Anda di halaman 1dari 14

PORTOFOLIO STASE THT I, 2018

Nama : Rizki Taufiqurrahman


NPM : 1707601080009
Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : Ny. S
Umur : 24 tahun
Diagnosis : Tumor Parotis Sinistra
Operasi : Parotidektomi
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Benny Kurnia, SpTHT-KL
Tanggal Operasi : 24 Mei 2016

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan benjolan di rahang kiri sejak 1 tahun sebelum
masuk rumah sakit, benjolan awalnya diraskan kecil dan semakin lama semakin membesar,
sekarang benjolan diraskan sebesar telur ayam, nyeri benjolan tidak ada, sesak tidak ada,
sebelumnya pasien belum pernah menjalani tindakan operasi. Alergi obat dan makanan
disangkal. Riwayat minum obat 9 bulan dan batuk tidak ada, Riwayat hipertensi, Diabetes
Mellitus, asma, sakit jantung, liver dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit penyerta dan penyakit
dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini pasien sedang tidak
demam, batuk dan pilek. Pasien dengan indeks massa tubuh diatas normal (Obesitas,s BB 90 kg,
TB 170 cm, IMT 31.14), riwayat tidur mengorok disangkal, kelelahan di siang hari karena kurang
tidur disangkal, terbangun tengah malam karena sesak napas tidak ada.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 140/90 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 68 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 20 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 37,2⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular, tanpa
Saturasi O2 : 99% Room air murmur maupun gallop
Berat badan: 90 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 167 cm wheezing maupun ronkhi
IMT : 32 Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, motorik 2222,
sensorik baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 29 Maret 2016
HB 10.4 Ht 32 Leuko 11400 CXR 02 Mei 2016 : Tidak tampak kelainan
CT 7 BT 2 Ur 29 Cr 0.88 radiologis pada paru dan jantung
Na 145 K 3.7 Cl 108

Kesan :
ASA 2
- Obesitas, IMT 32 Stop Bang Score Low Risk of OSA
- Anemia, Hb 10.6 g/dl
- Tanpa penyulit airway

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 Anestesia umum
 Posisi supine
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 11.30 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18 G
yang disambungkan ke Ringer lactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan pulse
oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 130/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi
napas 14x/menit, suhu 36.8, saturasi O2 99% room air
 Pukul 11.45 dilakukan pemberian ko-induksi fentanyl 200 microgram dan induksi
menggunakan propofol 180 mg tirtrasi
 Dilakukan intubasi ETT No. 7.5, jenis kingking, evaluasi posisi dan kedalam ETT, kemudian
di fiksasi
 Setelah dipastikan posisi ETT baik, ventilasi dipindahkan ke ventilator, dengan TV 500 cc,
RR 16 x/menit, PEEP 5
 Kemudian dimasukkan kassa tampon faring 2 pcs, diberikan pelindung mata dan wajah,
kemudian pasien diposisikan dalam posisi supine
 Maintenance menggunakan gas sevofluran 2-3 volume% sesuai response pasien
 Hemodinamik setelah induksi dan dan intubasi, TD 105/65 mmHg, frekuensi nadi
60x/menit, dan saturasi O2 99%.
 Pukul 12.00 dilakukan insisi
 Pemberian deksamethasone 10 mg IV dan ondansetron 4 mg IV untuk PONV, asam
traneksamat 1000 mg IV untuk koagulasi, maintenance fentanyl dan atracurium sesuai
kebutuhan pasien
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 90-100 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 60-70 kali per menit.
 Pukul 13.30 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 70x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena
 Dilakukan weaning dari ventilator dengan pemberian neostigmine dan sulfas atropine,
setelah pernapasan kembali spontan dan adekuat, dilakukan ekstubasi pada keadaan
dalam. Setelah ekstubasi pernapasan 14 kali per menit, kedalaman adekuat, saturasi O2
dapat dipertahankan di 99%.
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 2 jam


Lama operasi : 1 jam 45 menit
Total cairan masuk : 2000 cc kristaloid
Perdarahan : 150 cc
Urin output : 0.9 cc/kgBB/Jam

Pembahasan

Manajemen anestesia pada operasi parotidektomi pada pasien dengan obesitas

Pasien dengan disproporsi berat badan dan tinggi badan dimana terjadi peningkatan indeks
massa tubuh diatas normal memiliki resiko pembiusan intra operatif maupun post operatif.
Pemeriksaan kunjungan pre anestesi harus mencakup riwayat ko morbid pasien seperti
hipertensi, iskemik heart disease, diabetes, hiperkolesterolemia dan refluks gastrik. Klasifikasi
disproporsi tinggi badan dan berat badan dapat dilihat pada table di bawah.
Pada pasien ini, dengan tinggi badan 167 cm dan berat badan 90 Kg, memiliki IMT 32 dan
digolongkan dalam Class I Obesity

Pada pasien dengan obesitas juga harus diperhatikan ada tidaknya riwayat dan resiko terjadinya
OSA (Obstructive sleep apnoe), yaitu terhentinya aliran udara pada saat tidur, sehingga udara
tidak dapat masuk karena penurunan tonus otot dan kolaps dari jalan napas bagian atas. Tingat
severity dari OSA dapat dinilai dengan AHI (apnoe/Hypopnoe Score).

