KONSEP UTAMA
Waktu paruh intravaskular dari larutan kristaloid adalah 20-30 menit sedangkan sebagian besar
larutan koloid mempunyai waktu paruh intravaskular antara 3-6 jam.
Pasien dengan hematokrit normal seharusnya ditransfusi jika kehilangan darah lebih besar dari 10-
20% dari volume darahnya. Hal ini berdasarkan atas kondisi kesehatan pasien dan prosedur
operasi.
Banyak reaksi transfusi yang berat disebabkan oleh ketidakcocokan ABO. Antibodi yang diperoleh
secara alami dapat memberikan reaksi yang berlawanan terhadap antigen asing,mengaktivasi
komplemen, dan menghasilkan hemolisis intravaskular.
Pada pasien yang teranestesi, reaksi hemolitik akut dimanifestasikan dengan peningkatan suhu,
takikardi yang tidak diketahui sebabnya, hipotensi, hemoglobinuria, dan perembesan darah difus
pada lapangan operasi.
Transfusi leukosit yang berisi produk-produk darah dapat menjadi imunosupresif.
Angka penularan virus HIV melalui transfusi sekarang ini diperkirakan menjadi 1:200.000 transfusi.
Pasien imunokompromise dan imunosupresif ( seperti bayi prematur dan pasien yang menerima
transplantasi organ) mudah terinfeksi cytomegalovirus (CMV) berat melalui transfusi. Pasien
seperti itu seharusnya hanya menerima darah dengan CMV negatif.
Sebagian besar penyebab perdarahan yang diikuti oleh transfusi darah masif adalah
trombositopenia.
Secara klinik, hipokalsemia yang signifikan menyebabkan depresi jantung. Hal ini tidak terjadi
kecuali jika kecepatan transfusi melebihi 1 U setiap 5 menit.
Sebagian besar abnormalitas yang menetap setelah transfusi darah yang masif adalah alkalosis
matabolik postoperatif.
Semua pasien membutuhkan masukan vena dan terapi cairan intravena kecuali yang menjalani
operasi minor. Beberapa membutuhkan transfusi darah dan komponen-komponen darah.
Keseimbangan volume intravaskular yang normal sangat diperlukan pada periode perioperatif. Ahli
anestesi seharusnya dapat menilai volume intravaskular secara akurat dan mengganti defisit cairan atau
elektrolit dan kehilangan caran tersebut secara terus menerus. Kesalahan pada penggantian cairan atau
transfusi dapat menyebabkan kondisi yang buruk bahkan kematian.
1
EVALUASI VOLUME INTRAVASKULAR
Evaluasi klinik dari volume intravaskular seharusnya dapat dipercaya karena pengukuran
volume kompartemen cairan tidak mudah didapatkan. Volume intravaskular dapat dinilai secara fisik,
pemeriksaan laboratorium atau dengan teknik monitor hemodinami. Tanpa memperhatikan metode
kerja, evaluasi secara berseri dibutuhkan untuk konfirmasi pengaruh awal dan petunjuk terapi cairan.
Lebih dari itu, modalitas seharusnya melengkapi satu sama lain karena semua parameter bersifat tidak
langsung, pengukuran volume yang tidak spesifik tergantung hanya pada satu parameter dapat menjadi
keliru sehingga penuh risiko.
PEMERIKSAAN FISIK
Sebagian besar pemeriksaan fisik perioperatif dapat dipercaya. Petunjuk yang bermakna
untuk hipovolemia adalah turgor kulit, hidrasi membran mukosa, palpasi dari nadi perifer, curah
jantung pada saat istirahat, tekanan darah dan posisi dari baring keposisi duduk atau berdiri dan jumlah
aliran urin (Tabel 29-1). Sayangnya, banyak obat anestesi mempunyai efek yang sama dengan stress
pembedahan, mengubah hal ini menjadi tidak dapat dipercaya pada saat periode setelah operasi. Pada
intra operatif, nadi perifer (radial atau dorsalis pedis) yang normal, jumlah aliran urin dan tanda tidak
langsung seperti respon tekanan darah menjadi ventilasi tekanan positif dan vasodilatasi atau efek
inotropik negatif dari anestesi hampir sering digunakan pada pemeriksaan fisik.
Pitting edema, presakral pada pasien yang terbaring di tempat tidur atau pretibial pada pasien
yang dapat berjalan, dan peningkatan aliran urin adalah tanda dari hipervolemia pada pasien dengan
jantung, hepar, dan ginjal yang normal. Gejala yang lambat dari hipervolemia adalah
takikardi,krepitasi paru, wheezing, sianosis, pink, sekresi jalan napas yang berbusa.
2
Tabel 29-1 Tanda kehilangan cairan (hipovolemia)
Kehilangan cairan (tercermin sebagai presentasi berat tubuh)
5% 10% 15%
Membran mukosa Kering Sangat kering Parched
Sensori Normal Letargi Tidak ada respon
sama sekali
Perubahan ortostatik Tidak ada Ada Angka
- curah jantung >15 bpm ↑
- tekanan >10 bpm ↓
darah
Jumlah aliran urin Menurun ringan Menurun Menurun secara
nyata
Kecepatan pulsasi Normal atau Meningkat >100bpm Meningkat secara
meningkat nyata >200 bpm
Tekanan darah Normal Menurun ringan dengan Menurun
respirasi yang bervariasi
EVALUASI LABORATORIUM
Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai pengganti pengukuran volume
intavaskular dan perfusi jaringan yang adekuat. Termasuk hematokrit serial, Ph darah arteri, berat jenis
urin atau osmolalitas, natrium urin atau konsentrasi klorida, serum natrium dan serum kreatinin pada
ratio ureum natrium darah (BUN). Pengukuran ini secara tidak langsung mengindikasikan volume
intravaskular dan sering tidak dapat dilakukan intraoperatif karena dipengaruhi oleh beberapa varibel
lain dan hasilnya sering terlambat. Tanda laboratorium dari dehidrasi yaitu peningkatan hematokrit,
asidosis metabolik yang progresif, berat jenis urin yang lebih dari 1.010, Na urin kurang dari 10
mEq/L, osmolalitas urin lebih besar dari 450 mOsm/kg, hipernatremia, dan BUN menjadi ratio
kreatinin lebih besar dari 10:1. Tanda overload volume tidak selalu ada dalam pengukuran ini. Hanya
tanda radiografi dari peningkatan vaskular paru dan tanda intertisial (Kerly “B” lines) atau infiltrat
alveolar difus yang dapat dipercaya.
