Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING

TATALAKSANA DEHIDRASI BERAT


Remedial Tutorial Blok 24

Disusun Oleh:

Medissia Ivana Patricia Pasaribu

1261050032

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2018
Tatalaksana Dehidrasi Berat

Stephanie Ruth Strachan dan Lucy Francesca Morris

Abstrak

Kasus yang dikemukakan ini adalah salah satu cedera dehidrasi berat dan ginjal akut dengan
komplikasi resultan yang signifikan dan membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit yang
cukup. Pendekatan kepada resusitasi cairan dalam konteks hiponatremia dan status hiperosmolar
dipertimbangkan dan dengan bijak digabungkan untuk mengelola kasus kompleks dengan hasil
yang sukses. Petunjuk yang saling bertentangan pada domain ini didiskusikan dengan rekomendasi
untuk strategi tatalaksana di masa mendatang yang disesuaikan kepada setiap pasien.

Kata kunci

Dehidrasi, terapi cairan, hiponatrenia, uraemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Presentasi Kasus

Pria kaukasia berusia 68 tahun dipindahkan ke pusat spesialis rujukan ketiga dengan
hematoma subdural akut yang membutuhkan pembedahan syaraf darurat. Hasil pemeriksaan
sebelum operasi terlihat sangat hebat (tabel 1) dan mendemonstrasikan gangguan metabolis berat
namun diputuskan bahwa, walaupun resiko tinggi kematian perioperatif terlihat, evakuasi darurat
SDH merupakan kepentingan utama pasien.

Catatan medis dari rumah sakit umum distrik lokalnya memperlihatkan bahwa pasien telah
dibawa kepada mereka 4 hari sebelumnya dan ditemukan collapse di rumah oleh tetangganya dan
ia memiliki riwayat diare dan muntah selama 3 minggu. Ia mempunyai riwayat medis hipertensi
sebelumnya, yang karenanya ia mengkonsumsi candesartan. Di dalam pemaparannya, ia terlihat
bingung dan dari observasi klinis, dengan kombinasi hasil tes, menunjukkan dehidrasi berat (tabel
2).

Diagnosa kerja awal adalah cedera ginjal akut/ acute kidney injury (AKI) sekunder terhadap
diare dan muntah, pada latar belakang penggunaan pemblokir reseptor angiotensin. Ia dipindahkan
dari departemen gawat darurat ke High Dependency Unit untuk resusitasi cairan dan monitoring
(tabel 3).
Pada hari ketiga pendaftaran, ia mengalami hemiplegia kanan (1/5 kekuatan pada kedua
tangan dan kaki kanannya). CT kepala darurat dilakukan dan menunjukkan subdural haemorrhage
(SDH) besar dengan ekstensi subarachnoid; terdapat pergeseran / midline shift dan perkembangan
hidrosefalus (Figur 1).

Figur 1.

Pada saat ini, saran pembedahan syaraf sedang diproses namun sebelum pemindahan
terjadi kondisinya memburuk, GCS-nya turun menjadi 8/15 dan ia mengalami dilatasi pupil.
Keputusan untuk menyediakan perawatan hidup akhir dibuat, namun setelah 24 jam pasien
memperlihatkan pemulihan signifikan, spontan dan neurologis; ia menjadi waspada, dapat
mengikuti arahan dan pupilnya menjadi normal namun ia tetap disfasia dengan kelemahan pada
sisi kanannya. Diskusi lebih lanjut dengan tim bedah syaraf mengarahkan pasien untuk
dipindahkan ke institusi kami untuk bedah syaraf darurat.
Pada fase pos-operasi, ia dibawa ke Neurosurgical Critical Care Unit (NCCU) untuk
manajemen dehidrasi dan pemulihannya dari evakuasi subdural hematoma. Ia membutuhkan
intubasi selama 5 hari, di mana ketika itu, status cairan dan biokimia-nya secara seksama
diperbaiki; ia tidak pernah diharuskan terapi penggantian renal.

