Anda di halaman 1dari 12

DEPARTEMEN ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN TUGAS MAKALAH

Oleh:

Eva Satya Nugraha

Pembimbing :

dr. Syafruddin Gaus, Ph.D,Sp.An-KMN-KNA

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS


PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN
MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

A. Kompartemen Cairan Tubuh

Cairan tubuh dibagi menjadi 2 kompartemen, yaitu cairan ekstraseluler dan cairan

intraseluler. Cairan ekstraseluler terdiri dari kompartemen intravaskuler dan kompartemen

interstisial.

Tabel 1. Kompartemen cairan tubuh1

Setiap kompartemen memiliki komposisi dan konsentrasi zat terlarut yang berbeda-beda.

Ion dominan di cairan ekstraseluler adalah sodium (natrium), sementara ion dominan di cairan

intraseluler adalah potassium (kalium). Secara lebih mudah, komposisi ion dan protein di

kompartemen cairan tubuh dapat digambarkan pada bagan 1.

Tabel 2. Komposisi kompartemen cairan tubuh.1


Bagan 1. Komposisi ion pada kompartemen cairan tubuh mayor.1

B. Manajemen Cairan

Untuk menilai estimasi volume cairan intravaskuler dapat digunakan data riwayat pasien,

pemeriksaan fisik, dan analisis laboratorium. Evaluasi yang berkelanjutan penting untuk

mengkonfirmasi data yang didapat diawal dan untuk menentukan terapi cairan atau elektrolit

atau darah sesuai kebutuhan pasien.1

B.1. Riwayat Pasien

Riwayat pasien merupakan hal penting untuk menilai status volume cairan preoperatif.

Faktor yang paling penting meliputi intake oral sesaat sebelum, muntah persisten atau diare,

riwayat sedot lambung, kehilangan darah yang signifikan atau luka dengan produk cairan aktif,

pemberian cairan intravena atau pemberian darah, dan hemodialisis jika pasien menderita gagal

ginjal. 1
B.2. Pemeriksaan Fisik

Indikasi syok hipovolemik meliputi abnormalitas turgor kulit, dehidrasi pada membran

mukosa nadi perifer, peningkatan denyut jantung saat istirahat, hipotensi ortostatik dan

penurunan output urine.1

Tabel 3. Tanda kehilangan cairan1

B.3. Laboratorium

Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium dapat mewakili volume intravaskuler dan

kecukupan perfusi jaringan seperti hematokrit, analisa gas darah (AGD), berat jenis urine,

konsentrasi ion natrium dan ion klorida, dan rasio antara BUN dan kreatinin. Walaupun begitu

hasil tersebut merupakan index indirek volume intravaskuler dan sering meragukan selama

intraoperatif karena hasil tersebut sangat dipengaruhi faktor-faktor perioperatif dan sering terjadi

keterlambatan hasil laboratorium yang diperiksa. Ketika dehidrasi terjadi, akan terjadi

peningkatan hematokrit dan hemoglobin, asidosis metabolik yang progresif (meliputi asidosis

laktat), berat jenis urine >1.010, natrium urine <10mEq/L, osmolaritas urine >450 mOsm /L,
hypernatremia, dan rasio BUN : kreatinin lebih dari 10:1. Hemoglobin dan hematokrit biasanya

tidak pernah berubah pada pasien yang dengan hipovolemia akut akibat takut kehilangan darah

dan takut karena tidak cukupnya cairan waktu cairan ekstravaskuler berpindah ke ruangan

intravaskuler. Indikator radiografi pada keadaan overload cairan meliputi adanya peningkatan

pembuluh darah pulmoner dan tanda interstisiel (garis Kerley B) atau infiltrat alveolar difus.1

B.4. Pengukuran Hemodinamik.

