Anda di halaman 1dari 9

CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

BAB 22

PENYAKIT GINJAL

NATALIE F. HOLT

Pelayanan kesehatan telah mengeluarkan biaya $87 milyar untuk


pengobatan untuk semua tingkatan penyakit ginjal pada tahun 2012. Lebih dari
26 juta orang dewasa di Amerika Serikat memiliki riwayat penyakit ginjal.
Bahkan mungkin banyak yang tidak mengetahuinya karena tanda dan gejalanya
tidak tampak. Hal ini menjadi penyebab kematian dimana meraih posisi urutan
kesembilan di negara ini. Penyebab utama penyakit ginjal adalah diabetes
mellitus, hipertensi sistemik, riwayat keluarga yang memiliki penyakit ginjal
yang sama, dan usia diatas 65 tahun. Sehingga sangat memungkinkan beberapa
pasien datang dengan suatu penyakit disfungsi ginjal dengan tujuan untuk
operasi, atau pasien tersebut datang dengan masalah gagal ginjal akut atau lebih
parahnya lagi pasien yang sebelumnya telah memiliki masalah disfungsi ginjal
pada kasus perioperatif.

Ginjal memiliki fungsi penting pada tubuh, termasuk pengaturan cairan


dalam tubuh, homeostasis elektrolit, keseimbangan asam basa, dan beberapa
neurohumoral dan fungsi hormonal lainnya. Untuk mengetahui bagaimana cara
kerja pada ginjal diperlukan pula pemahaman bagaimana gejala klinis, tanda,
dan terapi untuk penyakit ginjal.

Ginjal memiliki pengaruh besar dalam memberikan perfusi didalam


tubuh, ginjal menerima 15%-25% dari hasil curah jantung, dan sebagian besar
darah didistribusikan ke korteks renal. Setiap ginjal setidaknya memiliki sekitar
satu juta nefron, masing-masing memiliki bagian yang berbeda-beda seperti:
kapsul Bowman, tubulus proximal, loop Henle, tubulus distal, dan beberapa
duktus (gambar 22.1)

425
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

Gambar 22.1. Anatomi ginjal dan glomerulus. Ginjal menerima sekitar 15%-25% hasil dari curah
jantung, sebagian besar darah didistribusikan ke kortex renalis. Setiap ginjal setidaknya memiliki sekitar
satu juta nefron, dengan anatomi yang berbeda-beda seperti: Kapsul Bowman, tubulus proximal, loop
Henle, tubulus distal, dan kumpulan duktus. Glomerulus, layaknya kapiler,dibungkus oleh Kapsul Bowman
dan disuplai oleh arteriol aferen dan dialirkan dengan arteriol aferen yang lebih kecil. Apparatus
juxtaglomerular memiliki struktur yang khusus antara aferen arteriol dan tubulus distal yang memberikan
kontribusi dalam mengontrol perfusi ginjal dan hemodinamik ekstrarenal. Sebagai plasma yang mengalir
sepanjang nefron, sebenarnya semua air dan zat larut direabsorpsi dengan menggunakan sistem aktif dan
pasif. Fungsi utama dari ginjal yaitu sebagai homeostatis air dan sodium. (Dari
https://www.boundless.com/biology/textbook/boundless-biology-textbook/osmotic-regulation-and-the-
excretory system-41/human-osmoregulatory-and-excretory-system: (Dikutip dari halaman 229/kidney
structure-860-12107)

Aliran darah pada ginjal secara autoregulasi berdasarkan pada mean


arterial pressure (MAP) sekitar 50 dan 150 mmHg. Glomerulus, merupakan
sekumpulan kapiler, ditutupi oleh Kapsul Bowman dan disuplai oleh arteriol
aferen dan dialirkan dengan arteriol eferen yang kecil. Apparatus
juxtraglomerular memiliki struktur yang khusus yaitu antara arteriol aferen dan
tubulus distal berfungsi memberikan kontribusi dalam mengontrol perfusi ginjal
dan hemodinamik ekstrarenal. Glomerulus menyaring plasma dengan rerata 180
L/hari, membiarkan semua masuk ke nefron kecuali protein dan polisakarida.
Selama plasma mengalir didalam nefron, sebenarnya semua air dan zat terlarut
direabsorpsi dengan menggunakan sistem transpor yang aktif dan yang pasif.