Ia dipindahkan ke bangsal bedah syaraf pada hari ke-12 dan pada hari ke-32 ia dipulangkan
ke rumah sakit lokal. Ia telah, pada tahapan ini, mengalami pemulihan neurologis dramatis tanpa
defisit motor residual atau disfasia, walaupun ia tetap sedikit bingung. Ia ditindaklanjuti secara
rawat jalan pada klinik bedah syaraf selama 6 bulan setelah pemulangan dan, pada tahapan ini, ia
hidup sendiri secara independen, tanpa mengalami efek samping dari kejadian tersebut. Tak
ditemukan adanya penyebab untuk terjadinya diare dan muntah.

Tatalaksana Pasien Dehidrasi Berat

Tatalaksana yang baik dari pasien dehidrasi berat dan uraemik merupakan tantangan dan
tidak ada arahan spesifik di dalam literatur. Dokter harus menggunakan penilaian dan diskresinya
ketika menyusun arahan alternatif yang tersedia untuk digunakan pada kasus pasien secara
individu.

Setidaknya sejak 1949, telah dipahami bahwa perawatan andalan uremia termasuk koreksi
secara teliti atas gangguan air dan elektrolit, dengan keseimbangan air yang didahulukan dibanding
elektrolit.1 Dokter masa kini mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk memantau, mengukur
dan mengubah cairan dan elektrolit, namun hal ini harus tetap dilakukan secara waspada dan sadar
akan resiko potensial yang ada.

Secara umum, terdapat 2 pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk mengoreksi dehidrasi
berat dan uremia pasien:

1. Tatalaksana hipernatremia dengan mengestimasi dan mengoreksi defisit cairan bedasarkan


level serum sodium dan mengurus pasien sesuai dengan tatalaksana panduan hipernatremia
yang telah ada (misal Adrogue҆)2, atau
2. Mengurus dan mengkoreksi status hiperosmolar, tetapi panduan yang tersedia hanyalah
panduan hyperosmolar hyperglycaemic state (HHS) dimana status hyperosmolar adalah
tingkat kedua dari peningkatan glukosa (walaupun pasien ini mengalami tambahan
dehidrasi hebat dan mungkin mengalami peningkatan sodium juga).3
Pendekatan Hipernatremia (Adrogue҆)

Formula Adrogué memperbolehkan dokter untuk menghitung defisit air bebas (free water)
dengan menggunakan konsentrasi sodium extraseluler sebagai penanda status hidrasi. Solusi
hipotonik (5% dekstrosa pada air, 0.2% sodium klorida pada 5% dektrosa pada air dan 0.45%
sodium klorida pada air) direkomendasikan sebagai cairan resusisasi intravena dalam panduan
yang menyertai kecuali pada kondisi “sirkulasi kompromi di tempat / frank circulatory
compromise”, ketika solusi ‘isotonik’ seperti 0.9% sodium klorida disarankan. Teorinya adalah
bahwa dehidrasi yang berpuncak pada defisit air relatif terlihat oleh dokter via konsentrasi sodium
terukur.

Mengaplikasikan formula Adrogue҆ pada kasus hipernatremia ini, pada waktu kedatangan
di NCCU, dengan estimasi berat pasien 65 kg dan konsentrasi plasma sodium 169 mmol/L:

Total air pada tubuh / Total Body Water (TBW) = berat (kg) x faktor koreksi untuk
umur dan gender pasien

TBW = 65 kg x 0,6 = 39 L

Perubahan pada serum Na+ = (Infusate Na+ - serum Na+) ÷ (TBW + 1)

Perubahan pada serum Na+ dengan administrasi cairan dekstrosa 1 L 5% :

(0 – 169) / (39+1) = -4.2 mmol/L.

Formula ini mengemukakan bahwa setelah 1 L dari 5% dekstrosa, sodium terukur yang
diharapkan menjadi sekitar 165 mmol/L dan untuk menormalkan sodium (referensi rentang 135
– 145 mmol/L), dibutuhkan 6L dari 5% dekstrosa.

