Anda di halaman 1dari 19

BAB 5

KONTRAINDIKASI PADA ANESTESI NEURAKSIAL


(Nathaniel Diaz , Cynthia A. Wong. Spinal and Epidural anesthesia. Chapter 5.
Chicago : Mc Graw Hill Medical; 2006 : 221 - 227)

Anestesi dan anelgesi neuraksial digunakan secara luas karena manfaatnya yang bervariasi,
termasuk mencegah tromboemboli vena, pemberhentian lebih awal, dan penanganan nyeri
setelah operasi. Sebagai tambahan, banyak pasien berkeinginan untuk tetap sadar selama mereka
menjalani prosedur operasi, dan analgesia jangka panjang dengan kateter epidural menjadi lebih
sering untuk pasien dengan nyeri kronik dan untuk terapi paliatif pada pasien kanker 1. Meskipun
komplikasi serius setelah pemberian anestesi regional jarang ditemukan (kurang dari 0,1% ),
abses dan hematoma epidural, radikulopati, sindrom kauda equine, dan bahkan paraplegia telah
dihubungkan dengan tehnik-tehnik neuroaksial 2,3. Untuk itu penting bagi para praktisi anestesi
regional untuk tidak hanya mengerti implikasi tehnik neuroaksial pada keadaan patofisiologik,
tetapi juga untuk mengerti implikasi dari semua prosedur – prosedur tehnik neuroaksial.
Bagian ini akan meninjau kembali kondisi – kondisi yang mungkin merupakan
kontraindikasi relative pada tehnik neuroaksial. Meskipun hanya ada beberapa, jika ada,
kontraindikasi absolute pada tehnik neuroaksial, ada banyak keadaan patologik untuk inisiasi
anestesi / analgesi neuraksial yang dipertimbangkan controversial. Adalah tujuan dari bagian ini
untuk meninjau kembali dasar bukti medis disekitar kontroversi ini. Mengerti dengan seksama
akan resiko anesthesia neuraksial dengan adanya keadaan patologik penting terhadap analisis
resiko / manfaat untuk pasien – pasien.

KONTRAINDIKASI ABSOLUT
 Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravascular Coagulopathy ) ditandai dengan meluasnya aktivasi koagulasi
sebagai akibat dari proses penyakit ini, terkenal dengan endapan fibrin di intravascular, deplesi
trombosit dan factor koagulasi, dan supresi antikoagulan (mis. antitrombin III, protein C dan S,
dan factor jaringan – penghambat jalur) 4. Sebagai tambahan, fibrinolisis terganggu dengan akibat
akhirnya menjadi perdarahan hebat, dan trombosis pada pembuluh darah kecil dan sedang 4.
Kondisi yang dihubungkan dengan DIC terdapat pada table 5-1.
Temuan laboratorium termasuk jumlah trombosit kurang dari 100 x 10 3/mm3,
perpanjangan waktu protrombin (PT) dan aktivasi waktu plasma protrombin (aPTT), adanya
degradasi produk fibrin atau D – dimmer pada plasma, dan rendahnya kadar fibrinogen dan
antitrombin III 4. Terapi termasuk mengkoreksi penyebab penyakit, dan penggunaan produk –
produk darah untuk menggantikan komponen – komponen koagulasi. Meskipun tehnik
neuroaksial di kontraindikasikan pada pengaturan DIC, DIC bisa timbul setelah pemasangan
kateter epidural. Pandangan yang berbeda telah dianjurkan untuk memindahkan kateter ini.
Beberapa merekomendasikan kateter dipindahan tidak ada bukti perdarahan disekitar tempat
insersi kateter epidural 5 , sementara yang lainnya merekomendasikan bahwa kateter epidural
tetap ditempatnya sampai koagulopati teratasi 3. Sebagai catatan, hematoma epidural telah
dilaporkan terjadi pada saat penarikan kembali kateter epidural pada pasien dengan perubahan
koagulasi 6. Tak peduli pendekatan apa yang dipilih, adalah penting untuk mengkoreksi
koagulopati secara agresif dengan menangani penyebab penyait dan pemberian produk darah,
melakukan pemeriksaan neurologik secara seksama untuk mendeteksi kompresi spinal cord
karena hematoma spinal – epidural, dan hindari injeksi neuraksial anestesi local karena ini bisa
menyamarkan tanda awal adanya penekanan spinal cord.

 Syok Septik

1
Sepsis menggambarkan respon inflamasi sistemik generalisata terhadap infeksi dan akibat pada
gagalnya perfusi organ dan luasnya cedera pada jaringan. Sepsis biasanya dibagi menjadi early
hyperdinamic dan late hypovolemic phases 7. Fase early hyperdinamic ditandai dengan hipotensi,
hipoperfusi, resistensi vaskular sistemik (SVR) yang rendah, dan meningkatnya kardiak output 7.
Late phases ditandai dengan menurunnya kardiak output, resistensi vaskular perifer meningkat,
oligouria, dan depresi miokardial. Kadang timbul koagulopati dengan degradasi produk fibrin.
Perhatian ekstra adalah pada penyebaran organisme patologik IV pada cairan serebro-spinal atau
ruang epidural.
Keputusan untuk melakukan anestesi neuraksial pada pasien yang betul-betul sepsis
harus termasuk analisis yang cermat akan resiko / manfaat. Tehnik neuraksial biasanya dihindari
kecuali terdapat alasan jelas untuk melakukannya. Sebagai contoh, penggunaan anestesi spinal
dengan gagal intubasi pada persalinan dengan sepsis nyata telah dilaporkan 8. Penulis
menyimpulkan bahwa jika infeksi sistemik dipandang sebagai kontraindikasi absolut pada anestesi
neuraksial, beberapa pasien bisa diekspos untuk potensial resiko yang lebih berat dihubungkan
dengan gagal intubasi trakhea 8.
Pemberian antibiotik sebelum dilakukan teknik regional anestesi pada keadaan infeksi
untuk mencegah penyebaran kedalam cairan serebro-spinal. Onset lambat tehnik neuraksial
dipilih, dimana hipotensi makin memburuk terjadi karena dehidrasi relatif dan menurunnya
resistensi vaskular sistemik (SVR). Terapi awal dan agresif dengan cairan intravena dan vasopresor
direct – acting, seperti neosynefrin dan epinefrin, penting untuk penanganan pasien dengan
kondisi yang mengancam jiwa seperti ini.

KONTRAINDIKASI RELATIF
 Septikemia
Pasien Febril
Infeksi dan demam merupakan masalah klinik yang banyak ditemukan, seperti anestesi obstetri,
dimana banyak infeksi bakteri dan virus yang kadang tampak pada saat direncanakan tehnik
neuraksial. Terdapat kontroversi karena pemakaian anestesi neuraksial pada pasien bakteremia
karena kemungkinan ”penyebaran” pada ruang epidural atau subarakhnoid, dengan akibat
meningitis atau abses spinal-epidural. Pembelajaran tunggal pada tikus telah menelusuri
hubungan antara bakteremia E. Coli, anestesi spinal, dan meningitis 9. Meningitis timbul pada
tikus dengan bakteremia mengikuti penusukan dural, tetapi tidak pada bakteremia pada tikus
yang tidak dilakukan penusukan dural atau pada tikus dengan kondisi sehat yang ditusuk duralnya
9
. sebagai catatan, diberikan antibiotik sebelum penusukan dural untuk mencegah infeksi cairan
serebro-spinal (CSF) pada semua tikus bakteremik yang disertai penusukan dural. Bagaimanapun,
aplikasi dari semua hasilnya terhadap keadaan klinis manusianya masih belum jelas untuk
beberapa alasan. Robekan dural dibuat dengan needle 26 yang relatif lebih besar pada tikus
daripada manusia, dan tikus tersebut memperlihatkan tanda nyata syok septik. Syok septik secara
klinik tidak dapat dibandingkan pada demam ringan karena bakteremia atau viremia yang sering
terjadi selama infeksi. Sebagai tambahan, E. Coli tidak selalu menjadi organisme kausatif pada
dokumentasi infeksi yang dihubungkan dengan anestesi neuraksial. Akhirnya, anestesi lokal
memiliki sifat bakteriostatik, yang signifikan secara klinik.
Study pada manusia bahkan lebih bertentangan. Meskipun terdapat banyak laporan
meningitis atau abses epidural setelah pemberian tehnik spinal, epidural, atau kombinasi tehnik
keduanya, 10-12 tidak terdapat bukti penyebab dan efek hubungannya. Pada beberapa kasus,
identifikasi bakteri kausatif berpendapat bahwa perubahan tehnik steril kemungkinan yang
bertanggung jawab terhadap infeksi dari pada patogen melalui darah. Malangnya, banyak
komplikasi neurologik serius yang tampaknya dihubungkan dengan tehnik neuraksial.
Adalah aman untuk menyimpulkan bahwa tidak ada bukti substansial akan hubungan
pasti antara tehnik neuraksial yang dilakukan pada pengaturan bakteremia dan timbulnya
meningitis atau abses epidural. Study retrospektif luas pada lebih dari 10.000 pasien yang

2
mendapat anestesi spinal tidak menemukan adanya kasus tunggal meningitis 13. Penemuan ini
melegakan, bahwa banyak kasus ini terdapat pada obstetri dimana terdapat insiden tinggi
penularan bakteri berpasangan dengan angka infeksi maternal yang relatif tinggi 14. Data dari
literatur anestesi obstetri mendukung amannya penggunaan tehnik neuraksial pada adanya
infeksi intra-amnion 15. Meskipun banyak pasien pada laporan ini yang tidak mendapat antibiotik
karena tehnik neuraksial, banyak praktik yang mendukung pemakaian antibiotik pada insersi
jarum 16.
Pada laporan, sementara tidak ada panduan pasti untuk membantu memutuskan untuk
melakukan tehnik anestesi neuraksial pada pasien demam, kebanyakan penulis akan setuju
bahwa aman untuk memberikan anestesi neuraksial pada pengaturan bakteremia ringan atau
infeksi sistemik maternal mengikuti inisiasi terapi antibiotik. Bagaimanapun, tampak bijaksana
untuk menghindari tehnik neuraksial pada pasien dengan tanda kkinis sepsis nyata.

Infeksi Viral
Virus Herpes Simpleks. Virus Herpes Simpleks – 2 (HSV – 2) merupakan virus penyakit menular
seksual yang paling banyak. Diperkirakan 45 juta orang di USA terinfeksi 17. 5 – 10% wanita
mengalami gejala herpes genital rekuren selama kehamilan, dan 25% dari semua akan terjangkit
HSV-2 sampai pada akhir bulan kehamilan 17.
Banyak yang perhatian dan kontroversi terhadap pemakaian anestesi neuraksial pada
pasien dengan infeksi HSV-2 selama kehamilan karena resikonya secara teoritis terhadap inokulasi
virus kedalam sistem saraf pusat (SSP), menyebabkan meningitis atau ensefalitis. Sejak infeksi
primer menyebabkan viremia, dan bisa tampak gejala konstitusional dan lesi genital, anestesi
neuraksial selama infeksi primer bisa berpotensial membawa partikel virus dari darah ibu
kedalam SSP. Sebagai catatan, sindrom kauda ekuina merupakan komplikasi yang jarang pada
infeksi primer HSV-2. Infeksi HSV-2 sekunder bermanifestasi sebagai lesi genital rekuren, dan tidak
ada antigen viral pada darah karena ada antibodi maternal. Tidak ada laporan septik atau
komplikasi neurologik dihubungkan dengan anestesi neuraksial terhadap adanya infeksi sekunder
18
. Meskipun tampaknya bijaksana untuk menghindari pemberian anestesi neuraksial pada HSV-2
primer, kebanyakan pasien membiarkan infeksi primer yang diikuti dengan lesi genital beberapa
tahun kemudian. Biasanya, sulit membedakan antara infeksi primer dan sekunder (Tabel 5-1).
Kebanyakan ahli anestesi merasa nyaman memulai anstesi neuraksial pada pasien dengan lesi
genital tanpa gejala konstitusional.

