Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna begian atas (SCBA) merupakan suatu keadaan

yang berpotensi mengancam nyawa sehingga membutuhkan terapi yang cepat dan

tepat. Perdarahan SCBA menjadi beban ekonomi dan klinis yang signifikan di

Amerika Serikat dengan laju perawatan RS sebesar 165 per 100.000 orang dengan

biaya sekitar $2,5 milliar. Lebih banyak orang yang dirawat karena perdarahan

SCBA dibanding gagal jantung kongestif atau deep vein thrombosis (DVT).1

Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non-

varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan

prognosisnya. Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi dari penyakit

hati stadium akhir, dan perdarahan non-varises berhubungan dengan penyakit

ulkus peptik atau penyebab lain seperti gastritis erosif, gastropati kongestif,

sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan. Perdarahan saluran cerna bagian atas

(SCBA) umumnya empat kali lebih sering dari perdarahan saluran cerna bagian

bawah (SCBB).1,2,3

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran

makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Manifestasi klinik perdarahan saluran

cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak

1
sedikitnya darah yang hilang dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus

atau tidak. Kemungkinan pasien datang dengan: 1). Anemia defisiensi besi akibat

perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama, 2). Hematemesis dan atau

melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik;

derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien.1,2

2
BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti

perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,

diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas

hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.

Konsensus nasional PGI-PEGI-PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan

resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini

pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih

tinggi. Adapun langkah-langkah praktis pengelolaan perdarahan SCBA adalah

sebagai berikut:2

1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik;


2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik;
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain

yang diperlukan;
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian

bawah;
5. Menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan;
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab

perdarahan, mencegah perdarahan ulang.


Tegaknya diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah

terapi yang diambil.2

3
1. Pemeriksaan awal pada perdarahan saluran cerna

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah

menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.

Pemeriksaannya meliputi: 1). Tekanan darah dan nadi posisi baring, 2). Perubahan

ortostatik tekanan darah dan nadi, 3). Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral

dingin), 4). Kelayakan napas, 5). Tingkat kesadaran, 6). Produksi urin.2
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravascular

akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda

sebagai berikut: 1). Hipotensi (<90/60 mm Hg atau MAP < 70 mmHg dengan

frekuensi nadi >100/menit; 2). Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau

sistolik turun > 20 mmHg; 3). Frekuensi nadi ortostatik >15/ menit; 4). Akral

dingin; 5). Kesadaran menurun; 6). Anuria atau oliguria (produksi urin < 30

ml/jam).2
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi

hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: 1). Hematemesis, 2). Hematokesia

(berak darah), 3). Darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase

tidak segera jernih, hipotensi persisten, dan 5). Dalam 24 jam menghabiskan

transfusi darah melebihi 800-1000 ml.2

2. Stabilisasi Hemodinamik pada Perdarahan Saluran Cerna

4
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid

(misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum

berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous

pressure); tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap

stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran)

kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah

untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,

leukosit. Adanya kecurigaan diathesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan tes

Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi

bekuan darah, PPT, dan aPTT.2


Kapan transfusi darah dapat diberikan sifatnya sangat individual,

tergantung jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti,

lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut.

Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada

keadaan berikut ini: 1). Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil, 2).

Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau

lebih, 3). Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10 g%

atau hematokrit <30%. 4). Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang

menurun. Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah

perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses

hemodilusi dari cairan ekstravaskuler selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan.

Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang

5
dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%,

sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.2


Jangan berikan transfusi trombosit untuk pasien yang tidak perdarahan

aktif dan hemodinamik yang stabil. Berikan transfusi trombosit untuk pasien yang

perdarahan aktif dan memiliki jumlah trombosit < 50x109/l. Berikan fresh frozen

plasma untuk pasien yang memiliki fibrinogen < 1g/l, atau protrombin time (rasio

normal internasional) atau activated partial thromboplastin time > 1,5 kali

normal.4

3. Pemeriksaan Lanjut

Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik

lengkapi anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang

diperlukan.2
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan: 1). Sejak kapan terjadinya

perdarahan perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar. 2). Riwayat

perdarahan sebelumnya, 3). Riwayat perdarahan dalam keluarga, 4). Ada tidaknya

perdarahan di bagian tubuh lain 5). Penggunaan obat-obatan terutama anti

inflamasi non-steroid dan anti koagulan, 6). Kebiasaan minum alcohol, 7).

Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam

tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat-obatan, 8).

Riwayat transfusi sebelumnya.2

6
Pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan: 1). Stigmata penyakit hati

kronik 2). Suhu badan dan perdarahan di tempat lain, 3). Tanda-tanda kulit dan

mukosa penyakit sistematik yang bisa disertai perdarahan saluran cerna, misalnya

pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.2


Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan: 1).

Elektrokardiogram; terutama pasien berusia > 40 tahun, 2). BUN, kreatinin

serum; pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh kuman usus akan

mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau

sedikit meningkat, 3). Elektrolit (Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi

karena perdarahan, transfuse, atau kumbah lambung, 4). Pemeriksaan lainnya

tergantung macam kasus yang dihadapi.2

4. Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Atau Bawah

Cara praktis membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)

atau saluran cerna bagian bawah (SCBB) terdapat dalam tabel 1.2

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan


Tabel 1. Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB 2
Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/ melena Hematokesia
umumnya
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/ Kreatinin) Meningkat >35 <35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
seperti kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti

perdarahannya berasal dari SCBA. Timbul melena, berak hitam lengket dengan

7
bau busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50-100 ml atau

lebih. Untuk lebih memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis,

dapat dilakukan pemeriksaan digital rectum. Perdarahan SCBA dengan

manifestasi hematokezia (berak darah segar) dimungkinkan bila perdarahannya

cepat dan banyak melebihi 1000 ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak

stabil atau syok. Pada semua kasus perdarahan saluran makanan disarankan untuk

pemasangan pipa nasogastric, kecuali pada perdarahan kronik dengan

hemodinamik stabil atau yang sudah jelas perdarahan SCBB. Pada perdarahan

SCBA akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda

bahwa perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan kumbah lambung dengan

dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan

aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila

selama kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap

bukan perdarahan SCBA.2


Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk

memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24-48 jam

sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, diatas 35 kemungkinan

perdarahan berasal dari SCBA, dibawah 35 kemungkinan perdarahan SCBB. Pada

kasus yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah

pemeriksaan selanjutnya ialah endoskopi SCBA.2

5. Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

8
Di Indonesia sebagian besar (70-85%) hematemesis disebabkan oleh

pecahnya varises esofagus yang terjadi pada pasien sirosis hati sehingga

prognosisnya tergantung dari penyakit yang mendasari. 3 Dari 1673 kasus

perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr. Sutomo Surabaya,

penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis esofagus, 1,0%

tukak peptic, 0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab lain. Laporan

dari RS Pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3 penyebab

terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr. Sutomo Surabaya.

Sedangkan laporan dari RS Pemerintah di Ujung pandang menyebutkan tukak

peptic menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA. Laporan kasus di

rumah sakit swasta yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena tukak peptik

51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus 10,9%, keganasan 9,8%,

esophagitis 5,3%, sindrom Mallory-Weiss 1,4%, tidak diketahui 7%, dan

penyebab-penyebab lain 2,7%. Di negara barat tukak peptik berada di urutan

pertama penyebab perdarahan SCBA dengan frekuensi sekitar 50%.2


Walaupun pengelolaan perdarahan SCBA telah banyak berkembang

namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8-14%. Hal ini

dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat

komorbiditas yang menyertai.1,2,4


Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran

makanan ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid,

dan angiografi. Pada semua pasien dengan tanda-tanda perdarahan SCBA atau

9
yang asal perdarahannya masih meragukan, pemeriksaan endoskopi SCBA

merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus

diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa

pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal

perdarahan sulit diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan

radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan

perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung

tingkat keahlian, ketrampilan, dan pengalaman pelaksana.2


Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal

perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat

klasifikasi perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat

untuk menentukan tindakan selanjutnya.2

Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest 2


Aktivitas perdarahan Kriteria Endoskopis
Forest Ia Perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest Ib Perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II Perdarahan berhenti dan masih Gumpalan darah pada dasar
terdapat sisa-sisa perdarahan tukak atau terlihat pembuluh
darah
Forest III Perdarahan berhenti tanpa sisa Lesi tanpa tanda sisa
perdarahan perdarahan.

6. Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Non-Endoskopis

10
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan

adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur

ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik,

namun demikian manfaatnya dalam mengehentikan perdarahan tidak terbukti.

Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi

dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar

percobaan hewan, kumbah lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu

perdarahan jadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul

ulserasi pada mukosa lambung.2


Pada perdarahan saluran cerna ini dianggap terdapat gangguan hemostasis

berupa defisiensi kompleks protrombin sehingga diberikan vitamin K parenteral

dan bila diduga terdapat fibrinolisis sekunder dapat diberikan asam traneksamat

parenteral.3 Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang

mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian

tersebut tidak merugikan dan relatif murah.2

11
Gambar 1. Penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas.2
Vasopressin merupakan vasokonstriksi kuat yang dapat menghentikan

perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik,

menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Penatalaksanaan

dengan obat vasoaktif sebaiknya mulai diberikan saat datang ke rumah sakit pada

pasien dengan hipertensi portal dan dicurigai adanya perdarahan varises. Terapi

ini rasional bila tekanan portal yang tinggi ( > 20 mmHg) dengan prognosis yang

kurang baik. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung

vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan

oxytocin. 5,6

12
Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan

vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/iv

selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam; atau setelah pemberian

pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan

efek samping serius berupa insufisiensi coroner mendadak, oleh karena itu

pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin

intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan

sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik

diatas 90 mmHg.2
Terlipresin adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long acting,

bekerja lepas lambat. Memiliki efek samping kardiovaskuler lebih sedikit

dibandingkan dengan vasopresin. Pada pasien dengan sirosis dan hipertensi porta

terjadi sirkulasi hiperdinamik dengan vasodilatasi. Terlipresin memodifikasi

sistem hemodinamik dengan menurunkan cardiac output dan meningkatkan

tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler sistemik. Terlipresin memiliki efek

menguntungkan pada pasien kegagalan hepatorenal, yaitu dengan kegagalan

fungsi ginjal dan sirosis dekompensata. Dengan demikian, dapat mencegah gagal

ginjal, yang sering terdapat pada pasien dengan perdarahan varises. Ketika

dicurigai perdarahan varises diberikan dosis 2 mg/ jam untuk 48 jam pertama dan

dilanjutkan sampai dengan 5 hari kemudian dosis diturunkan 1 mg/ jam atau 12-

24 jam setelah perdarahan berhenti. Efek samping terlipresin berhubungan dengan

13
vasokonstriksi seperti iskemia jantung, infark saluran cerna dan iskemia anggota

badan.5,6,7
Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan

aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin.

Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun

1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan varises esofagus pada 70-

80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan akut non-varises. Dosis

pemberian somatostatin diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan perinfus

250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti; oktreotide dosis

bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai

perdarahan berhenti.2 Namun peranan somatostatin pada perdarahan non-varises

masih belum jelas dan tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan

penggunaan somatostatin atau analog sintetiknya pada terapi perdarahan SCBA

non-varises.8
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk

mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor pompa

proton dosis tinggi. Diawali dosis omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per

infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok placebo

20% sedangkan yang diberi omeprazole hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang

beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan perinfus

ialah persediaan esomeprazole dan pantoprazol dengan dosis sama seperti

omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor

14
H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab

perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA

karena tukak peptik kurang bermanfaat. Jangan memberikan PPI atau antagonis

reseptor H2 sebelum endoskopi pada pasien dengan suspek perdarahan SCBA

non-varises.2,4,8
Balon tamponade tepat di lakukan jika tidak ada pilihan endoskopik

emergensi atau setelah tindakan endoskopik, terapi operasi atau TIPS yang gagal.

