Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN : GAGAL GINJAL KRONIK

Mega Selvia Juliana, 1106003844

1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah penyakit irreversibel dan progresif yang menurunkan
fungsi jaringan ginjal. Penyakit ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbanagn cairan serta elektrolit menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddart, 2001). Penyakit ini
terjadi selama lebih dari 3 bulan. Diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika
nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/ menit. Batasan karakteristik penyakit
ginjal kronik yaitu
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelianan struktur atau fungsi ginjal dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: kelainan patologi
(kerusakan ginjal seperti proteinuria).
2. Laju filtrasi glomerulus < 60ml/menit selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (Price, S.A & Wilson, 2003).
Pada pasien dengan CKD, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi
glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. Untuk mendapatkan GFR harus mengukur konsentrasi sampel
plasma (px) dalam sampel urin (Ux) dan volume urin dalam periode tertentu,

GFR (ml/menit) = Ux (mg/ml) V (ml/menit)

Px (mg/ml)

Ada lima stadium menurut (Price, S.A & Wilson, 2003)

- Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal
- Stadium 2 adalah kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan
- Stadium 3 adalah kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal
- Stadium 4 adalah kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal
- Stadium 5 adalah gagal ginjal.

Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73 m2)


0 Risiko meningkat  90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal disertai GRF >90
normal atau meningkat

2 Penurunan ringan GRF 60-89

3 Penurunan moderat GFR 30-59

4 Penurunan berat GFR 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Gagal ginjal kronik dalam perjalanan penyakitnya dapat menjadi kondisi


kegawatdaruratan ketika terjadi komplikasi yang ditandai dengan gangguan
elektrolit, kelebihan cairan, asidosis metabolic berat, dan lain-lain.

2. Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab yang mendasari kasus CKD bermacam-macam, diantaranya penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskuler, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih.Patofisiologi penyakit CKD melibatkan dua
mekanisme kerusakan yaitu
a. Mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti
kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat
toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstisium
b. Mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang tersisa.

Ginjal memiliki sekitar 1 juta nefron yang berkontribusi pada total GFR. Akibat
etiologi di atas, ginjal melakukan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
GFR. Lambat laun, nefron yang masih berfungsi baik mengalami kegagalan dalam
mengatur autoregulasi tekanan glomerular sehingga menyebabkan hipertensi sistemik
dalam glomerulus. Kerusakan fungsi ginjal tersebut akan menurunkan fungsi
ekskretorik dan non ekskretorik. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain
penurunan ekskresisisa nitrogen, penurunan reabsorbsi natrium pada tubular,
penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, dan penurunan ekskresi
hidrogen. Sedangkan fungsi non ekskretorik diantaranya kegagalan mengubah bentuk
inaktif Ca, penurunan produksi eritropoetin, dan menurunkan fungsi insulin.
3. Manifestasi Klinis

Tanda dan manifestasi klinis dari kondisi kegawatdaruratan pada CKD antara lain
(VA/DoD Clinical Practice Guidelines, 2014; Jones & Fix, 2009):

 Letargi
 Gagal ginjal akut
 Penurunan tekanan darah akibat kelebihan cairan yang disebabkan edema paru
dan perifer
 Hiperkalemia (potassium ≥ 6.0 mEq/L) – (rentang normal 3.5-5.3mEq/L)
 Asidosis metabolic (bikarbonat ≤16 mEq/L) – (rentang normal 24-28 mEq/L)
 Pericarditis
 Enselopati/penurunan kesadaran
 Gejal auremik, seperti nausea, mual dan muntah persisten, anoreksia
 Kejang

