Anda di halaman 1dari 8

Laporan Kasus

HIPERKALEMIA PADA CHRONIC KIDNEY DISEASE


Wendiono Alka1, Mukhyarjon2
1
Penulis untuk korespondensi: Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau
2
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Abstrak

Pendahuluan : Hiperkalemia didefinisikan sebagai kenaikan kadar kalium serum


lebih dari 5,5 mEq/L. Salah satu penyebab hiperkalemia adalah berkurangnya
ekskresi kalium melalui ginjal yang terjadi pada hiperaldosteronisme, gagal ginjal,
pemakaian siklosporin atau akibat koreksi ion kalium berlebihan dan pada kasus-
kasus yang mendapat terapi angiotensin-converting enzyme inhibitor dan potassium
sparing diuretic.

Laporan kasus : Dilaporkan pasien baru masuk (PBM) via Poli Klinik RSUD Arifin
Achmad pada tanggal 22 November 2019, laki-laki berusia 64 tahun dengan keluhan
nyeri BAK yang memberat sejak 4 hari sebelum masuk RSUD Arifin Achmad. Nyeri
BAK dirasakan seperti ditusuk, dirasakan terus menerus dan menjalar ke kedua
pinggang. Nyeri tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien juga mengeluhkan BAK
keluar sedikit, menetes dan berwarna kemerahan. Demam (-), mual (-), muntah (+)
sebanyak makanan yang dimakan. Pasien merasa lemas sehinga untuk berdiri dan
berjalan ke kamar mandi harus dibantu. BAB tidak ada keluhan. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan konjungtiva anemis dan nyeri ketok CVA positif pada bagian kanan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 8,5 gr/dl, hematokrit 23,8%,
leukosit 1.152.000 /mm3 dan trombosit 139.000 /mm3, natrium 136mmol/L, kalium
6,8 mmol/L, klorida 96 mmol/L.

Kesimpulan : Pasien didiagnosis sebagai Chronic Kidney Disease dengan


hiperkalemia. Penatalaksanaan keadaan hiperkalemia dengan tepat dapat
memperbaiki keadaan pasien.

Kata kunci: Hiperkalemia; gangguan elektrolit

1
Laporan Kasus

PENDAHULUAN

Kalium merupakan kation yang jumlahnya paling banyak berada di dalam sel.
Mempertahankan distribusi kalium yang tepat ketika melintasi membran sel merupakan hal
yang sangat penting untuk fungsi sel normal.1 Rasio normal antara konsentrasi ekstraseluler
dan intraseluler penting untuk pemeliharaan resting membrane potential dan fungsi
neuromuskular. Transfer kalium antara ekstraseluler dan intraseluler dipengaruhi oleh
berbagai faktor endogen dan eksogen. Keadaan asidosis dan alkalosis mempengaruhi kalium
karena dapat mengkompensasi gerakan proton (ion Hidrogen). Dalam asidosis ion H+
berpindah ke sel, dan untuk menjaga keseimbangan listrik, kalium berpindah ke luar sel. Pada
alkalosis terjadi sebaliknya.2

Hiperkalemia didefinisikan sebagai kenaikan kadar kalium serum lebih dari 5,5
mEq/L. Salah satu penyebab hiperkalemia adalah berkurangnya ekskresi kalium melalui
ginjal yang terjadi pada hipoaldosteronisme, gagal ginjal, pemakaian siklosporin atau akibat
koreksi ion kalium berlebihan dan pada kasus-kasus yang mendapat terapi angiotensin-
converting enzyme inhibitor dan potassium sparing diuretic.3

Menurut penelitian yang dilakukan di Ontario, Canada sepanjang tahun 2012,


didapatkan sebanyak 238 pasien dengan rata-rata laju filtrasi glomerulus yang diperkirakan
14,6 ml / menit / 1,73 m2, insiden kadar kalium serum di atas 5,0 dan 5,5 mEq / l masing-
masing adalah 54% dan 40%. Prevalensi hiperkalemia pada pasien penyakit ginjal kronik
diperkirakan jauh lebih tinggi daripada populasi umum. Sebuah tinjauan baru-baru ini
melaporkan bahwa frekuensi hiperkalemia pada penyakit ginjal kronik sekitar 40-50%
dibandingkan pada populasi umum yang hanya 2-3%. Mereka yang berisiko lebih tinggi ialah
pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronik tingkat lanjut.4

Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan gagal ginjal merupakan
masalah kesehatan yang cukup sering ditemui dari berbagai macam jenis penyakit ginjal di
Indonesia. Prevalensi gagal ginjal kronis yang telah terdiagnosis di Indonesia adalah sebesar
0,2% sedangakan prevalensi gagal ginjal di Riau sebesar 0,1%. Perkumpulan Nefrologi
Indonesia menyatakan bahwa prevalensi gagal ginjal di Indonesia tahun 2015, terbanyak pada
penyakit ginjal hipertensif, yaitu sebesar 44%, nefropati diabetika 22%, dan glomerulopati
primer 8%.5

Ginjal yang sehat memiliki kapasitas yang besar untuk mempertahankan homeostasis
kalium dalam menghadapi kalium yang berlebih.6 Penanganan kalium di ginjal secara pasif,
direabsorpsi pada akhir dari tubulus kontortus proksimal. Kalium kemudian ditambahkan
pada cairan tubulus di descending limbs dari lengkung henle. Tempat utama reabsorpsi
kalium aktif adalah thick ascending dari lengkung henle. Pada akhir tubulus kontortus distal,
hanya 10% sampai 15% dari kalium yang telah disaring masih tetap dalam lumen tubulus.
Kalium terutama diekskresikan oleh sel-sel utama dari cortical collecting duct dan outer
medullary collecting duct. Reabsorpsi kalium terjadi melalui sel-sel yang terinterkalasi pada

2
Laporan Kasus

medullary collecting duct. Selama berkurangnya kalium tubuh total, reabsorpsi kalium
ditingkatkan. Reabsorpsi kalium awalnya memasuki interstisium meduler, tapi kemudian
disekresi ke dalam pars rekta dari descending limb pada lengkung henle. Peran fisiologis
medullary potassium recycling dapat meminimalkan “backleak” keluar dari collecting tubule
lumen atau untuk meningkatkan sekresi kalium ginjal selama keadaan kelebihan kalium.7

Salah satu komplikasi penyakit ginjal kronik adalah terganggunya keseimbangan


cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan hiperkalemia.8

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 64 tahun datang dengan keluhan nyeri BAK yang memberat
sejak 4 hari SMRS. Nyeri BAK dirasakan seperti ditusuk, dirasakan terus menerus dan
menjalar ke kedua pinggang. Nyeri tidak dipengaruhi oleh aktifitas dan berkurang ketika
pasien beristirahat. Pasien juga mengeluhkan BAK keluar sedikit, menetes dan berwarna
kemerahan. Demam (-), mual (-), muntah (+) lebih kurang 4 kali sehari sebanyak makanan
yang dimakan. Muntah berisi makanan dan cairan, tidak disertai darah. Pasien muntah setiap
kali makan. Pasien merasa lemas sehinga untuk berdiri dan berjalan ke kamar mandi harus
dibantu. BAB tidak ada keluhan.

4 bulan SMRS pasien mengeluhkan BAK berdarah seperti air cucian daging. Pasien juga
merasakan nyeri saat BAK namun tidak menjalar. Pasien juga mengeluhkan ada benjolan
mengalami penurunan nafsu makan karena mual yang dirasakannya. Pasien mengeluhkan
badannya lemas dan hanya bisa berbaring di rumah. Pasien belum pernah berobat
sebelumnya, hanya mengonsumsi obat yang dibeli di warung untuk mengurangi mualnya.
Tumor buli. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus, sakit jantung, dan tekanan darah
tinggi sebelumnya. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama, riwayat
diabetes melitus, sakit jantung, dan tekanan darah tinggi. Pasien adalah seorang petani. Pasien
perokok dengan konsumsi rokok sekitar 2 bungkus perhari dan mulai merokok pada usia 20
tahun. Pasien jarang minum air putih dan ssering menahan kencing.

Pada pemeriksaan fisik, pasien memiliki suhu tubuh normal, yaitu 36,4 oC. Tekanan
darah yaitu 132/60 mmHg. Denyut nadi normal, yaitu 64 kali/menit irama reguler dan kuat
angkat. Frekuensi pernapasan 20 kali/menit dengan sifat pernapasan torako-abdominal dan
pola napas normal. Berat badan pasien 54 kg dengan tinggi badan 170 cm. Pasien memiliki
index massa tubuh 18,68 (normoweight). Pada pemeriksaan fisik konjungtiva ditemukan
anemis. Pada pemeriksaan toraks depan dan belakang dalam batas normal. Pemeriksaan
abdomen ditemukan masa pada supra pubis sebesar kepalan tangan dewasa, dan terasa nyeri.
Pada ekstremitas bawah ditemukan pitting udem pada kedua ekstremitas. Dari pemeriksaan
laboratorium, analisis sampel darah menunjukkan penurunan dari kadar hemoglobin 8 g%,
leukosit 6.780.000 /mm3, eritrosit 2,9 juta/mm3, hematokrit 22%, MCV 76 Fl, MCH 27 pg
dan MCHC 35. Pemeriksaan kimia klinik ditemukan peningkatan kadar ureum, yaitu 190
mg/dL dan kreatinin 15,6 mg/dl. Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan kenaikan kadar

3
Laporan Kasus

kalium ion, yaitu 6,8 mmol/dl. Perhitungan laju filtrasi glomerulus (LFG) pada pasien ini
adalah 3,2 ml/menit/1,73m2.

Pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil :

- Irama sinus - Durasi kompleks QRS : 0,06 detik

- Frekuensi 100 x/menit - Gelombang T normal

- Normoaksis - RBBB (-), LBBB (-)

- P : rounded smooth

- PR interval : 0,16 detik

- ST segmen : tidak ada depresi, elevasi, dan tidak terdapat T inverted

Kesan : normal EKG

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan


diagnosis pasien ini adalah hiperkalemia ec chronic kidney disease stage 5 dengan anemia
sedang hipokromik mikrositer dan hipertensi stage 1. Pengobatan non farmakologi yang
diberikan pada pasien ini adalah bed rest, diet rendah garam 2 sendok teh perhari dan diet
rendah protein 0.6 g/kg/hari. Terapi farmakologi yang diberikan adalah IVFD NaCl 0.9% 500
cc fl, transfusi PRC 2 lb, ramipiril tablet 1 x 2,5 mg, injeksi omeperazole 2 x 40 mg, inj
ondansetron vial 8 mg 2x1 dan injeksi calcium gluconate amp 10 cc.

PEMBAHASAN

Diagnosis hiperkalemia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga


pemeriksaan penunjang. Hiperkalemia adalah suatu kondisi jika kadar kalium serum diatas

4
Laporan Kasus

5,5 mEq/L. Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L
(sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-60 per kilogram
berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada
orang dewasa lebih kecil 20% dibandingkan pada anak-anak. Perbedaan kadar kalium di
dalam plasma dan cairan interstisial dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan,
sedangkan perbedaan kalium cairan intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya
transpor aktif (transpor aktif kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium). Jumlah kalium
dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium yang masuk dan keluar. Pemasukan
kalium melalui saluran cerna tergantung dari jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada
keadaan normal mengkonsumsi 60-100 mEq kalium perhari (hampir sama dengan konsumsi
natrium). Kalium difiltrasi di glomerulus, sebagian besar (70-80%) direabsorpsi secara aktif
maupun pasif di tubulus proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di
lengkung henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal kurang dari
5%, kulit dan urine mencapai 90%.3

Hiperkalemia dapat disebabkan oleh :


a. Keluarnya Kalium dari Intrasel ke Ekstrasel
Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh
asidosis organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisit insulin, katabolisme jaringan
meningkat, pemakaian obat penghambat-β adrenergik, dan pseudohiperkalemia.3

b. Berkurangnya Ekskresi Kalium melalui Ginjal


Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin atau
akibat koreksi ion kalium berlebihan dan pada kasus-kasus yang mendapat terapi
angiotensin-converting enzyme inhibitor dan potassium sparing diuretics.3

Pseudohiperkalemia dapat disebabkan oleh hemolisis, sampel tidak segera


diperiksa atau akibat kesalahan preanalitik yang lain yaitu tornikuet pada lengan atas tidak
dilepas sebelum diambil darah setelah penderita menggenggam tangannya berulangkali
(peningkatan sampai 2 mmol/L). Jumlah trombosit >500.000/mm3 atau leukosit
>70.000/mm3 juga dapat meningkatkan kadar kalium serum.3

