Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom Koroner Akut (SKA) sampai saat ini merupakan penyebab kematian

utama di seluruh dunia. Berdasarkan data yang dicatat oleh WHO, 80% kematian

global akibat jantung terjadi pada masyarakat miskin dan menengah. Dinegara

berkembang dari tahun 1990 sampai 2030 angka kematian SKA akan meningkat

sebanyak 137% pada laki-laki, dan 120% pada perempuan. Di tahun 2030 diperkirakan

menjadi penyebab kematian 25 orang/tahunnya.1

Berdasarkan data yang diolah oleh Riskesdas tahun 2013 didapatkan prevalensi

SKA di Indonesia sebesar 1,5 % atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Penderita

SKA banyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun, 55-64 tahun dan 65-74

tahun. Namun demikian, berdasarkan diagnosis/gejala, SKA cukup banyak pula

ditemukan pada penduduk kelompok umur 15-24 tahun.

SKA adalah penyakit yang disebabkan penumpukan plak pada arteri koroner

yang menyebabkan aliran darah ke miokardium terbatas. Penyebab SKA yang paling

umum adalah aterosklerosis. Aterosklerosis ditandai dengan pembentukan plak

aterosklerotik akibat disfungsi endotel yang menjadi sasaran terjadinya fisur,

1
perdarahan dan trombosis. Keadaan ini dapat mengacaukan keseimbangan antara

suplai dan kebutuhan oksigen sehingga mencetuskan iskemia atau infark miokard.2

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya SKA. Faktor risiko SKA

terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat nonmodifiable seperti usia, jenis kelamin, dan

riwayat keluarga, serta yang bersifat modiafiable seperti hipertensi, dislipidemia,

merokok, diabetes melitus, obesitas, dan inaktifitas fisik. Insidensi SKA pada penderita

hipertensi adalah lebih dari lima kali daripada yang normotensi.3

Menurut JNC 8, hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Hipertensi meningkatkan

resistensi ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung bertambah. Perjalanan penyakit

hipertensi sangat perlahan, kondisi yang kronis dapat mengakibatkan kematian karena

payah jantung dan SKA. Deteksi dini dan perawatan hipertensi yang efektif dapat

menurunkan angka kecacatan dan kematian. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Balitbangkes tahun 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai

31,7% dari total penduduk dewasa, tetapi hanya 23,9% saja dari populasi ini yang

mengetahui dirinya menderita hipertensi dan menerima pengobatan. Di tahun 2013,

prevalensi hipertensi di Indonesia masih mencapai 25,8%. Kini, hipertensi menjadi

penyebab nomor tiga kematian di Indonesia.2

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis hendak melakukan penelitian

mengenai prevalensi pasien Sindrome Koroner Akut (SKA) dengan hipertensi dan non-

hipertensi di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prevalensi kejadian Sindrome Koroner Akut dengan hipertensi

dan non-hipertensi di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia

periode Agustus 2017 sampai Desember 2017.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

i. Mengetahui prevalensi kejadian Sindrome Koroner Akut dengan

hipertensi dan non-hipertensi di Rumah Sakit Umum Universitas

Kristen Indonesia periode Agustus 2017 sampai Desember 2017.

2. Tujuan Khusus

i. Menambah pengetahuan mengenai Sindrome Koroner Akut

ii. Mengetahui prevalensi SKA berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

iii. Mengetahui prevalensi SKA berdasarkan Faktor Risiko

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti

i. Sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian untuk memenuhi

syarat menyelesaikan studi Program S1 Kedokteran.

3
ii. Mengetahui prevalensi kejadian Sindrome Koroner Akut dengan

hipertensi dan non-hipertensi di Rumah Sakit Umum Universitas

Kristen Indonesia periode Agustus 2017 sampai Desember 2017.

