 – 1200 mg PTU diikuti dengan 200 – 300 mg tiap 8 jam.
Dimana banyak investigator menanyakan apakah penambahan inhibisi pada
tiroperoksidase dapat dicapai pada dosis PTU dengan kelebihan 300 mg/hari.
Methimazole diberikan 1/10 dosis diatas. Waktu paruh PTU serum adalah 75 menit,
Methimazole 60 – 240 menit. Dimana waktu tinggal intratiroid methimazole adalah 20
jam dan lama kerjanya selama 40 jam. Data ini digunakan untuk mendukung pemberian
methimazole 1 kali sehari . Dimana dalam situasi mengancam jiwa badai tiroid, dapat
dipilih pemberian methimazole 3 atau 4 kali perhari. PTU juga inhibitor lemah terhadap 5
deiodinase, enzim yang mengubah T4 ke T3, dan ini merupakan keuntungan umum atas
methimazole, bahkan dua obat ini tidak pernah dibandingkan secara langsung. Resistensi
pada efek obat anti tiroid secara ekstreme tidak lazim. ESO akut tidak lazim, tetapi reaksi
alergi, lekopeni dan hepatotoxisitas dapat terjadi.
2. Ipodate Sodium. Adalah agen radiokontras yang berisi Iodine digunakan untuk
imaging fesica felea. Satu dari inhibitor 5’ deiodinase paling potens. Studi klinis dengan
Ipodate pada hipertiroidsm menunjukkan bahwa obat mempunyai onset kerja sangat
cepat, menghasilkan tanda penurunan nilai T3 serum dalam waktu 4 – 6 jam dan
normalisasi nilai T3 serum dalam waktu 24 – 28 jam. Mekanisme efek antitiroid Ipodate
adalah komplek. Disamping inhibisi konversi T4 ke T3, juga menurunkan kadar T4
serum. Sekalipun pada derajat lebih rendah, menunjukkan efek tambahan langsung pada
sintesa hormon tiroid. Sebaliknya nilai T3 adalah lebih tinggi pada pasien dengan
pengobatan Ipodate. Observasi tetap dengan obat yang menyebabkan inhibisi 5’
deiodinase. Meskipun Ipodate adalah zat kontras yang berisi Iodine. Studi uptake
radioiodine pada pasien dengan penyakit grave dengan pengobatan ipodate dalam waktu
lebih dari satu tahun menyatakan uptake normal satu minggu setelah penghentian terapi
Ipodate. Ipodate Sodium diberikan peroral sebagai kapsul berisi 500 mg, range dosis
yang dianjurkan 1 – 3 g/ hari. Pada pasien tidak sadar, Ipodate dapat diberikan melalui
rute NGT. Ipodate Na menggantikan pemberian oral KI pada pengobatan hipertiroidsm
berat. Telah direkomendasi bila PTU/ MTZ diberikan sebelum (mendahului) pemberian
obat-obatan yang berisi iodine untuk mencegah eksaserbasi hipertiroidsm yang dimediasi
Iodine.
3. Lithium. Dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi yodium
lithium dikonsentrasi oleh Tiroid dan menghambat Iodine uptake oleh Tiroid, juga
menghambat pelepasan hormon Tiroid. Dosis 300 – 400 mg/ 8 jam dapat digunakan
mengontrol sementara pasien Tirotoxicosis alergi Iodine. Dosis disesuaikan seperlunya
untuk pertahankan nilai Lithium serum kurang lebih 1 mg/ l.
4. Iodida. Iodida memblok pelepasan hormon Tiroid dari kelenjar. Juga berefek
inhibitor sintesa hormon Tiroid. Efek inhibitor ini pada sintesa hormon Tiroid adalah
sementara, dan pada pasien terbanyak jalan keluar dari inhibisi ini terjadi dengan waktu
sampai sebuah fenomen yang menunjuk pada efek Wolff – Chaihoff. Iodida diberikan
hanya setelah sintesa hormon tiroid dihambat oleh pemberian Thiomeas sebelumnya.
Sodium Iodida dapat diberikan pada dosis 1 g/ hari. Pilihan lain jika pasien mampu
pengobatan peroral, larutan lugol pada dosis 10 tts 3x/ hari atau larutan KI tersaturasi
dengan dosis 3 tts 3x/ hari dapat diberikan. Pemberian dosis besar Iodida anorganik akan
dapat diprediksi mengurangi uptake radioiodine oleh kelenjar tiroid selama beberapa
minggu. Bahkan, pemberian Iodida anorganik sebelumnya akan menghindarkan
penanganan selanjutnya dengan Iodine radioaktif selama beberapa minggu
5. Propanolol. β Adrenergik blocker melemahkan beberapa manifestasi
hipertiroidism perifer. Jadi zat ini dapat membalikkan peningkatan denyut jantung ,
cardiac output, tremor otot yang disebabkan hormon tiroid. Dimana kehilangan berat
badan tidak dipengaruhi oleh β blocker. Propranolol selain antiadrenergik, juga sebagai
inhibitor 5’ deiodinase lemah dan menurunkan kadar T3. Keuntungan khasiat inhibisi 5’
deiodinase propranolol melebihi β adrenergik blocker yang lain adalah tidak jelas
memberikan aksi yang serupa PTU dan Ipodate Sodium. Zat β Adrenergik blocker yang
lain seperti Esmolol dan Labetolol juga telah digunakan secara sukses. Respon
propranolol bervariasi dari pasien ke pasien, dan dosis harus dititrasi sesuai respon klinis.
Dosis awal biasanya 0,5 – 1 mg IV pelan 5-10 menit, total 10 mg. Hal ini dapat diikuti
dengan 40-60 mg peroral/ 6 jam. Jika pasien tidak mampu minum peroral , propranolol
diberikan IV dosis 1-2 mg / 3-4 jam. Hal ini menegaskan nilai bahwa rekomendasi dosis
ini hanya petunjuk umum yang digunakan secara awalnya. Penyesuaian dosis berikutnya
harus sesuai respon klinis. Kadar propranolol darah pada range 50-100 μ g / ml
menunjukkan pemberian efektif β bloker. Dimana kadar propranolol darah tidak
digunakan secara luas dalam praktek klinik. Karena jauh lebih sederhana dengan
mengikuti respon denyut jantung klinis dan tekanan darah. ESO β adrenergik bloker pada
pasien dengan badai tiroid termasuk gagal jantung, bradikardi, hipotensi dan peningkatan
resistensi jalan napas.
6. Glukokortikoid. Literatur lebih lama memperingatkan bahwa insufisiensi adrenal
mungkin terjadi pada paien dengan Badai Tiroid oleh karena percepatan degradasi
kortisol. Dimana hipotesa ini tidak pernah divalidasi, dan Rutin menggunakan
penggantian glukokortikoid yang turun. Glukokortikoid mengerjakan,dimana beberapa
efek bermanfat pada fungsi tiroid pada Badai Tiroid. Pada pasien yang menerima
penggantian tiroxine, glukokortikoid , maka konsentrasi T3 serum mungkin dengan
inhibisi 5 diodinase perifer. Pada tambahan glukokortikoid menurunkan nilai serum T4
pada pasien dengan penyakit grave. Akhirnya Glukokortikoid dalam dosis farmakologis
menghambat selusi TSH. Regimen 2 – 4 mg dexa/ 6 jam . Pasien yang dicurigai
mempunyai insufisiensi adrenal harus diobati sesuai dengan dosis lebih tinggi pada
Hidrocotism.
7. Therapy Extrakorpus. Pertukaran antara transfusi dan Plasmaferesis telah
dianjurkan sebagai jalan pembersihan Hormon Tiroid jumlah besar dari sirkulasi.
Pengalaman dengan teknik ini terbatas. Selanjtnya dengan ketersediaan obat anti Tiroid
potensi hal itu sepertinya tak dibutuhkan.
B. Tindakan Suportif Umum 
Termasuk penggantian cairan dan elektrolit, dan kontrol hiperpireksia. Hal yang terakhir
menggunakan cooling blanket. Salisilat harus dihindari, karena obat ini dapat menghambat
ikatan T4 dan T3 pada ikatan protein dan meningkatkan konsentrasi T4 dan T3 bebas. Sebagai
tambahan tindakan khusus untuk penanganan yang tepat terhadap penyakit pencetus, aritmia
jantung, dan kegagalan jantung kongestif harus dimulai jika ada indikasi.
 
Prognosis
Data terbanyak pada statistik mortalitas Badai Tiroid adalah lama dan tidak ada seri terbaru.
Gambaran survival bervariasi dari 24 – 66 persen pada seri yang terdahulu. Penyakit pencetus
merupakan faktor nyata yang penting pada prognosis.
 
TABEL 1. Penanganan Badai Tiroid
Diposting oleh Ivan-Atjeh Anestesi 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Penanganan Gagal Jantung di ICU

KRITERIA MASUK ICU


Payah Jantung adalah suatu kondisi mengkhawatirkan yang diperkirakan terjadi pada 2 juta
orang Amerika dan merupakan alasan yang umum untuk rawat inap. Saat ini pasien dengan
gangguan fungsi jantung akut seringkali dimasukkan ke ICU. Pasien-pasien ini mungkin
membaik setelah dirawat di ICU. Bagaimanapun, pasien payah jantung tahap akhir yang
perkembangannya lambat dan tak dapat diperbaiki lagi walaupun telah dirawat dan diobati secara
maksimal, kemungkinannya untuk masuk ICU sangat kecil, kecuali kalau mereka akan menjalani
transplantasi jantung atau menderita penyakit komplikasi akut. Pasien gagal jantung yang
mungkin membaik setelah dirawat di ICU adalah :
1. Edema paru berat disertai gagal nafas akut
2. Iskemia Miokard akut
3. Gangguan hemodinamik akut yang diperberat oleh aritmia
4. Penyakit komplikasi berat, contohnya pneumonia

PENEGAKAN DIAGNOSIS PAYAH JANTUNG


Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan gagal jantung. Dyspneu
dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan. Mungkin sulit untuk membedakan dyspneu
yang disebabkan oleh gagal jantung dengan dyspneu yang disebabkan oleh PPOK. Membedakan
keduanya sangat penting dalam pasien gagal jantung dengan riwayat dyspneu. Pasien edema
perifer mungkin tidak menderita gagal jantung karena banyak hal yang bisa menyebabkan
edema. Pemeriksaan fisik tidak sensitif untuk mendiagnosa suatu gagal jantung. Banyak pasien
yang fungsi ventrikel kirinya sudah rusak berat tidak memiliki tanda gagal jantung. Marantz et.al
melaporkan bahwa 20 % pasien yang fraksi ejeksi (EF) kurang dari 40 % tidak memiliki
gambaran klinik payah jantung dan hanya 42 % pasien dengan EFs (fraksi Ejeksi sistol) ventrikel
kiri kurang dari 30 % yang mengalami sesak jika beraktivitas.

EVALUASI PASIEN GAGAL JANTUNG


Sangat penting untuk membedakan faktor-faktor pencetus yang berperan dalam memperburuk
fungsi jantung. Yang paling penting diantaranya :
1. Iskemia miokard
2. Hipertensi yang tidak terkontrol
3. Aritmia, utamanya aritmia atrial
4. Ketidakpatuhan berobat
5. Reaksi obat/efek samping
6. Kelebihan cairan karena penurunan fungsi ginjal
7. Anemia
8. Penyakit penyerta, utamanya infeksi
Pembebanan pada fungsi ventrikel kiri adalah langkah penting dalam evaluasi dan penanganan
pasien gagal jantung. Semua pasien jantung harus menjalani pemeriksaan echocardiografi,
kecuali pemeriksaan angiografi terbaru (kurang dari 1 tahun terakhir) telah memperlihatkan
gambaran tentang penyakit ini. Jika EF kurang dari 45 % dengan atau tanpa gejala payah jantung
merupakan bukti adanya disfungsi sistem ventrikel kiri. Antara 8 sampai 18 % pasien
memperoleh gambaran echo yang tidak akurat karena kesalahan teknik; maka perlu diadakan
radionuclide ventrikulografi. Dasar perbandingan (diatas 40 % dalam beberapa penelitian) dari
pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung dapat menjaga fungsi systole (EFs . 45 %).
Penyebab payah jantung terbanyak adalah penyakit katub atau disfungsi diastolic. Pada banyak
pasien mungkin sulit untuk menentukan secara klinik apakah pasien telah mengalami gangguan
fungsi sistole atau diastole ventrikel kiri. Perbedaan ini sangat penting diketahui, karena
penanganan dari pasien-pasien ini amatlah berbeda.
Digoxin, ace inhibitor dan nitrat kemungkinan besar sangat berbahaya pasien tanpa disfungsi
ventrikel kiri. Lagipula pembebanan kuantitatif dari fungsi ventrikel kiri memberikan informasi
mengenai prognosis, di mana EF sangat penting untuk memprediksi angka harapan hidup selama
5 tahun. Bagaimanapun informasi yang ditemukan dari echocardiografi atau radionuclide
ventrikulografi tidak semuanya bisa digunakan untuk menentukan penyebab gagal jantung.

PENANGANAN EDEMA PARU AKUT


Furosemide iv dengan dosis 40 – 80 mg harus diberikan. Nitrogliserin Sublingual akan
menurunkan preload dengan cepat, memberikan penurunan gejala setelah efek dari diuretic
tubulus maximal. Morphin Sulfat dosis rendah (1 – 2 mg) biasanya digunakan untuk meredakan
kecemasan (juga menurunkan preload). Morphin dosis tinggi dapat menekan pusat pernafasan,
sehingga makin memperburuk hipoksemia. Pasien edema paru mungkin beruntung jika tekanan
Ventrikel positif dengan tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) atau CPAP/BIPAP. Tekanan
ventilasi positif (plus PEEP) adalah bagus untuk ventrikel kiri, karena mengurangi kerja
pernafasan, mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri.

TERAPI FARMAKOLOGI DISFUNGSI SISTOLIK  


Diuretik
Diuretik selalu digunakan untuk pasien dengan tanda-tanda overload volume intravaskular.
Diuretik tidak digunakan dalam pengobatan gagal jantung yang tidak ada gejala atau tanda
kongesti paru umumnya kita percaya bahwa diuresis memperbaiki fungsi jantung pada pasien
gagal jantung kongesti. Telah menjadi ketetapan bahwa diuretic mempercepat perubahan
gambaran peningkatan preload ventrikel lewat 2 mekanisme : mengubah/menggerakkan
ventrikel ke posisi yang lebih optimal pada penurunan dari kurva starling atau mengurangi
ukuran ventrikel kiri dengan mengurangi tekanan dan dinding sistole (afterload) dengan efek
laplace. Bagaimanapun, hal ini telah ditunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada penurunan kurva
dari kurva tekanan stroke volume ventrikel kiri (kurva starling) pada jantung mamalia (termasuk
manusia). Lagipula, sekarang ini tidak ada faktor yang mendukung bahwa diuresis meningkatkan
Stroke Volume atau cardiac output pada pasien gagal jantung kongestif. Braunwald dan
rekannya menunjukkan bahwa dari rata-rata cardiac output 20 % mengikuti satu diuresis pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi jantung baik pada waktu istirahat maupun sedang
bergiat.
Suatu studi dengan mengambil suatu kontrol placebo secara tunggal; maupun random, telah
dilaporkan menunjukkan manfaat diuretic pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri
pada studi ini, ditunjukkan bahwa pemberian furosemid tidak lebih baik dari plasebo dalam
menjaga fungsi ventrikel kiri.
Diuretik merupakan terapi yang tepat pada pasien dengan edema kardiopulmonar yang
simptomatik walapun demikian, penting untuk disadari bahwa pasien dengan gagal jantung yang
kronik, mempunyai kemampuan untuk mentoleransi tekanan vena pulmonal yang tinggi tanpa
terjadi edema pulmonum.
Pasien dengan gagal jantung kiri kronik yang berat. Seringkali mempunyai sedikit suara ronki
pada pemeriksaan atau tidak terlihat edema alveolar pada foto X ray, walaupun tekanan vena
pulmonal tinggi (dan gambaran hipertensi vena pulmonal pada foto thorax). Pasien-pasien ini
mungkin mempunyai tekanan vena pulmonal lebih 30 mmHg, observasi ini diperjelas oleh
penurunan permiabilitas mikrovaskuler pulmonary, juga peningkatan aliran limfatik pada pasien-
pasien ini.
Overdiures harus dihindari, karena ini dapat menyebabkan penurunan preload ventrikel kiri,
secara berlebihan (excessive), dengan pengurangan stroke volume, dan kardiac output, dapat
mengakibatkan aktivitas neurohormonal lebih lanjut dan memperberat gangguan ventrikel kiri.
Penting untuk menghindari diuresis yang berlebihan (excessive) sebelum memulai pemberian
ACE inhibitor karena dapat menyebabkan tekanan darah yang sangat rendah atau dapat terjadi
insufisiensi renal.Volume urea nitrogen serum (BUN) harus dipantau secara ketat pada pasien
gagal jantung dengan pemberian diuretik. Diuretik harus dihentikan pemberiannya jika terjadi
peningkatan BUN atau terjadi oligouria, dan tunggu sampai terbentuk bekuan uremik sebelum
diuretik dihentikan. Adalah merupakan hal yang sangat berbahaya menggunakan “crackles”
sebagai akhir dari pengobatan diuretic :”semua crackles telah gagal”.
Baru-baru ini, antagonis reseptor aldosteron spironolakton (12,5 mg – 50 mg/hari) ketika
digunakan dengan ACE inhibitor, telah didemontrasikan untuk mengurangi resiko kematian pada
pasien gagal jantung progresif dan sudden death pada pasien dengan gagal jantung yang berat.
Obat tersebut memberikan toleransi yang baik dengan efek samping yang sedikit. Hal tersebut
memberi kesan bahwa efek bermamfaat dari spironalakton mungkin terjadi dengan mencegah
fibrosis miocard dan vascular yang dihubungkan dengan peningkatan keadaan aldosteron dalam
sirkulasi. Oleh karena itu, spironolakton sebaiknya ditambahkan dengan regimen dari ACE
inhibitor pada pasien dengan gagal jantung yang berat yang disebabkan oleh disfungsi sistol
ventrikular kiri. Potasium serum harus dimonitor secara ketat dan dosisnya dikurangi (atau
ditentukan) bila terjadi hiperglikemia.

ACE Inhibitor
Semua pasien dengan gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri sebaiknya
dicoba pemberian ACE inhibitor, kecuali ada kontra indikasi spesifik. Ace inhibitor telah
terbukti meningkatkan status fungsional dan mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung yang sedang atau berat. 
ACE Inhibitor telah didemonstrasikan sebagai obat yang lebih efektif dalam mengurangi
morbilitas dan mortalitas dibanding kombinasi dari isosorbid dinitrat dan hidralazin. ACE
inhibitor dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal pada pasien gagal jantung yang
menampilkan gejala fatigue atau dispnea ringan dan tidak menampakkan adanya gejala atau
tanda-tanda overload volume. Suatu diuretic (spinoralakton) harus ditambahkan jika gejala-
gejala tersebut nampak (pantau kadar potasium serum)
ACE inhibitor mempunyai kontra indikasi pada pasien stenosis aorta sedang sampai berat,
stenosis arteri renal bilateral, kardiomiopati obstruktif, hipertrofi dan tamponade perikardial.
ACE inhibitor tidak boleh diberikan (atau diputuskan pemberiannya) pada pasien dengan
potassium serum > 5,5 mEQ/L. ACE inhibitor harus dihindari pemberiannya pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal yang akut. Pemberian ACE inhibitor harus sangat hati-hati pada pasien
Angina yang tidak terkontrol karena ACE inhibitor dapat menyebabkan peningkatan Angina
pada pasien ini.
Dosis rendah dari suatu ACE inhibitor (captopril 6,25 mg atau enalapril 1,25 mg iv). Harus
diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistol < 100 mmHg, pasien dengan kadar serum
sodium < 135 mEq/L, pasien dengan kreatinin serum > 2,0 mg/dl (atau yang diperkirakan
kreatinin klirensnya < 40 ml/menit) dan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat.
Fungsi ginjal pada pasien-pasien ini harus dipantau secara ketat. Dan pemberian obat dihentikan
bila fungsi ginjal memburuk.
Potassium sparing diuretic harus dihentikan pada semua pasien yang telah mulai dengan
pengobatan ACE inhibitor tanpa harus memperhatikan kadar potassium serumnya.

Isosorbide Dinitrat dan Hydralazin


Isosorbid dinitrat dan hydralazin merupakan alternatif yang tepat pada pasien dengan
kontraindikasi atau intoleransi terhadap ACE inhibitor. Isosorbid dimulai dengan dosis 10 mg tid
dan ditingkatkan secara perlahan-lahan sampai mencapai tingkat toleransi 40 mg tid dan
ditingkatkan perlahan-lahan sampai 75 mg tid (selama beberapa minggu).

Digoksin
Digoksin diindikasikan pada pasien dengan disfungsi sistol ventrikel kiri dan atrial fibrilasi yang
kronik. Khasiat/mamfaat digoksin pada pasien yang gagal jantung dalam mengembalikan irama
sinus masih banyak diperdebatkan. Digoksin dapat mencegah semakin memburuknya gejala
klinik pasien dengan gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistole ventrikel kiri .
Baru-baru ini suatu studi mengenai digoksin dari Digitalis Investigation Group (DIG) tidak
menunjukkan adanya manfaat dari digoksin pada angka mortalitas tapi memperlihatkan
penurunan dalam angka rata-rata rawat inap pada kelompok digoksin dibanding dengan plasebo.
Dengan cara yang sama penelitian RADIANCE memperlihatkan bahwa penghentian digoksin
pasien CHF menghasilkan efek yang lebih buruk pada payah jantung dan rata-rata perawatan
lebih tinggi dibanding pada pasien yang terus memakan obat ini. Oleh karena itu Digoksin selalu
digunakan pada pasien gangguan jantung yang berat dan harus ditambah dengan obat-obat lain
pada pasien gangguan jantung ringan dan sedang dengan gejala sisa setelah pengobatan optimal
dengan ACE inhibitor dan Diuretik. Digoksin harus digunakan dengan hati-hati pada IMA.
Angka penelitian menunjukkan bahwa digoksin meningkatkan mortalitas pasien dengan sindrom
Iskemia akut.
Digoksin memilih indek terapi yang sempit, dan jika dosis tidak tepat dan tingkat serum tidak
pantau, pasien mungkin menderita keracunan yang cukup berarti. Data terbaru mengatakan
bahwa serum > 1,2 mg/ml sangat sedikit keuntungan terapi tapi meningkatkan resiko keracunan .
Usia pasien, berat dan fungsi ginjal harus dimasukkan dalam perhitungan dosis (loading &
maintenance) (tabel 23.1)

 
Loading dosis harus digunakan sangat berhati-hati pada pasien yang memakai digoksin. Saat ini
laju volume distribusi digoksin berkurang diatas 50 % pada gangguan gunjal dan untuk itu
loading dosis harus dikurangi lebih dari 50 % pada pasien ini. Penulis resep juga harus meneliti
berbagai obat yang mengubah farmakokinetik digoksin tabel 23.2
Beta Bloker
Beta Bloker telah memperlihatkan kegunaan secara tetap pada pasien gangguan jantung . Obat
ini memperbaiki tingkat fungsi NYHA dan LVEF pada pasien idiopati atau Iskemia
cardiomypathi. Bagaimanapun mereka tidak bisa digunakan pada pasien dekompensata akut
kecuali pada pasien disfungsi diastol. Peningkatan progresif dosis beta bloker tampaknya
menjadi faktor penting yang memberikan keuntungan hemodinamik dan fungsional pada pasien
gangguan jantung (perbaikan keadaan neurohormonal). Penelitian memperlihatkan bahwa untuk
memperbaiki fraksi ejeksi dibutuhkan waktu beberapa bulan. Dalam kenyataannya pemberian
secara perlahan dosis anti hipertensi dari beta bloker biasanya berperan agar hemodinamik
menjadi baik seperti fungsi penurunan. Data-data ini menyarankan bahwa beta bloker harusnya
tidak digunakan pada pasien-pasien gangguan jantung dekompensata akut tapi agaknya harus
digunakan pada pasien stabil yang selalu menerima terapi obat maksimal. Beta bloker
memperlihatkan hal sebaliknya pada pasien gangguan jantung yang memotong signal siklus
neurohormonal yang rusak, tumbuh abnormal, kesalahan teknis dan merusak miosit sehingga
pengaturan gerakan/kontraksi ventrikel terganggu. Setelah 3 bulan terapi tampilan LV membaik
secara menyolok pada sebagian besar pasien . Setelah 3-6 bulan diterapi dengan beta bloker
terlihat pengurangan volume sistole maupun diastole. Setelah 18 bulan terapi , massa ventrikel
terlihat mengecil dan ventrikel menjadi lebih bagus atau normal ukurannya.
Metoprolol, bucindolol, carvedilol, bisoprolol dan nebivolol telah memperlihatkan hasil yang
baik pada pasien gagal jantung. Bagaimanapun, carvedilol mengurangi efek mortalitas yang
besar dibanding beta bloker yang lain. Di Amerika Serikat, carvedilol heart failure study group
mengaitkan carvedilol dengan berkurangnya mortalitas sebanyak 65 %. Carvedilol memiliki
karakteristik unik yang membedakannya dengan beta bloker lain, termasuk alpha blokade dan
bahan anti oksidan. Apakah gambaran ini dihitung untuk keuntungan penulisan tidak bisa
dibedakan dari data yang sejenis.

Obat Penghambat Calsium Channel


Generasi pertama penghambat calsium channel seperti verapamil, diltiazem, dan nifedipin harus
dihindarkan pada pasien disfungsi ventrikel kiri, karena jenis obat-obat ini memperlihatkan
terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penelitian praise memperlihatkan bahwa
amlodipin tidak berlawanan efeknya dengan proses terjadinya gagal jantung kronik. Obat ini
harus dipertimbangkan sebagai terapi kedua pada penanganan pasien hipertensi atau angina pada
pasien disfungsi ventrikel kiri .

Dobutamine
Dobutamine mungkin memiliki peranan pada pasien gagal ventrikel kiri akut sampai iskemia
miokard. Pada penataan ini dobutamine bisa menyebabkan hibernasi miokardium dan perbaikan
fungsi jantung. Peranan dobutamin pada pasien gagal jantung kronik belum jelas. Pada gagal
jantung kronik yang berperan adalah hiperaktivasi simpatetik dan penurunan fungsi pengaturan
reseptor beta. Infus jangka pendek atau lanjut dari terapi beta stimulan tidak memperlihatkan
manfaat pada pasien-pasien ini. Obat ini dikaitkan dengan peningkatan frekuensi aritmia
ventrikel yang mungkin meningkatkan angka kematian. Bagaimanapun dobutamin
memperlihatkan stimulasi denyut nadi sebentar (kurang dari 1 jam). Untuk memproduksi analog
yang bermanfaat untuk efek dari aktivitas fisik. Efek ini tidak diperlihatkan jika dobutamin
diberikan lebih dari 4 jam.

Anticoagulan
Anticoagulan rutin dianjurkan. Pasien dengan riwayat sistemik atau emboli paru, atrial fibrilasi
yang baru terjadi atau thrombus ventrikel kiri harus diberi anticoagulan sampai rasio protrombin
time 1,2 – 1,8 waktu normal. (normal = 2,0 – 3,0 menit).

PENANGANAN ATRIAL FIBRILASI


Atrial fibrilasi bisa terjadi di atas 50 % pada pasien dengan gagal jantung yang berat. Jika atrial
fibrilasi menyebabkan gagal jantung menjadi lebih berat secara akut, cardioversion menengah
mungkin penting. Bagaimanapun banyak pasien yang bisa baik lagi setelah menggunakan
digoksin untuk mengontrol heart rate. Kira-kira 60 % pasien atrial fibrilasi akut (kurang dari 1
minggu) akan kembali menjadi sinus ritme secara spontan. Baru saja secara acak, penelitian
plasebo kontrol mengatakan bahwa pengubahan rata-rata atrial fibrilasi akut ke sinus ritme sama
pada group pasien yang diobati dengan amiodaron dibanding dengan group yang menerima
plasebo. Pasien dengan serangan atrial fibrilasi akut yang tidak dapat berubah kembali menjadi
sinus ritme dan pasien dengan riwayat atrial fibrilasi kurang dari 1 tahun (diameter atrium kiri
kurang dari 50 mm) harus dipertimbangkan untuk elektif cardioversion.
HIPERTENSI PERSISTEN MESKIPUN DENGAN ACE-I DAN DIURETIK
-blockers merupakan alternatif. Penghambat calsium channel seharusnya diberikan pada pasien-
pasien dengan disfungsi systolic. Amlodipine adalah generasi baru blocker calcium cahnnel yang
berperan pada pasien-pasien ini (lihat obat-obat penghambat calsium channel di atas)1.
adrenergic atau yang bekerja secara sentral Penurunan tekanan darah dapat terjadi sendiri dan
mempunyai efek bermanfaat sebagai tanda dan gejala dari gagal jantung. Hipertensi merupakan
suatu keadaan yang relatif pada pasien gagal jantung. Meskipun tekanan darah 135/85 mmHg
dapat diterima untuk pasien dengan EF normal, tetapi tekanan darah yang sama mungkin
berbahaya untuk pasien dengan disfungsi sistol ventrikel kiri. Pasien-pasien yang memiliki gejala
gagal jantung dapat ditingkatkan cardiac outputnya dengan menurunkan tekanan darah.
Hydralazine adalah obat yang digunakan pada pasien-pasien ini. Obat-obat yang memblok

OBAT ANTI ARITMIA DAN PEMAKAIAN DEFIBRILATOR


Aritmia ventrikel pada pasien-pasien dengan congestif heart failure termasuk meningkatkan nilai
rata-rata mortalitas dan kematian mendadak. Bagaimanapun usaha untuk menekan ventrikuler
aritmia dengan agen antiaritmia tidak menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup. Penelitian
CAST menunjukkan bahwa penekanan aritmia dengan encainide atau Flecainide meningkatkan
mortalitas di antara pasien dengan infark postmyocardinal. Penelitian terbaru, Amiodarone gagal
mengurangi kejadian kematian mendadak atau perpanjangan kelangsungan hidup diantara pasien
dengan gagal jantung. Obat antiaritmia sekarang ini direkomendasikan untuk menekan aritmia
ventricular kecuali pada pasien-pasien dengan aritmia yang terancam kehidupannya harus
dievaluasi dengan hati-hati, dengan menunjukkan test electrophysiologik menunjukkan
efektifitas dan keamanan dari obat yang dipilih. Penggunaan defibrilator tampak berperan pada
pasien-pasien dengan gagal jantung dan ventricular aritmia . Penelitian MADIT menunjukkan
bahwa pada pasien infark Myocardial sebelumnya yang mempunyai EF < 35 %, memperlihatkan
suatu episode takikardi ventrikuler asimptomatik dan induksi, tidak menekan VT selama
penelitian Electrophisiologik (EPS). Terapi profilaksis dengan pemakaian defibrillator
menunjukkan daya tahan dibanding terapi konvensional. Penelitian AVID menunjukkan
penggunaan kardioverter-defibrilator memberikan angka kematian lebih rendah dibanding terapi
obat anti aritmia., pada resusitasi pasien dari fibrilasi ventrikel atau sintomatik di antaranya VT
dengan gangguan hemodinamik.

EVALUASI PASIEN-PASIEN UNTUK REVASCULARISASI


Di Amerika Serikat penyakit arteri koroner sekarang ini biasanya disebabkan gagal jantung. Dan
pada beberapa pasien gagal jantung revascularisasi dapat memberikan manfaat. Pasien dengan
riwayat angina atau IMA seharusnya. Pasi dilakukan tes physiologis untuk iskemia, diikuti
dengan angiography arteri coroner jika daerah-daerah iskemik ditemukan . Pasien-pasien dengan
gagal jantung yang mempunyai angina yang significant (batasan exercise, terjadi pada saat
istirahat, episode berulang dari edema pulmonal). Seharusnya arteriography coroner sebagai tes
utama untuk operasi lesi arteri koroner.

PERTIMBANGAN UNTUK TRANSPLANTASI JANTUNG


Pertimbangan yang seharusnya diberikan pada pasien transplantasi jantung dengan batasan berat
atau rawat inap berulang karena gagal jantung. Tetapi pengobatan secara agresif pada pasien
yang direvaskularisasi tidak diketahui untung ruginya.

PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN DISFUNGSI DIASTOLIK


Sekitar 40 % pasien dengan diagnosis klinik gagal jantung harus terpelihara fungsi sistolik
ventrikel kirinya dan terbukti tidak ada penyakit jantung katup. Banyak dari individu-individu ini
yang mempunyai disfungsi diatolik ventrikel kiri. Pada gagal jantung diastole, ventrikel kiri
meningkatkan kekakuan diastolik (mengurangi komplikasi dan tidak dapat dirasakan adekuat
pada tekanan diastolik normal). Kondisi ini menghasilkan penurunan volume end diastolic dan
peningkatan tekanan end diastolic. Pengurangan pengisian ventrikel kiri menuju ke penurunan
stroke volume dan gejala-gejala dari penurunan cardiac output. Padahal peningkatan tekanan
pengisian menuju ke gejala-gejala kongesti pulmunal. Hipertensi utamanya disebabkan karena
disfungsi diastolic yang mana dapat berkembang menjadi hipertrofi ventrikel kiri. Beratnya
kerusakan ventrikel kiri sesuai dengan umur; sindroma ini selanjutnya tidak lazim pada pasien-
pasien hipertensi yang agak tua. Penyakit arteri koroner juga penting sebagai penyebab disfungsi
diastole ventrikel kiri. Pemeliharaan optimal dari disfungsi diastolic belum ditemukan yang
terbaik. Obat-obat beta bloker, penghambat calsium channel, dan diuretik merupakan obat
pilihan. Diuretik yang berlebihan dapat mengurangi stroke volume dan cardiac output. Digitalis
dapat mengurangi terjadinya kerusakan ventrikel kiri. Vasodilator dapat menyebabkan hipotensi
nondekompensata yang berat. Peranan dari ACE inhibitor tidak jelas.

