Anda di halaman 1dari 25

ANESTESI PADA PASIEN

DENGAN PEMBEDAHAN RAWAT JALAN

PENDAHULUAN
Tren operasi rawat jalan di seluruh dunia terus meningkat. Efektifitas
tindakan ini telah menghasilkan operasi yang semakin kompleks dan besar yang
didorong oleh tekanan ekonomi global pada sistem perawatan kesehatan.
Konsekuensi dari perkembangan ini adalah semakin banyak prosedur kompleks
yang dilakukan pada pasien dengan kondisi tertentu dengan status ASA
(American Society of Anesthesiologists) 3.1,2
Sebagian besar pasien memenuhi syarat untuk operasi rawat jalan kecuali
ada alasan khusus untuk menginap. Pemilihan pasien menjadi faktor penting
karena kompleksitas prosedur bedah rawat jalan dan meningkatnya kejadian
komorbiditas.3 Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan
menyebabkan peralihan dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan
meningkat tajam. Hal ini juga berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi
pasien bedah rawat jalan dan dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang
kompleks, dimana pada masa lalu dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan.4,5
Hal ini juga berarti terdapat lebih banyak pasien setelah prosedur yang
berpotensi lebih menyakitkan akan pulang dalam waktu 24 jam dari operasi
sebelumnya. Kurangnya manajemen nyeri pasca operasi yang memadai menjadi
salah satu faktor penting dalam operasi rawat jalan dan mual dan muntah pasca
operasi (PONV) meningkat dengan meningkatnya kebutuhan opioid yang
mengarah pada peningkatan tingkat penerimaan kembali.6,7
Bedah rawat jalan memiliki tujuan sebagai prosedur pembedahan yang
lebih efektif dan ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah
sakit serta pihak yang membayar (third party payrs). Faktor utama pemilihan
teknik bedah rawat jalan adalah penekanan biaya tetapi tetap mempertahankan
kualitas pengobatan, sehingga morbiditas akibat prosedur pembedahan ataupun
karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar dibandingkan dengan pasien rawat
inap.5,8

1
Teknik bedah rawat jalan memiliki keuntungan bagi pasien seperti
mengurangi biaya, waktu rawat sehingga waktu berpisah dengan keluarga dan
lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu tunggu untuk pembedahan,
mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak bergantung pada jumlah
tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sehingga pasien lebih fleksibel dalam
memilih jadwal operasi. Dibandingkan dengan pasien rawat inap, pemeriksaan
laboratorium berkurang serta mengurangi kebutuhan obat pascabedah.4,8

PERSIAPAN PRE-OPERATIF
Penilaian praoperasi pasien operasi rawat jalan memberikan beberapa
keuntungan. Pertama, angka pembatalan dan penundaan operasi dapat dikurangi.
Pembatalan operasi tidak hanya meningkatkan waktu dan biaya, tetapi juga
meningkatkan rasa sakit pasien. Kedua, evaluasi pra operasi memperbaiki kondisi
pasien dan memungkinkan penyesuaian untuk meningkatkan kesesuaian untuk
operasi rawat jalan. Kondisi pasien dapat ditingkatkandengan melihat masalah
kesehatan mereka. Ketiga, evaluasi yang efektif mempercepat seluruh proses,
sehingga menghemat waktu.3

Pemilihan Pasien
Sebagian besar pasien memenuhi syarat untuk operasi rawat jalan kecuali
ada alasan khusus untuk menginap. Pemilihan pasien menjadi faktor penting
karena kompleksitas prosedur bedah rawat jalan dan meningkatnya kejadian
komorbiditas.3 Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan
menyebabkan peralihan dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan
meningkat tajam. Hal ini juga berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi
pasien bedah rawat jalan dan dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang
kompleks, dimana pada masa lalu dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan.4,5
Isu mengenai seleksi pasien makin membesar karena hanya sedikit data
dan penelitian mengenai kriteria dalam seleksi pasien ini. Pada awal
diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status ASA I dan ASA

2
II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang
digolongkan pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi
bedah rawat jalan asalkan penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil.2,3
Penilaian dan optimalisasi praoperatif menurut komorbiditas medis
dikaitkan dengan peningkatan hasil perioperatif. Pemilihan pasien untuk operasi
rawat jalan tergantung pada beberapa faktor, termasuk faktor bedah, sosial, medis,
dan anestesi.1,3
Pertimbangan bedah1
1. Pembedahan rawat jalan tidak boleh membawa risiko komplikasi yang
signifikan (mis: Perdarahan, ketidakstabilan kardiovaskular).
2. Saat membuka rongga perut atau rongga dada, teknik bedah invasif minimal
harus digunakan.
3. Nyeri pasca operasi harus dikontrol dengan analgesia oral dan teknik
anestesi regional atau lokal.
4. Pasien harus dapat melanjutkan fungsi normal (mis: Minum oral) sesegera
mungkin.
5. Pasien harus bergerak setidaknya sampai batas tertentu sebelum
dipulangkan.
6. Tidak memerlukan perawatan profesional atau observasi jangka panjang
setelah operasi.
7. Tingkat trauma bedah yang diantisipasi lebih penting daripada durasi
operasi.
8. Dokter bedah harus memiliki pengalaman yang cukup dengan prosedur dan
catatan tingkat komplikasi yang rendah.
Pertimbangan sosial1
1. Pasien harus memahami prosedur dan persyaratan perawatan pasca operasi
dan menyetujui operasi rawat jalan.
2. Ketika seorang pasien dipulangkan ke rumah, ia harus ditemani oleh orang
dewasa yang bertanggung jawab untuk merawat mereka dalam 24 jam
setelah operasi.