PENGUKURAN HEMODINAMIK
Pengawasan tekanan vena sentral diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru
normal jika status volume sulit untuk dinilai dengan cara lain atau jika diharapkan perubahan cepat
atau besar. Pembacaan CVP seharusnya diinterpretasikan secara tepat. Nilai terendah (< 5 mm Hg)
mungkin normal kecuali terdapat tanda lain dari hipovolemia. Selain itu, respon dari bolus cairan (250
ml) sama pentingnya. Peningkatan yang kecil (1-2 mmHg) mungkin menunjukkan kebutuhan cairan
3
yang lebih banyak, mengingat peningkatan yang besar (>5mmHg) menggambarkan kecepatan
pemberian yang lebih lambat dan mengevaluasi kembali status volume. Pembacaan tekanan vena
sentral yang lebih dari 12 mmHg adalah tinggi dan menunjukkan hipervolemia pada keadaan tidak
adanya disfungsi ventrikel kanan, peningkatan tekanan intratorakal, dan penyakit pericardial restriktif.
Pengawasan tekanan arteri pulmonal diperlukan jika tekanan vena sentral tidak berhubungan
dengan penilaian klinik atau jika pasien mempunyai disfungsi ventrikel kanan primer atau sekunder.
Belakangan ini biasanya disebabkan oleh penyakit paru-paru atau ventrikel kiri. Pembacaan tekanan
oklusi arteri pulmonal (PAOP) kurang dari 8 mmHg menunjukkan hipovolemia jika terdapat pula
gejala klinik.Bagaimanapun, nilai kurang dari 15 mmHg dapat dihubungkan dengan hipovolemia
relatif pada pasien dengan pengembangan ventrikel yang kurang. Pengukuran PAOP yang lebih besar
dari 18 mmHg adalah tinggi dan secara umum menunjukkan overload volume ventrikel kiri. Adanya
penyakit katup mitral (khususnya stenosis), stenosis aorta yang berat, myxoma atrium kiri atau
trombus mengubah hubungan yang normal antara PAOP dengan end diastolik volume ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan torakal dan jalan napas juga menjadi salah. Akibatnya, semua pengukuran
tekanan seharusnya selalu diperoleh pada akhir ekspirasi dan diinterpretasi dalam konteks klinik.
Teknik terbaru pada pengukuran volume ventrikel dengan transesophageal echocardiography
atau radioisotop lebih akurat tetapi sulit didapatkan.
CAIRAN INTRAVENA
Cairan intravena terdiri dari kristaloid, koloid atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid
memiliki berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, mengingat larutan koloid juga
terdiri dari substansi-substansi yang mempunyai berat molekul tinggi seperti protein atau polimer
glukosa yang besar. Larutan koloid mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma dan sebagian
besar tetap intravaskular, sedangkan larutan kristalod menyeimbangkan dengan cepat dan
mendistribusikan melalui seluruh ruangan cairan ekstraselular.
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan koloid dengan kristaloid pada pasien bedah. Yang
menganjurkan koloid berpendapat bahwa dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid
lebih efektif untuk mengembalikan volume intravaskular normal dan cardiac output. Disisi lain,
pendukung kristaloid berpendapat mempertahankan larutan kristaloid sama efektifnya ketika diberikan
dalam jumlah yang cukup. Koloid yang dapat meningkatkan edema paru pada pasien dengan
permeabilitas kapiler paru yang meningkat mulai tidak ditemukan karena tekanan onkotik interstisiel
paru sama dengan plasma. Beberapa generalisasi dapat dibuat:
1. Jika kristaloid diberikan dalam jumlah yang cukup dapat seefektif koloid dalam mengembalikan
volume intravaskular.
4
2. Penggantian defisit volume intravaskular dengan kristaloid umumnya membutuhkan 3-4 kali
volume yang dibutuhkan jika menggunakan koloid.
3. Sebagian besar pasien bedah memiliki defisit cairan ekstraseluler yang melebihi defisit
intravaskular.
4. Defisit cairan intravaskular dapat lebih cepat dikoreksi dengan menggunakan larutan koloid.
5. Pemberian cepat kristaloid dalam jumlah besar (4-5 l)lebih sering dihubungkan dengan edema
jaringan yang signifikan.
Beberapa fakta-fakta menganjurkan bahwa tanda edema jaringan dapat mengganggu oksigen
transport, penyembuhan jaringan dan mengembalikan fungsi saluran pencernaan pada bedah mayor
(tetapi tidak terbukti).
LARUTAN KRISTALOID
Macam-macam larutan dapat dilihat pada tabel 29-2. Larutan dipilih berdasarkan tipe cairan
yang akan diganti. Kehilangan cairan secara primer diganti dengan larutan hipotonik, disebut juga
larutan tipe pemeliharaan. Kehilangan cairan dan defisit elektrolit diganti dengan cairan isotonik
disebut juga larutan tipe pengganti. Glukosa yang tersedia dalam beberapa larutan digunakan untuk
mempertahankan tonisitas dan untuk mencegah ketosis dan hipoglikemia akibat berpuasa. Anak-anak
dipronasikan agar terjadi hipoglikemia (<50mg/dl) diikuti berpuasa 4 sampai 8 jam (lihat bab 44).
