Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS MASALAH

Ny.NN, perempuan, usia 62 tahun, datang ke RSMH dengan badan lemas.


Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluh perut makin lama makin membesar dan
pasien berobat ke spesialis obstetri ginekologi dan dikatakan ada tumor di ovarium.
Riwayat keluar darah dari kemaluan tidak ada, mual muntah tidak ada, BAB dan
BAK biasa, nafsu makan biasa, dan terdapat riwayat berat badan turun. Riwayat
kakai bengkak sejak 2 bulan yang lalu. Pasien telah menopause sejak 2 tahun yang
lalu dan dengan riwayat persalinan P3A1.
Pasien memiliki riwayat dirawat di RSMH sebelumnya. Pasien dirawat di
bagian PDL RSMH dan rawat bersama obgin pada tanggal 28 desember 2020 sampai
19 januari 2021 dengan diagnosis ascites massif ec sirosis hepatis dengan NOP
suspek ganas dan dijadwalkan laparotomy surgical staging pada tanggal 28 januari
2021, pasien dilakukan parasintesi dan dilakukan pemeriksaan PA dengan kesan PA:
70/C/2021 mesothel reaktif dengan lymphocytic ascites pada sitology cairan ascites.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Compos Mentis (GCS
E4M6V5), tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 86 kali/menit, pernapasan 20 kali per
menit, SpO2 98%. Pada pemeriksaan fisik head to toe didapatkan pada abdomen
undulasi (+), TCB (+) sesuai dengan asites massif. Pada ekstremitas didapatkan
edema pretibial (+/+) dan pada genitalia didapatkan portio kenyal terdorong, OUE
tertutup, adneksa kanan dan kiri tidak tegang, CD tidak menonjol. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan kalium 2.9 mEq/L dan albumin 1.7 g/dL. Diagnosis pasien
adalah NOP suspek ganas dengan asites massif + Hipoalbuminemia+hipokalemia dan
direncanakan tindakan laparotomy HTSOB VC.
Sebelum dilakukan tindakan laparotomi maka dilakukan koreksi cairan untuk
mengatasi hipoalbuminemia dan hipokalemia. Untuk mengatasi hipoalbuminemia,
pada pasien diberikan albumin 20%/24 jam selama 3 hari. Albumin merupakan
sebuah protein pengikat dan pembawa berbagai substansi meliputi bilirubin, asam
lemak, logam, ion, hormon dan obat-obatan. Albumin berkontribusi terhadap 80%
tekanan onkotik koloid plasma normal. Selain itu, albumin memiliki efek pada
permeabilitas vaskular, efek antitrombosis, membuang radikal bebas, menjaga

1
permeabilitas kapiler. Albumin merupakan protein pembawa utama untuk obat-obat
yang bersifat asam, sementara glikoprotein-α untuk obat bersifat basa . Albumin
memiliki empat tapak pengikatan yang berbeda. Berdasar pengikatannya terhadap
protein, obat di dalam plasma ada dalam bentuk terikat dan tak terikat. Fungsi
konsentrasi obat tak terikat saat kondisi tunak akan menentukan efek farmakologis
baik yang bersifat efikasi maupun toksik karena hanya obat yang tak terikat protein
lah yang mampu menembus membran dan mencapai tapak target. Pada keadaan
hipoalbumin, fraksi obat tak terikat secara umum akan meningkat. albumin penting
untuk mengikat molekul yang bersifat lipofilik seperti halnya agen anestesi inhalasi.
Oleh karena itu, albumin penting untuk dikoreksi sebelum dilakukannya tindakan
laparotomi.
Untuk mengatasi hipoalbuminemia perlu diketahui penyebab dari
hipoalbuminemia terlebih dahulu, pada neoplasma ovarium penyebab dari
hipoalbuminemia biasanya adalah nutrisi yang buruk, obstruksi usus, asites, dan efek
metabolic massa tumor. Pada pasien ini diduga terjadinya asites menyebabkan
terjadinya hipoalbuminemia. Untuk mengoreksi albumin, dapat dihitung defisit
albumin dengan menggunakan rumus:
 Defisit albumin (g) = 10 (3.5 g/dL- albumin yang diukur) X BB X 0,3
 Defisit albumin (g) = 10 (3.5 g/L-1.9 g/L) X 73 X 0.3
 Defisit albumin (g) = 10 (1.6 g/dL) X 73 kg X 0.3
 Defisit albumin (g) = 350.4 g
Pada pasien diberikan albumin 20% 1 flash selama 24 jam. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan albumin menurun yaitu 1.8
g/dL. Pada hipolbuminemia pemberian albumin eksogen tidak bertujuan untuk
meningkatkan jumlah albumin serum. Pada hipoalbuminemia tatalaksananya lebih
baik bertujuan untuk mengatasi penyebab dari hipoalbuminemia.
Untuk mengatasi hypokalemia diberikan KCL 25 mEq dalam 500 cc NaCl
0.9% dalam 12 jam dan diberikan 2 kali selama 1 hari. Selain itu diberikan obat oral
KSR 1x 600 mg dan CaCO3 3 x 500 mg yang diberikan dalam 1 hari. Pada kasus ini
terdapat hypokalemia. Hypokalemia adalah keadaan dimana jumlah kalium dalam