3
3. Sangat penting bagi pasien dan perawat untuk memiliki akses yang mudah
untuk dihubungi setelah pulang.
4. Pasien tidak boleh mengemudi setidaknya 24 jam setelah anestesi atau
sedasi.
5. Berada dalam jarak 1 jam ke pelayanan kesehatan/ medis darurat untuk
meminimalkan rasa sakit.
6. Lingkungan rumah pasien harus sesuai untuk perawatan pasca operasi.
Pertimbangan medis1
1. Pemilihan pasien didasarkan pada status fungsional pasien pada saat
penilaian dan tidak perlu dibatasi oleh usia, indeks massa tubuh (IMT), atau
status American Society of Anesthesiologists (ASA). IMT yang tinggi bukan
merupakan kontraindikasi absolut, pasien obesitas mungkin memiliki
masalah medis lainnya, seperti obstructive sleep apnea (OSA). Penilaian pra
operasi harus cukup teliti untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit
yang berhubungan dengan obesitas dan mengecualikan mereka dengan
penyakit komorbid.9
2. Pasien dengan penyakit kronis stabil lebih baik berada di rumah, karena
kurang mengganggu kehidupan sehari-hari mereka.
3. Pasien dengan kondisi medis yang tidak stabil, seperti angina tidak stabil
atau diabetes yang tidak terkontroltidak dapat menerima operasi rawat jalan.
University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok
pasien yang tidak dapat dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:2,5,8
1. Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien
dengan kondisi ini diskrining pada saat evaluasi prabedah oleh ahli anestesi,
kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama dengan
penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan untuk
operasi setelah kondisinya stabil.
2. Malignant Hyperpyrexia. Termasuk pasien dengan riwayat malignant
hyperpyrexia ataupun suspek malignant hyperpyrexia. Tetapi sebagian
rumah sakit tetap melakukan bedah rawat jalan pada kondisi ini.

4
3. Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO). Karena instabilitas
hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada pasien
yang sedang dalam terapi MAO, obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu
sebelum operasi.
4. Obesitas Morbid kompleks/Sleep Apneu kompleks. Walaupun pasien
dengan riwayat sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa penyakit
sistemik merupakan calon bedah rawat jalan, rawat inap dan observasi
pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese dengan disertai gangguan
jantung, paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan riwayat sleep
apneu kompleks.
5. Ketagihan obat-obatan akut. Karena peningkatan respon kardiovaskular
ketika agen anestetik diberikan pada seseorang yang ketergantungan obat-
obatan.
6. Kesulitan psikososial. Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan
teknik bedah rawat jalan tidak dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani
pembedahan rawat jalan harus dalam pengawasan orang dewasa yang
bertanggung jawab terhadapnya.

Pertimbangan Anestesi
Area spesifik yang harus ditangani adalah riwayat anestesi dan risiko mual
dan muntah pasca operasi/post operation nause and vomitting (PONV) serta
penilaian jalan nafas.3
Riwayat Anestesi
Penting untuk menyelidiki masalah terkait anestesi, seperti apnea
suxamethonium (succinylcholine), hipertermia dan komplikasi terkait lainnya
untuk memeriksa riwayat keluarga dari reaksi buruk dan mendapatkan dokumen
yang relevan. Komplikasi seperti itu tidak selalu merupakan kontraindikasi
absolut, tetapi persiapan tambahan mungkin diperlukan jika ada. Ada
kemungkinan hipersensitivitas berat (<1%) setelah pemberian anestesi,
pemantauan suhu pasca operasi untuk setidaknya 4 jam direkomendasikan.3,8
Risiko PONV

5
PONV adalah komplikasi anestesi yang paling umum dan risikonya sangat
bervariasi sesuai dengan metode anestesi. Evaluasi PONV menggunakan empat
faktor risiko Apfel (jenis kelamin perempuan, riwayat PONV dan/atau mabuk
perjalanan, status bebas rokok, dan penggunaan opioid pasca operasi). Hal ini
memungkinkan untuk mengklasifikasikan pasien ke dalam kelompok risiko untuk
perencanaan anestesi yang lebih baik.5
Penilaian jalan nafas
Pemeriksaan jalan nafas sebelum operasiharus dilakukan untuk
memprediksi kemungkinan kesulitan melakukan intubasi jalan nafas. Kelompok
pasien tertentu, sepertidengan OSA dan obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami komplikasi terkait anestesi tetapi seleksi dan pengobatan pasien
yang tepatdapat mencegah komplikasi terkait jalan nafas. Perangkat Supraglottic
harus dievaluasi dengan cermat untuk manajemen jalan napas rutin dan darurat di
rawat jalan.5,9–11

Pertimbangan Khusus
Populasi lansia
Jumlah dan tingkat keparahan komplikasi medis yang memerlukan obat
kardiovaskular juga meningkat seiring bertambahnya usia harapan hidup. Usia
saja tidak boleh digunakan untuk menentukan kesesuaian operasi rawat jalan.
Penilaian pra operasi harus dilakukan untuk menentukan apakah ada kriteria
eksklusi untuk operasi rawat jalan.5,8,11
Pasien rawat jalan yang lebih tua membutuhkan lebih banyak pengawasan
setelah pemulangan dan masalah sosial, seperti kemandirian pasien, mobilitas, dan
isolasi keluarga atau sosial. Disfungsi kognitif pasca operasi mungkin lebih baik
dikelola di rumahuntuk memungkinkan debit lebih cepat setelah operasi rawat
jalan.5,8,11
Penyakit Komorbid
Risiko komplikasi perioperatif pada pasien dengan OSA relatif tinggi.
Bukti dari tinjauan sistematis terbaru menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan
risiko morbiditas atau mortalitas pada pasien OSA yang menjalani operasi rawat