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak terdapat tanda jelas tanda
hiperkalemia pada pasien ini. Hiperkalemia bisa sulit didiagnosis secara klinis karena keluhan
mungkin tidak jelas. Dengan temuan yang tidak spesifik, hiperkalemia seringkali merupakan
temuan laboratorium insidentil. Manifestasi klinis tergantung pada tingkat keparahan serta
tingkat peningkatan konsentrasi kalium. Pasien dengan hiperkalemia dapat muncul tanpa
gejala atau dapat melaporkan kelemahan, kelelahan menyeluruh, kelumpuhan parestesia atau
bahkan henti jantung.9

5
Laporan Kasus

Begitu juga dengan pemeriksaan fisik berupa EKG yang dimana kesan EKG normal.
Hiperkalemia tidak selalu dinyatakan dengan perubahan EKG, oleh karena itu EKG bukan
merupakan indikator yang dapat diandalkan dari tingkat keparahan hiperkalemia. Gelombang
T memuncak biasanya terlihat pada konsentrasi kalium lebih besar dari 5,5 mEq / L dan
paling baik terlihat pada sadapan II, III, dan V2 - V4, tetapi hanya ada di 22% dari pasien
dengan hiperkalemia. Ketika kadar kalium serum meningkat lebih \ dari 6,5 mEq / L, laju
fase 0 dari potensial aksi menurun, yang mengarah ke potensi aksi yang lebih lama dan pada
gilirannya, kompleks QRS yang meluas dan interval PR yang memanjang.9

Ketika hiperkalemia memburuk dan kadar kalium mencapai 10 mEq / L, konduksi


SA node tidak lagi terjadi, dan alat pacu jantung fungsional pasif mengambil alih stimulasi
listrik miokardium. Tanpa henti, kompleks QRS melebar dan menyatu menjadi gelombang T,
menghasilkan EKG gelombang sinus klasik. Setelah ini terjadi, fibrilasi ventrikel dan asistol
akan segera terjadi.9

Diagnosis gagal ginjal kronik pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya mual dan
muntah sejak 1 bulan yang lalu, penurunan nafsu makan, badan terasa lemas. Adanya riwayat
hipertensi memberikan informasi mengenai diagnosis etiologi dari gagal ginjal pada pasien.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya hipertensi.

Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada


arteriol diseluruh tubuh ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal arteriosklerosis akibat
hipertensi lama menyebabkan terjadinya nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat
langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri
dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus sehingga seluruh
nefron rusak maka terjadilah gagal ginjal kronik.5

Hipertensi yang terjadi dapat merupakan etiologi ataupun komplikasi dari gagal ginjal
kronik. Hipertensi yang terjadi akibat komplikasi dari gagal ginjal kronik disebabkan karena
perfusi ginjal yang menurun merangsang sel juksta glomerulus untuk menghasilkan renin
yang akan dilanjutkan oleh hati untuk mengeluarkan angiotensinogen yang akan diubah oleh
paru menjadi angiotensin I dan dengan bantuan angiotensi converting enzyme akan diubah
menjadi angiotensin II yang akan mengaktifkan kontraksi simpatis, pengaktifan aldosteron
dan anti diuretic hormon yang berguna untuk menahan air dan natrium sehingga volume
darah dan tekanan darah menjadi meningkat.10,11

Berdasarkan kepustakaan dari perhimpunan Nefrologi Indonesia 2015 (PERNEFRI)


didapatkan bahwa penyakit ginjal hipertensi (44%) merupakan penyebab tersering gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia. Keluhan lemas, nafsu makan menurun, serta
mual dan muntah sesuai dengan gambaran klinis sindrom uremia pada penyakit gagal ginjal
kronik yang meliputi gejala lemah, letargi, anoreksi, mual dan muntah, nokturia, kelebihan

6
Laporan Kasus

volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, kejang sampai koma. Sindrom uremia
ini disebabkan oleh tingginya kadar ureum didalam darah.12

Stadium perubahan fungsi ginjal dari awitan hingga gagal ginjal dapat dibagi menjadi
5 stadium. Stadium pertama (perubahan fungsional dini) berupa hipertrofi ginjal, peningkatan
daerah permukaan kapiler glomerular, dan peningkatan GFR. Pada stadium 2 sudah terjadi
perubahan struktur dini yaitu penebalan membrane basalis kapiler glomerular dan GFR
normal atau sedikit meningkat. Stadium 3 (nefropati insipien) dimana terdapat
mikroalbuminuria (30-300mg/24jam) dan terjadi peningkatan tekanan darah. Pada stadium 4
sudah terjadi proteinuria dan penurunan GFR. Stadium terakhir (insufisiensi atau gagal ginjal
progresif) menunjukkan penurunan GFR dengan cepat dan ginjal kehilangan fungsinya setiap
bulan hingga 3%.

Pada laboratorium didapatkan nilai kreatinin pasien sebesar 15,6 mg/dL yang
seterusnya dikonfersikan kedalam rumus Kockroft-Gault didapatkan nilai LFG pasien sebesar
3,4 ml/mnt/1,73m2. Nilai LFG tersebut kurang dari 15 ml/mnt/1,73m2 yang berarti kriteria
penyakit ginjal kronik berada pada derajat 5 atau terminal. Keadaan penurunan nilai LFG ini
akan mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin
serum. Hal ini menyebabkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan
keluhan nausea (mual), muntah (vomitus) serta anoreksia (penurunan nafsu makan) pada
pasien ini.13

Diagnosis anemia pada pasien ini didasarkan pada pemeriksaan fisik pasien yang
didapatkan adanya konjungtiva anemis dan bibir pucat yang didukung dengan data
laboratorium Hb 8 gr/dL. Kondisi anemia pada pasien gagal ginjal terutama disebabkan oleh
defisiensi hormon eritropoietin sehingga ransangan pada sumsum tulang menurun. Adanya
toksik uremik pada CKD akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat
mempunyai efek inhibisi eritropoiesis.14

Rencana terapi pada pasien gagal ginjal kronik ini adalah bedrest, oksigen nasal kanul
2L/menit, IVFD NaCl 0,9% 20 tpm dan hemodialisa. Rencana diagnostik pasien ini adalah
USG ginjal, pemeriksaan urinalisis untuk mengetahui proteinuria dan pemeriksaan kadar
albumin. Pasien diedukasi untuk membatasi cairan maksimal 4 gelas perhari, diet rendah
garam (200-400 mg), diet protein 0,6 gram/KgBB/hari. Diet rendah garam diberikan untuk
mengontrol tekanan darah pasien.

KESIMPULAN

Pasien didiagnosis sebagai hiperkalemia ec chronic kidney disease stage 5 dengan


anemia sedang hipokromik mikrositer dan hipertensi stage 1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Palmer B. Regulation of Potassium Homeostasis. CJASN. 2015;10(6): 1050-60.

7
Laporan Kasus

2. Hoskote SS, Joshi SR, Ghosh AK. Disorder of potassium homeostasis: Pathophysiology and
management. JAPI. 2008;56:685.
3. Yaswir R, Ferawati I. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan Klorida Serta
Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kedokteran Andalas. 2012;1(2):82-3.
4. Kovesdy C.P., Regidor D.L., Mehrotra R. Serum and dialysate potassium concentrations and
survival in hemodialysis patients. Clin J Am Soc Nephrol. 2007;2:999–1007.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Republik Indonesia. Riset
Kesehatan Dasar. 2013.
6. Weaver CM. Potassium and Health. An International Review Journal. 2013;4:368-377.
7. O’hare A, Choi A, Bertenthal D, Bachhheti P, Amit X, Kaufman JS, et al. Age Affects Outcomes
in Chronic Kidney Disease. JASN. 2007;18(10):2758-65.
8. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadribata M, Setiati S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-VI. Jilid ke-2. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. 2014; 2159-65.
9. Cohen R, Ramos R, Garcia CA, Mehmood S, Park Y, Divittis A, et al. Electrocardiogram
manifestations in hyperkalemia. World Journal of Cardiovascular Diseases, 2012, 2, 57-
63
10. Nurlaili FM. Hubungan antara hipertensi dengan kejadian gagal ginjal kronik di bagian
rawat inap penyakit dalam RSUD penembahan senopati Bantul Yogyakarta periode 1
Januar 2009- 31 Agustus 2010. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. 2010.
11. Sulaeman MR. 2014. Hipertensi Pada Penyakit Ginjal Menahun. In:
Sudoyo,A.W.,Setiyobudi, B., Alwi, I., Simadibarata, M., Setiati,S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II. 6th ed,Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam: 2014; pp. 2294-9
12. Lederer, E., R. Ouseph. 2007. Chronic Kidney Disease. American Journal of Kidney
Diseases. 49(1) : 162-171
13. Kidney Disease Improving Global Outcomes. Clinical Practice Guideline for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.2012.
14. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Report of Renal Registry. Edisi ke-8. 2015

Anda mungkin juga menyukai