Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

SINDROM KORONER AKUT

Penyusun :
Anindita Athaya Putri
Chairina Azkia Noor
Madina Ika Masrullah
Nur Aliyah

Pembimbing :
dr. Etra Ariadno, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK DASAR ILMU PENYAKIT DALAM


RSAL MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JAKARTA
PERIODE 11-23 APRIL 2016
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung
Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian. Terminologi SKA
digunakan untuk menggambarkan keadaan gangguan aliran darah koroner parsial hingga
total ke miokardium secara akut.1 SKA terdiri dari infark miokard akut disertai elevasi
segmen ST (STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan
angina pektoris tak stabil (APTS). Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki
kesamaan patofisiologi. Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi
disebut NSTEMI dan jika troponin negatif disebut APTS.2

SKA merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan meskipun dunia kedokteran sudah


cukup maju dalam bidang kardiovaskuler, angka kematian pada infark miokard dan
serangan ulang penderita SKA masih cukup besar.3 Secara umum, masalah
serebrovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Di Indonesia sendiri,
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007, stroke merupakan
penyebab kematian pertama (15,4%), disusul PJK (9,7%). Angka tersebut diprediksi akan
terus meningkat karena gaya hidup sedentary, hipertensi, diabetes, dan kebiasaan
merokok yang semakin marak.1 SKA menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang
sangat besar dalam tahun 2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama
saat ini. Pada tahun 2010, secara global PJK menjadi penyebab kematian pertama di
negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa
diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni
sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian
akibat kanker.4
BAB II

STATUS MEDIK BAGIAN PENYAKIT DALAM


RSAL. Dr. MINTOHARDJO

I.IDENTITAS

Nama : Tn. Hairully


Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Citarum Jawa Barat
Pekerjaan : Pemulung
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Penghasilan : Rp 1.600.000 per bulan
Tanggal MRS : 12 April 2016

II. ANAMNESIS
Autoanamnesi dilakukan pada tanggal 12 April 2016 pukul 13.00

Keluhan Utama : Os datang dengan keluhan nyeri dada sejak 3 hari SMRS.

Keluhan Tambahan : Os mengeluh sakit kepala, sesak dan keringat dingin saat
terjadi serangan nyeri dada sejak 3 hari SMRS. Os juga mengeluh nyeri di persendian
seluruh tubuh sejak 1,5 bulan yang lalu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang dengan keluhan nyeri dada di sebelah kiri seperti
tertusuk-tusuk sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dada di rasakan secara mendadak dan kurang
lebih terjadi selama 20 menit. Nyeri dada menjalar ke leher sampai kepala, lalu ke
pundak kiri dan ke lengan. Saat serangan nyeri dada juga disertai sakit kepala seperti
tertusuk-tusuk dan keringat dingin. Os juga mengeluh sesak saat terjadi serangan nyeri
dada. Sebelumnya os sudah berobat lalu di berikan obat secara sublingual. Keluhan
membaik namun serangan timbul kembali. Selain itu os mengeluh nyeri di seluruh
persendian sejak 1,5 bulan SMRS. Nyeri sendi terus menerus dan nyeri saat sendi di
gerakkan. Os sudah minum obat untuk mengatasi nyerinya namun keluhan tidak
membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu : DM (+), HT (–), Maag (+), Asma (+), Penyakit Jantung (-),
Penyakit Paru (-), Penyakit Ginjal (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : DM (-), HT (-)

Riwayat Kebiasaan : Os sewaktu muda merokok (+), kopi (+), minum alkohol (+)
zat psikotropika (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK


a) Keadaan Umum : Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Sakit ringan
Kesan Gizi : Baik
b) Tanda Vital : Tekanan darah :110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 36,5 derajat celcius