6
jalan. Berdasarkan bukti ini, pernyataan konsensus oleh SAMBA menunjukkan
bahwa pasien dengan OSA yang biasanya menjalani terapi continuous positive
airway pressure (CPAP) dapat dioptimalkanselama periode pasca operasi.10,11
Tanda dan gejala harus diperiksa selama evaluasi dalam kelompok dengan
risiko tertentu jika OSA belum didiagnosis. Kuesioner STOP-Bang membantu
dalam memprediksi kemungkinan OSA. Instrumen ini adalah alat cepat untuk
mengevaluasi pasien OSA yang tidak terdiagnosis dan membantu ahli anestesi
menyiapkan rejimen pemantauan dan perawatan pasca operasi yang tepat.10,11
Kasus yang ditolak oleh ahli anestesi untuk bedah rawat jalan adalah
Angina Pektoris class IV, CHF class IV dan severe MO denganco-morbidities.
Pasien dengan Miokard Infark dalam 1-6 bulan sebelum operasi, CHF class III,
MO dengan BMI 35-44 kg/meter persegi dengan penyakit sistemik tidak termasuk
kriteria pasien bedah rawat jalan.2,5
Sleep apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi
umum tanpa pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah
rawat jalan, kecualisleep apneu dengan anestesi regional dan anestesi umum yang
disertai dengan pemberian narkotik pascabedah. Pasien yang tidak ditemani orang
dewasa yang mendampingi tidak disetujui untuk bedah rawat jalan.3,9

Pemeriksaan Pasien
Setiap fasilitas bedah rawat jalan harus mengembangkan metode skrining
prabedah sebelum hari operasi. Dalam bedah rawat jalan ahli anestesi adalah
orang yang terlibat langsung pada perawatan dan tatalaksana pasien, meyakinkan
pasien diskrining dan dievaluasi secara tepat. Juga harus mengingatkan pasien
tentang jadwal datang ke rumah sakit, restriksi makanan (puasa), pakaian yang
harus dipakai, transportasi ke rumah sakit, maupun kebutuhan perawatan anggota
keluarga lain yang ditinggalkan serta harus ada orang dewasa yang mengantar
pulang ke rumah dari rumah sakit setelah selesai operasi.2,5,8
Disamping untuk mengurangi rasa cemas pasien, evaluasi prabedah yang
dilakukan ahli anestesi juga bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah

7
medis, mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat. Dengan
demikian dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah rawat jalan.2,5,8
Saat ini terdapat berbagai cara untuk melakukan evaluasi dan skrining
pasien bedah rawat jalan, seperti:2,5,8
1. Pasien datang ke fasilitas bedah rawat jalan sebelum hari operasi.
2. Pasien datang ke kantor ahli anestesi sebelum hari operasi
3. Wawancara melalui telepon
4. Meneliti hasil pemeriksaan medis/data medis pasien
5. Visite dan pemeriksaan prabedah pada pagi hari sebelum pembedahan
6. Pengumpulan informasi pasien dengan bantuan komputer (computer
assisted information gathering)
Pasien yang diskrining secara adekuat serta dengan persiapan prabedah
yang baik akan lebih efisien dalam biaya pada bedah rawat jalan.3

Persiapan Pasien
Persiapan pasien yang matang dalam bedah rawat jalan perlu dilakukan
agar tercapai kondisi yang optimal bagi pasien yang akan menjalani operasi.
Restriksi makanan dan minuman sebelum operasi bedah rawat jalan:2,5
a. Untuk menurunkan risiko pneumonitis dan obstruksi jalan napas akibat
aspirasi isi lambung, pasien secara rutin diminta tidak makan makanan padat
6-8 jam sebelum operasi. Atau puasa setelah tengah malam (bila operasi
dilakukan pagi hari) yang harus disampaikan secara lisan dan tertulis.
b. Kebutuhan untuk melarang minum cairan pada periode prabedah (sampai 2
jam sebelum induksi anestesi) masih dievaluasi, karena:
- Minum cairan jernih tidak meningkatkan volume cairan lambung pada
saat induksi anestesi.
- Aman minum air sampai 150 ml pada saat minum obat.
- Salah satu keuntungan mengizinkan minum kopi pada peminum kopi
adalah menurunnya kejadian sakit kepala setelah operasi.

8
Pemberian Obat-obatan yang Biasa Dipakai Pasien Sebelum Operasi
Obat-obat anti hipertensi tetap diminum sampai hari operasi. Obat-obat
untuk merubah perasaan seperti fluoxetin, trisiklik anti depresan, mono-amine
oxidase inhibitor, dan lithium dapat terus diberikan tetapi harus diwaspadai untuk
kemungkinan terjadinya interaksi obat-obatan. Pemberian aspirin dapat terus
dilakukan terutama bila resiko perdarahan pada operasi minimal. Pada operasi
besar/risiko perdarahan besar aspirin dihentikan mulai 7 hari prabedah.5,8
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun
atau bila ada indikasi. Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis,
sebaiknya operasi ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.2,8

Persiapan pada Hari Operasi


Pasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi
perubahan-perubahan yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas
atau apakah pasien melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman
yang mengantar dan menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat
izin operasi. Kanula intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya
serta pemberian cairan bila diperlukan.2,8
Premedikasi pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien
yang dirawat sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas,
nyeri pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila
terjadi aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat premedikasi
tidak memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang tepat.
Benzodiazepin adalah obat yang paling sering digunakan untuk menurunkan
kecemasan dan memberikan sedasi untuk pasien bedah rawat jalan. Adanya
amnesia setelah premedikasi dengan benzodiazepin harus diperhatikan walaupun
tidak ada penelitian yang melaporkan adanya amnesia retrograd.2,8
Opioid mungkin digunakan prabedah untuk menimbulkan efek sedasi,
mengendalikan hipertensi selama intubasi, dan untuk menurunkan nyeri setelah
operasi. Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan masih kontroversi.
Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah hipoventilasi,