Dari anamnesis pada pasien ini tidak didapatkan terjadinya OSA dimana pasien tidak pernah
mengeluhkan riwayat sesak napas dan terbangun pada saat tidur.

Peniliaian resiko OSA dapat dilakukan dengan menggunakan STOP BANG Score

Penilaian STOP Bang score pada pasien ini adalah 2, dimana pasien laki-laki, dengan hipertensi,
pasien ini digolongkan dalam low risk of OSA

Superficial parotidektomi adalah tindakan mengambil jaringan dari parotis sebelah lateral dari
nervus facialis. Berikut rangkuman manajemen anestesi pada tindakan parotidektomi
PORTOFOLIO STASE THT I, November 2018
Nama : Rizki Taufiqurrahman
NPM : 1707601080009
Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Tn. AH
Umur : 17 tahun
Diagnosis : Tonsilitis Kronis
Operasi : Tonsilektomi
DPJP Anestesi : dr. Azwar Risyad, SpAn
DPJP Bedah : dr. Lili Septiani, SpTHT-KL
Tanggal Operasi : 9 November 2016

Anamnesis:
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri menelan sejak 1 tahun yang sebelum masuk
rumah sakit, keluhan dirasakan hilang timbul disertai demam, sebelumnya pasien belum pernah
menjalani tindakan operasi. Alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat batuk tidak ada, Riwayat
hipertensi, Diabetes Mellitus, asma, sakit jantung, liver dan ginjal disangkal. Riwayat penyakit
penyerta dan penyakit dahulu lain disangkal. Tidak ada gigi palsu maupun gigi goyang. Saat ini
pasien sedang tidak demam, batuk dan pilek.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 110/70 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 87x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut tiga
Frekuensi napas: 18 x/menit jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,8⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular, tanpa
Saturasi O2 : 99% Room air murmur maupun gallop
Berat badan: 50 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 163 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel, bising usus (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada, sensorik baik
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 25 Maret 2016
HB 13,5 Ht 41 Leuko 11,2 CXR : -
Ur 28 Cr 0.52 BT 3 CT 7
Kesan :
ASA 2
- Leukositosis 11.200 mm3

Instruksi pra operasi


- Informed consent anesthesia
- Puasa makan padat 6 jam sebelum operasi, dan clear fluid 2 jam sebelum operasi
- Rawatan Post operasi ruangan

Rencana anestesi
 General Anestesi
 Posisi Rose Position
 Monitoring intraoperasi EKG,NIBP, SpO2

Intra operatif
 Pukul 08.00 pasien masuk kamar operasi. Dipasang kanul vena di tangan kanan no 18 G
yang disambungkan ke Ringerlactat, dipasang alat monitor tekanan darah, EKG dan pulse
oxymetri
 Hemodinamik pra anestesi. TD: 127/77 mmHg, frekuensi nadi 89 x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 36.9, saturasi O2 99% room air
 Pukul 08.15 diberikan ko-induksi midazolam 2 mg dan fentanyl 100 mcg, kemudian
dilakukan induksi dengan menggunakan propofol 100 mg titrasi dan fasilitasi intubasi
menggunakan rocuronium 40 mg
 Dilakukan intubasi ETT no 7, jenis non kingking, diposisikan ditengah kemudian dievaluasi
dan difiksasi, pasien diposisikan pada rose position
 Hemodinamik setelah induksi, TD 100/65 mmHg, frekuensi nadi 77x/menit, dan saturasi
O2 99%.
 Pukul 08.30 dilakukan insisi
 Pemberian deksamethasone 5 mg IV dan ondansetron 4 mg IV untuk PONV
 Intra operatif tekanan darah berkisar di sistolik 110-120 mmHg, dengan diastolik 60-70
mmHg, Frekuensi nadi berkisar antara 70-80 kali per menit.
 Pukul 09.30 operasi selesai. Tekanan darah di akhir operasi TD 110/70 dengan frekuensi
nadi 73 x per menit, saturasi O2 99%.
 Analgetik post operasi diberikan paracetamol 1 gram intra vena dan tramadol 100 mg
intra vena
 Pasien ditranspor ke ruang pulih

Lama pembiusan : 1 jam 15 menit


Lama operasi : 1 jam
Total cairan masuk : 1000 cc kristaloid
Perdarahan : 200 cc
Urin output : Tidak diperiksa