Diposting oleh Ivan-Atjeh Anestesi 


Nutrisi pada Penderita Sakit Kritis
PENDAHULUAN
Malnutrisi adalah masalah umum yang dijumpai pada kebanyakan pasien yang masuk ke rumah
sakit.Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan oleh defisiensi asupan nutrien, gangguan
metabolismenutrien, atau kelebihan nutrisi. Sebanyak 40% pasien dewasa menderita malnutrisi
yang cukup serius yangdijumpai pada saat mereka tiba di rumah sakit dan dua pertiga dari semua
pasien mengalami perburukan status nutrisi selama mereka dirawat di rumah sakit. Untuk pasien
kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) sering kali menerima nutrisi yang tidak adekuat
akibat dokter salah memperkirakan kebutuhan nutrisi dari pasien dan juga akibat keterlambatan
memulai pemberian nutrisi.1 Pasien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi, yaitu
pasien elektif pasca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal
napas. Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum dimasukkan
ke ICU.2 Keparahan penyakit dan terapinya dapat mengganggu asupan makanan normal dalam
jangka waktu yang lama. Selanjutnya, lamanya tinggal di ICU dan kondisi kelainan sebelumnya,
seperti alkoholisme dan kanker dapat memperburuk status nutrisi. Respon hipermetabolik
komplek terhadap trauma akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan
homeostasis nutrisi. Efek cedera atau penyakit berat terhadap metabolisme energi, protein,
karbohidrat dan lemak akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis.3
 
Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas akibat perburukan
pertahanantubuh, ketergantungan dengan ventilator, tingginya angka infeksi dan penyembuhan
luka yang lama,sehingga menyebabkan lama rawat pasien memanjang dan peningkatan biaya
perawatan. Malnutrisi jugadikaitkan dengan meningkatnya jumlah pasien yang dirawat
kembali.1,3,4 Pentingnya nutrisi terutama pada perawatan pasien-pasien kritis mengharuskan
para klinisi mengetahui informasi yang benar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
manajemen pemberian nutrisi dan pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat terhadap outcome
penderita kritis yang dirawat di ICU.5
 
MENILAI STATUS NUTRISI PADA PASIEN SAKIT KRITIS      
Pada penderita sakit kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-mediator inflamasi
atau sitokin (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi "counter regulatory
hormone" (misalnyakatekolamin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan), sehingga
menimbulkan efek pada status metabolik dan nutrisi pasien. Status nutrisi adalah
fenomena multidimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk
indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi dan pemakaian energi,
seperti Body Mass Index (BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium
dan fosfor.5-8 Pengukuran antropometrik termasuk ketebalan lapisan kulit (skin fold) permukaan
daerah trisep (triceps skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan atas (midarm muscle
circumference, MAMC), tidak berguna banyak pada pasien sakit kritis karena ukuran berat
badancenderung untuk berubah.3,6 

Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin yang
rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan dengan proses penyakit dan atau
proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi penurunan síntesa albumin, pergeseran distribusi dari
ruangan intravaskular ke interstitial,dan pelepasan hormon yang meningkatkan
dekstruksi metabolisme albumin.9,10 Level serum pre-albumin juga dapat menjadi petunjuk
yang lebih cepat adanya suatu stres fisiologik dan sebagai indikator status nutrisi.10 Level serum
hemoglobin dan trace elements seperti magnesium dan fosfor merupakan tiga indikator biokimia
tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan
magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung, saraf dan
neuromuskular.11,12 Selain itu Delayed hypersensitivity dan Total Lymphocyte Count
(TLC) adalah dua pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi imun sekaligus
berfungsi sebagai screening.   
Penilaian global subyektif (Subjective global assessment/SGA) juga merupakan alat penilai
status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan makan, kehilangan berat badan yang baru
ataupun kronis, gangguan gastrointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan diagnosis yang
dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian jaringan lemak subkutan dan
penyimpanannya dalam otot skelet juga merupakan bagian dari SGA, dan bersama dengan
evaluasi edema dan ascites, membantu untuk menegakkan kemungkinanmalnutrisi sebelumnya.
Level stres pada pasien sakit kritis juga harus dinilai karena bisa memperburuk status nutrisi
penderita secara keseluruhan.13
 
KEBUTUHAN ENERGI PADA PENDERITA SAKIT KRITIS 
Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan terapi nutrisi. Nitrogen
secarakontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran yang bersifat homeostatik pada
jaringan protein tubuh. Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan menggunakan formula
yang mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin (urine urea
nitrogen/UUN), dan nitrogen dari protein dalam makanan:

Keseimbangan Nitrogen = ((Dietary protein/6,25)- (UUN/0,8) + 4)  

Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah nitrogen dalam makanan
bisa dihitung dengan membagi jumlah protein terukur dengan 6,25. Faktor koreksi 4
ditambahkan untukmengkompensasi kehilangan nitrogen pada feses, air liur dan kulit.
Keseimbangan nitrogen positif adalah kondisi dimana asupan nitrogen melebihi ekskresi
nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan
dapat mempertahankan lean body mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai
dengan ekskresi nitrogen yang melebihi asupan.3,13-15 Kebutuhan energi dapat juga
diperkirakan dengan formula persamaan Harris-Bennedict (tabel 1), atau kalorimetri indirek.
Persamaan Harris-Bennedict pada pasien hipermetabolik harus ditambahkan
faktor stres.3,5 Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan kebutuhan energi dengan
menggunakan prosedur ini cenderung berlebih dalam perhitungan energi expenditure pada pasien
dengan sakit kritis hingga 15%.3,15 Sejumlah ahli menggunakan perumusan yang sederhana
"Rule of Thumb" dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari. Selain
itu penetapan Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum memberikan nutrisi.
REE adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada
kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE sering juga disebut BMR (Basal Metabolic
Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy Expenditure). Perkiraan REE
yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian
nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise.16 Banyak
metode yang tersedia untuk memperkirakan REE, salah satunya adalah kalorimetri yang dapat
dipertimbangkan sebagai gold standarddan direkomendasi sebagai metode pengukuran REE pada
pasien-pasien sakit kritis.5,17,18

DUKUNGAN NUTRISI PADA PASIEN-PASIEN SAKIT KRITIS         


Tujuan pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan nitrogen, tapi
menghindari masalah-masalah yang disebabkan overfeeding atau refeeding syndrome seperti
uremia, dehidrasi hipertonik,steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-
ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia.3,6,15 Level yang terbaik untuk memulai pemberian
nutrisi pada pasien sakit kritis adalah 25 kkal/kgbb dari berat badan ideal per hari.19 Harus
diperhatikan bahwa pemberian nutrisi yang kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan
buat pasien. REE dapat bervariasi antara meningkat sampai 40% dan menurun sampai 30%,
tergantung dari kondisi pasien (tabel 1).
Tabel 1. Rumus untuk memperkirakan kebutuhan energi.16
 
Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses penyembuhan luka,
sintesisprotein, sel kekebalan aktif, dan paracrine messenger. Disamping itu, serum glukosa
dijaga antara 100 -… 200 mg/dL.3,15 Hiperglisemia tak terkontrol dapat menyebabkan koma
hiperosmolar non ketotik dan resiko terjadinya sepsis, yang mempunyai angka mortalitas sebesar
40%.3 Hipofosfatemia merupakan satu dari kebanyakan komplikasi metabolik yang serius
akibat Refeeding Syndrome. Hipofosfatemia yang berat dihubungkan dengan komplikasi yang
mengancam nyawa, termasuk insufisiensi respirasi, abnormalitas jantung, disfungsi SSP,
disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit dan kesulitan untuk menghentikan
penggunaan respirator.3,5 
 
MAKRO DAN MIKRO NUTRIEN DALAM NUTRISI          
Karbohidrat   
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram karbohidrat menghasilkan
kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diet sebaiknya berkisar 50% -… 60% dari
kebutuhan kalori. Dalam diet, karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang
dapat dicerna, diabsorbsi dandigunakan oleh tubuh (monosakarida seperti glukosa dan fruktosa;
disakarida seperti sukrosa, laktosa dan maltosa;  polisakarida seperti tepung, dekstrin, glikogen)
dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat. Glukosa digunakan oleh
sebagian besar sel tubuh termasuk susunan saraf pusat, saraf tepi dan sel-sel darah. Glukosa
disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen. Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24
…- 36 jam melakukan puasa. Saat cadangan glikogen hati habis, glukosa diproduksi lewat
glukoneogenesis dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan laktat. Oksidasi glukosa
berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang ditunjukkan oleh RQ (Respiratory
Quotient) glukosa lebih besar dari pada asam lemak rantai panjang. Sebagian besar
glukosa didaur ulang setelah mengalami glikolisis anaerob menjadi laktat kemudian digunakan
untuk glukoneogenesis hati. Kelebihan glukosa pada pasien keadaan hipermetabolik
menyebabkan akumulasi glukosa dihati berupa glikogen dan lemak. Meskipun turnover glukosa
meningkat pada kondisi stres, metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam proporsi yang sama.
Oleh karena itu kecepatan pemberian glukosa pada pasien dewasa maksimal 5 mg/kgbb/menit.15
 
Lemak   
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral ataupun parenteral sebagai emulsi
lemak.Pemberian lemak dapat mencapai 30 % …- 50 % dari total kebutuhan. Satu gram lemak
menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai sumber energi, membantu
absorbsi vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan asam lemak esensial, membantu
dan melindungi organ-organ internal, membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-
jaringan tubuh.15 Pemberian kalori dalam bentuk lemak akan memberikan keseimbangan energi
dan menurunkan insiden dan beratnya efek samping akibat pemberian glukosa dalam jumlah
besar. Penting juga bagi kita untuk memperkirakan komposisi pemberian lemak
yang berhubungan dengan proporsi dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh
tunggal (MUFA), asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara asam lemak esensial
omega 6 dan omega 3 dan komponen antioksidan. Selama hari-hari pertama pemberian
emulsi lemak khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus
selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari
0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT)/Long
Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari
0,15 gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan infus selalu
disesuaikan dengan hasil pengukuran.15
 
Protein (Asam-Asam Amino)     
Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8 g/kgbb/hari atau kurang lebih
10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap
gram nitrogen (6,25gram protein setara dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan ini didasarkan pada
kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen.
Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk kebanyakan populasi pasien di ICU direkomendasikan
sebesar 0,15 - 0,2 gram/ kgbb/hari. Ini sebanding dengan 1 - 1,25 gram protein/ kgbb/hari.
Beratnya gradasi hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat diberikan
nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari.6 Kepustakaan lain menyebutkan rata-rata
kebutuhan protein pada dewasa muda sebesar 0,75 gram protein/kgbb/hari. Namun selama sakit
kritis kebutuhan protein meningkat menjadi 1,2 - 1,5 gram/kgbb/hari. Pada beberapa
penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya kegagalan hati akut dan pasien
uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5 gram/kgbb/hari.15 Kebutuhan protein pada pasien
sakit kritis bisa mencapai 1,5 - 2 gramprotein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan
protein dari fistula pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak terkontrol.3 Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Elwyn 21 yang hanya menggunakan dekstrosa 5% nutrisi, menunjukkan
bahwa perbedaan kecepatan kehilangan nitrogen berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit. Disamping itu, keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi 8 kali pada pasien
dengan luka bakar, dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila dibandingkan dengan individu
normal. Data ini dengan jelas mengindikasikan pertimbangan kondisi penyakit ketika mencoba
untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen.
 
Mikronutrien       
Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6
(piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak dibandingkan
kebutuhan normal sehari-harinya. Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi
defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin-vitamin yang larut
dalam air. Selain defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien sakit kritis dapat juga terjadi
defisiensi selenium, zinc, mangan dan copper.6 
 
Nutrisi Tambahan     
Nutrisi tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan pada larutan nutrisi untuk
memodulasirespon metabolik dan sistim imun, walaupun signifikansinya belum bisa
disimpulkan. Komponen tersebut termasuk growth hormone, glutamine,branched chain amino
acids (asam amino rantai panjang), novellipids, omega-3 fatty acids, arginine,
nucleotides.2,6,13 Namun perlu di waspadai khususnya L-arginine yang sering disebut sebagai
immune-enhancing diets, dapat memperburuk sepsis, karena L-arginine akan
meningkatkan NO yang dapat meningkatkan reaksi inflamasi, vasodilatasi, gangguan motilitas
usus dangangguan integritas mukosa, serta gangguan respirasi.6,13,15 Heyland DK
dkk.4 menyimpulkan bahwaimunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak
berhubungan dengan mortalitas secara umum.     
RUTE PEMBERIAN NUTRISI: ENTERAL ATAU PARENTERAL ?  
Di Inggris sejak 15 tahun terakhir, penggunaan nutrisi parenteral sudah mulai dikurangi. Hal
inididasarkan pada kenyataan bahwa terjadi perubahan sistim imun dan gangguan pada usus
lewat jalur GALT (Gut Associated Lymfatic System), yang merupakan stimulasi proinflamasi
selama kelaparan usus. Abnormalitas sekunder lainnya adalah perubahan permeabilitas atau
bahkan translokasi kuman. Kegagalan pertahanan imun dihubungkan dengan kurangnya nutrisi
enteral atau luminal.2,13,15 Idealnya rute pemberian nutrisi adalah yang mampu menyalurkan
nutrisi dengan morbiditas minimal. Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan kerugian
tersendiri (Tabel 2 dan 3), dan pemilihan harustergantung pada penegakkan klinis dari
pasien.3 Meskipun rute pemberian nutrisi secara enteral selalulebih dipilih dibandingkan
parenteral, namun nutrisi enteral tidak selalu tersedia, dan untuk kasus tertentukurang dapat
diandalkan atau kurang aman. Nutrisi parenteral mungkin lebih efektif pada kasus-kasus
tertentu, asal diberikan dengan cara yang benar. Dalam perawatan terhadap penderita sakit kritis,
nutrisi enteral selalu menjadi pilihan pertama dan nutrisi parenteral menjadi alternatif
berikutnya.2,13
 
Nutrisi Enteral
Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan daripada oral, kecuali pada keadaan
frakturbasis cranii dimana bisa terjadi resiko penetrasi ke intrakranial. Pipa naso jejunal dapat
digunakan jikaterjadi kelainan pengosongan lambung yang menetap dengan pemberian obat
prokinetik atau pada pankreatitis. Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral jangka
panjang adalah dengan gastrostomi dan jejunum perkutaneus.6 Larutan nutrisi enteral yang
tersedia dipasaran memiliki komposisi yang bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein utuh
(berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan kasein), karbohidrat dalam bentuk oligosakarida
atau polisakarida. Formula demikian memerlukan enzim pankreassaat absorbsinya. Nutrisi
elemental dengan sumber nitrogen (asam amino maupun peptida) tidaklah menguntungkan bila
digunakan secara rutin, namun dapat membantu bila absorbsi usus halus terganggu,
contohnya pada insufisiensi pankreas atau setelah kelaparan dalam jangka panjang. Lipid
biasanya berasal dari minyak nabati yang mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi
juga berisi trigliserida rantai sedang yang lebih mudah diserap. Proporsi kalori dari non
protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga dari total kebutuhan kalori.6 Serat diberikan
untuk menurunkan insiden diare. Serat dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam lemak rantai
pendek, yang digunakan oleh koloni untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit, vitamin dan
trace mineral ditambahkan sampai volume yang mengandung 2000 kkal.6 Nutrisi enteral adalah
faktor resiko independen pneumonia nosokomial yang berhubungan dengan ventilasi mekanik.
Cara pemberian sedini mungkin dan benar nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia,
sebab bila nutrisi enteral yang diberikan secara dini akan membantu memelihara epitel
pencernaan, mencegah translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi gaster,
kolonisasi kuman, dan regurgitasi.6,22 Posisi pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko
regurgitasi aspirasi.22 Diare sering terjadi pada pasien di ICU yang mendapat nutrisi enteral,
penyebabnya multifaktorial, termasuk terapiantibiotik, infeksi Clostridium difficile, impaksi
feses, dan efek tidak spesifik akibat penyakit kritis. Komplikasi metabolik paling sering berupa
abnormalitas elektrolit dan hiperglikemia.6 

Nutrisi Parenteral   
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi dengan
baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak
adekuat dengansuplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien
dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada
pasien ICU, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam.
Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat. Hal yang paling
ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total Parenteral Nutrition) melalui
vena sentral adalah infeksi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:6
1. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan femoral.
2. Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
3. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
4. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi. 
5. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
6. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep antimikroba.
7. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.

 
KAPAN SEBAIKNYA MEMULAI TERAPI NUTRISI    
Pada pasien sakit kritis yang menderita kurang gizi dan tidak menerima makanan melalui oral,
enteral atau parenteral, maka nutrisi harus dimulai sedini mungkin. Keuntungan pemberian dini,
menyebabkanhemodinamik pasien menjadi stabil, yang telah ditunjukkan dengan penurunan
permeabilitas intestinal dan penurunan disfungsi organ multipel. Pada praktek klinis, pemberian
makanan enteral dini dimulai dalam24 hingga 48 jam setelah trauma.23 Moore
dkk.24 mengamati adanya penurunan pada komplikasi klinispasien dengan cedera abdomen yang
menerima makanan melalui NGT dibandingkan grup kontrol yang menerima TPN yang dimulai
pada hari ke-6 setelah operasi. Peneliti yang lain juga mengkonfirmasikan hasil yang sama
yang mendukung keuntungan pemberian nutrisi secara dini.
Tinjauan literatur baru-baru ini menemukan bahwa TPN yang diberikan pada penderita kurang
gizi pada periode preoperatif akan menurunkan komplikasi post operasi hampir 10%. Namun
jika diberikan ketika periode post operasi, maka resiko komplikasi post operasi,
terutama komplikasi infeksi akan meningkat.24
 
NUTRISI PADA BERBAGAI KONDISI DAN PENYAKIT  
Nutrisi Pada Keadaan Trauma   
Pasien trauma cenderung mengalami malnutrisi protein akut karena hipermetabolisme yang
persisten,yang mana akan menekan respon imun dan peningkatan terjadinya kegagalan multi
organ (MOF) yangberhubungan dengan infeksi nosokomial. Pemberian substrat tambahan dari
luar lebih awal akan dapatmemenuhi kebutuhan akibat peningkatan kebutuhan metabolik yang
dapat mencegah atau memperlambatmalnutrisi protein akut dan menjamin outcome
pasien. Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada TPN karena
alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat hiperglisemia. Intoleransi TEN dapat
terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping abdomen, diare, keluarnya makanan dari selang
nasogastrik. Pemberian TPN secara dini tidak diindikasikan kecuali pasien mengalami malnutisi
berat.  
 
Nutrisi pada Pasien Sepsis    

Pada pasien sepsis, Total Energy Expenditure (TEE) pada minggu pertama kurang lebih 25
kcal/kg/ hari, tetapi pada minggu kedua TEE akan meningkat secara signifikan. Kalorimetri
indirek merupakan caraterbaik untuk menghitung kebutuhan kalori, proporsi serta kuantitas zat
nutrisi yang digunakan. Pemberianglukosa sebagai sumber energi utama dapat mencapai 4 - 5
mg/kg/menit dan memenuhi 50 - 60% dari kebutuhan kalori total atau 60 - 70% dari kalori non
protein. Pemberian glukosa yang berlebihan dapatmengakibatkan hipertrigliseridemia,
hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan produksi CO2 yang dapat memperburuk
insufisiensi pernafasan dan ketergantungan terhadap ventilator, steatosis hepatis, dan kolestasis.
Pemberian lemak sebaiknya memenuhi 25 - 30% dari kebutuhan total kalori dan 30 - 40% dari
kalori non protein. Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi neutrofil dan limfosit,
menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia yang dikarenakan oleh
gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran alveolokapiler, merangsang steatosis
hepatik, dan meningkatkan sintesis PGE2. Dalam keadaan katabolik, protein otot dan viseral
dipergunakan sebagai energi di dalam otot dan untuk glukoneogenesis hepatik (alanin dan
glutamin). Kebutuhan protein melebihi kebutuhan protein normal yaitu 1,2
g/kg/protein/hari.Kuantitas protein sebaiknya memenuhi 15 - 20 % darikebutuhan kalori total
dengan rasio kalori non protein/ nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1.15,25
 
Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure)  
ARF secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi. Meski demikian
kondisitraumatik akut yang menetap dapat meningkatkan REE (misalnya pada sepsis meningkat
hingga 30%). Adanya penurunan toleransi terhadap glukosa dan resistensi insulin menyebabkan
uremia akut, asidosis atau peningkatan glukoneogenesis. Pada pasien ARF membutuhkan
perhatian yang hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin
dimungkinkan dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik. Pemberian lipid harus
dibatasi hingga 20 - 25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting karena
osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2 yang rendah dan asam
lemak essensial. Protein atau asamamino diberikan 1,0 - 1,5 g/kg/hari tergantung dari beratnya
penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5 - 2,5 g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat
dan mendapat terapi menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki klirens
urea mingguan yang lebih besar.6,15
 
Nutrisi pada Pankreatitis Akut  
Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa pemberian nutrisi enteral
dapatmeningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi parenteral pada pankreatitis akut berguna
sebagai tambahan pada pemeliharaan nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring dengan
peningkatan status nutrisi, terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan
berat. Pada pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun hiperkalorik dapat
mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi hipokalorik sebesar 15 - 20
kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal pada pasien-pasien non bedah dengan
MOF. Pemberian protein sebesar 1,2 - 1,5 g/kg/hari optimal untuk sebagian besar
pasien pankreatitis akut. Pemberian nutrisi peroral dapat mulai diberikan apabila nyeri sudah
teratasi dan enzim pankreas telah kembali normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan
protein dalam jumlah kecil, kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan dan diberikan lemak
dengan hati-hati setelah 3 - 6 hari.6,15
 
Nutrisi pada Penyakit Hati  
Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus diberikan dengan hati-hati
untukmencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih dari 1gr/kg perhari. Pembatasan protein
diperlukan padaensefalopati hepatik kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari, dosis ini dapat
ditingkatkan dengan hati-hati menuju kearah pemberian normal. Ensefalopati
hepatik menyebabkan hilangnya Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan
peningkatan pengambilan asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat
neurotransmiter. Pada pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang diperkaya
dengan BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa memperburuk ensefalopati yang
sudah ada. Kegagalan fungsi hati fulminan dapat menurunkan glukoneogenesis sehingga terjadi
hipoglikemia yang memerlukan pemberian infus glukosa. Lipid dapat diberikan, karena masih
dapat ditoleransi dengan baik.6
 
KESIMPULAN 
Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat keparahan cedera atau
penyakitnya, danstatus nutrisi sebelumnya. Pasien sakit kritis memperlihatkan respon metabolik
yang khas terhadap kondisi sakitnya. Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi
(misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi "counter regulatory hormone "
(misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan serangkaian
proses yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek yang jelas pada status
metabolik dan nutrisi pasien. 
Penilaian secara objektif status nutrisi pasien di ICU adalah sulit, karena proses dari penyakit
mengacaukan metode penilaian yang kita gunakan. Status nutrisi adalah fenomena multi
dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator
nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran energi. 
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi dan nitrogen, namun
harusdihindari overfeeding seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas
hiperkarbia,hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia. Pada pasien sakit
kritis tujuan pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk pemenuhan
kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat merugikan
karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang menyebabkan
ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi.
Secara umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis
adalahmeminimalkan keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan protein dengan
cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan fungsi jaringan khususnya hati, sistem imun,
sistem otot dan otot-otot pernapasan, dan memodifikasi perubahan metabolik dan
fungsi metabolik dengan menggunakan substrat khusus. 
 
REFERENSI
Nutrisi Parenteral
Pendahuluan
 Nutrisi parenteral tidak menggantikan fungsi alamiah usus, karena itu hanya merupakan
jalan pintas sementara sampai usus berfungsi normal kembali.
 Nutrisi parenteral di indikasikan sebagai  “ jalur subtistusi ” bagi penderita dengan
saluran digestif yang tidak dapat dapat menerima dan mencerna makanan . Sedang “ jalur
suplemen “ di indikasikan bagi kasus luka bakar yang luas, contusio cerebri, trauma ganda, dan
sepsis dimana peningkatan kebutuhan enersi dan nutrisi sangat tinggi dimana usus tidak dapat
menampung volume makanan yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi katabolisme.     
Pertimbangan Umum Pemberian Nutrisi
 Bantuan nutrisi parenteral bisa diberikan secara sentral parenteral nutrisi atau secara
perifer parentral nutrisi . Pemilihan antara Total Parenteral Nutrisi ( TPN) dan Perifer parenteral
Nutrisi (PPN) sangat tergantung pada resiko pemasangan sentral kateter, lama pemberian sampai
pada ditoleransi pemberian secara oral atau enteral serta tergantung pada osmolaritas cairan
nutrisi parenteral yang akan diberikan.
 Pemberian bantuan nutrisi perifer hanya dapat mentolerir osmolaritas cairan nutrisi < 900
m osmol/L. Akan tetapi bisa saja walaupun jalur enteral su- dah tersedia , tetapi terdapat
kontraindikasi relatif untuk memberikan nutrisi enteral, terutama pada fase-fae awal postpertif,
maka untuk pasien ini parenteral nutrisi umumnya digunakan sebagai bantuan nutrisi awal.
Perinsipnya adalah : “Start Slow, Go Slow” dengan tujuan akhir adalah pemberian secara enteral.
Kebutuhan Cairan
 Penderita dewasa pada umumnya sekitar 30-50ml / KgBB / hari.
 Setiap kenaikan suhu 1 ° kebutuhan cairan bertambah 10 – 20 % dari kebutuhan harian.
 Penderita dengan oligouria cairan yang diperlukan adalah Insesible Water Lose
(IWL)ditambah produksi urine  perhari. (IWL = 15 cc x Berat Badan)
Kebutuhan Energi
Energi expanditure harus dihitung agar keseimbangan nitrogen yang lebih baik dapat dicapai dan
dipertahankan. Metode yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi ada dua cara yaitu:
1.  Rumus Harris-Benedict
Harris-Benedict mengkalkulasikan kebutuhan energy seseorang dalam keadaan istirahat,
nonstres, setelah puasa overnigt. Pada keadaan metabolic-stress, maka harus dikalikan stress
faktor.

Rumus Harris – Benedict.


Pria            :   BEE = 66,47 + (13,75 x BB) +(5.0 x TB – (6,76 x U)
Wanita      :   BEE = 655,1 + (9,56 x BB) +(1,85 x TB – (4,68 x U)

BEE = K cal/ hari    BB: kg     TB: cm   U: Tahun

Koreksi kebutuhan energi (kkal/hari) :   Basal Energy Expenditure (BEE) x Factor stress

Faktor stress
Koreksi kebutuhan energi dihitung sesuai tingkat hipermetabolisme :
 Post operasi (tanpa komplikasi)                                            1,0    –  1,10
 Fraktur tulang panjang                                                           1,15   –  1,30
 Kanker                                                                                    1,10   –  1,30
 Peritonitis/sepsis                                                                  1,10   –  1,30
 Infeksi serius/ multiple trauma                                            1,20   –  1,40
 Sindrom kegagalan organ multiple                                      1,20   –  1,40
 Luka bakar                                                                              1,20   –  2,00
 Trauma Kapitis                                                                                1,6

2.  Rule of Thumb
Dalam menghitung kebutuhan awal kalori, Sejumlah ahli menggunakan perumusan
sederhana Rule of Thumb yaitu 25 – 30 kkal/kg/hari. Cara ini mudah digunakan tetapi tidak
mengikuti faktor usia, jenis kelamin atau komposisi tubuh sehingga kesalahan juga bisa terjadi.

3.  Indirect-calorimetry dengan expired gas analysis.


Walaupun memberi hasil yang lebih akurat tetapi oleh karena membutuhkan pemeriksaan
laboratorium, teknologi dan mahal maka jarang digunakan untuk perhitungan sehari-hari.

Sumber Kalori
 Karbohidrat (50 – 70%)
 Lemak (30 – 50%)
Karbohidrat Sebagai Sumber Energi
 Asupan karbohidrat di dalam diet pada pasien kritis sebaiknya berkisar 45% - 60% dari
kebutuhan kalori
 Setiap gram karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori.
 Beberapa jenis karbohidrat yang lazim menjadi sumber energi dengan perbedaan jalur
metabolismenya adalah : glukosa, fruktosa, sorbitokl, maltose, xylitol.  
    Dosis aman dari masing-masing karbohidrat:
 Glikosa ( Dektrose )   : 6 gram / KgBB /Hari.
 Fruktosa / Sarbitol       : 3 gram / Kg BB/hari.
 Xylitol / maltose          : 1,5 gram / KgBB /hari.
   Campuran GFX ( Glukosa, Fruktosa – Xylitol ) yang ideal secara metabolik adalah dengan
perban-dingan GFX = 4:2:1.

Emulsi Lemak Intravena


 Lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral ataupun parenteral sebagai emulsi
lemak.
 1 gram lemak menghasilkan 9 kalori, Pada pasien kritis sebaiknnya sekitar 20 – 35 % dari
kalori bersumber dari lemak.
 Pemberian lemak intravena selain sebagai sumber asam lemak esensial (terutama asam
linoleat) juga sebagai subtrat sumber energi pendamping karbohidrat terutama pada kasus stress
berat
 Bila lemak tidak diberikan dalam program nutrisi parenteral total bersama subtrat lainnya
maka defisiensi asam lemak rantai panjang akan terjadi kira-kira pada hari ketujuh dengan gejala
klinik bertahan sekitar empat minggu. Untuk mencegah keadaan ini diberikan 500 ml emulsi
lemak 10 ml paling edikit 2 kali seminggu.
 Asam lemak esensial berperan dalam fungsi platelet, penyembuhan luka, sintesa
prostaglandin dan immunocompetence. Oleh karena ada keuntungan bila  diberikan bersama-
sama dengan glukosa sebagai sumber energi dianjurkan 30 –40 % dari total kalori diberikan
dari lemak.
 Ada bukti infus lemak merata 24 jam lebih baik dan lebih dipilih dibanding pemberian
intermitten.
 Direkomendasikan untuk tidak memberikan > 60% kalori total diambil dari subtrat
lemak. Sebagai pegangan jangan berikan porsi lemak > 2 gr / kg BB /hari.
 Sebaiknya lakukan pemeriksaan kadar triglised plasma sebelum pemberian emulsi lemak
intravena sebagai data dasar.
 Preparat emulsi lemak yang beredar ada dua jenis, konsetrasi 10% ( 1 k cal /ml ) dan 20
% ( 2 k cal/ ml ) dengan osmolalityas 270 –340 m Osmol /L sehingga dapat diberikan  melalui
perifer.
 Kontra indikasi  absolut infus emulsi lemak adalah trigliserit 500 mr/l ,Kolesterol 400
mg/l . kontraindikasi relatif : Trigeliderit 300 – 500 mg/l, Kolesterol 300 – 400 mg/l, ganggguan
berat faal ginjal dan hepar
·       Keuntungan Lemak sebagai sumber kalori :
 Cepat Terhidrolisa
 Cepat Dieliminasi Dari Darah
 Mudah Diambil Oleh Jaringan
 Mudah Dioksidasi
 Lebih Mudah Menyebabkan Keseimbangan Nitrogen
 Keuntungan Imunologis
Kebutuhan Protein
 Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis sangat diperlukan mengingat bahwa
pemecahan protein cukup tinggi. Namun pemberian protein tidak mungkin akan bisa menekan
pemecahan protein, walaupun diberikan sangat berlebihan. Bahkan akan merugikan dengan
timbulnya azotemia.
 Secara umum kebutuhan protein pada penderita sakit kritis 1,5 – 3,5 gr/ Kg BB/ hariyang
terdiri dari asam amino esensial dan sedikitnya mengandung 45 % asam amino rantai cabang
(BCAA). Tanpa BCAA pemberian 2,1 gram protein/ kg BB/ hari dan kalori 45 kcal/ kg BB/ hari
masih belum adekuat, terbukti dengan masih adanya pelepasan asam amino ke perifer terus
menerus.
 Guidelines for Protein Intake in Adults

Clinical Condition Rekommended Intake (g/kg/day)


Healty adult, normal organ
O,8
fungtion
Post operative 1,0 – 1,5
Sepsis 1,2 – 1,5
Multiple trauma 1,3 – 1,7
Major burn 1,8 – 2,5
The ASPEN nutrition support practice manual. Silver Spring MD, 1998. American Society for
Parenteral and Enteral Nutrition   
Retensi nitrogen sebanding secara proporsional dengan pemberian BCAA, sehingga memper-
baiki keseimbangan nitrogen. Pemberian BCAA 1,0 – 1,5 gram/ KgBB/hari sudah memperbaiki
keseimbangan nitrogen, menaikkan jumlah limfosit, memulihkan energi, menstimulasi
kemotaksis, meningkatkan kadar transferin, menurunkan ekskresi 3 metil histidin. Lebih lanjut
mengurangi kebutuhan oksigen dan produksi laktat dan memperbaiki resistensi perifer .

