Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

RESUSITASI PADA PASIEN USIA 73 TAHUN DENGAN


SEPSIS EC PNEUMONIA, PPOK EKSASERBASI

Oleh
dr. Hidayati

Pembimbing :
dr. Pesta Parulian Maurid Edward, Sp. An, KIC

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS – 1


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama pada 50% kematian yang
diakibatkan oleh trauma. Hampir semua pasien dengan cedera kepala merupakan usia
muda dan berhubungan dengan multiple fracture (10-40%).1 Di Amerika, sekitar 1,7
juta kejadian cedera kepala traumatik terjadi setiap tahunnya, dimana menyebabkan
52.000 kematian dan kunjugan ke Ruang Gawat Darat sebanyal 1,4 juta kejadian. Di
negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat.2,3
Cedera kepala traumatik merupakan salah satu neurotrauma primer yang menjadi
penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada anak-anak, khususnya usia lebih dari 1
tahun. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan usia dewasa kejadian
mortalitasnya lebih kecil (sekitar 10,4% pada dewasa, sedangkan pada anak anak
2,5%), akan tetapi terdapat beberapa faktor prediktor yang dapat memprediksi hasil
keluaran akhir setelah terjadi cedera kepala traumatik pada anak-anak.4 Hasil keluaran
dari cedera kepala tidak hanya disebabkan oleh sebanyak apa kerusakan neuron saat
terjadi trauma, akan tetapi juga bergantung pada kejadian sekunder selama setelah
trauma. Kajadian sekunder yang dimaksud disini termasuk beberapa faktor seperti
hipoksemia, hiperkapnia atau hipotensi, bentuk dan seluas apa hematoma yang terjadi
baik itu yang terjadi pada epidural, subdural, dan intraserebral, serta peningkatan
tekanan intrakranial yang berlangsung terus menerus. 1 Adapun beberapa faktor
prediktor yang dapat menyebabkan hasil keluara yang buruk pada anak-anak yang
mengalami cedera kepala, antara lain usia kurang dari 4 tahun, resusitasi
kardiopulmoner, multiple trauma, hipoksia, hiperventilasi, hiperglikemia, hipertermia,
hipotensi, peningkatan tekanan intrakranial, rehabilitasi yang buruk.4
Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan
medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses
patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis
mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti
kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih
mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan
yang maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan
kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak, durameter, vaskuler otak,
sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus.
Dengan pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing –
masing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat,
diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada
garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik.
Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada
kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek
tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili
detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau
kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau defisit
neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali
sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya
mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana
peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang dari 200 mili detik).
Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian
ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala
derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan
mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang
kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi hematom ini
terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari trauma
yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk
mendapatkan outcome yang baik. Anestesiolog mengelola pasien ini sepanjang periode
perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar
bedah, dan neuro ICU. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera
otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera
sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi
umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.
Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder.
a. Cedera primer adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres
aselerasi-deselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan patah
tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi intrakranial. Lesi
intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu cedera difus dan fokal. Difus
injuri ada dua kategori yaitu brain concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir <
6 jam) dan Diffus axonal injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam).
Fokal injury ada beberapa macam antara lain brain contusion, epidural hematom,
subdural hematom, intracerebral hematom.
b. Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam atau hari sejak cedera pertama
dan menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum
dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera sekunder dapat
disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkarbia), 2)
instabilitas kardiovaskuler (hipotensi, curah jantung rendah), 3) peningkatan
tekanan intrakranial, dan 4) kekacauan biokimia.

B. ANATOMI
B.1 Meninges dan Vasa Darah Otak
1. Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus
otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi
sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam
yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.

a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater
pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan
duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang
merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis.
Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana
diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk
segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx
cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior
memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan
lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis
disebut diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk
ruangan disebut sinus (venosus) duramatris. Sinus duramatis menerima
aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada dua macam
sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater
yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus
rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari
vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior
menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara
falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri
magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum.
Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan
confluens sinuum.
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus
cavernosus, sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior.
Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus
rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus
merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus
superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan
mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis
interna.

b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam
sulcus / fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak
muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti
sarang laba – laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium
subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna.
Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut
spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium
epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan
invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama
didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan
lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.

c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti
setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama
dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai
barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.

B.2. Vasa Darah Otak


a. Arteri
Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a.
vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis yang
masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya adalah a.
optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan a.cerebralis
medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a. cerebralis
anterior mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a. cerebralis
medialis mempercabangkan a. communican posterior.
Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui
foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a.
basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina (mengikuti n. V dan
n. VIII), a. cerebellaris superior (setinggi n. III dan n. IV) dan a. cerebralis
posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.
Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus
arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a.
cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior, a. comunican
posterior dan a.communican anterior. Sistem ini memungkinkan suplai darah
ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan.

b. Vena
Vena di otak diklasifikasikan sebagai berikut :
 Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis /
inferior dan vv. Basallles.
 Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
 Vv. Cerebellaris
 Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan
vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika
terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran
infeksi ke dalam cavum cranii.

Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya
mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di
cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa
meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii.
Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan
vv. Profunda di dalam otak.

C. MANIFESTASI KLINIS
Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial
yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural,
dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom
intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan.

D. KLAFISIKASI PERDARAHAN INTRAKRANIAL


D.1 EPIDURAL HEMATOMA
Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom jenis
ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens (a. Meningea
media). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus,
sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada
fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi.

Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea mediana
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea
mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang
sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur
terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi,
umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital,
parietal atau tulang sfenoid.
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketika terjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal
pada squama temporal.

Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari trias gejala:
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti
dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere
contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid,
dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan
dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval
lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.
Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang
pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic
karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari
efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis
sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral
kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif
akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat
mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber
perdarahan. Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk
menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

Komplikasi dan Outcome


Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
 Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan
tekanan intrakranial
 Kompresi batang otak – meninggal
 Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
 Mortalitas 20% -30%
 Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
 Sembuh tanpa defisit neurologik
 Hidup dalam kondisi status vegetatif

D.2 SUBDURAL HEMATOMA


Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari
ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan
bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
3. Diskrasia darah.
4. Terapi antikoagulan

Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran
dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi
hiperdens.

2. Perdarahan sub akut


Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah
trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan
cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan
kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus
berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar
secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada
subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di
daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang
tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume
dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di
dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan
dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens

Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan
effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom
yamg berhubungan dengan trauma otak.

Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)
sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak
begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa
atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo,
papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan
defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering
diduga tumor otak.

Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom
subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal
dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk
melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

Komplikasi Dan Outcome


Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
 Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
 Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

D.3 INTRASEREBRAL HEMATOM


Definisi
Merupakan perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom
intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh
darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran
hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan
dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml
dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau
petechial /bercak).

Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.

Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanya 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di
daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya
serta fraktur kalvaria.

Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip
dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak
setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi
otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial yaitu nyeri kepala mendadak dan
penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebellar ;
- Nyeri kepala akut.
- Penurunan kesadaran.
- Ataksia
- Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
- Penurunan kesadaran koma.
- Tetraparesa
- Respirasi irreguler
- Pupil pint point
- Pireksia
- Gerakan mata diskonjugat.

Terapi umum
Untuk hemoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif.
Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi.
Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi,
manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha
untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif
yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan
intrakranial karena terapi medis
 Konservatif
- Bila perdarahan kurang dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
- Bila perdarahan pons batang otak.
 Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan efek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan efek massa

BAB III
LAPORAN KASUS

Nama Ny.S

Jenis Kelamin Perempuan

Usia/TB/BB 73 tahun /40kg/150 cm

No. MR RM 509636
Alamat Kedungdoro, Tegalsari

Tanggal MRS 12 April 2019

Tanggal Operasi Tidak dilakukan operasi

Tanggal Masuk RES 13 Februari 2019

Primary Survey
Wanita usia 73 tahun dengan berat bedan 40kg dan tinggi badan 150 cm. Pasien ini
merupakan rujukan dari RS Angkatan Laut dengan gagal napas dan penurunan kesadaran.
Dari Evaluasi primary survey tanggal 13 Februari 2018 00.30 WIB di ruang Resusitasi:
Primary Problem Sikap
Survey
Airway Bebas, on ETT Pertahankan ETT, memastikan fiksasi,
Evaluasi Patensi Airway Berkala
Breathing Spontan 30x/menit, Tidak Ada Persiapkan ventilator
Suara napas vesikuler Support ventilator, mode PVC
meningkat Rate 20, Pinsp 18, Peep 6, FiO2 50%,
Suara nafas tambahan Ronchi TV 486, MV 5,4, f total 25, P peak 23,
+/+, Wheezing -/-, SPO2 91- SPO2 97%
92% dengan Jackson Reese 10
liter/menit
Circulation Perfusi dingin kering merah, Sudah terpasang IV Line, pastikan
CRT < 2, TD 140/100mmhg, lancar, telah terpasang kateter urin,
nadi 110x/m evaluasi produksi urin
Disability Respon to pain Evaluasi kesadaran berkala
Exposure Non trauma

Secondary Survey

SUBYEKTIF
Anamnesa 14 Februari 201917.00
Pasien mengalami kecelakaan saat dibonceng ibu 5 hari sebelum masuk
rumah sakit, ditabrak motor dari arah belakang, terlempar dan kepala
terbentur di aspal. Pasien dibawa ke RS Siti Khadijah dengan penurunan
kesadaran, kejang (-), muntah (-), demam (-). Selama perawatan di RS
sebelumnya pasien dapat minum ASI seperti biasa. Sejak pagi di rumah
sakit pasien mengalami kejang selama 15 menit, telah diberikan terapi
diazepam 5 mg dan kejang berhenti. Pasien mengalami kejang lagi saat
siang hari, kejang berlangsung selama 1 jam dan berulang, pasien
diberikan terapi fenitoin inisial dan rumatan. Setelah kejang, pasien
sadar. Pasien diintubasi sekitar pukul 16.00, tanpa diberikan anestesi.
Kemudian pasien dirujuk ke RSDS.
Allergy Tidak didapatkan riwayat alergi
Medications Dari RS sebelumnya : Ceftriaxon, ranitidin, Na metamizole, citicolin,
diazepam 5 mg saat kejang, fenitoin bolus 20 mg inisial, dilanjutkan
fenitoin 20 mg dalam 24 jam
Past Illness Prenatal : pasien rutin ANC di dokter kandungan, ibu tidak pernah sakit
ataupun minum obat selama kehamilan
Natal : pasien lahir SC di RS, lebih bulan, BB lahir 3000 gr, PB 49 cm
Postnatal : riwayat kejang sebelumnya (-), Riwayat Sakit Jantung atau
biru sebelumnya (-), Riwayat DM (-), Riwayat Operasi (-)
Last Meal Makan dan minum terakhir jam 07.00
Event Trauma