Pembahasan

Manajemen anestesia pada operasi Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil, berasal dari bahasa latin
tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu, serta dari bahasa yunani
ektomi yang berarti eksisi. Tonsilektomi sudah sejak lama dikenal yaitu sekitar 2000 tahun yang
lalu. Cornelius celcus seorang penulis dan peneliti Romawi yang pertama memperkenalkan cara
melepaskan tonsil dengan menggunakan jari dan disarankan memakai alat yang tajam, jika
dengan jari tidak berhasil.
Tahun 1867 dikatakan bahwa sejak tahun 1000 sebelum masehi orang Indian asiatik sudah
terampil dalam melakukan tonsilektomi. Frekuensi tindakan ini mulai menurun sejak
ditemukannya antibiotik untuk pengobatan penyakit infeksi.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan ketrampilan dan ketelitian
yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika, tonsilektomi digolongkan operasi
mayor karena kekhawatiran komplikasi, sedangkan di Indonesia tonsilektomi digolongkan
operasi sedang karena durasi operasi pendek dan tidak sulit.
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi
belum ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1993-2003)
menunjukan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak
kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 ( 152 kasus).
Beragam teknik terus berkembang mulai dari abad ke-21, diantara teknik tersebut adalah diseksi
tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser
dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan coblation. Keseluruhan teknik ini mempunyai
keuntungan serta kerugian tersendiri dan masih terjadi perdebatan dalam pemilihan teknik yang
terbaik.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.
Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich
von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita
lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,
dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsil pada kedua sudut
orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole
dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan
diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas
kebawah sampai kedinding atas esofagus. otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus
diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk
bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar
lidah dan lateral dinding faring.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang
kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada
muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas
kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung
walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga
sering menyebabkan sering terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara
mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:
1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,
2. Jolikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Perdarahan tonsil didapatkan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Arteri Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A palatina
asenden,
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya A palatina desenden,
3. Arteri lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsalis,
4. Arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh Arteri.
Lingualis dorsal dan bagian posterior oleh Arteri palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh Arteri tonsilaris, kutub atas tonsil diperdarahi oleh Arteri
faringeal asenden dan Arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik
melalui vena disekitar kapsul tonsil,vena lidah dan pleksus faringeal serta akan menuju v jugularis
interna.
Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion sfenopalatina dibagian
atas dan saraf glosofaringeus dibagian bawah. Aliran limfe dari dari tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior dibawah M
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus.
Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada.
Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil merupakan
organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limposit yang sudah
disentisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan
untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas
dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck
Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
 Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
 Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali
jika dilakukan fase akut.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
 Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

2. Indikasi relatif
 Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik
 Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
Kontraindikasi
1. Riwayat penyakit perdarahan.
2. Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol.
3. Anemia.
4. Infeksi akut.
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi
kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada
tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas
seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
diseksi :
1. Guillotine. Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta
kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya
terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi. Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter. Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil
disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi
berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf
atau jantung.
4. Radiofrekuensi. Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian
jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang
rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik. Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong
dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation. Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk
karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk
mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan
membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma
tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan
partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain
memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada
suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy. Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi
parsial yang dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider
endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak
ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP). Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Tehnik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan
infeksi kronik dan rekuren.
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum,
sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat
ditemukan berupa :
 Laringospasme
 Gelisah pasca operasi
 Mual muntah
 Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
 Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
 Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah
 Perdarahan. Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat
perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena
perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
 Nyeri. Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-
21 hari setelah operasi
Komplikasi lain. Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir,
lidah, gigi dan pneumonia

Analgesia pascaoperasi yang cukup paling baik diberikan dengan kombinasi analgesic ringan dan
dosis rendah dari opioid. Paracetamol dan NSAID memiliki feel morphine-sparing. Perhatian
terhadap adanya potensi perdarahan perioperatif diabaikan secara luas, dengan perkecualian
ketorolac, yang harus dihindari. Dosis tunggal deksametasone 0,1-0,5 mg/kg juga menunjukkan
penurunan penggunaan analgesia pascaoperasi. Dosis regular parasetamol dan NSAID setelah
operasi memberikan analgesia yang baik.

Insiden PONV setelah adenotonsilektomi bisa setinggi 70% dan pendekatan multimodal
diindikasikan untuk mengatasi hal ini. mengurangi kelaparan, menghindari penggunaan N2O dan
analgesia yang seimbang dengan pemberian profilaksis antiemetic mengurangi insiden PONV.
Kombinasi ondansetron 0,1-0,2 mg/kb dan deksametason 0,1-0,5 mg/kg (maksimal 8 mg)
intraoperatif telah menunjukkan penuruanan secara besar insiden PONV. Pemberian cairan
intraoperatif juga telah menurunkan insiden nausea pascaoperasi.

Anda mungkin juga menyukai