Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI

Pembimbing :

dr. Yari Castilani Hapsari, Sp. KK

dr. Saskia Retno Ayu Hapsari, Sp. KK

Disusun oleh :

Medissia Ivana Patricia


1261050032

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

PERIODE 27 AGUSTUS – 29 SEPTEMBER 2018

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam ilmu kedokteran telah diketahui dan disadari bahwa kehidupan di dunia ini
penuh dengan mikroorganisme dan setiap saat pasti kita berkontak dengan bakteri, jamur, virus
dan berbagai bentuk parasit lain, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Bahkan
permukaan tubuh kita, seperti kulit, traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, traktus
genitourinarius, dll dapat dikatakan penuh dengan berbagai macam mikroorganisme, tetapi
infeksi yang menyebabkan penyakit sebenarnya relative jarang timbul. Hal ini disebabkan
karena tubuh manusia mempunyai sistem imunologis yang mampu melindungi diri terhadap
serangan kuman penyakit tersebut.
Sistem ini, terdiri atas berbagai macam sel dan molekul protein yang saling bekerja
sama, mulai dari pengenalan antigen asing (non self-antigen) hingga bangkitnya respon imun
dan terbentuknya antibodi maupun sel makrofag aktif. Tanpa ini, maka tubuh kita akan mudah
terjangkit penyakit. Daya pertahanan tubuh ini merupakan suatu mekanisme protektif yang
merupakan gabungan antara barier anatomik dan kimiawi, sistem penghancuran
mikroorganisme oleh sel – sel fagosit dan sistem antibodi, yang kesemuanya ini dipengaruhi
lagi oleh faktor – faktor genetik, umur, gizi, dll.
Sistem daya pertahanan tubuh dapat bersifat lokal atau sistemik, spesifik atau non
spesifik, selain bersifat humoral atau selular, yang saling bekerja sama dalam menjaga
keutuhan tubuh. Sekali sistem imunologis tubuh telah dibangkitkan tehadap suatu antigen
asing, maka ia akan mempunyai daya ingat (memori), serta akan senantiasa mengadakan
respon spesifik yang lebih gencar terhadap kuman penyakit atau antigen asing tersebut apabila
tubuh terpajan antigen untuk yang keduakalinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN
Imunologi berasal dari bahasa latin yaitu Imunis dan Logos, Imun yang berarti kebal
dan logos yang berarti ilmu. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh.
Imunitas adalah perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekul-
molekul yang terlibat di dalam perlindungan membentuk sistem imun. Sedangkan respon untuk
menyambut agen asing disebut respon imun. Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari
ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada
semua organisme.
Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap
infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika
sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga
menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang
dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis
kanker.
Pemicunya disebut dengan Antigen, yaitu substansi yang mampu merangsang respon
imun, berupa bahan infeksiosa biasanya berbentuk protein atau karbohidrat, atau lemak.
Antigen akan berkontak dengan sel tertentu, memacu serangkaian kejadian yang
mengakibatkan destruksi, degradasi atau eliminasi. Apabila seseorang secara imunologis
terpapar pertama kali dengan antigen kemudian terpapar lagi dengan antigen yang sama, maka
akan timbul respon imun sekunder yang lebih efektif. Reaksi tersebut dapat berlebihan dan
menjurus ke kerusakan pada individu yang mempunyai respon imun yang menyimpang.
Untuk dapat memerankan fungsi imunitas, maka dikenal sistem limforetikular.
Kumpulan elemen seluler akan tersebar di seluruh jaringan, juga di jaringan limfe dan
muskular. Berbagai sel tersebut terutama terdapat di darah, jaringan timus, kelenjar limfe, dan
limpa, yang disebut sebagai sistem sekresi internal. Juga terdapat pada traktus respiratorius,
gastrointestinalis dan genitourinarius, serta disebut sistem sekresi eksternal karena
berhubungan dengan lingkungan luar

2.2. RESPONS IMUN


Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan
berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin
yang saling berinteraksi secara kompleks. Apabila terjadi aktivasi oleh benda asing akan terjadi
spektrum peristiwa selular maupun humoral yang terdiri atas respons imun nonspesifik
(alami/innate) dan spesifik (didapat/adaptive). Kedua komponen tersebut mempunyai reseptor
pengenalan dan kecepatan reaksi yang berbeda. Sebagai contoh sel pada respons imun alami,
termasuk makrofag dan sel dendrit memakai reseptor pattern recognition, dan memicu respons
yang cepat meski tidak bertahan lama. Sedangkan respons imun didapat yang terdiri atas
limfosit T dan B mempunyai reseptor spesifik terhadap antigen tertentu dan umumnya respons
yang terbentuk lebih lambat namun dapat bertahan lebih lama.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau
imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan
terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus
untuk antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh
non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih
dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik
sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.