Rasio Kalori Nitrogen


 Atas dasar pertimbangan adanya intoleransi glukosa, resistensi insulin, dan peningkatan
penggunaan protein sebagai sumber energi pada pasien sakit kritis yang berada dalam keadaan
hipermetabolik, maka rasio kalori nitrogen suatu nutrisi harus disesuaikan .
 Rasio NPC : Nitrogen pada pasien kritis adalah  80 – 120 : 1
 1 gr nitrogen setara dengan  6,25 gr protein
 Pemberian glukosa harus dikurangi 10 – 15 % ditambah insulin eksogen. Bila fungsi hati
dan ginjal masih baik maka protein diberikan 2,5 – 3,5 gram/ kg BB/ hari. Kombinasi ini akan
menghasilkan rasio kalori nitrogen berkisar 80 – 100 kcal/ gr N. standar nutrisi untuk pasien
yang tidak mengalami hiperkatabolisme biasanya 150 – 200 kcal/ gr N

 Mikronutrien
 Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6
(piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak dibandingkan
kebutuhan normal sehari-harinya.
 Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi defisiensi pada TPN.
 Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin yang larut dalam air.
 Defisiensi besi, selenium, zinc, mangan dan copper sering terjadi pada pasien sakit kritis.
 Pemberian didasarkan kebutuhan setiap hari :
     -  Calcium                          :    0,2 – 0,3 meq / kg BB/ hari
     -  Magnesium                    :    0,35 – 0,45 meq / kg BB/ hari
     -  Fosfat                             :    30 – 40 mmol/ hari
     -  Zink                                :    3 – 10 mg/ hari

Immunonutrient
Perkembangan terbaru dalam tunjangan nutrisi diperkenalkannya immunonutrient .
Tiga grup nutrient utama yang termasuk dalam  immunonutrient adalah:
·   Amino acids (arginine, glutamin, glycin )
·   Fatty acid.
·   Nucleotide.
Nutrient – nutrient tersebut diatas adalah ingredients yang memegang peran penting dalam
proses “wound healing” peningkatan sistem immune dan mencegah proses inflamasi
kesemuanya essenstial untuk proses penyembuhan yang pada pasien-pasien critical ill sangat
menurun.

Regimen, Pengaturan, dan Rumatan Nutrisi Parental


Pada hari-hari pertama pemberian nutrisi parental, volume, dan konsentrasi larutan nutrisi
ditingkatkan secara bertahap (gradual), bergantung pada toleransi tubuh terhadap volume cairan
dan konsentrasi glukose yang masuk.

A.    Dengan Larutan Dextrose Saja

NON
PROTEIN ASAM
HARI SUMBER JUMLAH
KALORI AMINO MOsm/ L
KE SUBSTRAT ml/ 24 jam
(k.cal/ 24 (gr/ 24 jam)
jam)
I RINGER D 1000 200 - 588
5% 1500 300 - 278
DEXTROSE
5%
TOTAL 2500 500 -
II&III RINGER D 1000 200 - 588
5% 1500 600 - 550
DEXTROSE
10%
TOTAL 2500 800
VI RINGER D 1000 200 - 588
Dst. 5% 1000 800 - 1100
DEXTROSE
20%
TOTAL 2000 1000 -
NB:  Osmolaritas ( 580 + 1100 ) = 840 mOSm ,masih dapat diberikan lewat vena perifer jika
diteteskan bersama .
       Dextrose 20% dapat dicampur dengan Reguler insulin 20 unit/ 500 cc

 
  B.   Dengan Larutan Dextose Dan Asam Amino Lewat Perifer.
HARI SUMBER JUMLAH NON ASAM MOsm/ L
KE SUBSTRAT ml/ 24 jam PROTEIN AMINO
KALORI (gr/ 24 jam)
(k.cal/ 24
jam)
I RINGER D 5% 1000 200 - 588
DEXTROSE 5% 1500 300 - 550
TOTAL 2500 500 -
II&III ASAM AMINO 2,5% +  1000 300 25 772
KH 10 % 1500 600 - 550
DEXTROSE 10%
TOTAL 2500 900 25
IVDst. ASAM  AMINO 2,5% + 1000 300 25 772
Nya KH 10 % 1000 800 - 1100
DEXTROSE 20%
TOTAL 2000 1100 25 940
  NB: semua sumber substrat menetes bersama 24 jam, melalui vena perifer

  C.   Dengan Larutan Dextose , Asam Amino  Lewat Vena Sentral.


NON ASAM
HARI
SUMBER JUMLAH PROTEIN AMINO
KE MOsm/ L
SUBSTRAT ml/ 24 jam KALORI (gr/ 24
(k.cal/ 24 jam) jam)
RINGER D5% 1000 200 - 588
I
DEXTROSE 5% 1500 300 550
TOTAL 2500 500 -
ASAM AMINO 5% +
1000 400 50 1330
II&III KH 10%
1500 600 - 1100
DEXTROSE 10%
TOTAL 2500 1000 50 1215
ASAM AMINO
IV 1000 400 50 1330
5% + KH 10%
Dst. 1000 800 - 1100
DEXTOSE 20%
TOTAL 2000 1200 50 1215
  NB: Dextrose 20% dapat diganti dengan FRUKTOSE-GLUKOSE-XYLITOL (Triofusin) yang
lebih jarang hiperglikemia dan tidak perlu tambahan insulin.

  D.   Larutan Karbohidrat ( Fgx ), Asam Amino & Lemak . (Ini adalah sistem TPN terlengkap
tetapi juga termahal )
HARI SUMBER JUMLAH NON ASAM Mosm/ L
KE SUBSTRAT ml/ 24 jam PROTEIN AMINO
KALORI (gr/ 24 jam)
(k.cal/ 24 jam)
I GLUKOSE 10% 1500 600 - 555
ASAM AMINO 2.7% 1000 200 27 600
TOTAL 2500 800 27 716
II GLUKOSE 20% 1000 800 - 1110
LIPID 10% 500 500 - 300
ASAM AMINO 10% 500 - 50 900
TOTAL 2000 1300 50 855
III GFX – 421 1000 1667 - 2100
LIPID 10% 500 500 - 300
ASAM AMINO 10% 1000 - 100 900
TOTAL 2500 1667 100 1500
IV GFX – 421 1000 1167 - 2100
Dst. Nya LIPID 20% 500 1000 - 350
ASAM AMINO 10% 1500 - 150 900
TOTAL 3000 2167 150 1380

Pemantauan Penderita       
Kemajuan dan kemunduran keadaan umum penderita dipantau setiap harinya, termasuk
keseimbangan cairan dan elektrolitnya (bila fasilitas ada). Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan adalah :
1.     Darah
     a. Darah rutin:  pemeriksaan hemaglobin, hemetokrik, leukosit, mula-mula dua kali seminggu
selanjutnya sekali seminggu.
     b. Gula darah : setiap hari selama seminggu, kemudian dua kali seminggu.
     c. Protein dan albumin : mula-mula dua kali seminggu, kemudian sekali seminggu.
2.     Urine
    Volume urine diukur setiap hari.

Penyulit Tunjangan Nutrisi.


Secara garis besar penyulit tunjangan nutrisi dapat kita kelompokkan kedalam penyulit
metabolik, infeksi,tromboflebitis, penyulit mekanik dan penyulit gastrointestinal.
1. Penyulit metabolik.Gangguan metabolisme disebabkan karena masuknya subtrat
(karbohidrat, protein) secara langsung kedalam vena siatemik yang dalam keadaan
normal lewat usus,  subtrat ini ini melewati vena porta  lebih dahulu, masuk kehepar dan
baru masuk ke sirkulasi sistemik. Penyulit metabolik bahkan dapat menjadi serius apabila
beban substrat melampaui kemampuan “metabolik patway”  tubuh. Glukosa didalam
sirkulasi sistemik membutuhkan insulin untuk mencapai sel, sehingga pemberian glukosa
intravena akan meningkat kadar gula darah disamping merangsang sekresi insulin lebih
banyak. Kelebihan beban glukosa menyebabkan hiperglikemi dan hiperosmolaritas
serum. Kedua hal ini dapat menyebabkan kekacauan metabolisme yang biasa kita lihat
pada koma hiperglikemia atau koma hperosmoler. Disamping itu dapat terjadi “osmotik
diuresis“ Yang akan mengacaukan keseimbangan cairan dan elektrolit. Larutan
karbohidrat pekat (20%) setiap botolnya dapat diberi insulin 1 ui setiap 5 gram dektose
yang harus rajin digocok.
2. Penyulit infeksi. Merupakan penyakit yang amat ditakuti pada pemberian nutrisis
parenteral. Suhu tubuh meninggi, leukositosis yang kadang-kadang disertai degan
glkosuria dapat merupakan tanda dini akan adanya septikemia.
3. Penyulit sepsis. Terjadi sebanyak 3 % dari penderita yang menerima nutrisi
parenteral yang kateternya diperlihara dengan baik. Sedangkan pada mereka yang
katerternya tidak dipelihara dengan baik kejadian sepsis dapat sampai 20%.
4. Penyulit thromboplebitis. Tromboflebitis dapat terjadi karena iritasi cairan infus
terhadap dinding vena, melalui kontaminasi kuman dan karena proses peradangan biasa.
Iritasi vena karena cairan akan terjadi apabila osmolaritas cairan infus diatas 300 m
Osmol / liter  dan makin makin tinggi osmolaritas ini makin cepat terjadinya flebitis,
trombosis atau tromflebitis
  Penyulit tromboflebitis dapat dikurangi dengan cara :
 Pemasangan katerter vena yang lebih kecil dari diameter vena.
 Pemberian larutan nutrisi bersamaan melalui set transfusi bercabang.
 Memindahkan infus setiap 3-4 hari ke vena yang berlawanan di lengan dan tidak ke kaki
 Tidak memberikan larutan nutrisi dengan osmolaritas diatas 800 mOsmol/ liter melalui
vena perifer.
     5.   Penyulit  mekanik. Emboli udara,perdarahan karena fungsi arteri, pneumotoraks dan
hemotoraks.
 
Kesalahan Yang Sering Terjadi Pada Parenteral Nutrisi
1. Menggunakan vena perifer untuk cairan pekat. Osmolritas plasma  300
mOsmol . Vena perifer dapat menerima sampai maksimal 900 mOsmol . Makin tinggi
osmolaritas (makin hipertonis) maka makin mudah terjadi tromphlebitis, bahkan
tromboembli. Untuk cairan > 900 – 1000 mOsm, seharusnya digunakan vena setrral
(vena cava, subclavia, jugularis) dimana aliran darah besar dan dapat cepat dapat
mengencerkan tetesan cairan NPE yang pekat hingga tidak dapat sempat merusak dinding
vena. Jika tidak tersedia kanula vena sentral maka sebaiknya dipilih dosis rendah (larutan
encer) lewat vena perifer. Vena kali tidak boleh dipakai karena sangat mudah deep vein
trombosis  dengan resiko teromboemboli yang tinggi.
2. Memberikan protein tanpa kalori karbohidrat yang cukup. Sumber kalori
yang utama dan harus selalu ada adalah dektrose. Otak dan eritrosit mutlak memerlukan
glukosa setiap saat. Jika tidak tersedia terjadi glukoneogenesis dari subtrat lain. Kalori
mutlak dicukupi lebih dulu. Diperlukan deksrose 6 gram /kg/hari (300 gr) untuk
kebutuhan energi basal 25 kcal/kg. Asam amino dibutuhkan untuk regenerasi sel, sintesis
ensim dan viseral protein. Tetapi pemberian asam amino harus dilindungi kalori, agar 
asam amino  tersebut tidak  dibakar  menjadi  energi (glukoneogenesis) Tiap gram
Nitrogen harus dilindungi 150 kcal berupa karbohidrat. Satu gram Nitrogen setara 6,25
gram protetin. Protein 50 gr memerlukan ( 50 : 6,25 ) x 150 k cal = 1200 kcal atau 300
gram karbohidrat. Kalori dari asam amino itu sendiri tidak ikut dalam perhitungan
kebutuhan kalori . “ Jangan memberikan asam amino jika kebutuhan kalori belum 
dipenuhi”
3. Tidak melakukan perawatan aseptik. Penyulit trombplebitis karena iritasi vena
sering diikuti radang/ infeksi. Prevalensi infeksi berkisar antara 2-30 % Kuman sering
ditemukan adalah flora kulit yang terbawa masuk pada penyulit atau ganti penutup luka
infus.

Penghentian  Nutrisi Parenteral.


Penghentian nutrisi parentral harus dilakukan dengan cara bertahap untuk mencegah terjadinya
rebound hipoglkemia. Cara yang kami anjurkan adalah melangkah mundur menuju regimen hari
pertama. Sementrara nutrisi enteral dinaikkan kandungan subtratnya. Sesudah tercapai nutrisi
enteral yang adekuat (2/3 dari jumlah kebutuhan energi total) nutrisi enteral baru dapat
dihentikan.
Formula Enteral
TUJUAN
1. Untuk mempelajari pengelompokan formula enteral dan untuk menetukan
gambaran dan perbedaannya.
2. Untuk mengenali sumber-sumber gizi makro pada formula enteral.
3. Untuk dapat memilih formula enteral yang sesuai berdasarkan kondisi klinis atau
status penyakit, keperluan metabolik, fungsi gastrointestinal, dan lokasi masuknya tube
dan diameternya.

GARIS BESAR
 Untuk mencapai toleransi optimal dan keuntungan dari pemberian makanan melalui tube,
maka formula yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan kebutuhan setiap individu pasien.
 Produk-produk yang diformulasikan secara khusus yang tersedia memiliki keunikan
kandungan gizi dan kebutuhan metabolik disesuaikan untuk  beberapa kondisi klinis akut dan
kronis.
 Perbaikan berkelanjutan dalam hal komposisi formula telah memudahkan keberhasilan
pemberian makanan enteral  pada banyak situasi klinis terutama pada penyakit kritis dimana
pemberian makanan enteral yang pada awalnya tidak dapat ditoleransi, bahkan hampir tidak
mungkin.

IMPLIKASI KLINIS
Untuk mencapai keuntungan optimal dari pemberian makanan enteral dimulai dengan memilih
formula yang tepat. Pemilihan formula enteral didasarkan pada kondisi klinis pasien, status
penyakit sebelumnya, kebutuhan metabolik, fungsi gastrointestinal, lokasi masuknya tube dan
diameternya. Seorang dokter dapat memilih formula enteral yang paling sesuai dan efektif dari
sisi biaya dari sejumlah besar variasi produk komersial yang tersedia.

PENDAHULUAN
Pilihan formula amat penting untuk keberhasilan pemberian makanan enteral, baik dalam
mendukung kebutuhan metabolik maupun meningkatkan toleransi gastrointestinal. Saat memilih
formula enteral, dokter harus memperhatikan hal-hal berikut:
 Kebutuhan metabolik amat penting terhadap keberhasilan pemberian makanan enteral
berdasarkan kondisi klinis atau penyakit yang diderita antara lain :
1. Kilo kalori;
2. Volume cairan;
3. Densitas kalori;
4. Kebutuhan protein/ nitrogen,
5. Vitamin,
6. Mineral,
7. Zat gizi esensial sesuai kondisi.
 Kapasitas absorpsi dan digestif gastrointestinal.
 Tube / selang (lokasi dan diameternya)

KEBUTUHAN METABOLIK
Kilo kalori 
Kebutuhan energi dari kebanyakan pasien rawat inap dapat dipenuhi dengan memberikan
kebutuhan 25-35 kcal/ kg/hr. Pengaturan eukalorik atau bahkan sedikit hipokalorik, menjadi
tujuan terapeutik pada pasien kritis akan mencegah timbulnya  stress metabolik yang terkait
suplai gizi yang berlebihan. Kelebihan pemberian makanan berhubungan dengan berbagai
komplikasi metabolik antara lain; retensi CO2, ventilasi meningkat, intoleransi glukosa, infiltrasi
lemak hati, ketidakseimbangan elektrolit; kelebihan cairan, dan intoleransi gastrointestinal. Jauh
lebih mudah memulai pemberian makanan pada tingkat kalori konservatif dan meningkatkan
sesuai toleransi ketimbang memperbaiki gangguan metabolik yang diakibatkan oleh pemberian
makanan secara berlebihan.
Pemeriksaan secara hati-hati terhadap status hidrasi pasien dapat membantu dokter menghindari
kelebihan atau kekurangan dosis kalori (dan protein) yang terkait dengan timbulnya edema atau
dehidrasi. Parameter klinik dan laboratorium membantu dalam penilaian status hidrasi, termasuk
diantaranya sodium serum, rasio urea nitrogen terhadap kreatinin darah, berat badan, berat jenis
urin, dan turgor kulit. Untuk menghindari kelebihan makanan, dimana pasien yang berada
dibawah berat badan ideal, kebutuhan energi dan protein dasarnya harus melihat berat badan
pasien sebelumnya. Untuk menghindari kelebihan makanan pada pasien gemuk; dokter harus
menghitung kebutuhan energi dan protein berdasarkan acuan atau  berat badan untuk tinggi
badan yang ideal.

Volume cairan dan densitas kalori 


Keseimbangan cairan didefinisikan sebagai volume asupan air dan dibandingkan dengan volume
output cairan. Keseimbangan cairan tiap individu tergantung pada variabel-variabel seperti umur,
ukuran tubuh, intake cairan, komposisi diet, kandungan ekskresi ginjal, fungsi ginjal, kecepatan
metabolik dan respiratorik, dan  suhu badan. Keseimbangan cairan juga dipengaruhi oleh ada dan
luasnya kehilangan cairan yang abnormal, seperti pada diare, drainase luka atau demam.
Sumber-sumber intake termasuk diantaranya air yang dikonsumsi dalam minuman dan makanan,
serta air yang diproduksi dalam metabolisme oksidatif dalam tubuh. Bentuk utama output air
adalah urine, keringat, ekskresi gastrointestinal dan kelembaban udara ekspirasi. Pasien yang
menerima makanan melalui tube/ selang umumnya membutuhkan air sebagai tambahan dari
yang tersedia dalam formula.
Perkiraan kebutuhan cairan berdasarkan pada beberapa faktor antara lain intake kalori, luas
permukaan tubuh, berat badan, dan kondisi kesehatan. Bila intake kalori rendah, atau saat
kehilangan cairan meningkat (seperti keringat berlebih, poliuri, diare, atau penggunaan diuretik
yang berlebihan), pasien dapat memerlukan cairan ekstra. Oleh karena kebutuhan cairan
bervariasi antar individu, dan bervariasi dalam satu individu dalam waktu yang berbeda, maka
setiap pasien perlu diawasi secara berkala, dan intake cairan perlu diatur seperlunya. Salah satu
cara termudah untuk mengukur ketidakcukupan cairan adalah dengan mengukur berat badan
harian. Perubahan cepat yang memburuk dari satu hari ke hari lainnya kemungkinan oleh karena
kekurangan atau kelebihan air.
Kandungan air dari formula enteral bergantung pada densitas kalorinya. Formula yang memiliki
densitas kalori terbesar dapat memberikan jumlah air yang paling sedikit. (tabel 1; merupakan
daftar perkiraan kandungan air untuk formula enteral dengan berbagai densitas kalorik).
Bila pasien memiliki cairan intake total yang harus dikontrol, dokter sering memilih formula
dengan densitas kalori yang lebih tinggi (1,5-2,0 kcal/ml), yang dapat memberi energi terbanyak
dalam volume yang kecil bagi pasien.
Protein
Pasien dengan luka terbuka, seperti pada ulkus , dan pasien hipermetabolik seperti sepsis,
terbakar atau udem traumatik biasanya mendapat keuntungan dari intake protein yang tinggi.
Formula enteral yang di buat dengan jumlah protein yang lebih besar, dirancang khusus
penggunaannya dalam situasi klinis ini. Bentuk protein yang digunakan ( intake atau dihidrolisis
parsial ) akan bergantung pada fungsi gastrointestinal dan apakah pasien tampak sakit berat atau
tidak. Pasien-pasien dengan penyakit gastrointestinal atau malabsopsi dapat diuntungkan dari
sistem protein ganda ( seperti formula yang menyediakan baik peptida dan asam amino ).
 
Vitamin dan Trace element.
Dokter perlu menyadari mengenai pentingnya vitamin, mineral, dan trace elemen dalam diet.
Terdapat tingginya insidensi difisiensi vitamin dan mineral diantara pasien-pasien malnutrisi.
Sebagai tambahan, difesiensi klinis telah didokumentasikan pada pasien yang menerima formula
enteral yang mengalami defisiensi trace mineral seperti selenium, chromium, dan molybdenum.
Mineral-mineral ini, sebagaimana halnya mangan terdapat dalam berbagai formula enteral.
Meskipun demikian, beberapa pasien gizi buruk dengan defisiensi sejumlah vitamin dan mineral
gejala-gejala klinis dapat timbul ketika  diberikan formula enteral. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan zat-zat gizi ini untuk sintesis protein.
Jumlah zat gizi mikro yang disediakan dari pemberian makanan enteral bergantung pada volume
total makanan yang tersedia. Meskipun pasien menerima kalori dan protein dalam formula yang
diberikan, pasien kemungkinan tidak menerima 100% dari rekomendasi intake harian ( RDI )
dari vitamin dan mineral maka formula harus diatur hingga sesuai.
Dokter perlu menentukan apakah kandungan vitamin dan mineral dalam formula yang diberikan
sudah cukup untuk menutupi RDI pasien dan bila tidak harus menyesuaikan formula bagi
pasien.  
Formula enteral yang memberikan 100% RDI dalam volume yang relatif kecil terutama berguna
bagi pasien dengan penyakit kritis, pasien-pasien dengan pembatasan cairan dan pasien usia
lanjut atau pasien immobile yang umumnya memiliki kebutuhan kalori yang lebih rendah.
Kebutuhan diet trace element sangat kecil ( < 5 minggu 1 hari ). Namun, oleh karena banyak
penyakit berhubungan dengan kebutuhan gizi mikro lebih besar dari RDI, formula enteral khusus
disusun bersama dan diperkuat dengan vitamin dan mineral tertentu. Formula khusus ini dapat
membantu pasien yang memiliki status gizi dibawah optimal sebelum onset penyakit.
 
Zat-zat  gizi esensial khusus.
Glutamine, arginine, taurin dan carnitine dipandang sebagai zat gizi esensial khusus. Dalam diet
normal, zat-zat gizi ini terdapat dalam kadar rendah namun adekuat. Pada penyakit berat atau
penyakit kronis, perubahan jalur metabolik dapat membatasi zat-zat gizi ini. Dalam kasus ini,
pemberian formula enteral suplemen dengan zat gizi esensial khusus dapat menguntungkan
pasien. 
 
Glutamine. 
Disebut sebagai asam amino khusus untuk pasien-pasien kritis, glutamine merupakan bahan
bakar penting untuk pembelahan sel secara cepat seperti eritrosit,, colonosit dan limfosit.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glutamin tambahan dapat mencegah perburukan
permeabilitas usus dan memperbaiki struktur mukosa. Kebutuhan glutamine tampaknya
meningkat seiring beratnya cedera. Kadar glutamin suplementasi yang disarankan (seperti L-
glutamin) setelah trauma operasi besar tanpa komplikasi  adalah 12-14 gr/hari. 
 
Arginin. 
Arginin juga dipandang sebagai asam amino esenisal khusus, dan suplementasi arginin dikaitkan
dengan percepatan penyembuhan luka. Efeknya terhadap penyembuhan luka dapat berhubungan
dengan meningkatnya sintesis kolagen pada luka. Suplementasi arginin juga membantu fungsi
kekebalan pada manusia dan hewan. Suplementasi arginin harian dengan 30 gr dari arginin
aspartat (17 gram arginin bebas) dikomsumsi secara oral atau dengan 30 gram arginin
hidroklorida pemberian intravena berhubungan dengan meningkatkan retensi nitrogen baik pada
orang sehat maupun pasien-pasien bedah elektif. Dosis elektif minimal arginin dalam praktek
klinik masih belum ditentukan.
 
Taurin. 
Taurin, sebuah asam amino mengandung sulfur terlibat dalam berbagai proses metabolik,
termasuk dalam sistem saraf pusat. Zat ini juga terlibat dalam konjugasi asam empedu,
membantu regulasi agregasi platelet, dan membantu fungsi netrofil. Kebutuhan taurin selama
stress metabolik masih belum ditentukan, namun taurin disintesis dari sistein dan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa konversi metionin menjadi sistein dapat terbatas pada stress
metabolik. Taurin juga merupakan  asam amino esensial khusus bagi pasien pasien cedera.
 
Carnitin. 
Carnitin dibutuhkan untuk membawa asam amino rantai panjang ke dalam mitokondria untuk
mengasilkan energi. Ekskresi carnitin meningkat setelah cedera dan defisiensi carnitin selama
terapi antibiotik pernah dilaporkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa carnitin merupakan zat
yang penting dan harus ada dalam formula enteral. Sintesis de novo carnitin ini memerlukan
asam askorbat, niasin, vitamin B6 dan besi sebagai kofaktor.
Orang-orang yang menerima hemodialisis, nutrisi parenteral jangka panjang atau pemberian
enteral jangka panjang tanpa carnitin beresiko muncul defisiensi carnitin. Meskipun kebutuhan
diet carnitin masih belum ditetapkan, diet campuran dapat memberi carnitin sebanyak 0.18 –
319  mg perharinya.
Kapasitas absorsi  dan digestif Gastrointestinal
Formula dengan zat gizi intake dapat digunakan untuk makanan melalui gaster  maupun
duedonum dan jejenum, kecuali ada kontraindikasi tertentu. Pasien dapat mengalami perubahan
kapasitas absorpsi dan digesti akibat trauma, penyakit kritis, penyakit usus kecil atau
hipoalbuminemia. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan  disfungsi saluran cerna
memiliki absorpsi  nitrogen yang lebih baik, keseimbangan nitrogen dan toleransi terhadap
pemberian makanan lebih baik bila diberikan formula dengan sumber protein yang dihidrolisis
parsial. Hipoalbuminemia terkait dengan berkurangnya tekanan osmotik. Kondisi ini rentan
terjadi pada pasien yang mengalami edema interstitial pada ususnya, yang dapat menimbulkan
gangguan absorpsi. Dalam kondisi ini, peptida rantai kecil dan sedang (medium) dapat diabsorpsi
lebih baik dibanding protein intake.
 
Diameter dan lokasi feeding tube.
Pemberian makanan ke dalam duodenum atau jejenum perlu dikontrol dengan menggunakan
pompa volumetrik, karena pemberian makanan pasca pilorus tidak dapat diregulasi oleh
pengosongan lambung. Para dokter biasanya menghindari penggunaan formula konsentrat/
formula kental atau formula fortifikasi berserat dengan menggunakan selang jejenostomi
berdiameter kecil karena seringkali menimbulkan sumbatan selang. Namun Collier,dkk
melaporkan bahwa dengan irigasi yang lebih sering dan tak ada obat yang dimasukkan melalui
selang tersebut, formula serat-fortifikasi dapat dimasukkan melalui jejenostomi selang
berdiameter kecil dengan baik.

Zat gizi makro dalam formula enteral


Formula enteral mengandung semua bentuk zat gizi makro/ makronutrien intake (formula
polimer) atau mungkin mencakup berbagai macam kombinasi dari  makronutrien yang
terhidrolisis parsial (formula oligomerik). Formula oligomerik kadang-kadang dianggap sebagai
formula defenisi kimia atau formula elemental (pelengkap). 
Formula dengan nutrien intake lebih disukai oleh karena formula ini mendukung faal digesti dan
absorsi normal dan dapat memenuhi kebutuhan kebanyakan pasien.
 
KARBONHIDRAT
Karbohidrat merupakan makronutrien penting oleh karena siap didigesti dan diabsorpsi  sebagai
sumber energi. Konsentrasi karbohidrat yang tipikal dalam formula enteral berkisar antara 30-
70% dari kalori total. Karbohidrat yang terdapat dalam formula enteral sebagai starch/tepung,
polimer glukosa, disakarida dan monosakarida. Semakin tinggi karbohidrat dihidrolisis,
osmolitas formula dan derajat manisnya juga meningkat. Tabel 2 merupakan daftar tipe
karbohidrat yang digunakan untuk formula enteral. Karbohidrat dalam formula enteral
merupakan polimer glukosa, sukrosa, laktosa dan fruktosa. 
 
Polimer glukosa.  
Polimer glukosa dibentuk dari hidrolisis parsial dari tepung jagung dan meningkatkan baik
osmolitas dan kelarutan formula enteral. Formula ini muncul sebagai maltodekstrin, glukosa
oligosakarida, glukosa polisakarida, sirup jagung padat, dan sirup jagung. Polimer glukosa
memerlukan kapasitas digestif yang lebih sedikit dibanding tepung dan dihidrolisis cepat diusus
halus. 
 

Sukrosa. 
Sukrosa berperan terhadap tingkat kemanisan dan osmolalitas formula. Ini merupakan sumber
energi yang siap pakai sehubungan dengan hidrolisis intestinal yang cepat terhadap terhadap
molekul-molekul glukosa dan fruktosa.
 
Laktosa. 
Laktosa dihidrolisis oleh laktase diusus halus menjadi glukosa dan galaktosa. Intoleransi laktosa
seringkali terjadi dan dapat terkait dengan defisiensi laktase primer. Hal ini juga dapat terjadi
sekunder pada cedera usus atau pada status penyakit lainnya. Gejala intoleransi berkisar antara
flatulens dan rasa tidak enak pada gastrointestinal yang ringan hingga diare osmotik yang berat.
Untuk menghindari potensi intoleransi laktosa, kebanyakan formula enteral umumnya bebas
laktosa.
Fruktosa.   
Fruktosa memberikan lebih sedikit peningkatan kadar glukosa darah post prandial dibanding
karbohidrat lainnya. Pada tingkatan sedang, zat ini baik untuk penderita diabetes. Fruktosa juga
penting untuk pemanis yang meningkatkan “palatabilitas” oral dari produk yang menggunakan
baik suplemen oral maupun enteral yang bersumber tunggal.
 
PROTEIN DAN ASAM AMINO. 
Protein terdapat dalam formula enteral sebagai protein intake sebagai bentuk yang dihidrolisis
parsial oligo-  atau di- dan tripeptida, atau sebagai hidrolisat penuh bebas (kristalin) L-asam
amino (Tabel 3). Protein yang dihidrolisis penuh atau parsial dapat meningkatkan osmolitas
formula. Meski kebanyakan pasien merasa lebih baik dengan sumber protein intak, protein dalam
bentuk di- atau tripeptida dapat ditoleransi lebih baik oleh pasien kritis atau penderita disfungsi
gastrointestinal atau hipoproteinemia berat. Nitrogen dalam bentuk peptida diabsorpsi lebih cepat
dan merata dibanding nitrogen yang berasal dari asam amino bebas baik oleh usus yang sehat
maupun usus yang sakit.
Valin, leusin dan isoleusin merupakan asam amino esensial rantai cabang (BCAAs) yang
dimobilisasi dari otot rangka selama stres metabolik. Meski telah diteliti secara luas, penggunaan
formula enteral yang difortifikasi dengan BCAAs pada kadar yang lebih tinggi dibanding yang
berada dalam protein tidak serta merta lebih baik secara klinis. 

LEMAK
Lemak adalah sumber energi utama yang memberikan asam lemak esensial dan membawa
vitamin larut lemak. Sebagai sumber energi primer, lemak dan karbohidrat secara umum
memiliki distribusi kalori yang bersilangan terkait satu sama lain. Contohnya, formula enteral
yang dirancang untuk mengatur respons glukosa darah atau produksi CO2 memiliki prosentase
yang lebih tinggi dari total kalori yang diturunkan dari lemak relatif terhadap karbohidrat,
sementara formula yang dirancang untuk disfungsi gastrointestinal mengandung prosentase
kalori total yang jauh lebih rendah dari lemak relatif terhadap karbohidrat. Lemak tidak berperan
secara bermakna terhadap osmolitas formula.
Komponen lemak dalam formula enteral biasanya terdiri dari berbagai kombinasi asam lemak
polyunsaturated (PUFAs), asam lemak monounsaturated (MUFA), trigliserida rantai sedang
(MCTs), produk lipid terstruktur, dan asam lemak n-3 (tabel 4). Asam lemak digambarkan secara
lebih terinci dalam BAB 4. “Karbohidrat, Protei dan Lemak”. 

Polyunsaturated fatty acid. 


PUFAs memiliki sedikitnya 14 karbon panjangnya dan termasuk asam lemak esensial linoleat,
arakhidonat (n-6), dan asam linolenat (n-3). Intake harian sedikitnya sebesar 4 – 5 % dari kalori
sebagai asam lemak esensial yang disarankan untuk mencegah defisiensi.

Trigliserida rantai sedang (MCTs). 


MCTs terdiri atas 3 molekul asam lemak rantai sedang (asam lemak tersaturasi dengan panjang 6
– 12 rantai karbon) yang melekat pada molekul glyserol. MTCs diabsorpsi secara cepat oleh
mukosa usus dan dibawa melalui  portal ketimbang sirkulasi limfatis. Karena absorsinya
biasanya tidak tergantung pada lipase pankreas atau garam-garam empedu, MCT bermanfaat bila
terjadi gangguan absorpsi atau transport lipid. MCTs juga dioksidasi secara cepat sehingga
menjadi penting sebagai sumber energi.
 
Produk lemak terstruktur. 
Produk-produk lemak terstruktur dibuat melalui  transesterifikasi PUFA dan MCT menjadi
molekul gliserol yang sama. Berdasarkan penelitian tentang kinetika protein dan keseimbangan
nitrogen, kombinasi MCT dan  trigliserida rantai panjang (LCT) berkaitan dengan perbaikan
protein sparing pada manusia maupun hewan. Bila diberikan dalam bentuk campuran MCT 75 %
/ PUFA 25 %, perbaikan protein sparing disertai peningkatan oksidasi lipid dan termogenesis.
 
SERAT 
Serat merupakan materi yang berasal dari tanaman yang resisten dicerna oleh enzim-enzim pada
traktus gastrointestinal manusia namun difermentasikan dalam kisaran tertentu oleh mikroflora
kolon. Namun, definisi ini tidak sepenuhnya benar karena didalamnya termasuk pula tepung,
bagian yang dianggap tidak secara normal dapat diserap diusus halus. Definisi yang lebih tepat
dari diet total serat yang merupakan gabungan dari selulosa, lignin, polisakarida non-seluloid
(hemiselulose, pectin, getah dan lendir) sangat bervariasi diantara sumber-sumber serat lainnya.
Intake serat yang dianjurkan adalah antara 10 – 13 gr/ 1000 kcal atau 20 – 35 gr/hari. 
Serat juga dikelompokkan berdasarkan keunggulan fungsionalnya dapat larut maupun tak larut
(menunjukkan kelarutannya dalam traktus digestivus) atau dapat difermetasi dan tidak dapat
difermentasi. Pada kebanyakan kasus, serat yang dapat larut cenderung dapat difermentasi dan
serat yang tak dapat larut cenderung non fermentasi.    