Virus Varisela Zoster (VZV). Infeksi primer biasanya dikenal sebagai chicken pox atau varicella
yang ditandai dengan adanya demam, malaise, dan ruam makulo-papular yang menjadi vesikular.
Pada anak-anak infeksi ini biasanya jinak dan self-limited. Meskipun hanya 2% dari semua kasus
terjadi pada masa / usia dewasa, komplikasi berat dari infeksi primer virus ini, seperti ensefalitis
dan pneumonitis, sering ditemukan pada dewasa 19. Dengan reaktivasi, VZV membentuk eritema
vesikular lokalisasi mulai 1 atau lebih dermatom ysng dikenal sebagai herpes zoster. Nyeri post-
herpetik, ditandai dengan nyeri kronik, timbul pada banyak pasien mengikuti reaktivasi VZV dan
tidak dihubungkan dengan tehnik neuraksial.
Adanya lesi aktif pada lokasi insersi adalah pertimbangan kontraindikasi relatif tehnik neuraksial.
Kontroversi ada, karena itu, jika tidak ada lesi aktif pada situs masuk. Karena infeksi VZV jarang
pada dewasa, tidak ada bukti dasar panduan anestesi, meskipun beberapa rekomendasi bisa
ditemukan pada literatur. Pasien dengan VZV kutaneus akut bisa viremik sampai lebih dari 2
minggu setelah onset sindrom, dan meskipun peringatan harus dilakukan, neuraksial
dibandingkan anestesi umum sepertinya mengurangi resiko pneumonia varisela yang harus
dianestesi diperlukan 20. SSP merupakan lokasi yang paling sering dilibatkan selain kulit, dan
ataksia serebelar akut, ensefalitis, meningitis aseptik, dan sindrom Guillain Barre (GBS) telah
dilaporkan 20. Karena itu, haruskah anstesi neuraksial dipakai pada keadaan VZV, pemeriksaan
neurologik secara cermat harus dilakukan dan terapi awal antiviral harus dipertimbangkan 20.

3
Pemakaian bor pencil kecil – point needle bisa berguna karena manfaat potensial untuk
mengetahui beberapa partikel virus dalam SSP.

Human Immunodefisiensi Virus (HIV). Pandemik HIV telah menyebar disetiap kota di
dunia dan telah menginfeksi 56 juta orang diseluruh dunia, termasuk 20 juta orang yang telah
meninggal. Diperkirakan 1,1 juta orang di USA telah terinfeksi HIV, dengan kaum wanita sebagai
kelompok yang paling cepat perkembangannya pada kasus ini. Wanita dengan usia produktif
memberi persentase besar pada kasus ini 21. Mulai dipikirkan bahwa dengan tehnik neuraksial
akan beresiko menyebarkan penyakit ke SSP. HIV virus neurotropik dengan infektifitas rendah dan
dari awal menyebar ke SSP, dan beberapa pembelajaran memperlihatkan bahwa tehnik
neuroaksial tidak mempercepat progresi SSP 22. Dapat diterima dengan baik bahwa infeksi HIV
tidak mengkontraindikasikan pemakaian anestesi neuraksial, bahwa pemeriksaan neurologik dan
hematologik dengan teliti telah dilakukan (Tabel 5-2). Patologi hematologi sering pada pasien HIV.
Diperkirakan insiden anemia sekitar 75%. Trombositopenia, ditemukan trombosit kurang dari 100
x 103/mm3, juga sering dilaporkan dengan insiden 5 – 15%. 23. Pemeriksaan fisik dengan cermat,
dokumentasi defisit neurologik, dan monitoring secara hati-hati terhadap resolusi blokade harus
diperhatikan. Pasien juga harus dievaluasi akan adanya infeksi oportunistik dan penyakit menular
seksual. HIV dengan terapi mungkin berimplikasi untuk dilakukan tehnik neuraksial (Tabel 5-3)
Perhatian keras pada tehnik aseptik adalah penting karena status imunosupresi. Tidak
ada pembelajaran yang mendokumentasikan perubahan imunosupresi atau infeksi sekuele
sebagai akibat dari anestesi neuraksial.
Bagaimanapun, jalur infeksi yang terlokalisasi dan dalam telah dilaporkan pada pasien HIV dengan
kateter epidural kronik yang dipasang untuk penanganan nyeri 24. Komplikasi yang terjadi sebagai
akibat tehnik neuraksial juga bisa menimbulkan tantangan bagi praktisi tehnik neuraksial. Sebagai
contoh, haruskah sakit kepala terjadi setelah tehnik neuraksial, penyakit sering timbul pada
pasien HIV dengan imunosupresi harus dipertimbangkan. Jika penusukan post-dural tinggi pada
diagnosis banding, terapi awal harus konservatif, termasuk istirahat, analgesik, hidrasi oral, dan
produk kafein. Apakah penanganan ini gagal, penambalan darah epidural bisa dipertimbangkan.
Infeksi SSP pada HIV terjadi pada awal penyakit, dan karena itulah, penambalan darah epidural
tidak tampak seperti mengubah infeksi SSP. Tidak ada keadaan yang merugikan pada penambalan
darah epidural pasien HIV positif telah dilaporkan 25,26. Karena itu, alternatif lain, seperti saline
ekstradural atau darah heterolog yang negatif HIV tampaknya tidak diindikasikan 25.

 Penyakit SSP
Multipel Sklerosis (MS)
MS merupakan penyakit inflamasi demielinasi autoimun tersering pada SSP, dan umumnya
terdapat pada wanita Eropa Utara pada usia produktif. 2 pola umum MS telah diidentifikasi :
bentuk eksaserbasi yang menyerang tampak secara kasar dan teratasi beberapa bulan, dan pola
progresif kronik 27. Banyak gejala MS termasuk gangguan sensoris pada cabang saraf, kehilangan
penglihatan, kelemahan motorik, diplopia, gangguan gait, dan disfungsi kandung kemih dan BAB.
Tidak ada terapi kuratif mendasar untuk MS. Terapi imunosupresi, seperti kortikosteroid, bisa
mempercepat perbaikan dari relaps tetapi tidak merubah keseluruhan pusat penyakit Human
InterFeron (IFN) β merupakan agent terapeutik untuk mengurangi angka relaps dan retardasi 28.
Secara historis, blokade konduksi pusat, terutama anestesi spinal, telah diimplikasikan
pada eksaserbasi MS. Telah di pertimbangkan bahwa neurotoksisitas anestesi lokal lebih sering
pada demielinasi saraf. Pembelajaran ini sangat kecil, dan hubungan penyebab dan efek tidak
terbukti 29. Secara teoritis, anestesi epidural kurang beresiko, seperti konsentrasi anestesi lokal
pada lapisan putih spinal cord lebih rendah daripada anestesi spinal 30.
Banyak pembelajaran mendukung keamanan pemakaian analgesia epidural pada pasien
dengan MS. Tidak satupun pemberi-ASI atau analgesia epidural tampak menimbulkan efek
kerugian pada angka relaps atau progresi ketidakmampuan pada MS 31. Angka relaps sama pada

4
wanita hamil yang mendapat analgesia epidural untuk persalinan normal dibandingkan mereka
yang mendapat infiltrasi lokal 30. Menariknya, semua wanita yang mengalami relaps post partum
diberikan bupivakain epidural dengan konsentrasi lebih dari 2,5 g/mL. Penulis berpendapat
bahwa dengan konsentrasi lebih tinggi, atau perpanjangan waktu pemberian analgesia epidural,
dimana konsentrasi anestesi lokal pada SSP meningkat, bisa menuju pada peningkatan angka
relaps 30.
Meskipun ada beberapa laporan pemakaian anestesi spinal pada pasien dengan MS,
pemakaiannya bisa dipertimbangkan dengan dosis rendah anestesi lokal dan diberikan dengan
durasi relatif pendek pada operasi pasien yang mendapat anestesi spinal, hindari dosis berulang
anestesi lokal, dan konsentrasi rendah SSP. Sebagai tambahan, pemakaian anestesi spinal telah
dicatat dalam memperbaiki spastisitas kandung kemih ditemukan pada beberapa pasien dengan
MS 32. Beberapa isu penting untuk mengingat saat mempertimbangkan pemakaian tehnik
neuraksial pada pasien dengan MS, termasuk evaluasi pre-anestesi dari adanya gejala neurologik
dan paruh dari dosis anestesi lokal dengan penambahan opioid (Tabel 5-4). Sebagai tambahan,
pasien harus dijelaskan bahwa efek analgesi neuraksial dan anestesi pada bagian MS belum
dipelajari dengan tepat dan karena itulah belum diketahui secara luas.

Defek Pembuluh Saraf (NTD) : Spina Bifida


Insiden NTD adalah variabel tinggi dan tergantung pada faktor etnik dan geografik, dengan angka
tertinggi ditemukan di Irlandia, Inggris, Pakistan, India, dan Mesir. Insiden keseluruhan dari NTD di
USA adalah 1 dari 1000 kelahiran, kedua hanya malformasi jantung sebagai prevalensi anomali
kongenital yang paling sering; dan akibat dari gagalnya lengkungan saraf untuk menutup secara
normal antara 25 dan 28 hari setelah konsepsi 33. Spina bifida merupakan kondisi dimana terjadi
apabila vertebra tulang gagal untuk menutupi elemen saraf pada kanalis vertebra, dan terdapat
derajat bervariasi dari kegagalan menutupnya.
Spina bifida sistika terdiri dari mielomeningocele dan meningocele. Mielomeningocele,
merupakan bentuk yang paling berat dari spina bifida, akibat dari herniasi mening, dan terdiri
dari elemen saraf lewat melalui defek pada tulang vertebra. Penonjolan kantung membran terdiri
dari mening, CSF, akar saraf, dan displatik spinal cord. Pada beberapa kasus mungkin tidak ada
membran, tapi hanya bagian yang terekspos penuh dari spinal cord. Gangguan selama tahap awal
pembentukan lengkungan saraf, kanalisasi, dan diferensiasi retrogresif bisa timbul pada lesi yang
tertutupi oleh kulit. Pasien dengan mielomeningocele selalu memperlihatkan beberapa derajat
paralisis dan hilang sensasi dibawah vertebra yang rusak. Jumlah ketidakmampuan tergantung
luas pada tingkat vertebra dan derajat kerusakan saraf. Mayoritas pasien mielomeningocele juga
mengalami hidrosefalus dan malformasi Chiari II 34.
Tipe yang paling jarana pada spina bifida, meningocele, melibatkan hanya mening,
dengan penonjolan melalui defek vertebra. Mening membentuk kantung berisi cairan yang
biasanya ditutupi oleh kulit, spinal cord normal, dan orang yang terkena kadang tidak bergejala.
Spina bifida occulta digambarkan sebagai gagalnya penutupan lengkungan saraf tanpa herniasi
mening atau jeringan saraf. Biasanya spina bifida oculta merupakan defek minor yang melibatkan
1 vertebra, secara tipikal pada L5 – S1. Terjadi cukup banyak pada populasi umum (5 – 36%)
karena itu dipertimbangkan sebagai varian normal 35. Pada sejumlah kecil orang, spina bifida
oculta lebih ekstensif dengan robekan lebih besar pada vertebra, atau melibatkan 2 atau lebih
vertebra. Terdapat tanda nyata pada kulit, seperti mole atau nevus (mis. tanda lahir), cekungan
atau sinus, atau rambut. Spina bifida oculta jenis ini significan, dapat dihubungkan dengan
skoliosis atau abnormalitas saraf lainnya yang harus dievaluasi.
Hilang atau peregangan spinal cord kongenital terjadi apabila cord terletak pada struktur
abnormal pada spinal lumbal. Fiksasi abnormal spinal cord menyebabkan traksi jaringan saraf,
dimana bisa menyebabkan iskemia dan deteriorasi neurologik progresif. Terdapat filum terminale
tabal atau konus medularis yang terbentang rendah. Konus medularis berakhir pada tingkat
dibawah ruang intervertebral L1 – L2. Pelebaran atau terminasi kaudal diruang sub-arakhnoid

5
bisa dihubungkan dengan abnormalitas ini. Peregangan spinal cord terjadi pada hampir semua
kasus spina bifida sistika dan beberapa kasus spina bifida oculta 36.