4. Pengkajian Primer

A: Airway
Kaji apakah ada obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh penurunan kesadaran.
B: Breathing
Klien dengan CKD dapat mengalami pernapasan kussmaul akibat asidosis metabolik.
Perubahan ritme nafas juga dapat terjadi karena edema paru.
C: Circulation
Hiperkalemia menyebabkan pasien dengan CKD mengalami aritmia atau perubahan
ritme jantung. Aritmia ditandai dengan nadi yang abnormal dan irregular. Selain itu,
dapat terjadi penurunan tekanan darah disebabkan kelebihan cairan (edema pulmonal
dan perifer) dan dehidrasi/sepsis. Edema paru menyebabkan oksigenasi klien
terganggu sehingga perlu pemeriksaan analisis gas darah untuk mengetahui apakah
klien mengalami hipoksemia dan hipokapnea. Klien dengan CKD seringkali
mengalami dehidrasi, oleh karena itu perlu mengkaji turgor kulit untuk mengetahui
status hidrasi.
D: Disability
Kaji tingkat kesadaran klien. Klien dengan CKD dapat mengalami ensefalopati
metabolik yang ditandai dengan letargi dan penurunan kesadaran.
E: Elimination
Lakukan pengkajian pada urine output klien, apakah klien mengalami oliguria atau
bahkan anuria. Urin yang kurang dari 400 ml/24 jam menandakan gagal ginjal akut.

5. Pengkajian Sekunder
Adapun pengkajian sekunder yang perlu dilakukan antara lain (Jones & Fix, 2009):
- Pemeriksaan BUN serum, kreatinin, elektrolit, DPL, pemeriksaan koagulasi
(PT/PTT), osmolaritas serum, panel kimia
- Urinalisis dengan pemeriksaan mikroskopik
- Kultur dan sensitivitas urin
- Elektrolit urin dan osmolaritas urin
- Urin 24 jam untuk bersihan kreatinin
- Pemindaian ultrasonografi ginjal
- Rontgen dada
- Biopsi ginjal
- Laju LFG
- Rontgen ginjal-ureter-kandung kemih
- Pielogram intravena
- CT scan atau MRI ginjal
- Arteriogram grinjal

6. Diagnosa Keperawatan
 Kelebihan cairan ditandai dengan perubahan tekanan darah, status mental,
tekanan arteri pulmonal, dan pola nafas; azotemia; edema; dyspnea; oliguria
berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
 Kerusakan pertukaran gas ditandai dengan abnormalitas pH arteri, gas darah
arteri, pola nafas, warna kulit, konfusi, sianosis, dyspnea, iritabilitas, takikardia,
dan gangguan pengelihatan berhubungan dengan pertukaran membran alveolar-
kapiler
 Penurunan cardiac output ditandai dengan perubahan EKG, penurunan tekanan
vena sentral, edema, dyspnea, oliguria, kulit pucat, perubahan kecepatan denyut
jantung berhubungan dengan perubahan ritme jantung
7. Penanganan Kegawatdaruratan
Pada pasien dengan oliguria atau anuria dilakukan rangsangan diuresis dengan
memberikan loop diuretic yang dianjurkan dengan bolus furosemide 100 mg
dilanjutkan dengan drip melalui infus, dosis tidak melebihi 500 mg/hari. Bila tidak
berhasil harus dihentikan karena dapat menyebabkan tuli yang menetap (Subekti, et
al, 2000).
Overload cairan dapat dihindari dengan pembatasan asupan garam dan cairan
hanya sekitar 400-500 ml/hari ditambah sejumlah kencing sehari sebelumnya.
Hiperkalemia lebih dari 6 mEq/L harus segera ditangani, disamping membatasi
asupan kalium, dapat diberikan kalsium glukonas 10% 1-3 ampul dalam infuse cepat,
atau infus dextrose 10% dengan atau tanpa insulin, atau infuse natrium bikarbonat 50-
100 ml dalam waktu 1-2 jam.
Apabila pasien mengalami asidosis metabolik, maka dapat dikoreksi dengan
natrium bikarbonat, namun perlu hati-hati karena dapatvmenyebabkan penambahan
natrium dan air. Semua tindakan di atas dapat dilakukan sebelum atau sambil
persiapan dialysis karena tindakan-tindakan tersebut hanya bersifat sementara,
kemudian tetap perlu dilakukan dialysis untuk mengatasi kondisi pasien. Tindakan
dialysis perlu segera dilakukan jika timbul gejala-gejala uremia seperti anoreksia,
muntah, perikarditis, overload cairan, dangan gangguan elektrolit yang tidak dapat
ditoleransi secara konservatif dengan tindakan simtomatik. Jenis dialisis yang
digunakan masih banyak yang konvensional dengan memakai cairan bikarbonat
sebagai dialisa karena lebih sedikit mempengaruhi hemodinamik. Peritoneal dialysis
dapat juga dipakai, namun kurang efektif bila dalam keadaan hiperkatabolik.

