Anestesi dan anelgesi neuraksial digunakan secara luas karena manfaatnya yang bervariasi,
termasuk mencegah tromboemboli vena, pemberhentian lebih awal, dan penanganan nyeri
setelah operasi. Sebagai tambahan, banyak pasien berkeinginan untuk tetap sadar selama mereka
menjalani prosedur operasi, dan analgesia jangka panjang dengan kateter epidural menjadi lebih
sering untuk pasien dengan nyeri kronik dan untuk terapi paliatif pada pasien kanker 1. Meskipun
komplikasi serius setelah pemberian anestesi regional jarang ditemukan (kurang dari 0,1% ),
abses dan hematoma epidural, radikulopati, sindrom kauda equine, dan bahkan paraplegia telah
dihubungkan dengan tehnik-tehnik neuroaksial 2,3. Untuk itu penting bagi para praktisi anestesi
regional untuk tidak hanya mengerti implikasi tehnik neuroaksial pada keadaan patofisiologik,
tetapi juga untuk mengerti implikasi dari semua prosedur – prosedur tehnik neuroaksial.
Bagian ini akan meninjau kembali kondisi – kondisi yang mungkin merupakan
kontraindikasi relative pada tehnik neuroaksial. Meskipun hanya ada beberapa, jika ada,
kontraindikasi absolute pada tehnik neuroaksial, ada banyak keadaan patologik untuk inisiasi
anestesi / analgesi neuraksial yang dipertimbangkan controversial. Adalah tujuan dari bagian ini
untuk meninjau kembali dasar bukti medis disekitar kontroversi ini. Mengerti dengan seksama
akan resiko anesthesia neuraksial dengan adanya keadaan patologik penting terhadap analisis
resiko / manfaat untuk pasien – pasien.
KONTRAINDIKASI ABSOLUT
Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravascular Coagulopathy ) ditandai dengan meluasnya aktivasi koagulasi
sebagai akibat dari proses penyakit ini, terkenal dengan endapan fibrin di intravascular, deplesi
trombosit dan factor koagulasi, dan supresi antikoagulan (mis. antitrombin III, protein C dan S,
dan factor jaringan – penghambat jalur) 4. Sebagai tambahan, fibrinolisis terganggu dengan akibat
akhirnya menjadi perdarahan hebat, dan trombosis pada pembuluh darah kecil dan sedang 4.
Kondisi yang dihubungkan dengan DIC terdapat pada table 5-1.
Temuan laboratorium termasuk jumlah trombosit kurang dari 100 x 10 3/mm3,
perpanjangan waktu protrombin (PT) dan aktivasi waktu plasma protrombin (aPTT), adanya
degradasi produk fibrin atau D – dimmer pada plasma, dan rendahnya kadar fibrinogen dan
antitrombin III 4. Terapi termasuk mengkoreksi penyebab penyakit, dan penggunaan produk –
produk darah untuk menggantikan komponen – komponen koagulasi. Meskipun tehnik
neuroaksial di kontraindikasikan pada pengaturan DIC, DIC bisa timbul setelah pemasangan
kateter epidural. Pandangan yang berbeda telah dianjurkan untuk memindahkan kateter ini.
Beberapa merekomendasikan kateter dipindahan tidak ada bukti perdarahan disekitar tempat
insersi kateter epidural 5 , sementara yang lainnya merekomendasikan bahwa kateter epidural
tetap ditempatnya sampai koagulopati teratasi 3. Sebagai catatan, hematoma epidural telah
dilaporkan terjadi pada saat penarikan kembali kateter epidural pada pasien dengan perubahan
koagulasi 6. Tak peduli pendekatan apa yang dipilih, adalah penting untuk mengkoreksi
koagulopati secara agresif dengan menangani penyebab penyait dan pemberian produk darah,
melakukan pemeriksaan neurologik secara seksama untuk mendeteksi kompresi spinal cord
karena hematoma spinal – epidural, dan hindari injeksi neuraksial anestesi local karena ini bisa
menyamarkan tanda awal adanya penekanan spinal cord.
Syok Septik
1
Sepsis menggambarkan respon inflamasi sistemik generalisata terhadap infeksi dan akibat pada
gagalnya perfusi organ dan luasnya cedera pada jaringan. Sepsis biasanya dibagi menjadi early
hyperdinamic dan late hypovolemic phases 7. Fase early hyperdinamic ditandai dengan hipotensi,
hipoperfusi, resistensi vaskular sistemik (SVR) yang rendah, dan meningkatnya kardiak output 7.
Late phases ditandai dengan menurunnya kardiak output, resistensi vaskular perifer meningkat,
oligouria, dan depresi miokardial. Kadang timbul koagulopati dengan degradasi produk fibrin.
Perhatian ekstra adalah pada penyebaran organisme patologik IV pada cairan serebro-spinal atau
ruang epidural.
Keputusan untuk melakukan anestesi neuraksial pada pasien yang betul-betul sepsis
harus termasuk analisis yang cermat akan resiko / manfaat. Tehnik neuraksial biasanya dihindari
kecuali terdapat alasan jelas untuk melakukannya. Sebagai contoh, penggunaan anestesi spinal
dengan gagal intubasi pada persalinan dengan sepsis nyata telah dilaporkan 8. Penulis
menyimpulkan bahwa jika infeksi sistemik dipandang sebagai kontraindikasi absolut pada anestesi
neuraksial, beberapa pasien bisa diekspos untuk potensial resiko yang lebih berat dihubungkan
dengan gagal intubasi trakhea 8.
Pemberian antibiotik sebelum dilakukan teknik regional anestesi pada keadaan infeksi
untuk mencegah penyebaran kedalam cairan serebro-spinal. Onset lambat tehnik neuraksial
dipilih, dimana hipotensi makin memburuk terjadi karena dehidrasi relatif dan menurunnya
resistensi vaskular sistemik (SVR). Terapi awal dan agresif dengan cairan intravena dan vasopresor
direct – acting, seperti neosynefrin dan epinefrin, penting untuk penanganan pasien dengan
kondisi yang mengancam jiwa seperti ini.
KONTRAINDIKASI RELATIF
Septikemia
Pasien Febril
Infeksi dan demam merupakan masalah klinik yang banyak ditemukan, seperti anestesi obstetri,
dimana banyak infeksi bakteri dan virus yang kadang tampak pada saat direncanakan tehnik
neuraksial. Terdapat kontroversi karena pemakaian anestesi neuraksial pada pasien bakteremia
karena kemungkinan ”penyebaran” pada ruang epidural atau subarakhnoid, dengan akibat
meningitis atau abses spinal-epidural. Pembelajaran tunggal pada tikus telah menelusuri
hubungan antara bakteremia E. Coli, anestesi spinal, dan meningitis 9. Meningitis timbul pada
tikus dengan bakteremia mengikuti penusukan dural, tetapi tidak pada bakteremia pada tikus
yang tidak dilakukan penusukan dural atau pada tikus dengan kondisi sehat yang ditusuk duralnya
9
. sebagai catatan, diberikan antibiotik sebelum penusukan dural untuk mencegah infeksi cairan
serebro-spinal (CSF) pada semua tikus bakteremik yang disertai penusukan dural. Bagaimanapun,
aplikasi dari semua hasilnya terhadap keadaan klinis manusianya masih belum jelas untuk
beberapa alasan. Robekan dural dibuat dengan needle 26 yang relatif lebih besar pada tikus
daripada manusia, dan tikus tersebut memperlihatkan tanda nyata syok septik. Syok septik secara
klinik tidak dapat dibandingkan pada demam ringan karena bakteremia atau viremia yang sering
terjadi selama infeksi. Sebagai tambahan, E. Coli tidak selalu menjadi organisme kausatif pada
dokumentasi infeksi yang dihubungkan dengan anestesi neuraksial. Akhirnya, anestesi lokal
memiliki sifat bakteriostatik, yang signifikan secara klinik.