Penanganan pasien dengan Spina Bifida Oculta.


Anestesi neuraksial pada pasien dengan spina bifida oculta tidak selalu memperlihatkan masalah
seperti pada kebanyakan kasus anomali dibatasi pada vertebra tunggal dengan stuktur saraf
normal. Juga, lokasi tersering pada lesi spina bifida oculta adalah L5 – S1 tingkat vertebra, dimana
dibawah lokasi insersi untuk kebanyakan prosedur epidural dan spinal. Jika blok neuraksial
dilakukan pada tingkat lesi oculta, terdapat peningkatan resiko penusukan dural karena tidak ada
lamina dan variable pembentuk ligamentum flavum pada lokasi tersebut 37. Untuk alasan yang
sama, injeksi epidural pada tingkat lesi oculta bisa menyebabkan blokade tidak lengkap atau lebih
tinggi dari normal. Pemeriksaan radiologik bisa dilakukan pada pasien dengan spina bifida oculta
dan lesi letak superficial, dengan tujuan untuk mendeterminasi jika terdapat abnormalitas cord.
Jika pada foto polos tampak abnormalitas, MRI merupakan gambaran tunggal yang paling efektif
untuk inicial diagnosis dan evaluasi pre-operasi.

Penanganan pasien dengan Spina Bifida Sistika.


Pasien dengan Spina Bifida Sistika berat mengalami neuropati kandung kemih atau masalah
urologik yang lebih berat, pertumbuhan pelvis yang abnormal, dan kelainan pertumbuhan spinal
menyebabkan skoliosis dan menyebabkan penyakit paru terbatas. Juga bisa terdapat
ketidaksesuaian sensoris dan motorik pada tingkat lesi. Karena itu, pemeriksaan pasien ini perlu
untuk mencoba tehnik neuraksial harus termasuk determinasi tingkat lesi, dan dimana koreksi
pembedahan telah dilakukan, termasuk pemasangan shunt. Sebagai tambahan, fungsi respirasi,
terutama jika deviasi berat vertebra lumbal atau thoracik ada, dan fungsi ginjal harus dievaluasi
dan dilakukan pembelajaran imaging (Tabel 5-5). Diskusi cermat dengan pasien adalah perlu,
menyediakan inform consent untuk setiap tehnik neuraksial dan harapan nyata pencapaian
analgesia. Defisiensi lapisan ligamentum dorsal interspinosa bisa menyulitkan lokasi ruang
epidural jika tehnik loss-of-resistance digunakan 38. Sama dengan pasien spina bifida oculta
dengan abnormalitas cord, pasien Spina Bifida Sistika mengalami peningkatan resiko penusukan
dural, terutama jika anestesi dimulai pada tingkat defek. Karena itulah, paling baik untuk
menggunakan ruang intervertebral dibawah tingkat lesi atau koreksi pembedahan, dimana ini
akan menurunkan resiko cedera karena peregangan spinal cord dengan konus medularis letal
rendah. Juga terdapat peningkatan resiko penyebaran abnormal anestesi local karena perubahan
pada stuktur ruang epidural, menyebabkan penyebaran ke kranial atau kaudal berlebihan atau
tidak adekuat. Anestesi neuraksial tidak dapat diprediksi bahkan setelah berhasil memperbaiki
meningocele lumbosakral, onsetnya bisa cepat, dan dosis rendah obat analgesik mungkin
berguna 39. metode tambahan untuk menghilangkan nyeri, seperti opioid sistemik atau blok
pudendal, juga direkomendasikan untuk blokade kaudal yang tidak adekuat 39.

Neoplasma intrakranial.
Tumor otak meliputi neoplasma yang berasal dari otak itu sendiri (tumor otak primer) atau
metastasis ke otak (tumor otak sekunder). Glioma mendata sekitar 80% keganasan SSP primer.
Metastasis otak merupakan bentuk yang paling sering dari tumor intrakranial, terdata lebih dari
satu-setengah dari tumor otak pada dewasa 40. Adanya neoplasma intrakranial merupakan
implikasi serius untuk penanganan anestesi pada persalinan. Pada pasien dengan massa lesi
intrakranial dan TIK meningkat, tekanan CSF bisa meningkat dengan kontraksi nyeri dan
meningkatkan resiko herniasi otak. Ketentuan menghilangkan nyeri yang adekuat selama
persalinan mengurangi resiko pada ibu dengan penyediaan bebas-nyeri-tingkat-dua, dan
memperbolehkan instrumental pada persalinan pervaginam dengan maksud untuk menghindari
tekanan. Untuk alternatif, persalinan cesar mungkin sesuai 41. Pilihan anestesi, bagaimanapun,
masih controversial (Tabel 5-2). Penusukan lumbar biasanya dikontraindikasikan pada pasien

6
dengan peningkatan TIK atau Space Occupying Lesion karena drainase cairan lumbar bisa
meningkatkan gradien tekanan antara kompartemen supratentorial dan infratentorial dan hal ini
menyebabkan herniasi cepat 42. Anestesi epidural juga bisa berbahaya pada pasien dengan Space
Occupying Lesion, bukan hanya karena resiko dihubungkan dengan penusukan dural mendadak,
tapi juga karena obat epidural dan injeksi cairan bisa meningkatkan TIK 43. Dibalik resiko tersebut,
ada dilaporkan keberhasilan pemakaian anestesi epidural pada pasien dengan neoplasma
intrakranial 44. Anestesi spinal juga telah digambarkan untuk persalinan cesar darurat pada pasien
dengan gejala peningkatan TIK karena glioblastoma 45. Masuk akal bahwa kaliber kecil, pencil-
point leedles meminimalkan kebocoran CSF, bahkan saat penggunaannya dihubungkan dengan
peningkatan TIK ringan. Meskipun beberapa ahli anestesi menganjurkan anestesi umum karena
resiko herniasi otak, anestesi umum juga bukan tanpa resiko. Peningkatan TIK bisa timbal dengan
induksi dan intubasi, dan kedaruratan. Karena itulah, analisis untung-rugi secara hati-hati harus
dilakukan untuk memutuskan tehnik anestesi particular.

Hidrosefalus dengan Shunt.


Hidrosefalus bisa kongenital dan muncul pada saat lahir, atau bisa didapat dan meningkat
kemudian setelah lahir. Hidrosefelus kongenital bisa karena blokade pada akuaduktus (stenosis
akua-duktal), anomali kongenital seperti malformasi Chiari atau malformasi Dandy Walter, atau
sekunder pada proses inflamasi saat lahir prematur karena perdarahan dalam otak. Terapi pada
keadaan ini adalah menempatkan shunt lumboperitoneal, ventrikuloperitoneal, atau
ventrikuloatrial.
Anestesi neuraksial termasuk aman digunakan untuk penanganan pasien dengan shunt tanpa
komplikasi 46,47. Meskipun beberapa mendebatkan bahwa pembelajaran radiologik harus
dilakukan dengan tujuan untuk memastikan lokasi tepat dari shunt untuk memulai tehnik
neuraksial 48, yang lainnya melakukan tehnik neuraksial dengan aman tanpa bantuan
pembelajaran imaging 46. Tidak ada laboran kasus trauma untuk bagian spinal dari shunt
lumboperitoneal. Shunt secara tipikal berlokasi pada ruang intervertebral rendah (L3-L4 atau L4-
L5) dan salurannya mengarah ke lateral ke peritonium 46. Sensasi yang sering menentukan insersi
jarum pada ruang intervertebral dibawah atau diatas jaringan parut, tergantung pada lokasi
shunt. Juga harus diperhatikan bahwa obat-obatan dalam CSF bisa merembes ke atrium atau
peritonium, tergantung dari jenis shunt 47. Karena itu, secara teoritis, tembakan tunggal spinal
bukan merupakan tehnik neuraksial pilihan. Karena resiko infeksi shunt, telah direkomendasikan
bahwa antibiotik profilaksis diberikan sebelum memulai tehnik neuraksial 47.
Gejala gagalnya shunt, seperti sakit kepala dan peningkatan TIK, bisa membingungkan
dengan sakit kepala pada penusukan post dural 49. Keamanan dan keberhasilan penambalan
darah epidural telah dilaporkan pada pasien dengan shunt lumboperitoneal 47. Meskipun tidak
terdapat kasus yang dilaporkan dari pasien dengan ventrikulostomi ke-3 mendapat tehnik
neuraksial, anestesi neuraksial bukan kontraindikasi dan keputusan jenis anestesi harus
berdasarkan pertimbangan bedah dan status neurologis pasien 50.

Anestesi neuraksial dan antikoagulasi.


Antikoagulasi meningkatkan resiko hematom spinal epidural setelah anestesi neuraksial. Anestesi
neuraksial dengan ada antikoagulan telah dialamatkan oleh konsensus konferensi ASRA dan
informasi ini dilaporkan kemudian 51. Keputusan untuk melakukan anestesi neuraksial dengan ada
antikoagulan harus memakai analisis untung-rugi. Jika tingkat resiko menjamin, penilaian
neurologik ekstremitas bawah harus dilakukan selama anestesi neuraksial/analgesia dan selama
beberapa waktu setelah kateter dilepas. Pertimbangan harus dilakukan pada pemakaian tehnik
anestesi lokal konsentrasi rendah, jika memungkinkan, untuk menunjang penilaian neurologik.

Obat antiplatelet.

