Anda di halaman 1dari 19

0

BAB I

1.1 PENDAHULUAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran
makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk kepentingan klinis, dibedakan
perdarahan variseal esofagus dan non-variseal. Perdarahan SCBA merupakan masalah
medis yang sering terjadi di masyarakat, dapat berupa perdarahan yang samar yang
tidak dirasakan sampai perdarahan masif yang mengancam jiwa. Pada kasus ini
pasien bisa datang dengan anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang
berlangsung lama, hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan
atau tanpa gangguan hemodinamik.
Perdarahan SCBA dua kali lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita dan
prevalensinya meningkat dengan pertambahan usia. Meski pun dengan penanganan
yang baik, perdarahan ulang sering terjadi, yaitu sebanyak 15% dan angka mortalitas
di rumah sakit masih tinggi yaitu 13%.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk kepentingan klinis, dibedakan perdarahan
variseal esofagus dan non-variseal.(1)

2.2 Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki insiden 40-50 kasus per
100.000 populasi di dunia. Penyebab tersering adalah perdarahan SCBA non-variseal,
termasuk ulkus peptikum 28%-59% (ulkus duodenal 17%-37% dan ulkus gaster 11-
24%), penyakit erosif pada esofagus/lambung/duodenum 1%-47%, sindroma Mallory-
Weiss 4% - 7%, keganasan saluran cerna 2%-4%, diagnosis lain 2%-7% dan 7%-
25% belum teridentifikasi.(2,3)
Pada kasus perdarahan SCBA non-variseal, kasus ulkus gaster lebih banyak
dibandingkan ulkus duodenum, namun mortalitas pasien dengan ulkus duodenum
lebih tinggi karena lebih memungkinkan terjadinya ruptur pada pembuluh darah besar
sehingga menyebabkan perdarahan yang lebih parah. (4) Pada 16 studi meta-analisis
yang melibatkan 1.633 responden, penggunaan AINS dan infeksi Helicobacter pylori
meningkatkan terjadinya risiko perdarahan saluran cerna.(5) H. pylori melekat pada
epitel gaster dan menyebabkan lapisan mukosa rentan terhadap kerusakan dengan
cara memproduksi enzim dan toksin, hal ini mempengaruhi kadar gastrin dan asam
lambung.(6) Sementara penggunaan AINS Ketorolac dan Piroxicam berada pada
urutan pertama penyebab terjadinya ulkus. (7)
Perdarahan variseal adalah komplikasi gawat darurat dari sirosis hepatis.
Pasien dengan sirosis hepatis harus melakukan skrining menggunakan endoskopi
untuk menentukan terdapat atau tidaknya varises esofagus. Apa bila tidak terdapat,
prosedur dilakukan kembali tiga tahun berikutnya dan bila terdapat varises esofagus,
pemberian obat beta bloker non-selektif perlu dipertimbangkan untuk menurunkan
tekanan pada vena porta dan mencegah kemungkinan terjadinya perdarahan
variseal.(8)

2
2.3 Etiologi
Penyebab tersering terjadinya perdarahan SCBA adalah sebagai berikut: (9)

Frekuensi
Diagnosis Klinis
(%)
Perdarahan ulkus Riwayat penggunaan aspirin atau AINS, 62
peptikum makan mengurangi nyeri perut, gejala
pada malam hari, riwayat perdarahan
ulkus peptikum atau infeksi H. pylori
Gastritis dan Sama seperti perdarahan ulkus peptikum 8
duodenitis
Varises esofagus Riwayat sirosis dan hipertensi porta 6

Sindroma Mallory- Riwayat muntah berulang 4


Weiss
Keganasan Riwayar turun BB, merokok atau 2
gastrointestinal konsumsi alkohol

Malformasi Painless bleeding pada lansia (lansia >70 10


arteriovenous tahun), riwayat anemia defisiensi besi
Esofagitis atau Heartburn, disfagia
ulkus esofageal
Ulkus Dieulafoy Painless bleeding, lebih sering pada laki-
laki
Tidak - 8
teridentifikasi