Lindner dkk menganalisa empat formula berbeda yang dirancang untuk membantu koreksi
dan pemeliharaan serum sodium di dalam kondisi perawatan kritis melaui estimasi defisit free
water dan menemukan formula tersebut tidak dapat secara akurat memandu terapi infus di dalam
status hipernatremik untuk pasien ICU.4

Panduan yang tetap dan konsisten di dalam literatur dalam menangani hipernatremia kronis
(sodium tinggi lebih dari 48 jam) adalah dari pengurangan maksimal pada konsentrasi sodium 10
mmol/L (equivalen dengan osmolaritas 20 mmol/L) dalam periode 24 jam dikarenakan resiko
kelebihan cairan, edema serebral atau central pontine myelinolysis yang disebabkan oleh
pergerseran cairan akibat perubahan tonisitas.5
Pendekatan Status Hiperosmolar

Untuk tujuan praktek, osmolalitas (mosmol/kg) dan osmolaritas dapat dipertukarkan, dan
yang terakhir dapat dihitung dan diukur dalam mmol/L. Dalam presentasi pada rumah sakit, pasien
kami mengalami omolaritas terhitung 428.7 mmol/L (rentang normal 285 – 295 mmol/L). Pada
kedatangan ke NCCU, osmolaritas terhitung-nya mencapai 399.6 mmol/L. Ekuasi yang kami
gunakan untuk menghitung ini adalah:

Osmolaritas = (2Na+) + urea + glukosa.

Tujuan panduan HHS dalam penanganan, yang mana secara potensial membantu pada
kasus ini adalah untuk:

 Normalisasi osmolalitas;
 Mengganti kehilangan cairan dan elektrolit;
 (normalisasi kadar gula darah).3

Hal yang penting untuk dicatat bahwa panduan ini, tentunya, dirancang untuk memandu
re-hidrasi pasien yang mengalami hiperosmolar sekunder terhadap hiperglisemia. Hal ini penting
untuk dipertimbangkan karena kedua osmoles sodium dan glukosa efektif kontribusinya dalam
tonisitas, sedangkan urea tidak, karena dapat melewati membran sel secara bebas.

Takaran penurunan osmolaritas yang dianjurkan pada panduan HHS adalah 3 – 8 mmol/L/h
dengan menggunakan saline 0.9% sebagai cairan resusisasi yang diutamakan. Namun,
pengurangan dalam osmolaritas harus diseimbangi tingkat perubahan kadar serum sodium
(perubahan maksimal 10 mmol/L dalam periode 24 jam, seperti sebelumnya), sodium diharapkan
untuk naik pada contoh pertama dimana air mengalir secara intraseluler. Ekspektasi penggantian
cairan yang dibutuhkan di dalam pengelolaan HHS adalah 6 – 13 L pada pasien berbobot 60 kg,
dengan 50%-nya diberikan pada 12 jam pertama.

Pendekatan Kami

Dalam presentasi awal pada rumah sakit lokalnya, pasien kami mengalami hipernatremis
moderat (sodium 152 mmol/L), uremik berat (urea 118 mmol/L) dan hiperosmolar (osmolaritas
terhitung 428 mmol/L), namun tonisitas efektifnya apabila urea tidak terhitung sebagai osmole
yang tidak efektif itu tidak naik (osmolaritas efektif 310 mmol/L). Ia diberikan cairan (detail
pastinya tidak diketahui) dan mengalami keseimbangan cairan positif pada awalnya namun
pengamatan dekat dan resusisasi cairan berhenti ketika pasien menjadi lebih baik dalam waktu
singkat.

Empat hari setelah presentasi awal, pada kedatangannya di institusi kami, ia mengalami
hipernatremis berat (sodium 169 mmol/L), uremik berat (49 mmol/L) dan hiperosmolar
(osmolalitas terhitung 399 mmol/L), namun karena komponen osmolalitas yang efektif, ia
memiliki tonisitas efektif yang lebih tinggi (osmolaritas efektif 350 mmol/L) daripada presentasi
awal kepada rumah sakit.