7
Platelet merupakan instrumen pada hemostasis primer, menahan platelet, dan menyediakan
permukaan membran dimana aktivasi pembekuan terjadi. Karena itu, setiap abnormalitas
sekunder platelet karena penyakit atau medikasi berpotensial untuk mengara ke komplikasi
perdarahan yang bermakna, termasuk hematom spinal epidural. Terdapat banyak agent
antiplatelet termasuk aspirin (ASA), NSAIDs, thienopyridines, dan reseptor antagonis GP IIb-IIIa
(abciximab, tirofiban).
ASA dan NSAIDs mengganggu agregasi trombosit dengan menghambat siklooksigenase
(COX) dan mencegah pembentukan tromboxane, dimana ia merupakan agregator platelet yang
poten (Tabel 5-3). Sementara kerja ASA pada trombosit COX adalah permanen, berakhir pada
masa hidup platelet (7-10 hari), efek NSAIDs lainnya lebih pendek (3 hari). COX terdiri dari 2
enzim yang berbeda : COX-1 merupakan enzim konstitusif dan COX-2 adalah isoform 52. COX-1 ada
pada platelet, sementara COX-2 tidak ada. Anti inflamasi dan analgesik dari COX-2, celecoxib, dan
valdecoxib, diberikan untuk menurunkan sintesa prostaglandin H 2 dengan secara selektif
menghambat COX-2 52.
Thienopyridines menggunakan efek antiplateletnya dengan ireversibel menghambat ADP.
Obat ini menghambat pengikatan fibrinogen platelet dan interaksi platelet 51,53. Ticlopidin
memiliki efek lebih lama pada fungsi platelet dan harus dihentikan 10-14 hari sebelum
pembedahan, sementara clopidrogel harus dilanjutkan 7 hari sebelum pembedahan 51.
Reseptor antagonis GP IIb-IIIa menghambat agregasi trombosit melalui penggabungan
dengan fibrinogen dan faktor von Willebrand (vWF) ke lokasi reseptor GP IIb-IIIa pada trombosit
yang diaktivasi 54. Fungsi trombosit kembali normal kira-kira 8 jam setelah dihentikannya
eptifibatide dan tirofiban, dan 24-48 jam setelah abciximab 51.
Dilakukannya analgesia neuraksial pada keadaan ASA dan NSAIDs betul-betul aman,
resiko hematom spinal epidural rendah pada pasien ini 51. Analisis retrospektif dari 61 kasus
hematom epidural yang dilaporkan dan tehnik neuraksial ditemukan bahwa kebanyakan kasus
(68%) terjadi pada pasien dengan gangguan koagulasi 3. 3 kasus menyusul tehnik neuraksial yang
dilakukan dengan adanya agent tunggal antiplatelet, seperti ASA, ticlopidine, atau indometachin.
Bagaimanapun, tidak ada detail spesifik yang diberikan tentang setiap kasus individual 3.
Pemakaian terapi antiplatelet dan medikasi lainnya yang mempengaruhi pembekuan bisa
meningkatkan resiko perdarahan dan karena itulah harus berhati-hati.
Thienopyridines dan anestesi neuraksial harus dekat dengan lebih hati-hato. Agent ini,
tidak seperti ASA dan NSAIDs, juga mempengaruhi agregasi primer platelet ke subendotelium,
mencegah pembentukan sumbatan hemostatik dan efek fungsi platelet ireversibel 51. Karena
itulah, pemakaian tehnik neuraksial harus dihindari sampai ada perbaikan platelet. Platelet
reseptor antagonis GP IIa-IIIb memblok jalur akhir ke agregasi platelet untuk periode waktu yang
pendek (jam) dan tehnik neuraksial dikontraindikasikan selama periode ini.

Heparin.
Heparin merupakan muatan negatif, asam larut air. Efek antikoagulannya adalah rangkaian
pentasakarida yang unik. Pentasakarida mengikat antitrombin III dan mempercepat inaktivasi
faktor II, IX, X, XI, dan XII. Sementara rantai panjang sakarida diperlukan untuk menghambat
faktor II, dengan kurang dari 18 unit sakarida menghambat faktor X 55. Waktu paruh biologik
heparin adalah dosis dan tergantung ukuran molekular dan range dari 1-2 jam untuk IV heparin
tanpa fraksi, dan 3-6 jam untuk heparin dengan berat molekular rendah (LMWH) 55. Efek
antikoagulan heparin tanpa fraksi dimonitor dengan aPTT. Pasien dengan lebih dari 4 hari juga
harus dihitung jumlah platelet karena kemungkinan trombositopenia karena induksi heparin 56.
Heparin tanpa fraksi profilaksi subkutan (5000 U 2 kali sehari untuk profilaksis trombosis vena
dalam) sepertinya tidak menyebabkan meningkatnya aPTT, dan ini bukan kontraindikasi pada
tehnik neuraksial (Tabel 5-4)51. Pemasangan atau pelepasan kateter epidural harus ditunda paling
tidak 2-4 jam bersamaan dengan dihentikannya dosis terapeutik heparin tanpa fraksi. Konfirmasi
kembali normalnya fungsi hemostatik dengan aPTT merupakan indikasi. Saat heparin tanpa fraksi

8
IV digunakan dalam operasi, pemberiannya harus ditunda selama paling tidak 1 jam setelah
tehnik neuraksial. Panduan yang sama harus digunakan untuk pelepasan kateter epidural, telah
disarankan bahwa pelepasan kateter bersifat traumatik sama seperti pemasangan kateter 3.
LMWH berbeda dari heparin tanpa fraksi secara biokimia dan farmakologi (Tabel 5-5).
LMWH memiliki efek inhibitor lebih hebat melawan Xa daripada melawan trombin karena
panjang rantainya lebih pendek. LMWH bioavailabilitasnya lebih bagus dan waktu paruhnya lebih
panjang dari heparin tanpa fraksi 57. Setelah dosis LMWH SQ, puncak aktivitas anti-Xa terjadi 3-4
jam dan menurun sampai 50% dari aktivitas puncak dengan 12 jam. LMWH diekskresikan oleh
ginjal dan waktu paruhnya meningkatkan pada pasien obesitas dan gagal ginjal 57. aPTT bukan
penilaian laboratorium yang sensitif dari aktivitas LMWH. Level anti-Xa mengukur efek
antikoagulan, tetapi tidak memprediksikan komplikasi perdarahan 51.
Ada 60 kasus hematom epidural dilaporkan dihubungkan dengan tehnik neuraksial dan
LMWH sejak diketahui tahun 1993 58. Penjelasan masuk akal termasuk dosis tinggi LMWH, dosis 2
kali sehari, dan tehnik neuraksial selama waktu puncak aktivitas LMWH. Semua kasus ini telah
dijalankan konferensi konsensus ASRA pada anestesi neuraksial dan antikoagulasi, pertama pada
tahun 1998 dan di perbarui pada 2002 51. Poin utama dari panduan ini termasuk penundaan
tehnik neuraksial paling tidak 10-12 jam bersamaan dengan pemberian dosis profilaksis LMWH,
dan 24 jam setelah dosis terapeutik (Tabel 5-6). Anestesi spinal dipilih karena sifat traumatik yang
lebih rendah daripada anestesi epidural. Pengukuran aktivitas anti-Xa tidak direkomendasikan
karena belum distandarisasi. Penulis mempercayai bahwa tehnik neuraksial harus dihindari bila
ada peningkatan aktivitas anti-Xa, tapi aktivitas normalnya dalam pengaturan pemberian LMWH
baru-baru ini tidak berarti bahwa tehnik neuraksial aman dilakukan.
Fondaparinux, antikoagulan baru, merupakan pentasakarida sintetik yang secara selektif
mengikat antitrombin, memacu perubahan bentuk yang secara signifikan meningkatkan aktivitas
antifaktor Xa tanpa menghambat faktor IIa 59. Ini tidak dihubungkan dengan trombositopenia
karena fondaparinux tidak menimbulkan reaksi silang dengan antibodi melawan heparin –
kompleks faktor 4 platelet. Tidak seperti faktor Xa antagonis lainnya, fondaparinux memiliki
waktu paruh yang sangat panjang (18 jam) dan bisa naik sampai 96-120 jam untuk melengkapi
eliminasi agent ini dari sirkulasi 59. Sampai semua data tersedia, anestesi neuraksial harus
dihindarkan pada pasien yang mendapat obat ini selama 4 hari setelah dosis terakhir. Ada kasus
yang dilaporkan pada pemberian fondaparinux 2jam setelah jarum tunggal spina tanpa trauma
atau pelepasan kateter epidural tanpa hasil buruk 51.

Warfarin.
Warfarin memblok vitamin K- dependent karboksilasi gamma dari faktor II, VII, IX, X dan
antikoagulan protein C dan S. Ini mengarah pada ketidakmampuan faktor pembekuan untuk
mengikat kalsium, sehingga terjadi penurunan pembentukan trombin. PT terutama berhubungan
dengan tingkat faktor VII dan X. Peningkatan awal PT (standarisasi sama seperti rasio normal
internasional (INR)) bersamaan inisiasi terapi warfarin mencerminkan hambatan aktivitas faktor
VII, faktor vitamin K-dependent dengan waktu paruh terpendek. Efek penuh antikoagulan
warfarin berlangsung beberapa hari dan tergantung dari waktu paruh faktor II, IX, dan X (Tabel 5-
6) 51,60. Bertentangan yang terjadi pada penghentian terapi warfarin, jika normalisasi INR
mencerminkan kembalinya aktivitas faktor VII sebelum pemulihan sepenuhnya dari faktor vitamin
K-dependent lainnya. Untuk setiap elevasi INR, koagulasi tampaknya terganggu saat pemulihan
dari efek antikoagulan daripada saat mulai pemberian antikoagulasi.
Dalam antisipasi pembedahan, warfarin harus dihentikan 4-5 hari sebelum prosedur dan
penilaian INR pada hari pembedahan (Tabel 5-7) 61. Normalisasi INR direkomendasikan sebelum
melakukan tehnik neuraksial. Hal ini dipertimbangkan sesuai untuk melakukan tehnik neuraksial
pada awal penyediaan antikoagulasi warfarin bahwa dosis tunggal rendah telah diberikan kurang
dari 24 jam sebelum dilakukan blok 51. Pasien dengan warfarin dosis rendah (5 mg atau kurang)
dengan kateter epidural harus diukur INR setiap hari sampai kateter dilepas. Warfarin harus

9
dikurangi atau jika INR lebih dari 3 51. Kateter dilepas sementara nilai INR kurang dari 1,5. Angka
ini berdasarkan data dari trial hemostasis yang dihubungkan dengan tingkat aktivitas faktor lebih
dari 40% 51,60.

Obat fibrinolitik.
Sistem fibrinolitik mempertahankan formasi pembekuan dalam pemeriksaan dengan
menurunkan hubungan silang fibrin kedalam produk fibrin 62. Aktivator jaringan endogen – jenis
plasminogen mengkatalisis pembentukan plasmin dari plasminogen, dimana penurunan fibrin
dan prokoagulasi faktor V dan VIII. Sebagai tambahan, penurunan produk fibrinogen dan fibrin
juga menunjukkan properti antikoagulan yang signifikan 51. Aktivator plasminogen eksogen
mempercepat pembentukan plasmin, dan merusak fibrin 62. Malangnya, medikasi eksogen ini
tidak membedakan fibrin trombus dari sumbatan hemostatik dan berpotensial untuk menjadi
hematom epidural jika anestesi neuraksial dilakukan dengan adanya obat ini. Sebagai tambahan,
pasien yang mendapat obat fibrinolitik juga tampaknya mengalami gangguan hemostasis primer
dan sekunder karena pemakaian heparin IV dan agent antiplatelet.
Rekomendasi melibatkan penghindaran aktivator plasminogen eksogen selama 10 hari
bersamaan tehnik neuraksial 51. Bagaimanapun, analisis untung-rugi pada pasien dengan infark
miokard akut bisa mendeterminasi manfaat dari medikasi ini bahkan dengan adanya trauma baru
sampai pembuluh darah yang tidak ditekan. Pemeriksaan neurologik reguler (paling tidak setiap 2
jam) adalah wajib. Tidak ada rekomendasi untuk pemberian medikasi aman – interval anestesi
neuraksial, ada hal yang direkomendasi saat kateter epidural bisa dilepas dengan aman
bersamaan penggunaan obat yang tidak diantisipasi. Konferensi ASRA 2003 berpendapat bahwa
pengukuran kadar fibrinogen bisa memandu dalam membuat keputusan, seperti satu dari faktor
pembekuan akhir untuk diperbaiki 51. Adalah penting untuk mengerti bahwa meskipun waktu
paruh obat fibrinolitik adalah pendek (sama seperti urokinase), trombolitik dan efek antikoagulan
dari obat ini bisa bertahan berhari-hari.