2.4 Manifestasi Klinis


Kemungkinan pasien datang dengan anemia defisiensi besi akibat perdarahan
tersembunyi yang berlangsung lama, hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa
anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan
tingkat kegawatan pasien.(1)
Warna muntahan atau feses yang berwarna gelap seperti kopi terjadi karena
bercampurnya darah dengan asam lambung. Kecurigaan perdarahan akut dalam
jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan
hematemesis, hematokesia, darah segar pada pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak
segera jernih, hipotensi persisten, dan dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah
melebihi 800-1000 ml.(1)

3
2.5 Pengelolaan Perdarahan SCBA
2.5.1 Pemeriksaan Awal, Evaluasi Status Hemodinamik dan Resusitasi
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Perdarahan akut
dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi
hemodinamik tidak stabil. Tanda dari hemodinamik yang tidak stabil adalah:
1) Hipotensi (tekanan darah <90/60 mmHg atau MAP <70mmHg) dengan
frekuensi nadi >100/menit. Volume darah merupakan komponen dari tekanan
darah maka apa bila terjadi hipovolemik, tekanan darah akan turun dan nadi
yang cepat merupakan mekanisme kompensasi otonom tubuh untuk
mempertahankan cardiac output agar perfusi ke jaringan tetap baik.
1) Tekanan diastolik ortostatik turun >10mmHg atau sistolik turun >20mmHg.
2) Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15/menit.
3) Akral dingin merupakan tanda dari hipoperfusi jaringan.
4) Kesadaran menurun dapat terjadi apabila perfusi ke otak menurun.
5) Oliguria atau anuria. Hipovolemik dapat menyebabkan terjadinya acute
kidney injury sehingga GFR menurun dan produksi urin pun berkurang.
Resusitasi meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi
koagulopati, dan transfusi darah bila dibutuhkan.(10) Tujuan dari resusitasi
hemodinamik adalah untuk memperbaiki hipovolemi intravaskular, mengembalikan
perfusi ke jaringan yang adekuat, dan mencegah kegagalan multi-organ. Resusitasi
hemodinamik yang intensif dan dilakukan segera pada perdarahan SCBA secara
signifikan menurunkan mortalitas.(11) Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan
cairan infus kristaloid. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan
golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit dan adanya
kecurigaan diathesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan menggunakan tes
Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan
darah, PPT dan aPTT.(1)
Batas transfusi darah adalah jika Hb 7,0 g/dL, lebih tinggi apabila perdarahan
masih berlanjut atau perdarahan masif atau adanya komorbid seperti penyakit jantung
koroner, hemodinamik tidak stabil, dan lanjut usia. Hemoglobin minimal untuk
endoskopi adalah 8 g/dL, namun jika akan dilakukan terapi endoskopi, hemoglobin
minimal 10 g/dL dan hemodinamik stabil.(10)

4
Indikator perdarahan masih terjadi adalah apabila salah satu dari kriteria
berikut terpenuhi: (20)
a. Terjadi hematemesis dalam 2 jam setelah tatalaksana medikamentosa atau
tindakan endoskopi terapeutik.
b. Pada pasien yang terpasang nasogastric tube tampak darah segar lebih dari
100ml.
c. Dalam keadaan pasien tanpa transfusi, Hb turun sebanyak 3 g/dL atau Ht
menurun sekitar 9% dalam 24 jam.
d. Terjadi syok hipovolemik. Observasi tanda-tanda vital pasien, tanda-tanda dari
syok hipovolemik adalah tekanan darah <90/60 mmHg atau MAP <70mmHg
dengan frekuensi nadi >100/menit, akral dingin, dan dapat terjadi penurunan
kesadaran.
e. Pasien meninggal.
Selang nasogastrik dapat dipasang untuk menilai perdarahan yang sedang
berlangsung pada hemodinamik tidak stabil; tujuan pemasangan adalah untuk
mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan evaluasi perdarahan. (10)