Study pada manusia bahkan lebih bertentangan. Meskipun terdapat banyak laporan
meningitis atau abses epidural setelah pemberian tehnik spinal, epidural, atau kombinasi tehnik
keduanya, 10-12 tidak terdapat bukti penyebab dan efek hubungannya. Pada beberapa kasus,
identifikasi bakteri kausatif berpendapat bahwa perubahan tehnik steril kemungkinan yang
bertanggung jawab terhadap infeksi dari pada patogen melalui darah. Malangnya, banyak
komplikasi neurologik serius yang tampaknya dihubungkan dengan tehnik neuraksial.
Adalah aman untuk menyimpulkan bahwa tidak ada bukti substansial akan hubungan
pasti antara tehnik neuraksial yang dilakukan pada pengaturan bakteremia dan timbulnya
meningitis atau abses epidural. Study retrospektif luas pada lebih dari 10.000 pasien yang
2
mendapat anestesi spinal tidak menemukan adanya kasus tunggal meningitis 13. Penemuan ini
melegakan, bahwa banyak kasus ini terdapat pada obstetri dimana terdapat insiden tinggi
penularan bakteri berpasangan dengan angka infeksi maternal yang relatif tinggi 14. Data dari
literatur anestesi obstetri mendukung amannya penggunaan tehnik neuraksial pada adanya
infeksi intra-amnion 15. Meskipun banyak pasien pada laporan ini yang tidak mendapat antibiotik
karena tehnik neuraksial, banyak praktik yang mendukung pemakaian antibiotik pada insersi
jarum 16.
Pada laporan, sementara tidak ada panduan pasti untuk membantu memutuskan untuk
melakukan tehnik anestesi neuraksial pada pasien demam, kebanyakan penulis akan setuju
bahwa aman untuk memberikan anestesi neuraksial pada pengaturan bakteremia ringan atau
infeksi sistemik maternal mengikuti inisiasi terapi antibiotik. Bagaimanapun, tampak bijaksana
untuk menghindari tehnik neuraksial pada pasien dengan tanda kkinis sepsis nyata.
Infeksi Viral
Virus Herpes Simpleks. Virus Herpes Simpleks – 2 (HSV – 2) merupakan virus penyakit menular
seksual yang paling banyak. Diperkirakan 45 juta orang di USA terinfeksi 17. 5 – 10% wanita
mengalami gejala herpes genital rekuren selama kehamilan, dan 25% dari semua akan terjangkit
HSV-2 sampai pada akhir bulan kehamilan 17.
Banyak yang perhatian dan kontroversi terhadap pemakaian anestesi neuraksial pada
pasien dengan infeksi HSV-2 selama kehamilan karena resikonya secara teoritis terhadap inokulasi
virus kedalam sistem saraf pusat (SSP), menyebabkan meningitis atau ensefalitis. Sejak infeksi
primer menyebabkan viremia, dan bisa tampak gejala konstitusional dan lesi genital, anestesi
neuraksial selama infeksi primer bisa berpotensial membawa partikel virus dari darah ibu
kedalam SSP. Sebagai catatan, sindrom kauda ekuina merupakan komplikasi yang jarang pada
infeksi primer HSV-2. Infeksi HSV-2 sekunder bermanifestasi sebagai lesi genital rekuren, dan tidak
ada antigen viral pada darah karena ada antibodi maternal. Tidak ada laporan septik atau
komplikasi neurologik dihubungkan dengan anestesi neuraksial terhadap adanya infeksi sekunder
18
. Meskipun tampaknya bijaksana untuk menghindari pemberian anestesi neuraksial pada HSV-2
primer, kebanyakan pasien membiarkan infeksi primer yang diikuti dengan lesi genital beberapa
tahun kemudian. Biasanya, sulit membedakan antara infeksi primer dan sekunder (Tabel 5-1).
Kebanyakan ahli anestesi merasa nyaman memulai anstesi neuraksial pada pasien dengan lesi
genital tanpa gejala konstitusional.
Virus Varisela Zoster (VZV). Infeksi primer biasanya dikenal sebagai chicken pox atau varicella
yang ditandai dengan adanya demam, malaise, dan ruam makulo-papular yang menjadi vesikular.
Pada anak-anak infeksi ini biasanya jinak dan self-limited. Meskipun hanya 2% dari semua kasus
terjadi pada masa / usia dewasa, komplikasi berat dari infeksi primer virus ini, seperti ensefalitis
dan pneumonitis, sering ditemukan pada dewasa 19. Dengan reaktivasi, VZV membentuk eritema
vesikular lokalisasi mulai 1 atau lebih dermatom ysng dikenal sebagai herpes zoster. Nyeri post-
herpetik, ditandai dengan nyeri kronik, timbul pada banyak pasien mengikuti reaktivasi VZV dan
tidak dihubungkan dengan tehnik neuraksial.
Adanya lesi aktif pada lokasi insersi adalah pertimbangan kontraindikasi relatif tehnik neuraksial.
Kontroversi ada, karena itu, jika tidak ada lesi aktif pada situs masuk. Karena infeksi VZV jarang
pada dewasa, tidak ada bukti dasar panduan anestesi, meskipun beberapa rekomendasi bisa
ditemukan pada literatur. Pasien dengan VZV kutaneus akut bisa viremik sampai lebih dari 2
minggu setelah onset sindrom, dan meskipun peringatan harus dilakukan, neuraksial
dibandingkan anestesi umum sepertinya mengurangi resiko pneumonia varisela yang harus
dianestesi diperlukan 20. SSP merupakan lokasi yang paling sering dilibatkan selain kulit, dan
ataksia serebelar akut, ensefalitis, meningitis aseptik, dan sindrom Guillain Barre (GBS) telah
dilaporkan 20. Karena itu, haruskah anstesi neuraksial dipakai pada keadaan VZV, pemeriksaan
neurologik secara cermat harus dilakukan dan terapi awal antiviral harus dipertimbangkan 20.
3
Pemakaian bor pencil kecil – point needle bisa berguna karena manfaat potensial untuk
mengetahui beberapa partikel virus dalam SSP.
Human Immunodefisiensi Virus (HIV). Pandemik HIV telah menyebar disetiap kota di
dunia dan telah menginfeksi 56 juta orang diseluruh dunia, termasuk 20 juta orang yang telah
meninggal. Diperkirakan 1,1 juta orang di USA telah terinfeksi HIV, dengan kaum wanita sebagai
kelompok yang paling cepat perkembangannya pada kasus ini. Wanita dengan usia produktif
memberi persentase besar pada kasus ini 21. Mulai dipikirkan bahwa dengan tehnik neuraksial
akan beresiko menyebarkan penyakit ke SSP. HIV virus neurotropik dengan infektifitas rendah dan
dari awal menyebar ke SSP, dan beberapa pembelajaran memperlihatkan bahwa tehnik
neuroaksial tidak mempercepat progresi SSP 22. Dapat diterima dengan baik bahwa infeksi HIV
tidak mengkontraindikasikan pemakaian anestesi neuraksial, bahwa pemeriksaan neurologik dan
hematologik dengan teliti telah dilakukan (Tabel 5-2). Patologi hematologi sering pada pasien HIV.
Diperkirakan insiden anemia sekitar 75%. Trombositopenia, ditemukan trombosit kurang dari 100
x 103/mm3, juga sering dilaporkan dengan insiden 5 – 15%. 23. Pemeriksaan fisik dengan cermat,
dokumentasi defisit neurologik, dan monitoring secara hati-hati terhadap resolusi blokade harus
diperhatikan. Pasien juga harus dievaluasi akan adanya infeksi oportunistik dan penyakit menular
seksual. HIV dengan terapi mungkin berimplikasi untuk dilakukan tehnik neuraksial (Tabel 5-3)
Perhatian keras pada tehnik aseptik adalah penting karena status imunosupresi. Tidak
ada pembelajaran yang mendokumentasikan perubahan imunosupresi atau infeksi sekuele
sebagai akibat dari anestesi neuraksial.