Trombositopenia dan trombastenia.


Trombositopenia disebabkan oleh berbagai kondisi fisiologi dan patologi dan merupakan
kontraindikasi relatif pada anestesi neuraksial. Penyebab tersering trombositopenia ada pada
tabel 5-7. ada sedikit data yang mendukung bahwa tehnik neuraksial dihindari pada setiap jumlah
platelet absolut. Beilin dan kawan-kawan. mendata rekam medis dari 30 persalinan dengan
jumlah platelet antara 69 sampai 98 x 10 3/mm3 yang mendapat analgesia epidural tanpa
komplikasi apapun 63. 20 wanita dengan trombositopenia kehamilan, 6 preeklampsia, 3 ITP, dan 1
infeksi. Kebanyakan ahli anestesi merasa nyaman memulai anestesi neuraksial pada pasien ini
selama jumlah plateletnya diatas 70,000 x 10 3/mm3, dan tidak terbukti ada perdarahan 64. Etiologi
trombositopenia, jumlah platelet, dan riwayat dan pemeriksaan fisik adalah lebih penting
daripada jumlah platelet absolut. Setelah mengatakan ini, banyak ahli anestesi yang enggan
melakukan tehnik neuraksial jika jumlah platelet dibawah 70 x 10 3/mm3 kecuali ada indikasi untuk
melakukannya berdasarkan analisis untung-rugi. Tehnik spinal kurang traumatik daripada tehnik
epidural, dan dipilih satu kali jumlah platelet dibawah 70 x 10 3/mm3. kateter lunak, fleksibel
dipilih pada tehnik epidural karena insiden rendah pada kanulasi vena.

Trombositopenia pada kehamilan.


Trombositopenia, digambarkan sebagai jumlah platelet dibawah 100 x 10 3/mm3, ditemukan pada
10% wanita hamil. Trombositopenia biasanya ringan dengan jumlah platelet 70 sampai 150 x
103/mm3, riwayat medis sebelumnya tidak signifikan untuk perdarahan, dan tidak ada
peningkatan resiko komplikasi perdarahan maternal atau janin. Tehnik neuraksial bukan
kontraindikasi pada pasien sehat tanpa tanda atau gejala disfungsi platelet 64. ITP penyebab
tersering trombositopenia pada populasi umum, dan terutama pada wanita usia produktif.
Patogenesisnya adalah secara imunologi diperantarai melalui antiplatelet antibodi IgG yang

10
mengenali membran glikoprotein platelet. Ini mengarah pada peningkatan penghancuran platelet
dengan sistem retikuloendotelial (RES), sebagian limpa dengan platelet yang sudah sangat matur
akan dihancurkan 65. Fungsi platelet biasanya normal walaupun jumlah platelet rendah. Gejalanya
mulai dari tidak bergejala sampai riwayat mudah memar, petekia, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Keputusan untuk melakukan anestesi neuraksial adalah berdasarkan jumlah platelet dan riwayat
dan pemeriksaan fisis. Beberapa penulis mempertimbangkan jumlah platelet 50 x 10 3/mm3
adekuat untuk memulai tehnik neuraksial, tersedia bahwa tidak ada bukti klinik komplikasi
perdarahan 64. Tehnik single-shot-spinal dipilih karena kurang traumatik jika dibandingkan dengan
tehnik epidural. Jika tehnik epidural dipilih, kateter lunak dan fleksibel dipilih untuk mengurangi
resiko kanulasi vena.
Preeklampsia mempengaruhi 6% dari seluruh kehamilan dan 21% untuk kasus
trombositopenia maternal. Trombositopenia bisa menjadi gambaran klinis paling dini pada
beberapa pasien, bahkan sebelum timbul hipertensi atau proteinuria. Biasanya sifatnya moderat
dan ditemukan pada 15% pasien preeklampsia. Jumlah platelet yang cenderung menurun
mungkin merupakan indikasi adanya penyakit yng mengkhawatirkan. Jumlah platelet bisa
menurun sampai nadir 24-48 jam post partum, tapi manifestasi klinik biasanya teratasi setelah
melahirkan. Tidak ada jumlah platelet absolut yang menghalangi pemasangan kateter epidural.
Keputusan untuk melakukan tehnik neuraksial adalah berdasarkan riwayat perdarahan,
kecenderungan jumlah platelet, pemeriksaan jalan nafas, dan kecenderungan persalinan cesar.
Sindrom HELLP ditandai dengan hemolisis, peninggian enzim hati, dan jumlah platelet
rendah. Ini terjadi pada hampir 10% kehamilan yang berkomplikasi preeklampsia berat, biasanya
tampak pada kehamilan trimester kedua atau ketiga atau pada saat post partum, dan bisa
mengancam jiwa 67. Sebagai catatan, ini bisa terjadi pada persalinan tanpa ada tanda lain
preeklampsia, dan satu atau semua komponen sindrom HELLP bisa tampak. Sindrom HELLP bukan
kontraindikasi anestesi neuraksial, bagaimanapun, trombositopenia atau adanya koagulopati bisa
mempengaruhi keputusan untuk melakukan tehnik neuraksial. Koagulopati tidak selalu tampak
kecuali jumlah platelet kurang dari 100 x 10 3/mm3. Faktor koagulasi lainnya yang dipengaruhi
bersamaan penghancuran platelet mikroangiopatik dan karena itulah, level PT, aPTT, dan
fibrinogen harus dimonitor jika jumlah platelet dibawah 100 x 10 3/mm3.

Trombositopenia purpura.
Anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal multiorgan merupakan gambaran
yang sering pada trombotik trombositopenia purpura (TTP) dan sindrom hemolitik uremik (HUS)
68
. manifestasi klinik lainnya termasuk abnormalitas neurologik dimana keadaannya lebih sering
dan berat pada TTP, demam, dan disfungsi ginjal. Disfungsi ginjal lebih berat pada HUS
dibandingkan TTP. Tombositopenia disebabkan oleh agregasi platelet intravaskular, dan mungkin
sulit untuk membedakan TTP dan HUS dari penyebab lain trombositopenia kecuali tanda dan
gejala yang menyertai tampak 68. anestesi neuraksial harus disertai dengan kehati-hatian pada
pasien ini. Jumlah platelet kurang dari 100 x 10 3/mm3, defek fungsi platelet, perpanjangan PT, dan
menurunnya aktivitas faktor koagulasi bisa tampak. DIC jarang dihubungkan dengan TTP dan HUS.

Trombositopenia karena induksi obat.


Ada banyak obat yang bisa memacu trombositopenia melalui imun. Antibodi drug-dependent
melawan platelet yang dibentuk setelah berikatan dengan obat ke molekul membran platelet
dengan aktivasi komplemen 69. Trombositopenia terjadi tiba-tiba dan perbaikan terjadi 5-7 hari
setelah penghentian pemberian obat. Obat yang banyak dihubungkan dengan trombositopenia
termasuk kuinidin, kuinin, rifampicin, dan trimetoprim sulfametoksazole 69. Sepertinya banyak
obat selama operatif adalah heparin. Heparin menginduksi trombositopenia (HIT) diperantarai
melalui antibodi IgG dan IgM, dan terjadi pada sampai 5% pasien yang diberikan heparin selama
lebih dari 5 hari 56. HIT juga bisa terjadi karena heparin menutupi kateter IV atau rembesar cairan
heparin. Meskipun lebih sering dengan heparin tanpa fraksi, juga ada reaktivitas silang dengan

11
LMWH. Manifestasi klinisnya bervariasi, dan HIT bisa tampak dengan perdarahan atau trombosis
karena agregasi platelet intravaskular. Pelepasan mendadak heparin sepertinya membalikkan
trombositopenia dalam waktu kurang dari 1 minggu. Hindari obat yang diketahui menyebabkan
trombositopenia pada pasien, dan normalisasi jumlah platelet adalah penting sebelum
melakukan tehnik neuraksial.

Trombastenia.
Glanzmann trombastenia (GT) adalah penyakit autosomal resesif yang ditandai dengan defek
kualitatif atau kuantitatif pada membran platelet glikoprotein IIb-IIIa 70. Glikoprotein ini mengikat
fibrinogen dan vWF dan memperantarai agregasi platelet dengan aktivator seperti kolagen, ADP,
epinefrin, asam arakidonik, dan trombin 69. Ada 2 jenis GT : tipe I dan tipe II. Sementara kedua
jenis tersebut ditandai dengan defisiensi glikoprotein IIb-IIIa, tipe I lebih berat dan disertai dengan
kadar fibrinogen yang rendah. Perdarahan mukokutaneus lebih berat dengan tipe I, dan gangguan
dikonfirmasi dengan platelet yang tidak beragregasi dengan adanya aktivator seperti epinefrin. GT
dapatan jarang ditemukan dan ditandai dengan normalnya glikoprotein IIb-IIIa, bahwa
nonfungsionalnya adalah karena autoantibodi 71.
Sindrom Bernard-Soulier adalah penyakit lainnya yang ditandai dengan agregasi platelet
yang tidak normal sebagai hasil dari adhesi yang tidak normal. Ini merupakan gangguan
autosomal resesif dengan abnormalitas kualitatif atau kuantitatif pada glikoprotein Ib-V-IX,
reseptor aktif untuk vWF 72. Sama dengan GT, sindrom muncul dengan perdarahan
mukokutaneus. Test Ristocetin menginduksi agregasi platelet (RIPA) menilai kemampuan vWF
untuk menunjang agregasi, adalah abnormal. Agregasi platelet terhadap agonist yang
membutuhkan fibrinogen untuk mengikat adalah abnormal pada pasien dengan GT, tapi tidak
berubah pada mereka dengan sindrom Bernard-Soulier 72.
Tidak ada laporan dalam literatur anestesi tentang pasien dengan GT atau sindrom
Bernard-Soulier mendapat tehnik neuraksial. Ini mungkin karena kelangkaan gangguan tersebut.
Sebagai tambahan, kebanyakan pasien memiliki riwayat perdarahan mukokutaneus dengan
abnormalitas platelet, dan kebanyakan ahli anestesi menghindari tehnik neuraksial pada pasien
ini. Terapi pilihan adalah transfusi trombosit, tapi transfusi berulang bisa berpengaruh akan
terbentuknya antibodi antiplatelet membuat sulit untuk memprediksi pasien yang akan
merespon.

Penilaian fungsi platelet.