2.3. JENIS-JENIS RESPONS IMUN


2.3.1. Respons Imun Non Spesifik (Innate Immunity)
Respons jenis ini digunakan pleh tubuh untuk secara cepat melindungi diri. Termasuk
didalamnya ialah sawar fisik misalnya kulit dan mukosa, berbagai faktor terlarut seperti
komplemen, peptida antimikroba, berbagai kemokin dan sitokin serta sel, antara lain
monosit/makrofag, dendritik, sel natural killer, dan lekosit polimorfonukler.
Reaksi yang terjadi pada respons imun alami berupa fagositosis dan reaksi peradangan.
Fagositosis merupakan peristiwa multifase terdiri atas beberapa langkah, yaitu pengenalan
benda yang akan difagosit, pergerakan ke arah targetnya (disebut kemotaksis), melekat,
memfagosit, dan memusnahkan didalam sel (intraselular) melalui mekanisme antimikrobial.
Rangsangan fagosit dapat merupakan peristiwa tersendiri atau bagian reaksi peradangan. Pada
manusia fagositosis terutama diperankan oleh sel mononukelear, neutrofil dan eosinofil.
Peradangan merupakan spektrum peristiwa selular maupun sistemik yang terjadi di dalam
tubuh untuk mempertahankan atau memperbaiki keseimbangan homeostasis akibat perubahan
keadaan lingkungan. Akan terjadi berbagai gejala antara lain demam sebagai akibat
peningkatan aktivitas metabolisme. Peningkatan laju endap darah merupakan gambaran fase
akut akibat peningkatan kadar fibrinogen dalam darah, aktivasi faktor Hageman, dan
peningkatan aktivitas fibrinolitik. Sebagai akibat peradangan dapat pula terjadi kerusakan
jaringan
A. Sawar fisik dan kimia
Kulit, selaput lendir, silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan mencegah
masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya
oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan
resiko infeksi. Epidermis mencegah penetrasi mikroorganisme, bahan iritan dan
toksin; mengabsorbsi dan mencegah radiasi; mencegah penguapan air.
B. Molekul pada respons imun alami
1. Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit
karena dapat menghancurkan sel membran bakteri dan merupakan faktor
kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat bakteri. Komponen
komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri memudahkan
makrofag untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi)
2. Peptida antimikroba
Aktivitas peptida antimikroba ini terkait kemampuan mengikat membran
hidrofobik yang terdapat pada mikroba tersebut dan akan mengakibatkan
kematian mikroba. Peptida antikmikroba diproduksi oleh sel yang
menginfiltrasi kulit dan turut berpartisipasi pada respons imun alami di kulit.
Keratinosit juga memproduksi beberapa jenis peptida yang disekresikan pada
keringat antara lain:
a. Human  Defensin  menarik sel dendritik dan sel T memori
sehingga berperan sebagai penghubung antara respons imun alami dan
respons imun didapat.
HBD-1: terdapat di epidermis, berperan terhadap bakteri Gram
Negatif dan diferensiasi keratinosit.
HBD-2: ditemukan pada lesi psoriasis, dipengaruhi oleh berbagai
mikroba antara lain P.aeroginosa, S.aureus, dan C.albicans; juga
sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1.
HBD-3: ditemukan pada lesi psoriasis, berperan terhadap S.aureus dan
E.faecium yang resistent terhadap vancomicin.
b. Cathelicidin (LL-37)  mempunyai efek anti-bakteria, antifungal,
dan antiviral; mampu menarik sel mas dan netrofil sehingga turut
berperan para respons imun alami. Salah satu pemicu utama ekspresi
LL-37 adalah vitamin D3 yang teraktivasi melalui Reseptor Toll-Like
(TLR)
c. Psoriasin  berperan terhadap E.coli di usus, sehingga terapi dengan
antibodi antipsoriasin mengakibatkan pertumbuhan E.coli secara
masif. Disamping itu anti bakteri psoriasin juga bersifat kemoatraktan
untuk sel CD4 dan netrofil
d. RNase 7  dapat diisolasi dari stratum korneum kulit orang sehat,
dapat diinduksi oleh IL-1, IFN-, dan picuan bakteri. Berperan
sebagai antibakteri spektrum luas seperti S.aureus, P.acnes,
P.aeruginosa, E.coli dan C.albicans.
e. Dermacidin  diproduksi oleh kelenjar keringat, mempunyai efek
antibakteri berspekr=trum luas terhadap S.aureus, E.coli, E.faecalis,
dan C.albicans
3. Reseptor Pattern Recognition
Salah satu cara mengenali dan memusnahkan patogen adalah melalui reseptor
pada sel fagosit yang dapat mengenali berbagai pola molekuler yang dipunyai
oleh sebagain besar kelompok patogen. Sebagai contoh: Toll-like receptors
(TLR—TLR 1-9), NOD (Nucleotide-binding Oligomerization Domain)
Proteins, TREM (Triggering Receptors Expressed on Myeloid cell) Proteins,
molekul family of Siglec dan kelompok reseptor C-type lectin.
4. Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia
yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi
virus. Interveron mempunyai sifat anti-virus dengan jalan menginduksi sel-sel
sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten terhadap virus.
Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK).
Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada
permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian
membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
5. C-Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP
dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya
cepat meningkat (100 x atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP

berperanan pada imunitas non spesifik, karenadengan bantuan Ca++ dapat

mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
C. Sel pada respons imun alami
1. Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel
utama yang berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear
(monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil. Dalam
kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun
spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.
Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap
berbagai factor sperti produk bakteri dan faktor biokimiawi yang dilepas pada
aktivasi komplemen. Antibody seperti pada halnya dengan komplemen C3b
dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang diikat antibody
akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal
tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari
immunoglobulin pada permukaan fagosit.
2. Sel Natural Killer (NK)
Merupakan limfosit besar bergranular. Sel NK mempunyai reseptor yaitu
reseptor killer inhibitory yang dapat mengenali molekul self-MHC klas 1.
Pengenalan tersebut akan mengakibatkan sel NK mengalami paralisis. Apabila
sel bernukleus kehilangan ekspresi molekul MHC klas 1 seperti pada keganasan
dan infeksi virus, sel NK akan teraktivasi dan mampu memusnahkannya.
3. Keratinosit
Menghasilkan respons imun / reaksi peradangan melalui sekresi sitokin dan
kemokin, metabolisme asam arahkidonat, komponen komplemen dan apeptida
antimikrobial. fungsi lain keratinosit adalah memproduksi faktor yang dapat
mengatur masuk atau keluarnya lekosit dari kulit. Dapat pula mensekresi
neuropeptida, eicosanoid, ROS, komplemen dan juga reseptornya.