Serat terlarut.
Serat terlarut seperti getah dan pectin terfermentasi dalam kolon membentuk asam lemak rantai
pendek (SCFAs) asetat, butirat dan propionat. SCFAs kurang dari 6 korban panjangnya dan
menjadi substrat energi yang disukai untuk kolonosit. SCFAs juga memiliki efek tropik melalui
saluran intestinal.
SCFAs cepat diserap oleh mukosa kolon dan dimetabolisir untuk mendapatkan energi. Absorpsi
kolonosit SCFAs disertai oleh absorpsi natrium dan air, yang mana formula serat fortifikasi dapat
mengurangi insidens diare pada pasien yang diberi intake melalui tube. Diare juga dihindari oleh
karena serat dapat memperlambat waktu transit kolonik melalui proses yang dimediasi
kolesistokinin. Meskipun SCFAs yang dihasilkan melalui  fermentasi dapat menguntungkan,
namun formula enteral berisi serat perlu digunakan secara hati-hati pada pasien yang mengalami
depresi motilitas gastrointestinal.
 
Serat tak larut . 
Serat-serat  tak larut seperti soy polisakarida, serat kacang polong, dan serat teh yang banyak
terdapat dalam massa diet. Soy polisakarida awalnya merupakan sumber serat yang paling
banyak digunakan pada formula enteral. Serat ini dapat meningkatkan output feses dan berat
feses. Juga dapat memperbaiki konsistensi feses dengan memberi sumber massa (bulk).
Tehnologi terkini telah meningkatkan jumlah dan tipe serat yang tersedia untuk digunakan dalam
formula enteral, sehingga memungkinkan untuk mencampurkan antara serat larut dengan serat
tak larut untuk mencapai efek fisiologis yang diinginkan. Disarankan agar intake serat pada
dewasa sehat terdiri atas 75 % tak larut dan 25 % larut. 
 
Fruktooligosakarida (FOS). 
FOS merupakan karbohidrat yang tak dapat dicerna yang difermentasikan dalam kolon menjadi
SCFA. Secara alamiah  terdapat pada bawang merah, terigu (serealia), rumput-rumputan
(barley), pisang, tomat dan madu. FOS yang merupakan oligosakarida terdiri dari 1 molekul
sukrosa yang berikatan dengan satu, dua atau tiga unit fruktosa tambahan, tidak didegradasi oleh
cairan lambung pH rendah atau dicerna oleh enzim-enzim gastrointestinal. Serat ini tetap intak
melewati usus halus dan masuk kedalam usus besar dimana akan difermentasikan oleh bifido
bakteria dan mikroorganisme lainnya dalam kolon menjadi laktat dan SCFAs.
Bakteri bifido merupakan sekelompok bekteri yang menguntungkan yang penting dalam
menjaga keseimbangan ekologis secara optimal diusus bagian bawah. Bakteri ini mendominasi
dalam usus bayi dan bakteri terbanyak ketiga pada orang dewasa. Beberapa penelitian klinis
menunjukkan bahwa diet tambahan dengan FOS dapat meningkatkan jumlah bakteri bifido.
Proliferasi spesies bakteri bifido karena adanya FOS dan produksi zat fermentasi seperti laktat
asetat dapat menurunkan pH usus besar dan menimbulkan suasana yang buruk bagi bakteri
patogen seperti Clostridium dificile. Selanjutnya,  FOS tidak digunakan oleh bakteri patogen
seperti Clostridium perfringens, Clostridium difficile dan Escherechia coli.
 
Diet  serat dalam formula cair
Diantara manfaat potensial dari serat dalam formula enteral antara lain berkurangnya konstipasi
dan diare, mempertahankan mukosa usus, dan menurunkan angka kejadian hiperglikemia.
 
KLASIFIKASI FORMULA MAKANAN ENTERAL
Formula enteral dapat dikelompokkan berdasarkan kesesuaian penggunaannya dalam berbagai
kondisi klinis. Ada dua klasifikasi dasar antara lain;
1. Formula enteral standar yang sesuai bagi pasien yang memiliki fungsi
gastrointestinal yang normal.
2. Formula enteral formulasi khusus bagi pasien kritis yang membutuhkan protein
yang banyak, mengalami perubahan fungsi gastrointestinal, atau memiliki kebutuhan
nutrisi yang spesifik  terhadap penyakitnya.
Formula enteral standar
Formula enteral standar biasanya digunakan pada pasien dengan fungsi gastrointestinal yang
normal. Formula ini menyediakan nutrisi lengkap dan seimbang, dan diformulasikan sebagai
sumber makanan tunggal untuk jangka lama. Formula enteral standar memiliki keseimbangan
antara protein, karbohidrat ( 50 % dari kalori total ) dan lemak ( 30 % dari kalori total ), dan
kemungkinan dapat di fortifikasi serat maupun tidak. Komponen protein biasanya merupakan
protein intak ( utuh ), seperti kasein atau isolat protein soy. Keuntungan lainnya dari formula
enteral standar antara lain :
1. Profil zat gizi konsentrat yang sesuai bagi pasien yang memiliki kapasitas intake
dan kebutuhan kalori yang menurun seiring penyakit kronis atau penuaan.
2. Sedikitnya 100 % RDI untuk Vitamin dan mineral dalam 1200 – 1500 ml volume
total.
3. Rasio kalori nitrogen 135 : 1 digunakan untuk meningkatkan keseimbangan
nitrogen positif untuk pasien yang menerima pemberian makanan dengan tube  jangka
panjang.
4. Campuran asam lemak yang sesuai rekomendasi terbaru < 10 % dari kalori total
dari lemak tersaturasi dan 10 % dari kalori total dari lemak polyunsaturated, dan sisanya
dari lemak monounsaturated.
5. Campuran serat terlarut dan tidak larut yang sesuai dengan rekomendasi terbaru
dari 10 – 13 gr/ 1000 kcal dan membantu mempertahankan keseimbangan
mikroorganisme usus besar.
6. Fortifikasi dengan zat-zat gizi (β-carotene, carnitine, “ultra trace mineral”)
dilaporkan mengalami penurunan jumlah pasien dengan pemberian makanan feeding tube
jangka panjang.
Beberapa pasien dapat diuntungkan dari formula enteral standar dengan konsentrasi protein yang
lebih tinggi ( 25 % dari kalori ) relatif terhadap kalori total ( seperti, rasio keseluruhan non
protein terhadap kalori yang lebih rendah). Pasien-pasien ini sering mengalami luka seperti ulkus
tekanan atau peningkatan kebutuhan protein terkait dengan penuaan. Meskipun kebutuhan kalori
total pasien-pasien ini kemungkinan tidak meningkat, kadar protein yang lebih tinggi perlu
diberikan bersama dengan mineral ultratrace, zat gizi esensial khusus, dan rasio potassium
terhadap nitrogen yang sesuai dapat membantu penyembuhan luka.

Formula yang dirancang untuk pasien kritis atau yang mengalami perubahan fungsi
gastrointestinal.     
Formula ini biasanya menyediakan sejumlah komponen protein dalam bentuk peptida rantai
pendek atau sedang karena lebih mudah diserap dibanding protein utuh (intak) atau asam amino
bebas. Sebagaimana halnya, sejumlah komponen lemak yang sering tersedia dalam bentuk MCT
tidak memerlukan lipase pankreas atau garam empedu untuk dapat diabsorpsi. Formula yang
difortifikasi dengan mineral ultra trace dan zat gizi esensial memiliki keuntungan tambahan.
 
Penyakit kritis dan stres metabolik. 
Cedera berat dapat mnyebabkan perubahan buruk dalam metabolisme. Perubahan ini bervariasi
sesuai dengan jenis trauma, status kesehatan sebelumnya, dan perawatan medis.
Hipermetabolisme yang dimediasi oleh hormon dan percepatan katabolisme seringkali
ditemukan setelah terjadi trauma. Perubahan metabolik lainnya yang biasa diamati setelah cedera
berat atau selama penyakit kritis antara lain :
 Peningkatan laju metabolik basal dan ekskresi nitrogen
 Perubahan keseimbangan cairan & elektrolit
 Sintesis protein pada fase akut
 Respon inflamasi
 Imunosupresi
Traktus gastrointestinal seingkali dipengaruhi oleh cedera. Aliran darah dapat berkurang karena
perdarahan dan menyebabkan kehilangan oksigen dan zat-zat gizi yang dapat merusak sel
mukosa. Adanya nutrisi intraluminnal dapat membantu melindungi saluran cerna. Zat gizi
spesifik seperti glutamin dan arginin dapat memberi keuntungan tambahan karena terlibat dalam
berbagai proses metabolik termasuk diantaranya sistem kekebalan. Zat gizi enteral yang sangat
penting selama kondisi kritis maupaun saat terjadi stres metabolik antara lain beberapa jenis dan
jumlah protein, lemak dan karbihidrat, juga glutamin, arginin, β -caroten, taurin, canitin, vitamin
E dan zinc (seng).
Idealnya  formula enteral yang digunakan untuk pasien kritis atau stres metabolik dapat
diberikan sejumlah komponen protein dalam bentuk hidrolisis di- atau tripeptida. 
Syarat lainnya yang perlu diperhatikan ketika memilih formula pada pasien ini mencakup antara
lain:
 Prosentase kilokalori total yang lebih rendah dari lemak, dengan bagian lemak disuplai
dalam benuk MCT
 Fortifikasi dengan ultratrace mineral dan zat-zat gizi esensial.
 Rasio potassium terhadap nitrogen yang sesuai.
Disfungsi gastrointestinal. 
Pasien-pasien dengan disfungsi gastrointestinal biasanya tidak dapat mendigesti dan
mengabsorpsi  zat gizi intake, terutama protein dan lemak. Untuk alasan ini, formula enteral
yang digunakan paling sering pada disfungsi gastrointestinal oleh yang menyediakan protein
dalm bentuk peptida dan asam amino bebas, dan memberikan kilokalori total lemak yang rendah,
dengan trigliserida rantai sedang sebagai sumber lemak primernya.
Pertimbangan relevan lainnya saat memilih formula untuk pasien ini termasuk mamfaat potensial
sejumlah glutamin tambahan, yang merupakan substrat metabolik penting untuk sel-sel mukosa
usus, dan arginin untuk meningkatkan sintesis kolagen luka dan protein dan memperbaiki fungsi
kekebalan seluler.
 
Formula enteral untuk penyakit tertentu (spesifik)  
Formula untuk penyakit spesifik dirancang untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan metabolik
dari suatu kondisi kronik dan untuk mengkompensasi adanya disfungsi organ dengan
memberikan kombinasi makronutrien yang optimal, serta mikronutrien dan ultra trace mineral. 
Formula untuk penyakit spesifik ini juga mengandung zat gizi seperti arginin, taurin, dan
glutamin yang penting pada berbagai status penyakit.
Kebanyakan formula untuk penyakit spesifik ini dapat digunakan dalam bentuk suplemen
nutrisional oral sebagaimana pemberian enteral lewat tube. Formula enteral untuk penyakit
spesifik ini tersedia untuk kondisi berikut :

Intoleransi glukosa. 
Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien dengan gangguan metabolisme insulin adalah untuk
mencapai dan mempertahankan kadar glukosa serum senormal mungkin. Karena cairan
karbohidrat konsentrasi tinggi lebih cepat diserap dibanding cairan yang berisi lemak sebagai
karbohidrat, kontrol glikemik yang lebih baik dicapai pada pasien dengan intoleransi glukosa
dengan menggunakan formula yang rendah karbohidrat dan tinggi lemak. Penelitian
menunjukkan bahwa beberapa pasien memiliki respon glikemik post prandial yang lebih rendah
pada saat diberi nutrisi rendah karbohidrat dan tinggi lemak. Pasien-pasien ini termasuk
diantaranya pasien diabetes mellitus tipe 1 dan 2, begitu pula pasien hiperglikemia terkait dengan
kondisi medis lainnya (termasuk penyakit pankreas, stres, diabetes yang diinduksi oleh zat
kimiawi atau obat-obatan dan sindrom genetika tertentu).
 
Profil lemak. 
Kelainan sekresi atau metabolisme insulin juga menyebabkan dislipidemia pada pasien diabetes.
Kelainan lemak ini merupakan faktor resiko tingginya penyakit aterosklerotik vaskular yang
cepat pada pasien diabetik. Hal ini disarankan agar asam lemak tersaturasi menyuplai < 10 %
dari energi total dan asam lemak polyunsaturated memberi tidak lebih dari 10 %. Sisa energi
disediakan oleh asam lemak monounsaturated. Intake kolesterol harian sebaiknya < 300 mg. hal
ini menunjukkan bahwa dengan menggantikan beberapa karbohidrat dengan sumber lemak yang
kaya akan asam lemak monosaturasi dapat memberi kontrol glikemik yang lebih baik tanpa
meningkatkan faktor resiko penyakit kardiovaskular.
Serat dan myoinositol. Zat gizi lainnya yang membantu penatalaksanaan intoleransi glukosa
antara lain serat dan myoinositol. Formula dengan tambahan serat dapat membantu menjaga
fungsi usus normal dan penting bagi pasien dengan perubahan peristaltik saluran cerna akibat
neuropati diabetik. Intake serat yang disarankan adalah   10 – 13  gr / 1000 kcal.
Myoinositol merupakan alkohol siklik dengan struktur kimiawi yang menyerupai glukosa.
Pertimbangan myoinositol sebagai zat gizi esensial meningkat karena myoinositol trifosfat
merupakan kurir kedua bagi stimuli hormonal yang dimediasi reseptor dalam mobilisasi kalsium
intraseluler. Myoinositol juga merupakan substrat biosintesis phosphatidyl inositol dan
polyphospoinositide yang merupakan komponen esensial biomembran. Defisiensi myoinositol
berdampak pada munculnya nefropati dan neuropati diabetik. Fungsi myoinositol dalam
konduksi saraf adalah dengan memodulasi enzim sodium-potassium ATP-ase. Karena glukosa
dan myoinositol memiliki struktur yang mirip, dua substansi ini berkompetisi memperebutkan
transport pembawa kedalam jaringan. Kompetisi ini berakibat munculnya deplesi myoinositol
selektif pada saraf perifer dan glomerulus ginjal. Selanjutnya, pasien dengan diabetes melitus
akan kehilangan myoinositol secara berlebihan melalui urine.
 
Kegagalan pernafasan akut. 
Kegagalan pernafasan akut dapat terjadi akibat adanya cedera langsung pada parenkim paru,
seperti kontusio, inhalasi zat toksik, atau trauma dada ; dapat pula disebabkan oleh cedera tidak
langsung seperti sepsis, shock, atau multipel trauma pada bagian lain dari tubuh.
Kerusakan paru-paru memiliki mekanisme kompleks dan mengakibatkan pelepasan sejumlah
mediator jaringan dan inflamasi. Aktifasi respons inflamasi melalui pelepasan produk seperti
faktor nekrosis dan tumor (TNF α), interleukin-8 (IL-8), leukotrin B4 (BT B4), oksidan-oksidan,
lekosit, dan enzim yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi platelet, dan pembekuan
intravaskuler.
Hal ini dapat menyebabkan buruknya perfusi vaskuler, edema alveolar, dan yang paling parah
kegagalan pernafasan. Pada saat yang sama perekrutan sel-sel inflamasi pada sirkulasi lokal
meningkat, yang lebih lanjut dapat menimbulkan resiko fungsional dan struktural terhadap
jaringan paru.
 
Regulasi kerusakan paru melalui asam-asam lemak. 
Dalam model kerusakan paru akut yang berbeda, bukti menunjukkan bahwa diet berisi
eicosapentaenoil acid (EPA),  asam linoleat gamma (GLA) dan antioksidan dapat mengurangi
permeabilitas mikrovaskuler paru-paru, infiltrasi neutrofil dan sintesis eucasanoid. Selanjutnya, 
hemodinamika kardiovaskuler, pertukaran gas, dan fungsi makrofage alveolar membaik dengan
diet tipe ini. 
 
Suplementasi antioksidan. 
Inflamasi paru-paru dapat menghasilkan metabolik oksigen toksik termasuk anion superoksida,
hidrogen peroksida, radikal hidroksil, dan asam hipoklorat. Radikal-radikal oksigen toksik ini
dapat merusak sel-sel parenkim dan sel endotel, peroksidasi lemak inisiasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler. Cedera paru akibat radikal oksigen toksik normalnya dapat dicegah
dengan antioksidan endogen yang berada dalam epitel. Antioksidan-antioksidan ini antara lain
protein serum  seruloplasmin dan tranferin, vitamin C, vitamin E, β-caroten dan glutathion
terededuksi. Beberapa penelitian terakhir telah mendokumentasikan perubahan kadar
seruloplasmin dan transferin, vitamin E, dan glutathion pada cairan bilasan bronkoalveolar dan
serum yang berasal dari pasien dengan cedera paru-paru. Temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa beban oksidan diproduksi dari inflamasi paru-paru pada cedera paru dan
dapat melampaui antioksidan endogen dan berperan lebih jauh terhadap cedera. Suplementasi
dengan antioksidan eksogen termasuk dengan vitamin E, vit.c, β-caroten, taurin, selenium dan
molybenum dapat memperlambat cedera paru yang terjadi akibat adanya inflamasi pulmonal dan
kemudian terjadi pelepasan metabolit oksigen toksik. Fungsi taurin sebagai antioksidan utama
menjaga permeabilitas membran yang disebabkan oleh oksidasi dan kerusakan bronki yang
disebabkan oleh NO2.
 
Modifikasi rasio karbohidrat / lipid. Beberapa pasien dengan kondisi serius dapat mengalami
retensi CO2. Pada kasus ini, disarankan untuk mengurangi kalori total dan rasio karbohidrat
terhadap lemak untuk menurunkan produksi CO2.

Air. 
Karena pasien dengan gagal pernapasan akut & COPD seringkali  memerlukan
retriksi/pembatasan cairan dan diuresis, formula enteral yang dapat membantu adalah tinggi
kalori dan kandungan air yang rendah. Untuk pasien dengan retriksi cairan, formula yang
memberikan sedikitnya 100% RDI vitamin dan mineral dalam volume total yang rendah (<1400
cc) amat berguna. 
 
Fosfor. 
Pasien yang bergantung pada ventilator cenderung mengalami hipofosfotemia dan menimbulkan
reduksi terhadap transport oksigen. Karena penurunan 2,3- difosfogliserat dalam sel darah
merah, afinitas oksigen terhadap hemoglobin meningkat, menyebabkan hipoksia jaringan.
Selanjutnya, ATP jaringan , yang merupakan campuran fosfat mayor kaya energi untuk fungsi
sel, menurun. Karena hifofosfotemia dilaporkan dapat menyebabkan kegagalan pernafasan, perlu
dilakukan perawatan untuk memastikan intake  100% RDI fosfor, dengan tambahan
suplementasi fosfor sesuai kebutuhan.
 
Pengalaman klinik. 
Suatu penelitian yang dilakukan multisentra, pada pasien dengan ARDS sekunder karena sepsis,
pneumonia, trauma, atau cedera aspirasi  menunjukkan bahwa penggunaan formula enteral
dengan EPA, GLA dan antioksidan dapat mereduksi waktu ventilasi mekanik dan munculnya
kegagalan parenkim yang baru, sebagai tambahan terhadap perubahan lain yang dapat
memperbaiki fungsi pernapasan.  Penggunaan jenis formula ini berhubungan dengan influx
protein paru yang rendah, dan hitung netrofil rendah, begitu pula kadar pada IL-8,  TNF α dan
LT B4 dibanding  pasien-pasien yang menerima formula konvensional. Temuan ini
menunjukkan bahwa formula yang diperkaya dengan minyak tertentu dan antioksidan menjadi
adjuvan yang bermanfaat dalam penatalaksanaan pasien-pasien dengan inflamasi paru.
 
Penyakit paru obstruksi kronik (COPD). 
Banyak pasien dengan COPD dan kegagalan pernapasan menimbulkan gejala malnutrisi
bermakna yang mengakibatkan gangguan pada otot-otot pernapasan. Banyak dari pasien ini
terkena oleh karena retensi CO2 dan oksigen darah tereduksi. Salah satu tujuan terapi nutrisi ini
adalah untuk mereduksi kadar CO2 dalam darah. Serat  karbohidrat, protein dan lemak
dimetabolisir, CO2 dihasilkan  dan O2 dikonsumsi. Respiratory Quetient (RQ) menunjukkan
rasio CO2 yang dihasilkan terhadap O2 yang dikonsumsi selama proses tersebut. CO2 yang lebih
banyak dihasilkan oleh metabolisme karbohidrat dibanding protein atau metabolisme lemak. RQ
untuk karbohidrat 1.0 , protein 0.8 dan lemak 0.7.
Diet dengan proporsi kalori lebih tinggi dari lemak dibanding kalori dari karbohidrat dapat
mengurangi produksi CO2 dan quotient pernapasan dapat menurunkan kebutuhan  oksigen
jaringan. Fenomena ini tampaknya hanya bermakan klinis pada saat pemberian sejumlah besar
kalori. Jenis formula ini diindikasikan untuk pasien yang memerlukan  sejumlah besar kalori,
untuk pasien yang mengalami hiperkapnia sehingga menimbulkan insufisiensi pernapasan, dan
pada pasien dengan insufisiensi pernapasan yang mengalami kesulitan lepas dari ventilator
sehubungan dengan hiperkapnianya.
 
Penyakit ginjal. 
Pasien-pasien dengan penyakit, ginjal memerlukan evaluasi cermat mengenai kebutuhan
nutrisinya yang dapat dimodifikasi tidak hanya sehubungan dengan perkembangan penyakit,
namun juga menjadi terapi. Pada pasien yang menjalani dialisis, hilangnya protein yang
disebabkan oleh metode ini juga perlu dipertimbangkan. 
Pasien sebelum dialisis seringkali mengalami retriksi intake protein lebih besar dibanding pasien
yang menjalani dialisis kronis. Sejalan dengan terganggunya fungsi ginjal, perlu reduksi dalam
suplai fosfor, cairan, potassium dan sodium untuk membatasi akumulasi mineral-mineral ini dan
mencegah terjadinya hipertensi.
 
Rasio kilokalori nonprotein terhadap nitrogen. 
Secara umum, pasien ginjal diuntungkan dengan formula padat kalori. Karena formula ini dapat
meminimalkan volume cairan, memberikan rasio kilokalori nonprotein terhadap nitrogen (NPK :
N) yang cukup untuk menyerap nitrogen secara optimal dan mencegah uremia. Pada pasien
sebelum dialisis biasanya dipertahankan pada protein rendah, diet padat kalori yang membatasi
elektrolit dan cairan. Untuk menggunakan nitrogen secara optimal pada pasien predialisis, rasio
NPK : N yang sering digunakan adalah > 350 : 1. Diet protein dapat dikurangi hingga  pada 1,2
gr/ kg/ hari saat pasien mulai menjalani dialisis kronik. Meskipun intake protein ini biasanya
dapat ditoleransi dengan baik, hal ini masih penting bagi pasien dialisis kronis untuk menjaga
rasio NPK : N ( 150 : 1 ) untuk optimalnya penggunaan nitrogen. 
 
Vitamin dan mineral. 
Vitamin dan mineral yang sering dibatasi pada pasien penyakit ginjal stadium akhir ESRD antara
lain fosfor, magnesium, vitamin A, dan vitamin D.  Sehubungan dengan potensi terjadinya
oxalosis, vitamin C sebaiknya tidak berlebihan.  Pasien  ESRD mendapat keuntungan dari
peningkatan pemberian vitamin B6 dan asam folat. 
 
Elektrolit
Kebutuhan elektrolit pada pasien ESRD dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor klinis, antara
lain penyakit ginjal penyerta, kondisi penyerta lainnya, jumlah fungsi ginjal residual, dan
pengobatan sebelumnya. Untuk alasan ini, pemilihan formula makanan yang memiliki
kandungan elektrolit rendah dapat memudahkan tiap individu  mendapatkan suplementasi
seperlunya.
 
Karbohidrat dan lemak. 
ESRD seringkali merupakan suatu penyakit sekunder terhadap DM yang lama. Oleh karena itu,
penting untuk mengevaluasi komponen karbohidrat dan lemak dalam formula feeding tube atau
suplemen oral. Pasien Diabetik dengan ESRD mendapatkan keuntungan dari formula yang
mendistribusikan kilokalori non protein yang sama antara karbohidrat dan lemak. Untuk
menghindari peningkatan kadar lipid serum, campuran lemak harus sesuai dengan rekomendasi
sebelumnya.
 
Penyakit Hati. 
Malnutrisi sering terjadi diantara pasien dengan penyakir hati berat. Status gizi amat
berhubungan dengan perjalanan klinis, terutama terhadap mortalitas pembedahan pada pasien
transplantasi. Fakta terakhir ini membuat dukungan nutrisi yang adekuat menjadi penting pada
pasien-pasien ini. Berbagai mekanisme yang terlibat dalam malnutrisi, antara lain penurunan
ingesti karena anorexia, merasa cepat kenyang karena asites, retriksi sodium, diet asupan yang
tidak diresepkan secara adekuat, efek samping pengobatan, dan berbagai derajat malabsorbsi dan
hipermetabolisme. Bila formula enteral polimer standar dapat diberikan pada pasien dengan
gagal hepar, maka ada beberapa kondisi yang dapat membantu oleh pemberian formula ini. 
 
Sindrom asitik edematosa. 
Sindrom ini secara signifikan dapat membatasi suplai sodium dan air, terutama pada saat
sindrom tidak merespon balik terhadap pengobatan. Oleh karena itu penting pada kasus-kasus ini
untuk menggunakan formula dengan konsentrasi kalori yang tinggi ( >1,5 kcal/ml ) dan
kandungan sodium rendah.
 
Ensefalopati Portal-Sistemik (PSE). 
Pasien  dengan sirosis hati biasanya mengalami status hiperkatabolik dan memerlukan suplai
protein tinggi untuk mencapai keseimbangan nitrogen positif. Berbeda dengan perkiraan,
kebanyakan pasien dengan insufisiensi hepatik mentoleransi suplai diet protein tanpa munculnya
PSE, terutama bila proteinnya disertai jumlah kalori nonprotein yang cukup untuk mencegah
katabolisme protein. Namun, terdapat sekelompok kecil pasien dengan PSE yang tidak berespon
terhadap terapi khusus atau timbul PSE bila diet protein dinaikkan untuk meraih keseimbangan
nitrogen positif. Peningkatan rasio kalori nonprotein terhadap nitrogen dalam rangka untuk
mengurangi pembentukan amonia dan urea dapat memperbaiki PSE dengan menjaga protein diet
dibawah kadar rekomendasi. Dalam situasi ini, formula yang diperkaya dengan asam amino
rantai cabang dapat digunakan meskipun manfaatnya masih diperdebatkan. Kebanyakan pasien
dengan insufisiensi hepar mengalami malabsorpsi pada derajat tertentu menunjukkan
ketidakcukupan sekresi garam empedu, pertumbuhan bakteri usus berlebihan, atau insufisiensi
pankreas. Absorpsi lemak dapat membaik dengan menggantikan sejumlah lemak dalam formula
dengan asam lemak rantai sedang.
 
Intoleransi glukosa. 
Pasien dengan penyakit hati biasanya mengalami intoleransi glukosa pada derajat tertentu yang
utamanya disebabkan oleh resistensi insulin perifer. Formula yang tepat dapat digunakan untuk
penyakit hati harus berisi kompleks karbohidrat dan serat tambahan untuk membantu regulasi
gula darah.
 
Vitamin dan trace elements. 
Defisiensi vitamin disebabkan oleh berbagai mekanisme dan seringkali terjadi sehingga
penyediaan vitamin dan mineral yang adekuat merupakan salah satu faktor dalam terapi nutrisi
untuk penyakit hepar. Pasien dengan kolestasis lama biasanya mengalami malabsorpsi vitamin
larut lemak. Perlu dicatat bahwa pasien alkoholik dapat muncul defisiensi thiamin akut dengan
akibat gangguan neurologis yang ireversibel, terutama pada saat infus glukosa atau pemberian
makanan ulangan.
Defisiensi zink/ seng juga sering terjadi dan penggantian dapat menjadi kunci perbaikan klinis
pasien. Kolestasis menurunkan ekskresi tembaga dan disarankan agar memberi diet dengan
membatasi tembaga.
 
Serat. 
Serat dalam formula dapat membantu untuk mengurangi absorpsi amonia dalam colon dan
mengurangi frekuensi konstipasi atau diare.
 
HIV / AIDS. 
Pasien dengan HIV/ AIDS memiliki kebutuhan gizi spesifik sehubungan dengan proses penyakit 
dan terganggunya status gizi pada gangguan imun. Pasien-pasien ini beresiko tinggi untuk
munculnya malnutrisi kalori protein (PCM) dan berbagai defisiensi zat gizi spesifik seperti
Vitamin E, vitamin C, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, zat besi, zink dan selenium.
 
Malnutrisi Kalori Protein (PCM) 
PCM sering terjadi pada pasien HIV / AIDS dan merupakan tipe malnutrisi terkait sindrom
wasting yang sering terlihat pada populasi pasien ini. PCM berhubungan   dengan : 
 Berkurangnya ukuran thymus
 Hilangnya aktifitas sel NK
 Hilangnya sel T helper CD4+
 Berubahnya migrasi limfosit mukosa usus
 Hilangnya aktifitas sistem komplemen.
Kebutuhan protein meningkat saat intake kalori terbatas seperti pada anorexia, rasa cepat
kenyang, auatu kesulitan mengunyah atau menelan. Pasien dengan  HIV/ AIDS dapat dibantu
dengan formula enteral dengan banyak protein dan rasio NPK: N yang lebih rendah dari  produk
enteral tinggi protein standar yang biasa tersedia.
 
Asam lemak N-3. 
Asam α linolenat dan turunan rantai panjangnya, asam docosahexanoat (DHA) dan asam
eicosapentanoat (EPA) merupakan asam-asam lemak N-3. Meningkatnya kejadian menunjukkan
bahwa asam lemak penting ini dan memiliki metabolisme yang berbeda.
Meskipun EPA secara struktural mirip dengan asam arakhidonat n-6, EPA membentuk
serangkaian 3 prostaglandin (tromboxan A3) dan 2 leukotrin, sementara asam arakhidonat
membentuk 2 seri prostaglandin (tromboxan A2) dan 4 seri lekotrin. Prostaglandin dan lekotrin
yang dihasilkan oleh asam lemak n-3 menimbulkan status anti agrgasi platelet dan netrofil yang
lebih bersifat vasodilator dibanding yang dihasilkan oleh asam lemak  n-6. Diet tambahan
dengan asam lemak n-3 terkait dengan penurunan produksi prostaglandin seri 2 yang bersifat
imunosupresif dan memperbaiki respons imun yang dimediasi oleh sel. Untuk alasan ini, formula
yang berisi asam lemak n-3 dibanding n-6 bermanfaat bagi pasien dengan gangguan sistem imun
atau terhadap pasien yang mengalami respon inflamasi sistemik terhadap cedera atau infeksi.
(lihat BAB 4 untuk ulasan lengkap tentang asam lemak n-3 dan n-6).
 
Trigliserida rantai medium (MCT) 
MCT memberikan ketersediaan sumber energi tanpa efek imunosupresif dari trigliserida n-6
rantai panjang.
MCT dapat dengan mudah diabsorpsi tanpa lipase pankreas atau garam empedu dan seringkali
digunakan untuk pasien dengan malabsorpsi dan maldigesti. MCT dapat berperan dalam
berperan dalam perbaikan pengosongan lambung dan absorpsi usus. Zat ini dapat dihidrolisis
sempurna pada mukosa usus dan lebih cepat dioksidasi dibanding asam lemak rantai panjang
oleh berbagai jaringan termasuk oleh hati, usus halus dan otot rangka.
 
Serat 
Diet serat berguna dalam meregulasi fungsi usus terutama pada pasien-pasien diare. Pasien 
dengan berak encer, jarang buang air, membentuk feses yang lebih baik dan waktu transit yang
lebih lama bila diet serat ditambahkan dalam makanan.
 
Vitamin dan mineral
HIV/ AIDS terkait dengan defisiensi vitamin E, Vitamin C, asam folat, Vitamin B6 dan vitamin
B12, juga  mineral besi, zink, dan selenium. Para dokter harus memastikan agar pasien HIV/
AIDS menerima formula enteral yang ditambahkan dengan zat gizi ini. Pemberian makanan
terhadap pasien-pasien ini juga termasuk ultratrace mineral, dan zat gizi esensial lainnya.
 
Lipodistrofi yang terkait AIDS.
Patogenesis lipodistrofi yang terkait AIDS masih belum jelas. Digambarkan dengan adanya
anomali lemak serum dan redistribusi lemak tubuh. Lemak tubuh yang terdistribusi ini terdiri
atas akumulasi lemak dibagian bawah dan disamping perut, penurunan massa otot ekstremitas
atas dan bawah, pertumbuhan payudara pada wanita dan akumulasi lemak pada punggung
bawah. Kelainan lipid digambarkan dengan peninggian trigliserida, kolesterol total, VLDL dan
LDL juga peningkatan HDL. Sebagai  tambahan , pasien mengalami perubahan glukosa darah,
resistensi terhadap insulin, dan peningkatan peptida C.
Lipodistrofi ini juga disebut lipodistrofi Crix Bell karena banyak pasien dengan kelainan ini
menjalani pengobatan dengan MSD Crixivan. Bagaimanapun sekitar 78 % pasien yang
mengalami gejala ini telah diobati sedikitnya satu inhibitor protease virus. Secara umum
gejalanya sangat mirip dengan sindrom cushing.
Pasien perlu disarankan agar berhenti merokok, mengurangi konsumsi lemak tersaturasi dan
olahraga teratur. Penting untuk menambah diet dengan asam lemak n-3 dan antioksidan untuk
mengurangi trigliserida dan mencegah oksidasi yang dimediasi penyakit arterial. Saran untuk
pengobatan rendah lemak  bergantung penilaian medis dan perlu diberikan secara hati-hati untuk
mencegah ketidaksesuaian dengan obat lain.
 