Meskipun waktu perdarahan sepertinya meningkat pada pasien dengan fungsi platelet yang tidak
normal, determinasi waktu perdarahan dengan banyak limit. Hal ini tergantung operator dan dan
sulit untuk menstandarisasi dan mereproduksi. Tromboelastogram (TEG) menyediakan penilaian
global untuk koagulasi, termasuk faktor pembekuan dan fungsi platelet, dan interaksinya 73. TEG
dapat mendeterminasi bekuan, angka pembentukan bekuan dan kekuatannya, dan fibrinolisis.
Nilai TEG termasuk waktu R (waktu pembekuan pertama), waktu K dan sudut α (angka kekuatan
bekuan), MA ( kekuatan maksimum terbentuknya bekuan), dan LY30 (persen lisis 30 menit setelah
MA dicapai). Waktu K, sudut α, dan Ma lebih spesifik untuk aktivitas fibrinogen dan fungsi
platelet dan dipakai untuk menilai batas kekuatan bekuan seperti perubahan dalam respon
terhadap transfusi platelet. Sebagai tambahan, ada hubungan erat antara MA dan jumlah
platelet. Jumlah platelet diatas 75 x 103/mm3 dihubungkan dengan MA normal 73.
Penganalisa fungsi platelet (PFA-100) merupakan tehnik yang relatif baru untuk
membedakan fungsi platelet normal dan abnormal dan mengevaluasi hemostasis primer 74.
Waktu penilaiannya memerlukan darah lengkap untuk menemukan celah membran bioaktif yang
tertutupi dengan epinefrin agonist platelet dan ADP 74. Meskipun peningkatan waktu celah
berhubungan dengan penurunan fungsi platelet, sulit untuk membedakan defek kuantitatif dari
kaualitatif. PFA, bisa digunakan untuk mengikuti respon transfusi platelet pada pasien
trombastenia. Sama dengan TEG, waktu akhir PFA-100 berhubungan dengan jumlah platelet.

12
Jumlah platelet lebih dari 70 x 10 3/mm3 dihubungkan dengan waktu akhir normal 74. hasil dari TEG
dan PFA-100 lebih lanjut mendukung bahwa jumlah platelet lebih dari 75 x 10 3/mm3, tidak adanya
temuan signifikan pada riwayat dan pemeriksaan fisis, sepertinya dihubungkan dengan fungsi
platelet normal, dan karena itulah hemostasis primer normal. Tampaknya beralasan untuk
dilakukan dengan anestesi neuraksial jika TEG atau PFA normal.

Gangguan hemoragik genetik/turunan.


Von Willebrand disease (vWD) adalah gangguan hemoragik turunan yang paling banyak pada
kedua jenis seks. Prevalensi pasti penyakit ini tidak diketahui karena kecepatan variabel dan
pengurangan penetrans, tapi diperkirakan ditemukan pada 2-3% populasi umum 75. vWD ditandai
dengan penurunan secara kuantitatif (tipe 1 dan 3) atau abnormalitas kualitatif vWF (tipe 2, tabel
5-8). Terdapat defek dalam interaksi platelet dengan subendotelium (adhesi) dan platelet lainnya
(agregasi). vWF membawa faktor VIII kedalam sirkulasi, dan melindunginya dari inaktivasi dan
pembersihan 75. Pasien dengan vWD juga mengalami defek pembentukan fibrin. Pasien dengan
vWD tampak dengan tanda kerusakan platelet sebagai perdarahan mukokutaneus, termasuk
epistaksis, perdarahan gusi, mudah memar, dan menoragia.
vWD Tipe I merupakan jenis yang paling sering dan merupakan turunan autosomal
dominan. Ini merupakan bentuk yang lebih ringan dari penyakit tersebut, dan terhitung 70% dari
semua kasus. Terdapat penurunan level plasma vWF dan faktor VIII 75. Biasanya responsif
terhadap demopressin (DDAVP), dimana pelepasan vWF meningkat dari platelet dan sel
endotelial. Gejala biasanya membaik selama kehamilan karena peninggian fisiologi plasma faktor
VIII dan vWF 76.
vWD tipe 2 juga turunan yang memiliki bentuk autosomal dominan, tapi dengan
abnormalitas kualitatif vWF. Terhitung sampai 20-30% dari semua kasus vWD, dan ditandai
dengan sub-tipe yang bervariasi. Tipe 2A vWD terdapat multimer ukuran sedang dan besar dan
RIPA. Tipe 2B vWD terdapat multimer ukuran besar, dan hubungan antara platelet dan vWF
meningkat. Trombositopenia merupakan gambaran unik dari jenis vWD, tapi tidak memprediksi
beratnya secara klinis. Tipe 2M vWD memiliki multimer ukuran normal tapi ada penurunan fungsi
platelet-dependent vWF. Tipe 2N vWD memiliki defek dalam perikatan faktor VIII dan vWF 75.
Tipe 3 vWD merupakan bentuk turunan autosomal resesif dan jarang ditemukan. Ini
bentuk yang lebih berat dari vWD dan ditandai dengan jumlah minim vWF dan kadar plasma
rendah dari faktor VIII 75. Biasanya tampak dengan perdarahan hebat, tidak responsif terhadap
DDAVP, dan tidak membaik walaupun hamil.
Semua pasien dengan riwayat menyerupai vWD harus dilakukan skrining tes koagulasi,
termasuk penghitungan platelet, PT, dan aPTT untuk menyingkirkan penyebab lain perdarahan.
Tes khusus untuk vWD adalah penting untuk mengkonfirmasi diagnosis, dan untuk menegakkan
subklasifikasi dan pilihan terapi. Ristocetin cofactor activity assay (vWF:Rco) mengukur
pengikatan vWF terhadap platelet GpIb atau aktivitas vWF. Plasma antigen vWF (vWF:Ag)
mengkuantifasi defisiensi vWD, dan aktivitas factor VIII yang diukur dalam penilaian fungsi. Tes
RIPA menilai kemampuan platelet dihubungkan dengan vWF untuk menunjang agregasi. Gel
elektroforesis membantu dalam menggambarkan struktur multimer vWF 75.
DDAVP merupakan analog sintetik dari hormon antidiuretik dan meningkatkan level
faktor VIII dan vWF dengan membuat mereka terlepas dari sel endotelial 77. Ini sangat efektif
untuk vWD tipe 1 dengan angka respon kira-kira 80%. Respon dengan vWD tipe 2 tidak dapat
diprediksi. DDAVP merupakan kontraindikasi pada kasus penyakit 2b karena bisa memacu atau
memperburuk trombositopenia. Tidak ada respon pada pasien dengan penyakit tipe3 sama
minimalnya pada tiap vWF. DDAVP diberikan IV dengan dosis 0,2-0,4 ug/kgBB setelah 30 menit.
Kadar plasma faktor VIII dan vWF meningkat 3-5 kali, dan masih meningkat selama 8-10 jam
setelah pemberian DDAVP. Pengulangan dosis direkomendasikan setiap 12-24 jam. Faktor
antihemofilik/kompleks vWF (Humate P) merupakan konsentrat inaktivasi panas yang
mengandung lebih pada aktivitas vWF daripada faktor VIII dan diindikasikan untuk tipe 3 dan

13
beberapa kasus vWD tipe 2 77. Level plasma faktor VIII harus dimonitor selama terapi karena
merupakan prediktor utama pada hemostasis pembedahan. Level puncak plasma faktor VIII
dicapai setelah 6-8 jam setelah terapi.
Penanganan pasien vWD paling baik dilakukan dengan pendekatan multidisiplin yang
termasuk ahli bedah/obstetrisian, ahli darah, dan ahli anestesi. Ada hubungan langsung diantara
vWF:Ag; vWF:Rco, dan level faktor VIII dan hemostasis normal, dan kadang sulit memutuskan
untuk melakukan tehnik neuraksial pada pasien ini. Tehnik neuraksial merupakan kontraindikasi
jika skrining koagulasi abnormal, seperti pada kasus dengan jenis vWD lebih berat dimana vWF
ditandai menurun atau abnormal. Ada beberapa laporan pemberian anestesi neuraksial pada
pasien dengan bentuk ringan vWD tipe 1 tanpa komplikasi apapun yang mengikuti normalisasi
faktor VIII dan level plasma vWF selama kehamilan atau setelah terapi DDAVP 76,78. Adalah penting
untuk mengerti bahwa sementara vWD tipe 1 bisa dikoreksi untuk sementara selama kehamilan
atau dengan DDAVP, level vWD menurun setelah pemberian plasenta 8-10 jam bersamaan terapi
DDAVP. Hal ini memiliki beberapa implikasi saat menerima tehnik neuraksial, seperti pelepasan
kateter epidural yang bisa terjadi pada saat vWF dan level faktor VIII menurun.

Defisiensi faktor.
Faktor defisiensi yang banyak ditemukan termasuk faktor VIII, IX, dan XI. Hemofilia A dan B
merupakan penyakit X-linked dihubungkan dengan defisiensi faktor VIII dan IX. Penyakit ini
kebanyakan ditemukan pada pria (1/10,000) dan wanita caries biasanya terbebas dari komplikasi
perdarahan apapun. Tidak seperti gangguan platelet, perdarahan biasanya dalam, menyebabkan
hemarthrosis 79. Defisiensi faktor XI merupakan turunan bentuk autosomal resesif dan banyak
terdapat pada Ashkenazi Jews. Komplikasi perdarahan lebih sering pada wanita, termasuk
menoragia dan perdarahan post partum 76. Semua faktor defisiensi ini dihubungkan dengan
peninggian aPTT yang memiliki sugestif tinggi pada abnormalitas jalur intrinsik, semua faktor ini
penting untuk aktivasi faktor Xa, dimana bertugas untuk merubah protrombin menjadi trombin.
Tehnik neuraksial bisa dilakukan pada caries hemofilia yang memiliki level faktor yang
normal dan bebas dari komplikasi perdarahan. Meskipun tehnik neuraksial sebaiknya dihindari
pada pasien homozigous yang diketahui dengan defisiensi faktor, terdapat kasus dilaporkan
tehnik neuraksial pada psien dengan aPTT normal dan level faktor setelah terapi dihentikan 80.
Ada pula dilaporkan 2 pasien hamil dengan defisiensi faktor XI ringan sampai sedang dan aPTT
normal yang mendapat tehnik neuraksial tanpa komplikasi apapun 79. faktor XI adalah satu dari
beberapa faktor yang menurunkan progresi kehamilan. Adalah penting untuk mengerti bahwa
laporan kasus tehnik neuraksial yang diisolasi pada pasien ini harusnya tidak disamakan dengan
keselamatan, seperti hematom epidural dengan prevalensi rendah pada populasi umum
(1:150,000 - 1:220,000)3. Defisiensi faktor XII bisa mengacu pada peninggian aPTT tanpa diketahui
komplikasi perdarahannya. Pasien dengan defisiensi faktor ini harus melakukan pemeriksaan
hematologik lengkap untuk menyingkirkan penyebab lain peninggian aPTT, dan tehnik neuraksial
diperbolehkan bila tidak ada tendensi perdarahan.

Antibodi antifosfolipid.
Antikoagulan Lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACA) merupakan autoantibodi yang
menentang kompleks fosfolipid-protein dan bisa menyebabkan abnormalitas agregasi platelet
dan trombositopenia. Sirkulasi LAC digabung dengan tes koagulasi fosfolipid dependent
menghasilkan perpanjangan aPTT 81. LAC meningkatkan aPTT secara in vitro, tapi meningkatkan
pembekuan in vivo, dan pasien dengan LAC lebih mengalami trombotik daripada perdarahan
abnormal 82. Interaksi dari antibodi dengan fosfolipid dari membran platelet bisa mengkontribusi
trombus vena, arteri, dan plasental.
Tantangan bertambah saat pasien diterapi dengan heparin untuk mencegah komplikasi,
aPTT tampaknya masih tinggi bahkan setelah heparin dihentikan. Jika keputusan dibuat untuk
melakukan tehnik neuraksial, cek heparin darah, tes aktivasi pembekuan, atau waktu trombin

14
untuk memonitor kadar heparin. Determinasi dasar level aPTT direkomendasikan sebelum
memulai antikoagulasi heparin 81. Pilihan lain adalah memeriksa level anti-Xa untuk
memperkirakan respon heparin. Fosfolipid yang abnormal yang menambah peninggian aPTT
secara artifisial bisa dikonfirmasi dengan mengukur ACA dengan ELISA 82. Pemeriksaan fisis dan
riwayat secara hati-hati, seperti mendeterminasi jumlah platelet dan PT adalah penting untuk
menyingkirkan koagulopati lainnya.