Wanita lebih sering menjadi hipoglikemia akibat berpuasa lama (>24 jam) dibandingkan pria.
Jika sebagian besar cairan intraoperatif yang hilang adalah isotonik, maka larutan yang
umumnya digunakan adalah larutan tipe pengganti. Cairan yang sering digunakan adalah larutan
ringer’s lactate. Meskipun sangat hipotonik, mengandung kurang lebih 100 ml air per liter dan lebih
sedikit serum sodium hingga 130 mEq/l. Ringer’s lactate umumnya kurang mempunyai efek pada
komposisi cairan ekstraseluler dan menjadi sebagian besar larutan fisiologis terbesar ketika dibutuhkan
dalam jumlah yang besar. Laktat pada larutan ini dikonversi oleh hati menjadi bikarbonat. Ketika
diberikan dalam larutan besar, garam fisiologis menghasilkan dilusi asidosis hiperkloremik karena
berisi tinggi natrium dan klorida (154 mEq/l). Konsentrasi bikarbonat plasma turun jika konsentrasi
klorida naik (lihat bab 28 dan 30). Garam fisiologis adalah larutan pilihan untuk alkalosis metabolik
hipokloremik dan untuk dilusi packed red blood cell sebelum transfusi. Dekstrose 5% dalam air (D5W)
digunakan untuk mengganti defisit cairan yang sesungguhnya dan sebagai cairan keseimbangan untuk
pasien yang mengalami retriksi sodium. Garam hipertonik 3% digunakan untuk terapi gejala
hiponatremik simptomatik yang berat. Larutan garam tiga sampai 7,5% telah dianjurkan untuk
resusitasi pasien syok hipovolemik. Larutan ini harus diberikan secara pelan (sebaiknya melalui CVP)
karena larutan tersebut dapat menyebabkan hemolisis.
5
LARUTAN KOLOID
Aktivitas osmotik dari substansi dengan berat molekul tinggi pada koloid bertujuan untuk
mempertahankan larutan ini dalam intravaskular. Waktu paruh intarvaskular larutan kristaloid 20-30
menit sedangkan sebagian besar larutan koloid mempunyai waktu paruh intravaskular antara 3 sampai
6 jam. Harga yang mahal dan komplikasi yang kadang-kadang ada pada koloid cenderung membatasi
penggunaannya. Pada umumnya indikasi koloid adalah sebagai berikut:
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan intravaskular berat (seperti syok hemoragik)
sebelum datangnya darah untuk transfusi.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau kondisi yang berhubungan dengan kehilangan
protein yang besar seperti luka bakar.
Banyak klinikus menggunakan larutan koloid bersama-sama dengan kristaloid jika membutuhkan
cairan pengganti lebih dari 3-4 liter sebelum transfusi. Seharusnya dicatat bahwa larutan ini tersedia
dalam garam fisiologis (Cl- 154 mEq/l) dan dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik.
Beberapa larutan koloid umumnya mudah didapatkan. Semuanya berasal dari protein plasma atau
polimer glukosa sintetik dan tersedia dalam larutan elektrolit yang isotonik.
Jenis darah yang termasuk dari larutan koloid adalah albumin (larutan 5% dan 25%) dan fraksi
protein plasma (5%). Keduanya dipanaskan pada suhu 60ºC kurang lebih 10 jam untuk mengurangi
resiko penularan hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma berisi alfa dan beta globulin pada
penambahan dengan globulin dan kadang-kadang menyebabkan reaksi hipotensi.Reaksi ini merupakan
reaksi alergi alami dan mungkin melibatkan activator prekalikrein.
Koloid sintetik termasuk dekstrosa starches dan gelatin. Gelatin dihubungkan dengan histamin
yaitu mediator reaksi alergi dan ini tidak tersedia di United States. Dextran tersedia sebagai dextran 70
(Macrodex) mempunyai berat molekul kira-kira 70,000 dan dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat
molekul kira-kira 40,000. Meskipun dextran 70 merupakan expander volume terbaik daripada dextran
70, belakangan ini juga memperbaiki aliran darah melalui mikrosirkulasi, rupanya dengan mengurangi
viskositas darah. Dextran juga mempunyai efek antiplatelet. Infus yang melebihi 20 ml/kg/hari dapat
mengganggu tipe darah, mungkin memperpanjang waktu perdarahan (dextran 40) dan dapat
menyebabkan gagal ginjal. Dextran dapat menjadi antigenik, anafilaktoid ringan dan berat, dan dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik. Dextran I (Promit) mungkin dianjurkan sebelum dextran 40 atau
dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaksis berat. Larutan ini bereaksi sabagai hapten dan mengikat
antibodi dextran yang beredar.
Hetastarch(hidroxyethyl starch) tersedia sebagai larutan 6% dengan berat molekul kira-kira
4450,000. Molekul yang kecil dieliminasi oleh ginjal sementara molekul yang besar dipecah pertama
6
kali oleh amilase. Hetastarch mempunyai efektivitas yang tinggi sebagai plasma expander dan lebih
murah dibandingkan albumin. Selain itu, hetastarch non antigenik dan jarang menyebabkan reaksi
anafilaktoid. Studi koagulasi dan waktu perdarahan umumnya tidak berarti mempengaruhi infus
sampai 0,5-1,0 l. Penggunaan infus hetastarch pada pasien transplantasi ginjal masih kontroversial.
Pentastarch adalah larutan strarch yang mempunyai berat molekul rendah dan kurang disukai karena
mempunyai efek yang merugikan dan dapat menjadi pengganti hetastarch.
Contoh : Berapa kebutuhan cairan pemeliharaan pada anak yang beratnya 25 kg?
Jawab : 40 + 20 + 5 = 65 ml/jam.
7
Seringkali kehilangan cairan secara abnormal memperbesar defisit preoperatif. Perdarahan
preoperatif, muntah, diuresis dan diare sering memperberat. Kehilangan yang tersembunyi akibat
sekuestrasi cairan oleh trauma, infeksi jaringan atau asites dapat juga berarti. Peningkatan insensible
loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat sering tampak.