2.5.2 Diagnosis Penyebab Perdarahan


Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik, tegakan
diagnosis penyebab terjadinya perdarahan.(1)
Dalam anamnesis perlu ditekankan: 1) Sejak kapan terjadinya perdarahan dan
berapa perkiraan darah yang keluar, 2) Riwayat perdarahan sebelumnya, 3) Riwayat
perdarahan dalam keluarga. 4) Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain, 5)
Penggunaan obat-obatan terumata AINS dan antikoagulan, 6) Kebiasaan minum
alkohol, 7) Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah,
demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi dan alergi obat-obatan,
8) Riwayat transfusi sebelumnya. (1)
Pemeriksaan fisik harus menilai adanya defans muskuler, nyeri tekan lepas,
skar bekas operasi, dan stigmata penyakit hepar kronik. Pemeriksaan rektum
dilakukan untuk menilai warna feses. Spesimen feses perlu diambil untuk tes darah
samar.(12)
Pada pemeriksaan laboratorium, perbandingan BUN dan kreatinin serum juga
dapat dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai
dalam 24-48 jam sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35

5
kemungkinan perdarahan berasal dari SCBA, sementara di bawah 35 kemungkinan
perdarahan SCBB.(1)
Sumber perdarahan dari saluran cerna atas (SCBA) atau saluran cerna bawah
(SCBB): (1)
SCBA SCBB
Manifestasi pada umumnya Hematemesis Hematokesia
dan/melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio Ur:Cr Meningkat >35 <35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

2.5.3 Perdarahan SCBA Non-variseal


2.5.3.1 Tatalaksana Awal
Terapi pra-endoskopi dengan proton pump inhibitor (PPI) direkomendasikan
pada perdarahan ulkus peptikum; PPI dapat dengan cepat menetralkan asam
lambung.(10,13) pH in vitro di atas 6 dapat mendukung pembentukan dan stabilitas
bekuan.(13,14) Lingkungan asam dapat menghambat agregasi trombosit dan koagulasi
plasma, juga menyebabkan lisis bekuan. ACG (American College of
Gastroenterology) merekomendasikan pemberian PPI bolus 80 mg diikuti dengan
infus 8 mg/jam untuk mengurangi tingkat stigmata dan mengurangi terapi endoskopi.
Meskipun begitu PPI tidak menurunkan angka perdarahan ulang, pembedahan, dan
kematian.(15)
Jika endoskopi ditunda dan tidak dapat dilakukan, terapi PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut.(10)

2.5.3.2 Tatalaksana Endoskopi


Tatalaksana endoskopi direkomendasikan dalam 24 jam; pada pasien risiko
tinggi seperti instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah
resusitasi atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang nasogastrik,
endoskopi dilakukan segera dalam 12 jam.(10)
Di lain pihak, endoskopi yang segera dilakukan meningkatkan risiko
desaturasi terutama bila dilakukan sebelum resusitasi dan stabilisasi. Pada pasien
dengan status hemodinamik stabil dan tanpa komorbid serius, endoskopi dapat
dilakukan sebelum pasien pulang. Tujuan endoskopi adalah untuk menghentikan
perdarahan aktif dan mencegah perdarahan ulang.(10) ACG merekomendasikan terapi