Table 2.3.1 Peran Sitokin dalam Imunitas Non-spesifik

Sasaran Utama dan Efek


SITOKIN Sumber Utama
Biologik
IL-1 Makrofag, endotel, beberapa sel Endotel : aktivasi (inflamasi,
epitel koagulasi)
Hipotalamus: panas
Hati : APP
IL-6 Makrofag, sel endotel, sel T Hati : sintesis APP
Sel B : proliferasi sel plasma
IL-10 Makrofag, Sel T terutama Th2 Makrofag, sel dendritik : mencegah
produksi IL-21 dan ekspresi
kostimulator dan MHC-II
IL-12 Makrofag, sel dendritik Sel T: diferensiasi Th1
Sel NK dan sel T : sintesis IFN-γ,
meningkatkan aktivitas sitolitik
IL-15 Makrofag, sel lain Sel NK : proliferasi
Sel T : proliferasi (sel memori
CD8+)
IL-18 Makrofag Sel NK dan sel T : sintesis IFN-γ
IFN-α, IFN-α : makrofag Semua sel : antivirus, peningkatan
IFN-β IFN-β : fibroblas ekspresi MHC-I
Sel NK : aktivasi
IFN-γ Th1 Aktivasi sel NK dan makrofag,
induksi MHC II
Kemokin Makrofag, sel endotel, sel T, Leukosit : kemotaksis, aktivasi,
fibroblas, trombosit migrasi ke jaringan
TNF Makrofag, sel T Sel endotel : aktivasi (inflamasi,
koagulasi)
Neutrofil : aktivasi
Hipotalamus : panas
Hati : sintesis APP
Otot, lemak : katabolisme
(kaheksia)
Banyak jenis sel : apoptosis
2.3.1. Respons Imun Spesifik (Adaptif Immunity)
Pemicu reaksi ini disebut dengan Antigen, yaitu substansi yang mampu merangsang
respon imun, berupa bahan infeksiosa biasanya berbentuk protein atau karbohidrat, atau lemak.
Antigen akan berkontak dengan sel tertentu, memacu serangkaian kejadian yang
mengakibatkan destruksi, degradasi atau eliminasi. Respons imun spesifik dibagi dalam 2
segmen:
1. Segmen aferen: meliputi kejadian antara antigen berkontak dengan sel hingga
timbul respons terhadap antigen tersebut
2. Segmen eferen: meliputi kejadian antara timbulnya respons sampai terjadinya
eliminasi antigen tersebut, yang secara klinis akan terlihat sebagai proses
peradangan.
Iritasi kimiawi adalah trauma yang dapat memicu terjadinya proses peradangan tanpa
keikutsertaan segmen aferen. Rangsangan segmen aferen tidak selalu diikuti oleh rangsangan
segmen eferen.
Respons Imun spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
1. Alamiah
a. Pasif  Pemindahan antibody atau sel darah putih yang disensitisasi dari
badan seseorang ke orang lain, misalnya antibodi ibu melalui plasenta dan
kolostrum ke anak dalam bentuk IgG atau ASI ibu ke anak berupa IgA.
b. Aktif  Terjadi bila suatu mikoorgansme secara alamiah masuk kedalam
tubuh dan menimbulkan pembentukan antibody atau sel yang tersensitisasi.
2. Buatan
a. Pasif  dilakukan dengan memberikan serum, antibody, antitoksin
misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan difesiensi imun
atau pemberian sel yang sudah disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.
b. Aktif  dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui pemberian toksoid
tetanus, antigen mikro organism baik yang mati maupun yang hidup
Sel yang berperan dalam respons imun spesifik ini adalah sel yang mempresentasikan
antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel
limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral.
Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel
limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan
menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta
meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody
dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Respons imun spesifik terdapat pengulangan pajanan antigen sehingga dapat disebut
sebagai memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen
yang sama di kemudian hari. Dilihat dari berapa kali pajanan antigen tersebut, maka dapat
dikenal dua macam respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder:
1. Respons imun primer
Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama
kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer
kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons
imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk
sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila dibanding dengan
respons imun sekunder
2. Respons imun sekunder
Pada respons imun sekunder, antibodi yang dibentuk kebanyakan adalah IgG,
dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding
respons imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons
imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas
selular, sel limfosit T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan
berdiferensiasi menjadi sel T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan
sel memori.

