BAB I
1.1 PENDAHULUAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran
makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk kepentingan klinis, dibedakan
perdarahan variseal esofagus dan non-variseal. Perdarahan SCBA merupakan masalah
medis yang sering terjadi di masyarakat, dapat berupa perdarahan yang samar yang
tidak dirasakan sampai perdarahan masif yang mengancam jiwa. Pada kasus ini
pasien bisa datang dengan anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang
berlangsung lama, hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan
atau tanpa gangguan hemodinamik.
Perdarahan SCBA dua kali lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita dan
prevalensinya meningkat dengan pertambahan usia. Meski pun dengan penanganan
yang baik, perdarahan ulang sering terjadi, yaitu sebanyak 15% dan angka mortalitas
di rumah sakit masih tinggi yaitu 13%.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk kepentingan klinis, dibedakan perdarahan
variseal esofagus dan non-variseal.(1)
2.2 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki insiden 40-50 kasus per
100.000 populasi di dunia. Penyebab tersering adalah perdarahan SCBA non-variseal,
termasuk ulkus peptikum 28%-59% (ulkus duodenal 17%-37% dan ulkus gaster 11-
24%), penyakit erosif pada esofagus/lambung/duodenum 1%-47%, sindroma Mallory-
Weiss 4% - 7%, keganasan saluran cerna 2%-4%, diagnosis lain 2%-7% dan 7%-
25% belum teridentifikasi.(2,3)
Pada kasus perdarahan SCBA non-variseal, kasus ulkus gaster lebih banyak
dibandingkan ulkus duodenum, namun mortalitas pasien dengan ulkus duodenum
lebih tinggi karena lebih memungkinkan terjadinya ruptur pada pembuluh darah besar
sehingga menyebabkan perdarahan yang lebih parah. (4) Pada 16 studi meta-analisis
yang melibatkan 1.633 responden, penggunaan AINS dan infeksi Helicobacter pylori
meningkatkan terjadinya risiko perdarahan saluran cerna.(5) H. pylori melekat pada
epitel gaster dan menyebabkan lapisan mukosa rentan terhadap kerusakan dengan
cara memproduksi enzim dan toksin, hal ini mempengaruhi kadar gastrin dan asam
lambung.(6) Sementara penggunaan AINS Ketorolac dan Piroxicam berada pada
urutan pertama penyebab terjadinya ulkus. (7)
Perdarahan variseal adalah komplikasi gawat darurat dari sirosis hepatis.
Pasien dengan sirosis hepatis harus melakukan skrining menggunakan endoskopi
untuk menentukan terdapat atau tidaknya varises esofagus. Apa bila tidak terdapat,
prosedur dilakukan kembali tiga tahun berikutnya dan bila terdapat varises esofagus,
pemberian obat beta bloker non-selektif perlu dipertimbangkan untuk menurunkan
tekanan pada vena porta dan mencegah kemungkinan terjadinya perdarahan
variseal.(8)
2
2.3 Etiologi
Penyebab tersering terjadinya perdarahan SCBA adalah sebagai berikut: (9)
Frekuensi
Diagnosis Klinis
(%)
Perdarahan ulkus Riwayat penggunaan aspirin atau AINS, 62
peptikum makan mengurangi nyeri perut, gejala
pada malam hari, riwayat perdarahan
ulkus peptikum atau infeksi H. pylori
Gastritis dan Sama seperti perdarahan ulkus peptikum 8
duodenitis
Varises esofagus Riwayat sirosis dan hipertensi porta 6
3
2.5 Pengelolaan Perdarahan SCBA
2.5.1 Pemeriksaan Awal, Evaluasi Status Hemodinamik dan Resusitasi
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Perdarahan akut
dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi
hemodinamik tidak stabil. Tanda dari hemodinamik yang tidak stabil adalah:
1) Hipotensi (tekanan darah <90/60 mmHg atau MAP <70mmHg) dengan
frekuensi nadi >100/menit. Volume darah merupakan komponen dari tekanan
darah maka apa bila terjadi hipovolemik, tekanan darah akan turun dan nadi
yang cepat merupakan mekanisme kompensasi otonom tubuh untuk
mempertahankan cardiac output agar perfusi ke jaringan tetap baik.
1) Tekanan diastolik ortostatik turun >10mmHg atau sistolik turun >20mmHg.
2) Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15/menit.
3) Akral dingin merupakan tanda dari hipoperfusi jaringan.
4) Kesadaran menurun dapat terjadi apabila perfusi ke otak menurun.
5) Oliguria atau anuria. Hipovolemik dapat menyebabkan terjadinya acute
kidney injury sehingga GFR menurun dan produksi urin pun berkurang.
Resusitasi meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi
koagulopati, dan transfusi darah bila dibutuhkan.(10) Tujuan dari resusitasi
hemodinamik adalah untuk memperbaiki hipovolemi intravaskular, mengembalikan
perfusi ke jaringan yang adekuat, dan mencegah kegagalan multi-organ. Resusitasi
hemodinamik yang intensif dan dilakukan segera pada perdarahan SCBA secara
signifikan menurunkan mortalitas.(11) Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan
cairan infus kristaloid. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan
golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit dan adanya
kecurigaan diathesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan menggunakan tes
Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan
darah, PPT dan aPTT.(1)
Batas transfusi darah adalah jika Hb 7,0 g/dL, lebih tinggi apabila perdarahan
masih berlanjut atau perdarahan masif atau adanya komorbid seperti penyakit jantung
koroner, hemodinamik tidak stabil, dan lanjut usia. Hemoglobin minimal untuk
endoskopi adalah 8 g/dL, namun jika akan dilakukan terapi endoskopi, hemoglobin
minimal 10 g/dL dan hemodinamik stabil.(10)
4
Indikator perdarahan masih terjadi adalah apabila salah satu dari kriteria
berikut terpenuhi: (20)
a. Terjadi hematemesis dalam 2 jam setelah tatalaksana medikamentosa atau
tindakan endoskopi terapeutik.
b. Pada pasien yang terpasang nasogastric tube tampak darah segar lebih dari
100ml.
c. Dalam keadaan pasien tanpa transfusi, Hb turun sebanyak 3 g/dL atau Ht
menurun sekitar 9% dalam 24 jam.
d. Terjadi syok hipovolemik. Observasi tanda-tanda vital pasien, tanda-tanda dari
syok hipovolemik adalah tekanan darah <90/60 mmHg atau MAP <70mmHg
dengan frekuensi nadi >100/menit, akral dingin, dan dapat terjadi penurunan
kesadaran.
e. Pasien meninggal.
Selang nasogastrik dapat dipasang untuk menilai perdarahan yang sedang
berlangsung pada hemodinamik tidak stabil; tujuan pemasangan adalah untuk
mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan evaluasi perdarahan. (10)
5
kemungkinan perdarahan berasal dari SCBA, sementara di bawah 35 kemungkinan
perdarahan SCBB.(1)
Sumber perdarahan dari saluran cerna atas (SCBA) atau saluran cerna bawah
(SCBB): (1)
SCBA SCBB
Manifestasi pada umumnya Hematemesis Hematokesia
dan/melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio Ur:Cr Meningkat >35 <35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
6
endoskopi untuk perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah
visibel tanpa perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren),
terapi endoskopi dapat dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi perdarahan
ulang. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan untuk ulkus dengan dasar bersih atau
bintik pigmentasi.(15)
Perdarahan ulkus aktif memerlukan kombinasi terapi hemostasis, salah
satunya adalah epinefrin yang dapat dikombinasikan dengan pemasangan hemoklip,
termokoagulasi, dan elektrokoagulasi.(10) Epinefrin tidak direkomendasikan sebagai
terapi tunggal.(10,15) Pasien dipulangkan jika tidak ada perdarahan ulang. Pasien dapat
memulai diet cair jernih segera setelah endoskopi dan ditingkatkan bertahap.(15) Bila
terjadi perdarahan ulang, endoskopi dapat diulang. Jika tidak dapat dihentikan dengan
endoskopi, dapat dilakukan pembedahan atau embolisasi arterial.(10) Pasien dengan
ulkus dasar bersih dapat langsung diberi diet lunak dan dipulangkan setelah endoskopi
bila status hemodinamik stabil, hemoglobin adekuat, dan tidak ada masalah medis
lain.(10)
2.5.3.3 Terapi Pasca Endoskopi
Farmakoterapi memiliki peran besar setelah endoskopi pada perdarahan
SCBA karena ulkus peptikum. PPI lebih superior dibandingkan antihistamin.(10)
Data terkini merekomendasikan pemberian PPI intravena dosis tinggi selama
72 jam untuk pasien risiko tinggi.(10) Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat diberi
terapi PPI dosis standar (oral satu kali per hari).(15) Pasien perdarahan ulkus peptikum
yang dipulangkan direkomendasikan mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan
dosis PPI tergantung etiologi dan penggunaan obat lain.(10) Tes H. pylori
direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus peptikum.(10) Jika hasil positif
maka diberikan terapi tripel selama 1 minggu. Setelah pemberian terapi eradikasi,
pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan menggunakan urea breath test (UBT) atau H.