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus

dimulai sekitar tahun 1950, paling popular adalah Sengtaken-Blakemore tube (SB-

tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing-masing untuk esofagus

dan lambung (Gambar 2). Balon lambung berfungsi sebagai jangkar agar SB tube

tidak keluar saat balon esofagus dikembangkan. Balon esofagus tersebut secara

tidak langsung menekan langsung pembuluh darah varises yang robek dan

berdarah. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal adalah

pneumoni aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya

tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga

medis yang berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat.2,3,7,9

Gambar 2. Pipa Sengstaken Blakemore 9

15
Endoskopi
.Endoskopi merupakan sarana diagnostik yang paling akurat. Endoskopi

membantu diagnosis, memberi petunjuk yang dapat membantu memperkirakan

dampak yang terpenting terapi segera yang dapat menghentikan perdarahan dan

mengurangi risiko perdarahan berulang. Harus dipertimbangkan kapan perlu

dilakukan prosedur ini. Apakah pemeriksaan endoskopi darurat akan merubah

pola penatalaksanaan saat itu. Apakah dukungan sarana personal dan sarana

medik saat itu cukup baik sehingga dapat mengantisipasi bila terjadi perburukan.

Terdapat laporan bahwa risiko endoskopi pada perdarahan SCBA sepuluh kali

lebih besar daripada endoskopi elektif. Disisi lain akurasi diagnosis yang telah

dicapai dengan kemajuan teknologi canggih ini ternyata tidak menurunkan angka

kematian keseluruhan pada perdarahan SCBA. Endoskopi darurat dikerjakan bila

didapatkan situasi dimana hasil pemeriksaan akan mengubah prinsip

penatalaksanaannya , terutama tindakan bedah. Untuk endoskopi darurat pada

perdarahan diperlukan endoskopi berlumen lebar dan ganda sehingga

memungkinkan penghisapan bekuan darah yang menghalangi lapangan pandang

dalam mengidentifikasi sumber perdarahan ataupun terapeutik.3,4


Terapi endoskopi dapat segera dilakukan pada pasien dengan perdarahan

saluran cerna bagian atas setelah diresusitasi karena endoskopi yang dini dapat

memperkirakan risiko perdarahan. Pasien dengan resiko rendah dapat keluar dari

rumah sakit pada tahap awal sehingga dapat mengurangi pengeluaran biaya

perawatan. Praktek klinis saat ini melibatkan endoskopi yang dilakukan dalam 24

16
jam sejak munculnya gejala. Endoskopi dan terapi endoskopi dini (<24 jam)

dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan transfusi dan operasi, menurunnya

perdarahan berulang dibandingkan pasien yang diendoskopi kemudian.4,8


Endoskopi ditujukan pada pasien dengan perdarahan tukak yang masih

aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:

1). Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 2).

Noncontact thermal (laser) 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin,

polidokanol, alcohol, cyanoacrylate, atau pemakaian klip).2


Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila

dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik

ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan 10% sisanya

tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga

pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%

perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan

arterial yang bisa behenti spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang relatif

mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa

sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap

kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alcohol dosis (98%) tidak melebihi 1 ml.

Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya

tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis

jaringan di lokasi penyuntikan dibandingkan adrenalin. Keberhasilan terapi

17
endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai diatas 95% dan tanpa

terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%. 2,8


Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena

varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi

perdarahan varises esofagus dengan cara memutus aliran darah kolateral dengan

cepat. Dengan ligase varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian

sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan

mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. dilakukan pada

varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami

perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur-bilur merah, noda

hematokistik pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligase

endoskopi sulit dilakukan karena perdarahan yang massif, terus berlangsung, atau

teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran

sama banyak polidokanol (etoksiskerol) 3%, NaCl 0,9%, dan alcohol absolut.

Skleroterapi dengan polidocanol (etoksiskerol), pada prinsipnya adalah

memberikan tekanan dan trombosis pada varises, menginduksi inflamasi dengan

akibat terbentuk parut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan.

Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke

proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Disuntikkan pada daerah para

varises atau intra varises. Terapi ini sudah terbukti, baik pada kasus dimana

lapang pandang buruk dan relatif lebih mudah dilakukan. Pada perdarahan varises

18
lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises

lambung hasilnya kurang baik.2,5,7,10

Gambar 3. Alat untuk ligasi.7 Gambar 4.