Kami merasa bahwa bijak untuk berhati-hati dengan rehidrasi pos-operasi dimana periode
awal pemberian cairan diasosiasikan dengan SDH. Kami menjaga untuk SDH yang terjadi dari
kombinasi disfungsi trombosit uremik, penyebab pendarahan intrakranial dan pergeseran cairan
pada jaringan yang kurang elastis melaui dehidrasi berat, pada pasien dengan patofisiologi
kompleks.6 sebagai tambahan, kenaikan serum sodium, melalui pengurangan pada urea namun
perubahan lebih sedikit pada osmolaritas terhitung melanjuti episode pertama resusisasi cairan
(pada rumah sakit lokal) menunjukkan bahwa mungkin terjadi hiponatremia dilusional relatif
sekunder dari uremia awal. Perubahan pada plasma sodium mungkin telah dipengaruhi oleh akibat
disfungsi serebral.

Kami memilih untuk mengurangi serum osmolaritas terhitung 20 mmol/L setiap hari,
mempergunakan efek osmolar pengurangan sodium 10 mmol/L sebagai titik referensi kami. Kami
butuh untuk mengkoreksi, pada tahapan ini, hipernatremia yang besar sebagai tambahan dari
uremia dan kenaikan tonisitas. Untuk mencapai hal ini, kami menggunakan kombinasi cairan
bersama dengan monitoring reguler, dimana terjadi defisit garam dan air pada pasien, distribusi
garam dan air melintasi kompartemen intraseluler dan ekstraseluler, ekskresi renal, dan respon
terhadap resusisasi cairan secara esensial tidak diketahui seluruhnya (tabel 4 dan 5). Figur 2
menunjukkan perubahanpada sodium dan osmolaritas terhitung pada saat pasien masuk rumah
sakit, dari hari pertama masuk, pemindahan ke jasa tertier pada hari keempat sampai pemindahan
ke bangsal bedah syaraf hari ke-12.

Pada awalnya kuantitas besar dari cairan isotonik digunakan untuk rehidrasi menggunakan
sampling darah menargetkan pengurangan osmolaritas setiap harinya terhitung 20 mmol/L.
menindaklanjuti rehidreasi awal, solusi hipotonik dapat digunakan secara aman, setelah hasil
biokimia hampir mencapai rentang yang direferensikan, cairan enteral digunakan. Cairan
intravena diberikan secara terperinci, dengan mengingat input cairan berisi obat-obatan dan
makanan nasogastric.
Pasien memerlukan sampling darah secara reguler untuk menilai perubahan serum biokima
dalam merespons tipe dan volume cairan. Hasil tes sodium, urea dan creatinin normal tidak terlihat
sampai hari perawatan ke-12 , dimana pasien mempunyai kesimbangan cairan positif secara
komulatif 16 L (estimasi TBW40%). Osmolaritas terhitung pada saat ini adalah 303.9 mmol/L.

Ketika membandingkan keseimbangan cairan pasien secara komulatif dengan estimasi


awal free water yang dibutuhkan dari metode kalkulasi Adrogue҆ (6 L), dapat terlihat bagaimana
ketidaktepatan metode tersebut. standard Kuantitas cairan diperlukan untuk meresusisasi pasien
dengan HHS, namun lebih sugestif dari kuantitas cairan yang mungkin dibutuhkan (sampai 13 L)
pada pasien hupernatrenia sekunder dari dehidrasi melalui hiperglisemia. Sebagai tambahan,
metode Adrogue҆ mempromosikan penggunaan solusi hipotonik dan tidak menganjurkan solusi
isotonik; dalam kasus yang sama, panduan HHS menganjurkan penggunaan cairan isotonik
dibanding hipotonik, walaupun keduanya waspada akan perubahan rapid pada plasma sodium.