9
gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien bedah
rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum induksi
anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena.2,3
Kehilangan cairan akibat puasa 6-8 jam tidak menjadi masalah, sehingga
tidak perlu dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat puasa. Pemasangan kateter
intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja. Kebutuhan untuk pemberian
cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial. Untuk operasi yang
sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak diperlukan pemberian cairan
dengan pengecualian bila puasanya lama atau tidak mampu minum segera setelah
operasi selesai dan bangun penuh.3,8
Pasien yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko
aspirasi isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang
dirawat. Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk pasien-
pasien tertentu misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau parturien. Obat-obat
profilaksis untuk mencegah aspirasi adalah:5,8
- H2 receptor antagonist: cimetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
- Substitusi benzimidazol: omeprazol
- Antasida non partikel: sodium sitrat
- Obat-obat gastrokinetik: metoclopramid

Pemeriksaan Laboratorium
Kepercayaan yang salah sebelumnya mengenai pemeriksaan laboratorium
untuk skrining prabedah adalah shotgun labs merupakan yang terbaik untuk
pasien dan dokter. Namun saat ini program bedah rawat jalan secara kontinyu
memperbaiki substansi pemeriksaan laboratorium untuk skrining pasien.
Kebanyakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tidak memberikan
kontribusi yang menguntungkan terhadap tatalaksana perioperatif pasien.
Walaupun pemeriksaan laboratorium dapat membantu optimalisasi kondisi
prabedah pasien ketika suatu penyakit terdeteksi, tetapi terdapat beberapa hal yang
yang merupakan kekurangannya, yaitu:4,5

10
a. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut sering kali tidak bisa mengungkap
kondisi patologi penyakit
b. Nilai abnormal yang kadang terungkap tidak penting dalam memperbaiki
pengelolaan serta outcome pasien.
c. Tidak efisien untuk skrining suatu penyakit yang tidak terdeteksi pada
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan baik dan tepat.
d. Nilai abnormal yang didapatkan melalui pemeriksaan laboratorium sering
tidak di follow up dengan tepat
e. Nilai false positif pemeriksaan laboratorium akan meningkatkan kecemasan
pasien, meningkatkan penundaan operasi serta biaya, dilakukannya
pemeriksaan-pemeriksaan serta terapi yang lebih invasiv yang bersifat
traumatik pada pasien.
Blue Cross/Blue Shield memperkirakan sekitar 30 triliun dolar telah
dikeluarkan untuk pemeriksaan prabedah di Amerika Serikat tahun 1984, mereka
yakin sekitar 12-18 triliun dolar tiap tahun dapat disimpan bila hanya pemeriksaan
prabedah yang tepat yang dilakukan.8
Banyak fasilitas saat ini membatasi pemeriksaan-pemeriksaan prabedah
berdasarkan tindakan operasi dan usia pasien, terdapatnya penyakit penyerta, serta
riwayat pengobatan. Roizen menyarankan untuk dilakukan seminimal mungkin
pemeriksaan laboratorium skrining prabedah pada pasien sehat, tetapi pada pasien
dengan baseline disease yang signifikan (hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan
pemeriksaan lanjutan (EKG, elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak
mengharuskan dilakukan pemeriksaan tambahan lanjutan.2
Hasil penelitian Schein dan kawan-kawan pada pasien geriatri yang akan
dilakukan operasi katarak dengan lokal anestesi dan sedasi tidak didapatkan
perbedaan yang signifikan terhadap safety pembedahan antara kelompok yang
dilakukan pemeriksaan prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN, kreatinin,
glukosa) dan kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut.Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan pemeriksaan
standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua pasien yang akan
dilakukan bedah rawat jalan.11,12

11
TINDAKAN INTRAOPERATIF
Tidak ada anestesi atau metode tunggal yang sesuai untuk semua kasus
anestesi rawat jalan, sehingga preferensi, usia dan kondisi fisik pasien,
persyaratan dokter bedah, durasi efek dari obat yang dipilih, dan tingkat
perawatan keperawatan pasca operasi yang diperlukan dipertimbangkan dalam
menentukan metode anestesi dan pengobatan yang paling efektif dan nyaman.3
Pilihan metode anestesi untuk operasi rawat jalan juga harus
mempertimbangkan keamanan, kualitas, efektifitas, obat-obatan, dan peralatan
dari metode yang berbeda. Agen anestesi yang dipilih adalah agen dengan onset
aksi dan waktu pemulihan yang cepat serta tidak menyebabkan masalah
sehubungan dengan kontrol kesadaran dan penghilang rasa sakit intraoperatif seta
tidak memiliki efek samping lain.3,5,8
Pilihan metode anestesi tergantung pada jenis operasi dan status pasien.
Anestesi untuk operasi rawat jalan meliputi anestesi umum dan regional, anestesi
lokal, monitored anesthesia care (MAC), atau kombinasi dari metode ini.3,5

Anestesi Umum
Anestesi umum adalah pilihan yang paling umum karena aman, ekonomis,
pemuliuhan mudah, dan sering digunakan ahli anestesi. Penggunaan anestesi
seperti propofol, sevoflurane, dan desflurane memungkinkan titrasi yang lebih
mudah, kebangkitan dini, dan pengurangan waktu yang diperlukan untuk
memenuhi kriteria pemulangan unit perawatan postanesthesia (PACU). Tidak
adanya analgesia selama periode pasca operasi membutuhkan penambahan opioid,
yang memberikan risiko gangguan mental dan mual.5,8
Agen inhalasi sendiri memberikan risiko PONV sebesar 20% -50%, yang
dapat diminimalkan dengan penggunaan obat profilaksis. Nilai penggunaan
desflurane dibandingkan sevoflurane masih diperdebatkan, meskipun perbedaan
klinis antara desflurane dan sevoflurane kecil, tetapi desflurane lebih banyak
dipilih. Studi lain melaporkan bahwa dalam kelompok desflurane, kemunculan
dari anestesi lebih cepat dibandingkan sevoflurane, tetapi tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok selama fase pemulihan akhir.8,13