426
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

Fungsi utama dari ginjal yaitu homeostatis air dan sodium, dimana saling erat
keterkaitanya antara satu sama lain.

PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL

Ada beberapa pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi


ginjal dan mendiagnosa penyakitnya. (Tabel 22.1)

Laju Filtrasi Glomerulus

Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) digunakan untuk menghitung nilai fungsi


ginjal, karena GFR ini menunjukkan beberapa fungsi nefron. GFR dapat dihitung
dengan menjumlahkan antara volume urine sewaktu dengan konsentrasi
creatinine clearance urin dan plasma, atau dengan menghitung langsung total
substansi endogenus atau eksogenus (kreatinin dan inulin). Secara alternatif,
nilai umum beberapa serum dan indeks urin terdapat pada (Tabel 22.2). Nilai
normal untuk GFR yaitu 90 mL/menit/1.73 m2 atau tergantung dari jenis
kelamin, berat badan dan usia. Penurunan GFR sekitar 1% tiap tahunnya setelah
usia diatas 20 tahun. Manifestasi klinis dari uremia mulai muncul ketika GFR
turun dibawah 15mL/menit/1,73 m2. Perubahan laju GFR juga dapat
dihubungkan dengan perubahan aktifitas eritropoitik.

427
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

Klirens Kreatinin

Kreatinin adalah penanda endogenus untuk filtrasi ginjal, menghasilkan


nilai konstan yang berasal dari konversi kreatin otot skelet. Kreatinin secara

428
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

bebas di filtrasi oleh ginjal dan tidak diabsorpsi. Sebagai hasilnya, klirens
kreatinin adalah pengukur GFR yang paling baik. Klirens kreatinin tidak
tergantung berdasarkan usia atau tingkat kemapanan seseorang.

Serum Kreatinin

Tingkat serum kreatinin dapat digunakan untuk memperkirakan nilai


GFR. Secara umum GFR tidak dikeluarkan atau tidak di reabsorpsi didalam
ginjal, sehingga nilai yang muncul pada urin dengan interval waktu tertentu
menunjukkan nilai yang di filtrasi didalam glomerulus selama interval waktu
tersebut. Nilai konsentrasi normal serum kreatinin berkisar antara 0,6-1,0
mg/dL pada wanita dan 0,8-1,3 mg/dL pada pria, dimana terdapat perbedaan
massa otot rangka pada setiap orang. Percepatan produksi kreatinin dapat
meningkatkan konsentrasi serum keatinin tanpa menurunkan laju GFR, dan
sedikit pengurangan pada nilai serum kreatinin menunjukkan besarnya
pengurangan pada GFR. Sebagai contoh, pemeliharaan serum kreatinin yang
normal pada pasien usia lanjut diketahui mengalami penurunan dalam hal ini
yaitu penurunan produksi kreatinin seiring dengan penurunan massa otot skelet
berdasarkan proses penuaan. Nilai serum kreatinin juga melambat untuk
mencerminkan perubahan akut fungsi ginjal. Sebagai contohnya, jika gagal ginjal
akut terjadi dan penurunan GFR dari 100mL/menit sampai 10 mL/menit, nilai
serum kreatinin tidak akan meningkat dan yang akan terjadi selama satu
minggu.