2
plasma <3.5 mEq/L. Hipokalemia disebabkan oleh adanya perpindahan kalium antar
kompartemen, peningkatan kehilangan kalium, dan tidak adekuatnya intake kalium.
Potasium (kalium) memiliki pengrauh penting dalam mengatur tekanan osmotic dan
sebagai katalis reaksi enzim. Hal ini termasuk fungsi merangsang sel membrane
(saraf, otot skeletal, dan kardiak) dan secara langsung juga dapat berpengaruh
terhadap fungsi ginjal. Selain itu pada sel-sel kardiak, potassium menurunkan durasi
aksi potensial, ketidakhomogenan elektrik, dan risiko terjadinya toksisitas digoksin.
Sehingga hypokalemia perlu dikoreksi sebelum tindakan laparotomi dilakukan.
Untuk mengoreksi kalium perlu dihitung defisit kalium dengan rumus sebagai
berikut:
 Defisit K+ = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] – K serum yang
diukur) X 0,25 X BB(kg)
 Defisit K+ = (3.5 mEq/L-2.9 mEq/L) X 0.25 X 73
 Defisit K+ = 10.95 mEq/L
Jumlah defisit kalium adalah 10.95 mEq/L
Untuk menentukan jumlah kalium yang akan dimasukkan baik itu secara ataupun
oral maka dihitung jumlah kalium yang dibutuhkan pasien dalam satu hari.
 Kebutuhan kalium 1 mEq/kgBB/ hari= 73 mEq/L/hari
 Maka dapat diberikan kalium sebanyak 73+10.95= 83.95 mEq/L.
Pada pasien ini diberikan drip KCL 25 mEq dalam 500 NaCl setiap 12 jam
dan diberikan obat oral yaitu KSR 1 x 600 mg, 1 tablet KSR mengandung 8 mEq
Potassium. Pada pasien ini diberikan total kalium sebanyak 58 mEq. Kalium yang
diberikan kurang dari kebutuhan. Setelah pemberian kalium dilakukan pemeriksaan
laboratorium kembali dan didapatkan hasil kalium 4.2 mEq/L.
Tindakan laparatomi adalah laparatomi merupakan salah satu pembedahan
mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan – lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan bagian organ yang mengalami masalah seperti hemoragik, perforasi,
kanker dan obstruksi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan, tindakan
laparotomi memiliki derajat trauma yang berat sehingga dapat menyebabkan
perdarahan intraoperatif.

3
Salah satu komponen penting pada pelaksanaan pembedahan adalah terapi
cairan. Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian kehilangan cairan normal
(kebutuhan rumatan), defisit cairan yang sudah ada sebelumnya, dan kehilangan luka
operasi termasuk kehilangan darah. Dengan tidak adanya asupan oral, defisit cairan
dan elektrolit dapat berkembang dengan cepat sebagai akibat dari pembentukan urin,
sekresi gastrointestinal, berkeringat, dan kehilangan cairan dari kulit dan paru-paru.
Indikasi melakukan terapi cairan adalah untuk mengganti cairan yang hilang,
mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan
perhari, mengatasi syok, mengoreksi dehidrasi, mengatasi kelainan akibat terapi lain.
Pada kasus ini penyebab terjadinya syok hemoragik adalah kehilangan darah
lebih dari 750 cc pada waktu operasi. Perkiraan kehilangan darah diukur dengan
botol penampug darah (suction pump), darah pada kasa, darah pada duk atau kain,
dan darah yang tercecer dilantai. Dengan terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler akibat perdarahan maka darah yang balik ke jantung (venous return)
juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantung pun menurun. Pada akhirnya
ambilan oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan juga tidak
dapat dipenuhi. Untuk menegakkan diagnosis syok pada kasus ini dapat dinilai
tekanan darah, frekuensi nadi yang menurun, dan jumlah kehilangan darah. Pada
pasien ini terjadi pendarahan intraoperasi dengan total 1200cc penurunan tekanan
darah normal dan denyut nadi yang normal. Berdasarkan jumlah darah yang hilang,
pasien ini termasuk syok hemoragik grade II dengan tanda-tanda pendarahan 750-
1500 ml atau 15-30%, tekanan darah dan denyut nadi dalam batas normal. Idealnya,
kehilangan darah diganti dengan cairan kristaloid atau koloid yang cukup untuk
menjaga normovolemia.
Pada pasien Ny.NN memiliki berat 73 kg, dan menjalani puasa 6 jam sebelum
dilaksanakannya operasi. Operasi yang dilakukan adalah laparotomi VC HTSOB
yang memiliki derajat trauma berat. Sehingga kebutuhan cairan pada pasien ini
dihitung dengan rumus Holliday and Segard adalah :
1. Kebutuhan rumatan : (4x10)+(2x10)+(1x53)
= 40+20+53

