Pembimbing :
Disusun oleh :
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam ilmu kedokteran telah diketahui dan disadari bahwa kehidupan di dunia ini
penuh dengan mikroorganisme dan setiap saat pasti kita berkontak dengan bakteri, jamur, virus
dan berbagai bentuk parasit lain, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Bahkan
permukaan tubuh kita, seperti kulit, traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, traktus
genitourinarius, dll dapat dikatakan penuh dengan berbagai macam mikroorganisme, tetapi
infeksi yang menyebabkan penyakit sebenarnya relative jarang timbul. Hal ini disebabkan
karena tubuh manusia mempunyai sistem imunologis yang mampu melindungi diri terhadap
serangan kuman penyakit tersebut.
Sistem ini, terdiri atas berbagai macam sel dan molekul protein yang saling bekerja
sama, mulai dari pengenalan antigen asing (non self-antigen) hingga bangkitnya respon imun
dan terbentuknya antibodi maupun sel makrofag aktif. Tanpa ini, maka tubuh kita akan mudah
terjangkit penyakit. Daya pertahanan tubuh ini merupakan suatu mekanisme protektif yang
merupakan gabungan antara barier anatomik dan kimiawi, sistem penghancuran
mikroorganisme oleh sel – sel fagosit dan sistem antibodi, yang kesemuanya ini dipengaruhi
lagi oleh faktor – faktor genetik, umur, gizi, dll.
Sistem daya pertahanan tubuh dapat bersifat lokal atau sistemik, spesifik atau non
spesifik, selain bersifat humoral atau selular, yang saling bekerja sama dalam menjaga
keutuhan tubuh. Sekali sistem imunologis tubuh telah dibangkitkan tehadap suatu antigen
asing, maka ia akan mempunyai daya ingat (memori), serta akan senantiasa mengadakan
respon spesifik yang lebih gencar terhadap kuman penyakit atau antigen asing tersebut apabila
tubuh terpajan antigen untuk yang keduakalinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN
Imunologi berasal dari bahasa latin yaitu Imunis dan Logos, Imun yang berarti kebal
dan logos yang berarti ilmu. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh.
Imunitas adalah perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekul-
molekul yang terlibat di dalam perlindungan membentuk sistem imun. Sedangkan respon untuk
menyambut agen asing disebut respon imun. Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari
ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada
semua organisme.
Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap
infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika
sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga
menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang
dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis
kanker.
Pemicunya disebut dengan Antigen, yaitu substansi yang mampu merangsang respon
imun, berupa bahan infeksiosa biasanya berbentuk protein atau karbohidrat, atau lemak.
Antigen akan berkontak dengan sel tertentu, memacu serangkaian kejadian yang
mengakibatkan destruksi, degradasi atau eliminasi. Apabila seseorang secara imunologis
terpapar pertama kali dengan antigen kemudian terpapar lagi dengan antigen yang sama, maka
akan timbul respon imun sekunder yang lebih efektif. Reaksi tersebut dapat berlebihan dan
menjurus ke kerusakan pada individu yang mempunyai respon imun yang menyimpang.
Untuk dapat memerankan fungsi imunitas, maka dikenal sistem limforetikular.
Kumpulan elemen seluler akan tersebar di seluruh jaringan, juga di jaringan limfe dan
muskular. Berbagai sel tersebut terutama terdapat di darah, jaringan timus, kelenjar limfe, dan
limpa, yang disebut sebagai sistem sekresi internal. Juga terdapat pada traktus respiratorius,
gastrointestinalis dan genitourinarius, serta disebut sistem sekresi eksternal karena
berhubungan dengan lingkungan luar
mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
C. Sel pada respons imun alami
1. Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel
utama yang berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear
(monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil. Dalam
kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun
spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.
Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap
berbagai factor sperti produk bakteri dan faktor biokimiawi yang dilepas pada
aktivasi komplemen. Antibody seperti pada halnya dengan komplemen C3b
dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang diikat antibody
akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal
tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari
immunoglobulin pada permukaan fagosit.
2. Sel Natural Killer (NK)
Merupakan limfosit besar bergranular. Sel NK mempunyai reseptor yaitu
reseptor killer inhibitory yang dapat mengenali molekul self-MHC klas 1.
Pengenalan tersebut akan mengakibatkan sel NK mengalami paralisis. Apabila
sel bernukleus kehilangan ekspresi molekul MHC klas 1 seperti pada keganasan
dan infeksi virus, sel NK akan teraktivasi dan mampu memusnahkannya.
3. Keratinosit
Menghasilkan respons imun / reaksi peradangan melalui sekresi sitokin dan
kemokin, metabolisme asam arahkidonat, komponen komplemen dan apeptida
antimikrobial. fungsi lain keratinosit adalah memproduksi faktor yang dapat
mengatur masuk atau keluarnya lekosit dari kulit. Dapat pula mensekresi
neuropeptida, eicosanoid, ROS, komplemen dan juga reseptornya.
1. Imunoglobulin A (Ig A)
Merupakan kelas Ig kedua terbanyak dalam serum berkisar antara 40-468 mg/100
ml dengan rerata 200 mg/100 ml dan merupakan 15% jumlah total imunoglobulin.
Merupakan Imunoglobulin utama pada hasil sekresi misalnya susu, saliva dan air
mata serta sekresi traktus respiratorius, intestinal, dan genital. IgA disintesis di
sumsum tulang, darah tepi, dan yang terbanyak di traktus gastrointestinalis (90%
seluruh jumlah IgA). IgA terdiri atas dua rantai polipeptida dengan besar molekul
sama dengan IgG. IgA tidak dapat melewati plasenta maupun memicu rangsangan
komplemen.
2. Imunoglobulin D (Ig D)
Konsentrasinya dalam serum sedikit. IgD terbentuk pada saat diferensiasi limfosit
B. Bersifat lebih lentur karena punya bagian engsel yang lebih panjang sehinga
dapat melakukan ikatan silang dengan antigen polivalen secara lebih efisien
mungkin inilah yang menyebabkan umur Ig D pendek. Sangat peka terhadap enzim
proteolitik. Terdapat di getah bening, darah, dan permukaan sel B. Kadar normal
dalam serum 2 mg/100 ml, tidak dapat melewati plasenta maupun memicu
rangsangan komplemen.
3. Imunoglobulin E (IgE)
Merupakan antibodi dengan jumlah sedikit (hanya 0,0004% dari kadar Ig total),
tetapi merupakan antibodi yang berperanan penting dalam peristiwa alergi. IgE
disebut juga sebagai antibodi reagin yang berperan pada reaksi anafilaksis.
Sifat : kemampuannya melekat erat pada permukaan mastosit atau basofil. Regio
Fc dari IgE terikat pada reseptor pada permukaan sel mast dan basofil. IgE yang
terikat ini bertindak sebagai reseptor untuk antigen yang menstimulasi produksinya
sehingga terbentuk kompleks antigen – antibodi yang memicu terjadinya respon
alergi tipe cepat (anafilaksis) melalui pelepasan mediator yang disebut
vasoaktivamin, antara lain histamin, heparin, serotonin dan sebagainya. IgE juga
mempunyai peranan pada pemusnahan parasit di traktus gastrointestinal. Kadar IgE
pada individu atopik lebih tinggi dibanding individu normal. Pada orang dengan
hipersensitivitas alergi yang diperantarai antibodi tersebut, konsentrasi IgE
meningkat dengan cepat dan IgE dapat terdapat pada sekresi eksternal. IgE serum
juga meningkat secara tipikal selama infeksi cacing. Sel plasma yang memproduksi
IgE terdapat dalam tonsil dan sinusoid dan pada jaringan limfotik sepanjang mukosa
saluran nafas dan saluran cerna.
4. Immunoglobulin G (Ig G)
Pada orang normal terdiri dari sekitar 75 % dari seluruh anti bodi. Merupakan
antibodi dominan pada respon sekunder dan menyusun pertahanan yang penting
melawan bakteri dan virus. Terdapat empat sub kelas yang dibedakan berdasarkan
perbedaan antigenik dan lokasi ikatan disulfida, yaitu Ig G1, Ig G2, Ig G3, Ig G4.
Ig G1 merupakan 65 % dari Ig G. Ig G2 ditujukan untuk melawan antigen
polisakarida dan mungkin berperan penting dalam pertahan penjamu melawan
bakteri berkapsul. Ig G berukuran kecil, terbentuk 2 – 3 bulan setelah infeksi, dan
terdapat selama bertahun tahun.
Paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravakular dan melakukan aktivitas
antibodi di jaringan. Ig G merupakan satu – satunya anti bodi yang dapat melintasi
plasenta. Oleh karena itu merupakan Imunoglobulin yang paling ditemukan pada
bayi baru lahir. Molekul IgG terdiri atas dua rantai polipeptida.
5. Immunoglobulin M (Ig M)
Antibodi yang berukuran paling besar. Merupakan imunoglobulin yang diproduksi
pada awal respon imunitas primer. Ig M terdapat pada permukaan semua sel B yang
belum aktif. Ig M ini tersusun atas lima unit H2 L2 (masing – masing hampir sama
Ig G) dan satu molekul rantai J (joining). Merupakan Pentamer (berat molekul
900.000) yang mempunyai total sepuluh tempat pengikatan antigen yang identik
oleh karena itu disebut mempunyai valensi 10.
Merupakan imunoglobulin yang paling efisien dalam proses aglutinasi dan fiksasi
komplemen dan reaksi antigen – antibodi lainnya serta penting juga dalam
pertahanan melawan bakteri dan virus. Imunoglobulin ini dapat diproduksi oleh
fetus yang terinfeksi. Menunjukkan afinitas rendah terhadap antigen dengan
determinan tunggal (hapten). Karena molekul Ig M multivalen, maka Ig M dapat
berinteraksi dengan antigen dengan melibatkan semua tempat pengikatan (epitope)
antigen tersebut, sehingga memiliki aviditas tinggi.
Antibodi berperan pada 3 tipe reaksi imun yaitu:
Waktu
Reaksi imun Mekanisme Klinis
reaksi
Kompleks IgE
Menit
berikatan dengan sel Urtikaria, angioedema,
Tipe I sampai jam
mast melepaskan bronkospasme, muntah,
(reaksi anafilaksis) setelah
histamin dan mediator diare, anafilaksis
paparan
aminvasoaktif lain
Gabungan antibodi
Pemfigoid, Anemia
Tipe II IgM atau IgG spesifik
hemolitik, neutropenia, Variasi
(sitotoksik) terhadap antigen yang
trombositopenia
melekat pada sel
Deposit jaringan dari
Vaskulitis nekrotikans, 1-3 minggu
Tipe III kompleks antibodi
Serum sickness, setelah
(kompleks imun) dengan aktivasi
demam, ruam, artralgia, paparan
komplemen
1. Jalur Klasik
Setelah terjadi ikatan antigen dengan IgG atau IgM, maka sub unit C1, ialah C1q akan
melekat pada kompleks Ag-Ab dan memicu reaksi bertingkat tersebut. Pada
aktivasi alternatif, agregasi IgA atau kadang-kadang IgG dan IgM akan memicu
faktor D yang akan langsung memicu C3 tanpa melalui C1, C4 dan C2. Oleh karena
itu, aktivasi secara alternatif merupakan satuan protein tersendiri yang langsung
memicu C3 tanpa melalui C1, C4 dan C2. Kedua cara aktivasi tersebut akan memecah
komponen C3. C3 selanjutnya memecah C5 yang akan meneruskan pemecahan C6,
C7, C8 dan C9 sehingga terjadi lisis. Lisis sel merupakan mekanisme aktivitas
biologik komplemen dan fungsi yang sama juga terdapat pada mekanisme
pertahanan serta reaksi hipersensitivitas tipe II, meskipun lisis sel bukan merupakan
efek akhir.
Aktivasi komplemen mengakibatkan terbentuknya fragmen peptida aktif biologis
yang menghasilkan peradangan. Berbagai komponen mempunyai keaktivan
biologis, namun yang terpenting adalah C5a. Komplemen ini dapat menyebabkan
penarikan secara kimiawi neutrofil, monosit, dan eosinofil; menyebabkan
degranulasi sel mas serta perembesan protein dari pembuluh darah. Neutrofil akan
teraktivasi untuk lebih cepat bermigrasi serta meningkatkan aktivitas metabolik
laktose monofosfat.
C5a seperti juga C3a mampu merangsang migrasi neutrofil dan monosit. Mekanisme
ini menarik berbagai fagosit ke daerah terjadinya reaksi antigen-antibodi. C3b serta
C5b merupakan opsonin yang akan menyelubungi bakteri serta bahan lain sehingga
mempermudah terjadi fagositosis. C3, C5a dan bagian kecil C2 yang disebut sebagai
C2 kinin, menyebabkan dilatasi vaskular dan pelepasan protein. C3a dan C5a memacu
degranulasi sel mas yang akan mengeluarkan histamin. Bagian C5 dapat
mengaktivasi sistem pembekuan. Aktivasi komplemen juga mengakibatkan aktivasi
sistem kinin dan terbentuknya kinin vasoaktif.
2. Jalur Alternatif
Dipicu oleh lebih banyak materi dibandingkan dengan jalur klasik, misalnya
pecahan IgG, IgM, IgA dan IgE. Racun kobra, endotoksin, sel bakteri dan berbagai
polisakarida merupakan berbagai bahan yang dapat memicu komplemen melalui
jalur alternatif. Bahan tersebut akan mengakibatkan aktivasi faktor D kemudian
membentuk kompleks dengan C3b dan dengan faktor B yang akan memecah C3.
Setelah pemecahan C3 aktivasi selanjutnya sama dengan yang terjadi pada jalur
klasik.
2.7. MEDIATOR
Mediator adalah substansi kimia yang mempengaruhi dan memicu respons imun dan
proses peradangan. Komplemen merupakan salah satu mediator. Terdapat pula mediator
peradangan lain termasuk Slow Reacting Substance of Anaphylaxis (SRSA), prostaglandin,
faktor permeabilitas limfonoduli, protease, fibrinolisin dan faktor kemotaktik. Beberapa
mediator dikeluarkan oleh sel misalnya sel mas, limfosit, neutrofil, eosinofil, makrofag dan
trombosit. Beberapa dikeluarga oleh plasma atau jaringan.
1. Histamin: penyebab vasodilatasi, pengeluaran protein, menimbulkan rasa gatal, dan
memicu respons peradangan dengan mengurangi respons blastogenesis limfosit.
2. Serotonin: mediator yang terdapat di traktus gastrointestinalis dan otak. Dikeluarkan
oleh sel PMN dan mencegah pembentukan granuloma dan trombosis.
3. Kinin: menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Dihasilkan
oleh prekursor plasma atau terbentuk pada aktivasi komplemen, pembekuan darah, atau
pada proses fibrinolisis.
2.8. SITOKIN
Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas,
inflamasi dan hematopoesis. Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
sel-sel tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal antara sel-sel lokal, dan
dengan demikian memiliki efek pada sel-sel lain. Sitokin dihasilkan sebagai respon terhadap
stimulus sistem imun. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik,
yang kemudian membawa sinyal ke sel melalui second messenger (tirosin kinase), untuk
mengubah aktivitasnya (ekspresi gen).
Respon-respon terhadap sitokin diantaranya meningkatkan atau menurunkan ekspresi
protein-protein membran (termasuk reseptor-reseptor sitokin), proliferasi, dan sekresi molekul-
molekul efektor. Sitokin bisa beraksi pada sel-sel yang mensekresinya (aksi autokrin), pada
sel-sel terdekat dari sitokin disekresi (aksi parakrin). Sitokin bisa juga beraksi secara sinergis
(dua atau lebih sitokin beraksi secara bersama-sama) atau secara antagonis (sitokin
menyebabkan aktivitas yang berlawanan).
Sitokin adalah nama umum, nama yang lain diantaranya limfokin (sitokin yang
dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit), kemokin (sitokin dengan
aktivitas kemotaktik), dan interleukin (sitokin yang dihasilkan oleh satu leukosit dan beraksi
pada leukosit lainnya). Sitokin berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, terbagi atas monokin
dan limfokin.
Makrofag sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell / APC),
mengekspresikan peptida protein Mayor Histocompatibility Complex (MHC) klas II pada
permukaan sel dan berikatan dengan reseptor sel T (Tcr), sel T helper. Makrofag mensekresi
Interleukin (IL)-1β, IL-6, IL-8, IL-12, dan TNF-α.
Pada sel T terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok sel Th1 memproduksi Interleukin-
2 (IL-2), Interferon-γ (IFN- γ) dan Limfotoksin (LT). Kelompok sel Th2 memproduksi
beberapa interleukin yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-10.
Pengaktifan sel T
IL-2 Sel-sel Th1 Pertumbuhan, proliferasi,aktivasi
dan B, sel-sel NK
Sel pokok Pertumbuhan dan differensiasi
IL-3
Pertumbuhan
Sel-sel Th
dan
Sel-sel NK Sel mast
pelepasan
histamin
Proliferasi dan differensiasi lgG1
IL-4 Pengaktifan Sel B
dan sintesis Ig E
Sel-sel Th2
Makrofag MHC klas II
Sel-sel T Proliferasi
IL-5 Sel-sel Th2 Pengaktifan sel B Proliferasi dan differensiasi sintesis
lgA
Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap
sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan (respon
imun) dengan berbagai cara, seperti netralisasi atau melenyapkan, dengan akibat tidak selalu
menguntungkan bagi tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri
Respon imun adalah respon tubuh berupa satu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen,
untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respon imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan
protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi
secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik
dan mekanisme pertahanan spesifik
Respons imun non spesifik (innate immunity) merupakan imunitas alamiah yang telah ada
sejak lahir. Imunitas ini tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai
macam antigen, jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. Respon imun
spesifik merupakan mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Imun spesifik mampu mengenali
kembali antigen yang pernah dijumpainya (memiliki memory), sehingga paparan berikutnya akan
meningkatkan efektifitas mekanisme pertahanan tubuh
Sistem imun juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor. Dan terhambatnya sistem
ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker. Respon imun yang
berlebihan juga dapat memicu terjadinya penyakit autoimun, meskipun secara alami tubuh telah
membentuk sel T regulator untuk mengatur kekurangan mamupun kelebihan respons imun yang
dibentuk tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC
Menaldi, Dr. Dr. Sri Linuwih, Sp.KK(K). 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Modlin Robert L, Miller Lloyd S. 2012. Innate and Adaptive Immunity in the Skin: in Goldsmith,
L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8 th ed. New York: Mc Graw Hill co.
Williams Ifor R., Kupper Thomas S. 2012. Cytokines: in Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest,
B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8 th ed.
New York: Mc Graw Hill co.
Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Bratawidjaya K G. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016. Basic Immunology: Functions and Disorders of the
Immune System, Fifth Edition. Missouri: ELSEVIER
Brown EJ, Joiner KA, Frank MM. Complement. In Fundamental Immunology. 3rd edition. New
York: Raven Press
Frank MM. 1991. Complement and kinin. In Stites DP, Terr AI. Basic and clinical immunology;
7th edition. NorwaIk: Appleton & Lange,
Mader, SS. 2010. Human Biology, sixth edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39480/Chapter%20I.pdf?sequence=5
diakses pada tanggal 8 September 2018
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19262/Chapter%20II.pdf?sequence=3&is
Allowed=y diakses pada tanggal 8 september 2018