Monitoring Central Venous Pressure (CVP) telah digunakan pada pasien dengan fungsi

jantung dan paru normal ketika status volume sulit dinilai. Walaupun begitu hasil static dari

pembacaan CVP tidak menyediakan data yang cukup akurat pada status volume pasien.1

Monitoring ketat arteri pulmoner digunakan ketika CVP tidak berkaitan dengan penilaian

klinis pasien atau ketika pasien mengalami disfungsi ventrikel. PAOP (Pulmonary Artery

Occlusion Pressure) <8mmHg mengindikasikan adanya hipovolemia. Walaupun begitu hasil

PAOP <15 mmHg berkaitan dengan hipovolemia relatif yang berkaitan dengan kemampuan

pemenuhan ventrikel yang buruk. PAOP >18 mmHg menunjukkan adanya volume overload pada

ventrikel kiri.1

C. Cairan Intravena

Terapi cairan intravena meliputi kristaloid, koloid atau kombinasi keduanya. Beberapa

simpulan umum tentang cairan intravena:

1. Kristaloid ketika diberikan jumlah yang cukup, dapat menjadi seefektif koloid dalam

mengembalikan cairan intravaskuler.


2. Penggantian volume intravaskuler menggunakan kristaloid membutuhkan jumlah 3x

sampai 4x jumlah cairan koloid.

3. Pasien bedah dapat mengalami defisit cairan ekstravaskuler yang melebihi defisit cairan

intravaskuler.

4. Defisit cairan intravaskuler yang berat dapat lebih cepat dikoreksi dengan menggunakan

cairan koloid.

5. Pemberian kristaloid dengan jumlah banyak dan cepat (>4-5 liter) dapat berkaitan dengan

timbulnya edema jaringan. Beberapa bukti menunjukkan edema jaringan dapat

mengganggu pengangkutan oksigen, penyembuhan jaringan, dan pengembalian fungsi

usus setelah operasi besar.1

C.1. Kristaloid

Cairan ini sering dipilih pada resusitasi awal pada pasien dengan perdarahan dan syok

sepsis, pasien luka bakar, dan pasien dengan trauma kepala untuk mempertahankan cerebral

perfusion pressure (CPP), pasien dengan plasmafaresis dan dengan reseksi hepar.1

Tabel 4. Jenis cairan kristaloid dan komposisinya1


C.2. Koloid

Koloid cenderung akan bertahan diruang intravaskuler karena molekulnya yang besar.

Indikasi penggunaan koloid:1

1. Resusitasi cairan pada pasien dengan kehilangan cairan intravaskuler berat (contoh: syok

perdarahan)

2. Resusitasi cairan pada pasien dengan hipoalbuminemia atau kondisi berkaitan dengan

kehilangan protein berat seperti pasien luka bakar. Koloid tidak termasuk dalam protokol

resusitasi awal pasien luka bakar, akan tetapi ahli bedah dan anestesi merekomendasikan

penggunaan koloid

Koloid umumnya adalah hasil turunan dari protein plasma atau polimer glukosa sintetik dan

tersedia juga dalam bentuk larutan elektrolit isotonis. Contoh koloid sintetis adalah dextran

dan hetarstach.

D. Pelaksanaan Resusitasi Cairan

Berdasarkan algoritma terapi cairan intravena pada dewasa dari NICE 2003, langkah

pertama adalah melakukan penilaian ABCDE. Jika ditemukan adanya indikasi resusitasi

cairan meliputi tekanan darah sistolik <100 mmHg, HR >90 bpm, capillary refill >2 detik

atau akral dingin, RR >20 kali/menit, NEWS ≥5 maka pasien harus mendapatkan resusitasi

cairan.3

Cairan pertama yang diberikan adalah 500ml kristaloid secara bolus dengan kandungan

ion natrium 130-154 mmol selama 15 menit hingga maksimal 2000 ml. kemudian dilakukan
penilaian ulang terhadap ABCDE pasien setiap masuk 500 ml. jika keadaan syok membaik,

maka dapat dilakukan pemberian cairan rumatan dengan jumlah 25-30 ml/kgBB/hari.3

E. Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif meliputi penggantian cairan yang hilang dari keadaan defisit

cairan yang memang sudah ada diawal dan kehilangan saat operasi, meliputi juga kehilangan

darah.