Idealnya semua defisit seharusnya diganti sebelum operasi pada semua pasien. Cairan yang
digunakan seharusnya sama dengan cairan yang hilang. (tabel 29-4).
Tabel 29-4.
Kandungan elektrolit pada cairan tubuh.
Na+ K+ Cl- HCO3-
Cairan (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
Keringat 30 – 50 5 45 – 55
Saliva 2 – 40 10 – 30 6 – 30 30
Getah lambung
- Keasaman tinggi 10 – 30 5 – 40 80 – 150
- Keasaman rendah 70 – 140 5 – 40 55 – 95 5 – 25
8
pergeseran cairan secara cepat dan penggantian intravena mempengaruhi pengukuran. Hematokrit
mungkin berguna selama prosedur yang lama atau ketika sulit untuk memperkirakan.
9
mempertahankan konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit) pada level itu. Pada sebagian besar pasien,
nilai hemoglobin antara 7 dan 8 g/dl ( atau hematokrit 21 – 24%). Pada konsentrasi Hb dibawah 7 g/dl,
cardiac output pada saat istirahat seharusnya meningkat untuk mempertahankan pengangkutan 0 2
normal. Level 10 g/dl terjadi pada pasien yang lebih muda dan pada penyakit jantung dan paru-paru
yang signifikan. Batas yang tertinggi mungkin digunakan jika diperkirakan terdapat kehilangan darah
terus menerus.
Dalam praktek, banyak klinikus memberikan larutan RL kira-kira tiga sampai empat kali
volume darah yang hilang, atau ratio koloid 1:1 sampai transfusi dapat dilakukan. Darah diganti sesuai
dengan yang hilang dengan rekonstitusi packed red blood cell.
Tabel 29-5
Volume darah rata-rata
Umur Volume darah
Neonatus
- Prematur 95 ml/kg
- Aterm 85 ml/kg
Bayi 80 ml/kg
Dewasa
- Pria 75 ml/kg
- Wanita 65 ml/kg
Transfusi dapat ditentukan preoperatif dari hematokrit dan perkiraan volume darah (
tabel 29-5). Pasien dengan hematokrit normal seharusnya di transfusi jika volume darah yang
hilang lebih besar daripada 10-20%. Hal ini berdasarkan pada kondisi kesehatan pasien dan prosedur
pembedahan. Jumlah kehilangan darah yang terjadi jika hematokrit turun hingga 30% dapat dihitung
sebagai berikut :
1. Memperkirakan volume dari tabel 29-5.
2. Memperkirakan volume sel darah merah (RBCV) pada hematokrit preoperatif.
3. Memperkirakan volume sel darah merah pada 30% hematokrit(RBCV 30%), volume darah normal
dianggap terpelihara.
4. Menghitung volume darah yang hilang jika hematokrit 30%, RBCVlost = RBCV preop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang diizinkan = RBCVlost x 3.
Contoh
10
Wanita dengan berat badan 85 kg mempunyai hematokrit preoperatif 35 %. Berapa banyak
kehilangan darah yang akan menurunkan hematokritnya sampai 30 %?
Perkiraan volume darah = 65 ml/kg x 85 kg = 5525 ml.
RBCV 35% = 5525 x 35% = 1934 ml
RBCV 30% = 5525 x 30% = 1658 ml
Kehilangan sel darah merah pada 30%. = 1934 – 1658 =276 ml
Kehilangan darah yang diizinkan = 3x276 ml = 828 ml.
Disamping itu transfusi darah seharusnya hanya dipertimbangkan jika kehilangan darah
pasien melebihi 800 ml. Selanjutnya, trasfusi tidak direkomendasikan sampai hematokrit menurun
hingga 24% (hemoglobin < 8.0 g/dl), tetapi seharusnya mencakup perhitungan kehilangan darah dan
kondisi komorbid yaitu penyakit jantung yang mana kasus transfusi mungkin diindikasikan jika
kehilangan darah hanya 800 ml.
Pedoman berguna lainnya yang umumnya digunakan adalah sebagai berikut :
1. Satu unit sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 1 gr/dl. Dan hematokrit 2-3% (pada
orang dewasa)
2. 10 ml/kg sel darah merah akan meningkatkan konsentrasi hemoglobin 3 g/dl dan hematokrit 10%.
Tabel 29-6.
Redistribusi dan evaporasi kehilangan cairan pembedahan
Tingkat trauma jaringan Kebutuhan cairan tambahan
Minimal (seperti hernioraphy) 0 – 2 ml/kg
Moderate (seperti cholecystectomy) 2 – 4 ml/kg
Severe (seperti reseksi usus) 4 – 8 ml/kg
TRANSFUSI
11
Membran sel darah manusia diperkirakan mengandung paling sedikit 300 determinan antigen
yang berbeda. Paling sedikit 20 pemisahan sistem antigen golongan darah yang diketahui. Tiap
ekspresi dibawah kontrol genetik dari lokus kromosom yang terpisah. Sayangnya, hanya system ABO
dan system Rh yang penting pada sebagian besar transfusi darah. Seseorang sering menghasilkan
antibodi (alloantibodi) pada alel yang kurang dalam tiap sistem. Antibodi seperti itu bertanggung
jawab pada sebagian besar reaksi serius transfusi. Antibodi mungkin terjadi secara alami atau sebagai
respon pada sensitasi dari transfusi sebelumnya atau kehamilan.
SISTEM ABO
Secara sederhana, lokus kromosom pada sistem ini menghasilkan 3 alel: A, B, dan O. Masing-
masing mewakili enzim yang membatasi permukaan glikoprotein sel, menghasilkan antigen yang
berbeda. (Sebenarnya, enzim O diam secara fungsional dan terdapat 2 variasi dari A yaitu : A 1 dan A2).
Hampir semua individu yang tidak mempunyai A atau B secara alami menghasilkan antibodi (terutama
IgM) yang berlawanan dengan antigen tersebut (tabel 29-7) dalam tahun pertama kehidupannya.
Antigen H secara fungsional berhubungan dengan sistem ABO tetapi dihasilkan oleh lokus kromosom
yang berbeda. Adanya antigen H (hh genotip, juga disebut Bombay fenotip) mencegah ekspresi gen A
atau gen B. Sangat jarang individu mempunyai antibodi anti A dan anti B tanpa memperhatikan
genotip ABO mereka.
SISTEM Rh
Genetik gen Rh begitu kompleks, mungkin meliputi tiga loci kromosom dengan jumlah 6
alel. Secara sederhana, hanya ada atau tidaknya gen yang paling umum dan alel yang paling
imunogenik, yaitu antigen D, yang perlu untuk dipertimbangkan. Kira-kira 80 – 85% Caucasian
mempunyai antigen D. Individu yang tidak mempunyai alel ini disebut Rh negatif dan biasanya
menghasilkan antibodi yang berlawanan dengan antigen D setelah terpapar transfusi sebelumnya ( Rh
positif) atau kehamilan (Ibu Rh negatif melahirkan bayi yang mempunyai Rh negatif).
TES KECOCOKAN
12
Tujuan tes seperti ini adalah untuk memperkirakan dan mencegah reaksi antigen antibodi
sebagai hasil dari transfusi sel darah merah. Darah donor dan resipien digolongkan dan diperiksa untuk
mengetahui adanya antibodi yang merugikan.
Tes ABO Rh
Sebagian besar reaksi transfusi yang berat disebabkan oleh ketidakcocokan ABO. Antibodi
yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen (benda asing) yang ditransfusikan,
mengaktivasi komplemen, dan menyebabkan hemolisis intravaskular. Sel darah merah pasien diperiksa
dengan serum yang diketahui mempunyai antibodi yang berlawanan dengan A atau berlawanan dengan
B untuk menentukan golongan darah. Karena antibodi ABO alami hampir merata secara universal,
konfirmasi golongan darah dibuat dengan memeriksa serum pasien yang berlawanan dengan sel darah
merah dengan mengetahui tipe antigen.
Sel darah merah pasien juga diperiksa dengan antibodi anti D untuk menentukan Rh. Jika
subjeknya Rh negatif, adanya antibodi anti D diperiksa dengan mencampur serum subjek dengan sel
darah merah Rh positif. Kemungkinan perkembangan antibodi anti D setelah pemaparan pertama
pada antigen Rh adalah 50-70%.
Uji Silang
Uji silang untuk transfusi : sel donor dicampur dengan serum resipien. Uji silang mempunyai
3 fungsi :
1. Untuk konfirmasi tipe ABO dan Rh (kurang dari 5 menit).
2. Mendeteksi antibodi pada sistem golongan darah yang lain.
3. Mendeteksi antibodi pada titer rendah atau yang tidak mudah teraglutinasi.
Belakangan ini, dua permintaan kurang dari 45 menit.
Penapisan Antibodi
Tujuan tes ini untuk mendeteksi adanya antibodi pada serum yang umumnya berhubungan
dengan reaksi hemolitik non ABO. Tes tersebut (juga dikenal sebagai tes Coombs indirect)
membutuhkan 45 menit dan meliputi pencampuran serum subjek dengan sel darah merah yang
diketahui komposisi antigeniknya. Jika terdapat antibodi spesifik, mereka akan membungkus membran
sel darah merah dan menambah antibodi anti globulin menghasilkan aglutinasi sel darah merah.
Penyaringan dikerjakan secara rutin pada semua donor darah dan mungkin dilakukan pada resipien
yang potensial daripada uji silang (dibawah).
13
Crossmatch versus Tipe Penyaringan
Insiden reaksi hemolitik serius setelah transfusi ABO dan Rh yang cocok pada pada
penyaringan dengan hasil negatif tetapi tanpa crossmatch kurang dari 1%. Bagaimanapun uji silang
menjamin keamanan optimal dan mendeteksi adanya antibodi yang kurang umum yang tidak biasa
diperiksa pada penyaringan. Sekarang ini uji silang dilakukan hanya untuk prosedur operasi elektif
dimana kemungkinan transfusi tinggi. Karena waktu yang lama (45 menit) pada dua tipe prosedur yang
dilakukan, beberapa center telah memulai uji silang dengan computer- tidak dilakukan uji silang yang
sebenarnya.
TRANSFUSI EMERGENSI
Ketika pasien dalam keadaan gawat, kebutuhan transfusi timbul sebelum adanya kelengkapan
uji silang, penyaringan atau bahkan golongan darah. Jika golongan darah pasien diketahui, uji silang
singkat. Membutuhkan waktu kurang dari lima menit untuk konfirmasi kecocokan ABO. Jika golongan
darah pasien tidak diketahui secara pasti dan transfusi harus dimulai sebelum penggolongan, golongan
darah O Rh negatif (donor universal) dapat digunakan.
14
Setelah darah dikumpulkan, ditambahkan larutan pengawet-antikoagulan. Larutan yang
paling sering digunakan adalah CPDA-1, yang mengandung sitrat sebagai antikoagulan (dengan
mengikat kalsium), fosfat sebagai buffer, dekstrosa sebagai sumber energi sel darah merah, dan
adenine sebagai prekursor sintesis ATP. Darah yang diawetkan dengan CPDA-1 dapat disimpan selama
35 hari, setelah viabilitas sel darah merah menurun secara cepat. Secara alternatif, penggunaan AS-1
(Adsol) atau AS-3 (Nutrice) memperpanjang shelf-life sampai 6 minggu.
Semua unit yang tekumpul dipisahkan menjadi sel darah merah, platelet dan plasma. Ketika
disentrifugasi, satu unit whole blood menghasilkan 250 ml packed red blood cell (hematokrit 70%);
Setelah penambahan lebih banyak garam pengawet, volume satu unit packed red cell mencapai 350 ml.
Sel darah merah normalnya disimpan pada suhu 1-6ºC. Sel darah merah dapat membeku pada larutan
gliserol hipertonik sampai 10 tahun. Tehnik terakhir ini biasanya digunakan untuk menyimpan darah
yang mempunyai fenotip jarang.
Supernatan disentrifus untuk menghasilkan trombosit dan plasma. Unit platelet yang
dihasilkan mengandung 50 – 70 ml plasma dan dapat disimpan pada suhu 20-24 ºC selama 5 hari. Sisa
supernatan plasma diproses lebih lanjut dan dibekukan untuk menghasilkan fresh frozen plasma.
Pembekuan yang cepat membantu inaktivasi faktor koagulasi labil (V dan VIII). Pencairan yang
lambat dari fresh frozen plasma menghasilkan presipitasi gelatin (kriopresipitat) yang mengandung
konsentrasi tinggi dari faktor VIII dan fibrinogen. Dengan satu kali pemisahan, kriopresipitat dapat
dibekukan untuk disimpan. Satu unit darah menghasilkan 200 ml plasma yang dibekukan untuk
disimpan. Jika dicairkan harus ditransfusi dalam 24 jam. Platelet secara alternatif dapat dihasilkan
dengan plateletpheresis yang sebanding dengan 6 unit platelet yang diperoleh secara regular pada
seorang pasien.
TRANSFUSI INTRAOPERATIF
Packed Red Blood Cell
Transfusi darah seharusnya diberikan dalam bentuk packed red blood cel jika tersedia di bank
darah. Packed red blood cel ideal untuk pasien yang membutuhkan sel darah merah tetapi tidak
mengganti volume darah (seperti pasien anemia yang mangalami gagal jantung kongestif konpensata).
Pasien bedah membutuhkan volume seperti sel darah merah. Kristaloid dapat diinfuskan secara
simultan melalui jalur intravena kedua untuk mengganti volume.
Sebelum transfusi slip bank darah dan identitas pasien harus diperiksa kembali. Tabung
transfusi seharusnya berisi 170 mm filter untuk menyaring bekuan atau debris. Penggunaan penyaring
kecil (20-40 mm) mungkin tidak dibutuhkan kecuali untuk mencegah reaksi transfusi febril pada
pasien yang tersensitasi ( lihat dibawah). Darah untuk transfusi intraoperatif seharusnya dihangatkan
15
pada suhu 37ºC selama penginfusan khususnya jika yang akan ditransfusi lebih dari 2-3 unit.
Kegagalan yang dikerjakan dapat menghasilkan hipotermia yang besar. Adanya efek tambahan
hipotermia dan khususnya level yang rendah dari 2,3-diphosphogliserate pada penyimpanan darah
dapat menyebabkan pergeseran kearah kiri dari kurva dissosiasi hemoglobin-oksigen (lihat bab22) dan
secara teori kurang mencetuskan hipoksia jaringan. Penghangat darah seharusnya dapat
mempertahankan suhu darah >30ºC bahkan dengan kecepatan aliran diatas 150 ml/menit.
Platelet
Transfusi platelet seharusnya diberikan karena adanya perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia atau disfungsi platelet. Transfusi platelet profilaksis juga diindikasikan pada pasien
dengan jumlah platelet dibawah 10,000-20,000 x 10 9/L karena peningkatan faktor resiko perdarahan
spontan.
Jumlah platelet kurang dari 50,000 x 109/L berhubungan dengan peningkatan kehilangan
darah selama pembedahan. Pasien trombositopenia yang akan menjalani pembedahan atau tindakan
invasif seharusnya menerima transfusi platelet profilaksis preoperative. Jumlah platelet seharusnya
ditingkatkan kira-kira 100,000 x 109/L Persalinan normal dan prosedur bedah minor dapat dilakukan
pada pasien dengan jumlah platelet rendah tetapi mempunyai fungsi yang normal dan jumlahnya lebih
besar dari 50,000 x 109/L.
16
Setiap unit platelet diharapkan dapat meningkatkan jumlah platelet 5,000-10,000 x 10 9/L.
Unit plateletpheresis setara dengan 6 unit platelet yang dihasilkan secara regular. Sedikit peningkatan
dapat diharapkan pada pasien dengan anamnesis transfusi platelet sebelumnya. Disfungsi platelet dapat
meningkatkan perdarahan pada saat pembedahan walaupun jumlah platelet normal dan dapat
didiagnosa preoperatif dengan waktu perdarahan. Transfusi platelet dapat diindikasikan pada pasien
dengan disfungsi platelet dan perdarahan yang meningkat pada saat pembedahan.
Transfusi platelet dengan kecocokan ABO kadang dianjurkan tetapi tidak penting. Transfusi
platelet umumnya bertahan hanya 1-7 hari setelah transfusi. Kecocokan ABO dapat meningkatkan
ketahanan platelet. Sensitasi Rh dapat terjadi pada resipien yang mempunyai Rh negatif karena adanya
sedikit sel darah merah yang mempunyai Rh positif pada unit platelet. Selain itu, antibodi anti A atau
anti B pada 70 ml plasma yang terdapat pada tiap-tiap unit platelet dapat menyebabkan reaksi
hemolitik terhadap sel darah merah resipien ketika diberikan platelet dengan ABO yang tidak cocok
dalam jumlah besar. Pemberian immunoglobulin Rh pada individu yang mempunyai Rh negatif dapat
melindungi dari sensitasi Rh setelah transfusi platelet yang yang mempunyai Rh positif. Pasien yang
menghasilkan antibodi melawan HLA (terdapat pada limfosit dalam konsentrasi platelet) atau antigen
platelet spesifik membutuhkan membutuhkan kcocokan HLA atau satu unit donor. Penggunaan
transfusi plateletpheresis dapat menurunkan kemungkinan adanya sensitasi.
Transfusi Granulosit
Transfusi granulosit yang dihasilkan dengan leukapheresis dapat diindikasikan pada pasien
neutropenik dan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai
lama masa hidup yang sangat pendek dalam sirkulasi sehingga setiap harinya dibutuhkan transfusi 10-
30 x 109 granulosit. Irradiasi dari unit ini menurunkan insiden reaksi kulit terhadap host, kerusakan
endotel paru-paru, dan masalah lain yang berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat dibawah) tetapi
mungkin berpengaruh buruk terhadap fungsi granulosit. Keberadaan filgrastim (granulocyte colony-
stimulating factor atau G-CSF dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulatingFactor,
atau GM-CSF) telah mengurangi secara besar-besaran penggunaan transfusi granulosit.
17
1. Reaksi Hemolitik
Reaksi hemolitik meliputi destruksi spesifik transfusi sel darah merah oleh antibodi
resipien. Biasanya hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil dari transfusi
antibodi sel darah merah. Unit yang tidak cocok dari konsentrasi platelet, FFP, konsentrasi
faktor pembekuan atau kriopresipitat mungkin mengandung sejumlah kecil plasma dengan
alloantibodi anti-A atau anti-B. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravascular. Reaksi hemolitik secara umum dapat diklasifikasikan menjadi reaksi hemolitik
akut (intravaskular) dan reaksi hemolitik lambat (ekstravaskular).
18
Reaksi Hemolitik Lambat
Tipe reaksi hemolitik ini disebut juga hemolisis ekstravaskular yang umumnya ringan dan
disebabkan oleh antibody pada antigen non-D pada system Rh atau untuk alel lasing pada
system lain seperti antigen Kell, Duffy,atau Kidd. Setelah transfusi ABO dan Rh yang cocok,
pasien yang mempunyai 1-16% kesempatan pada bentuk antibodi langsung melawan antigen
asing pada sistem lain. Dengan jumlah waktu yang signifikan dari antibodi yang telah
dibentuk, transfusi sel darah merah telah dibersihkan dari sirkulasi. Setelah itu, titer antibodi
ini menurun dan menjadi tidak terdeteksi. Pemaparan kembali antigen asing yang sama
selama transfusi sel darah merah memicu respon antibodi melawan antigen asing. Reaksi
hemolitik lambat 2-21 hari setelah transfusi gejalanya ringan seperti malaise, jaundice, dan
demam. Hematokrit pasien tidak meningkat meskipun telah ditransfusi dan tidak ada
perdarahan. Serum bilirubin tidak terkonjugasi meningkat sebagai hasil dari pemecahan
hemoglobin.
Diagnosis reaksi hemolitik yang dimediasi oleh antibodi lambat dapat dimudahkan
dengan tes antiglobulin (Coombs) tes. Tes Coombs direk mendeteksi adanya antibodi pada
membran sel darah merah. Pada keadaan ini, tes Coombs tidak mempunyai perbedaan antara
antibodi resipien menggumpalkan sel darah merah donor dengan antibody donor
menggumpalkan sel darah merah resipien. Belakangan ini membutuhkan penilaian kembali
secara detail spesimen pretransfusi dari pasien dan donor.
Secara primer, terapi reaksi hemolitik lambat bersifat supportif. Frekuensi dari reaksi
hemolitik yang lambat pada transfusi diperkirakan 1:2500-1500 transfusi. Kehamilan (janin
yang terpapar sel darah merah) dapat juga memberi respon pada pembentukan alloantibodi
pada sel darah merah.
19
Reaksi Urtikaria
Reaksi urtikaria biasanya dicirikan dengan eritema, bintik-bintik merah dan bengkak,
gatal tanpa demam. Secara relatif umumnya terdapat pada 1% transfusi. Hal ini disebabkan
karena kepekaan pasien terhadap protein plasma. Penggunaan PRC kemungkinan
menyebabkan reaksi tipe urtikaria dibanding penggunaan whole blood. Reaksi urtikaria dapat
diterapi dengan obat antihistamin (H1 dan mungkin H2 bloker).
Reaksi anafilaksis
Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kira-kira 1 dalam 150,000 transfusi). Reaksi berat
dapat terjadi setelah pemberian beberapa milimeter darah, khususnya pada pasien defisiensi
IgA dengan antibodi anti IgA yang menerima IgA yang terkandung pada transfusi darah.
Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 dalam populasi umum. Reaksi seperti itu
diterapi dengan epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1 dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi
IgA seharusnya menerima packed red cell yang melalui pencucian, deglycerolized frozen red
cell atau darah yang bebas IgA.
Edema Paru Nonkardiogenik
Sindrom luka pada paru-paru akut (Transfusion-related Acute Lung Injury {TRALI}) adalah
komplikasi yang jarang dari transfusi darah (<1:10,000). Hal ini disebabkan oleh transfusi
antileukosit atau antibody anti HLA yang berinteraksi dan menyebabkan sel darah putih
pasien teragregasi pada sirkulasi paru. Kerusakan alveolar/membran kapiler mencetuskan
sindrom ini. Secara alternatif, transfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan
leukoaglutinin pasien. Terapi awal TRALI sama dengan terapi pada acute respiratory distress
sindrom (ARDS) (lihat bab 50), tetapi dapat diatasi dalam 12-48 jam dengan terapi supportif.
20
Supresi Imun
Transfusi leukosit yang terkandung pada produk darah dapat menjadi imunosupresif.
Sebagian besar fakta-fakta pada transplantasi ginjal resipien membutuhkan transfusi darah
preoperatif untuk memperbaiki kelangsungan hidup. Beberapa studi menggambarkan bahwa
rekurensi pertumbuhan maligna menyerupai pasien yang menerima transfusi darah selama
pembedahan. Fakta-fakta yang dijumpai juga memberi kesan bahwa transfusi leukosit
allogenik dapat mengaktivasi virus laten pada resipien. Akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan insidens infeksi serius akibat pembedahan atau trauma.