4
=113 ml/jam
2. Pengganti puasa : 113 x 6 = 678 ml
3. Kehilangan cairan berdasarkan berat trauma : 8 x 73 = 584 ml
Operasi pembedahan pada pasien berlangsung selama 2 jam, sehingga cairan
yang dibutuhkan pasien untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi yang
diperlukan oleh tubuh adalah
1. Pemberian cairan 1 jam pertama :
= ½ Pengganti Puasa + Rumatan + Kehilangan cairan berdasarkan berat
trauma
= ½.678 + 113 + 584 = 1036 cc
2. Pemberian cairan 1 jam kedua :
= ¼ Pengganti Puasa + Rumatan + Kehilangan cairan berdasarkan berat
trauma
= ¼.678 + 113 + 292 = 574.5cc
Pada pasien dibutuhkan cairan sebanyak 1036 cc + 574.5 cc= 1610.5cc.
Pada kasus ini cairan yang dipilih sebagai terapi rumatan dan resusitasi awal
adalah kristaloid berupa Ringer Laktat. Pemilihan cairan kristaloid ini sudah tepat.
Kristaloid merupakan larutan berbahan dasar air dengan molekul kecil sehingga
membran kapiler permeabel terhadap cairan tersebut. Pada saat syok terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan dan protein dari intravaskuler
keluar dan terjadi penurunan volume intravaskuler. Namun terdapat mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan volume intravascular seperti absorpsi air dalam
jumlah besar dari saluran cerna, shift cairan dari interstitial ke kapiler menyebabkan
cairan di interstitial juga menurun, konservasi air dan garam oleh ginjal, dan rasa
haus yang dirasakan penderita. Untuk mengatasi keadaan ini, diperlukan cairan
kristaloid karena 75 – 80% cairan kristaloid yang diberikan secara IV menuju ruang
ekstravaskular dalam satu jam, maka cairan kristaloid sangat diperlukan untuk
rehidrasi interstisial.
Sebagian besar kehilangan cairan intraoperatif bersifat isotonik (kehilangan
melibatkan air dan elektrolit) sehingga cairan pengganti yang diberikan juga bersifat

5
isotonik. Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid isotonik berisi sama dengan
jumlah elektrolit plasma dan memiliki konsentrasi yang sama. Ketika memberikan
kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam
intravascular dan sel sehingga dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume
sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge
test. Cairan kristaloid isotonik lain yang dapat digunakan adalah NaCl 0,9% tetapi
tidak seimbang dalam hal elektrolit dan buffer. NaCl 0,9% jika diberikan dalam
volume besar menghasilkan asidosis metabolik hiperkloramik karena komposisi
klorida yang tinggi dan bikarbonat yang rendah. Kristaloid tinggi klorida seperti
saline fisiologis dapat berkontribusi dalam kasus gagal ginjal akut periopertaif. Hal
ini juga berbeda dengan larutan koloid. Terdapat perbedaan sifat antara koloid dan
kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid dengan larutan garam seimbang (RL)
sebaiknya dipilih untuk resusitasi awal defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada keadaan kehilangan darah yang lebih lanjut penggantian cairan tidak
bisa dilakukan dengan pemberian kristaloid saja. Cairan kristaloid menyebabkan
viskositas darah menurun yang berakibat terjadinya hemodilusi dan menjadi
koagulopati. Pemberian yang terlalu banyak juga akan menyebabkan edema
interstitial. Sehingga resusitasi cairan dilanjutkan dengan pemberian koloid. Indikasi
pemberian koloid antara lain terjadinya defisit cairan intravaskuler berat (pada kasus
syok hemoragik) sebelum datangnya darah untuk transfusi. Cairan koloid
mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik
yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler. Pada saat dilakukan resusitasi dengan koloid cairan intravaskuler akan
menjadi hipertonis sehingga cairan di ekstravaskuler akan tertarik ke intravaskuler.
Keadaan ini akan membantu mengatasi syok akibat perdarahan.
Pada kasus ini diberikan koloid berupa gelofusine. Gelofusin merupakan bagian
dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin. Gelofusin bertujuan sebagai cairan
pengganti plasma dan mengekspansi volume vaskuler. Gelofusine merupakan larutan
untuk infus, 1000 mL gelofusin mengandung 40 g gelatin suksinat dengan berat