12
Propofol menunjukkan laju metabolisme yang cepat, menghasilkan
pemulihan cepat dari anestesi dengan beberapa efek samping serta insiden mual
dan muntah yang rendah. Propofol umumnya digunakan untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi pada operasi rawat jalan. Remifentanil berguna selama
operasi rawat jalan, karena onsetnya yang cepat dan durasi aksi yang singkat,
yang mengarah pada kebangkitan cepat dan pemulihan dari anestesi. Karena offset
analgesik remifentanil yang cepat, mungkin perlu juga menggunakan opioid long-
acting atau analgesik non-opioid untuk memberikan penghilang rasa sakit pasca
operasi.13,14
Kemungkinan remifentanil dapat menginduksi toleransi akut dan
hiperalgesia setelah beberapa jam infus atau pemberian berulang masih
kontroversial. Lenz melaporkan bahwa remifentanil intraoperatif dosis tinggi (0,3-
0,5 μg/kg/menit) meningkatkan nyeri pascaoperasi dan konsumsi morfin. Studi
lain melaporkan bahwa remifentanil tidak meningkatkan frekuensi PONV atau
penggunaan analgesik setelah operasi rawat jalan.13,14
Agen sugammadex yang baru diperkenalkan berikatan langsung dengan
relaksan otot non-depolarisasi steroid, seperti rocuronium dan vecuronium yang
dapat larut dalam lemak sehingga menonaktifkan obat-obatan dan membalikkan
efek relaksasi otot. Efek sugammadex lebih cepat dan lebih kuat daripada
antikolinesterase yang secara tidak langsung membalikkan relaksasi otot melalui
peningkatan konsentrasi asetilkolin. Selain itu, karena tidak ada efek samping
yang terkait dengan gangguan saraf parasimpatis akibat peningkatan konsentrasi
asetilkolin, penggunaan obat antikolinergik secara bersamaan tidak
diperlukan.5,13,14
Sugammadex cocok untuk digunakan dalam anestesi rawat jalan karena
kemampuannya untuk membalikkan blokade neuromuskuler yang diinduksi
rocuronium pada setiap tahap dan meningkatkan keselamatan pasien.13

Anestesi Regional
Jenis utama anestesi regional termasuk blokade saraf perifer (dengan atau
tanpa kateter saraf perifer kontinu) dan blokade neuraxial. Anestesi regional dapat

13
menghindari efek samping yang sering disebabkan oleh anestesi umum, seperti
mual, muntah, pusing, relaksasi otot sisa, dan pneumonia aspirasi. Efek analgesik
dapat timbul dari periode awal pasca operasi. Anestesi regional membutuhkan
lebih banyak waktu untuk diterapkan, dan dalam kasus di mana anestesi tidak
berhasil atau tidak lengkap harus segera diganti dengan anestesi umum.12
Ruang induksi anestesi di mana blok saraf dapat diaktifkan sebelum
operasi sangat membantu. Efek analgesik pasca operasi lebih besar dengan
tambahan blok saraf perifer pada pasien yang menjalani anestesi umum
dibandingkan penggunaan anestesi lokal. Penggunaan analgesik narkotika dan
efek sampingnya dapat dikurangi, sehingga pasien mengalami percepatan
pemulihan. Anestesi lokal yang tepat dan tambahan anestesi harus dipilih lalu
diberikan pada dosis yang sesuai untuk mencegah keterlambatan keluarnya pasien
operasi rawat jalan.12

Monitored Anesthesia Care


Monitored anesthesia care (MAC) adalah metode di mana pasien dibius
menggunakan suntikan analgesik dan obat penenang. Monitored anesthesia care
sering digunakan bersama dengan anestesi infiltrasi lokal dan blok saraf perifer.
Monitored anesthesia caredapat meningkatkan kepuasan pasien dan
mempersingkat waktu pemulihan dibandingkan anestesi umum atau blok
neuraxial.12
Propofol, ketamin dosis rendah, dan dexmedetomidine semakin banyak
digunakan karena mereka dapat mengurangi kejadian depresi pernapasan yang
disebabkan oleh penggunaan obat penenang-analgesik. Perhatian khusus pada
depresi pernafasan yang disebabkan oleh sedasi berlebihan harus diberikan pada
pasien yang menggunakan MAC untuk operasi rawat jalan.12

Kontroversi dalam Metode Anestesi


Total intravenous anesthesia (TIVA) dan anestesi inhalasi
Keuntungan dalam operasi rawat jalan menguntungkan karena pemulihan
yang cepat, tanpa agitasi atau gangguan perilaku, dan insidensi PONV yang

14
rendah. Ini juga membantu untuk menghindari pencemaran lingkungan, dan
mengecualikan kemungkinan hipertermia maligna. Literatur tidak memberikan
bukti kuat untuk keuntungan dari satu metode atau yang lain dalam meningkatkan
profil pemulihan dan fungsi kognitif.3
Anestesi umum dan anestesi regional
Penelitian skala besar menunjukkan bahwa anestesi regional memiliki
tingkat morbiditas yang lebih rendah daripada umum.3

TINDAKAN POST-OPERATIF
Nyeri, mual, muntah, pusing, dan obstruksi usus serta kandung kemih
paska operasi harus diperhatikan karena dapat menunda pemulangan pasien dan
meningkatkan kemungkinan penerimaan kembali, harus diminimalkan. Nyeri dan
PONV merupakan komplikasi paling umum setelah anestesi rawat jalan dan
pembedahan. Penggunaan opioid yang berlebihan untuk mengontrol nyeri pasca
operasi dapat menyebabkan PONV dan nyeri itu sendiri juga dapat menjadi faktor
risiko PONV.3
Tingkat rawat inap tidak terdugayang menjadi indikator penting kualitas
operasi rawat jalan, biasanya dilaporkan 1-2%. Penyebab paling umum dari rawat
inap tersebut adalah rasa sakit, perdarahan, dan kebutuhan untuk melakukan
operasi yang lebih luas daripada yang direncanakan sebelumnya.3