Blood Urea Nitrogen (BUN)

Blood Urea Nitrogen (BUN) memiliki konsentrasi yang variatif dengan


GFR. Namun, mempengaruhi asupan diet, penyakit yang sedang dialami, dan
volume cairan intravaskuler yang mengandung BUN dapat memberikan hasil
yang tidak sesuai pada saat pemeriksaan fungsi ginjal. Sebagai contoh, produksi
ureum meningkat dengan mengonsumsi diet tinggi protein atau juga perdarahan

429
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

gastrointestinal, dimana hasilnya meningkatkan kadar BUN meskipun hasil GFR


normal. Penyebab lain yang dapat meningkatkan konsentrasi BUN dengan nilai
GFR tetap normal yaitu termasuk kasus dehidrasi dan pengingkatan
katabolisme, yang terjadi seiring dengan terjadinya periode demam.
Pengingkatan konsentrasi BUN pada kasus dehidrasi mencerminkan
meningkatnya absorpsi ureum yang disebabkan oleh perpindahan cairan yang
lambat didalam tubulus renalis. Pada akhirnya konsentrasi BUN meningkat,
serum kreatinin tetap normal. Konsentrasi BUN juga dapat menjadi normal jika
dengan mengonsumsi diet rendah protein (seperti pada pasien hemodialisa)
meskipun GFR nilainya menurun. Bahkan walaupun diberikan pengaruh dari
luar, konsentrasi BUN akan lebih tinggi dari 50 mg/dL biasanya mencerminkan
penurunan GFR.

Fungsi Tubulus Ginjal

Fungsi tubulus ginjal sebagian besar dinilai dengan konsentrasi urin.


Adanya proteinuria juga dapat mencerminkan adanya kerusakan tubular ginjal.

Kemampuan Konsentrasi Urine

Mendiagnosa disfungsi tubulus ginjal dapat dibuktikan dengan cara


menilai bahwa ginjal tidak memproduksi konsentrasi urin dalam fungsi
fisiologisnya untuk menghasilkan hormon antidiuretik. Tanpa adanya terapi
glukosuria, berat jenis urin lebih tinggi dari 1.018 hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan tubulus ginjal untuk memekatkan urin telah cukup. Pemberian
terapi dengan diuretik atau adanya hipokalemia atau hiperkalsemia dapat
mengganggu kemampuan tubulus ginjal untuk membuat urin menjadi pekat.
Fluoride anorganik yang dihasilkan dari metabolism sevofluran secara teoritis
dapat mengganggu kemampuan konsentrasi urin pada tubulus ginjal, namun,
pengamatan ini belum dapat dipatenkan.

430
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

Proteinuria

Proteinuria seringkali terjadi dan 5%-10% pada orang dewasa menjalani


pemeriksaan skrining. Proteinuria sementara dapat dikaitkan dengan demam,
penyakit jantung kongestif, kejang, pankreatitis, dan olahraga. Proteinuria ini
akan pulih sesuai dengan pengobatan berdasarkan kondisi yang mendasari hal
tersebut. Proteinuria ortostatik terjadi hingga 5% pada remaja ketika posisi
tegak dan menghilang dengan berbaring. Secara umum, proteinuria ortostatik
dapat berhenti secara spontan dan tidak ada kaitannya dengan penurunan
fungsi ginjal. Proteinuria persisten umumnya yang dikaitkan dengan penyakit
ginjal yang signifikan. Mikroalbumin adalah tanda yang paling awal pada
penyakit nefropati diabetik. Proteinuria berat dapat menghasilkan
hipoalbuminemia, dengan penurunan tekanan plasma onkotik dan
meningkatnya konsentrasi obat yang tidak dapat berikatan.

Fraksi Ekskresi Natrium

Fraksi ekskresi natrium (FENa) dapat diketahui dengan cara menghitung


persentase sodium yang disaring yaitu yang diekskresi didalam urin (Tabel
22.3). yaitu sodium yang disaring dibagi dengan GFR. Cara seperti ini adalah hal
yang paling baik dilakukan untuk menentukan penyebab azotemia apakah
prerenal atau di renal. FENa meningkat lebih dari 2% (atau konsentrasi sodium
urin > 40 mEq/L menunjukkan adanya penurunan kemampuan tubulus ginjal
untuk menghemat natrium dan terjadi disfungsi tubulus ginjal. FENa kurang dari
1% (atau eskresi sodium <20 mEq/L) terjadi ketika tubulus ginjal yang
berfungsi normal menyimpan natium.