Pertimbangan- pertimbangan untuk evaluasi formula enteral khusus. Saat memutuskan
untuk menggunakan tipe formula tertentu, perlu dipertimbangkan hal-hal dibawah ini  :
 Profil zat gizi perlu disesuaikan dengan anomali metabolik yang ada dengan kebutuhan
nutrisi  khusus untuk situasi klinis tertentu.
 Keputusan perlu didasarkan pada penelitian terkontrol, acak, dan perpektif (bukan studi
kasus).
 Informasi yang diperoleh dari model hewan hanya dapat digunakan secara terbatas pada
manusia.
 Aplikasi klinis berdasarkan penelitian pada produk tertentu belum tentu baik untuk
produk lainnya.
 Informasi yang didapatkan pada penggunaan produk pada penyakit tertentu tidak dapat
disamakan dengan populasi lainnya (seperti hasil yang didapatkan dengan formula tertentu yang
diberikan terhadap pasien luka bakar tidak perlu diberikan pada pasien trauma).
 Saat mengevaluasi formula yang diberikan, diperlukan pengguanaan kriteria yang teliti
dalam penilaiannya.
Sistem terbuka dan tertutup
Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan melalui sistem terbuka maupun tertutup. Sistem
terbuka menggunakan kantung tempat formula. Hal ini memudahkan manipulasi kandungan zat
gizi bila diperlukan. Sistem tertutup merupakan sebuah unit tersegel yang berisi formula enteral
yang tidak dapat ditambah lagi. 
Keduanya memiliki keuntungan dan kerugian. Sistem terbuka lebih mudah terkontaminasi,
karena membutuhkan banyak penanganan dan formula harus dipersiapkan dalam jumlah kecil
untuk mencegah tergantung dalam waktu lama. Sehingga sistem terbuka memerlukan
pengawasan lebih ketat. Sistem tertutup tersegel pada saat proses pengepakan. Dan hal ini untuk
menjaga mutunya. Sistem ini dapat memengurangi kemungkinan manipulasi dan kontaminasi,
juga mengurangi penanganan dan sampah karena mudah digunakan. Namun, sistem tertutup
perlu penanganan secara hati-hati dan perlu mengikuti instruksi untuk mencegah kontaminasi
saat membuka kontainer. Begitu sistem dihubungkan, durasi pemberian makanan antara 24 – 48
jam, tergantung mereknya. Setelah melewati waktunya, kontainer/ kantong tersebut harus
dibuang. 
Keputusan penggunaan sistem yang mana bergantung pada evaluasi oleh institusi atau rumah
sakit, sumber dana yang tersedia, kuantitas dan tipe formula, ketersediaan waktu dan staf ahli
gizi dan perawat terlatih.
 
KESIMPULAN
Pemberian nutrisi enteral merupakan bentuk terapi nutrisi yang memuaskan dan bagian penting
bagi penatalaksanaan medis. Pemilihan formula penting untuk meningkatkan keuntungan nutrisi
dan toleransi terhadap makanan. Untuk memilih formula yang tepat, para dokter harus
memperhatikan kondisi klinis pasien termasuk diantaranya status penyakit yang ada sebelumnya,
kebutuhan metabolik, kapasitas pencernaan dan absorpsi  dan lokasi dan diameter feeding tube.
Formula enteral standar direkomendasikan pada pasien dengan fungsi gstrointestinal normal
yang tidak membutuhkan zat gizi tertentu. Untuk pasien dengan perubahan kebutuhan zat gizi
makro dan mikro akibat  penyakit akut atau kronis, perlu pemilihan formula khusus. Formula ini
tersedia dalam bentuk kadar protein yang tinggi, berbagai derajat hidrolisis zat gizi makro atau
sejumlah zat gizi esensial yang diketahui menguntungkan terhadap kondisi klinis tertentu.
Kemajuan dalam formula enteral membantu keberhasilan pemberian makanan enteral dalam
berbagai kondisi klinis yang sebelumnya tidak dapat ditoleransi atau tidak memungkinkan,
terutama pada saat kritis.

REFERENSI
Program manual Total Nutritional Therapy - TNT. Chapter 14
Penanganan Luka Bakar

PENDAHULUAN
Luka bakar menjadi masalah oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan
perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas
dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di Amerika dilaporkan sekitar 2 – 3 juta penderita setiap
tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 – 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai
saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka
kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 1998 dilaporkan
sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, 62 % dari jumlah tersebut merupakan luka bakar
derajat II – III( > 40 %) dengan angka kematian 37,38%. Angka ini lebih kurang sama dengan
tahun berikutnnya,  di tahun 1999 jumlah kasus yang dirawat adalah 88 kasus, 75 % dari jumlah
tersebut merupakan luka bakar derajat II – III dan dengan angka kematian > 40 %dengan masa
rawat terpanjang antara 32 – 38 hari.1,2
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data bahwa kematian umumnya
terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera
pada saluran napas. 2
Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa perawatan (masalah jangka pendek).
Sementara sisa kasus yang bertahan hidup menghadapi masalah tersendiri, antara lain lamanya
masa perawatan yang berkisar antara 40– 14 hari hari rawat dan dengan penyulit yang timbul
(masalah jangka panjang).1, 2
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera berat yang memerlukan penatalaksanaan
sebaik-baiknya sejak awal. Peran masyarakat yang berhadapan langsung serta pertolongan
petugas yang menerima kasus ini pertama kali  sangat menentukan perjalanan penyakit ini
selanjutnya.1
Pada umumnya pasien luka bakar datang akan  mengalami ancaman gangguan airway (jalan
napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway
tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma, namun masih dapat
terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi dalam 48 – 72 jam pascatrauma. Cedera
inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut.2
Pada fase ini dapat terjadi pula gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat
cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Pada luka bakar berat atau mayor terjadi
perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein
dan elektrolit) dari intravaskular ke jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya
hipovolemik intravaskular dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik
terganggu sehingga sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan gangguan
perfusi sel atau jaringan atau organ (syok). Syok yang timbul harus segera diatasi dengan
melakukan resusitasi cairan. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan
keadaan hiperdinamik yang masih berkaitan dengan instabilitas sirkulasi.2

PENILAIAN LUKA BAKAR


1.    Derajat Kedalaman Luka Bakar
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber,
penyebab, dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Pembagiannya terdiri atas 3 tingkat atau
derajat, yakni: 2, 13

1. Luka bakar derajat I


Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial), 2, 9, 11 kulit hiperemik berupa eritem, tidak
dijumpai bula, dan terasa nyeri dengan intensitas ringan – sedang karena ujung-ujung saraf
sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu singkat (beberapa hari)
tanpa pengobatan khusus.2

2. Luka bakar derajat II 


Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, 2, 9 berupa reaksi inflamasi disertai proses
eksudasi dan terdapat bula. Luka ini menimbulkan nyeri sedang – berat karena terangsangnya
nosiseptor dan tereksposnya ujung saraf bebas akibat kerusakan jaringan dermis yang berguna
sebagai pelindung.2 Luka ini dibedakan atas dua bagian, yaitu:
 Derajat II dangkal/superficial (IIA) : Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan
atas dari dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea
masih banyak. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk
sikatriks.
 Derajat II dalam/deep (IIB) : Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan
sisa-sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, dan kelenjar sebasea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut
hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

3. Luka bakar derajat III


Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai jaringan
subkutan, otot, dan tulang.2, 9 Organ kulit mengalami kerusakan dan tidak ada lagi sisa elemen
epitel. Tidak dijumpai bula. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu sampai berwarna hitam
kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Sensasi
hilang dan tidak dijumpai rasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik rusak. 2
Namun umumnya luka bakar derajat III merupakan bagian sentral dengan area luka bakar derajat
II di sekitarnya yang sangat nyeri. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi
spontan.2

2.    Luas Luka Bakar


Ada tiga metode yang umum digunakan dari perkiraan luas daerah luka bakar, dan masing-
masing metode memiliki peran dalam keadaan yang berbeda. Eritema tidak
boleh disertakan ketika menghitung luas daeran yang terbakar. 9, 11 Adapun metodetersebut yaitu,
yaitu:

Luas permukaan palmar (Palmar surface)


Permukaan tangan pasien (termasukjari) kira-kira 0,8% dari total luas permukaantubuh. Permuka
an palmardapat digunakan untuk memperkirakan luka bakar yang relatif kecil (<15% dari total
luas permukaan) atau luka bakar yang sangat luas (>85%). Untuk luka
bakar berukuran sedang, metode ini tidak akurat.2,9, 14

Rumus 9 (Wallace rule of nine) untuk orang dewasa


Metode ini sangat baik, dan umumnnya dipakai dalam memperkirakan persentase luas
permukaan luka bakar (total body surface area - TBSA). Cara perkiraan sangat cepat untuk
perkiraan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa. Wallace membagi tubuh atas
bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 yang dikenal dengan rule of nine atau rule of
Wallace. Luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan,
ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri
masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.2, 9, 11, 13, 14, 15

Gambar 4. Rumus 9 (Wallace  rule of nine) untuk orang dewasa


Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih
besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian
tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak. 2, 9, 13

Gambar 5. Perbandingan estimasi dari luasnya daerah terbakar pada anak-anak dan dewasa.9, 13

Metode Lund dan Browder
Metode ini, jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat. Metode
ini mengkompensasi variasitubuh bentuk  dengan usia sehingga dapat memberikan penilaian
yang daerah luka bakar yang akurat pada anak-anak.9, 14
Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan
persentasenya sama dengan dewasa.
Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan
persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Tabel 2. Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body
surface area affected by burns in children.

Kulit berpigmen biasanya sulit untuk dinilai, dan dalam kasus seperti ini mungkin perlu


untuk menyingkirkan semua lapisan epidermis longgar untuk menghitung ukuran luka bakar.9
Sangatlah penting untuk menilai semua bagian tubuh yang terkena luka
bakar. Selama penilaian, lingkungan harustetap hangat. 9 Tutup permukaan yang terpapar luka
bakar ini berguna untuk emncegah kehilangan panas dan mengurangi resiko infeksi. 13 Penutupan
luka bakar juga sangat perlu sebab dengan adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar
akan memperberat nyeri.13
Pada pasien ini dalam mengitung luas permukaan luka bakar sebagai dasar resusitasi cairan
digunakan Rumus 9 (Wallace  rule of nine). Hal ini dikarenakan metode ini sangat baik, dan
umumnnya banyak digunakan oleh praklinisi. Selain itu cara perkiraannya juga sangat cepat
untuk memperkirakan luas luka bakar pada pasien dengan luka bakar sedang sampai berat pada
orang dewasa.

3.    Berat Ringannya Luka Bakar 2


Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah:
1.    Luka bakar ringan
a.       Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b.      Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c.       Luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
a.       Luka bakar derajat II 15% – 25% pada orang dewasa
b.      Luka bakar derajat II 10% – 20% pada anak-anak
c.       Luka bakar derajat III < 10%
3. Luka bakar berat (mayor burn) 2, 13
a.       Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
b.      Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
c.       Luka bakar derajat III 10% atau lebih
d.      Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum
e.       Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain

Berdasarkan kritieria diatas dimana pasien memiliki luka bakar derajat II dengan luas luka bakar
± 70 %, maka pasien termasuk dalam kriteria luka bakar berat (mayor burn).
TRAUMA INHALASI
1  Patofisiologi
Trauma panas langsung yang disebabkan akibat menghirup udara panas dengan suhu (150 ° C
atau lebih tinggi) biasanya mengakibatkan luka bakar di orofaring, wajah, dan saluran nafas
bagian atas (di atas pita suara). Bahkan udara dengan panas berlebih dengan cepat didinginkan
sebelum mencapai saluran pernafasan bawah karena efisiensi pertukaran panas luar biasa di
orofaring dan nasopharing.4
Panas dan bahan kimia dalam asap menghasilkan cedera langsung pada mukosa saluran nafas,
mengakibatkan edema, eritema, dan ulserasi. 4, 13, 14 Meskipun terjadi perubahan mukosa namun
perubahan anatomis mungkin timbul beberapa saat setelah luka bakar, perubahan fisiologis tidak
akan timbul sampai terjadinya edema yang cukup secara klinis mengganggu patensi jalan napas
atas. Ini tidak mungkin terjadi selama 12 sampai 18 jam. 4
Dalam beberapa keadaan  makin diperburuk oleh keracunan carbon moniksida (CO). Keracunan
ini dapat menyebabkan rasa mual, muntah , sakit kepala sampai gangguan mental, kejang dan 
kematian tergangtung dari level karboksihemoglobin dalam darah penderita.13, 14
Pemberian cairan dengan volume besar yang diperlukan untuk penanganan luka bakar, dan
perlepasan mediator dari kulit yang terbakar, sebagian bertanggung jawab memperberat cedera.
Oksidan dari asap dan dari sel-sel inflamasi merupakan penyebab utama cedera. 4

2.  Tahapan Klinis
Perjalanan klinis pasien dengan cedera inhalasi dibagi menjadi tiga tahap: 5
a.    Tahap  Pertama
Insufisiensi paru akut - Pasien dengan cedera paru berat akan menunjukkaninsufisiensi paru akut
dalam 0-36 jam setelah cedera dengan asfiksia, keracunankarbon
monoksida, bronkospasme, obstruksi saluran napas atas dan kerusakanparenkim.
b.    Tahap  Kedua
Edema paru - Tahap kedua ini terjadi pada 5-30% pasien, biasanya 48-96 jam setelahterbakar.
c.    Tahap Ketiga
Bronchopneumonia - Muncul di 15-60% dari jumlah pasien dengan laporan angka kematian 50-
86%. Bronchopneumonia biasanya terjadi 3-10 hari setelah luka
bakar,sering berkaitan dengan  dahak lendir yang banyak
yang terbentuk di cabangtracheobronchial. Pneumonia muncul dalam beberapa
hari pertama biasanya karenaspesies staphylococcus resisten penisilin, dan setelah 3-
4 hari, terjadi perunahan florapada luka bakar luka ini tercermin dalam gambaran pada paru-
paru spesies gramnegatif, terutama spesies Pseudomonas.

3    Diagnosa
Deteksi dini cedera bronkopulmonalis sangat penting dalam meningkatkankelangsungan
hidup setelah dicurigai adanya trauma inhalasi.5
Tanda  Klinis :  Adanya riwayat paparan asap di ruang tertutup (pasien dengan stuporatau sadar)5, 13, 14
Temuan Fisik: luka bakar wajah / hangus pada bulu hidung / bronchorrhea / dahakdengan jelaga
(Spooty sputum), teumuan auskultasi (whezing atau rales).5, 13, 14
Laju pernafasan yang cepat di indikasikan akibat terjadinya kerusakan saluran nafas bawah yang
di pengaruhi oleh edema yang terjadi kemudian atau bisa juga diindikasikan akibat inhalasi asap
dengan keracunan metabolik.14
Temuan laboratorium: hipoksemia dan / atau peningkatan kadar karbon monoksida 5, 13

4    Metode Diagnostik
Chest X-ray kurang membantu dan merupakan metode
yang kurang sensitif karenapasien masuk sangat jarang ditemukan abnormal dan mungkin masih 
tetap normalselama tujuh hari kedepan setelah luka bakar.5, 14
Metode diagnostik standar pada setiap pasien luka bakar adalah bronkoskopi untuk
cedera saluran nafas bagian atas.5, 14
 Temuan positif adalah: edema jalan napas,peradangan,
nekrosis mukosa,  adanya jelaga pada saluran nafas, jaringan yang luruh,material
karbon pada jalan napas. Semua pasien yang memiliki tanda klinis cederainhalasi yang
tercantum di atas harus menjalani bronkoskopi baik melalui endotrakeal
tube atau transnasal dengan sedasi untuk menentukan adanya cedera inhalasi.5
Untuk menentukan cedera parenkim metode yang paling spesifik adalah 133 Xe lung
scanning, metode ini melibatkan injeksi intravena gas xenon radioaktif diikuti olehserial chest
scintiphotograms. Teknik ini mengidentifikasi daerah udara yang terperangkap dari
obstruksi jalan nafas parsial atau total dengan gambaran daerahyang menunjukkan menurun laju
gas di alveolar. Selain itu tes fungsi paru dapatdilakukan dan dapat menunjukkan
peningkatan resistensi dan penurunan aliran pada mereka yang abnormal dengan 133 scan Xe.5

5      Penanganan
Perawatan umum
Penanganan dari cedera inhalasi harus mulai segera mungkin dengan pemberianoksigen 100%
melalui masker wajah atau kanul hidung. Hal ini membantu reverse efek dari keracunan CO
dan juga membantu dalam bersihannya.5, 14 Oksigen 100% menurunkan waktu paruhnya  dari 250
menjadi kurang dari 50 menit. 5
COHb level
COHb level Symtoms
0 - 10%           Minimal (normal level in heavy smokers)
10-20%           Nausea, headache                              
20-30%           Drowsiness, lethargy              
30-40% Confusion, agitation
40-50%           Coma, respiratory depression  Death
> 50%
COHb = Carboxyhaemoglobin
 Pemeliharaan jalan napas sangat penting. Jika adanya bukti awal edema saluran napas bagian
atas timbul, intubasi dini diperlukan karena edema saluran udara bagian atas biasanya meningkat
selama 8-12 h. Intubasi propilaktik tanpa indikasi yang baik tidakmesti dilakukan. Metode
intubasi harus dilakukan sesuai dengan yang dianggap familier oleh intubator; baik rute
hidung maupun mulut. Kadang-kadang, cedera sekitar wajah dan leher memungkinkan resiko
edema pada saluran napas, sehinggateknik intubasi standar dengan pelumpuh mungkin tidak
aman. Dalam beberapasituasi, awake  nasotracheal intubasi atau intubasi serat optik, lebih
disukai oleh beberapa personil yang berpengalaman.5
Pengunaan suxsamethonium dapat menyebabkan hiperkalemia akut, hal ini dikarenakan migrasi
ektra-junctional reseptor asetilkolin.  Penggunaannya aman dalam beberapa jam pertama, akan
tetapi tidak boleh digunakan untuk 12 bulan kemudian.14

     Table 4.  Kriteria Intubasi5 
Criteria Nilai
PaO2 (mm Hg)            < 60
PaCO2 (mm Hg)         > 50 (acutely)
P/F ratio          < 200
Respiratory/ventilatory Impending
failure            Upper airway edema             Severe

Menurut Shehan secara klinis indikasi untuk intubasi adalah : 10


 Visualisasi secara langsung didapatkan eritema atau pembengkakan oropharing.
 Perubahan suara dengan batuk yang kasar atau suara serak.
 Stridor, tachypnoe atau dyspnoea
 Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa edema paru tidak dapat dicegah dengan
restriksi cairan. Walaupun overhidrasi dapat menyebabkan edema paru, tetapihidrasi yang
tidak cukup dapat meningkatkan keparahan cedera paru dengan
squestrasi sel polymorphonuclear yang mengarah pada peningkatan mortalitas. Padastudi hewan 
dan study klinis, menunjukkan
bahwa resusitasi cairan sudah cukup jikaindeks jantung normal atau urin output
dapat dipertahankan. Dalam hal ini mungkin diperlukan volume cairan yang lebih banyak
( 2cc/kg /% TBSA luka bakar) dari yang dibutuhkan untuk luka bakar dengan ukuran yang
sama tanpa trauma inhalasi.5
Antibiotik profilaksis untuk trauma inhalasi tidak dianjurkan, tetapi jelas diindikasikanuntuk infe
ksi paru-paru yang didokumentasikan (sebagai terapeutik).5, 13, 14  
Pilihan
empiris untuk pengobatan pneumonia adalah hasil kultur sebelumnnya dimana
harusmencakup jenis methicillin-resisten Staphylococcus aureus pada beberapa hari pertama
setelah luka bakar (ini berkembang dalam minggu pertama setelah luka
bakar) dan organisme gram negatif (terutama Pseudomonas atau
Klebsiella) yangumumnya terjadi satu minggu setelah luka bakar. Pemberian
antibiotik sistemikdidasarkan pada monitoring serial dari kultur sputum, bronkial washing, atau
aspirasi transtraheal.5
Pada pemberian kortikosteroid, dalam beberapa studi klinis dan percobaan pada hewan
didapatkan peningkatan angka kematian dan pada bronkopneumoniamenunjukkan terjadinnya
pembentukan abses yang lebih luas, sehingga penggunaankortikosteroid masih merupakan suatu
kontraindikasi.5, 14

Table  5. Kriteria Ekstubasi  5

Criteria                                                                       Value

PaO2/FiO2 (P/F) ratio                                                             > 250


Maximum inspiratory pressure (MIP) (cm H2O)                 > 60
Spontaneous tidal volume (ml/kg)                                          > 5-7
Spontaneous vital capacity (ml/kg)                                         > 15-20
Maximum voluntary ventilation                                              > present twice the minute

Audible leak around the ET tube with cuff deflated        volume

PATOFISIOLOGI SYOK LUKA BAKAR


Cedera termal memberikan efek sirkulasi sistemik dan manajemen hemodinamik
merupakan penatalaksanaan yang utama. Setelah cedera termal yang masif maka akan terjadi
syok akibat hipovolemik intravaskuler, dan pada sebagian besar kasus dapat terjadi depresi
miokard. Perubahan ini mengakibatkan penurunan curah jantung. Respon tubuh terhadap
turunnya curah jantung akan menimbulkan reflek peningkatan tahanan vaskuler sistemik sebagai
suatu usaha untuk mempertahankan tekanan darah arteri. Namun begitu, jika status turunnya
curah jantung ini dan tingginnya tahanan perifer vaskuler yang akan menetap, maka akan
menyebabkan terjadinnya hipoperfusi jaringan. Hal ini terutaman terjadi pada sirkulasi splanknik
yang sering kali sebagai hasil kompensasi untuk memepertahankan perfusiorgan vital seperti
otak dan jantung. 3
            Walaupun patifisiologi syok luka bakar tidak sepenuhnya dimengerti, beberapa penelitian
yang penting telah dilakukan. Tanda dari syok luka bakar adalah peningkatan yang jelas pada
permeabilitas vaskular baik pada jaringan yang terbakar maupun tidak terbakar. Eksudasi cairan
yang kaya protein pada kompartemen intravaskular kedalam interstitial mengakibatkan
hipovolemia intravaskular dan akumulasi cairan interstitial yang masif. Aliran linfe kutaneus
meningkat secara praktis pada periode segera setelah luka bakar dan tetap tinggi selama hampir
48 jam. Namun begitu akumulasi cairan yang progresive yang berasal dari cairan intravaskuler
kedalam interstitial akan menyebabkan peningkatan aliran linfatik. Hal utama yang berhubungan
dengan penyimpangan cairan dalam jumlah yang besar adalah semua komponen dari hukum
starling. Perubahan yang spesifik termasuk : 3
1. Peningkatan permeabilitas koefesien mikrovaskuler (K) yang disebabkan oleh
pelepasan mediator lokal dan sistemik seperti bradikinin, histamin, platelet activating
factor dan leukotrien. Peningkatan pemeabilitas vaskular melibatkan tidak hanya cairan
dan elektrolit tetapi juga plasma kolid. Pada jaringan yang terbakar, peningkatan
permeabilitas vaskular secara nyata sebagai akibat desrupsi endotelial.
2. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (Pc) akibat dilatasi mikrovaskular.
Hal ini disebabkan karena produksi oksida nitrit dan vasodilator prostaglandin yang
menyebabkan peningkatan aliran darah pada tempat terjadinnya luka bakar sama seperti
daerah yang tidak terkena trauma terpapar mediator infalamasi.
3. Penurunan tekanan hidrostatik interstitial (Pi). Walaupun penyebab nyata
terjadinnya tekanan negatif pada pasien luka bakar belum bisa di mengerti, penomena ini
telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Lund, dkk mengatakan bahwa tekanan negatif 
interstisial pada jaringan luka bakar disebabkan oleh degradasi kolagen
4. Menurunkan tekanan onkotik intra vaskular (πc) diakibatkan oleh kebocoran
protein dari ruang intravaskular.
5. Peningkatan relatif tekanan onkotik interstitial (πi) disebabkan oleh pergerakan
cairan yang kaya akan protein dari ruang intravaskular ke ruang interstisial.

Kebocoran cairan dan protein kedalam ruang interstitial sering kali menyebabkan hilangnya
lapisan interstitial yang ditandai dengan peningkatan aliran limfe. Efek yang nyata dari
perubahan tersebut adalah perkembangan edema yang masiv selama 12 – 24 jam setelah trauma
termal yang disertai dengan hilangnnya volume cairan intravaskular. Perkembangan edema yang
progresive ini sangat tergantung pada kecukupan volume resusitasi karena pemberian cairan
akan berdampak pada perkembangan terjadinnya edema.3
Hipotensi yang dihubungkan dengan trauma luka bakar juga mempunyai peranan dalam
menyebabkan depresi miokard. Respon inflamasi akibat trauma termal menyebabkan
pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin dalam jumlah
yang besar. Mediator TNF-α dan beberapa faktor yang tidak dikenal dianggap berperan dalam
menyebabkan depresi fungsi miokard. Hipotensi disebabkan oleh deplesi volume intravaskular
dan depresi miokard akan menginduksi suatu reflek yang akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sistemik. Semua faktor ini menyebabkan penurunan curah jantung dan
penurunan perfusi jaringan jika pasien tidak diresusitasi secara optimal. Jika pasien dapat
bertahan pada stadium awal luka bakar dan sudah teresusitasi secara edekwat, tingkat
hiperdinamik sirkulasi pasien masih berkembang kurang lebih 3 sampai 4 hari setelah trauma.
Respon hiperdinamik sirkulasi ini dipicu oleh reaksi inflamasi akibat adanya kerusakan jaringan
yang besar akibat luka bakar. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya SIRS ( Sistemic
Imflammatory Response Syndrome) yang ditandai dengan takikardi, menurunnya resistensi
pembuluh darah sistemik dan peningkatan curah jantung.3 
SIRS merupakan suatu tanda tanda yang bersifat berat yang ditandai dengan takikardi, takipnue,
demam, hingga hipotensi yang bersifat refrakter. Dan hal ini merupakan suatu bentuk syok dan
disfungsi multi organ yang bersifat berat. Pada pasien dengan cedera termal, sebagian besar
penyebab SIRS adalah luka bakar itu sendiri. SIRS yang disertai dengan infeksi juga sering
terjadi. Resusitasi yang tertunda atau tidak adekwat merupakan faktor independent untuk resiko
berkembangnnya SIRS.3

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR


Pasien luka bakar memerlukan resusitasi volume cairan yang besar segera setelah trauma.
Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak adekwat merupakan faktor resiko yang
independent terhadap tingkat kematian pada pasien dengan luka bakar yang berat diatas. Tujuan
dari resusitasi pasien luka bakar adalah untuk tetap menjaga perfusi jaringan dan meminimalkan
edema interstitial. Idealnya sedikit cairan dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu
diberikan. Pemberian volume cairan seharusnya secara terus menerus di titrasi untuk
menghindari terjadinnya resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan
pada pasien luka bakar ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga
perfusi jaringan. Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinnya
edema dan terjadinya sindroma kompartement pada daerah abdomen dan ekstremitas. Mengitip
dari Pruitt, “ Paru paru dan kompartement jaringan akan dikorbankan untuk meningkatkan fungsi
ginjal, yang bermanifestasi sebagi edema post resusitasi, kebutuhan fasciotomi pada ektremitas
bawah yang tidak terbakar, dan kejadian strong kompartement pada abdomen”.3
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus digunakan untuk
resusitasi luka bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan mempunyai keuntungan dan
kerugian masing masing pada berbagai macam kondisi. Akan tetapi yang paling penting adalah
apaun jenis cairan yang diberikan, volume cairan dan garam yang adekwat harus diberikan untuk
menjada perfusi jaringan dan memperbaiki homeostatis.3

a.    Kristaloid

Beberapa protokol resusitasi menggunakan kombinasi kristaloid, koloid, dan cairan hipertonik,
telah dikembangkan (Tabel 6).  Resusitasi cairan isotonik kristaloid di gunakan pada sebagian
pusat penanganan luka bakar dan umumnnya merupakan hasil resusitasi yang adekwat. Buffer
cairan kristaloid seperti ringer laktat merupakan cairan yang paling popular untuk resusitasi
sampai saat ini. Formula resusitasi yang klasik di modifikasi oleh Brooke dan Parkland. Formula
modifikasi dari Brooke di kembangkan dari formula Evans dan Brooke yang menyarankan
pemberian 2 ml/ kg / % dari total tubuh yang terkena luka bakar selama 24 jam pertama dan
merupakan jenis formula pertama yang berdasarkan persentase total permukaan tubuh yang
terkena luka bakar. Formula Brooke merupakan modifikasi dari formula Evans yang
mengandung persentase kristaloid yang relatif lebih besar di bandingkan koloid pada formula
Evans. Modifikasi formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru yang
dikembangkan oleh Baxter dan Shires menghasilkan perkembangan 4 ml /kg / % luas permukaan
tubuh yang terkena luka bakar. Setengan dari volume cairan resusitasi diberikan pada 8 jam
pertama dan setengahnya lagi di berikan pada 16 jam berikutnnya setelah trauma. Akan tetapi
perlu diperhatikan bahwa formula ini merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi
cairan di mana pasien harus di monitor secara ketat untuk mengoptimalisasi resusitasi syoks
akibat luka bakar. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama untuk
pasien dengan area luka bakar yang luas sering di prediksi dengan menggunakan rumus
Parkland.3
Kristaloid merupakan cairan yang paling sering digukan untuk resusitasi syok akibat luka bakar.
Sampai saat ini tidak ada studi prosfektif yang dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin
hipertonik memiliki mamfaat yang lebih dibandingkan kristaloid isotonik dalam hal resusitasi
pasien pasien luka bakar. Selain itu kriataloid isotonik lebih murah dibandingkan koloid,
meskipun kerugian penggunaan kristaloid memerlukan volume yang realtif lebih besar untuk
resusitasi syok akibat luka bakar dan berpotensi menyebabkan terjadinnya edema jaringan. Ada
kemungkinan hal ini terjadi akibat resusitasi yang berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat.
Penumpukan cairan ini terjadi terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan studi tidak
memperlihatkan insiden edema paru pada pasien yang menerima resusitasi dengan kristaloid.
Kolm dkk, baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa kebanyakan pasien-pasien luka bakar tidak
memperlihatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru setelah luka bakar dan edema
paru jarang terjadi selama tekanan pengisian intravaskuler dipertahankan dalam batas normal.
Komplikasi potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah
hipoalbuminemia dan ketidak seimbangan elektrolit. Perubahan ini belum memperlihatkan
hubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas.3
Ta
bel  6 . Formula untuk perkiraan resusitasi luka bakar pada orang dewasa.3

Formula                                               Kristaloid                                            Koloid


Formula Kristaloid
   Modifikasi Brooke                             RL 2 ml/kg/% luka bakar    
   Parkland                                             RL 4 ml/kg/% luka bakar

Formula kristaloid + koloid


   Evans                                                   NaCl 1 ml/kg/% luka bakar                  1 ml/kg/% luka
bakar
   Brooke                                                RL 1,5 ml/kg/% luka bakar                  0,5 ml/kg
   Slater                                                   RL 2 ltr / 24 jam                                    FFP 75ml/kg/24
jam
   Demling                                              Dektran dalam saline -                        FFP 0,5-1ml/kg/%
luka
                                                                  2 ml/kg/jam                                           Bakar
                                                                              RL (jaga urin output)

Formula hipertonik
   Monafo (salin hipertonik)                250 mEq sodium / ltr
                                                                  (1-2 ml/kg/% luka bakar)
   Warden                                              RL + 50 mEq NaHCO3
   (Modifikasi hipertonik)                      (4 ml/kg/% luka bakar/8 jam pertama)
                                                                  RL (jaga urin autput/ 8 jam kedua)
                                                                  RL + Albumin
                                                                  (jaga urin autput/ 8 jam ketiga)
 

b.    Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan yang lebih dalam menjaga volume intravaskular
dengan volume yang lebih sedikit dengan waktu yang lebih pendek dibandingkan kristaloid.
Pada pasien dengan endotel yang intak koloid lebih bertahan lama dibandingkan kristaloid dalam
kompartemen intravaskular. Protein plasma memegang peranan yang penting dalam dalam
mempertahankan volume vaskular dengan memberikan tekanan koloidosmotik yang berlawanan 
dengan tekanan hidrostatik intravaskular.3
Meskipun demikian pada pasien luka bakar memperlihatkan penigkatan vermianilitas vaskular
terhadap cairan elektrolit dan kolid sehingga menyebabkan para peneliti mempertanyakan
penggunaan koloid pada 8-24 jam pertama setelah luka bakar. Akibat peningkatan permeabilitas
vaskular yang diobservasi pada luka bakar, koloid mungkin saja tidak bertahan lebih lama dalam
sirkulasi di bandingkan dengan kristaloid. Lebih lanjut beberapa ahli merasa khawatir jika aliran
koloid ke interstitial dapat memperburuk edema.3 
Meskipun demikian tingkat dan durasi permeabilitas vaskuler terhadap protein plasma belum
sepenuhnnya jelas dan sangat tergantung pada beratnya luka bakar.  Kemudian, beberapa
pendekatan empiris terhadap penggunaan koloid pada resusitasi syok luka bakar setelah dibuat
beberapa ahli menganjurkan untuk menghindari penggunaan koloid dalam 28 jam pertama
setelah trauma luka bakar. Mereke berpendapat bahwa koloid belum menunjukkan adanya
keuntungan dibandingkan kristaloid dalam resusitasi akibat syok luka bakar dan dapat
memperburuk edema. Yang lain menganjurkan penggunaan koloid protein pada 8-12 jam
pertama setelah luka bakar, sedangkan kelompok ke tiga mennganjurkan penggunaan koloid
protein selama resusitasi syok luka bakar. Semua pendekatan tadi masih bersifat tidak jelas
karena tidak ada bukti ilmiah yang kuat yang mendukung pendekatan manapun. Studi terhadap
binatang menunjukkanbahwa koloid yang diberikan dalam 8 jam pertama setelah luka bakar
secara signifikan menurunkan kebutuhan cairan total. Beberapa peneliti yang menunjukkan
pemberian albumin pada 6-8 jam pertama setelah luka bakar tidak meningkatkan insiden
komplikasi pulmoner. Meski demikian, resusitasi koloid dalam 24 jam pertama setelah luka
bakar tidak menimbulkan adanya perbaikanout-come  bila dibandingkan dengan resusitasi
kristaloid. Lebih lanjut, meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih tinggi
pada pasien luka bakar yang menerima albumin sebagai protokol resusitasi awal dengan 2,4
resiko relatif mortalitas dibanding dengan pasien yang hanya mendapatkan kristaloid. Meski
demikian, meta-analisis ini diragukan metodeloginnya.  Secara keseluruhan konsensus
dinyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menentukan apakah pemberian albumin
dalam resusitasi luka bakar menguntungkan atau merugikan. Oleh karena biaya yang lebih besar
dan keuntungan yang sedikit, koloid tidak digunakan secara rutin di Amerika serikat untuk
resusitasi awal pada pasien luka bakar. Namun demikian, banyak yang tetap melakukan
pemberian albumin sebagai bagian dari protokol resusitasi luka bakar. Hal ini sangat jelas pada
populasi anak-anak dimana kadar protein plasma menurun secara cepat setelah luka bakar.3

c.    Cairan hipertonik
Penggunaan salin hipertonik baik sendiri maupun bersama sama dengan koloid setelah
dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar. Salah satu
keuntungan dari cairan hipertonik adalah mengurangi kebutuhan volume untuk mencapai tingkat
yang sama dengan cairan isotonik. Secara teoritis pengurangan volume dari koloid yang
dibutuhkan ini akan mengurangi resiko terjadinya resiko edema paru dan edema jaringan yang
dapat mengurangi insiden intubasi trakeal. Cairan salin hipertonik telah memperlihatkan
ekspansi volume intravaskular dengan jalan memindahkan cairan dari intra selular dan
kompartemen interstisial. Bagaimanapun ekspansi intravaskular ini bersifat sementara. Beberapa
peneliti telah memperlihatkan besarnya total cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi tidak akan
berkurang bila digunakan cairan hipertonik pada awal luka bakar.3
Walupun semua keuntungan cairan hipertonik yang digunakan untuk resusitasi luka bakar perlu
dipertimbangkan, cairan hipertonik mungkin berguna pada suatu keadaan tertentu. Keadaan
tertentu termasuk keadan dimana sulit untuk menggunakan volume cairan yang besar dan pada
pasien dengan penyakit penyerta yang mempunyai resiko untuk terjadinnya gagal jantung.
Bagaimanapun tidak ada kesepakatan yang menyatakan cairan hipertonik mana yang paling
menguntungkan. Beberapa penelitian telah mempelajari cairan hipertonik salin dan hipertonik
laktat salin. Terdapat suatu studi yang memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada
pasien yang menerima laktat salin hipertonik di bandingkan pasien yang menerima cairan
isotonik. Pada beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan cairan hipertonik pada resusitasi
luka bakar. Griswold dkk, melaporkan penambahan volume pada pasien yang menerima albumin
dan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin hipertonik, dan Jelenko dkk
melaporkan berkurangnya insiden eskriotomi, pengurangan hari penggunaan vetilator, dan
berkurangnya  volume cairan yang di butuhkan pada pasien yang menerima kombinasi albumin
dan salin hipertonik di bandingkan pasien yang hanya menerima cairan kristaloid isotonik. Akan
tetapi Gun dkk, tidak memperhatikan volume cairan saat memberikan fresh frozen plasma yang
digabungkan dengan cairan salin hipertonik.3
Kekhawatiran utama dalam penambahan cairan salin hipertonik adalah berkembangnya
hipernatremia. Konsentrasi natrium serum lebih dari 160 mEq/L telah dilaporkan terjadinnya
pada 40% - 50 % pasien yang menerima saline hiper tonik untuk resusitasi luka bakar. Huang
dkk, melaporkan beberapa kasus kematian yang berhubungan dengan teknik resusitasi ini.
Karena berpotensinnya terjadi gangguan elektrolit yang berat dan sedikitnnya bukti yang
menunjukkan bahwa resusitasi dengan hipertonik akan meningkatkan tingkat mortalitas, cairan
garam isotonik digunakan pada sebagian besar pusat resusitasi luka bakar. Secara keseluruhan
cairan hipertonik hanya digunakan oleh para ahli yang mempunyai pengalaman
menggunakannya, karena adanya beberapa resiko dan komplikasi.