Alat dan terapi skleroterapi.5,7

Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung

dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai

gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan

19
dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada

kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat

dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).2,11


TIPS Merupakan cara untuk menurunkan tahanan aliran porta dengan cara

shunt (memotong) aliran melalui hati. Prinsipnya adalah menghubungkan vena

hepatik dengan cabang vena porta intrahepatik. Puncture needle di masukkan ke

dalam vena hepatik kanan melalui kateter jugular. Selanjutnya cabang vena porta

intra hepatik di tusuk, lubang tersebut dilebarkan kemudian di fiksasi dengan

expanding stent (Gambar 5).. Hal ini merupakan cara lain terakhir pada

perdarahan yang tidak berhenti atau gagal dengan farmakoterapi, ligasi atau

skleroterapi.5,7,12

Gambar 5. Skema pemasangan TIPS.7

Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medic, endoskopi, dan

radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam

20
bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk

menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.2,11

BAB II

KESIMPULAN

Penyebab perdarahan SCBA dapat digolongkan menjadi 2 kelompok,

perdarahan varises dan perdarahan nonvarises.


Pengelolaan perdarahan saluran makanan secara praktis meliputi: evaluasi

status hemodinamik, stabilisasi hemodnimaik, melanjutkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang dibutuhkan, memastikan

perdarahan saluran makanan bagian atas atau bawah, menegakan diagnosis pasti

penyebab perdarahan, terapi spesifik.


Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan SCBA ialah

penentuan status hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakan

diagnosis atau pemberian terapi lainnya.

21
Pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan cara terpilih untuk menegakkan

diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk melakukan

hemostasis. Pada perdarahan tukak lambung dapat dilakukan antara lain dengan

penyuntikan adrenalin 1:10000, sedangkan pada perdarahan varises esofagus

dengan ligase atau skleroterapi.


Manfaat terapi medik tergantung macam kelaianan yang menjadi

penyebab perdarahan. Somatostatin dapat digunakan untuk menghentikan

perdarahan SCBA, terutama pada perdarahan varises. Pada perdarahan karena

tukak peptic pemberian PPI intravena dosis tinggi bermanfaat untuk mencegah

perdarahan ulang.
Ahli radiologi dan ahli bedah seyogyanya dilibatkan dalm tim

multidisipliner pengelolaan perdarahan SCBA.

REFERENSI

1. Kim J. Management and prevention of upper GI bleeding. 2012. PSAP-VII

22
2. Sudoyo AW, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1, Edisi 5. 2009.

Jakarta: Interna Publishing. Hal 441-52.


3. Mansjoer A, dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke 3. Jilid 1. 2001.

Jakarta: Media Aesculapius Kapita Selekta Kedokteran. Hal 634-6.


4. Acute upper gastrointestinal bleeding; management. June 2012. National

Institute for Health and Clinical Excellence. p.8-11.


5. Bendtsen F, Krag A, Moller S. Treatment of acute variceal bleeding.

Digestive and liver disease. 2008. Available from: www.sciencedirect.com


6. Era AD, Franchis RD, Iannuzzi F. Acute variceal bleeding: pharmacological

treatment and primary/ secondary propilaxis. Best practice & research

clinical gastroenterology. 2008. Available from: http://www.scientdirect.com


7. Block B, Schachschal G, Schmidt H. Esophageal varices. In: Block B,

Schachschal G, Schmidt H. Endoscopy of the upper GI Tract. 2004.

Germany: Grammlich.
8. Management of acute upper and lower gastrointestinal bleeding. A national

clinical guidline. 2008. Scottish Intercollagiate Guidelines Network.


9. Treger R, Kulkami R. Sengstaken-Blakemore Tube 2011. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/81020-overview
10. Ala I, Sharara S, Don C, Rockey R. Gastroesophageal variceal hemorrhage.

2001. N Engl J Med


11. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of

upper gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician. Georgia Health

Sciences University, Augusta, Georgia. 2012;85(5):469-476.


12. Netiana, Juniati SH. Varises esofagus. 2012. Surabaya: FK Universitas

Airlangga.

23
24

Anda mungkin juga menyukai