6
endoskopi untuk perdarahan aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah
visibel tanpa perdarahan. Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren),
terapi endoskopi dapat dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi perdarahan
ulang. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan untuk ulkus dengan dasar bersih atau
bintik pigmentasi.(15)
Perdarahan ulkus aktif memerlukan kombinasi terapi hemostasis, salah
satunya adalah epinefrin yang dapat dikombinasikan dengan pemasangan hemoklip,
termokoagulasi, dan elektrokoagulasi.(10) Epinefrin tidak direkomendasikan sebagai
terapi tunggal.(10,15) Pasien dipulangkan jika tidak ada perdarahan ulang. Pasien dapat
memulai diet cair jernih segera setelah endoskopi dan ditingkatkan bertahap.(15) Bila
terjadi perdarahan ulang, endoskopi dapat diulang. Jika tidak dapat dihentikan dengan
endoskopi, dapat dilakukan pembedahan atau embolisasi arterial.(10) Pasien dengan
ulkus dasar bersih dapat langsung diberi diet lunak dan dipulangkan setelah endoskopi
bila status hemodinamik stabil, hemoglobin adekuat, dan tidak ada masalah medis
lain.(10)
2.5.3.3 Terapi Pasca Endoskopi
Farmakoterapi memiliki peran besar setelah endoskopi pada perdarahan
SCBA karena ulkus peptikum. PPI lebih superior dibandingkan antihistamin.(10)
Data terkini merekomendasikan pemberian PPI intravena dosis tinggi selama
72 jam untuk pasien risiko tinggi.(10) Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat diberi
terapi PPI dosis standar (oral satu kali per hari).(15) Pasien perdarahan ulkus peptikum
yang dipulangkan direkomendasikan mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan
dosis PPI tergantung etiologi dan penggunaan obat lain.(10) Tes H. pylori
direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus peptikum.(10) Jika hasil positif
maka diberikan terapi tripel selama 1 minggu. Setelah pemberian terapi eradikasi,
pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan menggunakan urea breath test (UBT) atau H.
pylori stool antigen test. Pemeriksaan dilakukan paling tidak 4 minggu setelah akhir
terapi.(16) Jika terapi gagal mengeradikasi H. pylori, maka perlu diberikan terapi lini
kedua.(16) Diagnosis H. pylori memiliki nilai prediksi negatif rendah pada pasien
perdarahan SCBA akut, sehingga hasil tes negatif dalam kondisi akut perlu
diulang.(16)
Pemberian PPI dapat dihentikan setelah eradikasi H. pylori dinyatakan
berhasil, kecuali jika pasien memakai AINS. Bila AINS tetap diperlukan, sebaiknya
dari golongan COX-2-selective dengan dosis efektif terendah ditambah PPI. Pasien

7
ulkus idiopatik (non-H. pylori, non-AINS) perlu diberi PPI jangka panjang.(15) ACG
merekomendasikan untuk menghentikan dan menilai ulang kebutuhan aspirin untuk
pencegahan kejadian kardiovaskular primer. Aspirin perlu dilanjutkan jika digunakan
untuk pencegahan sekunder, idealnya dalam 1-3 hari, lebih pasti dalam 7 hari. ESGE
(European Society for Gynaecological Endoscopy) merekomendasikan pemberian
ulang terapi antikoagulan pada pasien yang memiliki indikasi pemakaian antikoagulan
jangka panjang. Saat aman untuk memulai kembali terapi adalah antara hari ke-7
sampai hari ke-15. Pemberian kurang dari 7 hari hanya pada pasien dengan risiko
trombosis besar.(17)

2.5.4 Perdarahan SCBA Variseal


Perdarahan variseal adalah keadaan gawat darurat dan komplikasi yang lethal
dari sirosis, terutama pasien dengan kondisi dekompensasi. Penanganan pada pasien
dengan perdarahan variseal harus cepat dan efisien untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas.(18) Perdarahan variseal bisa disebabkan oleh selain sirosis hepatic, yaitu
Budd-Chiari syndrome (hepatic venous outflow tract obstruction), extra-hepatic
portal vein obstruction, dan idiopathic portal hypertension.(20) Referat ini
memfokuskan pada pembahasan perdarahan SCBA variseal yang disebabkan oleh
sirosis hepatik.
Terapi dari hipertensi portal karena sirosis hepatik terdiri dari pencegahan pre-
primer (mencegah terbentuknya varises esofagus), pencegahan primer (mencegah
terjadinya perdarahan variseal pada pasien dengan varises esofagus) dan pencegahan
sekunder (mencegah terjadinya perdarahan ulang setelah terjadi perdarahan akut).(20)
Pencegahan pre-primer melibatkan pasien yang telah terdiagnosis sirosis
hepatis dan terbukti belum terjadi varises esofagus, skrining dilakukan kembali dalam
interval waktu 2 tahun. Pada pencegahan pre-primer dilakukan pengobatan penyakit
liver yang mendasari dan mencegah komplikasinya. Pada tahap ini tidak
direkomendasikan penggunaan obat-obatan beta bloker untuk mencegah terbentuknya
varises esofagus. (20,21)
Pencegahan primer yaitu mencegah ruptur varises esofagus, pada pasien
dengan varises esofagus yang kecil perlu diberikan obat beta bloker non-selektif dan
pemeriksaan varises esofagus setiap tahun. Pada pasien dengan varises esofagus
sedang sampai besar juga diberikan diberikan obat beta bloker non-selektif atau
dilakukan endoscopic band ligation. (20)