Rekomendasi-rekomendasi
Rekomendasi : Kristaloid saat ini merupakan cairan yang terpilih dan paling sering digunakan
untuk resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar (level IB).3
Rasional : Sebagian besar studi tidak memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk, dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa sebagian besar pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler
paru setelah trauma dan insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian
intravaskular dipertahankan dalam batas normal. Berdasarkan tinjauan sistematik oleh
Schierhout dan Roberts dari 26 RCTs dengan 1622 pasien yang mendapatkan koloid atau
kristaloid, mortalitas adalah outcomeutama yang dinilai. Hasil yang didapatkan adalah mortalitas
pada pasien yang mendapat cairan koloid lebih besar 4 % di banding yang mendapat kristaloid
(95% CI 0-8%).3

Rekomendasi : Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari dalam 24 jam
pertama setelah trauma luka bakar (level II B).3
Rasional : Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding kristaloid pada awal resusitasi
cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk edema formationpada awal-awal
terjadinnya luka bakar. Hal ini oleh karena selama 8-24 jam setelah luka bakar terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga koloid mengalami influks masuk kedalam
interstitium sehingga memperburuk edema. Studi meta-analisis terakhir memperlihatkan
mortalitas lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan albumin sebagai bagian resusitasi awal
dengan 2,4 kali resiko relatif mortalitas di banding yang mendapatkan kristaloid.3

Rekomendasi : Cairan koloid dan atau cairan hipertonik (salin) mengurangi kebutuhan cairan
total dan memperbaiki performa jantung pada luka bakar (level I B).3
Rasional : Cairan hipertonik memperlihatkan daya ekspansi volume intravaskular dengan
memobilisasi cairan dari kompartemen intraseluler dan interstitial serta mengurangi disfungsi
kontraksi jantung yang berkaitan dengan luka bakar.3  

Formula resusitasi
Banyak formula telah dirancang untuk menentukan jumlah cairan yang tepat 
untuk diberikankan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi eksperimental
tentang patofisiologi syok pada luka bakar. 15
Kebanyakan unit luka bakar umumnnya menggunakan formua Parkland atau yang mirip
dengannya.15 .Formula Parkland yang menggunakan larutan kristaloid Ringer Laktat (RL) 4
cc/kg/% luka bakar. Setengah nya diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya diberikan dalam
16 jam kemudian.1, 3, 9, 13, 15
 Formula Ini merupakan pedoman untuk resusitasi langsung dari
jumlah cairan yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi yang memadai.15
Selain dari jumlah cairan diatas, pada anak-anak menerima cairan pemeliharaandengan
pertitungan perjam nya:9
         4 ml / kg untuk 10 kg pertama dari berat badan, ditambah.
         2 ml / kg untuk 10 kg kedua dari berat badan, ditambah.
         1 ml / kg untuk berat badan > 20 kg.
Adapun target resusitasi (End poits)9 pada formula ini adalah
         Urine output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa
         Urine output dari 1,0-1,5 ml / kg / jam pada anak-anak

Contoh kasus resusitasi luka bakar berdasarkan Parkland Formula 9

Regimen resusitasi cairan untuk dewasa


Seorang laki-laki muda 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30 % datang  jam 4 sore.
Pasien terbakar jam 3 sore.

1)     Total cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama


4 ml×(30% total burn surface area)×(70 kg) = 8400 ml  dalam 24 jam
2)     Setengahnya diberikan dalam 8  jam pertama, Setangahnya lagi diberikan dalam 16 jam
selanjutnnya.
Akan diberikan 4200 ml selama 0 - 8 jam dan 4200 ml selama 8 - 24 jam.
3)     Kurangi cairan yang yang diterima dari jumlah yang diperlukan untuk 8 jam Pertama
Pasien telah menerima 1000 ml cairan dari pelayanan Emergensi sehingga dia
membutuhkan 3200 ml dalam 8 jam pertama sesudah cedera.
4)     Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama
Bagilah jumlah cairan pada point (3) dengan  sisa waktu sampai 8 setelah pasien terbakar
Kebakaran terjadi pada pukul 3 siang, jadi 8 jam  kedepan jatuh pada pukul 11malam. Sekarang
pukul  4 siang,  jadi dibutuhkan  3200 ml selama  7 jam kedepan:
3200 / 7 = 457 ml/jam dari jam 4 siang sampai jam 11 malam.
5)     Perhitingan kecapatan infus perjam untuk 16 jam selanjutnnya.
Bagi jumlah cairan point (2) dengan 16 jam untuk mendapatkan kecaparan cairan infus
Dibutuhkan  4200 ml dalam 16 jam:
4200/16 = 262.5 ml/jam  dari jam 11 malam  sampai jam  3 siang hari berikutnnya.

Pemeliharan cairan yang dibutuhkan untuk anak


Anak 24 kg yang mendapatkan resusitasi cairan luka bakar yang diikuti pemberian
maintenen cairan sebagai berikut:
4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama dari berat badan= 40 ml/jam ditambah
2 ml/kg/jam untuk 10 kg berikutnnya dari berat badan = 20 ml/jam ditambah
1 ml/kg/jam untuk 4 kg selanjutnnya dari berat badan= 1×4 kg = 4 ml/jam
Total = 64 ml/jam

MONITORING RESUSITASI
Setiap pasien luka bakar mempunyai reaksi yang berbeda-
beda dan jugamemerlukan dukungan cairan dalam  jumlah yang juga bervariasi. Berbagai
faktordapat mempengaruhi respon pasien pada saat resusitasi seperti usia,
kedalaman lukabakar, trauma inhalasi yang bersamaan,  dan penyakit penyerta. Jika
klinisimenggunakan sebuah endpoint dari resusitasi yang handal dan akurat dalam mengukur
kecukupan perfusi seluler, maka mereka akan tahu kapan harus''menghentikan'' terapi
cairan yang agresif serta dapat menghindari masalah over-resusitasi. 7

1. Tradisional endpoints.
Marker tradisional keberhasilan resusitasi seperti tekanan darah dan nadi dapat
normal karena merupakan bagian kompensasi syok serta tidak dapat mendeteksi hipoperfusi
selular yang tersembunyi.  Pengukuran noninvasif dari tekanan darah mungkin sulit di nilai
karena adanya edema jaringan.Takikardi mungkin juga akibat dari nyeri dan kecemasan, yang
umum terjadi pada pasien luka bakar dan oleh karena itu merupakan marker yang kurang dapat
dipercaya akibat dari hipovolemia. Secara tradisional, urine output telah
digunakan sebagai pemandu resusitasi. Urine output mencerminkan keadaan perfusi ginjal, yang
sensitif terhadap penurunan cardiac output dan hipovolemik. The American
Burn Association menyarankankan bahwakecapatan cairan infus harus dititrasi
untuk mendapatkan urin  output  0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa, Dengan munculnya
kompartemen sindrom, beberapa klinisi luka bakar yang berpengalaman
mulai dapat menerima urin output yang lebih lebih rendah sebagai endpoint resusitasi. Namun,
ada beberapa penelitian yang telah menunjukkan nilai output urin per jam dapat menggambarkan
perfusi yang cukup memadai. Tetapi, terdapat pula banyak studi yang menyoroti kegagalan
penilaian urin output dalam menilai kecukupan perfusi global. Karena keterbatasan marker
tradisional dalam hal resusitasi inilah, sehingga telah menimbulkan banyak minat untuk
menggunakan metode yang lebih maju dalam pemantauan endpoint resusitasi. 7

2.  Advanced hemodinamik monitoring


Pada tahun 1996, sebuah survei penggunaan monitoring kardiovaskuler invasif pada pasien
dengan luka bakar lebih dari 30% TBSA menunjukkan bahwa 55% dari unit luka bakar di
Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru menggunakan monitoring
tekanan vena sentral (CVP) pada lebih dari separuh pasien mereka. Hanya 8% dari unit tersebut
yang menggunakan kateter arteri pulmonari  pada lebih dari separuh pasien mereka, dan jumlah
ini mungkin makin menurun sampai saat ini. Kateter arteri pulmonalis telah di kaitkan dengan
sejumlah komplikasi, dan pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) juga telah terbukti
sebagai marker preload yang tidak dapat diandalkan. 7
Intrathoracic blood volume (ITBV) adalah total kombinasi volume jantung kanan, jantung kiri,
dan volume darah paru yang diukur pada akhir diastolik. ITBV telah terbukti  berkorelasi erat
dengan cardiac output. Holm dkk, baru-baru ini meneliti efek dari monitoring intensif
ITBV pada resusitasi luka bakar dengan syok. Pengukuran hemodinamik dibuat menggunakan
sistem COLD system (Pulsion Medical Systems),yang memanfaatkan kateter vena sentral
standart  dan thermistor-tipped fibreoptic catheter yang dimasukkan ke dalam arteri
femoralis. Pasien yang menerima resusitasi yang di pandu dengan ITBV menerima cairan lebih
banyak secara signifikan dalam 24 jam pertama setelah terbakar dibandingkan dengan mereka
yang diresustasi menurut formula Parkland. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada ITBV,
cardiac output, tingkat serum lactate, mortalitas atau morbiditas diantara kedua kelompok. Holm
dkk. Juga menunjukkan bahwa walaupun terapi cairan agresif telah dilakukan, hipoperfusi yang
tersembunyi kemungkinan masih bisa terjadi. Sebaliknya, Arlati dkk.  Targetresusitasi cairan
telah dapat dicapai dengan pemberian cairan yang lebih sedikit, kurangnya pembentukan edema,
dan kejadian disfungsi organ yang lebih rendah melalui pendekatan dengan intrathoracic blood
volume-guided dan cardiac output-guided dibandingkan dengan melalui pendekatan
formula Parkland.7
Monitoring doppler oesophageal memberikan relatif noninvasif perkiraan preload jantung
dengan mengukur aliran darah aorta yang turun dalam aorta torakal. Corrected flow time (FTc), 
jika digunakan dengan tepat dapat menilai respon kardiovaskular terhadap fluid
challenge. Penggunaan doppler oesophageal pada periode perioperatif
sebagai guided manajemen cairan pasien yang menjalani operasi besar telah
memperbaiki outcome dan penurunan angka lama perawatan di rumah sakit. Yamamoto dkk,
baru-baru ini mengevaluasi penggunaan doppler esofageal pada empat pasien dengan luka bakar
yang luas, dan menemukan bahwa pengukurancardiac index dengan menggunakan Doppler
esofageal berkorelasi baik dengan yang diperoleh dari kateter arteri pulmonalis. Penempatan
kateter vena sentral secara teknis sulit silit dilakukan pada pasien burn-luka akibat edema dan
kerusakan jaringan, sehingga penggunaan Doppler esofageal sangat 
menguntungan dalam situasi begini. Studi menunjukkan adanya peningkatkan outcome dengan
menggunakan Doppler esofagus pada pasien luka bakar. 7

3.  Subcutaneous tissue gas tensions


Venkatesh, dkk. Baru-baru mengukur tegangan gas jaringan subkutan pada pasien luka bakar
dengan menggunakan tabung silastic yang dimasukkan ke dalam jaringan subkutan dari kulit
yang terbakar dan kulit yang tidak terbakar. Meskipun indeks normal baik sirkulasi sistemik dan
oksigenasi selama periode resusitasi, ketegangan gas jaringan subkutan pada kulit yang terbakar
dan kulit yang tidak terbakarmemburuk secara signifikan, hal ini menunjukkan penurunan
oksigenasi jaringan secara signifikan. Penulis menunjukkan perubahan ketegangan gas pada
jaringan memburuk akibat berkembang edema serta diperburuk dengan pemberian cairan.
Monitoring jaringan subkutan mungkin memiliki peran dalam mendeteksi deteksi dini edema
luka bakar dan juga sebagai penuntun resusitasi cairan pada pasien luka bakar di masa depan.7

4. Peralatan berbasis optik.


Peralatan monitoring jaringan berbasis optik telah digunakan pada pasien trauma dengan luka
parah yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa meskipun pengangkutan oksigen ke jaringan
sudah adekwat, tetapi penggunaan oksigen di tingkat selularmasih tetap terganggu. Saturasi
oksigen jaringan yang diukur dengan  menggunakanNear-infrared spectroscopy (NIRS) telah
menunjukkan hasil sebagai akses dasar  yang baik (good as base axcess) dalam mengidentifikasi
pasien trauma yang  berisiko berkembang menjadi MODS. Hal ini merupakan potensi besar yang
sangat berguna sebagai alat monitoring endpoint, tetapi penelitian lebih lanjut tentang
penggunaannya pada pasien luka bakar masih diperlukan.7

NYERI AKUT PADA LUKA BAKAR


Setelah luka bakar, pasien akan mendapatkan sejumlah tindakan yang mungkin menyakitkan.
Hal ini termasuk pemindahan dari kebakaran, resusitas, transportasi kerumah sakit, dan prosedur
yang urgensi, seperti akses intravena, kontrol jalan napas, pemasangan kateter uretra, radiografi,
escharotomies, dan transportasi ke unit luka bakar atau unit perawatan intensif. Manajemen
Nyeri merupakan isu yang penting selama tindakan. Nyeri pasien bisa berat atau yang
mengejutkan bisa ringan, namun tingkat keparahan nyeri  jarang yang dicatat. Persepsi nyeri
pada pasien juga dapat dipengaruhi oleh alkohol, penggunaan obat-obatan, atau penyebab
lainnya seperti perubahan tingkat kesadaran, (bisa akibat inhalasi asap, hipoksia, atau
hipotensi). 12
Manajemen nyeri luka bakar sulit di laksanakankan, sebelum dilakukan pemeriksaan formal dan
stabilisasi pada pasien. Oleh karena itu rekomendasi berdasarkan pengamatan dan pengalaman
klinis. Langkah-langkah sederhana, seperti cooling, menutupi permukaan luka bakar dan
immobilisasi pasien, mungkin sudah cukup memadai.12, Penutupan luka bakar sangat perlu sebab
dengan adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar akan memperberat nyeri.13
Pendinginan lokal, walau bagaimanapun, tidak bisa mencegah pengembangan hiperalgesia pada
manusia. Setelah personil yang tepat dan terlatih telah tersedia, di suatu tempat atau setibanya di
rumah sakit, pemberian opioid parenteral merupakan bentuk analgesia yang paling sering
digunakan untuk semua pasien dengan luka bakar walaupun yang paling sepele.12
Pemberian opioid harus diberikan melalui rute intravena. Pemberian melalui
ruteintramuskular atau subkutan tidak dapat diandalkan, terutama bila disertai
denganhipovolemia dan vasokonstriksi. Terlepas dari jenis opioid yang dipilih, titrasi dosiskecil 
bolus intravena merupakan cara yang paling efektif untuk menghilangkan rasa
sakit. Setelah kontrol nyeri diperoleh, infusion atau Patient-Controlled Analgesia(PCA) biasa di
gunakan.12

Opioid
Opioid intravena tetap menjadi metode yang paling populer dalam mengurangi nyeri pada luka
bakar. Morfin telah banyak diteliti dan digunakan dalam hal ini. Secara
farmakokinetik, metabolit aktif dari  morfin  pada prinsipnya tidak berbeda secara
signifikan antara pasien dengan dan tampa luka bakar, sehingga  dapat digunakandosis yang
sama. Pada umum dibandingkan dengan opioid lain, morfin memiliki sifatsedatif dan antitusif,
hal ini tergantung pada metode pemberian, morfin memilikidurasi
yang relatif panjang. Metabolit morfin, terutama morfin-6-glukuronat,memainkan peran
aktif dalam analgesia, terutama ketika morfin digunakan untuk
periode lama. Morfin biasanya digunakan dengan PCA untuk penanganan
nyeri lukabakar. Kelemahannya PCA sangat bergantung
pada kemampuan pasien dalammenggunakan peralatan. Infus dengan kecepatan
tetap telah digunakan pasca operasi pada pasien dengan luka
bakar tetapi kelihatannya ketika timbulnya rasa sakit yang hebat, metode ini hanya dapat
memberikan tingkat analgesia yang rendah.12
Opioid lain yang lebih umum digunakan dalam anestesi telah dapat digunakan dalam prosedur
penanganan nyeri. Onset yang cepat, meningkatnnya kelarutan dalam lemak, dan
kemudahan dalam titrasi membuat obat ini mempunyai keuntungan yangpotensial, meskipun
potensi depresi pernafasan masih menjadi suatu  kekhawatiran. PCA  fentanyl telahdigunakan
untuk menagani nyeri pasca operasi pada luka bakar dan juga telah berhasil
digunakan melalui rute intranasal pada pasien anak. Remifentanil, dengan masa kerja yang
sangat cepat, telah digunakan selama pembedahan luka bakar, dan mungkin layak digunakan
ini di luar ruang operasi, meskipun keamanan obat ini dalam penggunaannya masih perlu di teliti
lagi.12
Pemberian pethidine (meperidin) telah dapat dilakukan dengan menggunakan PCA, 
tapi yang menjadi masalah adalah dengan norpethidine (normeperidine) yang bisa berakibat
mudah terjadi toksisitas, terutama pada dosis tinggi, penggunaan jangka panjang, atau pasien
dengan gangguan ginjal.12
Obat lain, seperti benzodiazepines, dapat digunakan dalam kombinasi dengan opioid untuk
mengurangi kecemasan yang berat, namun kombinasi ini berisiko  terjadinya depresi pernapasan
yang lebih besar. Lorazepam, yang dikombinasikan dengan morfin, telah memperlihatkan
peningkatkan analgesia pada pasien yang dengan nyeri yang lebih hebat.  Meskipun penggunaan
opioid untuk penanganan nyari pada luka bakar telah meluas, tetapi ketergantungan opioid secara
psikologis tidak terjadi hal ini sebagai konsekuensi dari pengobatan nyeri pada luka bakar,
walaupun 
ketergantungan fisik dapat terjadi. Opioid juga  secarateori sering dikaitkan dengan depresi dari
fungsi kekebalantubuh dan dalam satu studi retrospektif penggunaan opioid dihubungkan dengan
peningkatan risiko infeksi pada pasien dengan luka bakar. 12  

Nonopioid Analgesia
Berbagai obat nonopioid telah diteliti untuk menangani nyeri pada luka bakar. Pada salah satu
pusat studi luka bakar telah dilakukan pengamatan dimana opioid tidak digunakan, kemudian
didapatkan bahwa  pengurangan nyeri diperoleh dengan menggunakan nonopioids adalah serupa
dengan yang diperoleh dengan menggunakan opioids. Di samping itu, ada keengganan untuk
memberikan opioid kepada pasien usia lanjut dengan luka bakar karena berakibat pada
peningkatan risiko efek samping.12
Non Steroid anti-inflamatory Drugs (NSAIDs) telah berhasil digunakan untuk menangani nyeri
atau mengurangi penggunaan opioid dalam berbagai kondisi nyeri akut. Penggunaan secara 
parenteral obat NSAIDs, seperti ketorolac, seperti yang telah dijelaskan dapat diberikan untuk
menangani luka bakar. Penggunaan ketorolac dalam hubungannya dengan manfaat lainnya
berupa efek anti-inflamasi yang diperlukan pada luka bakar perlu diperhatikan. Pasien luka bakar
biasanya selalu berhadapan dengan hipovolemia atau gangguan ginjal sehingga
penggunaan NSAID pada pasien luka bakar telah dikaitkan dengan memburuk fungsi ginjal.
Kecemasan juga dapat menyebabkan atau memperburuk ulserasi gastrointestinal
sehingga penggunaan NSAID pada pasien luka bakar harus dibatasi. Meskipun potensi risiko
gastrointestinal lebih rendah dibandingkan dengan obat siklooksigenase-2-selektif inhibitor,
tetapi obat-obatan ini memiliki resiko terhadap  kardiovaskuler dan ginjal yang signifikan.
Sehingga, penggunaan keterolak sebagai analgesik pada pasien luka bakar harus
dipertimbangkan untung dan ruginya serta mampaat klinisnya secara potensial.12
Secara Eksperimental nyeri luka bakar dapat dikurangi dengan menggunakan antagonis NMDA
seperti ketamin. Tetapi sayangnya, dosis tinggi dari ketamin sering dikaitkan dengan efek
samping yang tidak menyenangkan, seperti halusinasi dan dysphoria. Ketamine dosis rendah
mungkin efektif sebagai analgesik dan dapat mengurangi kebutuhan opioid. Ini adalah pilihan
yang menarik sebagai Ketamine yang bekerja pada reseptor NMDA telah terbukti mengurangi
sensitisasi sentral dan pengembangan hiperalgesia sekunder dari nyeri neuropatik pada model
hewan. Pengalaman dalam beberapa percobaan kecil dan seri kasus yang lebih besar
telahmemberikan bukti bahwa Ketamine efektif dan aman untuk pengelolaan nyeri pada pasien
luka bakar.12

NUTRISI
Pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan nutrisi yang baik untuk menghindari kehilanagan
masa tubuh yang berlebihan dan mencegah kelemahan yang akan terjadi. Dukungan nutrisi yang
segera diindikasikan untuk mengatur "stress respon" beratkarena akan terjadinya katabolisme.
Dukungan nutrisi juga diindikasikan untuk pasienyang sudah mengalami kekurangan
gizi. Tingkat dukungan nutrisi harus disesuaikandengan ukuran luka
bakar. Pemberian protein, kalori dan mikronutrisi harus ditingkatkan sesuai kebutuhan sebelum
terjadinnya komplikasi yang akan menyebabkan
terjadinnya kehilangan berat badan, dan perkembangan ke arah protein energy malnutrition.4
Dalam memberikan dukungan nutrisi , maka harus di nilai beberpapa hal yaitu : kebutuhan
energi (kalori), kebutuhan protein, kebutuhan cairan, kebutuhan mikronutrien, dan nutrient mix.4
Untuk menilai kebutuhan energi (kalori) pada umumnya digunakan rumus Harris-Benedict untuk
menghitung Basal Energy Expenditure (BEE). Adapun rumus tersebut adalah: 4
 

Wanita        : BEE = 655,1 + [9,56 x BB] + [1,85 x TB] - [4.68 x U]


Laki-laki     : BEE = 66,47 + [13,75 x BB] + [5,0 x TB] - [6.76 x U]

Ket :  BB: Berat badan (dalam kg),      TB: Tinggi Badan (dalam cm), 
          U : Umur (dalam tahun)
          BEE : Basal Energy Expenditure

Untuk menghitung kebutuhan total energi = (BEE) X stress faktors. Adapun Stress faktor untuk
luka bakar berat (Severe burn) adalah 2,0.4
Pada pasien luka bakar rata tata memerlukan protein 1,2 sampai 2 gr / kg / hari, sementara untuk
luka bakar mayor (major burn) membutuhkan protein sebanyak  1,5 – 2
gr/kg/hari. Pemberian kandungan protein lebih dari 2 gr/kg/hari tidak akan meningkatkan sintesis
protein lebih jauh lagi dan protein tersebut hanya digunakan untuk kalori.2
Karbohidrat merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk sebagian besar jaringan,
tetapi harus ada batas yang jelas dalam jumlah penggunaan karbohidrat, terutama pada
pasien dengan luka
bakar hypermetabolic atau septik. Kelebihan karbohidrat hanyaakan menyebabkan pembentukan 
lemak, yang akan membutuhkan energi yang lebihbesar dalam proses memproduksinya. Selain
itu peningkatan karbonhidrat   akan
mengarah ke pada peningkatan produksi karbon dioksida.4 Untuk mencegah hal itu terjadi maka
dibutuhkanlah suatu nutrient mix. Secara optimum komposisi pencampuran makronutrien
(macronutrient mix) adalah sebagai berikut; karbonhidrat 55-60 %, lemak 20-25 %, protein 20-
25 %.2   
Pemberian makanan enteral berdasarkan beberapa study telah menunjukan
dapat melindungi usus dari tranlocation toksis dan mikroorganisme, yang juga dapat mengurangi
angka kejadian sepsis.14
           
REFERENSI
Penanganan Demam Berdarah
BATASAN
Demam Berdarah Dengue : Adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue
melalui gigitan nyamuk Aedes Aigypti.
Kriteria WHO
Klinis :
1. Panas 2 – 7 hari
2. Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif.
3. Adanya pembesaran hepar
4. Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi
meningkat dan lemah serta akral dingin.
Laboratorium :
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)
DHF Shock (DSS) : Adalah demam berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi,
terdiri dari : 
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin.
DHF grade IV : 
1. Shock berat,
2. Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba.
PENATALAKSANAAN
Pada penderita dewasa 
1. Cairan : 
 Infus NaCl 0,9 % / Dextrose 5 % atau Ringer Laktat
 Plasma expander, apabila shock sulit diatasi.
 Pemberian cairan ini dipertahankan minimal 12 – 24 jam maksimal 48 jam setelah shock
teratasi.
 Perlu observasi ketat akan kemungkinan oedema paru dan gagal jantung, serta terjadinya
shock ulang.
2. Tranfusi darah segar pada penderita dengan perdarahan masif. 3. Obat :
 Antibiotika : diberikan pada penderita shock membangkang dan/ atau dengan gejala
sepsis
 Kortikosteroid : pemberiannya controversial Hati-hati pada penderita dengan gastritis.
 Heparin : diberikan pada penderita dengan DIC Dosis 100 mg/kg BB setiap 6 jam i.v.

 
Pada penderita DSS (DBD Grade III dan IV) anak-anak 
1. Cairan. Cairan yang diberikan bisa berupa :
 Kristaloid :
 Ringer Laktat
 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer Laktat
 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer asetat
 5 % Dextrose di dalam larutan setengah normal garam faali, dan
 5 % Dextrose di dalam larutan normal garam faali.
 Koloidal :
 Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dextran 40)
 Plasma.
1. RL / D 5 % dalam Ringer Asetat / larutan normal garam faali, diberikan 10 –20
ml/kg BB/ 1 jam.
2. Pada kasus yang berat (grade IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg BB (1 x atau 2
x).
3. Jika renjatan berlangsung terus (HCT tinggi) diberikan larutan koloidal (Dextran
atau Plasma) sejumlah 10 – 20 ml/kg BB/ 1 jam.
2. Tranfusi darah. Diberikan pada :
 Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan yang berkelanjutan.
 Gejala perdarahan yang nyata, misal : hematemesis dan melena.
Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan.  Jika jumlah
thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun, maka : Antipiretika : yang diberikan
sebaiknya Parasetamol (mencegah timbulnya Efek samping pedarahan dan asidosis)
3. Obat penenang : diberikan pada kasus yang sangat gelisah. Dapat diberikan Diazepam 0,3 –
0,5 mg/kgBB /kali (bila tidak terjadi gangguan system pernapasan) atau Largactil 1
mg/kgBB/kali. Bila penderita kejang dapat diberikan kombinasi Diazepam (0,3 mg/kgBB) i.v.
dan diikuti Dilantin (2 mg/kgBB/jam 3 kali sehari).
4. Oksigen
5. Koreksi asidosis. Penggunaannya masih controversial, Natrium bicarbonat dapat diberikan 1
– 2 mEq/kgBB, diberikan dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung
dengan rumus : Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base defisit. 
6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi
7. Kortikosteroid. Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan
dengan dosis:
 Hidrokortison 6 – 8 mg/kgBB/ 6 – 8 jam i.v.
 Methyl prednisolon 30 mg/kgBB/hari i.v.
 Dexamethazon 1 – 2 mg/kgBB sebagai dosis awal, kemudian 1 mg/kgBB/hari i.v.
8. Dopamine.

 
REFERENSI 
Guidelines Stroke 2007
PENATALAKSANAAN UMUM STROKE AKUT

A. PENATALAKSANAAN DI UGD 
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka harus dilakukan
evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan cermat, meliputi:
1. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas saat serangan,
gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan, gangguan
visual, penurunan kesadaran, serta faktor2 resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol,
diabetes, dll).
2. Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis,
dan tanda2 distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung
dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
3. Pemeriksaan Neurologik dan Skala stroke, Pemeriksaan neurologik terutama
pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningeal, sistem motorik, sikap dan cara jalan,
refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini
adalah NIHSS (NATIONAL Institutes of Health Stroke Scale).
National Institutes of Health Stroke Scale
    4. Studi diagnostic, meliputi :

Immediate Diagnostic Studies: 


Evaluation of a Patient With Suspected Acute Ischemic Stroke
2. Terapi Umum (suportif) 
a. stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
 Pemasangan ETT pada pasien tidak sadar, bantuan ventilasi pada pasien dengan
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar denganh gangguan jalan nafas.
 Berikan bantuan oksigen pada pasien hipoksia, pasien stroke yang tidak hipoksia tidak
memerlukan suplemen oksigen
 Intubasi ET atau LMA diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau
pCO2 > 50 mmHg), atau syok, atau pasien dengan resiko aspirasi. Usahakan pipa ET tidak
terpasang lebih dari 2 minggu, kalau lebih dianjurkan untuk dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi hemodinamik (sirkulasi)
 Berikan cairan kristaloid atau koloid iv (hindari pemberian cairan hipotonik seperti
glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (central Venous Catheter), untuk memantau kecukupan
cairan dan sarana memasukkan cairan dan nutrisi. Usahakan CVC antara 5 – 12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik dibawah 120 mmHg, dan cairan
sudah mencukupi dapat diberikan obat-obatan vasopressor secara titrasi seperti dopamin atau
norepinefrin/epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
 Cardiac monitoring harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah awitan serangan
stroke iskemik.
 Bila terdapat penyakit jantung kongestif, konsul kardiologi.
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi
dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang menyebabkan penurunan curah jantung
harus dikoreksi.
c. Pemeriksaan awal fisik umum
 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal : derajat kesadaran, pemeriksaan pupil dan
okulomotor, keparahan hemiparesis.
d. Pengendalian peninggian TIK
 Pemantauan ketat penderita dengan resiko edema serebral dengan memperhatikan
perburukan gejala dan tanda neurologik pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
 Monitor tekanan intra kranial harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan penderita
yangmengalami penurunan kesadaran karena kenaikkan TIK.
 Sasaran terapi adalah TIK < 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.
 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan TIK meliputi :
1. Tinggikan posisi kepala 20 – 30°
2. Hindari penekanan pada vena jugulare.
3. Hindari pemakaian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
4. Hindari hipertermia
5. Jaga normovolemia
6. Osmoterapi atas indikasi.