2.4. SISTEM IMUN


2.4.1. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan
atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh
imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita
kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

1. Imunoglobulin A (Ig A)
Merupakan kelas Ig kedua terbanyak dalam serum berkisar antara 40-468 mg/100
ml dengan rerata 200 mg/100 ml dan merupakan 15% jumlah total imunoglobulin.
Merupakan Imunoglobulin utama pada hasil sekresi misalnya susu, saliva dan air
mata serta sekresi traktus respiratorius, intestinal, dan genital. IgA disintesis di
sumsum tulang, darah tepi, dan yang terbanyak di traktus gastrointestinalis (90%
seluruh jumlah IgA). IgA terdiri atas dua rantai polipeptida dengan besar molekul
sama dengan IgG. IgA tidak dapat melewati plasenta maupun memicu rangsangan
komplemen.

Gambar 2.4.1. Bentuk-bentuk Immunoglobulin

2. Imunoglobulin D (Ig D)
Konsentrasinya dalam serum sedikit. IgD terbentuk pada saat diferensiasi limfosit
B. Bersifat lebih lentur karena punya bagian engsel yang lebih panjang sehinga
dapat melakukan ikatan silang dengan antigen polivalen secara lebih efisien
mungkin inilah yang menyebabkan umur Ig D pendek. Sangat peka terhadap enzim
proteolitik. Terdapat di getah bening, darah, dan permukaan sel B. Kadar normal
dalam serum 2 mg/100 ml, tidak dapat melewati plasenta maupun memicu
rangsangan komplemen.
3. Imunoglobulin E (IgE)
Merupakan antibodi dengan jumlah sedikit (hanya 0,0004% dari kadar Ig total),
tetapi merupakan antibodi yang berperanan penting dalam peristiwa alergi. IgE
disebut juga sebagai antibodi reagin yang berperan pada reaksi anafilaksis.
Sifat : kemampuannya melekat erat pada permukaan mastosit atau basofil. Regio
Fc dari IgE terikat pada reseptor pada permukaan sel mast dan basofil. IgE yang
terikat ini bertindak sebagai reseptor untuk antigen yang menstimulasi produksinya
sehingga terbentuk kompleks antigen – antibodi yang memicu terjadinya respon
alergi tipe cepat (anafilaksis) melalui pelepasan mediator yang disebut
vasoaktivamin, antara lain histamin, heparin, serotonin dan sebagainya. IgE juga
mempunyai peranan pada pemusnahan parasit di traktus gastrointestinal. Kadar IgE
pada individu atopik lebih tinggi dibanding individu normal. Pada orang dengan
hipersensitivitas alergi yang diperantarai antibodi tersebut, konsentrasi IgE
meningkat dengan cepat dan IgE dapat terdapat pada sekresi eksternal. IgE serum
juga meningkat secara tipikal selama infeksi cacing. Sel plasma yang memproduksi
IgE terdapat dalam tonsil dan sinusoid dan pada jaringan limfotik sepanjang mukosa
saluran nafas dan saluran cerna.
4. Immunoglobulin G (Ig G)
Pada orang normal terdiri dari sekitar 75 % dari seluruh anti bodi. Merupakan
antibodi dominan pada respon sekunder dan menyusun pertahanan yang penting
melawan bakteri dan virus. Terdapat empat sub kelas yang dibedakan berdasarkan
perbedaan antigenik dan lokasi ikatan disulfida, yaitu Ig G1, Ig G2, Ig G3, Ig G4.
Ig G1 merupakan 65 % dari Ig G. Ig G2 ditujukan untuk melawan antigen
polisakarida dan mungkin berperan penting dalam pertahan penjamu melawan
bakteri berkapsul. Ig G berukuran kecil, terbentuk 2 – 3 bulan setelah infeksi, dan
terdapat selama bertahun tahun.
Paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravakular dan melakukan aktivitas
antibodi di jaringan. Ig G merupakan satu – satunya anti bodi yang dapat melintasi
plasenta. Oleh karena itu merupakan Imunoglobulin yang paling ditemukan pada
bayi baru lahir. Molekul IgG terdiri atas dua rantai polipeptida.
5. Immunoglobulin M (Ig M)
Antibodi yang berukuran paling besar. Merupakan imunoglobulin yang diproduksi
pada awal respon imunitas primer. Ig M terdapat pada permukaan semua sel B yang
belum aktif. Ig M ini tersusun atas lima unit H2 L2 (masing – masing hampir sama
Ig G) dan satu molekul rantai J (joining). Merupakan Pentamer (berat molekul
900.000) yang mempunyai total sepuluh tempat pengikatan antigen yang identik
oleh karena itu disebut mempunyai valensi 10.
Merupakan imunoglobulin yang paling efisien dalam proses aglutinasi dan fiksasi
komplemen dan reaksi antigen – antibodi lainnya serta penting juga dalam
pertahanan melawan bakteri dan virus. Imunoglobulin ini dapat diproduksi oleh
fetus yang terinfeksi. Menunjukkan afinitas rendah terhadap antigen dengan
determinan tunggal (hapten). Karena molekul Ig M multivalen, maka Ig M dapat
berinteraksi dengan antigen dengan melibatkan semua tempat pengikatan (epitope)
antigen tersebut, sehingga memiliki aviditas tinggi.
Antibodi berperan pada 3 tipe reaksi imun yaitu:

Waktu
Reaksi imun Mekanisme Klinis
reaksi
Kompleks IgE
Menit
berikatan dengan sel Urtikaria, angioedema,
Tipe I sampai jam
mast melepaskan bronkospasme, muntah,
(reaksi anafilaksis) setelah
histamin dan mediator diare, anafilaksis
paparan
aminvasoaktif lain
Gabungan antibodi
Pemfigoid, Anemia
Tipe II IgM atau IgG spesifik
hemolitik, neutropenia, Variasi
(sitotoksik) terhadap antigen yang
trombositopenia
melekat pada sel
Deposit jaringan dari
Vaskulitis nekrotikans, 1-3 minggu
Tipe III kompleks antibodi
Serum sickness, setelah
(kompleks imun) dengan aktivasi
demam, ruam, artralgia, paparan
komplemen

2.4.2. Respons Imun Selular


Sistem imun selular melibatkan sel T dengan limfokinnya. Sel T meliputi 80-90%
jumlah limfosit darah tepi di antara 90% jumlah lifosit timus. Sel T hanya mempunyai sedikit
imunoglobulin pada permukaannya dibandingkan sel B sehingga apabila dilakukan inkubasi
dengan antiimunoglobulin manusia dan diperiksa dengan mikroskop imunofluoresens tidak
akan terjadi fluoresensi. Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan
molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-
molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface
marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan
huruf CD, artinya cluster of differentiation.
Sebelum sel T dapat berinteraksi terhadap antigen, maka antigen tersebut harus diproses
serta disajikan kepada sel T oleh makrofag atau sel Langerhans, disebut sebagai sel penyaji
antigen (SPA = antigen presenting cells/APC). Setelah terjadi interaksi antara makrofag,
antigen dan sel T, maka sel tersebut akan mengalami transformasi blastogenesis sehingga
terjadi peningkatan aktivitas metabolik. Selama mengalami proses transformasi tersebut sel T
akan mengeluarkan zat yang disebut sebagai limfokin, yang mampu merangsang dan
mempengaruhi reaksi peradangan selular.
Berbagai macam limfokin, yang mampu merangsang dan mempengaruhi reaksi
peradangan selular antara lain Macrophage Inhibitory Factor (MIF), Macrophage Activating
Factor (MAF), Faktor kemotaktik makrofag, Leucocyte Inhibitory Factor (LF), interferon dan
limfotoksin. Berbagai mediator tersebut mampu mempengaruhi makrofag, PMN, limfosit dan
berbagai sel lain sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV), contohnya Dermatitis Kontak Alergik.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen.
Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein
jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan
tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada
sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi tipe IV antara
lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid,
antihistamin topikal, anestesi lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat
topikal seperti parabens atau lanolin.
Sistem imun selular akan diatur oleh subset sel T, disebut sebagai sel T penekan (Ts =
CD8) dan sel T penolong (Th = CD4) yang akan mengatur derajat respons imun dan sintesis
antibodi, sehingga kedua sel tersebut diatas merupakan penghubung antara sisem imun selular
dan sistem imun humoral, sekarang dikenal sebagai sel T regulator (regulatory T cell/Treg
cells). Sel T reg dipicu oleh SPA/sel dendrit yang belum matang. Jumlah sel T reg yang tidak
mencukupi akan menyebabkan autoimunitas yang bersifat organ spesifik. Sel tersebut juga
berperan dalam melakukan kontrol derajat dan lamanya respons imun terhadap mikroba. Sel
limfosit T yang disebut limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang
melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang
merekrut sel radang ke tempat antigen berada.

2.5. SISTEM KOMPLEMEN


Komplemen adalah kumpulan sembilan protein plasma yang bukan antibodi dan
diperlukan pada reaksi antigen-antibodi sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kematian
mikroba serta lisis sel. Namun fungsi terpenting komplemen pada respons imun ialah sebagai
mediator berbagai proses peradangan termasuk vasodilatasi, pengeluaran cairan, kemotaksis
fagosit, opsonisasi dan proses metabolisme pada sel peradangan. Jadi aktivasi komplemen
diperlukan untuk dapat terjadi kerusakan jaringan serta merupakan komponen penting pada
reaksi imun tipe II dan tipe III.
Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi darah dalam keadaan tidak aktif,
yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain,
disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi
berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik aktif yang diakhiri dengan lisisnya
membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan
tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingga efeknya
disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks antigen-
antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat
menimbulkan penyakit.
Gambar 2.5. 2 Aktivasi Komplemen

1. Jalur Klasik
Setelah terjadi ikatan antigen dengan IgG atau IgM, maka sub unit C1, ialah C1q akan
melekat pada kompleks Ag-Ab dan memicu reaksi bertingkat tersebut. Pada
aktivasi alternatif, agregasi IgA atau kadang-kadang IgG dan IgM akan memicu
faktor D yang akan langsung memicu C3 tanpa melalui C1, C4 dan C2. Oleh karena
itu, aktivasi secara alternatif merupakan satuan protein tersendiri yang langsung
memicu C3 tanpa melalui C1, C4 dan C2. Kedua cara aktivasi tersebut akan memecah
komponen C3. C3 selanjutnya memecah C5 yang akan meneruskan pemecahan C6,
C7, C8 dan C9 sehingga terjadi lisis. Lisis sel merupakan mekanisme aktivitas
biologik komplemen dan fungsi yang sama juga terdapat pada mekanisme
pertahanan serta reaksi hipersensitivitas tipe II, meskipun lisis sel bukan merupakan
efek akhir.
Aktivasi komplemen mengakibatkan terbentuknya fragmen peptida aktif biologis
yang menghasilkan peradangan. Berbagai komponen mempunyai keaktivan
biologis, namun yang terpenting adalah C5a. Komplemen ini dapat menyebabkan
penarikan secara kimiawi neutrofil, monosit, dan eosinofil; menyebabkan
degranulasi sel mas serta perembesan protein dari pembuluh darah. Neutrofil akan
teraktivasi untuk lebih cepat bermigrasi serta meningkatkan aktivitas metabolik
laktose monofosfat.
C5a seperti juga C3a mampu merangsang migrasi neutrofil dan monosit. Mekanisme
ini menarik berbagai fagosit ke daerah terjadinya reaksi antigen-antibodi. C3b serta
C5b merupakan opsonin yang akan menyelubungi bakteri serta bahan lain sehingga
mempermudah terjadi fagositosis. C3, C5a dan bagian kecil C2 yang disebut sebagai
C2 kinin, menyebabkan dilatasi vaskular dan pelepasan protein. C3a dan C5a memacu
degranulasi sel mas yang akan mengeluarkan histamin. Bagian C5 dapat
mengaktivasi sistem pembekuan. Aktivasi komplemen juga mengakibatkan aktivasi
sistem kinin dan terbentuknya kinin vasoaktif.
2. Jalur Alternatif
Dipicu oleh lebih banyak materi dibandingkan dengan jalur klasik, misalnya
pecahan IgG, IgM, IgA dan IgE. Racun kobra, endotoksin, sel bakteri dan berbagai
polisakarida merupakan berbagai bahan yang dapat memicu komplemen melalui
jalur alternatif. Bahan tersebut akan mengakibatkan aktivasi faktor D kemudian
membentuk kompleks dengan C3b dan dengan faktor B yang akan memecah C3.
Setelah pemecahan C3 aktivasi selanjutnya sama dengan yang terjadi pada jalur
klasik.

2.6. SISTEM FAGOSITOSIS


Fagosit adalah sel yang mampu memusnahkan benda asing. Sistem fagositosis terutama
terdiri atas PMN, monosit dan makrofag. Makrofag tidak hanya mampu mengadakan
fagositosis, tetapi juga penting untuk memajan antigen kepada limfosit T, memproduksi
berbagai komplemen tertentu, serta mengeluarkan lisosom, aktivator plasminogen, protease
tertentu dan monokin.
Fagositosis yang efektif pada invasi kuman akan dapat mencegah timbulnya infeksi.
Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.
Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut, kemotaksis / penarikan
mikroorganisme, pengenalan dan penangkapan, memakan, fusi fagosom-lisosom, pemusnahan
dan pencernaan.
1. Fase kemotaksis
Semua fase pada fagositosis, kecuali fase pengenalan dan penangkapan,
memerlukan tenaga dari fagosit. Kemotaksis, adalah gerakan fagosit ke tempat
infeksi sebagai respon terhadap berbagai factor biokimiawi yang dilepas pada
aktivasi komplemen. Jaringan yang rusak atau mati dapat juga melepas factor
kemotaktik atau kemotaksin. Kemotaksin adalah mediator kimiawi tertentu yang
menuntun migrasi sel fagositik menuju ke arah tertentu semisal bakteri.
Peningkatan kemotaksin ini dengan reseptor protein plasma di membrane sel
fagositik meningkatkan masuknya Ca2+ ke dalam sel. Kalsium, sebaliknya,
mengaktifkan perangkat kontraktil sel yang menghasilkan pergerakan merayap
mirip amoeba.
Sel limfosit segmen bergerak lebih cepat dan sudah berada pada tempat infeksi
2-4 jam, sedangkan monosit bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam
untuk sampai di tempat tujuan.
2. Fase pengenalan dan pengikatan
Sedangkan tahap dua, yaitu penangkapan mikroorganisme pada fagosit terjadi
karena ikatan antara reseptor di permukaan sel dan di bakteri atau molekul atau
molekul yang diikatnya, misalnya antibodi. Antibodi seperti halnya dengna
komplemen (C3b) dapat meningkatkan fagositosis (opsonisasi). Opsonoin adalah
molekul besar yang diikat permukaan mikroba yang dapat dikenal oleh reseptor
permukaan sel sistem fagosit makrofag, sehingga meningkatkan efisiensi
fagositosis. Contoh-contoh opsonin antara lain IgGyang dapat dikenali Fcϒ-R pada
fagosit dan fragmen komplemen yang dikenal oleh reseptor komplemen tipe 1
(CR1, CD35) dan integrin Mac-1 pada leukosit.
Dengan kata lain, opsonin meningkatkan fagositosis dengan cara
menghubugkan sel asing dengan sel fagositik. Satu bagian dari molekul opsonin
berikatan secara nonspesifik dengan permukaan bakteri sementara bagian lain
melekat pada reseptornya yang spesifik pada membrane sel fagositik. Pengikatan
ini memastikan bahwa bakteri tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri
sebelum sel fagosit dapat melaksanakan serangan mematikannya.
3. Fase penelanan dan pembentukan vakuol
Dalam fase ini, terbentuklah pseudopodia yang mengelilingi mikroorganisme di
luar dengan melibatkan polimerase aktin. Dan membungkus mikroorganisme
tersebut dalam fagosom internal. Peningkatan kemotaksin ini dengan reseptor
protein plasma di membrane sel fagositik meningkatkan masuknya Ca2+ ke dalam
sel. Kalsium, sebaliknya, mengaktifkan perangkat kontraktil sel yang menghasilkan
pergerakan merayap mirip amoeba dan akhirnya menelan mikroorganisme.
4. Fase fusi fagosom-lisosom
Kemudian vakuola fagositik menyatu dengan lisosom yang di dalamnya
terdapat enzim-enzim pencernaan.
5. Fase destruksi dan digesti intraseluler
Mekanisme pemusnahan dibagi menjadi oksidatif dan non oksidatif. Di dalam
fagolisosom, bahan yang ditelan akan dicerna enzim yang terkandung di dalam
granul lisosom. Isi granul lisosom diperlukan untuk memecah atau mencerna bahan
yang ditelan dan membunuh mikroba. Pembunuhan mikroba terjadi melalui proses
yang oksigen dependen atau oksigen independen. Leukosit memusnahkan
mikroorganisme dengan enzim yang ada di dalamnya. Granul neutrophil berisi
berbagai enzim hidrolitik, mieloperoksida, lisozim, dan arginine-rich basic protein,
fosfatase alkali, laktoferin, dan lisozim. Isi granul tersebut menghancurkan bahan
asing terutama melalui enzimnya seperti enzim hidrolitik. Enzim-enzim tersebut
dapat mencerna komponen membrane sel bakteri.
Dalam mekanisme tak tergantung oksigen, proses pemusnahan mikroorganisme
dapat dilakukan terutama dengan cara meningkatkan permeabilitas membran.
Lintasan ini meliputi protein bakterisidial peningkat permeabilitas, lisozim,
laktoferin, protein utama pada eosinafil, dan defensin.
Dalam mekanisme pemusnahan dependen oksigen, mikroorganisme yang
dibunuh melalui produk respiratory burst oleh beberapa metabolit oksigen
mikrobisidal yang dilepas selama fagositosis. Respiratory burst adalah proses yang
menghasilkan ROI. Bersamaan dengan terbentuknya fagolisosom, reseptor fagosit
yang mengikat mikroba akan mengirimkan sinyal yang mengaktifkan beberapa
enzim dalam fagolisosom. Salah satu enzim NADPH oksidase, terbentuk atas
pengaruh mediator inflamasi seperti LTB4, PAF, dan TNF atau produk bakteri
seperti peptide N-formilmetionil. Enzim ini dapat merubah molekul oksigen
menjadi anion superoksid, radikal bebas, H2O2 yang merupakan bahan oksidatif
poten untuk mikroba. Bahan-bahan tersebut disebut ROI.

2.7. MEDIATOR
Mediator adalah substansi kimia yang mempengaruhi dan memicu respons imun dan
proses peradangan. Komplemen merupakan salah satu mediator. Terdapat pula mediator
peradangan lain termasuk Slow Reacting Substance of Anaphylaxis (SRSA), prostaglandin,
faktor permeabilitas limfonoduli, protease, fibrinolisin dan faktor kemotaktik. Beberapa
mediator dikeluarkan oleh sel misalnya sel mas, limfosit, neutrofil, eosinofil, makrofag dan
trombosit. Beberapa dikeluarga oleh plasma atau jaringan.
1. Histamin: penyebab vasodilatasi, pengeluaran protein, menimbulkan rasa gatal, dan
memicu respons peradangan dengan mengurangi respons blastogenesis limfosit.
2. Serotonin: mediator yang terdapat di traktus gastrointestinalis dan otak. Dikeluarkan
oleh sel PMN dan mencegah pembentukan granuloma dan trombosis.
3. Kinin: menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Dihasilkan
oleh prekursor plasma atau terbentuk pada aktivasi komplemen, pembekuan darah, atau
pada proses fibrinolisis.

2.8. SITOKIN
Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas,
inflamasi dan hematopoesis. Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
sel-sel tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal antara sel-sel lokal, dan
dengan demikian memiliki efek pada sel-sel lain. Sitokin dihasilkan sebagai respon terhadap
stimulus sistem imun. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik,
yang kemudian membawa sinyal ke sel melalui second messenger (tirosin kinase), untuk
mengubah aktivitasnya (ekspresi gen).
Respon-respon terhadap sitokin diantaranya meningkatkan atau menurunkan ekspresi
protein-protein membran (termasuk reseptor-reseptor sitokin), proliferasi, dan sekresi molekul-
molekul efektor. Sitokin bisa beraksi pada sel-sel yang mensekresinya (aksi autokrin), pada
sel-sel terdekat dari sitokin disekresi (aksi parakrin). Sitokin bisa juga beraksi secara sinergis
(dua atau lebih sitokin beraksi secara bersama-sama) atau secara antagonis (sitokin
menyebabkan aktivitas yang berlawanan).
Sitokin adalah nama umum, nama yang lain diantaranya limfokin (sitokin yang
dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit), kemokin (sitokin dengan
aktivitas kemotaktik), dan interleukin (sitokin yang dihasilkan oleh satu leukosit dan beraksi
pada leukosit lainnya). Sitokin berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, terbagi atas monokin
dan limfokin.
Makrofag sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell / APC),
mengekspresikan peptida protein Mayor Histocompatibility Complex (MHC) klas II pada
permukaan sel dan berikatan dengan reseptor sel T (Tcr), sel T helper. Makrofag mensekresi
Interleukin (IL)-1β, IL-6, IL-8, IL-12, dan TNF-α.
Pada sel T terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok sel Th1 memproduksi Interleukin-
2 (IL-2), Interferon-γ (IFN- γ) dan Limfotoksin (LT). Kelompok sel Th2 memproduksi
beberapa interleukin yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-10.

Table 2.8.1. Sitokin-sitokin Imun Selektif dan Aktivitasnya.


(M.Decker,PhD,Janet.http://microzet.arizona.edu/Courses/MIC419/Tutorials/ cytokines.html.2006)

Sitokin Sel penghasil Sel target Fungsi

Pertumbuhan dan differensiasi


GM-CSF Sel Th Sel-sel progenator
monosit dan DC

Monosit Sel – sel Th co-stimulasi

IL-1α Makrofag Sel – sel B Maturasi dan proliferasi


IL-1β Sel – sel B Sel – sel NK Aktivasi
DC bervariasi Inflamasi, fase respon akut, demam

Pengaktifan sel T
IL-2 Sel-sel Th1 Pertumbuhan, proliferasi,aktivasi
dan B, sel-sel NK
Sel pokok Pertumbuhan dan differensiasi
IL-3
Pertumbuhan
Sel-sel Th
dan
Sel-sel NK Sel mast
pelepasan
histamin
Proliferasi dan differensiasi lgG1
IL-4 Pengaktifan Sel B
dan sintesis Ig E
Sel-sel Th2
Makrofag MHC klas II
Sel-sel T Proliferasi
IL-5 Sel-sel Th2 Pengaktifan sel B Proliferasi dan differensiasi sintesis
lgA

Monosit Pengaktifan sel B Differensiasi sel plasma


Makrofag Sel plasma Sekresi antibodi
IL-6 Sel-sel Th2 Sel pokok Differensiasi
Sel-sel stromal Bervariasi Respon fase akut
Il-7 Stroma Sel pokok Differensiasi kedalam progenitor
sumsum,timus sel T dan B.
IL-8 Makrofag Neutrofil-neutrofil Kemotaksis
Sel endotelium
IL-10 Sel-sel Th2 Makrofag Produksi sitokin
Sel-sel B Aktivasi
Pengaktifan sel-sel
Makrofag Differansiasi CTL (dengan IL-2)
IL-12 Tc
Sel-sel B
Sel-sel NK Pengaktifan
IFN-α Leukosit Bervariasi Replikasi virus, ekspresi MCH I
IFN-β Fibroblas Bervariasi Replikasi virus, ekspresi MCH I
Bervariasi Replikasi virus

Sel-sel Th1 Makrofag Respon MHC


IFN-γ Sel-sel Tc, sel- Pengaktifan sel B Perubahan Ig menjadi IgG2a

sel NK Sel-sel Th Proliferasi


Makrofag Eliminasi patogen
MIP-1α Makrofag Monosit, sel-sel T Kemotaksis
MIP-1β Limfosit Monosit, sel-sel T Kemotaksis
Monosit, Makrofag Kemotaksis
Pengaktifan
Sintesis IL-1
TGF-β Sel T, monosit makrofag
Pengaktifan sel B Sintesis lgA
Bervariasi Proliferasi
Makrofag Makrofag Ekspresi CAM dan sitokin
TNF-α Sel mast, sel-sel
Sel tumor Sel mati
NK
Fagosit-fagosit Fagositosis, tidak ada produksi
TNF- β Sel Th1 dan Tc
Sel tumor Sel mati
BAB III
KESIMPULAN

Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap
sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan (respon
imun) dengan berbagai cara, seperti netralisasi atau melenyapkan, dengan akibat tidak selalu
menguntungkan bagi tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri
Respon imun adalah respon tubuh berupa satu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen,
untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respon imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan
protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi
secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik
dan mekanisme pertahanan spesifik
Respons imun non spesifik (innate immunity) merupakan imunitas alamiah yang telah ada
sejak lahir. Imunitas ini tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai
macam antigen, jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. Respon imun
spesifik merupakan mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Imun spesifik mampu mengenali
kembali antigen yang pernah dijumpainya (memiliki memory), sehingga paparan berikutnya akan
meningkatkan efektifitas mekanisme pertahanan tubuh
Sistem imun juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor. Dan terhambatnya sistem
ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker. Respon imun yang
berlebihan juga dapat memicu terjadinya penyakit autoimun, meskipun secara alami tubuh telah
membentuk sel T regulator untuk mengatur kekurangan mamupun kelebihan respons imun yang
dibentuk tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC

Menaldi, Dr. Dr. Sri Linuwih, Sp.KK(K). 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Modlin Robert L, Miller Lloyd S. 2012. Innate and Adaptive Immunity in the Skin: in Goldsmith,
L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8 th ed. New York: Mc Graw Hill co.

Williams Ifor R., Kupper Thomas S. 2012. Cytokines: in Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest,
B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8 th ed.
New York: Mc Graw Hill co.

Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

Bratawidjaya K G. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016. Basic Immunology: Functions and Disorders of the
Immune System, Fifth Edition. Missouri: ELSEVIER

Brown EJ, Joiner KA, Frank MM. Complement. In Fundamental Immunology. 3rd edition. New
York: Raven Press

Frank MM. 1991. Complement and kinin. In Stites DP, Terr AI. Basic and clinical immunology;
7th edition. NorwaIk: Appleton & Lange,

Mader, SS. 2010. Human Biology, sixth edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39480/Chapter%20I.pdf?sequence=5
diakses pada tanggal 8 September 2018

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19262/Chapter%20II.pdf?sequence=3&is
Allowed=y diakses pada tanggal 8 september 2018

https://www.academia.edu/11515008/imunitas diakses pada tanggal 8 september 2018

Anda mungkin juga menyukai