8
Saat melakukan penanganan perdarahan variseal akut, terdapat dua langkah
esensial: menghentikan perdarahan akut dan mencegah perdarahan ulang (profilaksis
sekunder). Penghentian perdarahan akut termasuk evaluasi dan resusitasi, transfusi
darah, penggunaan obat-obatan vasoaktif, melakukan tindakan endoskopi untuk
keperluan diagnostik dan terapi (kurang dari 12 jam setelah admisi ke rumah sakit),
profilaksis antibiotik dan mempertimbangkan pemasangan TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunt).(18)

2.5.4.1 Tatalaksana Perdarahan Akut


2.5.4.1.1 Evaluasi Awal dan Resusitasi
Pembebasan jalan napas perlu dipertimbangkan, pemasangan intubasi
endotrakheal disarankan untuk dilakukan sebelum endoskopi pada pasien yang sedang
mengalami hematemesis, ketidakstabilan hemodinamik meski pun dengan loading
cairan, agitasi dengan keadaan tidak kooperatif saat pemeriksaan, atau pasien dengan
GCS kurang dari delapan.(19)
Akses intravena harus terpasang. Penggantian cairan diberikan dengan tujuan
mempertahankan tekanan darah di atas 100mmHg. Transfusi darah diberikan dengan
tujuan mempertahankan Hb antara 7 dan 8 g/dL atau Ht setidaknya 24%. Koreksi
koagulopati dan trombositopenia yang sering terjadi pada pasien dengan sirosis, tidak
diindikasikan. Transfusi berlebihan menggunakan plasma dan platelet dapat
meningkatkan tekanan porta hepatik dan menyebabkan perdarahan dan
rebleeding.(19,20)
2.5.4.1.2 Terapi Obat-obatan Vasoaktif
Obat-obatan vasoaktif diberikan dengan segera, idealnya saat transportasi ke
rumah sakit atau setibanya pasien di rumah sakit, sebelum endoskopi, apa bila pasien
suspek perdarahan variseal, dan harus dilanjutkan selama lima hari. Hal ini adalah
yang terpenting untuk menurunkan mortalitas dan meraih hemostasis pada 80%
pasien.(19)
Obat-obatan vasoaktif menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh splenik,
sehingga menurunkan hipertensi portal dan menurunkan atau menghentikan
perdarahan variseal. Obat-obatan yang sering digunakan adalah:(19)
1. somatostatin 250 g bolus diikuti dengan drip 250-500g/jam.
2. terlipressin 2mg intravena setiap empat jam dalam 48 jam pertama, diturunkan
1mg setiap 4 jam selama tiga hari selanjutnya.

9
3. Ocreotide 50 g bolus diikuti dengan drip 50 g/jam.
4. Vapreotide 50 g bolus diikuti dengan drip 50 g/jam.
Vasoaktif dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi coroner
mendadak oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat
nitrat, misal nitrogliserin i.v dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi
dinaikan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan
sistolik di atas 90mmHg.(1)
Obat vasoaktif diberikan dengan dilakukan juga terapi endoskopik. Obat
vasoaktif dilanjutkan sampai 5 hari setelah tatalaksana perdarahan akut. (20)

2.5.4.1.3 Profilkasis Antibiotik


Selama dua dekade terakhir telah diketahui bahwa pasien sirosis dengan
perdarahan variseal memiliki risiko tinggi terinfeksi bakteri yang berhubungan
dengan perdarahan ulang dan mortalitas yang tinggi. Hal tersebut dapat dicegah
dengan pemberian antibiotik profilaksis. Antibiotik yang direkomendasikan adalah
norfloxacin 400 mg peroral dua kali sehari atau ciprofloxacin 200 mg intravena dua
kali sehari apa bila tidak bisa peroral.(18)