c) Status Generalis
1. Kepala : Normosefali
2. Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah di cabut, distribusi merata.
3. Mata : CA +/+ SI -/- Refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
4. Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak ada sekret
5. Telinga : Normotia, liang telinga tertutup serumen pada kedua telinga, nyeri
tekan (–) nyeri tarik (-)
6. Mulut : Mukosa mulut normal, gigi geligi hanya tersisa insisipus 1
bawah kiri, faring normal, tonsil normal ukuran T1 T1
7. Leher : KGB normal, Tiroid normal
8. Thorax :
Inspeksi : Bentuk thorax normal, simetris. Warna kulit sawo matang tidak ada
kelainan efloresensi. Sianosis (-) Ikterik (-). Sternum normal, sela iga normal.
Tidak ada pulsasi abnormal
Palpasi : pergerakan napas simetris tidak ada hemithorax yang tertinggal.
Vocal fremitus normal. Sudut costofrenikus <90 derajat. Ictus cordis normal.
Perkusi : Perkusi sonor di kedua hemithorax. Batas paru dan hepar setinggi ics 5
garis midclavicularis kanan dengan peranjakan 2 jari pemeriksa. Batas kanan paru
jantung ics 3 sampai ics 5 garis sternalis kanan dengan suara redup. Batas paru
jantung kiri setinggi ics 5 2 cm medial garis midclavicularis kiri dengan suara
redup.
Auskultasi : Suara napas vesikuler di kedua lapang paru. Wheezing (-) Ronkhi
(-) BJ 1 dan BJ 2 reguler. Gallop (-) Murmur (-)
9. Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal tidak buncit tidak ada sagging of the flanks. Warna
kulit sawo matang tidak pucat tidak ikterik tidak ada efloresensi bermakna. Tidak
ada spider navy, roseola spot maupun dilatasi vena dan kulit tidak keriput.
Umbilikus normal. Pergerakan napas normal abdominotorakal.
Auskultasi : bising usus 3 kali per menit
Perkusi : suara timpati pada 4 kuadran.
Palpasi : dinding abdomen supel, tidak ada massa dan turgor kulit baik.
Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas di 4 kuadran. Hepar tidak teraba. Lien tidak
teraba. Tidak teraba massa bulat atau balotemen (-).
10. Ekstremitas atas
Inspeksi : warna kulit sawo matang dan tidak ada efloresensi yang bermakna.
Tidak ada oedem dan tanda-tanda inflamasi
Palpasi : akral hangat, kelembaban baik. Tidak ada nyeri tekan.
11. Ekstremitas bawah
Inspeksi : warna kulit sawo matang dan tidak ada efloresensi yang bermakna.
Tidak ada oedem dan tanda-tanda inflamasi. Terdapat massa lonjong berukuran
kurang lebih 3x2 cm di dorsum pedis kiri.
Palpasi : akral hangat, kelembaban baik. Tidak ada nyeri tekan. Terdapat
massa lonjong kenyal dan mudah digerakan dan juga tidak nyeri.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
1. Lab darah lengkap (12 April 2016)
Leukosit : 6000 uL (5.000-10.000) normal
Eritrosit : 4,93 juta/uL (4,6 – 6,2) normal
Hemoglobin : 14,2 g/dL (14-16) normal
Hematokrit : 41 % (42-48) normal
Trombosit : 293.000 ribu/uL (150.000-450.000) normal
Glukosa darah sewaktu : 113 mg/dL (<200) normal
Ureum :12 mg/dL (17-43) menurun
Kreatinin : 0,9 mg/dL (0,7-1,3) normal

Hepatitis Marker
HBsAg : (-)
Anti HCV : (-)

HbA1c : 6,9 (meningkat)

13 April 2016 jam 05.00


Elektrolit
Natrium : 140 mmol/L (134-146) normal
Kalium : 3,41 mmol/L (3,4-4,5) menurun
Cloride : 109 mmol/L (96-108) meningkat
EKG
Normal

Pemeriksaan Rongent Thorax PA

Jantung CTR 50% bentuk normal


Corakan bronkovaskuler normal
Tidak tampak bercak kesuraman
Sinus costofrenikus dan diafragma baik
Kostae dan tulang baik
Kesan: Jantung dan Paru normal

FOLLOW UP
Tanggal 12 April 2016 Tanggal 12 April 2016

S :Sesak (+) S : - Lemas (+)


O : KU/KES : Lemah/CM - Pusing (+)
A: Gangguan pola nafas O : KU/KES : Lemah/CM
P : Observasi TTV TD : 140/90
RR : 21
S/N : 36/80
A : Intoleansi aktivitas
P : - Observasi TTV
- Pemberian obat sesuai daftar

Tanggal 13 April 2016 Tanggal 13 April 2016


S : - Sesak + S : lemas menurun, sesak menurun , nyeri
- nyeri kepala + dada menurun, sakit kepala + , pegal-pegal +
O: K/U lemah kes CM O: Ku lemah , Kes CM
TD : 130/90 S/N : 36/76 TD:130/90
RR : 18 SN : 36/70
A:- gangguan pola nafas Mobilisasi +
- gangguan rasa nyaman A: Gangguan pola nafas
- nyeri Gangguang nyaman nyeri
P : - pemberian obat oral Siang P: Observasi ttv
- cek elektrolit, HbA1c Pemberian terapi SSI

Tanggal 14 April 2016 Tanggal 14 April 2016

S: - Sesak S: - Sesak berkurang


- nyeri dada menurun - Nyeri dada berkurang
- pusing - Nyeri kepala bagian belakang - leher
O: KU sedang KES CM - Batuk + tanpa dahak
TD 120/80 S/N 36/78 - Pilek (-)
Mobilisasi + - BAB (-) (Terakhir 4 hari yll flatus +
Skala nyeri 3 - Nyeri Sendi +
A : Gangguan rasa nyaman nyeri O: TD : 120/80
P : observasi ttv RR : 20x
Pemberian obat sesuai daftar S/N : 36,2/78
Mata : Ca -/- , Si -/-
Cor : S1 s2 reg, m - , g -
Pulmo : SNV +/+, Wh -/-, Rh -/-
Abd : BU +
NT + I + I +
+I+I+
-I-I+
Eks : Akral hangat +
Oedem ekstremitas -
Lab 12/4/16 Lab 13/4/16
Leukosit : 6000 - HbA1c : 6,9
HB : 14,2 - Na : 140
HT : 41 - K : 3,41
Trombosit : 293000
Ureum : 12
Kreatinin : 0.9
HBSAg : -
Anti HCV : -

A : - ACS UAP dd/ STEMI


- DMT2
P : - injeksi Arixtra 1x2, mg (ari ke III)
- Aspilet 1x 80 mg
- CPG 1x75 mg
- Concor 1x5 mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- ISDN 3x5 mg
- Diazepam 1 x 5 mg
- Loxadine 1xC1 (malam)
- pantoprazole 1x1 vial
- Sukralfat 3xc1

Tanggal 15 April 2016 Tanggal 15 april 2016

S : - Sesak nafas + S : - Sesak nafas +


- Nyeri dada + - Nyeri dada +
- Nyeri belakang kepala - Nyeri belakang kepala
- Nyeri sendi - Nyeri sendi
- Pilek - , batuk – - Pilek - , batuk –
O : TD :120/70 - Mual muntah –
HR : 70X O : K/U Lemah KES cm
RR : 23X A: intoleransi aktifitas
Mata : CA -/- SI -/- P : - obs ttv
Cor :S1S2 Reg, M- , G – - pemberian obat sesuai daftar
Pulmo : SNV +/+ : wh +/+, Rh -/-
Abd : NT –I+I- BU +
+I+I+
- I+I+
EKS : AH –I – Oedem –I-
+I + -I-
Lab 14/04/16
Glukosa test 101

A: ACS UAP dd/ STEMI


DMT2
P: Inj Arixtra 1x2,5 mg ( hari ke 4)
Aspilet 1 x 80
CPG 1X75
ISDN 3X5 MG
Diazepam 1x5 mg
Loxadin
Atorvastatin 1x20mg
Pantopraxole 1x1
Sukralfat
Tanggal 16 April 2016
S: nyeri dada dan sesak berkurang
Badan terasa nyeri
BAB dan BAK Normal
O : CM
TD 110/80
Nadi : 62
RR :20X
S: 36,1
Mata : CA -/- SI -/-
Cor : S1S2 reg, M -, G –
Pulmo : SNV +/+ , Rh -/- , Wh +/+
Abd : Supel , Bu +, NT –I+I-
+I+I+
-I+I+
Eks: AH + , oedem –
Lab 15-04-16
GDS : 88
A:- Acs Uaap dd/ STEMI
- DMT2
P:
Inj Arixtra 1x2,5 mg ( hari ke 4)
Aspilet 1 x 80
CPG 1X75
ISDN 3X5 MG
Diazepam 1x5 mg
Loxadin
Atorvastatin 1x20mg
Pantopraxole 1x1
Sukralfat
V. RESUME
Pasien Tn. H datang ke poli jantung RSAL dengan keluhan nyeri dada di sebelah kiri
seperti tertusuk-tusuk sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dada di rasakan secara mendadak dan
kurang lebih terjadi selama 30 menit. Nyeri dada menjalar ke leher sampai kepala, lalu ke
pundak kiri dan ke lenga n. Saat serangan nyeri dada juga disertai sakit kepala seperti
tertusuk-tusuk dan keringat dingin. Os juga mengeluh sesak saat terjadi serangan nyeri
dada. Sebelumnya os sudah berobat lalu di berikan obat secara sublingual. Keluhan
membaik namun serangan timbul kembali. Os juga pernah mengosumsi KSR. Setahun
yang lalu os pernah didiagnosa DMT2, kemudia mendapat obat gula tetapi os menjadi
drop kemudian obat gula tersebut tidak diminum kembali. Dari hasil pemeriksaan fisik
normal, kemudian pemeriksaan lab didapatkan HbA1c 6,9 (meningkat), dan Kalium 3,41
(menurun sedikit). Hasil pemeriksaan EKG tidak didapatkan kelainan, hasil pemeriksaan
rongten thorax didapatkan jantung dan paru normal. Tidak ada data pemeriksaan
biomarka jantung pada os.