 Manitol 0,25 – 0,50 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap 4 – 6 jam dengan target
≤ 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
 Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB iv.
 Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 – 40 mmHg)
 Paralisis neuromuskular dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi
naiknya ICP dengan cara mengurangi naiknya TIK dan tekanan vena akibat batuk, suction,
bucking ventilator. Pasien dengan kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan muscle relaxant
sebelum tindakan suction atau lidokain sebagai alternatif.
 Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi udem otak dantekanan TIK yang
tinggi pada stroke iskemik, pemberiannya diperbolehkan bila yakin tidak ada kontraindikasi.
 Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar.
 Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek
massa dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
e. Penanganan transformasi hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimtomatik, sedang untuk
yang simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan.
f. Pengendalian kejang
 Bila kejang berikan diazepam bolus lambat iv 5 – 10 mg diikuti pemberian phenitoin
loading dose 15 – 20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
 Bila kejang belum teratasi maka perlu rawat di ICU.
 Tidak dianjurkan pemberian antikonvulsan profilaktik pada penderita stroke iskemik
tanpa kejang.
 Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi profilaktik selama
1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.
g. Pengendalian suhu tubuh
 Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diberikan antipiretika dan diatasi
penyebabnya.
 Berikan acetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5°C.
 Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(tracheal, darah dan urin) dan diberikan antibiotika. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa
CSS harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. Jika didapatkanmeningitis harus diikuti terapi
antibiotik.
h. Pemeriksaan Penunjang
 EKG
 Laboratorium : kimia darh, fungsi ginjal, hematologi, dan faal hemostasis, kadar gula
darah, analisa urin, analisa gas darah dan elektrolit.
 Bila ada kecurigaan PSA lakukan punksi lumbal untuk pemeriksaan CSS.
 Pemeriksaan radiologi: rontgen dada, CT scan
B. PENATALAKSANAAN UMUM DI RUANG RAWAT 
1. CAIRAN
 Berikan ciran isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena
sentral dipertahankan antara 5 – 12 mmHg.
 Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral)
 Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan ( urin sehari + 500 ml + 300 ml per kenaikan panas 1
derajat celcius).
 Elektrolit (sodium, potasium, calcium, magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila
terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
 Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai hasil analisa gas darah.
 Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. NUTRISI
 Nutrisi enteral paling lambat harus sudah diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelannya baik.
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun, makanan diberikan melalui
pipa nasogastrik.
 Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
1. Karbohidrat 30-40% dari total kalori
2. Lemak 20-35% (pada gangguan nafas lebih tinggi, 35-55%)
3. Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1,4-2,0 g/kgBB/hari; pada
gangguan fungsi ginjal < 0,8 g/kgBB/hari)
 Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan > 6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrotomi.
 Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
 Perhatikaan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan
(misal: hindarkan makanan yang banyak mengandung vit K pada pasien yang mendapat
warfarin).

3. PENCEGAHAN DAN MENGATASI KOMPLIKASI


 Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedik dan kontraktur perlu dilakukan)
 Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas
kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman.
 Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur antidekubitus.
 Pencegahan DVT dan emboli paru.
 Pada pasien tertentu yang beresiko menderita DVT perlu diberikan heparin subkutan
5000 iu dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid. Perlu diperhatikan terjadinya resiko
perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien yang tidak bisa menerima
antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien imobilisasi direkomendasikan penggunaan
stocking eksternal atau Aspirin.

4. PENATALAKSANAAN MEDIK YANG LAIN


 Hiperglikemia pada stroke akut harus diobati. Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia.
 Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer
seperti benzodiazepin short acting atau propofol.
 Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
 Berikan H2 antagonis apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
 Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lendir atau memandikan pasien karena dapat
mempengaruhi TIK.
 Mobilisasi bertahapbila hemodinamik dan pernafasan stabil.
 Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermitten.
 Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE dan lain-lain sesuai dengan indikasi.
 Rehabilitasi
 Edukasi keluarga.
 Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

KEDARURATAN MEDIK STROKE AKUT


PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT 

A. PEDOMAN PADA STROKE ISKEMIK AKUT    


1. Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Darah
 Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau > 110 mmHg bila akan
dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip
kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain.
 Jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg,
berikan labetolol iv selama 1-2 menit. Dosis labetool dapat diulang atau digandakan setiap 10 –
20 menit sampai penurunan tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis
kumulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal, labetolol dapat
diberikan setiap 6–8jam bila diperlukan.
 Jika tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik < 120 mmHg,
terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel
jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati
hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali
pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200 – 300 mg labetolol 2-3 kali sehari sesuai
kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetolol adalah nifedipine oral 10 mg
setiap 6 jam atau 6,25 – 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil, atau
jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan labetolol iv seperti cara di atas atau obat
pilihan lainnya (urgensi).
 Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-25 % dari tekanan darah
arterial rerata pada jam pertama, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per kasus.
2. Penatalaksanaan Penurunan Tekanan Darah
 Pastikan tekanan darah penderita rendah, yaitu sistolik < 120 mmHg (pada pengukuran
tekanan darah brakhial kiri yang digunakan adalah tekanan darah yang tinggi)
 Penggunaan obat-obat vasoaktif dapat diberikan dalam bantuk infus dan disesuaikan
dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti takikardia.
 Pemberian dopamin drip diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan
darah optimal, yaitu berkisar 140 sistolik pada kondisi akut stroke.  
  

B. PEDOMAN PADA STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL 


Pedoman Penatalaksanaan :
 Hilangkan faktor-faktor yang beresiko meningkatkan tekanan darah, seperti retensi urine,
nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial, emosional stress dan sebagainya.
 Bila tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg atau
tekanan darah arterial rata-rata > 145 mmHg, berikan nikardipin, diltiazem atau nimodipin (dosis
pada tabel).
 Bila tekanan sistolik 180 – 220 mmHg atau tekanan diastolik 105-140 mmHg, atau
tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg, berikan:
1. Labetolol 10-20 mg iv selama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan setiao 10
menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh
labetolol drip 2-8 mg/menit atau;
2. Nicardipin, diltiazem
3. Nimodipin

 Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari tekanan darah arteri
rata-rata dalam 1 jam pertama.
 Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105 mmHg, tangguhkan
pemberian obat anti hipertensi.
 Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak harus
dipertahankan > 70 mmHg.
 Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah harus dipertahankan
dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.
 Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg harus dicegah segera pada waktu
pasca operasi dekompresi.
 Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus diberikan obat menaikkan
tekanan darah (vasopresor)
PERHATIAN :
1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke, kandung
kencing penuh, nyeri, respon fisiologis dari hipoksia atau peningkatan tekanan
intrakranial.
2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di atas
akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase menunggu 5-20 menit
pengukuran berikutnya.
C. OBAT PARENTERAL UNTUK TERAPI EMERGENSI HIPERTENSI PADA
STROKE AKUT 

 
D. OBAT ORAL UNTUK TERAPI URGENSI HIPERTENSI PADA STROKE AKUT
E. FLOWCHART PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT
 

Sumber : 
 Guidelines Stroke 2007, PERDOSSI
 Stroke, Journal of American Stroke Association 2007
 Akses Vaskuler pada Pediatrik
 Akses atau jalan masuk ke sirkulasi/pembuluh darah sangat menentukan dalam tunjangan
hidup lanjut pada anak. Bila akses ke pembuluh darah dapat dicapai dalam menit-menit
pertama, obat dan cairan dapat diberikan segera sehingga resusitasi mungkin lebih
berhasil. Ada beberapa pilihan akses yang dapat digunakan tergantung dari kebutuhan
klinik dan ketrampilan penolong yaitu vena perifer, vena sentral dan intraoseus.
Walaupun jalur tabung endotrakeal dapat digunakan untuk pemberian beberapa obat pada
keadaan darurat akses intravena atau intraoseus lebih baik dan harus ada untuk pemberian
cairan terutama pada gangguan kardiopulmonal yang bukan disebabkan oleh gangguan
jantung seperti trauma dan sepsis. Jalur endotrakeal digunakan untuk pemberian obat
adrenalin, lidokain dan nalokson pada resusitasi bila akses vaskular tidak dapat dicapai
dalam waktu tiga menit.
 Pemberian obat intrakardial tidak dianjurkan pada resusitasi jantung paru karena risiko
laserasi pembuluh darah koroner, tamponade jantung dan pneumotoraks lagi pula tidak
menghasilkan sirkulasi obat yang lebih cepat dari jalur intravena. Pemberian intrakardial
juga menyebabkan ventilasi dan penekanan dada harus dihentikan sebentar.
 Bila vena perifer dapat terlihat atau diraba akses vena perifer harus dicoba lebih dahulu
meskipun kanulasi seringkali sulit karena pembuluh darah kolaps pada keadaan syok dan
henti napas atau jantung. Dalam keadaan demikian kanulasi vena perifer hanya dilakukan
pada pembuluh darah besar yaitu vena basilika dan
 vena safena magna. Jika faktor kecepatan sangat penting dan pemasangan jarum/ kateter
di vena perifer sulit, pada anak balita lebih baik dilakukan kanulasi intraoseus yang
kemudian dilanjutkan dengan kanulasi vena besar atau seksi vena untuk pemberian obat
dan cairan lanjutan. Tempat yang disukai untuk penusukan jarum intraoseus pada bayi
dan anak kecil ialah bagian proksimal tulang kering (tibia).
 Indikasi kontra kanulasi intraoseus adalah fraktur tulang panggul atau tulang yang
letaknya lebih proksimal dan fraktur tulang setempat. Sebaliknya pada resusitasi anak
besar (lebih dari lima tahun) bila kanulasi vena perifer tidak berhasil pada menit-menit
pertama, harus dilakukan kanulasi vena sentral atau seksi vena safena magna.
 Dari penelitian pada hewan dan juga manusia ternyata tidak ada perbedaan dalam waktu
kerja obat dan kadar puncak dalam darah antara pemberian obat di vena perifer, vena
sentral dan intraoseus bila setelah pemberian tersebut diberikan bolus cairan NaCl
sebanyak 5 - 10 mililiter.
 
 Langkah-langkah akses vena 
Bila usaha pertama tidak berhasil dan perlu akses vaskular untuk pemberian obat atau
cairan. 


Akses vena perifer


 Pemasangan (kanulasi) jarum infus atau kateter infus pada vena perifer dilakukan pada
semua pasien yang memerlukan obat atau cairan intravena, pasien yang mempunyai
risiko henti napas dan henti jantung atau pasien yang menjalani resusitasi jantung paru.
Biasanya kanulasi dilakukan dengan cara menembus kulit (perkutan). Pada anak kanulasi
atau kateterisasi vena perifer dapat dilakukan di vena lengan (v. basilica dan v. sefalika),
punggung tangan (dorsum manus), kaki (v. dorsalis pedis dan v. safena magna) dan leher
(v. jugularis eksterna). Sedangkan seksi vena biasanya dilakukan pada vena safena magna
di daerah pergelangan kaki.



V. Jugularis eksterna
Walaupun merupakan akses yang baik untuk kanulasi vena sentral v. jugularis eksterna
adalah vena perifer. Akses vena ini hanya digunakan bila kanulasi vena perifer lain gagal,
akan tetapi tidak dilakukan pada resusitasi pasien dengan gagal napas atau sumbatan jalan
napas karena untuk mencapainya leher harus diregangkan dan diputar ke arah
berlawanan.

Vena daerah kepala


Pada bayi akses vena perifer juga dapat dilakukan di vena daerah kepala (v. frontalis, v.
temporalis dan v. oksipitalis), dan pada bayi baru lahir di vena umbilikalis. Akan tetapi
vena daerah kepala karena kecil dan dapat mengganggu tindakan tidak dianjurkan pada
resusitasi dan hanya digunakan untuk pemberian cairan atau obat pasca resusitasi.

Peralatan
Alat-alat yang dibutuhkan adalah kapas/ kasa dengan larutan antiseptik (povidoniodin)
dan alkohol, wing needle (no. 19, 21, 23, 25) atau kateter IV (no. 14, 16, 18, 20, 22, 24),
semprit dan cairan NaCl 0,9%, plester untuk fiksasi serta turniket yang kadang-kadang
diperlukan untuk membendung aliran darah di daerah lengan dan kaki. Untuk kanulasi
vena daerah kepala turniket yang digunakan berupa pita karet yang agak lebar.


 Teknik kanulasi vena perifer di lengan,ketiak dan kaki dengan kateter intravena 
 Kanulasi vena harus dilakukan secara steril dengan melakukan upaya pencegahan/
pencegahan (universal precaution). Bilamana mungkin cuci tangan lebih dahulu dengan
air dan sabun atau larutan disinfektan sebelum melakukan tindakan kecuali dalam
tindakan resusitasi darurat.
Lengan dipegang erat oleh rekan yang membantu sehingga tidak dapat bergerak, letakkan
gulungan kasa atau kain di belakang siku sehingga fosa kubiti menonjol ke atas sedang
pada kanulasi vena di daerah kaki arahkan telapak kaki keluar sehingga maleolus
medialis menghadap ke atas kemudian pasang turniket di daerah proksimal vena. Bila
akan memasang kateter di vena aksilaris regangkan lengan atas dan bawah sejauhnya
sehingga ketiak terbuka dan menonjol.
 Kenakan sarung tangan dan bersihkan kulit di permukaan bawah daerah vena dengan
cairan antiseptik. Bilas jarum atau kateter dengan larutan NaCl steril kemudian lepaskan
semprit sehingga lubang jarum/kateter terisi cairan. Dengan tangan yang bebas tarik atau
regang kulit di daerah vena dan tusuk kulit dengan jarum 0,5 - 1 cm ke arah distal atau
lateral letak vena dan dorong jarum dengan ujung menghadap ke bawah ke arah vena
sampai darah keluar ke pangkal jarum atau kateter, lepaskan bendungan dan hubungkan
kateter dengan semprit untuk memasukkan cairan sedikit sebelum menghubungkannya
dengan pipa infus.
Kemudian fiksasi kateter dengan plester, tutup dengan kasa steril dan pasang bidai agar
posisi lengan atau kaki tidak berubah.
  
Teknik kanulasi vena jugularis eksterna
Baringkan anak dengan posisi kepala lebih rendah 15-30o (atau ganjal bahu
sehingga kepala terkulai/tengadah), arahkan kepala ke arah berlawanan dengan letak
vena yang akan dituju dan pertahankan dalam posisi demikian (Gambar 37).
Bersihkan kulit dengan cairan antiseptik, raba vena jugularis eksterna yang terlihat
menyilang m. sterno-cleido-mastoideus pada batas sepertiga tengah dan sepertiga distal.
Minta pada rekan yang membantu menekan ujung vena di atas klavikula sehingga vena
tidak akan bergeser, kemudian tusukkan jarum ke kulit
dan vena dan setelah keluar darah hubungkan pipa set infus dengan jarum. Setelah itu
gunakan plester untuk memantapkan letak jarum/kateter.


Kanulasi intraoseus 
Pada keadaan darurat akses intravena seringkali sukar dilakukan sementara setiap
kelambatan akan mempengaruhi hasil tindakan resusitasi. Karena itu pada resusitasi anak
balita akses intraoseus yang dimulai hampir 60 tahun lalu menjadi pilihan untuk
pemberian cairan, obat maupun komponen darah ke dalam pleksus vena di sumsum
tulang yang tidak kolaps. Akses intraoseus dapat dicapai dalam waktu 30 sampai 60 detik
dan umumnya semua obat yang digunakan pada resusitasi dapat diberikan melalui jalan
intraoseus (Gambar 38). Pemberian cairan untuk mengganti kehilangan dan obat atau
cairan yang agak pekat harus dilaksanakan dengan pemberian tekanan untuk mengatasi
tahanan jaringan pembuluh darah dalam sumsum tulang yang mengalirkan darah ke
sirkulasi umum melalui korteks tulang.
Pemberian cairan intraoseus dilakukan bila kanulasi akses vena lain gagal atau perlu
waktu lebih dari dua menit.
Alat-alat yang dibutuhkan:
• Jarum intraoseus
• Semprit dengan cairan NaCl
• Set IVFD
  


Teknik kanulasi intraoseus


Kenakan sarung tangan dan bersihkan kulit dipermukaan tulang kering kira-kira 2- 3 cm
di bawah tuberositas tibia anterior arah ke medial dengan cairan antiseptik.
Periksa jarum intraoseus pastikan bahwa stilet dan ujung jarum sesuai dan
pegang tungkai bawah di sekitar lutut agar tulang kering tidak bergerak. Tusukkan
jarum intraoseus tegak lurus pada daerah yang dituju dengan gaya melubangi atau
membor sampai terasa tahanan tulang menghilang yang menandai daerah sumsum tulang.
Hubungkan dengan semprit untuk memastikan dengan aspirasi kemudian bilas kembali
sebelum menghubungkan dengan pipa IVFD. Fiksasi jarum dengan plester dan tutup luka
dengan kasa steril.
  
Akses vena sentral 
Kanulasi vena sentral dapat dilakukan melalui vena femoralis, yang paling
banyak dilakukan pada resusitasi karena relatif mudah dan jauh dari dada, dan v.
cava superior yang dapat dicapai melalui v. jugularis interna, v. jugularis eksterna
dan pada anak besar v. subklavia meskipun akses ini bukan posisi yang ideal
pada tindakan resusitasi.
 Alat-alat dan teknik yang digunakan:
Kateter intra vena, baik kateter yang melalui jarum atau kateter intravena dengan kawat
pemandu (guide wire) yang memungkinkan cara pemasangan dengan teknik Seldinger.
Kapas atau kasa dengan cairan antiseptik, Lignokain 1% dan semprit 2 ml serta jarum no.
23 untuk anestesi lokal dan benang dan jarum jahit, set infus dan plester.
Teknik Seldinger (Gambar 39) dilakukan dengan memasukkan kateter stetelah tusukan
awal dengan jarum kecil atau kateter intravena. Segera setelah keluar darah dari jarum
kateter dimasukkan kawat pemandu dan jarum atau kateter intravena dicabut kemudian
kateter yang panjang atau introducer dimasukkan melalui kawat pemandu ke dalam
pembuluh darah dan kemudian kawat pemandu dicabut kembali.
 
 Teknik kanulasi v. femoralis 
 Baringkan anak telentang dengan paha sedikit abduksi dan fiksasi tungkai
bawah. Kenakan sarung tangan dan bersihkan kulit dengan cairan antiseptik
kemudian tutup dengan kain penutup steril. Tentukan tempat penusukan dengan meraba
a. femoralis. V. femoralis terletak sebelah medial dari a. femoralis. Berikan
suntikan infiltrasi dengan Lignokain untuk melakukan anestesi lokal dan hubungkan
jarum dengan semprit kemudian bilas dengan larutan NaCl steril. Dengan tetap
meraba arteri dengan satu jari tusuk jarum dengan sudut 45o ke arah umbilikus
(Gambar 40). Dorong jarum sambil menarik semprit untuk melakukan aspirasi. Setelah
darah keluar lepaskan semprit dari jarum kemudian masukkan kawat pemandu
kemudian cabut jarum dengan perlahan kemudian masukkan introducer atau kateter.
Dorong kateter sampai ke vena cava inferior. Jahit kateter ke kulit dan tarik kembali
kawat pemandu kemudian hubungkan dengan set infus dan fiksasi dengan plester.
  

  Gambar 39.Teknik Seldinger untuk penempatan kateter.
A. Jarum ditusuk ke pembuluh darah dan kawat pemandu dimasukkan. 
 B. Jarum dicabut  sehingga tinggal kawat pemandu. 
 C. Melalui kawat pemandu kateter dimasukkan ke dalam 
 pembuluh darah dengan sedikit dipuntir. 
 D. Kawat pemandu ditarik dan kateter dihubungkan dengan pipa infus
Dikutip dari Schwartz AJ et al. Central venous cathetherization in pediatrics.



 Gambar 40. A. Lokasi V. femoralis, B.Arah tusukan pada kanulasi V. femoralis


Kanulasi v. jugularis interna


Kanulasi vena jugularis interna biasanya dilakukan pada sisi kanan karena puncak paru
dan pleura kanan lebih rendah dari yang kiri sehingga risiko pneumotoraks lebih sedikit,
jalur ke arah atrium kanan lebih lurus dan cedera ductus thoracicus paling kecil
kemungkinannya.
 
 Teknik kanulasi v. jugularis interna
Baringkan anak dengan posisi kepala lebih rendah 15-30o dengan kepala di arahkan ke
kiri dan pegang atau fiksasi kepala dan badan anak. Kenakan sarung tangan
dan bersihkan daerah leher dengan cairan antiseptik kemudian tutup daerah
sekitar dengan kain penutup steril.
Tentukan tempat penusukan pada puncak segitiga yang dibentuk oleh m. sterno kleido
mastoideus dan klavikula. Dan suntikkan dengan cara infiltrasi Lignokain untuk anestesi
lokal.
Hubungkan jarum dengan semprit kemudian arahkan ujung jarum dengan sudut
30o tusukkan ke arah puting dada sambil menarik pompa semprit untuk melakukan
aspirasi. Segera setelah darah keluar lepaskan semprit dari jarum , tutup ujung jarum
untuk mencegah masuknya udara. Bila tidak berhasil tarik kembali ke arah kulit dan
dorong kembali 5-10o ke arah lateral (Gambar 41).
Masukkan kawat pemandu ke dalam jarum dan pembuluh darah, cabut jarum dengan
memastikan kawat tetap pada tempatnya dan kemudian masukkan kateter melalui kawat
pemandu ke dalam vena. Jahit kateter ke kulit dan tarik kawat pemandu, tutup ujung
kateter untuk mencegah masuknya emboli udara danhubungkan dengan set IVFD. Fiksasi
dengan plester dan buat foto toraks untuk memastikan letak kateter dan memastikan tidak
ada pneumotoraks. 


  Gambar 41. Kanulasi vena Jugularis interna
 Teknik kanulasi v. subklavia
Baringkan anak dengan posisi kepala ke bawah 30o dengan kepala diarahkan
kearah berlawanan dengan tempat penusukan fiksasi kepala dan badan sehingga
tidak bergerak.
Kenakan sarung tangan dan bersihkan daerah dada atas dengan cairan antiseptik.
Tentukan tempat penusukan 1 cm di bawah pertengahan klavikula atau antara sepertiga
tengah dan sepertiga medial klavikula. Berikan anestesi lokal dengan suntikan infiltrasi
Lignokain 1% dan tutup daerah sekitar dengan kain penutup steril hubungkan jarum
dengan semprit dan tusukkan jarum di bawah klavikula dan arahkan ke tonjolan supra
sternal. Dorong jarum sambil menarik pompa semprit menyusur bawah klavikula. Segera
setelah keluar darah lepaskan semprit dari jarum sambil menutup ujung jarum untuk
mencegah emboli udara. Bila tidak berhasil tarik kembali jarum kearah kulit sambil tetap
menarik pompa sempritkemudian dorong kembali jarum dengan arah sedikit lebih ke
atas(Gambar 42).
Masukkan kawat pemandu ke dalam jarum dan pembuluh darah, jahit kateter ke kulit dan
tarik kembali kawat pemandu. Tutup ujung kateter sebelum menghubungkan dengan pipa
IVFD untuk mencegah emboli udara . Fiksasi dengan plester dan buat foto toraks untuk
memastikan letak kateter dan memastikan tidak ada pneumotoraks.
 

  
 Gambar 42. Kanulasi vena subklavia
 Seksi vena safena magna
Seksi vena safena magna dilakukan bila kanulasi vena perifer, vena sentral dan intraoseus
tidak berhasil.
 
 Alat-alat:
• Bidai untuk fiksasi tungkai bawah
• Lignokain 1% dengan semprit 2 ml dan jarum no. 23
• Bisturi (scalpel) dan Mosquito bengkok
• Benang dan jarum
 
 Teknik seksi vena
Tentukan tempat insisi kulit yaitu satu jari (2 cm) pada anak, setengah lebar jari (1 cm)
pada bayi dan 2 jari pada anak besar di sebelah anterior maleolus medialis (Gambar 43).
Kenakan sarung tangan dan bersihkan daerah insisi dengan cairan antiseptik kemudian
tutup daerah sekitar dengan kain penutup steril. Berikan anestesi lokal dengan suntikan
infiltrasi Lignokain 1% dan iris kulit dengan scalpel. 
Bebaskan jaringan subkutan dengan mosquito klem dan congkel vena setelah terlihat,
kemudian bebaskan vena. Potong benang sepanjang 15-30 cm dua lembar dan buat
simpul di daerah proksimal dan distal vena kemudian ikat ujung distal. 
Buat lubang pada vena dengan ujung bisturi atau gunting runcing, hati-hati jangan sampai
putus kemudian sambil memegang ikatan distal vena masukkan kanul kateter intravena
kemudian fiksasi dengan ikatan benang proksimal secukupnya dan jahitan kulit dan
hubungkan ujung kanul/kateter dengan pipa infus.
 

  Gambar 43. Seksi vena safena magna
 Akses arteri 
 Kanulasi arteri dilakukan untuk mendapatkan sampel darah pemeriksaan analisis gas
darah dan pada anak biasanya dilakukan di a. radialis atau a. tibialis posterior.
 
 Alat-alat:
• Semprit dengan heparin
• Wing needle atau jarum no. 20
• Plester
 
 Teknik pungsi arteri
Sebelum melakukan pungsi arteri radialis lakukan uji Allen untuk memastikan adanya a.
ulnaris. Tekan kedua arteri di pergelangan tangan dan lepaskan tekanan pada a. ulnaris.
Kulit akan kembali kemerahan yang menunjukkan kembalinya sirkulasi. Bila sirkulasi
tidak pulih kembali jangan lakukan pungsi a. radialis.
Dorong telapak tangan 45-60o sehingga hiperekstensi dan pertahankan dalam posisi ini
bila perlu dengan mengganjal pergelangan tangan (Gambar 44). 
Kenakan sarung tangan, raba arteri radialis dan bersihkan daerah pergelangan tangan
anak dengan cairan antiseptik kemudian tusuk jarum dengan susut 45o dan dorong jarum
perlahan-lahan sampai keluar darah. Ambil contoh darah dengan semprit kemudian tekan
selama 5 menit untuk mencegah hematoma.
Bila akan memasang kateter arteri tusuk kulit tempat arteri radialis dengan jarum no. 20
dengan sudut 30o sampai keluar darah kemudian turunkan jarum 10o dan masukkan
kateter no. 20-24 yang telah dibilas dengan heparin dan perlahanlahan dorong kateter
sampai masuk ke dalam arteri. Cabut jarum dan hubungkan kateter dengan sebuah T-
konektor dan hubungkan dengan infus cairan NaCl dan heparin yang kontinu (1-5 U/ml).
Tutup tempat tususkan dengan kasa steril dan plester dan fiksasi tangan dengan bidai.
 


  Gambar 44. Pungsi arteri radialis
 REFERENSI
Gangguan Irama Jantung pada Pediatrik
Gangguan irama jantung pada bayi dan anak merupakan kegawatan yang harus segera diatasi.
Pada usia tersebut henti jantung primer sangat jarang terjadi. Henti jantung biasanya sekunder
akibat hipoksia dan asidosis yang disebabkan oleh karena gangguan pada sistem pernapasan atau
syok. 
Karena itu pada bayi dan anak dengan gangguan irama jantung harus segera diperbaiki jalan
napas, ventilasi yang efektif, oksigenasi yang adekuat dan stabilisasi hemodinamik.
 
Elektrokardiogram
Gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang menggambarkan proses depolarisasi dan
repolarisasi miokard disetiap siklus jantung yang meliputi gelombang P, QRS dan T (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar elektrokardiogram

Depolarisasi mulai dari nodus sinoatrial (SA) yang terletak pada pertemuan vena cava superior
dengan atrium kanan dan melalui jaringan di atrium melalui jaras internodal menuju nodus
atrioventrikel (AV) yang daya penjalarannya lebih lambat. Kemudian melalui berkas His
(Bundle of His) akan cepat menyebabkan depolarisasi miokard ventrikel (Gambar 2).

Gambar 2. Sistem konduksi jantung 


Defleksi pertama pada rekaman EKG merupakan depolarisasi dari kedua atrium. Perlambatan
rangsang terjadi di nodus AV dan waktu yang diperlukan untuk meneruskan rangsangan melalui
berkas His disebut interval PR. Gelombang QRS merupakan depolarisasi miokard ventrikel.
Karakteristik depolarisasi ventrikel padarekaman EKG adalah segmen ST dan gelombang T
(Gambar 3)

Gambar 3. Hubungan anatomi sistem konduksi dengan EKG 

Denyut jantung normal ditentukan oleh usia dan tingkat aktivitas serta keadaan patologis seperti
demam atau perdarahan. Terdapat variasi yang besar pada denyut jantung yang normal dan
berkurang secara berangsur sesuai umur (Tabel 1). Keadaan klinis anak dan saat baru bangun
tidur harus selalu dipertimbangkan, ketika hendak mengevaluasi denyut jantung. Bayi demam
dengan fungsi kardiovaskular normal, denyut jantung bisa mencapai 200 kali permenit atau
lebih. Keadaan ini sulit untuk dibedakan antara sinus takikardia dan takiaritmia (takikardia
supraventrikular).

Pemantauan EKG
Gambaran EKG harus dipantau terus menerus pada anak dengan fungsi pernapasan atau
kardiovaskular yang tidak stabil, termasuk anak dengan henti jantung paru yang lama.
EKG tidak bisa memberikan informasi keadaan kontraklitas miokard atau kualitas perfusi
jaringan. Oleh karena itu penanganan harus didasarkan pada evaluasi klinis pasien dihubungkan
dengan rekaman EKG.

Perangkat
Sistem pemantauan EKG terdiri dari layar dan takometer, frekuensi denyut jantung dapat
diketahui dengan menghitung jarak interval R-R. Idealnya sistem ini dilengkapi dengan alat
pencetak/perekam. Beberapa monitor juga mampu menyimpan data gangguan irama yang bisa
diperlihatkan kembali dan dianalisis kemudian. Rangsangan EKG disalurkan dari pasien ke layar
monitor melalui 3 kabel yang berwarna ditempelkan ke pasien dengan bantalan perekat sekali
pakai atau elektroda logam. Keduanya tersedia dalam ukuran kecil untuk anak. Bantalan perekat
yang besar untuk dewasa. Bila elektroda ditempatkan pada lokasi yang tepat akanmenghasilkan
gambaran EKG yang baik dengan gelombang P yang jelas, takometer akan terangsang oleh
gelombang R bukan oleh gelombang T .Elektroda harus ditempatkan di pinggir dada depan agar
tidak mengganggukompresi dada sewaktu resusitasi jantung paru , dan tidak menggangu
auskultasijantung (Gambar 4).

 Gambar 4. tempat pemasangan elektroda untuk monitoring

Artefak
Kita harus mengenal artefak yang umumnya terdeteksi pada rekaman EKG. Ada 4 jenis artefak
yang sering dijumpai .
1. Garis datar (mirip asistole) atau garis yang bergelombang (mirip fibirilasi kasar),
disebabkan karena kabel atau elektroda yang terlepas.
2. Gelombang T yang tinggi, oleh takometer dibaca sebagai gelombang R sehingga
denyut jantung terhitung dua kali lipat dari sebenarnya.
3. Tidak adanya gelombang P, karena penempatan elektroda yang tegak lurus
terhadap aksis gelombang P.
4. Gangguan / interferences perangkat elektrik di sekitarnya.
Artefak dapat menyulitkan interpretasi EKG. Penilaian klinis anak harus selalu diselaraskan
dengan gambaran EKG sebelum pengobatan.

Irama abnormal
Prinsip pengobatan
Gangguan irama jantung pada anak harus segera mendapat penanganan bila disertai dengan
penurunan curah jantung atau kecenderungan akan terjadi kolaps hemodinamik.
Curah jantung merupakan hasil dari perkalian isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung.
Penurunan curahjantung dapat disebabkan karena denyut jantung yang terlalu cepat dengan
akibat tidak cukupnya pengisian darah pada waktu diastole yang selanjutnya akan menyebabkan
isi sekuncup yang rendah, dan frekuensi jantung yang lambat.
Gangguan irama jantung yang spesifik memerlukan evaluasi akhli kardiologi anak. Tetapi
gangguan irama jantung yang umum yang disertai dengan kolaps hemodinamik harus dapat
dilakukan oleh setiap dokter.
Gangguan irama jantung dapat diklasifikasikan:
• Denyut nadi yang cepat = takiaritmia
• Denyut nadi yang lambat = bradiaritmia
• Tidak teraba denyut nadi = henti jantung (kolaps)
Irama yang lambat disertai dengan gangguan hemodinamik pada umumnya disebabkan oleh blok
AV atau adanya penekanan terhadap nodus SA oleh karena 
hipoksia dan asidosis. Pengobatan awal adalah memperbaiki jalan napas, ventilasi dan (golongan
obat simpatomitetik)
Tidak teraba denyut nadi karena asistole, fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel tanpa denyut
nadi atau aktivitas listrik tanpa denyut nadi seperti pada disosiasi elektromekanik.
 
Takiaritmia
Sinus takikardia
Sinus takikardia adalah denyut jantung melebihi nilai normal sesuai umur (Tabel 1).

Tabel 1. Denyut jantung normal pada anak


Penyebab sinus takikardia adalah demam, nyeri, kehilangan darah, sepsis, hipoksemia, dan syok.
Gambaran EKG pada sinus takikardia adalah (Gambar 5)
 Denyut jantung lebih cepat dari denyut jantung normal sesuai usia
 Iramanya teratur dengan gelombang P, gelombang P, QRS-T, dan lama QRS
yang normal.

 
Gambar 5. Sinus takikardia pada anak demam (180 denyut permenit)

Pengobatan
Pengobatan ditujukan langsung terhadap penyebabnya.
 