2. Manfaat Bagi Institusi

i. Diharapkan skripsi ini dapat menambah bahan bacaan dan sumber

informasi tentang kejadian Sindrome Koroner Akut di Rumah Sakit

Umum Universitas Kristen Indonesia

3. Manfaat Bagi Masyarakat

i. Masyarakat dapat mengetahui kejadian Sindrome Koroner Akut

dengan hipertensi dan non-hipertensi di Rumah Sakit Umum

Universitas Kristen Indonesia

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sindrome Koroner Akut

Sindrome Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang

digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit

yang meliputi angina pectoris tidak stabil /APTS (unstable angina/UA), infark miokard

non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial

infarction/ NSTEMI) , dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan

elevasi segmen ST (ST elevation miokard infarction / STEMI) .4

B. Epidemiologi Sindrome Koroner Akut

Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi Sindrom Koroner Akut di Indonesia

tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan

berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340

orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita Sindrom Koroner Akut

terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%), sedangkan

Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 1.436

orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita Sindrom

Koroner Akut terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.127 orang

(1,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat,

5
yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%). Info datin

C. Klasifikasi Sindrome Koroner Akut 6

1. Angina Pektoris Tak Stabil

Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindrome iskemik

miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan infark miokard akut

(makalah USU). Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu : 1. Pasien dengan

angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi

cukup sering, lebih dari 3 kali per hari. 2. Pasien dengan angina yang makin bertambah

berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih

berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasinya makin ringan. 3. pasien dengan

serangan angina pada waktu istirahat.

Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada

keseragaman. Klasiifkasi berdasarkan beratnya berat serangan angina dan keadaan

klinik.

1. Beratnya angina :

a. Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin

bertambah beratnya nyeri dada.

b. Kelas II. Angina pada waktu istirahat terjadinya subakut dalam 1

bulan, tapi taka da serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

6
c. Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya

secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terkhir.

2. Keadaan klinis :

a. Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi

lain atau febris.

b. Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra

kardiak.

c. Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

3. Intensitas pengobatan :

a. Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal.

b. Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar.

c. Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan

pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan

antagonis kalsium.

2. NSTEMI (Non-ST Elevation Myocardial Infraction)

Non-ST Elevasi Miokardial Infark (NSTEMI) adalah oklusi sebagian dari arteri

koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi

segmen ST pada EKG. NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan

7
atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.

NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokontriksi koroner.

3. STEMI (ST Elevation Myocardial Infraction)

ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI) merupakan bagian dari spectrum

sindrome koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa

elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah

koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik

yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

D. Faktor Risiko Sindrome Koroner Akut

Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor risiko

yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain :

1. Hipertensi

2. Diabetes

3. Hiperkolesterolemia

4. Merokok

5. Kurang latihan

6. Diet dengan kadar lemak tinggi

7. Obesitas

8. Stres

8
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain :

1. Riwayat PJK dalam keluarga

2. Usia di atas 45 tahun

3. Jenis kelamin laki-laki > perempuan

4. Etnis tertentu lebih besar risiko terkena SKA.

E. Patofisiologi Sindrome Koroner Akut

Pada mulanya telah disepakati bahwa terjadinya Sindrome Koroner Akut

(SKA) adalah oleh karena adanya penutupan yang tiba tiba dari aliran darah coroner

yang aterosklerotik yang kemudian mengakibatkan kekurangan oksigen di otot jantung

dan akibatnya terjadi jaringan iskemi sampai jaringan nekrosis. Pada saat itu di

perkirakan semakin besar atheroma yang ada di pembuluh darah semakin mudah

menyebabkan SKA, akan tetapi ternyata pada penelitian dibuktikan bahwa justru pada

stenosis yang ringan dan sedang lebih banyak terjadi SKA dan hal ini diduga oleh

karena “pecahnya atheroma tersebut” (ruptur plak) dan thrombosis plak.

1. Ruptur Plak

Ruptur plak, ditemukan pada 56% - 95% SKA, Forrester yang memeriksa

dengan angioskopi intraoperative mendapatkan 95% SKA ditemukan adanya ruptur

plak. Tidak semua plak yang terjadi pada proses aterogenesis menjadi plak yang tidak

9
stabil, hal tersebut tergantung dari terbentuknya kap dan lipid core yan ada dan proses

yang mendasarinya. Menurut AHA, tipe plak dihubungkan dengan tampilan klinis

dapat dibagi menjadi 6 tipe yaitu :

 Tipe 1 : penebalan tunika intima, makrofag, isolated foam cell, pada fase ini

tampilkan klinisnya asimptomatik

 Tipe 2 : Fatty Streak, terdapat akumulasi lipid intrasel dan infiltrasi makrofag

serta otot polos, fase ini juga masih asimtomatik

 Tipe 3 : masih seperti diatas tetapi disertai pula dengan adanya lipid ekstrasel

dan deposisi jaringan ikat, juga masih asimtomatik

 Tipe 4 : Ateroma terdapat gumpalan lipid pada tunika intima, sel inflamasi

mulai infiltrasi diikuti dengan makrofag, foam cel dan T cell,

biasanya tampilan klinis pada fase ini asimtomatik, namun bisa juga

angina stabil

 Tipe 5.a : seperti tipe 4 disertai dengan lapisan jaringan fibrous, tampilan klinis

masih seperti tipe 4

 Tipe 5.b : Ateroma dengan kalsifikasi berat didalam lipidcore atau di lesinya,

tampilan klinis pada fase ini adalah angina stabil

 Tipe 5.c : Fibrous-Ateroma dengan thrombus mural dengan komponen lipid

yang minimal, tampilan klinisnya masih seperti 5.b yaitu angina

stabil

 Tipe 6 : Complicated Lesion, terjadi rupture plak tipe 4 dan 5 dengan hemoragi

10
intramural dan mulai nya proses trombogenesis insitu. Tampilan

klinis dari fase ini adalah suatu keadaan yang disebut sebagai

Sindrome Koroner Akut.

2. Trombosis Plak

Lebih dari 75 % thrombus yang ditemukan di SKA, terletak di tempat dimana

plak mengalami rupture. Bila plak yang tidak stabil mendapat pencetus (trigger), maka

kap yang tipis tersebut akan koyak dan kemudian berlangsunglah proses selanjutnya

berupa pembentukan thrombus yang dimulai dari fisura atau robekan kap tadi. Mula

mula terjadi akumulasi platelet di tempat koyakan, kemudian ditambah dengan adanya

fibrin, membentuk gumpalan dini yang disebut white clot yang secara langsung

berusaha menutupi semua permukaan yang robek atau koyak tadi. Kemudian datanglah

eritrosit untuk menutupi seluruh white clot tadi sehingga membentuk red clot diseluruh

permukaan white clot. Didalam komponen plak, lipid core memiliki efek

trombogenisitas yang paling kuat, hal ini disebabkan oleh karena pengaruh adanya

factor jaringan, dimana factor jaringan ini mengaktifkan factor 9 dan 10 bersama

membentuk thrombin.

Sedangkan factor yang mempengaruhi respon trombogenesis ditempat

kap yang terkoyak tadi adalah:

 Substrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat tersebut.

 Iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis, semakin tajam

lengkungan kap stenosis dan semakin ireguler, maka semakin mudah

11
terjadi proses trombogenesis tersebut.

 Keseimbangan trombotik-trombolitik factor trombogenik misalnya

hiperagregabilitas, hiperkoagulabilitas dan menurunnya fibrinolysis

meningkatkan risiko terjadinya thrombus pada SKA.

Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang

peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Perjalanan proses

aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik),

secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-

anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis

dalam pembuluh darah, dan lambat laun pada usia tua dapat berkembang menjadi

bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya

penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau

terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat

sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh coroner. Pada saat inilah muncul berbagai

presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat

stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat dilihat

dengan presentase penyempitan pembuluh coroner pada pemeriksaan angiografi

coroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata

lain, risiko terjadinya rupture pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya

plak (derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan (vulvunerability) plak.

12
Erosi, fisur, atau rupture plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding

arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue

factor) kedalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta

pembentukan fibrin, membentuk thrombus atau proses thrombosis. Trombus yang

terbentuk dapat menyebabkan okluis coroner total atau subtotal.

Patogenesis pada SKA dapat dibagi juga berdasarkan manifestasi yang terjadi.

Tabel 2.1. Patogenesis Pada Berbagai Manifetasi Klinik SKA

Manifestasi Klinik
No Patogenesis
SKA

Pada angina pectoris tidak stabil terjadi erosi

atau fisur pada plak aterosklerosis yang relative kecil

Angina Pektoris Tidak dan menimbulkan oklusi thrombus yang


1
Stabil transien.Trombus biasanya labil dan menyebabkan

oklusi sementara yang berlangsung 10-20 menit

Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih

berat dan menimbulkan oklisi yang lebih presisten


NSTEMI (Non-ST
dan berlangsung sampai lebih dari 1jam. Pada kurang
2 Elevation Myocardial
lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi thrombus
Infraction)
yang berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari

penyumbatan terdapat kolateral. Trombolisis

13
spontan, resolusi vasokonstriksi dan kolateral

memegang peran penting dalam mencegah STEMI

Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah

yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya

thrombus yang fixed dan persisten yang


STEMI (ST Elevation
3
menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-
Myocardial Infraction)
tiba yang berlangsung lebih dari 1jam dan

menyebabkan nekrosis miokard transmural

F. Manifestasi Klinis Sindrome Koroner Akut

1. Angina Pektoris Tak Stabil

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan

angina tak bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat

dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang

minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual sampai muntah dan

kadang – kadang disertai keringat dingin.

2. NSTEMI (Non-ST Elevation Myocardial Infraction)

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium

dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,

rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada

14
NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukan bahwa mereka memiliki

gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik

dibandingkan dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa

tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak

khas seperti dispneu, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu

atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien- pasien

berusia lebih dari 65 tahun.

3. STEMI (ST Elevation Myocardial Infraction)

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali

ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit

dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark

anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau

hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas

parasimpatis (bradikardi dan atau hipotensi).

G. Diagnosis Sindrome Koroner Akut 5,6

1. Riwayat Anamnesis

Diagnosis adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan

didasarkan pada tiga kriteria, yaitu : gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG

(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung.

Nyeri dada tipikal merupakan gejala cardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa

15
tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA.

Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan

dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam

pengelolaan pasien SKA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

 Lokasi : substernal, retrosternal dan precordial

 Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.

 Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,

gigi, punggung / interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

 Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah

makan.

 Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,

cemas dan lemas.

Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala

NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda – tanda gagal

ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas

pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama

pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar

16
pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multiple dengan tujuan agar tidak

terjadi kesalahan diagnosis.

Tabel 2.2. Tiga Penampilan Klinis Umum

No Pathogenesis Penampilan Klinis Umum

Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus,


1 Angina saat istirahat
biasanya lebih dari 20 menit.

Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya


2 Angina pertama kali
CCS Kelas III*

Angina semakin lama semakin sering, semakin


3 Angina yang meningkat
lama waktunya atau lebih muda tercetus

*Klasifikasi AP dari CCS Classification

2. Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus

dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol,

anemia, tirotoksikasi, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain,

seperti penyakit paru.

Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronkhi dan gallop S3) menunjukkan

prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer

17
menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung

coroner (SKA)

3. Elektrokardiografi

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosi. Rekaman yang dilakukan

saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah:

1. Depresi segmen ST > 0,05 mV

2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T

yang simetris di sandapan precordial

Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia

jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya

perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis

APTS / NSTEMI.

Pemeriksaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan

yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai

ciri dan kategori:

 Angina pectoris tidak stabil : depresi segmen ST dengan atau tanpa

inversi gelombang T, kadang – kadang elevasi segment ST sewaktu

nyeri, tidak dijumpai gelombang Q.

 Infark miokard non – Q : depresi segmen ST, inversi gelombang T

18
4. Petanda Biokimia Jantung

Petanda biokimia seperti troponin I (Tnl) dan troponin T (TnT) mempunyai

nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, Tnl dan TnT berkaitan

dengan kontraksi dari sel miokard. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan

sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada Tnl dan TnT berbeda. Nilai prognostik

dari Tnl dan TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan

revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama. Kemampuan dan nilai dari masing –

masing petanda jantung dapat dilihat pada tabel 2.3.

Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator

penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut adalah

relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (< 6 jam) setelah onset

serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segement ST elevasi lebih besar

pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB.

Tabel 2.3 Petanda Biokimia Jantung Untuk Evaluasi dan Tatalaksana

SKA Tanpa Elevasi Segmen ST

Petanda Keunggulan Kekurangan Rekomendasi

Klinik

Troponin  Modalitas yang kuat  Kurang sensitif pada awal Tes yang bermanfaat

Jantung untuk stratifikasi risiko terjadinya serangan (< 6 untuk mendiagnosis

 Sensitivitas dan jam) dan membutuhkan kerusakan miokard,

19
spesifikasi yang lebih penilaian ulang pada 6 – 12 dimana klinis harus

baik dari CKMB jam, jika hasil negative membiasakan diri

 Deteksi serangan  Kemampuan yang terbatas dengan keterbatasan

infark miokard sampai untuk mendektesi infark penggunaan pada

dengan 2 minggu ulang yang terlambat laboratorium RS nya

setelah terjadi masing- masing

CK – MB  Cepat, efisien biaya  Kehilangan spesifitas pada Standar yang berlaku

dan tepat penyakit otot jantung dan dan masih dapat

 Dapat mendeteksi kerusakan otot miokard diterima sebagai tes

awal infark akibat bedah diagnostik pada

 Kehilangan sensitifitas saat sebagian besar

awal infark miokard akut kondisi

(onset < 6 jam) atau

sesudahnya setelah onset

(36 jam) dan untuk

kerusakan otot jantung

minor (terdeteksi dengan

troponin)

Mioglobin  Sensitifitas tinggi  Spesifitas yang rendah Tidak digunakan

 Bermanfaat untuk dalam menilai kerusakan sebagai satu –

20
deteksi awal infark dan penyakit otot rangka satunya petanda

miokard  Penurunan yang cepat ke daignostik karena

 Deteksi reperfusi nilai normal, sensitif untuk kelemahan pada

 Sangat bermanfaat kejadian yang terlambat spesifitasi jantung

dalam menilai infark (normal kembali dalam 6

miokard jam)

Meskipun mioglobin tidak spesifikasi untuk jantung, tapi memiliki sensitifitas

yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes negatif dari

mioglobin dalam 4 – 8 jam sangat berguna dalam menentukan adanya nekrosis

miokard. Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai satu – satunya

petanda jantung untuk mengindentifikasi pasien dengan NSTEMI

Peningkatan kadar CKMB sangat erat berkaitan dengan kematian pasien

dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya risiko dimulai dengan

meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB

tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko terjadinya

perburukan penderita.

Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA.

Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6 – 12

jam setelah onset nyeri dada. Pemeriksaan troponin jantng dapat dilakukan di

21
laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana / bediside. Jika dilakukan di

laboratorium, hasilnya dapat diketahui dalam waktu 60 menit.

Tabel 2.4 Spektrum Klinis Sindrome Koroner

Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung

APTS Angina pada waktu  Depresi segmen T Tidak meningkat

istirahat/aktivitas ringan  \Inversi gelombong T

(CCS III – IV). Cresendo  Tidak ada gelombang

angina. Hilang dengan Q

nitrat

NSTEMI Lebih berat dan lama (>  Depresi segmen ST Meningkat

30 menit). Tidak hilang  Inversi gelombang T minimal 2 kali

dengan nitrat, perlu nilai batas atas

opium normal

STEMI Lebih berat dan lama (>  Hiperakut T Meningkat

30 menit) tidak hilang  Elevasi segmen T minimal 2 kali

dengan nitrat, perlu  Gelombang Q nilai batas atas

opium  Inversi gelombang T normal

22
H. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari

140mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran

dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang).7 Hipertensi

didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment

of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg. 6

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai

faktor risiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi

yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor

yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola

konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh. 8

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan jantung,

penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada

kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat

kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang

merupakan salah satu faktor risiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung

(cardiovascular). 14,15

I. Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,

hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic

23
hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan

tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan

dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung).

Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil

pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan

diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anakanak

dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil

menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah

yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolic

berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara

dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan

diastolik.16

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus.

Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,

hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam

ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang

meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.

24
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,

feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan

kehamilan, dan lain-lain.

Menurut The Eight Report of The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII), klasifikasi

hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,

hipertensi derajat I dan derajat II. (Tabel 2.5)

Tabel 2.5 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VIII 17

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah

Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat I 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat II ≥ 160 ≥ 100

25
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang dipilih adalah studi kasus retrospektif. Pengambilan

data diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien. Hasil penelitian dan

sajikan dalam bentuk deskriptif dan analitik.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertempat di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia.

C. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2018

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Seluruh pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada ke RSU UKI.

2. Sampel

Seluruh pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada ke RSU UKI yang

memenuhi kriteria inklusi.

26
3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini adalah:

i. Penderita dengan diagnosa akhir Sindrom Koroner Akut yang datang

ke RSU UKI pada Agustus 2017 sampai Desember 2017

ii. Penderita dengan riwayat hipertensi atau Diabetes Melitus atau riwayat

penyakit lainnya yang berkaitan dengan SKA

iii. Kelengkapan data, meliputi:

a) Jenis kelamin pasien

b) Umur pasien

c) Berat badan pasien

d) Tinggi badan pasien

e) Faktor Resiko

f) Diagnosis akhir

Kriteria eksklusi dari sampel penelitian ini adalah:

i. Pasien dengan keluhan nyeri dada yang datang ke RSU UKI yang

memiliki catatan rekam medik tidak lengkap.

E. Variabel Penelitian

i. Variabel Dependent pada penelitian ini adalah faktor risiko yang

dimiliki pasien

27
ii. Variabel Independent pada penelitian ini adalah usia, jenis

kelamin, dan berat badan yang dimiliki pasien

F. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

1 Faktor Risiko Segala sesuatu yang dimiliki seseorang yang

berpotensi untuk menimbulkan gejala suatu

penyakit

2 Usia Usia pasien yang dihitung sejak lahir sampai dengan

waktu pasien datang ke RSU UKI

3 Jenis Kelamin Perbedaan gender untuk melihat probabilitas

seseorang terkena suatu penyakit

4 Berat Badan Berat badan pasien yang dihitung waktu pasien

dating ke RSU UKI untuk menilai status gizi pasien

G. Pengambilan Data

Data diambil secara retrospektif melalui rekam medis pasien dengan keluhan

nyeri dada atau dengan diagnosa akhir Sindrom Koroner Akut di RSU UKI dalam

kurun waktu Agustus 2017 sampai Desember 2017.

28
H. Bahan dan Cara Kerja

1. Bahan

Rekam medik pasien Poliklinik Jantung RSU UKI terhitung tanggal 1 Agustus

2017 sampai dengan 31 Desember 2017

2. Cara kerja

a. Pengumpulan data

Mengumpulkan semua rekam medik pasien dengan keluhan nyeri dada

dengan diagnosa akhir Sindrom Koroner Akut terhitung tanggal 1

Agustus 2017 sampai dengan 31 Desember 2017 di RSU UKI.

b) Pencatatan

Pencatatan umum mencakup identitas pasien (nama, umur, jenis

kelamin dan berat badan), riwayat penyakit dahulu, dan diagnosis akhir.

c) Pengolahan data

Pengolahan data menggunakan cara manual dengan perhitungan

univariat.

I. Etika Penelitian

Pihak RSU UKI diberi penjelasan secara lisan mengenai tujuan dan cara

penelitian serta diberi jaminan kerahasiaan atas semua data responden. Penelitian

dilakukan setelah mendapat persetujuan secara sukarela dari Pihak RSU UKI

29
J. Kerangka Teori

30
K. Kerangka Konsep

Pasien hipertensi

Keluhan Nyeri Dada

Pasien non-hipertensi

Persangkaan SKA

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang

Diagnosa SKA

31
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pasien

Pasien yang telah diteliti adalah penderita nyeri dada yang terdiagnosis SKA

yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia dari

Agustus 2017 sampai dengan Desember 2017 dan memenuhi kriteria inklusi.

Bagan 4.1 Karakteristik Pasien SKA di RSU UKI Selama Agustus 2017 –

Desember 2017

15 Pasien SKA

15 Pasien Masuk Kriteria 0 Pasien Masuk Kriteria


Inklusi Eksklusi

Dari bagan 4.1 menunjukan jumlah seluruh pasien SKA yang berkunjung

(menjalani rawat jalan / rawat inap) di RSU UKI sebanyak 15 orang dengan

keseluruhannya masuk kedalam kriteria inklusi.

32
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Dengan Keluhan Nyeri Dada di RSU UKI

Selama Agustus 2017 – Desember 2017

Keterangan Jumlah Presentase (%)

Jenis Kelamin

Laki – laki 6 40

Perempuan 9 60

Kelompok Umur

35 – 44 3 20

45 – 54 2 13,3

55 – 64 3 20

65 – 74 3 20

> 75 4 26,7

Tabel 4.1 menunjukkan jumlah pasien laki-laki sebanyak 40% dan pasien

perempuan lebih tinggi dengan persentase 60%. Didapatkan bahwa perempuan

memiliki risiko lebih besar terkena SKA setelah menopause atau umur diatas 50 tahun.

Wanita usia muda, yang sebagian besar masih dalam efek proteksi estrogen umumnya

terlindung dari kejadian kardiovaskular karena estrogen mempengaruhi stabilisasi

plak. Pada laki-laki kejadiannya lebih awal daripada wanita. Hasil yang sama

33
didapatkan dari data Kementrian Kesehatan RI melalui RISKESDAS tahun 2013

melaporkan bahwa prevalensi SKA lebih tinggi pada perempuan 0.5% dan laki – laki

0.4%.

Jumlah pasien terbanyak adalah pada rentang usia diatas 75 tahun dengan

persentase 26,7%. Telah dibuktikan bahwa prevalensi terjadinya SKA berdasarkan

umur meningkat seiring bertambahnya usia seseorang.

B. Karakteristik Pasien Berdasarkan Faktor Risiko

Tabel 4.2 Karakteristik Pasien Dengan Keluhan Nyeri Dada

Berdasarkan Faktor Risiko di RSU UKI Selama Agustus 2017 – Desember 2017

Keterangan Jumlah Presentase (%)

Hipertensi 13 30,9

Merokok 5 11,9

Diabetes Melitus 8 19,0

Dyslipidemia 8 19,0

Obesitas 4 9,5

IMT Pra obesitas 3 7,1

Overweight 1 2,3

34
Dari hasil penelitian tabel 4.2 pasien dengan keluhan nyeri dada yang memiliki

riwayat hipertensi berjumlah 13 orang (30,9%), yang memiliki riwayat merokok

berjumlah 5 orang (11,9%), yang mengalami dyslipidemia berjumlah 8 orang (19,0%),

yang memiliki riwayat diabetes mellitus berjumlah 8 orang (19,0%), yang mengalami

obesitas berjumlah 4 orang (9,5%), yang mengalami pra obesitas berjumlah 3 orang

(7,1%), dan yang mengalami overweight berjumlah 1 orang (2,3%).

Hipertensi merupakan faktor risiko terbanyak yang dimiliki pasien dengan

keluhan nyeri dada di RSU UKI. Hal ini dikarenakan peningkatan tekanan darah

sistemik dapat meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri,

sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel sehingga meningkatkan kekuatan

kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi

ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya

menyebabkan angina dan infark miokardium. Insidensi SKA pada penderita hipertensi

adalah lebih dari lima kali daripada yang normotensi Hasil ini membuktikan bahwa

prevalensi hipertensi di Indonesia khususnya di RSU UKI masih terbilang tinggi dan

merupakan faktor mayor terjadinya SKA.

Risiko terjadinya SKA pada pasien dengan Diabetes Melitus di RSU UKI

adalah paling banyak ke dua setelah hipertensi. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu

penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau keduanya. Pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar

(200%) untuk terjadinya SKA dari pada individu yang tidak diabet. Penelitian lain juga

35
menunjukkan laki-laki yang menderita DM risiko SKA (50%) lebih tinggi daripada

orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat (Anwar 2004).

Pada penelitian ini dibuktikan bahwa pasien yang mempunyai riwayat Diabetes

mellitus kebanyakan adalah perempuan yang mayoritas disertai dengan status gizi

obesitas, dyslipidemia, serta hipertensi.

Dislipidemia diyakini sebagai salah satu faktor risiko mayor yang dapat

dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya SKA.

Pada penelitian ini Dislipidemia menjadi faktor tertinggi ketiga penyebab SKA di RSU

UKI. Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol

yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160 mg/dL) memiliki

resiko terjadinya SKA akan meningkat.

Merokok juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung dan

memiliki hubungan kuat untuk terjadinya SKA. Merokok menaikkan risiko serangan

jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar (24%) kematian akibat SKA pada laki-laki

dan (11%) pada perempuan disebabkan kebiasaan merokok.9 Risiko terjadinya SKA

akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20 batang rokok

atau lebih dalam sehari memiliki resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi

daripada populasi umum untuk mengalami kejadian SKA.10 Dalam penelitian ini

dibuktikan bahwa prevalensi pasien SKA dengan riwayat merokok lebih tinggi pada

laki-laki dan hanya 1 orang perempuan yang didapati mempunyai riwayat merokok,

36
Pada penelitian ini, obesitas didapatkan bersama-sama dengan hipertensi dan

DM. Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak dalam tubuh lebih dari (19%) pada laki-

laki dan lebih dari (21%) pada perempuan. Obesitas dapat menurunkan kadar HDL

kolesterol. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL

kolesterol. Risiko SKA akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi (20%) dari BB

ideal. Obesitas dapat menyebabkan dan memperparah hipertensi karena adanya

penambahan volume darah cardiac output.

37
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) sampai saat ini merupakan penyebab kematian

utama di seluruh dunia. Penderita SKA banyak ditemukan pada kelompok umur 45-54

tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun, hingga diatas 75 tahun. Prevalensi terjadinya SKA

berdasarkan umur meningkat seiring bertambahnya usia seseorang. Dari penelitian ini

dapat diketahui bahwa dalam rentang waktu Agustus 2017 sampai dengan Desember

2017, pasien yang terdiagnosis Sindrom Koroner Akut lebih banyak didapatkan pada

kelompok umur diatas 75 tahun, dan secara keseluruhan lebih dominan pada pasien

perempuan, yaitu 60%.

Kejadian SKA terjadi karena adanya faktor risiko yang antara lain adalah

tekanan darah tinggi (hipertensi), tingginya kolesterol, gaya hidup yang kurang

aktivitas fisik (olahraga), diabetes, merokok, konsumsi alkohol dan faktor sosial

ekonomi lainnya. Hipertensi tetap menjadi faktor risiko utama terjadinya Sindrom

Koroner Akut di RSU UKI dengan prevalensi kejadian sebanyak 30,9% dari total

keseluruhan pasien SKA di RSU UKI. Pada faktor risiko lainnya didapatkan 19%

Diabetes Melitus, 19% Dislipidemia, 11,9% dengan riwayat merokok, 9,5% dengan

status gizi obesitas, dan 2,3% dengan status gizi overweight.

38
B. SARAN

Sindrom Koroner Akut dapat dicegah dengan melakukan pola hidup sehat dan

menghindari faktor-faktor risiko, seperti pola makan yang sehat dan berserat,

menurunkan kolesterol, kontrol gula darah dengan mengurangi konsumsi gula

berlebih, kontrol tekanan darah secara rutin, melakukan aktivitas fisik dan olahraga

secara teratur. Kebiasaan merokok harus dihentikan karena merokok menyebabkan

elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga meningkatkan pengerasan pembuluh

darah arteri.

39

Anda mungkin juga menyukai