Kesimpulan

Kasus yang ditunjukkan ini merupakan salah satu dehidrasi berat dan AKI yang
membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit. Pendekatan terhadap resusitasi cairan pada
konteks status hipernatremia dan hiperosmolar dipertimbangkan. Hal tersebut secara bijak
digunakan untuk mengelola kasus kompleks dehidrasi berat dan biokimia yang kacau dengan hasil
yang sukses.

Mungkin kami terlalu memperhatikan kecepatan koreksi pada biokimia pasien, namun
sebagai tambahan untuk mengestimasi berapa jumlah cairan yang dibutuhkan untuk meresusisasi
pasien dehidrasi, kasus ini juga berperan sebagai pengingat konsekuensi potensial dari dehidrasi,
termasuk hiperviskositas, AKI dan disfungsi trombosit uremik; kesulitan dalam memperkirakan
pada individual ketika literatur memberikan informasi tentang kelompok; dan ketahanan yang
hebat dari beberapa pasien.

Kami menyarankan rekonsiderasi pendekatan hipernatremia dalam mengoreksi pasien


dengan hipernatremia kronis (lebih dari 48 jam) dan dehidrasi, dimana bila mencoba untuk
menghitung defisit free water pada pasien sakit kritis sangat tidak akurat. Kami menyarankan
kebutuhan resusisasi pasien secara individual bedasarkan osmolaritas, monitoring dan mengawasi
respon terhadap pemberian cairan sambil menjaga panduan yang jelas akan parameter aman pada
perubahan konsentrasi sodium. Rekomendasi kami menggambarkan secara paralel yang signifikan
dengan panduan saat ini tentang tatalaksana HHS.
Persetujuan
Dipublikasikan dengan persetujuan tertulis pasien.

Deklarasi Konflik Kepentingan


Para penulis mendeklarasikan tidak adanya potensial konflik atas kepentingan dengan
menghormati riset, kepenulisan, dan/atau publikasi artikel ini.

Pendanaan
Para penulis tidak menerima bantuan finansial untuk riset, kepenulisan dan/ atau publikasi artikel
ini.

Keterangan
Tabel 1. Hasil pra-operasi pada kedatangan di pusat rujukan ketiga
Tabel 2. Data Labrotarium dan klinis dari waktu presentasi rumah sakit awal
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Pasien dalam beberapa hari pada rumah sakit lokal
Tabel 4. Detail Administrasi Cairan fase pemulihan pos-operasi
Tabel 5. Normalisasi hasil biokimia fase pos-operasi. Monitoring biokimia terhadap resusisasi
cairan dilakukan beberapa kali dalam periode pos-operasi awal, namun hasil harian ditabulasi di
sini.
Figur 2. Perubahan pada plasma sodium dan osmolaritas dengan rehidrasi.

Referensi
1. Joekes AM. The treatment of uraemia with special reference to acute renal failure. Postgrad
Med J 1949; 25: 61–70.
2. Adrogue´ HJ, and Madias NE. Hypernatraemia. N Engl J Med 2000; 342: 1493–1499.
3. Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. The management of hyperosmolar
hyperglycaemic state in adults with diabetes. Joint British Diabetes Societies for Inpatient
Care 06, www.diabetes.org.uk or www.dia betologists-abcd.org.uk (2012, accessed 31
January 2017).
4. Lindner G, Schwarz C, Kneidinger N, et al. Can we really predict the change in serum sodium
levels? An analysis of currently proposed formulae in hypernatraemic patients. Nephrol Dial
Transplant 2008; 23: 3501–3508.
5. Martin RJ. Central pontine and extrapontine myelinolysis: the osmotic demyelination
syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75(Suppl 3): iii22–iii28.
6. Salman S. Uremic bleeding: Pathophysiology, diagnosis and management. Hosp Physician
2001; 37: 45–50, 76

Anda mungkin juga menyukai