2.5.4.1.4 Tatalaksana Endoskopi


Pada pasien dengan perdarahan variseal akut direkomendasikan untuk
(20)
dilakukan EVL (endoscopic variceal ligation). Tindakan endoskopi dilakukan
dalam 12 jam pertama setelah pasien masuk rumah sakit.
Endoskopi idealnya dilakukan dalam keadaan lambung yang kosong, kumbah
lambung biasanya dilakukan dengan tujuan tersebut, namun berhubungan dengan
beberapa komplikasi dan tidak efisien dalam beberapa kasus. Kumbah lambung
dilakukan menggunakan air suhu kamar.(1)
Mengenai terapi endoskopi, ligasi lebih dipilih dibandingkan skleroterapi
karena mencegah perdarahan ulang lebih baik dan memiliki lebih sedikit efek
samping. Terapi kombinasi antara obat-obatan vasoaktif dan terapi endoskopi lebih
efektif dibandingkan dengan terapi hanya salah satunya.(18)

2.5.4.2 Profilaksis Sekunder


Profilaksis sekunder adalah pencegahan terjadinya perdarahan ulang setelah
dilakukan tatalaksana perdarahan akut. Dikatakan terjadi perdarahan ulang apabila

10
terjadi satu episode dari klinis perdarahan setelah 5 hari sejak dilakukan terapi.
Profilaksis sekunder harus dilakukan segera pada hari ke-6. Pemberian beta blocker
dan tindakan ligasi endoskopik merupakan terapi yang direkomendasikan.
Penambahan ISMN (isosorbide mononitrat) dapat meningkatkan efisiensi.(20)

2.5.4.3 Evaluasi Setelah Tatalaksana


Kegagalan mengontrol perdarahan melibatkan perubahan tatalaksana. Untuk
varises esofagus tindakan endoskopi terapeutik dapat dilakukan kembali untuk kedua
kalinya. Untuk varises gaster, hanya satu kali tindakan endoskopik yang boleh
dilakukan, apa bila terjadi perdarahan ulang atau perdarahan belum berhenti,
tatalaksana lain harus dilakukan. Obat-obatan vasoaktif diberikan sampai dosis
maksimal. Apa bila terapi endoskopi dan obat-obatan masih belum berhasil, langkah
selanjutnya harus dilakukan. Apa bila pasien dalam kondisi tidak stabil, tamponade
balon varises atau Linton sementara digunakan pada kasus varises esofagus dan gaster
sambil menunggu dipersiapkannya terapi yang lebih definitf yaitu TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunt). (19)
Terapi TIPS digunakan sebagai terapi penyelamat apa bila perdarahan varises
esofagus atau gaster tidak dapat diatasi dengan terapi konvensional endoskopi dan
medikamentosa.(19) Terapi TIPS dalam 72 jam pertama perlu dipersiapkan untuk
pasien yang berisiko tinggi gagal dengan terapi obat vasoaktif dan endoskopik gagal,
contohnya pada pasien dengan kriteria Child-Pugh kelas C < 14 poin atau Child kelas
B dengan perdarahan aktif.(20)
Penggunaan stent (Polytetrafluoroethylene (PTFE) covered stents) dilakukan
pada perdarahan variseal yang refrakter. Evaluasi lebih lanjut diperlukan.(20)
Penggunaan tamponade balon hanya dilakukan pada perdarahan masif,
digunakan sementara maksimal selama 24 jam sampai terapi definitif dapat
dilakukan.(20)
Suatu penanganan perdarahan variseal disebut gagal apa bila dalam kurun
waktu 120 jam (5 hari) perdarahan akut masih terjadi meski sudah dilakukan ligase
endoskopik dan pemberian obat-obatan vasoaktif. Indikator perdarahan masih terjadi
adalah apabila salah satu dari kriteria berikut terpenuhi: (20)