E.1. Kebutuhan Terapi Rumatan

Pada dewasa kebutuhan normal cairan rumatan adalah 2 ml/kgBB/jam. Sedangkan pada

anak-anak ditunjukkan pada tabel 5.

Tabel 5. Estimasi kebutuhan cairan rumatan1

E.2. Preexisting Defisit

Pasien dipuasakan hingga semalam sebelum tindakan bedah akan memiliki defisit cairan.

Defisit yang ada dapat diestimasi dengan mengalikan tingkat cairan rumatan normal dengan

lamanya puasa.1

Kehilangan cairan abnormal akan berkontribusi pada defisit preoperatif. Perdarahan

preoperatif, muntah diuresis dan diare sering berkontribusi. Kehilangan cairan yang tidak

tampak akibat adanya infeksi jaringan atau akibat ascites merupakan hal penting yang harus
diperhatikan juga. Kehilangan cairan akibat hiperventilasi, demam, dan berkeringat juga

harus diperhatikan.1

Secara ideal, defisit yang ada harus digantikan sebelum tindakan operasi. Penggunaan

cairan pengganti harus mirip dengan komposisi cairan yang hilang.

Tabel 6. Komposisi elektrolit cairan tubuh1

F. Penggantian Cairan Intraoperatif

Terapi cairan intraoperatif harus meliputi penggantian cairan dasar dan penggantian

cairan preoperatif dan cairan yang hilang saat intraoperatif (kehilangan darah, evaporasi).

Cairan intravena yang dipilih harus menyesuaikan prosedur operasi dan jumlah kehilangan

darah yang terjadi. Untuk prosedur minor dengan kehilangan darah minimal, dapat diberikan

cairan rumatan. Untuk semua prosedur, ringer laktat atau plasmalyte umum digunakan

bahkan untuk terapi rumatan.

F.1. Penggantian Kehilangan Darah

Idealnya, kehilangan darah diganti dengan cairan kristaloid atau cairan koloid untuk

mempertahankan volume intravaskuler (normovolemia) sampai ditemukan keadaan anemia

yang lebih beresiko daripada resiko transfusi. Jika sudah sampai keadaan itu, maka
kehilangan darah digantikan dengan transfusi PRC untuk mempertahankan konsentrasi

hemoglobin atau hematokrit.1

Dalam kondisi konsentrasi hemoglobin <7 gr/dL cardiac output meningkat untuk

mempertahankan pengedaran oksigen normal. Pada kondisi peningkatan konsentrasi

hemoglobin yang ditemukan pada pasien geriatri dan memiliki penyakit paru atau jantung

dengan bukti klinis yang ada (contoh: penurunan saturasi oksigen vena dan takikardi

menetap), pemberia transfusi akan bermanfaat.1

Keadaan dibutuhkan transfusi dapat ditentukan dari keadaan hematokrit preoperatif dan

dari mengestimasi volume darah. Pasien denga hematokrit normal sebaiknya dilakukan

transfusi jika mengalami kehilangan >10-20% volume darahnya. Jumlah kebutuhan darah

yang dibutuhkan dengan adanya penurunan hematokrit hingga 30% dapat dihitung sebagai

berikut:

a. Estimate Blood Volume (EBV)

Tabel 7. Estimated Blood Volume (EBV)

b. Estimasi volume RBC preoperatif (RBCV preop)


c. Estimasi RBCV pada hematokrit 30% (RBCV 30%), dengan asumsi volume darah normal

masih dipertahankan.

d. Menghitung kehilangan RBCV ketikan hematokrit 30%; RBCVlost = RBCVpreop-RBCV

30%

e. Alloable blood loss (ABL) = RBCV lost x 3


DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan,G.E., Mikhail,S., & Murray,,M.J.(2013). Clinical anesthesiology. 5th ed. New

York: Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub.Division.

2. Sherwood,L.(2001). Human physiology : From cells to systems. Pacific Grove, Calif:

Brooks/Cole.

3. Intravenous fluid therapy for adults in hospital: Summary of NICE

guidance,BMJ2013;37 doi: http://dx.doi.org./10/1136/bmj.f7073 (Published in 10

Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai