PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC) Paru merupakan salah satu jenis penyakit generatif yang
perbedaan insidensi dan prevalensi antar wilayah . Insidensi BTA positif bervariasi,
yaitu 64/100,000 untuk DI Yogyakarta dan Bali, 107/100.000 untuk propinsi di Jawa
(kecuali DIY), 160/100.000 untuk Sumatera dan 210/100,000 untuk propinsi-propinsi
di wilayah Indonesia Timur (Depkes RI, 2005).
Menurut WHO (World Health Organization), sampai dengan tahun 2006,
diperkirakan setiap tahun terjadi 539.000 kasus baru Tuberkulosis (TBC) dengan
kematian sekitar 101.000. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 110 penderita baru TBC paru BTA positif yang sebagian besar
menyerang kelompok usia produktif (Depkes RI, 2007).
Data Depkes RI (2007), menunjukkan bahwa rata-rata angka temuan kasus
(CDR) TBC paru di seluruh Indonesia belum mencapai target yang diharapkan yaitu
69,1%. Namun beberapa propinsi sudah mencapai standart minimal 70% seperti
DKI, Sulawesi Utara dan Banten.
Menurut Depkes RI (2007) Target program penanggulangan TB adalah
tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan
dan menyembuhkan 85% dari semua pasien. Target ini diharapkan dapat menurunkan
tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010
dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs)
pada tahun 2015.
Berdasarkan wilayah administratif di Indonesia, Provinsi Sumatera Barat
menempati urutan ke 10 angka temuan kasus TBC paru terbesar di tahun 2007,
meskipun belum mencapai target yang ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus
tersebut yaitu DKI Jakarta (88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten (74,62%),
Jawa Barat (67,57%), Sumatera Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%),
Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%), Sumatera Barat (51,36%) (Depkes
RI, 2007).
Kota Bukittinggi sebagai wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat
merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang belum mencapai target nasional dalam
penemuan kasus TB paru. Tahun 2009, Kota Bukittinggi hanya mencapai 61,25%,
yang meningkat dari tahun sebelumnya (48,8%). Hanya beberapa Puskesmas yang
telah mencapai target yang telah ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus pada tiap
Puskesmas yaitu Puskesmas Nilam Sari (81,3%), Puskesmas Perkotaan (76%),
Puskesmas Gulai Bancah (64,3%), Puskesmas Mandiangin (63,6%), Puskesmas
Guguk Panjang (58,3 %), Puskesmas Tigo Baleh (30,6%). Angka temuan tersebut di
beberapa puskesmas perlu ditingkatkan agar target yang telah ditetapkan dapat
tercapai (Dinkes Kota Bukittinggi, 2009).
Pencapaian target penemuan kasus yang diperoleh oleh Puskesmas Guguk
Panjang masih perlu ditingkatkan lagi. Jika dibandingkan dengan dengan angka
sesuatu
maka
semakin
banyak
dan
semakin
jelas
pula
yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TBC dari "suatu
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan" menjadi penyakit yang
berbahaya, tapi dapat disembuhkan". Bila penyuluhan ini berhasil, akan
meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI, 2007).
Masih kurangnya pengetahuan mengenai bahaya TBC serta pelayanan
kesehatan yang tersedia, membuat jumlah pasien yang dapat menjangkau layanan
TBC masih relatif rendah. Dalam konteks TBC, ditemukan bahwa pengetahuan,
kesadaran dan perilaku nyata warga untuk menjaga mutu asupan makanan minuman
yang bergizi, menjaga sanitasi diri dan lingkungan, memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan serta berobat teratur tuntas bila terkena TBC, masih relatif rendah. Untuk
itu, diperlukan pula keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan TBC (Lembaga
Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).
Dalam pemberantasan Tuberkulosis, keluarga diharapkan bukan hanya
berperan dalam pengawasan minum obat penderita saja, tetapi juga berperan dalam
mengajarkan hidup sehat dan menganjurkan ke pelayanan kesehatan. Keluarga yang
merupakan
elemen
masyarakat
mempunyai
peranan
penting
dalam
(3,2%). Untuk kawasan Sumatera lebih banyak mendengar penyakit TBC melalui
TV (58%), majalah/koran (19%), tokoh agama/masyarakat (17%) dan melalui guru
(17%) ( Depkes RI, 2005).
Menurut studi implikasi survei Tuberkulin penelusuran anak dengan mantoux
positif terhadap kejadian sakit tuberkulosis di Sumatera Barat Tahun 2008 didapatkan
bahwa sumber kontak TB pada anak bukan hanya pada anak yang punya riwayat TB
pada keluarga saja. Ini berarti anak pada setiap keluarga memiliki resiko tinggi
tertular tuberkulosis walaupun di keluarganya tidak terdapat penderita TB. Untuk itu
perlu mencari sumber kontak lainnya yaitu sumber kontak yang bukan pada
keluarga penderita TB di lingkungan masyarakat tempat tinggal (Warta Gerdunas
TB, 2010).
Melihat pentingnya peran keluarga dalam penanganan tuberkulosis, untuk itu
keluarga sebagai organisasi terkecil dalam masyarakat diharapkan dapat menjadi
agen perubahan sosial. Peran serta masyarakat di dalam penanggulangan penyebaran
tuberkulosis amat penting dilakukan dan dikembangkan, karena bukan hanya
menyangkut kepada penemuan kasus saja, namun dapat membantu pemberantasan
berbagai penyakit yang berbasis kepada perilaku masyarakat.
Menurut Rogers dan Shoemaker yang mengutip pendapat Graeff dkk (1996)
dalam mengubah perilaku masyarakat terdapat suatu kegiatan yang dikenal dengan
difusi inovasi, yaitu suatu proses penyebarserapan ide-ide atau hal-hal yang baru
dalam merubah suatu masyarakat. Dalam penerimaan suatu inovasi biasanya melalui
beberapa tahapan yang disebut dengan tahap putusan inovasi atau dikenal dengan
model difusi inovasi. Komunikasi yang dilakukan melalui penyuluhan diharapkan
akan menjadi bagian dalam tahapan perubahan perilaku dalam masyarakat. Model
difusi inovasi menegaskan peran agen agen perubahan dalam lingkungan sosial,
yang mengambil fokus bukan pada individu sasaran utama. Secara relatif, tetangga,
petugas kesehatan atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan
perubahan perilaku dengan cara-cara tertentu.
Dalam konteks penanganan tuberkulosis, selain keluarga pasien, keluarga
yang bukan berasal dari penderita TB juga turut berperan penting sebagai agen dalam
menciptakan perubahan perilaku masyarakat agar sesuai dengan
perilaku yang
1.2.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka dipandang perlu dilakukan penelitian
mengenai efektivitas metode ceramah yang diberikan pada keluarga untuk dapat
meningkatkan pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan TB paru sehingga
mempunyai dampak pada peningkatan temuan kasus TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Guguk Panjang.
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun yang merupakan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
1.4.
Hipotesis
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat efektivitas
1.5.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Bagi Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi agar dapat menjadi bahan acuan (model)
untuk program pencegahan dan pemberantasan TB Paru .
2.