Manajemen Nyeri Pasca Operasi


Manajemen nyeri pasca operasimerupakan aspek integral dari anestesi
rawat jalan yang sukses, termasuk blok saraf regional dan pemberian analgesik.
Infiltrasi anestesi lokal atau blok saraf di lokasi bedah pada akhir operasi dapat
mengurangi dosis anestesi dan analgesik yang diperlukan setelahnya. Hal ini
dapat mempersingkat waktu pemulihan dan kecemasan atau kegembiraan di ruang
pemulihan karena rasa sakit dapat dikurangi.3,15
Kontrol rasa sakit setelah operasi bedah dapat meningkatkan kecepatan
pemulihan pasien dan kembali ke aktivitas hidup sehari-hari. Penggunaan obat

15
anti-inflamasi non-steroid (NSAID) saja relatif tidak efektif dalam mengendalikan
rasa sakit yang parah, sementara penggunaan analgesik narkotika dapat
menyebabkan berbagai efek samping pasca operasi, seperti mual, muntah, pusing,
dan sembelit.6,16
Langkah-langkah yang disarankan dalam mengelola nyeri akut adalah
identifikasi pasien berisiko tinggi, implementasi strategi analgesik multimodal,
dan ketersediaan rejimen analgesik penyelamatan.Berkenaan dengan identifikasi
pasien berisiko tinggi, tinjauan merekomendasikan sejumlah masalah untuk
dipertimbangkan dalam penilaian pra operasi, karena mereka akan meningkatkan
risiko kontrol nyeri yang buruk pasca operasi.15,16
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan adalah riwayat peningkatan
nyeri praoperasi (misalnya: pasien dengan nyeri kronis) serta pengamatan
peningkatan kecemasan praoperasi. Pasien yang lebih muda dan wanita juga
berisiko lebih tinggi. Jenis operasi pentingkarena operasi tertentu seperti usus
buntu, kolesistektomi, hemoroidektomi, dan operasi amandelserta operasi yang
lebih lama menyebabkan lebih banyak rasa sakit pascaoperasi.6,17
Contoh dari pengaturan rawat jalan adalah adenoidektomi dan
adenotonsilektomiyang merupakan kasus terbanyak yang dilakukan pada anak-
anak dan sering menyebabkan rasa sakit pasca operasi membutuhkan paling tidak
kombinasi asetaminofen dengan NSAID. Analgesia multimodal atau seimbang
merupakan sebuah konsep yang dikembangkan sekitar 20 tahun yang lalu dan
telah menjadi standar emas untuk manajemen nyeri pasca operasi.3,17
Dasar dari konsep ini adalah gagasan untuk menggunakan lebih dari satu
senyawa analgesik atau modalitas pengendalian nyeri. Kombinasi obat yang
berbeda dengan mekanisme aksi dan/atau bekerja di lokasi yang berbeda
sepanjang jalur nyeri digunakan untuk mendapatkan penghilang rasa sakit aditif
(atau bahkan sinergis), sambil mengarah pada efek hemat opioid dan dengan
demikian meminimalkan efek samping.6,15,17
Konsep analgesia multimodal sekarang banyak didukung oleh literatur dan
dalam pedoman terbaru.American Society of Anesthesiologistsmenyatakan secara
spesifik bahwaahli anestesi harus menggunakan terapi manajemen nyeri

16
multimodal termasuk blok regional dan rejimen Cox-2 (coxibs) 24 jam atau
NSAID dan/atau asetaminofen nonselektif.6Analgesia multimodal dengan
penekanan pada nonopioid dan anestesi lokal adalah suatu konsep yang
menjanjikanterutama setelah operasi rawat jalan, di mana efek merugikan klasik
opioid seperti mual dan muntah dapat menunda pemulangan dan meningkatkan
tingkat penerimaan kembali.15
Asetaminofen, NSAID nonselektif, dan NSAID selektif COX-2 (coxibs)
telah menjadi andalan analgesia dalam pendekatan analgesia multimodal terhadap
nyeri post-operatif di semua pengaturan bedah.Acetaminophen merupakan
analgesik nonopioid terlemah, tetapi memiliki efek samping yang sangat
rendahselama digunakan dalam dosis terapi <4 g/hari, dan hampir tidak ada
kontraindikasi. Asetaminofen intravena perioperatif menghasilkan penurunan
PONV. Asetaminofen dapat dikombinasikan dengan NSAID dan memberikan
analgesia yang lebih unggul untuk setiap obat tunggal. Ini adalah bentuk paling
sederhana dari analgesia multimodal dan telah secara khusus ditunjukkan dengan
kombinasi asetaminofen dengan ibuprofen.6,15
NSAID dan coxib non-selektif secara signifikan lebih efektif daripada
acetaminophen dengan jumlah yang lebih rendah. Tidak ada perbedaan dalam
efektifitas NSAID dan coxib. Penggunaan ibuprofen (120 mg/hari) atau celecoxib
(400 mg/hari) selama 4 hari setelah operasi rawat jalan mengurangi kebutuhan
analgesia pada periode pasca-awal awalyang mengarah pada peningkatan
kepuasan pasien dan kualitas pemulihan.Metamizol (dipyrone) adalah nonopioid
lain yang dapat digunakan untuk bedah rawat jalan karena memiliki efek
spasmolitik tambahan dengan memiliki efek samping yang sangat sedikit.15,17
Opioid memainkan peran penting sebagai analgesik dalam periode
perioperatif sebagai analgesik penyelamatan dalam anestesi rawat jalan. Analgesia
multimodal membantu meminimalkan kebutuhan opioid dan dengan demikian
efek samping terkait opioid seperti sedasi, mual, muntah, dan sembelit, yang
mungkin memiliki efek negatif pada pemulihan dini (memengaruhi keluarnya
cairan dari ruang pemulihan dan dari rumah sakit) dan kembali normal.15,17

17
Modulator alfa-2-delta (gabapentin, pregabalin)telah menjadi komponen
penting dari analgesia multimodal. Gabapentin 1200–1600 mg menghasilkan
analgesia yang lebih baik daripada meloxicam 15 mg. Kombinasi gabapentin dan
meloxicam tidak lebih unggul dari obat tunggal yang menunjukkan bahwa
menggabungkan beberapa modalitastidak selalu berguna. Secara keseluruhan,
gabapentin dan pregabalin dapat memberikan ansiolisis dan meningkatkan
analgesia pada rawat jalan dan direkomendasikan.15,17

Mual dan Muntah Pasca Operasi


Frekuensi mual dan muntah bervariasi sekitar 30-50%. Bahkan jika
masalah lain yang terkait dengan pembedahan dan anestesi dapat diatasi. Hal ini
akan membuat kepulangan pasien tertunda dan rawat inap yang tidak terduga
mungkin diperlukan. Kejadian mual dan muntah akibat pasien, pembedahan, dan
faktor risiko terkait anestesi tetap tinggi sekitar 30%.7
Faktor risiko utama dari PONV adalah jenis kelamin wanita, status tidak
merokok, riwayat mual dan muntah setelah mabuk atau operasi, dan penggunaan
anestesi inhalasi sebelumnya atau analgesik narkotika. Orang dewasa dengan
lebih dari dua faktor risiko ini memerlukan antiemetik multimodal, seperti
droperidol, deksametason, dan ondansetron.3,7,11
Tabel 1. Dosis serta Waktu Pemberian Obat Antiemetik Profilaksis
Obat Dosis Waktu
Dexamethasone 45 mg IV Induksi
Dimenhydrinate 1 mg/kg IV Akhir operasi
Dolasetron 12.5 mg IV Akhir operasi
Droperidol 0.6251.25 mg IV Akhir operasi
Ephedrine 0.5 mg/kg IM Akhir operasi
Granisetron 0.351.5 mg IV Akhir operasi
Haloperidol 0.52 mg IM/IV Akhir operasi
Prochlorperazine 510 mg IM/IV Akhir operasi
Promethazineb 6.2525 mg IV Induksi
Ondansetron 4 mg IV Akhir operasi
Scopolamine Transdermal patch Sejak malam atau 4 jam sebelum op
Tropisetron 2 mg IV Akhir operasi

Pengobatan PONV memerlukan pemberian obat antiemetik dari kelas


farmakologis yang berbeda dari obat profilaksis awal, dan antagonis reseptor 5-
hidroksi-kriptamin dosis rendah dosis rendah dianjurkan kecuali jika profilaksis

18
diindikasikan. Penggunaan propofol, terapi cairan, dan minimalisasi analgesik
narkotika selama perawatan perioperatif juga efektif untuk mengurangi risiko
mual dan muntah.7

Pemulihan
Proses pemulihan anestesi dapat dibagi menjadi tiga tahap: awal, tengah,
dan akhir. Pemulihan awal mengacu pada periode antara kebangkitan dari anestesi
dan pemulihan refleks pelindung dan kapasitas motorik. Pasien tetap berada di
PACU dengan pemantauan tanda vital dan saturasi oksigen. Oksigen, analgesik,
dan anti-emetik dapat diberikan jika perlu. Sebagian besar rumah sakit yang
melakukan operasi rawat jalan memiliki unit step-down atau unit bedah rawat
jalan yang membantu pasien di tahap tengah dengan persiapan untuk keluar.3,12
Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien
fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas
motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya
10. Penggunaan pulse oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator
oksigenasi, dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang mengganti
kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2 pada modifikasi sistem skoring
Aldrete.8
Tabel 2. Modified Aldrete Scoring System2,8
Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas
4 ekstremitas 2
2 ekstremitias 1
0 ekstremitias 0
Respirasi
Mampu nafas dalam dan batuk 2
Dispneu atau nafas terbats 1
Apneu 0
Sirkulasi
BP 6 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi 2
BP 6 2050 mmHg dari nilai sebelum anestesi 1
BP 6 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Respon bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Saturasi oksigen
Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas 2
Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1
Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0

19
Pasien dalam fase pemulihan tengah tinggal di unit step-down dan dirawat
di kursi istirahat. Mereka dianggap siap untuk dipulangkan ketika mereka mampu
berjalan, minum, dan buang air kecil. Keputusan untuk transfer pasien dari PACU
ke unit step-down mengikuti evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan
sistem penilaian Aldrete yang dimodifikasi atau kriteria fasttrackWhite.2,8
Keterbatasan skor Aldrete yang dimodifikasi adalah tidak mengatasi rasa
sakit, mual, atau muntah, yang merupakan efek samping umum dari perawatan di
PACU. Penggunaan perangkat pemantauan otakseperti indeks bispektral
membantu titrasi dosis anestesi yang lebih rendah. Kriteria fasttrackWhite
digunakan untuk mengevaluasi keputusan memasukkan seorang pasien ke dalam
unit step-down tanpa melalui PACU.2,8
Tabel 3. Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan pasien dapat
ditransfer langsung dari kamar bedah ke ruang pemulihan fase II5
Nilai
Kesadaran
Sadar penuh 2
Respon terhadap rangsang minimal 1
Respon hanya bila dirangsang fisik 0
Aktifitas fisik
Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah 2
Ada kelemahan pada bagian anggota gerak 1
Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak 0
Stabilitas hemodinamik
Tekanan darah, 15% dari nilai MAP awal 2
Tekanan darah, 15%30% dari nilai MAP awal 1
Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal 0
Stabilitas respirasi
Mampu bernafas dalam 2
Takipneu tapi mampu batuk 1
Dispneu dan tidak mampu batuk 0
Saturasi oksigen
Saturasi > 90% dengan udara bebas 2
Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul 1
Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan 0
Nyeri pascabedah
Tidak ada atau minimal 2
Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV 1
Nyeri berat yang menetap 0
Muntah pascabedah
Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah 2
Muntah kadang-kadang 1
Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat 0
Nilai total 14