pylori stool antigen test. Pemeriksaan dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir
terapi.(16) Jika terapi gagal mengeradikasi H. pylori, maka perlu diberikan terapi lini
kedua.(16) Diagnosis H. pylori memiliki nilai prediksi negatif rendah pada pasien
perdarahan SCBA akut, sehingga hasil tes negatif dalam kondisi akut perlu
diulang.(16)
Pemberian PPI dapat dihentikan setelah eradikasi H. pylori dinyatakan
berhasil, kecuali jika pasien memakai AINS. Bila AINS tetap diperlukan, sebaiknya
dari golongan COX-2-selective dengan dosis efektif terendah ditambah PPI. Pasien
7
ulkus idiopatik (non-H. pylori, non-AINS) perlu diberi PPI jangka panjang.(15) ACG
merekomendasikan untuk menghentikan dan menilai ulang kebutuhan aspirin untuk
pencegahan kejadian kardiovaskular primer. Aspirin perlu dilanjutkan jika digunakan
untuk pencegahan sekunder, idealnya dalam 1-3 hari, lebih pasti dalam 7 hari. ESGE
(European Society for Gynaecological Endoscopy) merekomendasikan pemberian
ulang terapi antikoagulan pada pasien yang memiliki indikasi pemakaian antikoagulan
jangka panjang. Saat aman untuk memulai kembali terapi adalah antara hari ke-7
sampai hari ke-15. Pemberian kurang dari 7 hari hanya pada pasien dengan risiko
trombosis besar.(17)
8
Saat melakukan penanganan perdarahan variseal akut, terdapat dua langkah
esensial: menghentikan perdarahan akut dan mencegah perdarahan ulang (profilaksis
sekunder). Penghentian perdarahan akut termasuk evaluasi dan resusitasi, transfusi
darah, penggunaan obat-obatan vasoaktif, melakukan tindakan endoskopi untuk
keperluan diagnostik dan terapi (kurang dari 12 jam setelah admisi ke rumah sakit),
profilaksis antibiotik dan mempertimbangkan pemasangan TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunt).(18)
9
3. Ocreotide 50 g bolus diikuti dengan drip 50 g/jam.
4. Vapreotide 50 g bolus diikuti dengan drip 50 g/jam.
Vasoaktif dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi coroner
mendadak oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat
nitrat, misal nitrogliserin i.v dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi
dinaikan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan
sistolik di atas 90mmHg.(1)
Obat vasoaktif diberikan dengan dilakukan juga terapi endoskopik. Obat
vasoaktif dilanjutkan sampai 5 hari setelah tatalaksana perdarahan akut. (20)
10
terjadi satu episode dari klinis perdarahan setelah 5 hari sejak dilakukan terapi.
Profilaksis sekunder harus dilakukan segera pada hari ke-6. Pemberian beta blocker
dan tindakan ligasi endoskopik merupakan terapi yang direkomendasikan.