Bagaimanapun, jalur infeksi yang terlokalisasi dan dalam telah dilaporkan pada pasien HIV dengan
kateter epidural kronik yang dipasang untuk penanganan nyeri 24. Komplikasi yang terjadi sebagai
akibat tehnik neuraksial juga bisa menimbulkan tantangan bagi praktisi tehnik neuraksial. Sebagai
contoh, haruskah sakit kepala terjadi setelah tehnik neuraksial, penyakit sering timbul pada
pasien HIV dengan imunosupresi harus dipertimbangkan. Jika penusukan post-dural tinggi pada
diagnosis banding, terapi awal harus konservatif, termasuk istirahat, analgesik, hidrasi oral, dan
produk kafein. Apakah penanganan ini gagal, penambalan darah epidural bisa dipertimbangkan.
Infeksi SSP pada HIV terjadi pada awal penyakit, dan karena itulah, penambalan darah epidural
tidak tampak seperti mengubah infeksi SSP. Tidak ada keadaan yang merugikan pada penambalan
darah epidural pasien HIV positif telah dilaporkan 25,26. Karena itu, alternatif lain, seperti saline
ekstradural atau darah heterolog yang negatif HIV tampaknya tidak diindikasikan 25.
Penyakit SSP
Multipel Sklerosis (MS)
MS merupakan penyakit inflamasi demielinasi autoimun tersering pada SSP, dan umumnya
terdapat pada wanita Eropa Utara pada usia produktif. 2 pola umum MS telah diidentifikasi :
bentuk eksaserbasi yang menyerang tampak secara kasar dan teratasi beberapa bulan, dan pola
progresif kronik 27. Banyak gejala MS termasuk gangguan sensoris pada cabang saraf, kehilangan
penglihatan, kelemahan motorik, diplopia, gangguan gait, dan disfungsi kandung kemih dan BAB.
Tidak ada terapi kuratif mendasar untuk MS. Terapi imunosupresi, seperti kortikosteroid, bisa
mempercepat perbaikan dari relaps tetapi tidak merubah keseluruhan pusat penyakit Human
InterFeron (IFN) β merupakan agent terapeutik untuk mengurangi angka relaps dan retardasi 28.
Secara historis, blokade konduksi pusat, terutama anestesi spinal, telah diimplikasikan
pada eksaserbasi MS. Telah di pertimbangkan bahwa neurotoksisitas anestesi lokal lebih sering
pada demielinasi saraf. Pembelajaran ini sangat kecil, dan hubungan penyebab dan efek tidak
terbukti 29. Secara teoritis, anestesi epidural kurang beresiko, seperti konsentrasi anestesi lokal
pada lapisan putih spinal cord lebih rendah daripada anestesi spinal 30.
Banyak pembelajaran mendukung keamanan pemakaian analgesia epidural pada pasien
dengan MS. Tidak satupun pemberi-ASI atau analgesia epidural tampak menimbulkan efek
kerugian pada angka relaps atau progresi ketidakmampuan pada MS 31. Angka relaps sama pada
4
wanita hamil yang mendapat analgesia epidural untuk persalinan normal dibandingkan mereka
yang mendapat infiltrasi lokal 30. Menariknya, semua wanita yang mengalami relaps post partum
diberikan bupivakain epidural dengan konsentrasi lebih dari 2,5 g/mL. Penulis berpendapat
bahwa dengan konsentrasi lebih tinggi, atau perpanjangan waktu pemberian analgesia epidural,
dimana konsentrasi anestesi lokal pada SSP meningkat, bisa menuju pada peningkatan angka
relaps 30.
Meskipun ada beberapa laporan pemakaian anestesi spinal pada pasien dengan MS,
pemakaiannya bisa dipertimbangkan dengan dosis rendah anestesi lokal dan diberikan dengan
durasi relatif pendek pada operasi pasien yang mendapat anestesi spinal, hindari dosis berulang
anestesi lokal, dan konsentrasi rendah SSP. Sebagai tambahan, pemakaian anestesi spinal telah
dicatat dalam memperbaiki spastisitas kandung kemih ditemukan pada beberapa pasien dengan
MS 32. Beberapa isu penting untuk mengingat saat mempertimbangkan pemakaian tehnik
neuraksial pada pasien dengan MS, termasuk evaluasi pre-anestesi dari adanya gejala neurologik
dan paruh dari dosis anestesi lokal dengan penambahan opioid (Tabel 5-4). Sebagai tambahan,
pasien harus dijelaskan bahwa efek analgesi neuraksial dan anestesi pada bagian MS belum
dipelajari dengan tepat dan karena itulah belum diketahui secara luas.
5
bisa dihubungkan dengan abnormalitas ini. Peregangan spinal cord terjadi pada hampir semua
kasus spina bifida sistika dan beberapa kasus spina bifida oculta 36.
Neoplasma intrakranial.
Tumor otak meliputi neoplasma yang berasal dari otak itu sendiri (tumor otak primer) atau
metastasis ke otak (tumor otak sekunder). Glioma mendata sekitar 80% keganasan SSP primer.
Metastasis otak merupakan bentuk yang paling sering dari tumor intrakranial, terdata lebih dari
satu-setengah dari tumor otak pada dewasa 40. Adanya neoplasma intrakranial merupakan
implikasi serius untuk penanganan anestesi pada persalinan. Pada pasien dengan massa lesi
intrakranial dan TIK meningkat, tekanan CSF bisa meningkat dengan kontraksi nyeri dan
meningkatkan resiko herniasi otak. Ketentuan menghilangkan nyeri yang adekuat selama
persalinan mengurangi resiko pada ibu dengan penyediaan bebas-nyeri-tingkat-dua, dan
memperbolehkan instrumental pada persalinan pervaginam dengan maksud untuk menghindari
tekanan. Untuk alternatif, persalinan cesar mungkin sesuai 41. Pilihan anestesi, bagaimanapun,
masih controversial (Tabel 5-2). Penusukan lumbar biasanya dikontraindikasikan pada pasien
6
dengan peningkatan TIK atau Space Occupying Lesion karena drainase cairan lumbar bisa
meningkatkan gradien tekanan antara kompartemen supratentorial dan infratentorial dan hal ini
menyebabkan herniasi cepat 42. Anestesi epidural juga bisa berbahaya pada pasien dengan Space
Occupying Lesion, bukan hanya karena resiko dihubungkan dengan penusukan dural mendadak,
tapi juga karena obat epidural dan injeksi cairan bisa meningkatkan TIK 43. Dibalik resiko tersebut,
ada dilaporkan keberhasilan pemakaian anestesi epidural pada pasien dengan neoplasma
intrakranial 44. Anestesi spinal juga telah digambarkan untuk persalinan cesar darurat pada pasien
dengan gejala peningkatan TIK karena glioblastoma 45. Masuk akal bahwa kaliber kecil, pencil-
point leedles meminimalkan kebocoran CSF, bahkan saat penggunaannya dihubungkan dengan
peningkatan TIK ringan. Meskipun beberapa ahli anestesi menganjurkan anestesi umum karena
resiko herniasi otak, anestesi umum juga bukan tanpa resiko. Peningkatan TIK bisa timbal dengan
induksi dan intubasi, dan kedaruratan. Karena itulah, analisis untung-rugi secara hati-hati harus
dilakukan untuk memutuskan tehnik anestesi particular.
Obat antiplatelet.
7
Platelet merupakan instrumen pada hemostasis primer, menahan platelet, dan menyediakan
permukaan membran dimana aktivasi pembekuan terjadi. Karena itu, setiap abnormalitas
sekunder platelet karena penyakit atau medikasi berpotensial untuk mengara ke komplikasi
perdarahan yang bermakna, termasuk hematom spinal epidural. Terdapat banyak agent
antiplatelet termasuk aspirin (ASA), NSAIDs, thienopyridines, dan reseptor antagonis GP IIb-IIIa
(abciximab, tirofiban).