Urinalisa

Pemeriksaan pada urin digunakan untuk menentukan diagnosa pada


penyakit ginjal dan penyakit traktus urinaria. Urinalisis dimaksudkan untuk
mendeteksi keberadaan protein, glukosa, asetoasetat, darah, dan leukositosis.

431
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

pH urin dan konsentrasi terlarut (berat jenis) dapat ditentukan, dan sedimen
mikroskopi digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan sel, mikroorganisme,
dan kristal. Hematuria kemungkinan dapat terjadi karena adanya perdarahan
antara glomerulus dan uretra. Mikrohematuria kemungkinan menunjukkan
adanya kejinakan atau mungkin juga menunjukkan glomerulonephritis, kalkuli
ginjal, atau kanker pada traktus genitourinaria. Jogging dapat memicu transcient
hematuria, kemungkinan karena terjadi trauma pada saluran kemih. Penyakit
Sickle cell menjadi pertimbangan pada masyarakat Amerika Afrika yang
mengalami hematuria. Adanya protein atau sel darah merah pada urine,
penyakit glomerular menjadi penyebab dari hematuria ini. Sel darah merah pada
urin merupakan patognomonik pada penyakit glomerulonephritis akut. Adapun
ditemukannya sel darah putih menunjukkan pyelonephritis.

Pemeriksaan Biomarker Fungsi Ginjal

Cystatin C adalah sejenis protein yang diproduksi oleh seluruh nucleus


sel dan secara bebas dapat disaring tetapi tidak diserap oleh ginjal. Pada
dasarnya Cystatin C untuk mengukur perkembangan GFR dan tampaknya lebih
akurat daripada menentukan kreatinin, berdasarkan pada populasi tertentu
seperti mereka yang mengalami sirosis, obesitas, malnutrisi, atau penurunan
massa otot. Hal ini merupakan prediktor yang kuat dibanding serum kreatinin
pada resiko kematian dan penyakit kardiovaskuler pada pasien usia lanjut.

432
CHAPTER 22| STOELTING’S ANESTHESIA AND CO-EXISTING DISEASE

REFERENSI
1. Chenitz KB, Lane-Fall MB. Decreased urine output and acute kidney
injury in the postanesthesia care unit. Anesthesial Clin. 2012;30:513-526
2. Gravenstein D. transurethral resection of the prostate (TURP) syndrome:
a review of the pathophysiology and management. Anesth Analg.
1997;84:438-446.
3. Hoste EA, De Corte W. Implementing the Kidney Disease: Improving
Global Outcomes/acute kidney injury guidelines in ICU patients. Curr
Opin Critical Care. 2013;19:544-553.
4. Josephs SA, Thakar CV. Perioperative risk assessment, prevention, and
threatment of acute kidney injury. Int Anesthesiol Clin. 2009;47:89-105.
5. Moore EM, Bellomo R, Nichol AD. The meaning of acute kidney injury and
its relevance to intensive care and anaesthesia. Anaesth Intensive
Care.2012;40:929-948.
6. Schmid S, Jungwirth B. Anesthesia for renal transplant surgery: an
update. Ear J Anesthesiol. 2012;29:552-558.
7. Wagener G, Brentjens TF. Anesthetic concerns in patients presenting with
renl failure. Anesthesiol Clin.2010;28:39-54.
8. Weisbord SD, Gallagher M, Kaufman J, et al. Prevention of contrast-
induced AKI:a review of Published Trials and the Design of the
Prevention of Serious Adverse Events Following Angiography
(PRESERVE) Trial. Clin J Am Soc Nephrol. 2013;8:1618-1631.
9. Zacharias M, Herbison GP, Mugawar M, et al. Interventions for protecting
renal function in the perioperative period. Cochrane Database Syst Rev.
2013:CD003590.

433

Anda mungkin juga menyukai