6
molekul rata-rata 26.5 kDa. Gelofusin juga mengandung 7g natrium klorida
(mengandung 154 mmol/L natrium tetapi hanya mengandung 120 mmol/L klorida).
Osmolalitas gelofusin adalah 274 mOsm/L. Kandungan klorida yang lebih rendah
dapat menurunkan resiko asidosis hiperkloremia dibandingkan dengan voluven dan
normal saline, sedangkan kandungan kalsium yang rendah menyebabkan cairan ini
kompatibel dengan tranfusi darah.
Karena memiliki berat molekul relatif besar rata-rata 30 KDa, keadaan ini
menyebabkan terjadinya peningkatkan tekanan osmotik di intravaskular. Peningkatan
tekanan osmotik di intravaskular ini menyebabkan cairan ini dapat menarik cairan di
ekstravaskuler ke intravaskuler dan bertahan selama 4-5 jam di intravaskuler
sehingga cairan ini mampu meningkatkan volume intrasvakuler yang akan membantu
memperbaiki keadaan syok. Selain itu karena berat molekulnya yang tidak terlalu
tinggi gelofusine juga data mengisi kompartemen interstisial.
Dalam pemberian gelofusin dosis dan kecepatan infus disesuaikan dengan jumlah
darah yang hilang dan kebutuhan individu untuk restorasi dan mempertahankan
hemodinamik yang stabil. Dosis yang diberikan pada awalnya sekitar 500-1000 ml,
jika terjadi kehilangan darah yang lebih berat dosis dapat ditingkatkan. Pada orang
dewasa, 500 ml diberikan dengan kecepatan yang sesuai tergantung pada
hemodinamik status pasien. Dalam kasus kehilangan darah lebih dari 20% biasanya
selain gelofusine harus diberikan juga komponen darah. Pada pasien terjadi
kehilangan darah sebesar 25% sehingga diberikan komponen darah berupa PRC
sebanyak 250 cc. Dalam situasi yang berat, gelofusin dapat diinfuskan dengan cepat
yaitu pemberian 500 ml gelofusin diberikan dalam waktu 5-10 menit sampai tanda-
tanda hipovolemia berkurang. Karena memiliki berat molekul yang relatif lebih kecil
dari koloid lain, gelatin memiliki dosis maksimal yang lebih besar. Penggunaan
gelatin dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Untuk mencegah terjadinya reaksi
alergi (anafilaksis / ana-filaktoid), pemberian 20 - 30 ml pertama harus diinfuskan
perlahan dengan pasien di bawah pengawasan ketat.
HES adalah suatu polisakarida kompleks, yang tersedia dalam bentuk berat
molekul besar (≥400 kD), molekul sedang (200-400 kD), molekul kecil (<200 kD)

7
biasa digunakan sebagai pengganti plasma. Berat molekul antara 100 –300 kD sama
seperti HES berat molekul 200 kD bertindak sebagai penyumpal lebih baik daripada
HES berat molekul <50 kD atau > 300 kD. Efek samping HES yang menguntungkan
adalah pada tekanan onkotik koloid, dimana HES mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan tekanan onkotik. Efek volume darah, dimana semua HES dapat
meningkatkan volume darah pada keadaan syok namun tingkatan dan durasi efek ini
bervariasi bergantung pada berat molekulnya. Semakin besar molekul dari cairan
koloid dengan berat yang sama atau semakin berat molekul dari cairan koloid dengan
bentuk yang sama cenderung bergerak lebih lambat akibat tarikan yang diberikan
pada cairan.
HES adalah suatu polisakarida kompleks, yang tersedia dalam bentuk berat
molekul besar (≥400 kD), molekul sedang (200-400 kD), molekul kecil (<200 kD)
biasa digunakan sebagai pengganti plasma. Berat molekul antara 100 –300 kD sama
seperti HES berat molekul 200 kD bertindak sebagai penyumpal lebih baik daripada
HES berat molekul <50 kD atau > 300 kD. Efek samping HES yang menguntungkan
adalah pada tekanan onkotik koloid, dimana HES mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan tekanan onkotik. Efek volume darah, dimana semua HES dapat
meningkatkan volume darah pada keadaan syok namun tingkatan dan durasi efek ini
bervariasi bergantung pada berat molekulnya. Semakin besar molekul dari cairan
koloid dengan berat yang sama atau semakin berat molekul dari cairan koloid dengan
bentuk yang sama cenderung bergerak lebih lambat akibat tarikan yang diberikan
pada cairan.
Efek samping HES yang merugikan antara lain tergantung dari berat molekul
yang meliputi reaksi anafilaksis, pruritus, akumulasi dalam jaringan dan pembatasan
penggunaan pada pasien dengan gagal ginjal. Penggunaan HES yang berulang
dengan dosis kecil menyebabkan gangguan hemostasis dan dihubungkan dengan
manifestasi perdarahan. Efek yang merugikan pada koagulasi lebih sering sesudah
penggunaan HES berulang dengan berat molekul tinggi. Pada molekul kecil efek
samping berupa perdarahan relatif lebih kecil dibandingkan dengan molekul sedang

8
maupun besar. Karena memiliki berat molekul besar maka dosis maksimum
pemberian HES ini hanya 20cc/kg/hari.
Gelofusin diberikan ketika MAP < 55mmHg. Pada kasus diberikan gelofusin
karena MAP 53mmHg.
MAP= S+SD/3 = 80+2(40)/3= 53mmHg
Maka dari itu pada kasus ini dipilih cairan koloid berupa gelatin. Koloid
diberikan dengan rasio 1:1 dengan jumlah darah yang hilang. Pemberian gelofusin
diindikasikan untuk menggantikan darah dan cairan tubuh yang telah hilang akibat
dari operasi sebelum tranfusi darah tersedia.
Titik transfusi dapat ditentukan sebelum operasi dari hematokrit dengan
memperkirakan volume darah pasien (Estimated blood volume). Pasien dengan
hematokrit normal umumnya diberikan transfusi darah hanya setelah kehilangan
lebih dari 10-20% volume darah mereka. Poin pastinya didasarkan pada medis
pasien. Transfusi hanya dilakukan apabila perdarahan sudah melewati Maximum
Allowable Blood Loss (MABL). Perhitungan MABL dilakukan dengan mengetahui
EBV dan hematokrit pasien terlebih dahulu.
Pada kasus ini dengan berat badan ibu 73 kg dan hematokrit sebelum operasi
34% didapatkan:
EBV : 65 mL/kg x 73 kg = 4745 mL
RBCVpreop : 4745 x 34% = 1613 mL
RBCV30% : 4745 x 30% = 1423 mL
RBCV yang hilang ketika Ht 30% : 1603-1423= 190 mL
Allowable blood loss : 190 x 3 = 570 mL
Pada pasien telah melampaui allowable blood loss dengan kehilangan darah
sebanyak 1200 ml sehingga pada pasien terdapat indikasi untuk transfusi darah. Pada
pasien diberikan transfusi PRC 250 cc.
Pada pasien telah dilakukan evaluasi dan didapatkan hasil:
 Tekanan darah pasien 110/70 sehingga nilai
MAP = S + 2D/3 = 110 + (2x70) / 3 = 83 mmHg