ASA dan NSAIDs mengganggu agregasi trombosit dengan menghambat siklooksigenase
(COX) dan mencegah pembentukan tromboxane, dimana ia merupakan agregator platelet yang
poten (Tabel 5-3). Sementara kerja ASA pada trombosit COX adalah permanen, berakhir pada
masa hidup platelet (7-10 hari), efek NSAIDs lainnya lebih pendek (3 hari). COX terdiri dari 2
enzim yang berbeda : COX-1 merupakan enzim konstitusif dan COX-2 adalah isoform 52. COX-1 ada
pada platelet, sementara COX-2 tidak ada. Anti inflamasi dan analgesik dari COX-2, celecoxib, dan
valdecoxib, diberikan untuk menurunkan sintesa prostaglandin H 2 dengan secara selektif
menghambat COX-2 52.
Thienopyridines menggunakan efek antiplateletnya dengan ireversibel menghambat ADP.
Obat ini menghambat pengikatan fibrinogen platelet dan interaksi platelet 51,53. Ticlopidin
memiliki efek lebih lama pada fungsi platelet dan harus dihentikan 10-14 hari sebelum
pembedahan, sementara clopidrogel harus dilanjutkan 7 hari sebelum pembedahan 51.
Reseptor antagonis GP IIb-IIIa menghambat agregasi trombosit melalui penggabungan
dengan fibrinogen dan faktor von Willebrand (vWF) ke lokasi reseptor GP IIb-IIIa pada trombosit
yang diaktivasi 54. Fungsi trombosit kembali normal kira-kira 8 jam setelah dihentikannya
eptifibatide dan tirofiban, dan 24-48 jam setelah abciximab 51.
Dilakukannya analgesia neuraksial pada keadaan ASA dan NSAIDs betul-betul aman,
resiko hematom spinal epidural rendah pada pasien ini 51. Analisis retrospektif dari 61 kasus
hematom epidural yang dilaporkan dan tehnik neuraksial ditemukan bahwa kebanyakan kasus
(68%) terjadi pada pasien dengan gangguan koagulasi 3. 3 kasus menyusul tehnik neuraksial yang
dilakukan dengan adanya agent tunggal antiplatelet, seperti ASA, ticlopidine, atau indometachin.
Bagaimanapun, tidak ada detail spesifik yang diberikan tentang setiap kasus individual 3.
Pemakaian terapi antiplatelet dan medikasi lainnya yang mempengaruhi pembekuan bisa
meningkatkan resiko perdarahan dan karena itulah harus berhati-hati.
Thienopyridines dan anestesi neuraksial harus dekat dengan lebih hati-hato. Agent ini,
tidak seperti ASA dan NSAIDs, juga mempengaruhi agregasi primer platelet ke subendotelium,
mencegah pembentukan sumbatan hemostatik dan efek fungsi platelet ireversibel 51. Karena
itulah, pemakaian tehnik neuraksial harus dihindari sampai ada perbaikan platelet. Platelet
reseptor antagonis GP IIa-IIIb memblok jalur akhir ke agregasi platelet untuk periode waktu yang
pendek (jam) dan tehnik neuraksial dikontraindikasikan selama periode ini.
Heparin.
Heparin merupakan muatan negatif, asam larut air. Efek antikoagulannya adalah rangkaian
pentasakarida yang unik. Pentasakarida mengikat antitrombin III dan mempercepat inaktivasi
faktor II, IX, X, XI, dan XII. Sementara rantai panjang sakarida diperlukan untuk menghambat
faktor II, dengan kurang dari 18 unit sakarida menghambat faktor X 55. Waktu paruh biologik
heparin adalah dosis dan tergantung ukuran molekular dan range dari 1-2 jam untuk IV heparin
tanpa fraksi, dan 3-6 jam untuk heparin dengan berat molekular rendah (LMWH) 55. Efek
antikoagulan heparin tanpa fraksi dimonitor dengan aPTT. Pasien dengan lebih dari 4 hari juga
harus dihitung jumlah platelet karena kemungkinan trombositopenia karena induksi heparin 56.
Heparin tanpa fraksi profilaksi subkutan (5000 U 2 kali sehari untuk profilaksis trombosis vena
dalam) sepertinya tidak menyebabkan meningkatnya aPTT, dan ini bukan kontraindikasi pada
tehnik neuraksial (Tabel 5-4)51. Pemasangan atau pelepasan kateter epidural harus ditunda paling
tidak 2-4 jam bersamaan dengan dihentikannya dosis terapeutik heparin tanpa fraksi. Konfirmasi
kembali normalnya fungsi hemostatik dengan aPTT merupakan indikasi. Saat heparin tanpa fraksi
8
IV digunakan dalam operasi, pemberiannya harus ditunda selama paling tidak 1 jam setelah
tehnik neuraksial. Panduan yang sama harus digunakan untuk pelepasan kateter epidural, telah
disarankan bahwa pelepasan kateter bersifat traumatik sama seperti pemasangan kateter 3.
LMWH berbeda dari heparin tanpa fraksi secara biokimia dan farmakologi (Tabel 5-5).
LMWH memiliki efek inhibitor lebih hebat melawan Xa daripada melawan trombin karena
panjang rantainya lebih pendek. LMWH bioavailabilitasnya lebih bagus dan waktu paruhnya lebih
panjang dari heparin tanpa fraksi 57. Setelah dosis LMWH SQ, puncak aktivitas anti-Xa terjadi 3-4
jam dan menurun sampai 50% dari aktivitas puncak dengan 12 jam. LMWH diekskresikan oleh
ginjal dan waktu paruhnya meningkatkan pada pasien obesitas dan gagal ginjal 57. aPTT bukan
penilaian laboratorium yang sensitif dari aktivitas LMWH. Level anti-Xa mengukur efek
antikoagulan, tetapi tidak memprediksikan komplikasi perdarahan 51.
Ada 60 kasus hematom epidural dilaporkan dihubungkan dengan tehnik neuraksial dan
LMWH sejak diketahui tahun 1993 58. Penjelasan masuk akal termasuk dosis tinggi LMWH, dosis 2
kali sehari, dan tehnik neuraksial selama waktu puncak aktivitas LMWH. Semua kasus ini telah
dijalankan konferensi konsensus ASRA pada anestesi neuraksial dan antikoagulasi, pertama pada
tahun 1998 dan di perbarui pada 2002 51. Poin utama dari panduan ini termasuk penundaan
tehnik neuraksial paling tidak 10-12 jam bersamaan dengan pemberian dosis profilaksis LMWH,
dan 24 jam setelah dosis terapeutik (Tabel 5-6). Anestesi spinal dipilih karena sifat traumatik yang
lebih rendah daripada anestesi epidural. Pengukuran aktivitas anti-Xa tidak direkomendasikan
karena belum distandarisasi. Penulis mempercayai bahwa tehnik neuraksial harus dihindari bila
ada peningkatan aktivitas anti-Xa, tapi aktivitas normalnya dalam pengaturan pemberian LMWH
baru-baru ini tidak berarti bahwa tehnik neuraksial aman dilakukan.
Fondaparinux, antikoagulan baru, merupakan pentasakarida sintetik yang secara selektif
mengikat antitrombin, memacu perubahan bentuk yang secara signifikan meningkatkan aktivitas
antifaktor Xa tanpa menghambat faktor IIa 59. Ini tidak dihubungkan dengan trombositopenia
karena fondaparinux tidak menimbulkan reaksi silang dengan antibodi melawan heparin –
kompleks faktor 4 platelet. Tidak seperti faktor Xa antagonis lainnya, fondaparinux memiliki
waktu paruh yang sangat panjang (18 jam) dan bisa naik sampai 96-120 jam untuk melengkapi
eliminasi agent ini dari sirkulasi 59. Sampai semua data tersedia, anestesi neuraksial harus
dihindarkan pada pasien yang mendapat obat ini selama 4 hari setelah dosis terakhir. Ada kasus
yang dilaporkan pada pemberian fondaparinux 2jam setelah jarum tunggal spina tanpa trauma
atau pelepasan kateter epidural tanpa hasil buruk 51.