11
a. Terjadi hematemesis dalam 2 jam setelah tatalaksana medikamentosa atau
tindakan endoskopi terapeutik.
b. Pada pasien yang terpasang nasogastric tube tampak darah segar lebih
dari 100ml.
c. Dalam keadaan pasien tanpa transfusi, Hb turun sebanyak 3 g/dL atau Ht
menurun sekitar 9% dalam 24 jam.
d. Terjadi syok hipovolemik. Observasi tanda-tanda vital pasien, tanda-tanda
dari syok hipovolemik adalah tekanan darah <90/60 mmHg atau MAP
<70mmHg dengan frekuensi nadi >100/menit, akral dingin, dan dapat
terjadi penurunan kesadaran.
e. Pasien meninggal.

Dikatakan terjadi perdarahan ulang apabila terjadi satu episode dari klinis
perdarahan setelah 5 hari sejak dilakukan terapi, hal ini menandakan kegagalan
dari profilaksis sekunder. Perdarahan ulang yang signifikan ditandai dengan
hematemesis atau melena sampai menyebabkan salah satu dari hal berikut: (20)
1. pasien perlu dibawa ke rumah sakit,
2. membutuhkan transfusi,
3. HB menurun hingga 3 g/dL di bawah normal dan
4. pasien meninggal dalam kurun waktu 6 minggu.
Pengelolaan kegagalan terapi dalam 5 hari pertama dapat dilakukan terapi
endoskopik ulang, apa bila masih terjadi perdarahan dan terjadinya persisten,
dilakukan TIPS dengan PTFE-covered stents merupakan pilihan terbaik.20

12
13
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran


makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk kepentingan klinis, dibedakan
perdarahan variseal esofagus dan non-variseal. Pada kasus ini pasien bisa datang
dengan anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama,
hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan
hemodinamik.
Penyebab tersering adalah perdarahan SCBA non-variseal, di mana kasus
ulkus gaster lebih banyak dibandingkan ulkus duodenum. penggunaan AINS dan
infeksi Helicobacter pylori meningkatkan terjadinya risiko perdarahan saluran cerna.
Ketorolac dan Piroxicam berada pada urutan pertama penyebab terjadinya ulkus.
Perdarahan variseal adalah komplikasi gawat darurat dari sirosis hepatis.
Pasien dengan sirosis hepatis harus melakukan skrining menggunakan endoskopi
untuk menentukan terdapat atau tidaknya varises esofagus.
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Perdarahan akut
dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi
hemodinamik tidak stabil.
Tujuan dari resusitasi hemodinamik adalah untuk memperbaiki hipovolemi
intravaskular, mengembalikan perfusi ke jaringan yang adekuat, dan mencegah
kegagalan multi-organ. Resusitasi hemodinamik yang intensif dan dilakukan segera
pada perdarahan SCBA secara signifikan menurunkan mortalitas. Sambil melakukan
upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik, tegakan diagnosis penyebab
terjadinya perdarahan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Untuk tatalaksana perdarahan SCBA non-variseal, terapi pra-endoskopi
dengan proton pump inhibitor (PPI) direkomendasikan. Tujuan endoskopi adalah
untuk menghentikan perdarahan aktif dan mencegah perdarahan ulang. Perdarahan
ulkus aktif memerlukan kombinasi terapi hemostasis. Farmakoterapi memiliki peran
besar setelah endoskopi. Pasien perdarahan ulkus peptikum yang dipulangkan
direkomendasikan mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan dosis PPI tergantung
etiologi dan penggunaan obat lain.

13
Perdarahan variseal adalah keadaan gawat darurat dan komplikasi yang lethal
dari sirosis, terutama pasien dengan kondisi dekompensasi. Saat melakukan
penanganan perdarahan variseal, terdapat dua langkah esensial: menghentikan
perdarahan akut dan mencegah perdarahan ulang, termasuk evaluasi dan resusitasi,
transfusi darah, penggunaan obat-obatan vasoaktif, melakukan tindakan endoskopi
untuk keperluan diagnostik dan terapi (kurang dari 12 jam setelah admisi ke rumah
sakit), profilaksis antibiotik dan mempertimbangkan pemasangan TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunt).