Anestesi neuraksial atau insersi kateter dibawah anestesi umum.


Terdapat kontroversi yang disetujui pada insersi subarakhnoid atau kateter epidural, atau inisiasi
anestesi neuraksial saat pasien berada dibawah anestesi umum. Sementara kebanyakan yang
memperlihatkan tidak ada cedera neurologi jika pasien mendapat injeksi opioid intratekal 83,
drainase spinal 84, atau kateter epidural lumbar dibawah anestesi umum 85, insiden komplikasi
neurologi dihubungkan dengan tehnik neuraksial adalah terlalu kecil untuk memperbolehkan
determinasi resiko aktual dari praktek ini 85. Anestesi neuraksial pada anak hanya dimungkinkan
dibawah sedasi dalam atau anestesi umum, pada dewasa biasanya memungkinkan untuk
melakukan tehnik ini dengan sedasi minimal atau tidak sama sekali 86. komplikasi serius selama
anestesi neuraksial sepertinya terjadi setelah parestesi selama penusukan jarum, atau dengan
nyeri selama injeksi anestesi lokal 2. Analisis tertutup menunjukkan bahwa 39% cedera akar saraf
lumbosakral dihubungkan dengan parestesia selama penusukan jarum, dan 13% lainnya
dihubungkan dengan nyeri selama injeksi obat 87. Kasus cedera fungsi spinal cord servikal
permanen karena injeksi langsung spinal cord dengan anestesi lokal saat blok interskalenus
dilakukan dibawah anestesi umum telah dilaporkan 88. Komunikasi tertutup dengan pasien adalah
perlu dengan tujuan untuk mengenali parestesia selama insersi jarum atau nyeri selama injeksi
obat. Rosenquist dan Birnbach memperdebatkan bahwa rasio untung-rugi tidak mendukung
pemakaian tehnik neuraksial dibawah anestesi umum, bahkan bila dilakukan pada tingkat lumbal
86
. Terdapat tingkat vertebral dengan range luas dimana spinal cord berakhir, dan ahli anestesi
kadang kurang akurat mengidentifikasi spesifik ruang antar lumbar 89. Data yang mendukung
praktek insersi jarum dan kateter kedalam ruang epidural dan subarakhnoid pada dewasa dengan
sedasi minimal atau tanpa sedasi dengan tujuan untuk mengenal parestesia selama pemasangan
jarum atau kateter, atau injeksi obat.

Tehnik neuraksial bersamaan dengan penusukan dural atau penambalan darah epidural.
Telah dikatakan bahwa tambalan darah epidural yang sebelumnya untuk nyeri kepala setelah
penusukan dural bisa menyebabkan hilangnya ruang epidural. Pengaturan kembali bekuan darah
telah dihipotesis untuk pembentukan jaringan fibrosa disekeliling dura, menyebabkan obstruksi
yang menyebarkan anestesi lokal diruang epidural 90. Beberapa penulis telah melaporkan bahwa
penusukan dural sebelumnya dihubungkan dengan insiden yang lebih tinggi dari anestesi
epidural yang tidak adekuat, memerlukan dosis anestesi lokal yang lebih besar 91,92. Kemungkinan
penjelasan untuk penelitian ini termasuk adanya abnormalitas dalam ruang epidural yang
menimbulkan kesulitan dalam memulai tehnik epidural atau penusukan dural bisa menyebabkan
penyusunan kembali bentuk dural, menimbulkan perubahan diruang epidural.
Berlainan dengan laporan diatas, penulis lainnya telah melaporkan keberhasilan analgesia
epidural bersamaan dengan pembukaan dural atau penambalan darah epidural 93,94.
Pembelajaran ini menemukan tidak ada hubungan antara riwayat penambalan darah epidural
sebelumnya dan ketidak berhasilan anestesi neuraksial. Riwayat penusukan dural sebelumnya ,
telah dilaporkan meningkat kemungkinan dari penusukan 93.
Karena datanya bertentangan seperti efek penusukan dural sebelumnya dan penambalan
darah epidural, ini memungkinkan kehati-hatian dalam mennyingkap informasi pada pasien
bahwa penusukan dural sebelumnya bisa dihubungkan dengan inisiasi anestesi epidural yang
lebih sulit, dengan kemungkinan meningkatnya kekurang hati-hatian penusukan dural dan
anestesi yang gagal atau tidak adekuat.

15
Abnormalitas anatomi .
Pembedahan spinal sebelumnya.
Harrington menggambarkan secara original pemakaian distraksi dan kompresi batang untuk
terapi skoliosis pada tahun 1962 95. Tehnik operasi Harrington, Luque, dan Cotrell-Doubousett.
Kebanyakan dari balok ini adalah memindahkan proc. spinosus dan ligamentum interspinosus,
dekortikasi vertebrae, dan pemasangan material graft tulang pada vertebra 96.
Meskipun anestesi neuraksial tidak dikontraindikasikan pada pasien dengan
instrumentasi spinal sebelumnya, secara tehnik sulit karena untuk penggabungan area dari
jaringan parut atau graft tulang kadang ditemukan 96. Masalah lainnya yang mengkontribusi
menjadi derajat lebih besar dari kesulitan melakukan tehnik neuraksial termasuk perubahan
degeneratif lanjut dibawah area gabungan, melibatkan tingkat vertebra L4 dan L5 pada hampir
20% pasien, dan kemungkinan cedera ligamentum flavum selama prosedur pembedahan,
menyebabkan adhesi pada ruang epidural 96. Masalah potensial termasuk ketidakmampuan
melokalisasi ruang epidural, pembatasan penyebaran anestesi lokal diatas tingkat gabungan
spinal, dan meningkatnya insiden penusukan dural. Dalam rangkaian kecil dari 9 pasien dengan
balok Harrington mendapat analgesia apidural untuk persalinan, keberhasilan analgesia dirasakan
pada 7 pasien walaupun mendekati 50% pasien mengalami komplikasi telah dijelaskan
sebelumnya 96. Meskipun pasien ini menderita nyeri kepala setelah penusukan dural, penambalan
darah epidural akan sama sulitnya seperti tehnik original dan ada kemungkinan bahwa ruang
epidural telah hilang.
Radiografi konvensional dan cetakan dari laporan operasi sangat membantu sebelum
memulai anestesi neuraksial pada pasien dengan semua jenis balok 97. Radiografi AP dan lateral
memperlihatkan posisi elemen spinal, instrumentnya, dan material graft, dan bukti abnormalitas
anatomi. Tehnik spinal bisa dipilih dari epidural, karena sepertinya kurang mempengaruhi distorsi
ruang epidural, dan memiliki endpoint yang lebih spesifik, dan lebih terpercaya. Haruskah
penambahan waktu analgesia atau anestesi diperlukan, pemakaian kateter spinal
berkesinambungan bersamaan kelainan dural yang disengaja ataupun tidak telah digambarkan
97,98
. USG telah disarankan untuk membantu mengidentifikasi tanda dan melokalisasi midline 97.
Menariknya, balok bisa merupakan gambaran satu-satunya yang nyata pada USG untuk
membantu lokasi midline.
Kesimpulannya, tehnik neuraksial bisa ditawarkan pada pasien dengan instrument spinal
sebelumnya. Pasien ini bisa menolak menerima tehnik neuraksial karena cemas, nyeri punggung,
atau sederhana karena mereka telah diberitahu untuk menghindari semua instrumentasi
dibelakang mereka. Memastikan bahwa tehnik ini aman dan umumnya efektif adalah penting,
sementara pada waktu yang bersamaan menyingkap meningkatnya insiden komplikasi.

Penyakit lower back.


Anestesi neuraksial kadang dilakukan pada pasien diketahui dengan penyakit punggung,
kebanyakan terjadi mulai nyeri punggung bawah tanpa ada etiologi anatomi, sampai stenosis
spinal lumbar. Penyebab lainnya termasuk spondilolistesis dan herniasi diskus. Riwayat yang
sebenarnya dan pemeriksaan fisis adalah penting bertujuan untuk mengidentifikasi semua
penyakit muskular atau neurologi sebelum diberikan tehnik neuraksial. Meskipun cedera saraf
permanen sebagai akibat tehnik neuraksial sangat rendah, range antara 0,01 sampai 0,03%,
setiap patologi yang tidak terdokumentasi sebelum insersi jarum bisa dianjurkan untuk tehnik
neuraksial.
Terdapat perdebatan signifikan dalam literatur obstetri mengenai tehnik epidural dan
nyeri punggung post partum. Bahkan tinjauan retrospektif telah memperlihatkan satu kesatuan
100
, pembelajaran retrospektif telah memperlihatkan bahwa mayoritas ibu bersalin mengalami
nyeri punggung selama kehamilan dan sebelum tehnik epidural 101. Lebih dari itu, insiden nyeri

16
punggung post partum sama dengan tidak memperhatikan tindakan atau penolakan tehnik
neuraksial 101.
Parestesia kadang tampak bersamaan insersi jarum spinal kedalam ruang subarakhnoid
atau selama pemajuan kateter apidural. Meskipun parestesia lebih sering pada pasien dengan
patologi tulang belakang, ini tidak dihubungkan dengan kondisi neurologik jangka panjang 102.
Perhatian ekstrim harus dilakukan dengan adanya parestesia selama insersi jarum atau kateter.
Parestesia persisten, rekuren, atau palsu selama injeksi sepertinya dihubungkan dengan
radikulopati dengan distribusi yang sama 2. Variabel distribusi medikasi pada ruang epidural 103,
dan penundaan onset anestesi telah diperlihatkan pada pasien dengan skiatika 104. Penundaan
onset anestesi terjadi jika membandingkan pasien dengan patologi spinal atau pasien sehat,
seperti antara saraf terkena dan tidak terkena dan akar saraf pada pasien dengan patologi.
Tehnik regional tidak dikontraindikasikan pada adanya nyeri punggung dan sepertinya
tidak bereksaserbasi. Riwayat dan pemeriksaan fisis secara cermat akan memperlihatkan bahwa
penyebab nyeri punggung bukan selalu neurologik. Skiatika bisa terjadi dengan adanya herniasi
diskus lumbar dengan gejala radikular, dan pasien harus diinformasikan bahwa tehnik neuraksial
bisa menimbulkan gejala ini. Pembelajaran imaging seperti MRI membantu pada adanya gejala
radikular dan akan membantu mengidentifikasi lokasi cedera. Ruang L4-L5 dan L5-S1
diimplikasikan pada 95% kasus patologi spinal lumbar 105, dan paling baik untuk melakukan tehnik
neuraksial pada ruang yang berbeda. Akhirnya, penting untuk mendiskusikan dengan pasien
bahwa setiap patologi yang signifikan pada spinal lumbar bisa menyebabkan kesulitan prosedur
tehnik neuraksial secara teknis, dengan kemungkinan gejala patologi palsu, dan anestesi tidak
adekuat karena distribusi dari medikasi pada ruang epidural.