Warfarin.
Warfarin memblok vitamin K- dependent karboksilasi gamma dari faktor II, VII, IX, X dan
antikoagulan protein C dan S. Ini mengarah pada ketidakmampuan faktor pembekuan untuk
mengikat kalsium, sehingga terjadi penurunan pembentukan trombin. PT terutama berhubungan
dengan tingkat faktor VII dan X. Peningkatan awal PT (standarisasi sama seperti rasio normal
internasional (INR)) bersamaan inisiasi terapi warfarin mencerminkan hambatan aktivitas faktor
VII, faktor vitamin K-dependent dengan waktu paruh terpendek. Efek penuh antikoagulan
warfarin berlangsung beberapa hari dan tergantung dari waktu paruh faktor II, IX, dan X (Tabel 5-
6) 51,60. Bertentangan yang terjadi pada penghentian terapi warfarin, jika normalisasi INR
mencerminkan kembalinya aktivitas faktor VII sebelum pemulihan sepenuhnya dari faktor vitamin
K-dependent lainnya. Untuk setiap elevasi INR, koagulasi tampaknya terganggu saat pemulihan
dari efek antikoagulan daripada saat mulai pemberian antikoagulasi.
Dalam antisipasi pembedahan, warfarin harus dihentikan 4-5 hari sebelum prosedur dan
penilaian INR pada hari pembedahan (Tabel 5-7) 61. Normalisasi INR direkomendasikan sebelum
melakukan tehnik neuraksial. Hal ini dipertimbangkan sesuai untuk melakukan tehnik neuraksial
pada awal penyediaan antikoagulasi warfarin bahwa dosis tunggal rendah telah diberikan kurang
dari 24 jam sebelum dilakukan blok 51. Pasien dengan warfarin dosis rendah (5 mg atau kurang)
dengan kateter epidural harus diukur INR setiap hari sampai kateter dilepas. Warfarin harus
9
dikurangi atau jika INR lebih dari 3 51. Kateter dilepas sementara nilai INR kurang dari 1,5. Angka
ini berdasarkan data dari trial hemostasis yang dihubungkan dengan tingkat aktivitas faktor lebih
dari 40% 51,60.
Obat fibrinolitik.
Sistem fibrinolitik mempertahankan formasi pembekuan dalam pemeriksaan dengan
menurunkan hubungan silang fibrin kedalam produk fibrin 62. Aktivator jaringan endogen – jenis
plasminogen mengkatalisis pembentukan plasmin dari plasminogen, dimana penurunan fibrin
dan prokoagulasi faktor V dan VIII. Sebagai tambahan, penurunan produk fibrinogen dan fibrin
juga menunjukkan properti antikoagulan yang signifikan 51. Aktivator plasminogen eksogen
mempercepat pembentukan plasmin, dan merusak fibrin 62. Malangnya, medikasi eksogen ini
tidak membedakan fibrin trombus dari sumbatan hemostatik dan berpotensial untuk menjadi
hematom epidural jika anestesi neuraksial dilakukan dengan adanya obat ini. Sebagai tambahan,
pasien yang mendapat obat fibrinolitik juga tampaknya mengalami gangguan hemostasis primer
dan sekunder karena pemakaian heparin IV dan agent antiplatelet.
Rekomendasi melibatkan penghindaran aktivator plasminogen eksogen selama 10 hari
bersamaan tehnik neuraksial 51. Bagaimanapun, analisis untung-rugi pada pasien dengan infark
miokard akut bisa mendeterminasi manfaat dari medikasi ini bahkan dengan adanya trauma baru
sampai pembuluh darah yang tidak ditekan. Pemeriksaan neurologik reguler (paling tidak setiap 2
jam) adalah wajib. Tidak ada rekomendasi untuk pemberian medikasi aman – interval anestesi
neuraksial, ada hal yang direkomendasi saat kateter epidural bisa dilepas dengan aman
bersamaan penggunaan obat yang tidak diantisipasi. Konferensi ASRA 2003 berpendapat bahwa
pengukuran kadar fibrinogen bisa memandu dalam membuat keputusan, seperti satu dari faktor
pembekuan akhir untuk diperbaiki 51. Adalah penting untuk mengerti bahwa meskipun waktu
paruh obat fibrinolitik adalah pendek (sama seperti urokinase), trombolitik dan efek antikoagulan
dari obat ini bisa bertahan berhari-hari.
10
mengenali membran glikoprotein platelet. Ini mengarah pada peningkatan penghancuran platelet
dengan sistem retikuloendotelial (RES), sebagian limpa dengan platelet yang sudah sangat matur
akan dihancurkan 65. Fungsi platelet biasanya normal walaupun jumlah platelet rendah. Gejalanya
mulai dari tidak bergejala sampai riwayat mudah memar, petekia, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Keputusan untuk melakukan anestesi neuraksial adalah berdasarkan jumlah platelet dan riwayat
dan pemeriksaan fisis. Beberapa penulis mempertimbangkan jumlah platelet 50 x 10 3/mm3
adekuat untuk memulai tehnik neuraksial, tersedia bahwa tidak ada bukti klinik komplikasi
perdarahan 64. Tehnik single-shot-spinal dipilih karena kurang traumatik jika dibandingkan dengan
tehnik epidural. Jika tehnik epidural dipilih, kateter lunak dan fleksibel dipilih untuk mengurangi
resiko kanulasi vena.
Preeklampsia mempengaruhi 6% dari seluruh kehamilan dan 21% untuk kasus
trombositopenia maternal. Trombositopenia bisa menjadi gambaran klinis paling dini pada
beberapa pasien, bahkan sebelum timbul hipertensi atau proteinuria. Biasanya sifatnya moderat
dan ditemukan pada 15% pasien preeklampsia. Jumlah platelet yang cenderung menurun
mungkin merupakan indikasi adanya penyakit yng mengkhawatirkan. Jumlah platelet bisa
menurun sampai nadir 24-48 jam post partum, tapi manifestasi klinik biasanya teratasi setelah
melahirkan. Tidak ada jumlah platelet absolut yang menghalangi pemasangan kateter epidural.
Keputusan untuk melakukan tehnik neuraksial adalah berdasarkan riwayat perdarahan,
kecenderungan jumlah platelet, pemeriksaan jalan nafas, dan kecenderungan persalinan cesar.
Sindrom HELLP ditandai dengan hemolisis, peninggian enzim hati, dan jumlah platelet
rendah. Ini terjadi pada hampir 10% kehamilan yang berkomplikasi preeklampsia berat, biasanya
tampak pada kehamilan trimester kedua atau ketiga atau pada saat post partum, dan bisa
mengancam jiwa 67. Sebagai catatan, ini bisa terjadi pada persalinan tanpa ada tanda lain
preeklampsia, dan satu atau semua komponen sindrom HELLP bisa tampak. Sindrom HELLP bukan
kontraindikasi anestesi neuraksial, bagaimanapun, trombositopenia atau adanya koagulopati bisa
mempengaruhi keputusan untuk melakukan tehnik neuraksial. Koagulopati tidak selalu tampak
kecuali jumlah platelet kurang dari 100 x 10 3/mm3. Faktor koagulasi lainnya yang dipengaruhi
bersamaan penghancuran platelet mikroangiopatik dan karena itulah, level PT, aPTT, dan
fibrinogen harus dimonitor jika jumlah platelet dibawah 100 x 10 3/mm3.
Trombositopenia purpura.
Anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal multiorgan merupakan gambaran
yang sering pada trombotik trombositopenia purpura (TTP) dan sindrom hemolitik uremik (HUS)
68
. manifestasi klinik lainnya termasuk abnormalitas neurologik dimana keadaannya lebih sering
dan berat pada TTP, demam, dan disfungsi ginjal. Disfungsi ginjal lebih berat pada HUS
dibandingkan TTP. Tombositopenia disebabkan oleh agregasi platelet intravaskular, dan mungkin
sulit untuk membedakan TTP dan HUS dari penyebab lain trombositopenia kecuali tanda dan
gejala yang menyertai tampak 68. anestesi neuraksial harus disertai dengan kehati-hatian pada
pasien ini. Jumlah platelet kurang dari 100 x 10 3/mm3, defek fungsi platelet, perpanjangan PT, dan
menurunnya aktivitas faktor koagulasi bisa tampak. DIC jarang dihubungkan dengan TTP dan HUS.