9
 Urine output yang diharapkan pada pasien ≥ 0,5 cc x 80 kg/jam = 40 cc/jam,
pada pasien setelah rehidrasi didapatkan urine output sebanyak 100cc selama
2,5 jam.
 Saturasi oksigen 99%
 Status mental normal
Pada kasus ini tatalaksana pemilihan terapi cairan berupa kristaloid Ringer
Laktat sebagai resusitasi awal untuk memperbaiki atau mengisi cairan interstitial
yang hilang sudah tepat. Kemudian ketika perdarahan terus berlanjut penggunaan
koloid berupa gelofusin 500cc untuk mengisi volume intravakuler dan mencegah
terjadinya edem interstitial akibat dari penggunaan kritaloid juga sudah tepat. Karena
memiliki berat molekul relatif besar rata-rata 35kD, keadaan ini menyebabkan
terjadinya peningkatkan tekanan osmotik di intravaskular. Peningkatan tekanan
osmotik di intravaskular ini menyebabkan cairan ini dapat menarik cairan di
ekstravaskuler ke intravaskuler dan bertahan selama 2-3 jam di intravaskuler
sehingga cairan ini mampu meningkatkan volume intrasvakuer yang akan membantu
memperbaiki keadaan syok serta memiliki efek samping yang lebih kecil
dibandingkan koloid lain yang memiliki berat molekul besar. Pemberian koloid
gelatin ini juga memiliki dosis maksimal yang lebih besar dibandingkan koloid lain.
Pada pasien terjadi kehilangan darah sebanyak 1200 ml melebihi allowable blood
loss dengan sehingga pasien diindikasikan mendapat tranfusi darah. Pada pasien
diberikan transfusi PRC 250 cc.

10
BAB V
KESIMPULAN
Ny.NN, perempuan, usia 62 tahun, datang ke RSMH dengan badan lemas.
Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluh perut makin lama makin membesar dan
pasien berobat ke spesialis obstetri ginekologi dan dikatakan ada tumor di ovarium.
Riwayat keluar darah dari kemaluan tidak ada, mual muntah tidak ada, BAB dan
BAK biasa, nafsu makan biasa, dan terdapat riwayat berat badan turun. Riwayat
kakai bengkak sejak 2 bulan yang lalu. Pasien telah menopause sejak 2 tahun yang
lalu dan dengan riwayat persalinan P3A1.
Pasien memiliki riwayat dirawat di RSMH sebelumnya. Pasien dirawat di
bagian PDL RSMH dan rawat bersama obgin pada tanggal 28 desember 2020 sampai
19 januari 2021 dengan diagnosis ascites massif ec sirosis hepatis dengan NOP
suspek ganas dan dijadwalkan laparotomy surgical staging pada tanggal 28 januari
2021, pasien dilakukan parasintesi dan dilakukan pemeriksaan PA dengan kesan PA:
70/C/2021 mesothel reaktif dengan lymphocytic ascites pada sitology cairan ascites.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Compos Mentis (GCS
E4M6V5), tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 86 kali/menit, pernapasan 20 kali per
menit, SpO2 98%. Pada pemeriksaan fisik head to toe didapatkan pada abdomen
undulasi (+), TCB (+) sesuai dengan asites massif. Pada ekstremitas didapatkan
edema pretibial (+/+) dan pada genitalia didapatkan portio kenyal terdorong, OUE
tertutup, adneksa kanan dan kiri tidak tegang, CD tidak menonjol. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnosis pasien adalah
NOP suspek ganas dengan asites massif + Hipoalbuminemia+hipokalemia dan
direncanakan tindakan laparotomy HTSOB VC.
Pasien direncanakan tindakan laparomi surgical staging. Pada kasus ini
terjadinya syok hemoragik oleh karena terjadinya pendarahan intraoperasi dengan
total 1200 mL disertai penurunan tekanan darah dan penurunan denyut nadi.
Berdasarkan gejala klinik, pasien ini termasuk syok hemoragik grade II dengan
tanda-tanda pendarahan 1000-1500 ml atau 15-30%, penurunan tekanan darah dan
denyut nadi menurun.

11
Selama operasi pasien diberikan cairan Ringer Laktat sebanyak 2000 cc untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang, dan diberikan diberikan gelofusin 1500cc dan
gelofusin yang bertujuan sebagai cairan pengganti plasma dan mengekspansi volume
vaskuler.4

12
Voluven 6% (HES HES 200/0.5 Gelofusine
130/0.4)
Kandungan 1000 ml mengandung 60 1000 ml 1000 ml
g/L HES dan 9g (Na+ mengandung mengandung 40 g
=154mmol/L; Cl- = 154 60 g/L HES gelatin suksinat dan
mmol/L) dan 9g (Na+ (Na+ =154mmol/L;
=154mmol/L; Cl- =120 mmol/L)
Cl- = 154
mmol/L)
Berat 130 kDa 200 kDa 26.5 kDa
Molekul
Osmolarity 308 mOsmol 310 mOsm 274 mOsm/L
Tonisitas isotonis Isotonis Isotonis
pH 4.5-5 4-7 7.1-7.7
Bertahan di 4-5 jam 24-36 jam 4-5 jam
intravaskular
Dosis 50 ml/kgBB/hari Tergantung dari efek
maksimum dilusi
per hari

13

Anda mungkin juga menyukai