VI. DIAGNOSIS KERJA


ACS (Acute Coronary Syndrome)
UAP (Unstable Angina Pectoris)

VII. DIAGNOSIS BANDING


NSTEMI (Non-STEMI)

VIII. TATALAKSANA
- Loading aspilet 160ml -> 1x80ml
- Loading CPG 300ml -> 1x75ml
- Inj Arixtra 1x20ml
- Concor 1x5mg
- Diazepam 1x5 mg

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Profil lipid darah
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad bonam

XI. ANALISA KASUS


1. Keluhan pada pasien ini adalah nyeri dada.
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suplai
oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekauan arteri dan penyempitan
lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab
ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas
perkembangan ateriosklerosis.

Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga
meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka arteri koroner
berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Namun
apabila arteri koroner mengalami kekauan atau menyempit akibat ateriosklerosis dan
tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen,
maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.

Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat Oksid)


yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi
ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang
memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang.
Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum
mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas
berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel miokardium
menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme
ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium dan menstimulasi nyeri
melalui symphatetic afferent di area korteks sensoris primer yang menimbulkan nyeri
dada. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi
adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini
tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri
angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu keadaan
yang berlangsung singkat.5
PEMBAHASAN
SINDROM KORONER AKUT

A. DEFINISI
Sindrom koroner akut adalah keadaan gangguan aliran darah koroner parsial
hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil,
gangguan aliran darah ke miokard pada sindrom koroner akut bukan disebabkan
oleh penyempitan yang statis namun terutama akibat pembentukan trombus di
arteri koroner yang sifatnya dinamis. Sehingga gejala yang timbul berupa nyeri
dada tiba-tiba dengan intensitas nyeri yang dinamis sesuai dengan derajat
penyempitan yang di pengaruhi oleh komponen vasopasme arteri koroner dan
terutama oleh ukuran trombusnya.1

B. ETIOLOGI
Penyakit jantung koroner terjadi akibat penyumbatan sebagian atau total pada
satu atau lebih pembuluh darah koroner. Akibat adanya penyumbatan ini, terjadi
gangguan pasokan suplai energi ke miokard, sehingga terjadilah gangguan
keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan.2

C. EPIDEMIOLOGI
Secara umum, masalah serebrovaskular merupakan penyebab kematian
tertinggi di dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Nasional tahun 2007, stroke merupakan penyebab kematian pertama
(15,4%), disusul PJK (9,7%). Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat
karena gaya hidup sedentary, hipertensi, diabetes, dan kebiasaan merokok yang
semakin marak.1

D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor risiko
konvensional dan faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses
aterotrombosis.
Faktor risiko yang sudah dikenal antara lain merokok, hipertensi,
hyperlipidemia, diabetes melitus, aktivitas fisik dan obesitas. Termasuk di
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkang beberapa faktor
yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein.Diantara faktor risiko
konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Wanita relatif lebih sulit terkena penyakit
jantung koroner sampai masa menopause dan kemudia menjadi sama rentannya
seperti pria. Hal ini diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen.
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar
lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi
lemak jenuh, kolestrol dan kalori.
Sindrom koroner akut umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40
tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita
penyakit tersebut.

E. PENYAKIT YANG TERMASUK DALAM SINDROM KORONER AKUT


Sindrom koroner akut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu; angina
pektoris tidak stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan
infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI).

1.Angina Pektoris Tak Stabil


Angina pektoris tidak stabil adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh
iskemia miokardium yang reversible dan sementara. Ditandai dengan nyeri angina
yang frekuensinya meningkat. Serangan di picu oleh olahraga yang ringan dan
serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris
stabil. Angina tidak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih
serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark.

2. Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)


Infark miokard tanpa elevasi segmen ST adalah nyeri dada dengan lokasi khas
substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti di peras, perasaan
seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan,
menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada penderita NSTEMI. Gejala
tidak khas seperti dyspnea, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri lengan,
epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. Gambaran EKG, secara spesifik
berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada
pasien. Troponin T atau Troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung seperti CK dan CK-
MB. Pada pasien dengan infark mikoard akut, peningkatan awal troponin pada
daerah perifer setelah 3-4 jam dan dapan menetap sampai 2 minggu.

3. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)


Infark miokard dengan elevasi ST adalah adanya manifestasi khas angina, disertai
dengan peningkatan enzim penanda jantung, dengan adanya gambar elevasi
segmen ST pada EKG. STEMI terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembanganya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vascular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.1,6

F. PATOFISIOLOGI
Iskemia miokard terbanyak terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke sebagian
miokardium akibat plak aterosklerosis pada arteri koronaria. Apabila terdapat stenosis
dibarengi dengan kebutuhan oksigen yang meningkat maka terjadi angina. Stenosis
pembuluh darah dapat terjadi karena proses atrerosklerosis. Aterosklerosis adalah
kelainan pada dinding pembuuh darah yang berkembang menjadi plak dimana dapat
mengganggu aliran pembuluh darah.
Ruptur plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak
stabil, sehingga terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya
mempunyai penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur dan gangguan fungsi endotel
menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet serta menyebabkan terbentuknya
thrombus. Bila thrombus menurutup pembuluh darah seluruhnya akan terjadi infark
dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak menyumbat seluruhnya dan
hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tidak stabil.
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tidak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasme. Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena
terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel.
Berbagai kelainan metabolisme seperti hiperglikemia, dyslipidemia serta resistensi
insulin akan menyebabkan disfungsi endotel dan memicu terjadinya aterosklerosis.
Kerusakan endotel tidak hanya disebabkan oleh tingginya kadar gula. Tingginya kadar
radikal bebas yang terbentuk dari pemecahan asam lemak bebas, menurunnya
ketersediaan NO serta meningkatnya aktivasi berbagai faktor inflamasi akan
menimbulkan kerusakan endotel lebih jauh. Kelainan metabolisme tersebut juga
mempengaruhi fungsi platelet, dan gangguan pada jaras koagulasi, hemostasis dan proses
fibrinolysis. Adanya ketidakseimbangan faktor koagulasi dan vaskular akan
meningkatkan risiko terjadinya kejadian kardiovaskular. Selain itu, komposisi plak
terutama pada penderita DM lebih rapuh, sehingga kejadian ruptur plak yang memicu
sindroma koroner akut akan lebih mudah terjadi. Secara singkat pada penderita DM,
berbagai kelainan metabolisme akan memicu teraktivasinya berbagai faktor inflamasi
serta penurunan NO. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi,
inflamasi, dan thrombosis yang kemudian akan berakhir dengan kejadian
kardiovaskular.3,6

G. DIAGNOSIS
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan
keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.

1. Anamnesis
Keluhan pasien dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal
(angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan
ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai
antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang
sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40
tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini
patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina
setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. Diagnosis SKA
menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik
sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. . Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner.
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi,
risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau
edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi
aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
3. Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di
ruang gawat darurat. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap
keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan
keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle
Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
4. Pemeriksaan marka jantug
. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai
spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard,
pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang
6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai
pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-
MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.
5. Pemeriksaan laboratorium. Data laboratorium, di samping marka jantung, yang
harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu,
status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan
laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
6. Pemeriksaan foto polos dada. Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan
meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.7

BAB IV
KESIMPULAN

Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh suplai darah
dan oksigen ke miokardium yang tidak adekuat: terjadi ketidakseimbangan kebutuhan
dan suplai darah. SKA dapat dibedakan menjadi tiga jenis; angina pektoris tidak stabil,
STEMI, dan NSTEMI. Berbeda dengan angina pektoris stabil, iskemia pada SKA
disebabkan oleh penurunan suplai oksigen yang mendadak. Faktor risiko untuk terjadinya
SKA antara lain merokok, hipertensi, hyperlipidemia, diabetes melitus, perilaku
sedentary dan obesitas, stress. Faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, EKG, biomarka jantung. Bila pada EKG tidak didapatkan elevasi
segmen ST maka dapat dilakukan pemeriksaan biomarka jantung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun S. dan Alwi I. Infark miokard akut tanpa elevasi ST. Dalam: Sudoyo A.W.,
Setiohadi B., Alwi I., Simadibrata M.K., Setiati S., 2009. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke
5. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,
1758-1761.
2. Rilantono L. 5 Rahasia penyakit kardiovaskular. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Unversitas Indonesia.2012
3. Hamm C.W., et al., 2011. Guideline for the management of acute coronary syndromes
in patients presenting without persistent ST-segment elevation. The task Force for the
management of of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2011; 32:3004-
3022.
4. Departemen Kesehatan Indonesia. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Departemen
Kesehatan Indonesia
5. Trisnohadi H.B., 2009. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam: Sudoyo A.W., Setiohadi B.,
Alwi I., Simadibrata M.K., Setiati S., 2009. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 5. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1729-1732
6. Myrtha R. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
7. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia. Ed 3. 2015

Anda mungkin juga menyukai