Terapi Penggantian Ginjal


Terapi penggantian ginjal (renal replacement therapy, RRT) merupakan
istilah umum untuk menggambarkan berbagai penatalaksanaan subtitusi yang tersedia
untuk gagal ginjal kronik tahap akhir (ESCRF) yang berat dan akut, termasuk dialisis
(hemodialisis dan dialisis peritoneal), hemofiltrasi, dan transplantasi ginjal (Jones &
Fix, 2009).
Hemodialisis merupakan salah satu RRT yang digunakan dalam
penatalaksanaan gagal ginjal untuk mengeluarkan kelebihan cairan dan produk sisa
sehingga terjadi perbaikan kimiawi dan elektrolit. Kinerja hemodialisis akan
melewatkan darah klien melalui suatu membran semipermeabel buatan untuk
melakukan fungsi filtrasi dan ekskresi ketika ginjal tidak dapat menjalankan fungsi
ekskretorik secara efektif. Dialisis bekerja dengan menggunakan perpindahan pasif
toksin-toksin melalui difusi (pergerakan molekul dari area konsentrasi tinggi ke area
konsentrasi rendah). Darah dan dialisat (larutan untuk dialisis) yang mengandung
elektrolit dan H20 yang sangat menyerupai plasma akan mengalir dalam arah yang
berlawanan melalui membran semipermeabel. Darah pasien mengandung kelebihan
H2) dan kelebihan elektrolit dan sisa metabolik. Selama dialisis, produk sisa dan
kelebihan H2) bergerak dari darah menuju dialisat akibat adanya perbedaan
konsentrasi. Elektrolit dapat bergerak masuk atau keluar darah atau dialisat. Pola
sirkulasi ini berlangsung selama jangka waktu tertentu, umumnya 3-4 jam. Komponen
pada sistem hemodialisis mencakup dialiser, dialisat, akses vaskular, mesin
hemodialisis. Heparin digunakan untuk mencegah pembekuan darah di dalam dialiser
atau selang darah. Dosis heparin ditentukan bedasarkan kebutuhan pasien. Beberapa
hal penting yang menjadi nursing consideration dalam melakukan asuhan
keperawatan hemodialisis antara lain:
 Banyak obat yang akhirnya dapat terdialisis
 Obat vasoaktif dapat menyebabkan hipotensi. Oleh karena itu, obat ini dapat
ditunda setelah dialisis
 Banyak antibiotik diberikan setelah dan pada hari pasien menjalani dialisis

8. Algoritma
9. Pemantauan (Monitoring)

Pemantauan dilakukan setelah klien mendapatkan terapi hemodialisis. Adapun


pemantauan yang dilakukan pascadialisis antara lain:

 Memantau tanda-tanda vital pasien setiap jam selama 4 jam, kemudian setiap 4
jam sekali. (Hipotensi dapat terjadi sekunder akibat hipovolemia sehingga klien
membutuhkan cairan IV; peningkatan suhu dapat terjadi setelah dialisis akibat
penghangatan darah pada mesin dialisis)
 Pengecekan berat badan pascadialisis
 Hindari semua prosedur invasif selama 4-6 jam setelah dialisis jika
menggunakan antikoagulan

Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi hemodialisis akut yang menjadi sorotan keperawatan kritis adalah sebagai
berikut (Bieberb & Himmefalb, 2013):

10. WOC
11. Referensi
Brunner dan Suddarth. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Jones, Janice & Fix, Brenda. (2009). Seri Panduan Klinis: Perawatan Kritis ed terj.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Price SA, Wilson LM. (2003). Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Subekti, et al. (2000). Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
US Department of Veteran Affair. (2014). National Chronic Kidney Disease
Factsheet 2014. Diakses dari:
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/kidney_factsheet.pdf

Anda mungkin juga menyukai