20
Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track
anesthesia telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa
digunakan sebagai kriteria discharge pasien dari PACU tidak adekuat digunakan
pada pasien bedah rawat jalan terutama dengan anestesi umum karena tidak
mencakup komplikasi yang biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan
muntah).2,8
Pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan nilai dari semua
kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru ini memiliki
kelebihan dibanding modified Aldretes scoring system dalam penilaian kelayakan
pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah menjalani bedah rawat
jalan dengan anestesi umum.2
Skor 'WAKE' diperkenalkan tidak hanya mencakup skor Aldrete yang
dimodifikasi (skor maksimum = 10), tetapi juga kriteria “nol toleransi” untuk
menilai nyeri pasca operasi, PONV, tremor, gatal, dan gejala ortostatik (pusing,
hipotensi). Skor WAKE lebih cocok untuk evaluasi dan tindak lanjut cepat dari
pasien rawat jalan yang telah menjalani anestesi regional, umum, atau MAC.2,8
Periode pemulihan yang terlambat mengacu pada periode sebelum pasien
dapat kembali bekerja dan kehidupan sehari-hari, setelah semua fungsi telah pulih
sepenuhnya setelah dipulangkan. Pasien harus dapat berjalan tanpa pusing dan
mengalami sedikit atau tidak ada rasa sakit, mual, muntah, atau pendarahan di
tempat bedah. Post Anesthesia Discharge Scoring System dapat digunakan untuk
memutuskan apakah mereka dapat pulang dari rumah sakit.2,8
Seorang pendamping orang dewasa yang bertanggung jawab harus
diberikan instruksi cetak, termasuk informasi terperinci mengenai tindakan
pencegahan, pedoman, dan tenaga medis untuk dihubungi jika terjadi keadaan
darurat. Selama proses ini, komunikasi yang erat antara pasien dan staf medis,
serta janji tindak lanjut pasca operasi harus dipastikan.1,3

PEMULANGAN PASIEN
Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory

21
Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System).Modifikasi
PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan mampu minum
pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan kedalam
protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien
tertentu. Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:5,8
a. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)
b. Ambulasi
c. Mual/muntah
d. Nyeri
e. Perdarahan akibat pembedahan
Bila skor mencapai >9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.
Tabel 4. Modified PADSS2
1. Tanda vital
2 = sekitar 20% dari nilai prabedah
1 = 20 40% dari nilai prabedah
0 = 40% dari nilai prabedah
2. Pergerakan
2 = mampu berdiri/tidak ada pusing
1 = dengan bantuan
0 = tidak ada pergerakan/pusing
3. Mual/muntah
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
4. Nyeri
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
5. Perdarahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
Total nilai 10. Bila nilai > 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan

Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding memperlambat pemulangan


pasien. Pasien bedah rawat jalan yang tidak berisiko terhadap retensi urin aman
untuk dipulangkan sebelum mereka mampu untuk kencing. Faktor resiko
terjadinya retensi urin pascabedah termasuk:5,8
a. Riwayat retensi urin pascabedah
b. Anestesi spinal/epidural

22
c. Pembedahan pelvis/urologi
d. Kateterisasi perioperatif
Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat
manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan
distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek sisa dari anestesi spinal atau
epidural.5,8
Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga
memperlambat pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini
membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kejadian
PONV pada pasien yang telah memiliki toleransi untuk minum dengan yang tidak
sebelum pasien dipulangkan.5,8

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland; British


Association of Day Surgery. Day case and short stay surgery: 2.
Anesthesia. 2011;66:417-434.
2. Barash PG; Cullen BF; Steolting RK; et al. Handbook of Clinical
Anesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
3. Lee JH. Anesthesia for ambulatory surgery. Korean J Anesthesiol.
2017;70(4):398-407.
4. Hines RL; Marschall KE. Stoelting’s Anethesia and Co-Existing Disease.
Philadelphia: Elsevier; 2008.
5. Morgan GE; Mikhail MS; Murray MJ. Clinical Anesthesiology.
Philadelphia: McGraw-Hill Education; 2006.
6. Schug S; Chandrasena C. Postoperative pain management following
ambulatory anesthesia: challenges and solutions. Dovepress. 2015;2:11-20.
7. Hegarty A; Buckley M; Caul C. Ambulatory anesthesia and postoperative
nausea and vomiting: predicting the probability. Dovepress. 2016;3:27-35.
8. Miller RD; Erikson LI; Dleisher LA; et al. Miller’s Anesthesia. New York:
Elsevier; 2009.
9. Moon TS; Joshi GP. Are morbidly obese patients suitable for ambulatory
surgery? Curr Opin Anaesthesiol. 2016;29:141-145.
10. Hinkelbein J; Hohn A; Genzwürker H. Airway management for anaesthesia
in the ambulatory setting. Cuur Opin Anesth. 2015;28:642-647.
11. Joshi GP; Ankichetty SP; Gan TJ; et al. Society for Ambulatory Anesthesia
consensus statement on preoperative selection of adult patients with
obstructive sleep apnea scheduled for ambulatory surgery. Anesth Analg.
2012;115:1060-1068.
12. Moore JG; Ross SM; Williams BA. Regional anesthesia and ambulatory
surgery. Curr Opin Anaesthesiol. 2013;26:652-660.
13. Hunter JM; Flockton EA. The doughnut and the hole: a new
pharmacological concept for anaesthetists. Br J Anaesth. 2006;97:123-126.

24
14. Schreiber JU. Management of neuromuscular blockade in ambulatory
patients. Curr Opin Anaesthesiol. 2014;27:583-588.
15. Macintyre PE; Scott DA; Schug SA. Acute Pain Management: Scientific
Evidence. Melbourne: Australian and New Zealand College of
Anaesthetists; 2010.
16. Lux EA; Stamer U; Meissner W; et al. Postoperative Schmerztherapie nach
ambulanten Operationen. Schmerz. 2008;22(2):171-175.
17. Dickerson DM. Acute pain management. Anesth Clin. 2014;32(2):495-53.

25

Anda mungkin juga menyukai