11
LMWH. Manifestasi klinisnya bervariasi, dan HIT bisa tampak dengan perdarahan atau trombosis
karena agregasi platelet intravaskular. Pelepasan mendadak heparin sepertinya membalikkan
trombositopenia dalam waktu kurang dari 1 minggu. Hindari obat yang diketahui menyebabkan
trombositopenia pada pasien, dan normalisasi jumlah platelet adalah penting sebelum
melakukan tehnik neuraksial.
Trombastenia.
Glanzmann trombastenia (GT) adalah penyakit autosomal resesif yang ditandai dengan defek
kualitatif atau kuantitatif pada membran platelet glikoprotein IIb-IIIa 70. Glikoprotein ini mengikat
fibrinogen dan vWF dan memperantarai agregasi platelet dengan aktivator seperti kolagen, ADP,
epinefrin, asam arakidonik, dan trombin 69. Ada 2 jenis GT : tipe I dan tipe II. Sementara kedua
jenis tersebut ditandai dengan defisiensi glikoprotein IIb-IIIa, tipe I lebih berat dan disertai dengan
kadar fibrinogen yang rendah. Perdarahan mukokutaneus lebih berat dengan tipe I, dan gangguan
dikonfirmasi dengan platelet yang tidak beragregasi dengan adanya aktivator seperti epinefrin. GT
dapatan jarang ditemukan dan ditandai dengan normalnya glikoprotein IIb-IIIa, bahwa
nonfungsionalnya adalah karena autoantibodi 71.
Sindrom Bernard-Soulier adalah penyakit lainnya yang ditandai dengan agregasi platelet
yang tidak normal sebagai hasil dari adhesi yang tidak normal. Ini merupakan gangguan
autosomal resesif dengan abnormalitas kualitatif atau kuantitatif pada glikoprotein Ib-V-IX,
reseptor aktif untuk vWF 72. Sama dengan GT, sindrom muncul dengan perdarahan
mukokutaneus. Test Ristocetin menginduksi agregasi platelet (RIPA) menilai kemampuan vWF
untuk menunjang agregasi, adalah abnormal. Agregasi platelet terhadap agonist yang
membutuhkan fibrinogen untuk mengikat adalah abnormal pada pasien dengan GT, tapi tidak
berubah pada mereka dengan sindrom Bernard-Soulier 72.
Tidak ada laporan dalam literatur anestesi tentang pasien dengan GT atau sindrom
Bernard-Soulier mendapat tehnik neuraksial. Ini mungkin karena kelangkaan gangguan tersebut.
Sebagai tambahan, kebanyakan pasien memiliki riwayat perdarahan mukokutaneus dengan
abnormalitas platelet, dan kebanyakan ahli anestesi menghindari tehnik neuraksial pada pasien
ini. Terapi pilihan adalah transfusi trombosit, tapi transfusi berulang bisa berpengaruh akan
terbentuknya antibodi antiplatelet membuat sulit untuk memprediksi pasien yang akan
merespon.
12
Jumlah platelet lebih dari 70 x 10 3/mm3 dihubungkan dengan waktu akhir normal 74. hasil dari TEG
dan PFA-100 lebih lanjut mendukung bahwa jumlah platelet lebih dari 75 x 10 3/mm3, tidak adanya
temuan signifikan pada riwayat dan pemeriksaan fisis, sepertinya dihubungkan dengan fungsi
platelet normal, dan karena itulah hemostasis primer normal. Tampaknya beralasan untuk
dilakukan dengan anestesi neuraksial jika TEG atau PFA normal.
13
beberapa kasus vWD tipe 2 77. Level plasma faktor VIII harus dimonitor selama terapi karena
merupakan prediktor utama pada hemostasis pembedahan. Level puncak plasma faktor VIII
dicapai setelah 6-8 jam setelah terapi.
Penanganan pasien vWD paling baik dilakukan dengan pendekatan multidisiplin yang
termasuk ahli bedah/obstetrisian, ahli darah, dan ahli anestesi. Ada hubungan langsung diantara
vWF:Ag; vWF:Rco, dan level faktor VIII dan hemostasis normal, dan kadang sulit memutuskan
untuk melakukan tehnik neuraksial pada pasien ini. Tehnik neuraksial merupakan kontraindikasi
jika skrining koagulasi abnormal, seperti pada kasus dengan jenis vWD lebih berat dimana vWF
ditandai menurun atau abnormal. Ada beberapa laporan pemberian anestesi neuraksial pada
pasien dengan bentuk ringan vWD tipe 1 tanpa komplikasi apapun yang mengikuti normalisasi
faktor VIII dan level plasma vWF selama kehamilan atau setelah terapi DDAVP 76,78. Adalah penting
untuk mengerti bahwa sementara vWD tipe 1 bisa dikoreksi untuk sementara selama kehamilan
atau dengan DDAVP, level vWD menurun setelah pemberian plasenta 8-10 jam bersamaan terapi
DDAVP. Hal ini memiliki beberapa implikasi saat menerima tehnik neuraksial, seperti pelepasan
kateter epidural yang bisa terjadi pada saat vWF dan level faktor VIII menurun.
Defisiensi faktor.
Faktor defisiensi yang banyak ditemukan termasuk faktor VIII, IX, dan XI. Hemofilia A dan B
merupakan penyakit X-linked dihubungkan dengan defisiensi faktor VIII dan IX. Penyakit ini
kebanyakan ditemukan pada pria (1/10,000) dan wanita caries biasanya terbebas dari komplikasi
perdarahan apapun. Tidak seperti gangguan platelet, perdarahan biasanya dalam, menyebabkan
hemarthrosis 79. Defisiensi faktor XI merupakan turunan bentuk autosomal resesif dan banyak
terdapat pada Ashkenazi Jews. Komplikasi perdarahan lebih sering pada wanita, termasuk
menoragia dan perdarahan post partum 76. Semua faktor defisiensi ini dihubungkan dengan
peninggian aPTT yang memiliki sugestif tinggi pada abnormalitas jalur intrinsik, semua faktor ini
penting untuk aktivasi faktor Xa, dimana bertugas untuk merubah protrombin menjadi trombin.
Tehnik neuraksial bisa dilakukan pada caries hemofilia yang memiliki level faktor yang
normal dan bebas dari komplikasi perdarahan. Meskipun tehnik neuraksial sebaiknya dihindari
pada pasien homozigous yang diketahui dengan defisiensi faktor, terdapat kasus dilaporkan
tehnik neuraksial pada psien dengan aPTT normal dan level faktor setelah terapi dihentikan 80.
Ada pula dilaporkan 2 pasien hamil dengan defisiensi faktor XI ringan sampai sedang dan aPTT
normal yang mendapat tehnik neuraksial tanpa komplikasi apapun 79. faktor XI adalah satu dari
beberapa faktor yang menurunkan progresi kehamilan. Adalah penting untuk mengerti bahwa
laporan kasus tehnik neuraksial yang diisolasi pada pasien ini harusnya tidak disamakan dengan
keselamatan, seperti hematom epidural dengan prevalensi rendah pada populasi umum
(1:150,000 - 1:220,000)3. Defisiensi faktor XII bisa mengacu pada peninggian aPTT tanpa diketahui
komplikasi perdarahannya. Pasien dengan defisiensi faktor ini harus melakukan pemeriksaan
hematologik lengkap untuk menyingkirkan penyebab lain peninggian aPTT, dan tehnik neuraksial
diperbolehkan bila tidak ada tendensi perdarahan.
Antibodi antifosfolipid.