Takikardia supraventrikular
Takikardia supraventrikular (SVT) ditandai dengan adanya perubahan frekuensi denyut jantung
yang mendadak bertambah cepat. Walaupun SVT pada bayi dan anak umumnya masih dapat
ditolerir, tetapi lambat laun dapat menyebabkan kolaps jantung dan akhirnya syok.
Gambaran EKG pada SVT (Gambar 6) adalah sebagai berikut:
 Denyut jantung pada SVT tergantung umur anak. Pada bayi sekitar 240 kalipermenit atau
lebih
 Irama teratur kecuali adanya AV blok
 Gelombang P sulit diidentifikasi terutama bila denyut jantung ventrikel cepat
 Lama QRS normal (dibawah 0.08 detik) pada kebanyakan (90%) anak. SVT dengan
konduksi aberasi (QRS yang lebar) sulit dibedakan dari takikardia ventrikel, tetapi bentuk seperti
ini jarang dijumpai pada bayi dan anak.
 Perubahan ST dan T merupakan tanda iskemik miokard bila takikardia menetap.

Gambar 6. gambaran SVT pada bayi (denyut jantung > 300 kali.menit)

Membedakan sinus takikardia yang ekstrim karena sepsis atau hipovolemik dengan SVT adalah
sulit, keduanya bisa menyebabkan perfusi sistemik yang jelek, Beberapa hal yang membedakan
antara sinus takikardia yang ekstrim dengan SVT antara lain adalah:
1. Denyut jantung. Denyut jantung pada sinus takikardia selalu dibawah 200 kali/
min. sedangkan pada SVT pada bayi diatas 230 x/min.
2. Gambaran EKG. Gelombang P sulit diidentifikasi pada sinus takikardia maupun
SVT. Bila gelombang P dapat diidentifikasi, aksis dari gelombang P biasanya tidak
normal pada SVT tetapi normal pada sinus takikardia.
3. Variasi pada sinus takikardia kecepatan denyut dapat bervariasi tetapi pada SVT
tidak. Biasanya SVT menghilang secara mendadak sedangkan pada sinus takikardia
denyut jantung berkurang secara berangsur-angsur.
Pengobatan
Synchronized cardioversion
Direct current synchronized cardioversion merupakan pengobatan pilihan untuk pasien dengan
takiaritmia yang disertai dengan gangguan kardiovaskular.
Dosis awal yang diberikan pertama kali 0,5 J/kg dan bila takiaritmia masih menetap dapat
diulang dengan dosis dilipat gandakan. Jika tidak terjadi konversi ke irama sinus diagnosa SVT
perlu ditinjau kembali, sinus takikardia biasanya akan menetap.
Prosedur melakukan synchronized cardioversion
1. EKG dihubungkan ke defibrilator bila memakai alat tanpa monitor EKG
langsung.
2. Aktifkan sirkuit sinkron (adanya kedipan cahaya ditiap gelombang QRS
dilayar monitor pada modul yang lama QRS harus berdiri tegak.
3. Tombol harus ditekan dan dipertahankan sampai selesai syok (selama
beberapa kompleks QRS).
Idealnya pada bayi dan anak harus diintubasi dengan ventilasi dan oksigen 100% sebelum
kardioversi dan dipasang akses vaskular (vena atau intraosseus). Pemberian sedasi dan analgetika
perlu dipertimbangkan, bila pasien disertai dengan syok kardioversi tidak boleh ditunda.
 
Adenosin.
Adenosin adalah obat pilihan pengobatan SVT pada bayi dan anak. Adenosin adalah suatu
nukleosida endogen yang memblok transient AV blok.
Sementara untuk menghambat sirkuit reentery, termasuk jaringan junctional AV. Manfaat utama
ednosin adalah waktu paruh yang singkat kurang dari 10 detik sehingga mengurangi efek
samping dan relatif aman. Adenosin tidak berinteraksi dengan obat jantung lainnya dan bisa
digunakan pada anak dengan sindrom Wolf Parkinson White dan gangguan irama lainnya. Pada
bayi dengan SVT dan syok, pemakaian adenosin bisa diberikan sebelum kardioversi bila telah
dipasang akses vaskular, tetapi kardioversi harus segera diberikan bila akses vaskular tidak
ada / terpasang.
Dosis: 0,1 mg/kg bolus secara cepat dengan pemantauan EKG. Karena waktu paruhnya sangat
cepat maka harus cepat dibilas dengan 2-3 mg garam fisiologis. Bila belum ada respons dapat
diulang setiap 2 menit sampai dosis maksimum tidak melebihi 12 mg.
 
Verapamil.
Verapamil adalah anatagonis kalsium, efek antiaritmia verapamil melalui perlambatan konduksi
dan pemanjangan masa refrakter di jaringan AV. Verapamil mempunyai efek inotropik negatif
dan menyebabkan depresi miokard yang serius. 
Telah dilaporkan bahwa pada pemberian verapamil dapat menyebabkan bradikardia, hipotensi
dan asistole. Verapamil tidak boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, gagal jantung ,dan
anak yang telah mendapat obat golongan badrenergik.
Dosis verapamil : 0,1-0,2 mg/kg selama 10 menit kemudian dilanjutkan 5 μg/ kg/menit.
Takikardia ventrikular 
Takikardia ventrikular (VT) sangat jarang dijumpai pada anak. Denyut ventrikel bervariasi dari
mendekati normal sampai diatas 400 kali permenit. Denyut ventrikel yang lambat dapat
ditoleransi dengan baik, tetapi denyut ventrikel yang cepat akan mengurangi isi sekuncup, curah
jantung serta cepat memburuk menjadi fibrilasi ventrikel.
Umumnya anak dengan VT mempunyai kelainan struktural jantung atau sindrom perpanjangan
QT. Penyebab lainnya adalah hipoksemia, asidosi, gangguan elektrolit, keracunan obat seperti
anti depresi golongan trisiklik. 
Gambaran EKG pada VT (Gambar 7) adalah sebagai berikut:
 Denyut ventrikel minimal 120 kali permenit dan teratur
 QRS lebar lebih dari 0,08 detik
 Gelombang P tidak dapat diidentifikasi. Bila ada tidak berhubungan dengan QRS
(disosiasi AV). Denyut melambat, depolarisasi atrium secara retrograde dengan perbandingan
1:1.
 Gelombang T berlawanan arah dengan QRS
 Mungkin sulit membedakan SVT dengan kondusi aberans dari VT. Untungnya SVT
dengan konduksi aberans pada anak dijumpai sangat sedikit (dibawah 10%).

Gambar 7. Gambar EKG takikardia ventrikular

Pengobatan
VT tanpa teraba nadi ditanggulangi seperti fibrilasi ventrikel. Bila VT dengan tanda-tanda syok
(curah jantung yang rendah, perfusi yang jelek) tetapi nadi teraba, dilakukan “synchronized
cardioversion: Idealnya pasien telah diintubasi dengan pemberian oksigen 100%, ventilasi yang
adekuat, pasang akses vaskular dengan sedasi dan analgesi yang adekuat.
Bila penyebab VT diketahui (misal gangguan elektrolit atau keracunan obat) harus diobati
penyebabnya.
 
Lidokain. 
Digunakan untuk menaikkan ambang rangsang dari fibrilasi ventrikel dan menekan ektropik
ventrikel paska kardioversi, jadi harus diberikan sebelum kardioversi jika terpasang akses
vaskular dan obat tersedia. Dosis awal 1 mg/kg selama 2 menit dan dilanjutkan dengan drip 20-
50 mg/kg/menit. Kardioversi pada anak tidak boleh ditunda pada anak yang tidak stabil dan drip
lidokain harus ditinjau kembali setelahtimbul sirkulasi spontan terutama bila penyebabnya adalah
miokarditis atau kelainan struktur jantung. 
Kadar lidokain yang berlebihan di dalam plasma dapat menekan miokard dan gangguan sirkulasi
dengan gejala dari susunan saraf pusat berupa mengantuk, disoriantasi, dan kejang. Bila ada
gangguan klirens lidokain seperti kegagalan jantung kongestif, dosisnya harus dikurangi
maksimum 20 mg/kgBB/menit.
 
Bretylium tosylate
Tidak ada data mengenai penggunaan bretylium tosylate pada kelompok usia anak.
 
Bradiaritmia
Hipoksemia, hipotensi dan asidosis akan menganggu fungsi normal dari nodus SA dan nodus AV
dan akan memperlambat konduksi melalui jaras (pathway) yang normal. Sinus bradikardia, henti
nodus sinus dengan irama junctional yang lambat atau irama ventrikel escape dengan berbagai
derajat AV blok sering dijumpai pada anak dengan gangguan irama terminal.
Gambaran EKG pada bradiaritmia adalah sebagai berikut :
 Denyut jantung yang lambat
 Gelombang P yang kadang-kadang sulit dinilai
 Gelombang QRS yang normal atau memanjang.
Pengobatan
Bila resusitasi kardiopulmonal diperlukan maka evaluasi spesifik terhadap bradiaritmia tidak
diperlukan. Bradikardia (frekuensi denyut jantung < 60 x/menit) pada bayi dan anak yang
disertai dengan perfusi perifer yang buruk perlu mendapat penanganan walaupun dengan tekanan
darah normal. Pemberian oksigen 100% dengan ventilasi yang adekuat, kompresi dada dan
pemberian epinefrin serta atropin dapat dipakai seperlunya.
 
Epinefrin
Merupakan obat golongan inotropik derivat katekolamin yang menstimulasi reseptor a dan b.
stimulasi b reseptor akan meningkatkan kontraksi miokard dan denyut jantung. Pemberian dosis
awal epinefrin secara intravena atau intraoseus yang telah direkomendasikan untuk bradikardia
simptomatik tidak respons dengan ventilasi dan pemberian oksigen 100% maka epinefrin
diberikan dengan dosis 0,01 mg/kgBB dengan perbandingan 1: 10.000 (0,1 ml/kg). Dosis yang
diberikan melalui endotrakeal tube 0,1 ml/kgBB dengan perbandingan 1: 1000 (0,1 ml/kg)
yang diencerkan dengan 3-5 ml.

Atropin sulfat
Merupakan obat golongan para simptolitik yang dapat mempercepat sinus dan atau pacu jantung
atrial dan mempercepat konduksi AV. Atropin sulfat hanya digunakan untuk penanganan
bradikardia setelah ventilasi dan oksigenasi adekuat tidak memberikan respons. Umumnya
bradikardia disebabkan karena hipoksemia.
Atropin juga digunakan untuk penanganan bradikardia karena refleks vagal selama intubasi bila
oksigenasi baik. Walaupun digunakan untuk bradikardia dengan tanda syok secara klinis (perfusi
yang jelek atau hipotensi), pada keadaan ini pemberian epinefrin lebih efektif. Bradikardia yang
simptomatik dengan AV blok dapat diatasi dengan atropin.
Dosis vagolitik atropin yang dipakai adalah adalah 0,02 mg/kgBB, dosis minimal 0,1 mg dan
dosis tunggal maksimal pada anak 0,5 mg . Atropin dapat diulang setelah 5 menit dengan pada
anak 1,0 mg . Dosis intravena ini bisa juga diberikan melalui endotrakeal tube, walaupun
penyerapan ke dalam sirkulasi melalui jalan ini tidak dapat dipercaya. Dosisnya 2 sampai 3 kali
lebih tinggi dari dosis intravena.
Takikardia setelah pemberian atropin biasanya berupa sinus takikardia dan dapat ditoleransi
dengan baik.
 
Henti nadi
Henti nadi adalah diagnosis klinis, tidak teraba nadi setelah henti napas. Bisa karena asistole,
fibrilasi ventrikel atau aktivitas listrik tanpa denyut nadi (termasuk disosiasi elektromekanik).
 
Asistole
Henti nadi karena aktifitas listrik jantung perlu dikonfirmasikan secara klinis (henti nadi, henti
pernapasan spontan, perfusi yang jelek) dimana garis yang datar bisa disebabkan oleh lepasnya
lead EKG. Gambar EKG pada asitole (Gambar 8) 
• Gambar datar di layar monitor EKG
• Gelombang P kadang-kadang terlihat
 

 Gambar 8. Gambar EKG pada asistole


 
Pengobatan
Dilakukan resusitasi

Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel disebabkan karena depolarisasi ventrikel yang kacau, tidak teratur karena
getaran miokard tanpa kontraksi, tanpa sistole ventrikel sehingga nadi tidak teraba. VF adalah
keadaan terminal yang tidak biasa dijumpai pada kelompok usia anak dan hanya 10% terjadi
pada anak dengan gangguan irama terminal. Hasil resusitasi VF lebih baik daripada asistol atau
disosiasi elektromekanikal.
Penanganan pertama pada bayi dan anak tanpa denyut nadi adalah ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat dan dilakukan kompresi dada luar. Dilakukan defibrilasi bila VF dikonfirmasikan dilayar
monitor EKG. Penanganan VT tanpa denyut nadi sama seperti VF.
Gambaran EKG pada fibrilasi ventrikel (Gambar 9)
 Tidak bisa diidentifikasi gelombang P, QRS atau T
 Gelombang VF yang kacau dan diklasifikasikan berdasarkan tingginya gelombang atas
kasar atau halus.
Gambar 9. Gambaran EKG pada fibrilasi ventrikel kasar (Chaotic)
Pengobatan
Defibrilasi
Merupakan pengobatan definitif dari VF atau VT tanpa denyut nadi, tetapi defibrilasi tidak
diindikasikan pada asistol. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada diteruskan sampai
akan dilakukan defibrilasi. Idealnya telah dipasang akses vaskular, tetapi tidak sampai menunda
tindakan defbrilasi untuk mendapatkan akses vaskular.
Defibrilasi adalah depolirsasi massa sel miokard kritis yang tidak dibatasi waktu (asinkron)
sehingga terjadi depolarisasi spontan miokard yang teratur. Jika depolarisasi yang teratur tidak
kembali ,VF akan berlanjut menjadi garis datar, pada saat ini tidak mungkin mengembalikan
kegiatan aktifitas spontan jantung.
Berhasilnya defibrilasi memerlukan arus listrik yang cukup mencapai jantung. Aliran arus ini
tergantung pada energi yang diberikan (Joule) dan tahanan transtoraks (Ohm) yang bisa menahan
aliran arus. Bila tahanan transtoraks tinggi maka dibutuhan lebih banyak energi untuk
mendapatkan arus yang cukup sehingga defibrilasi atau kardioversi berhasil. Faktor yang
mempengaruhi tahanan transtoraks adalah energi yang diberikan, ukuran elektroda, jumlah syok,
interval antar syok, fase ventilasi, ukuran dada dan tekanan pedal elektroda.
 
Dosis energi
Dosis energi yang optimal untuk defibrilasi pada bayi dan anak belum didapatkan.Informasi
yang ada tidak mendemonstrasikan hubungan dosis energi dengan berat badan. Dosis awal 2 J/kg
BB sampai didapati data yang lebih lanjut. Untuk meminimalkan tahanan transtoraks, operator
harus menekan kuat pedal elektroda
selama defibrilasi. Jika VF menetap setelah defibrilasi 2 J/kgBB, energi bisa dilipat gandakan 4
J/kg BB . Pada defibrilasi kedua jumlah arus yang mencapai jantung akan meningkat, karena
tindakan pertama akan mengurangi tahanan transtoraks. Pada defibrilasi ketiga bila masih
diperlukan tetap dengan energi 4 J/kgBB. Tiga kali syok harus dilakukan secepatnya dan
berurutan.
VF yang menetap memerlukan pengobatan tambahan dengan epinefrin, lidokain atau bretylium
dengan interval tiap dosis 30-60 detik setelah defibrilasi (4J/kgBB). Jika VF berhasil diterminasi
tetapi berulang, dilakukan defibrilasi ulang dengan energi yang paling akhir.
 
Ukuran pedal
Ukuran pedal ditentukan oleh tahanan transtoraks, yang paling besar lebih merendahkan tahanan.
Pedal yang sebaiknya ukuran yang paling besar sehingga memungkinkan kontak yang baik oleh
seluruh permukaan pedal dengan jarak kedua yang baik. Pedal bayi (4,5 cm) digunakan sampai
usia setahun atau berat badan diatas 10 kg.Pedal dewasa (8-13 cm) untuk anak diatas setahun
atau berat badan diatas 10 kg.
 
Antar permukaan elektroda
Kulit merupakan penghambat antara elektroda pedal dan jantung, yang merendahkan tahanan
antara permukaan (seperti krim atau pasta elektroda, bantuan busa yang dibasahi NaCl 0,9%)
dapat direkomendasikan. Gel untuk sonografi tidak diperbolehkan. Bantalan yang ada alkohol
berisiko luka bakar yang serius dan pedal tanpa perantara menyebabkan tahanan dada yang
besar.
Perantara antar permukaan dari pedal yang satu (misalnya cairan NaCl 0,9% dan bantalan yang
dibasahi NaCl 0,9%) tidak boleh kontak dengan elektroda lainnya karena bisa terjadi jembatan
listrik. Bila ini terjadi ada sirkuit pendek yang jumlah arusnya tidak adekuat melintas kejantung. 
 
Posisi elektroda
Elektroda pedal ditempatkan sedemikian rupa sehingga jantung berada diantaranya. Posisi
elektroda anteriorposterior dengan satu elektroda di depan dada diatas jantung dan satu lagi di
belakang , secara teoritis lebih superior tetapi tidak praktis selama resusitasi jantung paru. Posisi
elektroda standar, satu pedal ditempatkan didada kanan atas dibawah klavikula dan lainnya
disebelah kiri dari puting susu kiri di linea axilaris anterior. Posisi elektroda bayangan cermin
untuk pasien dekstrokardia.
 
Keamanan
Defibrilasi berpotensi bahaya bagi operator dan orang sekitarnya yang kontak dengan arus listrik.
Orang yang melakukan harus selalu memberitahukan akan dimulainya tindakan defibrilasi,
sebelum tindakan defibrilasi orang yang menekan tombol defibrilator harus menyebutkan dengan
jelas dan keras : setelah hitungan ketiga “saya bebas” satu “ saya bebas”, dst.
Operator mengecek kembali, memastikan tidak ada kontak dengan pasien termasuk tenaga medis
yang melakukan ventilasi dengan kompresi.
Semua tangan harus menjauhi dari semua peralatan yang kontak dengan pasien termasuk
endotrakeal tube, kantong ventilasi dan cairan intravena. Akhirnya operator menyebutkan tiga
semua bebas dan melakukan defibrilasi.
 
Percobaan defibrilator
Pada bayi diperlukan dosis yang sangat kecil, energi yang disimpan dan energi yang dihasilkan
oleh defibrilator mungkin jelas berbeda. Defibrilator perlu diperiksa secara periodik untuk
keamanan dan ketepatan:
 
Urutan defibrilasi
Jika terlihat VF dilayar monitor :
1. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada terus menerus tanpa henti
2. Berikan perantara konduktif dipedal bayi (usia pasien dibawah atau sama dengan
setahun) atau pedal dewasa (usia pasien diatas setahun)
3. Hidupkan defibrilator, jangan aktifkan modus sinkron
4. Tentukan dosis energi dan isi kapasitor
5. Hentikan kompresi dada dan letakkan pedal pada posisi yang tepat didada.
6. Memeriksa kembali irama jantung dilayar monitor
7. Jauhkan orang sekitarnya jangan sampai ada kontak denganpasien, tempat tidur
atau peralatan
8. Tekan pedal yang kuat dan pada waktu bersamaan tekan tombol defibrilasi
9. Evaluasi EKG
Disosiasi elektromekanik
Disosiasi elektromekanik (EMD) adalah aktivitas listrik tanpa denyut nadi, ditandai oleh adanya
aktivitas listrik yang teratur di EKG tetapi curah jantung tidak adekuat dan nadi tidak teraba.
Penyebabnya bisa hipoksemia, asidosis berat, hipovolemia, pneumotoraks dan tamponade
pericardial. Penyebab lainnya hipokalemia, hipertermia dan keracunan obat (termasuk kelebihan
dosis antidepresan trisiklik,penghambat b). hasil aktif dari EMD adalah jelek, kecuali penyebab
spesifik cepat diidentifikasi dan ditangani. Kompresi dada, hiperventilasi dengan oksigen
100%, intubasi dan pemberian epinefrin dan sambil mencari penyebab EMD. 

“Pacing noninvasive” (melalui kulit)


Penggunaan “noninvasive transcutaneus pacing” sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu
pada pasien dewasa dengan bradikardia dan asistol, sedangkan pengalaman pada anak sangat
terbatas. Karena pacing ini sangat tidak menyenangkan maka hanya digunakan pada anak dengan
bradikardia simptomatik yang berat yang refrakter terhadap bantuan hidup dasar dan bantuan
hidup lanjut. Pacing melalui kulit tidak
efektif memperbaiki angka harapan hidup pada anak dengan henti jantung diluar rumah sakit.
Pacing noninvasive dengan unit eksternal pacing mempunyai dua elektroda besar yang bisa
menempel. Bila berat badan anak dibawah 15 kg maka dipakai elektroda kecil atau sedang,
diatas 15 kg dipakai elektroda dewasa.
Elektroda negatif ditempatkan didinding dada depan atas jantung dan elektroda positif belakang
jantung. Bila tidak bisa dipunggung, elektroda positif ditempatkan didinding dada depan sebelah
kanan bawah klavikula dan elektroda negatif pada sisi kiri dada sekitar ruang interkostal IV,
diatas mid-aksilaris.
Penempatan elektroda negatif yang tepat tidak diperlukan sebaiknya ditempatkan dekat apeks
dari jantung.
 
 
REFERENSI
Penanganan Kejang pada Pediatrik

BATASAN 
Kejang adalah gerakan abnormal pada neonatus oleh karena gangguan fungsi sistem neuron. 
 
KLASIFIKASI 
 Klonik : Fokal, Multifokal, Migratory
 Tonik : Unilateral, Dekortisasi, Deserebrasi
 Mioklonik : Fokal, Bilateral
 Subtle : Nistagmus, Deviasi mata, Gerakan mengisap, mengunyah, Gerakan seperti
mengayuh se-peda, Gerakan seperti berenang, Mengejap-ngejapkan mata dan flutter kelopak
mata, Apnea
 
ETIOLOGI 
 Penyulit perinatal : Ensefalopati neonatal, Trauma susunan saraf pusat (SSP) dan
perdarahan intrakranial
 Gangguan metabolisme : Hipoglikemia, Hipokalsemia, Hipomagnesemia,
Hipo/hipernatremia, Ketergantungan piridoksin, Gangguan metabolisme asam amino, Asidemia
organik, Gangguan yang berkaitan dengan biotin, Intoleransi fruktosa, Kelainan mitokondria,
Storage disease, Penyakit Menkes ‘kinky hair
 Infeksi : Meningitis, Ensefalitis, Abses otak
 Gangguan perkembangan
 Obat-obatan/toksin
 Polisitemia/hiperviskositas
 Infark fokal
 Familial
 Ensefalopati hipertensif
 Tidak diketahui
 
PATOFISIOLOGI 
Kejang terjadi akibat pelepasan elektrik secara berlebihan, yaitu oleh karena depolarisasi dari
neuron dalam SSP. Depolarisasi terjadi akibat masuknya Na pada proses Na-K pump. Untuk
mempertahankan proses Na-K pump diperlukan energi. Depolarisasi yang berlebihan
disebabkan :
 Kegagalan proses Na-K pump oleh karena penurunan produksi energi, misalnya pada
keadaan hipoksemia, iskemia dan hipoglikemia
 Perubahan permeabilitas membran neuron → peningkatan masukan Na dan terjadi
depolarisasi yang berlebihan, misalnya pada keadaan hipokalsemia dan hipomagnesemia
 Eksitasi neurotransmiter lebih kuat dari inhibisinya → peningkatan depolarisasi, misalnya
pada keadaan ketergantungan piridoksin
 
KRITERIA DIAGNOSIS
 Anamnesis yang terperinci mengenai aktivitas kejang :
 Kejang klonik fokal : Hentakan klonik yang bersifat fokal dan tidak disertai
penurunan kesadaran. Gerakan klonik berlangsung lambat (1-3 kejang/detik) sering terjadi pada
sebelah lengan atau satu sisi wajah dan mungkin menyebar kebagian tubuh yang lain pada satu
sisi yang sama
 Kejang klonik multifokal : Gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak
yang berpindah-pindah dari satu ke anggota gerak lainnya dan sering terlihat pada bayi normal <
34 minggu
 Kejang tonik : Gerakan bersifat fokal atau umum dan dapat menyerupai posisi
dekortisasi atau deserebrasi, pergerakan sering berupa deviasi mata, gerakan klonik atau apnea,
dan sering pada bayi prematur
 Kejang mioklonik : Berupa gerakan menyentak yang sinkron, tunggal atau
multipel pada tangan, kaki atau keduanya dan biasanya berhubungan dengan kelainan SSP
 Kejang subtle : Mengejap-ngejapkan mata dan flutter kelopak mata, Gerakan
mulut dan lidah berupa mengisap-isap, mengunyah dan menguap, Posisi ekstremitas dengan
posisi tonik, Apnea
 Pemeriksaan fisis, terutama status neurologik
 Laboratorium
 Metabolik : Glukosa ↓, Na ↑/↓, Ca ↓, Mg ↓
 Work-up sepsis : Leukositosis/leukopenia, kultur darah, urin dan cairan likuor (+)
 Work-up TORCH
 Skrining sekresi obat dalam urin dan kadar teofilin dalam darah bila
memugkinkan
 Analisis gas : Asidosis, hipoksia
 Pungsi lumbal : Menyokong kearah etiologi
 Radiologi (jika memungkinkan)
 USG kepala : Perdarahan intraventrikular → daerah yang lebih ekogenik di
intraventrikular
 CT scan : Perdarahan subaraknoid → lesi hiperdens di subaraknoid
 Magnetic resonance imaging (MRI) : Perdarahan intraventrikular akut →
gambaran signal yang isodens
 • EEG
 Kejang tonik → gambaran EEG berupa lesi multifokal yang abnormal.
 
DIAGNOSIS BANDING   
Diagnosis banding sesuai dengan etiologi 
 
TERAPI
 Mempertahankan ventilasi, oksigenasi, tekanan, elektrolit, pH darah
 Penyebab : Hipoglikemia atau hipokalsemia → lihat penanganan hipoglikemia atau
hipokalsemia
 Anti kejang:
 
Fenobarbital 
Dosis awal : 20 mg/kgBB i.v./i.m. Jika setelah 60 menit, kejang masih ada berikan dosis ke-2 (10
mg/kgBB) 
Jika kejang masih ada, 2-4 jam kemudian dapat diberikan luminal 10 mg/kgBB. Dosis
maksimum loading dose fenobarbital 30-40 mg/kgBB 
Jika fenobarbital tidak memberikan respons → fenitoin 
Dosis rumatan : 3,5-4,5 mg/kgBB, dosis tunggal atau 2x/hari i.m./p.o., diberikan 12 jam setelah
loading dose. 
Pemberian dihentikan jika pemeriksaan fisis normal, tidak ada kejang rekurens dan gambaran
EEG normal. Pada penderita yang mempunyai risiko untuk terjadinya kejang rekurens (hipoxic
ischemic encephalopaty/HIE, malformasi korteks serebri) pemberian fenobarbital dilanjutkan
sampai umur 2 bulan 
 
Fenitoin    
Loading dose : 15 - 25 mg / kgBB/ IV, kecepatan tidak melebihi 0,5 mg / kgBB / menit.
Selanjutnya 5 mg/ kgBB/ hari 
Rumatan : diberikan 4-8 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis i.v. 
 
Diazepam     
Hanya untuk menghentikan kejang dengan segera.
Pemberian harus dengan monitoring ketat, sebaiknya di rawat di ruang intensif 
Dosis:  0,1-0,3 mg/kgBB pengenceran dengan NaCl fisiologis (1:4), i.v., perlahan-lahan sampai
kejang berhenti 
 
Lorazepam    
Bila resisten terhadap fenobarbital dan fenitoin 
Dosis 0,05 mg/kgBB/dosis, i.v. dalam 2-5 menit 
Paraldehid 
Bila tidak berhasil dengan antikonvulsan lain 
Dosis : 0,1-0,3 ml/kgBB, diencerkan dalam minyak mineral (rasio 1:1 atau 2:1), dalam bentuk
rektal/supositoria dan tidak boleh diberikan > 3x/hari 
 
Obat lain
 Ca : Untuk mengatasi kejang karena hipokalsemia
 Mg : Bila penyebabnya hipomagnesemia, dosis Mg-sulfat 50% 0,1-0,2 ml/kgBB i.m.
setiap 12 jam
 Piridoksin : Bila penyebabnya defisiensi/ketergantungan piridoksin, dosis 50 mg i.v
(Selama pemberiannya harus dimonitor EEG). Rumatan : Untuk ketergantungan 10-100 mg/hari
p.o.(4 dosis) Untuk defisiensi 5 mg/hari p.o. (4 dosis)
 
PROGNOSIS  
Secara umum baik bila : Penyebabnya gangguan metabolik, Pemeriksaan neurologik normal,
EEG normal, Kejang bersifat familial ringan, 
Prognosis buruk bila : Penyebabnya malformasi kongenital, asfiksia berat dan perdarahan
intraventrikular berat, Kejang berlangsung > beberapa hari, Pemeriksaan neurologik abnormal,
EEG abnormal 
 
REFERENSI
1. Behrman RE, Vaughan VC, Mc Kay RJ. Disturbance of repiratory tract. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics; edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co, 1992; 364-75.
2. Fenichel GM. Seizures. Neonatal neurology; edisi ke-3. New York: Churchill
Livingstone Inc, 1990; 17-34.
3. Gomella TL. Neurologic diseases. Neonatology, management, procedures, on-call
problems, diseases and drug; edisi ke-3. Connecticut: Appleton & Lange, 1994; 382-7.
4. Halliday HL, Mc Clure, Reid M. Neurological problems. Neonatal intensive care;
edisi ke-3. Philadelphia: Bailliere Tindall, 1989; 224-8.
5. Kuban K, Filiano J. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care; edisi ke-4. Boston: Little Brown & Co, 1998; 493-
504.
6. Menkes JH. Paroxysmal disorder. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME,
penyunting. Disease of the newborn; edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991;
445-9.
7. Krisis Hipertensi pada Pediatrik
8. Hipertensi tidak biasa dijumpai pada anak. Tekanan darah jarang diukur secara rutin pada
anak yang tampak sehat-sehat saja, oleh karena itu maka hipertensi biasanya disertai
gejala yang berlainan. Gejala nerologis tampak lebih nyata pada anak dibandingkan
dewasa. Kemungkinan terdapat gejala sakit kepala hebat, disertai atau tidak disertai
muntah, memberi kesan peningkatan tekanan intrakranial. Anak dapat pula mengalami
kejang atau koma yang akut. Beberapa anak akan menunjukkan palsi fasial atau
hemiplegia, dan pada bayi bisa disertai apnue.
 
9. Pengukuran tekanan darah
Mengukur tekanan darah pada anak bisa sulit dan kacau apabila tidak dilakukan dengan
benar. Petunjuk-petunjuk ini hendaknya diperhatikan. Pergunakan manset ukuran terbesar
yang sesuai dengan ukuran lengan atas. Manset yang terlalu kecil akan menunjukkan
tekanan darah yang salah karena terlalu tinggi.
Nilai tekanan darah sistolik lebih dapat dipercaya daripada tekanan diastolik, oleh karena
suara Korotkoff yang keempat tidak terdengar atau sampai nilai nol.
Apabila digunakan alat pengukur elektronik, hasilnya sering tidak meyakinkan, maka
sebaiknya lakukan pemeriksaan ulang secara normal sebelum diadakan tindakan.
Peningkatan tekanan darah pada anak yang berontak, kesakitan atau berteriak, harus
diulang lagi setelah keadaan anak tenang.
Apabila anak sangat kecil atau gelisah, penggunaan alat doppler mungkin menolong
secara kasar, tekanan sistolik dapat pula diukur dengan cara palpasi.
Tekanan darah anak normal meningkat sesuai dengan umur, pembacaan harus
dibandingkan dengan nilai normal yang sesuai umur anak. Apabila tekanan darah
meningkat melebihi 95 percentile dan terus meningkat, maka pengobatan harus dimulai.
Simptomatologi peningkatan tekanan darah meningkat pula dengan bertambahnya umur
anak, dan diagnosis menjadi tidak sulit.

Pengobatan darurat
Pengobatan pendahuluan akan bergantung kepada keadaan klinik. Jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi, harus diperhatikan dan ditanggulangi seperti biasa. 
Demikian pula dilaksanakan pemantauan status nerologik. Konvulsi biasanya dapat
diatasi dengan diazepam, dan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial harus
ditanggulangi sebagaimana mestinya.
Segera setelah resusitasi dilakukan, maka pengobatan hipertensi harus dimulai setelah
berkonsultasi dengan ahli saraf anak atau kardiologi anak, karena penurunan tekanan darh
yang terlalu cepat bisa berbahaya bagi anak. 
Pemantauan tekanan darah, penglihatan dan pupil sangat penting pada saat ini oleh
karena penurunan tekanan darah dapat menyebabkan infark dikepala nervus optikus.
Setiap perubahan harus diikuti dengan peningkatan tekanan darah segera, dengan air
garam fisiologis atau koloid. Kadang-kadang anak menderita
anuri, pemeriksaan fungsi ginjal, (kreatinin serum, urea dan elektrolit) harus dinilai
secara tepat.
Beberapa obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah anak dapat dilihat pada
Table 1
10. Tabel 1. Obat-obat yang digunakan pada hipertensi berat

11.
12.
Beberapa ahli mungkin menganjurkan pemberian nifedipin sebagi pengobatan sementara
sebelum dipindah, anak harus tetap dipantau tekanan darahnya dan infus intravena harus
dimulai.
Anak-anak ini harus dirawat didalam unit yang berpengalaman dalam penanggulangan
hipertensi anak. Biasanya dipusat nefrologi anak atau kardiologi anak. Konsultasi yang
memadai harus dilakukan sebelum pemindahan pasien.

REFERENSI

Anda mungkin juga menyukai