Penambahan ISMN (isosorbide mononitrat) dapat meningkatkan efisiensi.(20)
11
a. Terjadi hematemesis dalam 2 jam setelah tatalaksana medikamentosa atau
tindakan endoskopi terapeutik.
b. Pada pasien yang terpasang nasogastric tube tampak darah segar lebih
dari 100ml.
c. Dalam keadaan pasien tanpa transfusi, Hb turun sebanyak 3 g/dL atau Ht
menurun sekitar 9% dalam 24 jam.
d. Terjadi syok hipovolemik. Observasi tanda-tanda vital pasien, tanda-tanda
dari syok hipovolemik adalah tekanan darah <90/60 mmHg atau MAP
<70mmHg dengan frekuensi nadi >100/menit, akral dingin, dan dapat
terjadi penurunan kesadaran.
e. Pasien meninggal.
Dikatakan terjadi perdarahan ulang apabila terjadi satu episode dari klinis
perdarahan setelah 5 hari sejak dilakukan terapi, hal ini menandakan kegagalan
dari profilaksis sekunder. Perdarahan ulang yang signifikan ditandai dengan
hematemesis atau melena sampai menyebabkan salah satu dari hal berikut: (20)
1. pasien perlu dibawa ke rumah sakit,
2. membutuhkan transfusi,
3. HB menurun hingga 3 g/dL di bawah normal dan
4. pasien meninggal dalam kurun waktu 6 minggu.
Pengelolaan kegagalan terapi dalam 5 hari pertama dapat dilakukan terapi
endoskopik ulang, apa bila masih terjadi perdarahan dan terjadinya persisten,
dilakukan TIPS dengan PTFE-covered stents merupakan pilihan terbaik.20
12
13
BAB III
KESIMPULAN
13
Perdarahan variseal adalah keadaan gawat darurat dan komplikasi yang lethal
dari sirosis, terutama pasien dengan kondisi dekompensasi. Saat melakukan
penanganan perdarahan variseal, terdapat dua langkah esensial: menghentikan
perdarahan akut dan mencegah perdarahan ulang, termasuk evaluasi dan resusitasi,
transfusi darah, penggunaan obat-obatan vasoaktif, melakukan tindakan endoskopi
untuk keperluan diagnostik dan terapi (kurang dari 12 jam setelah admisi ke rumah
sakit), profilaksis antibiotik dan mempertimbangkan pemasangan TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunt).
14
DAFTAR PUSTAKA
15
11. Baradarian R, Ramdhaney S, Chapalamadugu R et al. Early intensive
resuscitation of patients with upper gastrointestinal bleeding decreases
mortality. Am J Gastroenterol 2004; 99: 619622
12. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician 2012;85(5):469-76
13. Nugraha DA. Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas Non-Variseal. RSU Fastabiq Sehat, PKU Muhammadiyah, Pati, Jawa
Tengah, Indonesia
14. Sachar H, Vaidya K, Laaine L. Intermittenr vs continous proton pump
inhibitor therapy for high-risk bleeding ulcers-A systematic review and meta-
analysis. JAMA [Internet]. 2014 [cited April 2017]
15. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J
Gastroenterol. 2012;107:345- 60
16. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia dan Kelompok Studi Helicobacter
pylori Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori [Internet]. 2017 [cited 2017 January 6]. Available from:
http://pbgi.esy.es/wp-content/uploads/2015/09/Konsensus-Dispepsia-dan-
Helibacter-Pylori-2014.pdf
17. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et
al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal
hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE)
Guideline. Endoscopy. 2015;47(10):1-46. doi: 10.1055/s-0034-1393172.
18. Cremers I. Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding in patient. 2014, Vol. 7(5) 206216 DDOI: 10.1177/
1756283X14538688.
19. Garcia-Tsao, G. and Bosch, J. (2010) Management of varices and variceal
haemorrhage in cirrhosis. N Engl J Med 362: 823832
20. de Franchis. Revising consensus in portal hypertension: Report of the Baveno
V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal
hypertension. Journal of Hepatology 2010 vol. 53 j 76268
21. de Franchis. Expanding consensus in portal hypertension Report of the
Baveno VI Consensus Workshop: Stratifying risk and individualizing care for
portal hypertension. Journal of Hepatology 2015 vol. 63 j 743752
16
17