OBJEKTIF
B1 (Breathing) Airway Bebas on ETT no 3.5, dengan kedalaman 13 cm
Breathing support on ventilator mode PSIMV, Pinsp 12cmH2O
PEEP 3, RR 30x/menit, I:E 1:1.5, Ti 0.8s, FiO2 90% → Peak
17cmH2O, VT 96 ml, RR 36x/menit, MV 3,2 L/min
vesikuler simetris, ronchi dan wheezing tidak ada, saturasi 99%
B2 (Blood) Perfusi hangat, kering, merah, Nadi 136x/menit reguler. Suara
jantung normal.
B3 (Brain) GCS 3x5 , pupil bulat isokor 3mm/3mm, lateralisasi tidak ada,
refleks patologis tidak ada
B4 (Bladder) BAK terpasang kateter inisial 25 ml warna kuning muda
B5 (Bowel) Jejas (-), soefl (+), bsising usus (+) kesan N
B6 (Bone) Edema (-), Sianotik (-), Suhu 37,0 0C

Lab 14/2/2019

Hb 6.9 Na 117 BUN 4


HCT 23,5% K 4.0 SK 0,41
WBC 14.520 Cl 87 PT 12/10,1
PLT 463.000 Neutrofil 78,3% APTT 23,5/27,7
GDA 170 Limfosit 15,9% Alb 3.96

MCH 55,7 Hbs Ag Non reaktif SGOT 54

MCV 16,4 HIV Non reaktif SGPT 27

MCHC 29,4

Analisa Gas Darah 14/2/2019


20.14
pH 7.386
pCO2 31,9
pO2 253,9
HCO3 19,3
BE -5,9
SO2 99,7%
Fraksi 80%
pF Ratio 317,375

Ro Thorax
Cor dan Pulmo
dalam batas normal
CT Scan Kepala
Didapatkan pendarahan intrakranial berupa ICH di temporoparietal kanan seluas 3,38 cc
dan SDH di frontoparietal
DIAGNOSIS
Berdasarkan data subyektif dan obyektif, pasien didiagnosa dengan :
1. Status epileptikus
2. Pendarahan intrakranial
3. anemia
4. hiponatremia

PROBLEM LIST
Problem list yang didapatkan pada pasien ini adalah :
1. Pediatri usia 5 bulan
2. Status epileptikus
3. Pendarahan intrakranial (ICH temporoparietal D + SDH frontoparietal)
4. anemia Hb 6,9
5. hiponatremia Na 117

TATALAKSANA
1. Planning :
a. Pertahankan oksigenasi dan ventilasi dengan menggunakan ventilator
mekanik
b. monitoring dan menjaga agar tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial
c. Koreksi keadaan anemia
d. Koreksi hiponatremia
e. mencegah terjadinya kejang berulang
f. KIE Keluarga

2. Instruksi :
a. Head up 15-30o
b. settinng ventilator dengan PSIMV
c. Kebutuhan cairan 710 ml/24 jam
d. koreksi hiponatremia
e. Fenitoin intravena 20 mg dalam 24 jam
f. transfusi PRC 71cc dalam waktu 2-3 jam
g. KIE dan mempersiapkan kondisi preoperatif jika sewaktu-waktu dilakukan
tindakan operasi

3. Monitoring :
a. Hemodinamik per 5 menit
b. Monitoring kesadaran per jam
c. Balance Cairan per jam

4. Rencana Evaluasi :
a. tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial
b. BGA per hari
c. Episode Kejang
d. Nilai hemoglobin setelah dilakukan transfusi
e. kadar natrium per hari atau koreksi hiponatremia selesai
f. cek GDA per hari atau saat terjadi penurunan kesadaran
g. Persiapan Preoperatif
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, and Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Fifth edition. Mc Graw Hill Education..
2. Coronado VG, Xu L, Basavaraju SV, et al. Center for Disease Control and Prevention.
Surveillance for traumatic brain injury related deaths United States 1997-2007.
MMWR Surveill Summ. 2011; 60 : 1-32.
3. Kass IS, Cottrell JE, Abramowicz AE, Hou JY, Lei B. 2017. Cottrell and Patel’s
Neuroanesthesia. Sixth Edition. Elsevier.
4. Vavilala MS, Soriano SG, Krane EJ. 2017. Smith’s Anesthesia for Infants and
Children. Ninth Edition. Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai