Anda di halaman 1dari 12

Dr.

Mohammad Hariadi
Jl. Menganti No. 456 Gresik Jawa Timur
TERAPI CAIRAN PADA KEGAWAT DARURATAN ANAK

PENDAHULUAN

Secara umum penatalaksanaan cairan bisa secara enteral maupun parenteral.


Dalam konteks perawatan kegawat daruratan anak maka pembahasan terutama
Pada penatalaksanaan secara parenteral, karena hamper rutin dikerjakan dalam
sehari hari di ruang perawatan gawat darurat anak. Berbicara mengenai terapi cairan
tidak bias lepas dari elektrolit, karena ini merupakan satu kesatuan pembahasan.

Berbeda dengan dewasa, anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga diperlukan pemahaman prinsip‐prinsip fisiologis tubuh. Dikatakan bahwa
perburukan maupun perbaikan keadaan klinis penderita berjalan
paralel dengan perubahan‐perubahan pada variabel fisiologis.

PRINSIP‐PRINSIP FISIOLOGI CAIRAN dan ELEKTROLIT

Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari tubuh kita,
dinyatakan dalam persen berat bada n dan besarnya berubah menurut umur. Pada
saat menjelang dan segera setelah lahir, air meliputi + 78% berat badan kemudian
jumlahnya menurun secara bertahap. Cairan tubuh terbag i dalam dua kompartemen
yaitu intraseluler dan ekstraseluler. Ekstraseluler terbagi dalam ruang interstisial dan
intravaskuler. Pada fetus, cairan ekstraseluler lebih banyak dari intraseluler dan
jumlah cairan ekstraseluler menurun seiring bertambahnya usia, seperti yang
ditunjukkan gambar 1.
Untuk memudahkan kita dalam penatalaksanaan cairan pada anak, maka dari
gambar 1 di atas bisa diambil titik‐titik penting seperti pada tabel 1 di bawah ini.

Cairan tubuh juga terdapat pada dua ruang lain yaitu ruang transeluler dan
ruang slowly exchangeable. Sebenarnya ini juga merupakan cairan ekstraseluler
tetapi mempunyai karakteristik tersendiri dan dalam keadaan normal tidak terlalu
penting. Komposisi elektrolit berbagai kompartemen tidak sama. Natrium
merupakan kation utama ekstraseluler dan aktif secara osmotik menjaga volume
intravaskuler dan interstisial. Kalium merupakan kation utama intraseluler berperan
menjaga osmolalitas intrasel dan memelihara volume sel. Kalium penting untuk
membangkitkan sel‐sel saraf dan otot serta bertanggung jawab terhadap
kontraktilitas otot (bercorak maupun polos) terutama otot jantung. (Gambar 2)
Asupan air dirangsang oleh rasa haus sebagai respon terhadap kekurangan air
(hipertonik) melalui osmoreseptor di mid‐hipotalamus, pankreas, dan vena porta hepatika.
Hipovolemia dan hipotensi juga merangsang haus melalui baroreseptor di atrium dan
pembuluh darah besar atau melalui peningkatan angiotensin II. Ekskresi atau pengeluaran
air dapat berupa kehilangan cairan insensible (+30%), urin (+60%), dan sedikit cairan tinja
(+10%). Hal ini menggambarkan jumlah yang harus diminum perhari untuk mempertahankan
keseimbangan cairan. Kehilangan cairan insensible bisa melalui kulit (2/3) dan paru (1/3),
tergantung faktor‐faktor yang mempengaruhi energy expenditure (tidak tergantung keadaan
cairan tubuh). Ini berbeda dengan kehilangan cairan melalui keringat (sensible water and
electrolyte losses) yang biasanya terjadi bila suhu tubuh dan/atau lingkungan meningkat.
Kehilangan cairan melalui keringat ini diatur oleh sistem saraf otonom. Pengeluaran urin
penting untuk mengatur osmolalitas dan komposisi cairan ekstraseluler. Jumlah dan kadar
urin dikendalikan oleh aksis neurohypophyseal‐renal, yaitu anti diuretic hormone (ADH).
Distribusi antar kompartemen dipengaruhi permeabilitas membran dan gradien osmolalitas,
tetapi keseimbangannya menganut hukum iso‐osmolaritas, neutralitas elektron, dan
keseimbangan asam basa.
Osmolalitas plasma dapat dihitung dengan rumus:

Anak‐anak memerlukan cairan dan elektrolit relatif lebih banyak daripada orang
dewasa sehingga mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Kebutuhan cairan per hari didasarkan pada insensible water loss (IWL) + urin + cairan tinja.
Bisa juga diperkirakan berdasarkan energy expenditure, bahwa setiap 1 kcal = 1 ml H2O.
Berdasarkan perhitungan energy expenditure rata‐rata pasien yang dirawat di rumah
sakit didapatkan kebutuhan cairan perhari sebagai berikut:

− Bayi 1 hari = 50 ml H2O/kgBB/hari


− Bayi 2 hari = 75 ml H2O/kgBB/hari
− Bayi > 3 hari = 100 ml H2O/kgBB/hari
− Berat badan 10 kg pertama = 100 ml H2O/kgBB/hari
− Berat badan 10 kg kedua = 1000 ml + 50 ml H2O/kgBB/hari
− Berat badan > 20 kg = 1500 ml + 20 ml H2O/kgBB/hari

Pada pasien dengan kesulitan kompensasi terhadap kelebihan atau kekurangan cairan dan
elektrolit (misalnya pada kelainan jantung, ginjal) harus dilakukan perhitungan secara
ketat/titrasi. Adanya faktor‐faktor yang bisa mengurangi/meningkatkan kebutuhan cairan
juga harus diperhitungkan. Perkiraan kebutuhan elektrolit per‐hari didasarkan pada
kebutuhan metabolisme atau pada kebutuhan cairan per‐hari, adalah:

− Natrium : 2 – 4 mEq/100mlH2O/hari
− Kalium : 1 – 2 mEq/100mlH2O/hari
− Klorida : 2 – 4 mEq/100mlH2O/hari

Persamaan‐persamaan untuk menentukan kebutuhan rumatan cairan dan elektrolit di atas


didasarkan pada beberapa ASUMSI dari rata‐rata kehilangan cairan insensible, energy
expenditure, metabolisme, dan produksi urin dengan anggapan tidak ada sumber kehilangan
cairan dan elektrolit dari tempat lain dan fungsi ginjal normal. Pada penderita‐penderita
dengan kegawat daruratan atau sakit kritis seringkali terdapat abnormalitas dari asumsiasumsi
tersebut, karena itu penatalaksanaannya harus disesuaikan kondisi klinis penderita.

TATA LAKSANA TERAPI CAIRAN PADA KEGAWAT DARURATAN


Tujuan utama penatalaksanaan cairan pada kegawat daruratan adalah
mengembalikan volume sirkulasi efektif yang adekuat dengan segera. Volume yang
diperlukan bervariasi tergantung keadaan klinis dan perlu evaluasi berulang. Adapun
langkah‐langkah prinsipnya adalah sebagai berikut:
- Memperkirakan kehilangan cairan: melalui pengukuran berat badan, anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan laboratorium.
- Pemberian cairan intravena: meliputi penentuan cairan apa yang digunakan,
berapa banyak, bagaimana kecepatannya, bagaimana selanjutnya setelah volume
sirkulasi efektif tercapai, dan bagaimana osmolalitasnya.
- Melakukan koreksi cepat yang aman sesuai dengan fisiologi terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit yang mengancam jiwa dan dilanjutkan dengan koreksi
lambat.

Aplikasi tata laksana terapi cairan pada kegawat daruratan anak yang sering terjadi
adalah pada kasus Dehidrasi dan Syok.

A. DEHIDRASI

Perkiraan kehilangan cairan (status dehidrasi)


Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan natrium. Bergantung pada komposisi
cairan yang hilang secara akut, bila natrium yang hilang bersama air konsentrasinya
lebih tinggi dari kadar natrium cairan ekstraseluler maka akan terjadi dehidrasi hipoosmotik.
Bila kurang lebih sama akan terjadi dehidrasi iso‐osmotik, dan bila lebih
rendah akan terjadi dehidrasi hiperosmotik akibat tingginya kadar natrium dalam
cairan ekstraseluler. Gejala klinis dehidrasi dipengaruhi oleh berat ringannya
kehilangan cairan (Tabel 2) dan kadar natrium cairan ekstraseluler. Tanda yang dapat
dijumpai antara lain, berat badan turun, turgor kulit menurun, ubun‐ubun cekung,
mata cekung, mukosa kering, nadi cepat dan tekanan darah turun, serta jumlah urin
sedikit dan pekat. Laboratorium menunjukan kenaikan hematokrit dan kenaikan
berat jenis urin.
Langkah‐langkah dalam memperkirakan kehilangan cairan:

1. Berat badan
Perubahan berat badan yang cepat menggambarkan perubahan cairan tubuh
total. Berat badan diperlukan untuk menentukan banyaknya cairan pengganti
yang dibutuhkan.

2. Anamnesis
o Kehilangan cairan:
Muntah, diare, perdarahan, luka bakar, drainase bedah (seberapa banyak
dan/atau seberapa sering).
o Masukan cairan:
Jenis cairan, berapa banyak, dan bagaimana keberhasilannya.
o Produksi urin.

3. Pemeriksaan fisis
Status mental, nadi, frekuensi nadi, tekanan darah, membran mukosa, turgor
kulit, warna kulit, perabaan perifer, dan capillary refill.
4. Laboratorium
Kimia serum, hematokrit, urin lengkap.

Pemberian cairan intravena


1. Cairan apa yang digunakan?
Untuk memperbaikai volume sirkulasi efektif, apapun jenis dehidrasinya (isoosmotik,
hipo‐osmotik, maupun hiperosmotik) cairan awal yang seharusnya
diberikan adalah cairan isotonis. Dalam hal ini yang biasa digunakan adalah
Ringer’s Lactat, Ringer’s Asetat, dan NaCl 0,9%. Nilai Strong Ion Difference (SID)
dari NaCl 0,9% adalah 0 (nol), sehingga pasca resusitasi dapat terjadi asidosis
metabolik hiperkloremik. Bila karena perdarahan maka pilihan volume expander
terbaik adalah darah. Pada beberapa keadaan khusus perlu dipertimbangkan
penggunaan koloid.

2. Berapa banyak?
Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif diberikan 10‐20 ml/kg BB dalam 10‐
30 menit. Evaluasi perbaikan klinis meliputi status mental, tanda vital, dan
produksi urin. Bila masih diperlukan bisa diulang. Bila belum membaik setelah
diberikan 60 ml/kgBB, pertimbangkan pemasangan central venous pressure (CVP)
untuk menen‐tukan volume intravaskuler yang lebih tepat.

3. Bagaimana selanjutnya setelah volume sirkulasi efektif tercapai?


Bila belum memungkinkan peroral, total kebutuhan diberikan intravena dengan
mempertimbangkan:
o Sisa defisit (air maupun elektrolit):
􀂃 Volume: bandingkan berat badannya dengan berat badan sebelum sakit,
perhitungkan jumlah cairan selama resusitasi.
􀂃 Natrium: bila hiponatremi, perhitungkan defisit natriumnya.
􀂃 Air: bila hipernatremi, perhitungkan defisit airnya.
o Kehilangan cairan yang masih berlangsung:
Volume dan komposisi elektrolitnya.
o Kebutuhan rumatan:
Air dan elektrolit (pertimbangkan kondisi yang meningkatkan/mengurangi
kebu‐tuhannya).
Jumlahkan semua kebutuhan air dan elektrolit dari sisa defisit, kehilangan cairan
yang masih berlangsung (ongoing losses), dan kebutuhan rumatan. Kemudian
tentukan jenis cairannya berdasarkan jumlah total air dan elektrolit yang
diperlukan dan juga kalori untuk diberikan dalam 24 jam. Pertimbangkan juga
kondisi klinis penderita seperti adanya kelainan jantung dan kelainan ginjal.
Nilai defisit dapat dihitung berdasar:

Untuk mempermudah perencanaan dapat dibuat format baku untuk tata laksana
kebutuhan cairan seperti Tabel 3 di bawah ini.

Koreksi kehilangan cairan sebelumnya dan penggantian kehilangan cairan yang


sedang berlangsung harus dilakukan dengan teliti. Seperti tata laksana di ruang
intensif pada umumnya, penilaian harus dilakukan secara ketat dari waktu ke
waktu dengan interval yang pendek (2‐4 jam). Perkiraan jumlah cairan yang
hilang sebelumnya amat tergantung dari ketajaman penilaian klinis dokter
melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan analisis laboratorium.
B. SYOK

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dengan akibat
ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan serta
kegagalan pembuangan sisa metabolisme. Berdasarkan komponen sistem sirkulasi,
terdapat 3 jenis syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan distributif. Adapun
prinsip‐prinsip penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:

Syok sipovolemik
Pemberian cairan kristaloid 10 ml/kgBB secara bolus (secepatnya) dapat dilakukan
sambil menilai respon tubuh. Pada syok hipovolemik, maka peningkatan volume
intravaskular akan meningkatkan isi sekuncup disertai penurunan frekuensi jantung.
Pada kasus yang berat, pemberian cairan dapat diulangi 10 ml/kgBB sambil menilai
respon tubuh. Pada umumnya anak dengan syok hipovolemik mempunyai nilai CVP
kurang dari 5 mmHg. Pemberian cairan harus diteruskan hingga mencapai
normovolemik. Kebutuhan cairan untuk mengisi ruang intravaskular umumnya dapat
dikurangi bila digunakan cairan koloid.

Syok kardiogenik
Curah jantung merupakan fungsi isi sekuncup dan frekuensi. Bayi mempunyai
ventrikel yang relatif noncompliant dengan kemampuan meningkatkan isi sekuncup
amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi amat bergantung pada frekuensi. Syok
kardiogenik pada penyakit jantung bawaan tidak dibahas di sini.
Isi sekuncup dipengaruhi oleh preload, afterload, dan kontraktilitas
miokardium. Sesuai dengan hukum Starling, peningkatan preload akan berkorelasi
positif terhadap curah jantung hingga tercapai plateau. Karena itu, sekalipun pada
gangguan fungsi jantung, mempertahankan preload yang optimal tetap harus
dilakukan. Penurunan curah jantung pasca bolus cairan menunjukkan bahwa volume
loading harus dihentikan. Upaya menurunkan afterload terindikasi pada keadaan
gagal jantung dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang berlebihan.
Untuk tujuan ini dapat digunakan vasodilator.
Diuretik digunakan pada kasus dengan tanda kongestif paru maupun
sistemik. Untuk tujuan ini dapat digunakan diuretik loop, atau kombinasi dengan
bumetanid, tiazid atau metolazon.
Berbagai kondisi yang memperburuk fungsi kontraktilitas miokardium harus
segera diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia, dan asidosis. Untuk memperbaiki
fungsi kontraktilitas ini, selanjutnya dapat digunakan obat inotropik (seperti
dopamin, dobutamin, adrenalin, amrinon, milrinon). Untuk mencapai fungsi
kardiovaskular yang optimal, dengan pengaturan preload, penggunaan obat
inotropik dan vasodilator (seperti sodium nitroprusid, nitrogliserin), dibutuhkan
pemantauan tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskular sistemik.

Syok distributif dan syok septik


Tata laksana syok distributif adalah pengisian volume intravaskular dan
mengatasi penyebab primernya. Syok septik merupakan suatu keadaan khusus
dengan patofisiologi yang kompleks. Pada syok septik, ‘warm shock’, suatu syok
distributif, terjadi pada fase awal. Penggunaan stimulator alfa (seperti noradrenalin)
dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan, bahkan menurunkan produksi urin
dan mengakibatkan asidosis laktat. Pada fase lanjut, terjadi penurunan curah jantung
dan peningkatan resistensi vaskular sistemik akibat hipoksemia dan asidosis. Karena
itu tata laksana syok septik lanjut, mengikuti kaidah syok kardiogenik. Sekalipun
masih kontroversi, steroid terkadang digunakan pada syok septik yang resisten
terhadap katekolamin dengan risiko insufisiensi adrenal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kavanagh BP, Meyer LJ. Normalizing physiological variables in acute illness: five
reasons for caution. Intensive Care Med. 2005, 31:1161‐1167.
2. Adelman RD, Solhaug MJ. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. In:
Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics, 16th ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2000: 189‐227.
3. Paschall JA, Melvin T. Fluid and electrolyte therapy. Dalam: Holbrook PR.
Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders, 1993: 653‐702.
4. Barkin RM, Rosen P. Emergency pediatrics: A guide to ambulatory care, 4th ed. St
Louis: Mosby, 1994: 69‐73.
5. Souid AK, Schneiderman H. Principles of pediatric fluid therapy. Diakses dari
http://www.ec.hscsyr.edu/peds/fluid_manual, tanggal 27 Nopember 2000.
6. Ambalavanan N. Fluid, electrolyte, and nutrition management of the newborn.
Diakses dari wysiwyg://213/http://www.emedicine.com/ped/topic2554, tanggal
23 Mei 2002.
7. Stewart PA. How to understand acid‐base. Diakses dari http://www.
qldanaesthesia.com, 20 Mei 2003
8. Oh MS, Carroll HJ. Regulation of Intracellular and Extracellular Volume. Dalam:
Arieff AI, DeFronzo RA. Fluid, electrolyte, and acid‐base disorders, 2nd ed. New
York: Churchill Livingstone, 1995: 1‐28.
9. Laiken N, Fanestil DD. Body fluids and renal function. Dalam: West JB. Best and
taylor’s. Physiological basis of medical practice, 12th ed. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1990: 406‐418.
10. Badr K, Ichikawa L. Physical and biological properties of body fluid and
electrolytes. Dalam: Ichikawa L. Pediatric textbook of fluids and electrolytes.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1990: 3‐12.
11. Pearson GA. Handbook of Paediatric Intensive Care. London: WB Saunders, 2002:
83‐97.
12. Symons. Clinical fluid and electrolyte management Diakses dari
www.seattlechildrens.org/health_care_professionals/pdf/clinical_fluid.pdf,
tanggal 20 Maret 2006.
13. Carcillo JA, Fields AI; American College of Critical Care Medicine Task Force
Committee Members. Clinical practice parameters for hemodynamic support of
pediatric and neonatal patients in septic shock. Crit Care Med 2002:30;1365‐78.
14. Zingarelli B. Shock and reperfusion. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger’s
textbook of pediatric intensive care. Edisi ke‐4. Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins; 2008. h. 252‐65.

Anda mungkin juga menyukai