Antikoagulan Lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACA) merupakan autoantibodi yang
menentang kompleks fosfolipid-protein dan bisa menyebabkan abnormalitas agregasi platelet
dan trombositopenia. Sirkulasi LAC digabung dengan tes koagulasi fosfolipid dependent
menghasilkan perpanjangan aPTT 81. LAC meningkatkan aPTT secara in vitro, tapi meningkatkan
pembekuan in vivo, dan pasien dengan LAC lebih mengalami trombotik daripada perdarahan
abnormal 82. Interaksi dari antibodi dengan fosfolipid dari membran platelet bisa mengkontribusi
trombus vena, arteri, dan plasental.
Tantangan bertambah saat pasien diterapi dengan heparin untuk mencegah komplikasi,
aPTT tampaknya masih tinggi bahkan setelah heparin dihentikan. Jika keputusan dibuat untuk
melakukan tehnik neuraksial, cek heparin darah, tes aktivasi pembekuan, atau waktu trombin
14
untuk memonitor kadar heparin. Determinasi dasar level aPTT direkomendasikan sebelum
memulai antikoagulasi heparin 81. Pilihan lain adalah memeriksa level anti-Xa untuk
memperkirakan respon heparin. Fosfolipid yang abnormal yang menambah peninggian aPTT
secara artifisial bisa dikonfirmasi dengan mengukur ACA dengan ELISA 82. Pemeriksaan fisis dan
riwayat secara hati-hati, seperti mendeterminasi jumlah platelet dan PT adalah penting untuk
menyingkirkan koagulopati lainnya.
Tehnik neuraksial bersamaan dengan penusukan dural atau penambalan darah epidural.
Telah dikatakan bahwa tambalan darah epidural yang sebelumnya untuk nyeri kepala setelah
penusukan dural bisa menyebabkan hilangnya ruang epidural. Pengaturan kembali bekuan darah
telah dihipotesis untuk pembentukan jaringan fibrosa disekeliling dura, menyebabkan obstruksi
yang menyebarkan anestesi lokal diruang epidural 90. Beberapa penulis telah melaporkan bahwa
penusukan dural sebelumnya dihubungkan dengan insiden yang lebih tinggi dari anestesi
epidural yang tidak adekuat, memerlukan dosis anestesi lokal yang lebih besar 91,92. Kemungkinan
penjelasan untuk penelitian ini termasuk adanya abnormalitas dalam ruang epidural yang
menimbulkan kesulitan dalam memulai tehnik epidural atau penusukan dural bisa menyebabkan
penyusunan kembali bentuk dural, menimbulkan perubahan diruang epidural.
Berlainan dengan laporan diatas, penulis lainnya telah melaporkan keberhasilan analgesia
epidural bersamaan dengan pembukaan dural atau penambalan darah epidural 93,94.
Pembelajaran ini menemukan tidak ada hubungan antara riwayat penambalan darah epidural
sebelumnya dan ketidak berhasilan anestesi neuraksial. Riwayat penusukan dural sebelumnya ,
telah dilaporkan meningkat kemungkinan dari penusukan 93.
Karena datanya bertentangan seperti efek penusukan dural sebelumnya dan penambalan
darah epidural, ini memungkinkan kehati-hatian dalam mennyingkap informasi pada pasien
bahwa penusukan dural sebelumnya bisa dihubungkan dengan inisiasi anestesi epidural yang
lebih sulit, dengan kemungkinan meningkatnya kekurang hati-hatian penusukan dural dan
anestesi yang gagal atau tidak adekuat.
15
Abnormalitas anatomi .
Pembedahan spinal sebelumnya.
Harrington menggambarkan secara original pemakaian distraksi dan kompresi batang untuk
terapi skoliosis pada tahun 1962 95. Tehnik operasi Harrington, Luque, dan Cotrell-Doubousett.
Kebanyakan dari balok ini adalah memindahkan proc. spinosus dan ligamentum interspinosus,
dekortikasi vertebrae, dan pemasangan material graft tulang pada vertebra 96.
Meskipun anestesi neuraksial tidak dikontraindikasikan pada pasien dengan
instrumentasi spinal sebelumnya, secara tehnik sulit karena untuk penggabungan area dari
jaringan parut atau graft tulang kadang ditemukan 96. Masalah lainnya yang mengkontribusi
menjadi derajat lebih besar dari kesulitan melakukan tehnik neuraksial termasuk perubahan
degeneratif lanjut dibawah area gabungan, melibatkan tingkat vertebra L4 dan L5 pada hampir
20% pasien, dan kemungkinan cedera ligamentum flavum selama prosedur pembedahan,
menyebabkan adhesi pada ruang epidural 96. Masalah potensial termasuk ketidakmampuan
melokalisasi ruang epidural, pembatasan penyebaran anestesi lokal diatas tingkat gabungan
spinal, dan meningkatnya insiden penusukan dural. Dalam rangkaian kecil dari 9 pasien dengan
balok Harrington mendapat analgesia apidural untuk persalinan, keberhasilan analgesia dirasakan
pada 7 pasien walaupun mendekati 50% pasien mengalami komplikasi telah dijelaskan
sebelumnya 96. Meskipun pasien ini menderita nyeri kepala setelah penusukan dural, penambalan
darah epidural akan sama sulitnya seperti tehnik original dan ada kemungkinan bahwa ruang
epidural telah hilang.
Radiografi konvensional dan cetakan dari laporan operasi sangat membantu sebelum
memulai anestesi neuraksial pada pasien dengan semua jenis balok 97. Radiografi AP dan lateral
memperlihatkan posisi elemen spinal, instrumentnya, dan material graft, dan bukti abnormalitas
anatomi. Tehnik spinal bisa dipilih dari epidural, karena sepertinya kurang mempengaruhi distorsi
ruang epidural, dan memiliki endpoint yang lebih spesifik, dan lebih terpercaya. Haruskah
penambahan waktu analgesia atau anestesi diperlukan, pemakaian kateter spinal
berkesinambungan bersamaan kelainan dural yang disengaja ataupun tidak telah digambarkan
97,98
. USG telah disarankan untuk membantu mengidentifikasi tanda dan melokalisasi midline 97.
Menariknya, balok bisa merupakan gambaran satu-satunya yang nyata pada USG untuk
membantu lokasi midline.
Kesimpulannya, tehnik neuraksial bisa ditawarkan pada pasien dengan instrument spinal
sebelumnya. Pasien ini bisa menolak menerima tehnik neuraksial karena cemas, nyeri punggung,
atau sederhana karena mereka telah diberitahu untuk menghindari semua instrumentasi
dibelakang mereka. Memastikan bahwa tehnik ini aman dan umumnya efektif adalah penting,
sementara pada waktu yang bersamaan menyingkap meningkatnya insiden komplikasi.
16
punggung post partum sama dengan tidak memperhatikan tindakan atau penolakan tehnik
neuraksial 101.
Parestesia kadang tampak bersamaan insersi jarum spinal kedalam ruang subarakhnoid
atau selama pemajuan kateter apidural. Meskipun parestesia lebih sering pada pasien dengan
patologi tulang belakang, ini tidak dihubungkan dengan kondisi neurologik jangka panjang 102.
Perhatian ekstrim harus dilakukan dengan adanya parestesia selama insersi jarum atau kateter.
Parestesia persisten, rekuren, atau palsu selama injeksi sepertinya dihubungkan dengan
radikulopati dengan distribusi yang sama 2. Variabel distribusi medikasi pada ruang epidural 103,
dan penundaan onset anestesi telah diperlihatkan pada pasien dengan skiatika 104. Penundaan
onset anestesi terjadi jika membandingkan pasien dengan patologi spinal atau pasien sehat,
seperti antara saraf terkena dan tidak terkena dan akar saraf pada pasien dengan patologi.
Tehnik regional tidak dikontraindikasikan pada adanya nyeri punggung dan sepertinya
tidak bereksaserbasi. Riwayat dan pemeriksaan fisis secara cermat akan memperlihatkan bahwa
penyebab nyeri punggung bukan selalu neurologik. Skiatika bisa terjadi dengan adanya herniasi
diskus lumbar dengan gejala radikular, dan pasien harus diinformasikan bahwa tehnik neuraksial
bisa menimbulkan gejala ini. Pembelajaran imaging seperti MRI membantu pada adanya gejala
radikular dan akan membantu mengidentifikasi lokasi cedera. Ruang L4-L5 dan L5-S1
diimplikasikan pada 95% kasus patologi spinal lumbar 105, dan paling baik untuk melakukan tehnik
neuraksial pada ruang yang berbeda. Akhirnya, penting untuk mendiskusikan dengan pasien
bahwa setiap patologi yang signifikan pada spinal lumbar bisa menyebabkan kesulitan prosedur
tehnik neuraksial secara teknis, dengan kemungkinan gejala patologi palsu, dan anestesi tidak
adekuat karena distribusi dari medikasi pada ruang epidural.
Infeksi terlokasi.
Pemberian tehnik neuraksial pada pasien dengan infeksi terlokasi, sebagian dekat situs
penusukan kulit, telah diperlihatkan dengan beberapa keraguan. Diperhatikan bahwa abses spinal
epidural atau meningitis spinal bisa terjadi 9,106,107. Sementara penyebaran hematogen dari lokasi
infeksi ke CSF telah diimplikasikan sebagai kemungkinan penyebab meningitis dan abses spinal
epidural 106,107, inokulasi bakteri langsung pada saat dimulai blok juga dapat dihitung untuk infeksi
neuraksial 106. Infeksi epidural dalam atau superfisial sepertinya lebih pada pasien di ICU, dengan
kateter epidural durasi panjang, mendapat imunosupresi atau antikoagulasi dosis rendah, atau
dengan diabetes atau kanker 106,109. Faktor resiko lain yang dapat diidentifikasi termasuk gagal
ginjal kronik, herpes zoster, dan rhematoid arthritis 110. Faktor ini harus dijadikan pertimbangan
saat memutuskan untuk menggunakan tehnik neuraksial pada pasien febris atau dengan infeksi
terlokasi. Khususnya, setiap tanda infeksi pada lokasi insersi harus diperlihatkan sebagai
kontraindikasi relatif pada tehnik neuraksial 108,111. Terdapat 1 hal yang direkomendasikan dengan
tujuan untuk menghindari kontaminasi selama pemasangan kateter epidural. Waktu yang cukup
harus sesuai untuk mengeringkan kulit dari preparat cair, dan beberapa hal harus diminimalisasi ,
dan lokasi kateter harus ditutup dengan kasa bersih pada saat pemasangan 110. Adalah penting
untuk memeriksa kateter setiap hari , melepasnya jika terdapat tanda infeksi pada lokasi
pemasangan, dan tetap mengawasi abses epidural saat kateter epidural dipasang pada lokasi
infeksi atau pada saat mengalami febris. Harus di waspadai pula abses epidural jika ada tanda
neurologi. Scan MRI juga harus dilakukan dan antibiotik untuk yang mencakup semua organisme,
Staphylococcus aureus, harus mulai diberikan 106. Ini memungkinkan diagnosis tepat dan terapi
mengurangi kemungkinan gejala neurologi sekuele.
Analisis untung-rugi harus dilakukan pada pasien dengan infeksi terlokasi sebelum mulai
diberikan anestesi neuraksial dan ini harus dibicarakan dengan pasien. Faktor resiko yang
meningkatkan predisposisi abses epidural pada pasien harus dijadikan pertimbangan. Pemakaian
antibiotik sebelum tehnik neuraksial biasanya direkomendasikan pada pasien dengan tidak ada
bukti hubungan penyebab dan efek antara tehnik neuraksial dan meningitis atau abses epidural
pada pasien ini, setiap komplikasi neurologi serius bisa jadi karena tehnik neuraksial. Awal
17
pemberian analgesia neuraksial untuk penanganan nyeri akut karena infeksi herpes zoster telah
didiskusikan.
18
titrasi lambat tehnik neuraksial. Analgesia neuraksial pada persalinan bisa dimulai dengan opioid
intratekal saja (tidak anestesi lokal), diikuti dengan infus anestestik lokal epidural. Monitoring
tekanan darah dan tekanan sentral invasif melalui kateter arteri pulmonar atau sentral
direkomendasikan pada beberapa kasus berat. Hipotensi paling baik diterapi dengan
phenylephrine dosis IV.
Kurang penjelasan
Konsep inform consent merupakan penanda etika medik modern dan menguatkan dasar
prinsip autonomi 120. Dua bagian kunci dari inform consent adalah pasien mengerti tentang resiko
dan keuntungan dari sebagian prosedur, dan rekomendasi psikian untuk pilihan terbaik yang
tersedia 120. Bagaimanapun, pasien mungkin tidak dapat membuat persetujuan karena perubahan
status mental, bahkan jika tehnik neuraksial merupakan yang paling baik bagi pasien. Karena ini
persetujuan digunakan pada kasus dimana terdapat kegawat daruratan, pada pasien dengan
perubahan status mental. Ahli anestesi memilih pilihan paling baik yang ada berdasarkan
informasi mendetail dan apa yang disukai pasien.
Beberapa memperdebatkan bahwa pasien dengan nyeri hebat mungkin tidak dapat
membuat surat persetujuan 120. Sementara yang lainnya memperlihatkan bahwa pasien dengan
nyeri persalinan signifikan merasa puas dengansurat persetujuan yang disediakan oleh ahli
anestesi. Menariknya, pasien merasa bahwa semua tehnik neuraksial berhubungkan dengan
komplikasi harus dijauhkan 121. juga telah diperdebatkan bahwa kebaikan moral diperlukan untuk
mengurangi nyeri dan, mengurangi nyeri lebih penting daripada surat persetujuan kecuali ada
penolakan pasien 122. Meski pemakaian analgesik atau sedatif untuk premedikasi tidak tampak
mempengaruhi proses surat persetujuan selama pasien tidak terlalu tersedasi untuk melakukan
percakapan 120, banyak yang mendikte bahwa persetujuan dibuat sebelumpemberian medikasi ini,
jika memungkinkan. Orangtua harus bisa membuat persetujuan untuk hal kecil,dan harus bisa
menyetujui sendiri 120.persetujuan perawatan kesehatan diperbolehkan pada kasus dimana
terdapat kekurangan kemampuan pasien. Bagaimanapun, keterangan kompetensi seharusnya
tidak disamakan dengan waktu proses surat persetujuan. Haruskah perawatan kesehatan tidak
tersedia , ketertarikan pasien harus dimasukkan jadi penilaian, keseimbangan resiko dan manfaat
tehnik neuraksial 120.
Surat persetujuan lebih dari menandatangani selembar kertas untuk perlindungan
medikolegal. Pasien harus mengerti manfaat dan resiko tehnik neuraksial dibandingkan pilihan
lainnya, dan diarahkan pada tehnik yang paling baik dan aman.
Laporan
Tehnik anestesi neuraksial memiliki beberapa manfaat yang dapat diterima dengan baik,
terutama untuk prosedur operasi tertentu atau populasi pasien. Anestesi neuraksial sekarang
lebih aman dari sebelumnya. Komplikasi utama sangat kurang. Pasien tertentu, bisa meningkat
resiko yang berhubungan dengan anestesi neuraksial, dan bahkan terdapat resiko utama pada
pasien. Sebagai contoh adalah pemberitaan LMWH pada awal 1990 yang mengarah pada banyak
kasus hematom epidural. Karena itu, penting untuk mengenali dan mengerti hubungan multipel
dimana tehnik anestesi neuraksial perlu ditoleransi untuk memastikan status patologi dan
fisiologi, atau kapan harus dihindari. Ini benar untuk hampir semua dalam membuat keputusan
medik, pengetahuan yang cermat tentang manfaat dan resiko dari prosedur dan status penyakit
adalah penting untuk membuat keputusan yang terbaik.
19