KOMPLIKASI INFEKSI
Infeksi Virus
A. Hepatitis
Hingga tes rutin untuk hepatitis diterapkan, insidens hepatitis akibat transfusi darah
adalah 7-10%. Kurang dari 90% kasus ini disebabkan oleh virus hepatitis C. Sekarang ini
insidens hepatitis posttransfusi kurang dari 1% (antara 1:50 dan 1:5000 transfusi). 75% dari
kasus ini anikterus dan kurang dari 50% berkembang menjadi penyakit hati. Belakangan ini
kurang dari 10-20% berkembang menjadi sirosis.
B. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Virus yang bertanggungjawab pada penyakit ini adalah human immunodeficiency
virus tipe I (HIV-1) yang dapat ditularkan melalui transfusi darah. Semua darah diperiksa
terhadap adanya antibodi anti-HIV-1 dan 2 . Sayangnya, infeksi dapat menjadi tidak terdeteksi
karena dibutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu untuk menghasilkan antibodi setelah donor
mengalami infeksi. Sekarang ini jumlah penularan HIV melalui transfusi diperkirakan
menjadi 1: 200,000 transfusi. Darah diperiksa secara rutin untuk virus imunodefisiensi tipe II
meskipun virus ini belum terbukti sebagai penyebab dari transfusi yang berhubungan dengan
AIDS.
21
Human T sel limfotropik I dan II (HTLV-1 dan HTLV-2 adalah virus leukemia dan limfoma
secara berturut-turut, yang telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah. Bentuknya
juga telah dihubungkan dengan mielopati. Transmisi parvovirus telah dilaporkan akibat
transfusi konsentrasi faktor koagulasi dan dapat menghasilkan kegawatan aplastik transient
pada host immunokompromise. Penggunaan filter leukosit khusus tampak mengurangi tetapi
tidak mengeleminasi insidens komplikasi.
Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dilaporkan dapat ditularkan melalui transfusi adalah malaria,
toxoplasmosis dan penyakit Chagas’. Kasus seperti ini sangat jarang.
Infeksi Bakteri
Bakteri gram positif (staphylococcus) dan bakteri gram negatif (yersinia dan citrobacter)
jarang mengontaminasi dan menularkan penyakit melalui transfusi darah. Untuk menghindari
kemungkinan kontaminasi bakteri yang signifikan, produk darah seharusnya dipakai tidak lebih dari 4
jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor adalah sifilis, brucellosis,
salmonellosis, yersiniosis dan variasi dari rickeetsiosis.
Koagulopati
Penyebab perdarahan yang paling umum dan diikuti oleh transfusi darah masif adalah dilusi
trombositipenia. Secara klinik, dilusi faktor pembekuan yang signifikan tidak biasanya pada pasien
yang sebelumnya normal. Studi koagulasi dan jumlah platelet jika telah tersedia, idealnya seharusnya
menunjukkan transfusi platelet dan FFP. Analisis viskoelastik dari pembekuan whole blood
(thromboelastography dan analisis sonoclot) dapat juga digunakan.
Keracunan Sitrat
Pengikatan kalsium oleh pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi signifikan setelah
transfusi darah dan produk-produk darah dalam jumlah besar. Secara klinis menjadi hipokalsemia yang
signifikan, menyebabkan depresi jantung. Hal ini tidan terjadi pada sebagian besar pasien normal
22
kecuali kecepatan transfuse melebihi 1 u tiap 5 menit. Karena metabolisme sitrat secara primer di hati,
pasien dengan penyakit dan disfungsi hati (kemungkinan pasien hipotermi) mungkin membutuhkan
infus kalsium selama transfuse massif (lihat bab 28).
Hipotermia
Indikasi absolut pada transfusi darah masif adalah menghangatkan semua produk-produk
darah dan cairan intravena sesuai dengan temperatur normal tubuh.Disaritmia ventricular yang
berkembang menjadi fibrilasi sering terjadi pada suhu sampai 30ºC. Penggunaan alat infus yang cepat
dengan transfer panas yang sangat efisien telah terbukti menurunkan insiden transfusi yang
berhubungan dengan hipotermia.
23
rekombinan (400 unit/minggu). Sekurang-kurangnya 3-4 unit biasanya dapat dikumpulkan sebelum
operasi. Beberapa studi menyarankan bahwa transfusi darah autolog tidak mempengaruhi daya tahan
hidup pada pasien yang menjalani operasi kanker. Meskipun transfusi autolog agaknya mengurangi
resiko infeksi dan reaksi transfusi namun tidak betul-betul bebas dari kerugian. Resiko-resiko reperti
reaksi imunologis karena kesalahan dalam pengumpulan, label, kontaminasi dan penyimpanan yang
tidak layak. Reaksi alergi dapat terjadi karena allergen (contohnya ethylene oxide) yang terkumpul dari
darah dan ruang penyimpanan. Frekuensi pengumpulan darah autolog sebelum operasi menurun.
HEMODILUSI NORMOVOLEMIK
Hemodilusi normovolemik terjadi jika konsentrasi sel darah merah menurun, total sel darah
merah berkurang ketika sejumlah besar darah tertumpah. Namun cardiac output tetap normal karena
volume intravaskular tetap terjaga. Darah dipindahkan sebelum pembedahan dari kateter intravena dan
diganti dengan kristaloid dan koloid sehingga pasien dapat normovolemik tetapi mempunyai
hematokrit 21-25%. Darah yang dipindahkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu ruangan
(sampai 6 jam) untuk mempertahankan fungsi platelet. Darah diberikan kembali pada Spasien setelah
kehilangan darah atau sesegera mungkin jika dibutuhkan.
24
25