Infeksi terlokasi.
Pemberian tehnik neuraksial pada pasien dengan infeksi terlokasi, sebagian dekat situs
penusukan kulit, telah diperlihatkan dengan beberapa keraguan. Diperhatikan bahwa abses spinal
epidural atau meningitis spinal bisa terjadi 9,106,107. Sementara penyebaran hematogen dari lokasi
infeksi ke CSF telah diimplikasikan sebagai kemungkinan penyebab meningitis dan abses spinal
epidural 106,107, inokulasi bakteri langsung pada saat dimulai blok juga dapat dihitung untuk infeksi
neuraksial 106. Infeksi epidural dalam atau superfisial sepertinya lebih pada pasien di ICU, dengan
kateter epidural durasi panjang, mendapat imunosupresi atau antikoagulasi dosis rendah, atau
dengan diabetes atau kanker 106,109. Faktor resiko lain yang dapat diidentifikasi termasuk gagal
ginjal kronik, herpes zoster, dan rhematoid arthritis 110. Faktor ini harus dijadikan pertimbangan
saat memutuskan untuk menggunakan tehnik neuraksial pada pasien febris atau dengan infeksi
terlokasi. Khususnya, setiap tanda infeksi pada lokasi insersi harus diperlihatkan sebagai
kontraindikasi relatif pada tehnik neuraksial 108,111. Terdapat 1 hal yang direkomendasikan dengan
tujuan untuk menghindari kontaminasi selama pemasangan kateter epidural. Waktu yang cukup
harus sesuai untuk mengeringkan kulit dari preparat cair, dan beberapa hal harus diminimalisasi ,
dan lokasi kateter harus ditutup dengan kasa bersih pada saat pemasangan 110. Adalah penting
untuk memeriksa kateter setiap hari , melepasnya jika terdapat tanda infeksi pada lokasi
pemasangan, dan tetap mengawasi abses epidural saat kateter epidural dipasang pada lokasi
infeksi atau pada saat mengalami febris. Harus di waspadai pula abses epidural jika ada tanda
neurologi. Scan MRI juga harus dilakukan dan antibiotik untuk yang mencakup semua organisme,
Staphylococcus aureus, harus mulai diberikan 106. Ini memungkinkan diagnosis tepat dan terapi
mengurangi kemungkinan gejala neurologi sekuele.
Analisis untung-rugi harus dilakukan pada pasien dengan infeksi terlokasi sebelum mulai
diberikan anestesi neuraksial dan ini harus dibicarakan dengan pasien. Faktor resiko yang
meningkatkan predisposisi abses epidural pada pasien harus dijadikan pertimbangan. Pemakaian
antibiotik sebelum tehnik neuraksial biasanya direkomendasikan pada pasien dengan tidak ada
bukti hubungan penyebab dan efek antara tehnik neuraksial dan meningitis atau abses epidural
pada pasien ini, setiap komplikasi neurologi serius bisa jadi karena tehnik neuraksial. Awal

17
pemberian analgesia neuraksial untuk penanganan nyeri akut karena infeksi herpes zoster telah
didiskusikan.

 Preload – dependent conditions


Tehnik neuraksial bisa menyebabkan menurunnya preload dan afterload sekunder pada blok
simpatik dan dihubungkan dengan dilatasi vena dan arteri 112. Pasien dengan kondisi seperti
stenosis aorta (AS) dan kardiomiopati hipertrofi (IHSS), dihubungkan dengan dinamik
penyumbatan aliran keluar ventrikular kiri, menyerupai keadaan dibawah ini.

Stenosis aorta (AS)


Pasien dengan AS memiliki kompensasi hipertrofi konsentris ventrikular kiri dan stroke volume
(SV) (Tabel 5-8). Penurunan afterload mengeksaserbasi gradient jalur aliran keluar ventrikular kiri
dan menurunkan tekanan diastolik 113. Menurunnya preload bisa menyebabkan menurunnya SV.
Takikardi menurunkan waktu pengisian ventrikel kiri dan juga menyebabkan menurunnya SV.
Pasien dengan AS ketidak mampuan ventrikel kiri dan lebih tergantung pada kontraksi atrial
untuk mempertahankan preload. Pasien berada pada resiko tinggi akan iskemik miokardia
karena perfusi endokardium menurun pada hipertrofi jantung. Karena itu, penurunan afterload
dan preload, dan takikardi bisa mengarah pada menurunnya CO (Cardiac Output) dan tekanan
perfusi arteri koroner, yang bisa menyebabkan iskemik miokard, memperburuk fungsi ventrikel,
lebih lanjut menurunnya tekanan perfusi arteri koroner, memperburuk iskemik.
Simpatektomi akut yang diinduksi oleh induksi cepat anstesi neuraksial bisa
menyebabkan dekompensasi akut pada pasien dengan AS dan menurunkan afterload dan preload
secara akut. Karena itu anestesi single-shot spinal dikontraindikasikan.titrasi anestesi neuraksial
secara hati-hati perlu dilakukan pada pasien AS untuk menghindari penurunan tiba-tiba preload
dan SVR. Titrasi lambat tehnik neuraksial dengan monitoring berkelanjutan dan mempertahankan
tekanan atrial kanan atau status volume sentral diperbolehkan.
Lebih dipilih pemberian vasopresor yang bekerja langsung untuk mengembalikan SVR,
daripada cairan IV bolus, yang bisa menimbulkan gagal ventrikel kiri 114. Phenylephrine merupakan
vasokonstriktor pilihan yang menimbulkan hipotensi, tidak meningkatkan heart rate (HR) atau
kontraktilitasnya. Titrasi lambat tehnik epidural bisa dipakai dengan aman, terutama pada pasien
dengan penyakit ringan dan sedang, dari blok torasik yang adekuat 115. Pilihan lain termasuk
kombinasi spinal epidural atau tehnik spinal berkesinambungan , dengan onset bertahap
simpatektomi, pemberian vasopressor dengan titrasi secara berhati-hati diperbolehkan, resusitasi
cairan minimal berdasarkan tekanan atrial kanan yang diukur melalui vena sentral atau kateter
arteri pulmoner 116,117. Keamanan penggunaan anestesi spinal berkelanjutan telah diperlihatkan
pada pasien dengan AS berat yang dijadwalkan operasi panggul. Pengukuran tekanan arteri
pulmoner dan darah dan CO, penghitungan SVR, dan tingkat sensoris dipakai untuk memandu
infus anestesi lokal subarakhnoid 117.

Obstructive hypertrophic cardiomyopathy.


Obstructive hypertrophic cardiomyopathy, kadang ditunjukkan sebagai IHSS, ditandai dengan
hipertrofi septum interventrikular dan ventrikuler kiri yang menyebabkan obstruksi aliran keluar
ventrikuler kiri selama sistole 112,118. Sama dengan penanganan AS, adalah penting untuk
mempertahankan preload dan afterload dan menghindari takikardi. Pengurangan preload dan
afterload meningkatkan gradient aliran keluar ventrikuler kiri dan menurunkan pengisian ventrikel
kiri, kondisi seperti ini bisa menyebabkan hipotensi dan iskemia 118. Takikardi dan penambahan
kontraktilitas juga memperburuk obstruksi dinamik aliran ventrikuler kiri. Anestesi neuraksial
merupakan kontraindikasi relatif pada pasien ini karena onset cepat blok simpatik menurunkan
preload dan afterload, terutama setelah tehnik single-shot spinal. Epidural dan tehnik kombinasi
spinal-epidural, telah dipakai dengan aman pada pasien ini 118,119. Tujuannya adalah
mempertahankan euvolemia, resistensi vaskular, dan sinus ritme, kondisi yang diinginkan dengan

18
titrasi lambat tehnik neuraksial. Analgesia neuraksial pada persalinan bisa dimulai dengan opioid
intratekal saja (tidak anestesi lokal), diikuti dengan infus anestestik lokal epidural. Monitoring
tekanan darah dan tekanan sentral invasif melalui kateter arteri pulmonar atau sentral
direkomendasikan pada beberapa kasus berat. Hipotensi paling baik diterapi dengan
phenylephrine dosis IV.

 Kurang penjelasan
Konsep inform consent merupakan penanda etika medik modern dan menguatkan dasar
prinsip autonomi 120. Dua bagian kunci dari inform consent adalah pasien mengerti tentang resiko
dan keuntungan dari sebagian prosedur, dan rekomendasi psikian untuk pilihan terbaik yang
tersedia 120. Bagaimanapun, pasien mungkin tidak dapat membuat persetujuan karena perubahan
status mental, bahkan jika tehnik neuraksial merupakan yang paling baik bagi pasien. Karena ini
persetujuan digunakan pada kasus dimana terdapat kegawat daruratan, pada pasien dengan
perubahan status mental. Ahli anestesi memilih pilihan paling baik yang ada berdasarkan
informasi mendetail dan apa yang disukai pasien.
Beberapa memperdebatkan bahwa pasien dengan nyeri hebat mungkin tidak dapat
membuat surat persetujuan 120. Sementara yang lainnya memperlihatkan bahwa pasien dengan
nyeri persalinan signifikan merasa puas dengansurat persetujuan yang disediakan oleh ahli
anestesi. Menariknya, pasien merasa bahwa semua tehnik neuraksial berhubungkan dengan
komplikasi harus dijauhkan 121. juga telah diperdebatkan bahwa kebaikan moral diperlukan untuk
mengurangi nyeri dan, mengurangi nyeri lebih penting daripada surat persetujuan kecuali ada
penolakan pasien 122. Meski pemakaian analgesik atau sedatif untuk premedikasi tidak tampak
mempengaruhi proses surat persetujuan selama pasien tidak terlalu tersedasi untuk melakukan
percakapan 120, banyak yang mendikte bahwa persetujuan dibuat sebelumpemberian medikasi ini,
jika memungkinkan. Orangtua harus bisa membuat persetujuan untuk hal kecil,dan harus bisa
menyetujui sendiri 120.persetujuan perawatan kesehatan diperbolehkan pada kasus dimana
terdapat kekurangan kemampuan pasien. Bagaimanapun, keterangan kompetensi seharusnya
tidak disamakan dengan waktu proses surat persetujuan. Haruskah perawatan kesehatan tidak
tersedia , ketertarikan pasien harus dimasukkan jadi penilaian, keseimbangan resiko dan manfaat
tehnik neuraksial 120.
Surat persetujuan lebih dari menandatangani selembar kertas untuk perlindungan
medikolegal. Pasien harus mengerti manfaat dan resiko tehnik neuraksial dibandingkan pilihan
lainnya, dan diarahkan pada tehnik yang paling baik dan aman.

Laporan
Tehnik anestesi neuraksial memiliki beberapa manfaat yang dapat diterima dengan baik,
terutama untuk prosedur operasi tertentu atau populasi pasien. Anestesi neuraksial sekarang
lebih aman dari sebelumnya. Komplikasi utama sangat kurang. Pasien tertentu, bisa meningkat
resiko yang berhubungan dengan anestesi neuraksial, dan bahkan terdapat resiko utama pada
pasien. Sebagai contoh adalah pemberitaan LMWH pada awal 1990 yang mengarah pada banyak
kasus hematom epidural. Karena itu, penting untuk mengenali dan mengerti hubungan multipel
dimana tehnik anestesi neuraksial perlu ditoleransi untuk memastikan status patologi dan
fisiologi, atau kapan harus dihindari. Ini benar untuk hampir semua dalam membuat keputusan
medik, pengetahuan yang cermat tentang manfaat dan resiko dari prosedur dan status penyakit
adalah penting untuk membuat keputusan yang terbaik.

19

Anda mungkin juga menyukai