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudaya AW, Simadibrata M, Setiyahadi B, Syam AF,


editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
p.1873-6.
2. Van Leerdam ME. Epidemiology of acute upper gastrointestinal bleeding.
Best Pract Res Clin Gastroenterol 2008; 22: 209224
3. Hearnshaw SA, Logan RF, Lowe D et al. Acute upper gastrointestinal
bleeding in the UK: patient characteristics, diagnoses and outcomes in the
2007 UK audit. Gut 2011; 60: 13271335
4. Wang YR, Richter JE, Dempsey DT. Trends and outcomes of hospitalizations
for peptic ulcer disease in the United States, 1993 to 2006. Ann Surg.
2010;251(1):51-58.
5. Huang JQ, Sridhar S, Hunt RH. Role of Helicobacter pylori infection and non-
steroidal anti-inflammatory drugs in peptic-ulcer disease: a metaanalysis.
Lancet. 2002;359(9300):14-22.
6. Pajares JM. H. pylori infection: its role in chronic gastritis, carcinoma and
peptic ulcer. Hepatogastroenterology. 1995;42(6):827-841.
7. Mass Gonzlez EL, Patrignani P, Tacconelli S, Garca Rodrguez
LA.Variability among nonsteroidal antiinflammatory drugs in risk of upper
gastrointestinal bleeding. Arthritis Rheum. 2010;62(6):1592-1601.
8. Garcia-Tsao G, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W; Practice Guidelines
Committee of the American Association for the Study of Liver Diseases;
Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology.
Prevention and management of gastroesophageal varices and variceal
hemorrhage in cirrhosis [published correction appears in Hepatology.
2007;46(6):2052]. Hepatology. 2007;46(3):922-938.
9. Longstreth GF. Epidemiology of hospitalization for acute upper
gastrointestinal hemorrhage: a population-based study. Am J Gastroenterol.
1995;90(2):206-210.
10. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on
management of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia.
Acta Medica Indonesiana. 2014;46(2):163-71

15
11. Baradarian R, Ramdhaney S, Chapalamadugu R et al. Early intensive
resuscitation of patients with upper gastrointestinal bleeding decreases
mortality. Am J Gastroenterol 2004; 99: 619622
12. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician 2012;85(5):469-76
13. Nugraha DA. Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas Non-Variseal. RSU Fastabiq Sehat, PKU Muhammadiyah, Pati, Jawa
Tengah, Indonesia
14. Sachar H, Vaidya K, Laaine L. Intermittenr vs continous proton pump
inhibitor therapy for high-risk bleeding ulcers-A systematic review and meta-
analysis. JAMA [Internet]. 2014 [cited April 2017]
15. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J
Gastroenterol. 2012;107:345- 60
16. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia dan Kelompok Studi Helicobacter
pylori Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori [Internet]. 2017 [cited 2017 January 6]. Available from:
http://pbgi.esy.es/wp-content/uploads/2015/09/Konsensus-Dispepsia-dan-
Helibacter-Pylori-2014.pdf
17. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et
al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal
hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE)
Guideline. Endoscopy. 2015;47(10):1-46. doi: 10.1055/s-0034-1393172.
18. Cremers I. Ribeiro S. Management of variceal and nonvariceal upper
gastrointestinal bleeding in patient. 2014, Vol. 7(5) 206216 DDOI: 10.1177/
1756283X14538688.
19. Garcia-Tsao, G. and Bosch, J. (2010) Management of varices and variceal
haemorrhage in cirrhosis. N Engl J Med 362: 823832
20. de Franchis. Revising consensus in portal hypertension: Report of the Baveno
V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal
hypertension. Journal of Hepatology 2010 vol. 53 j 76268
21. de Franchis. Expanding consensus in portal hypertension Report of the
Baveno VI Consensus Workshop: Stratifying risk and individualizing care for
portal hypertension. Journal of Hepatology 2015 vol. 63 j 743752

16
17

Anda mungkin juga menyukai