Anda di halaman 1dari 148

PRODUKSI

PERTANIAN

BAB

VI

P R O D U K S I
A. PERTANIAN
Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam ekonomi Indonesia. Karena itu Pemerintah memberikan perhatian
utama terhadap pembangunan sektor ini. Betapa panting sektor ini tercermin dalam usaha-usaha pembangunan yang telah
dilaksanakan selama Repelita I dan yang sedang dilaksanakan
dalam Repelita II.
Besarnya peranan sektor pertanian bukan saja dapat dilihat
dari kenyataan bahwa sebagian besar rakyat hidup dari usahausaha pertanian, melainkan juga dari besarnya sumbangan sektor ini kepada pendapatan nasional. Walaupun sejak tahun 1969
besarnya sumbangan sektor pertanian kepada produk domestik bruto secara relatif menurun sedikit demi sedikit, tetapi
secara absolut, menunjukkan kenaikan. Kenaikan secara absolut disebabkan karena usaha-usaha pembangunan yang intensif dalam sektor pertanian itu sendiri.
Hasil-hasil pembangunan selama Repelita I dalam sektor
pertanian antara lain dicerminkan oleh terjadinya peningkatan
produksi tiap tahun dalam sebagian besar hasil pertanian,
seperti dapat dilihat pada Tabel VI 1.
Dari Tabel VI 1 tampak bahwa, kecuali untuk beberapa
hasil pertanian tertentu, produksi hasil-hasil pertanian secara
keseluruhan menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Produksi pertanian terpenting, yaitu beras
mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4,8% setahun. Khusus
untuk tahun 1972 terjadi penurunan produksi yang disebabkan
terutama karena iklim yang tidak menguntungkan.
263

TABEL VI 1
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERTANIAN TERPENTING
1968 1973
(ribuan ton )

Jenis hasil

1968

1969

1970

1971

1972

1)

1973

2)

Pertumbuhan
rata-rata
1968-73
(%)

6
13.291
2.254

1)

11.666

12.249

13.140

13.724

Jagung

3.165

2.292

2.825

2.606

11.356

10.917

10.478

10.685

Beras

Ubi kayu
Ubi jalar
Kedele

2.364

2.260

420

389

1)
1)

2.175
498

2.211

1)

1)

516
1)

Kenaikan
1972-73
(%)

14.702

4,8

10,6

2.91.2

0,7

29,2

10.385

3.399

- 3,6

- 9,5

2.066

2.180

- 2,5

5,5

518

446

3,6

- 13,9

282

303

1,2

7,4

Kacang tanah

287

267

281

284

Ikan laut

723

785

808

820

836

860

3,6

2,9

Ikan darat

437

429

421

424

433

440

0,1

1,6

Daging

305

309

314

332

366

403

5,7

10,1

1.162

1.300

1.819

1.503

1.655

1.906

10,4

15,1

28.600

28.923

29.306

35.797

37.694

39.300

7,0

4,3

802

804

1)

808

853

3,0

5,6

217

249

1)

270

289

9,8

7,0

Telur

3)

Susu

4)

Karet

735

Kelapa sawn/
minyak

181

778
189

1)

1.132

1.221

1.200

1.149

1.311

157

175

185

196

76

62

64

71

Kelapa/kopra
Kopi
Teh
Cengkeh

17

12

Lada

47

17

Tembakau

54

82

Gula tebu

Kayu rimba

5)

6)

8,5

214

167

2,0

21,9

51

65

1,0

27,5
76,9
61,1

13

23

17

24

18

29

2,6

78

76

79

p.m

p.m.

p.m

1.133

994

6,6

-12,3

468

520

568

4.783

7.587

Hanya dari 1969 -1973.

1,3

14

*)Angka-angka dibulatkan.
1)
Angka diperbaiki
2)
Angka sementara.
3)
Dalam juta butir.
4)
Dalam ribu liter.
5)
Dalam ribu m3.

1.199

15

873

Kapas
Kayu jati

1)

11,7

922

752

5)

1)

1)

11.856

1.041

1)

2
770
12.968

1)
1)

597

576 )

17.120

24.124 )

8,2 6)
37,4

0
41,0

Di luar beras, pertumbuhan rata-rata produksi per tahun


yang terbesar dicapai oleh kayu, khususnya kayu rimba, dengan rata-rata sebesar 37,4%, kemudian diikuti oleh cengkeh
11,7%, telur 10,4%, kelapa sawit 9,8%, susu segar 7,0%, gula tebu
6,6%, daging 5,7%, kedele dan ikan laut masing-masing 3,6%,
karet 3,0%, lada 2,6%, kacang tanah 1,2%, jagung
0,7%, dan
ikan darat 0,1%. Mengenai hasil-hasil pertanian
seperti kedele
dan tebu hanya pada tahun 1973 mengalami pe nurunan produksi,
sedangkan selama periode 1968 - 1972 produksinya rata-rata naik.
Adapun produksi ubi kayu, kopra
dan kopi mempunyai
kecenderungan menurun dan penurunan pada tahun 1973 lebih
menyolok dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Produksi
kopra dan kopi juga menurun.
Ini terutama disebabkan oleh
musim yang kurang menguntungkan. Hasil-hasil pertanian lain
yang juga mengalami perkembangan produksi yang kurang
menggembirakan adalah ubi jalar, kapas (terutama kapas yang
ditanam secara tradisionil) dan teh. Selama Repelita I hasilhasil pertanian ini meng- alami penurunan produksi rata-rata
sebesar 3,6% untuk ubi kayu, 2,5% untuk ubi jalar, 8,2% untuk
kapas dan 1,0%
untuk teh.
Mengenai sebab-sebab kenaikan atau penurunan produksi
dari masing-masing hasil pertanian tersebut di atas dan beberapa hasil pertanian lainnya akan dikemukakan secara lebih
terperinci dalam bagian-bagian lebih lanjut dari laporan ini.
Kecuali beras yang seluruhnya dikonsumsi di dalam negeri,
hasil-hasil pertanian lainnya banyak yang diekspor keluar
negeri. Perkembangan volume ekspor hasil-hasil pertanian terpenting selama Repelita I dapat dilihat dalam Tabel VI 2.
Dari tabel ini juga terlihat bahwa, dengan beberapa perkecualian volume ekspor hasil-hasil pertanian selama Repelita I pada
umumnya menunjukkan trend menaik. Kenaikan rata-rata
yang terbesar terdapat dalam volume ekspor kayu dan hasilhasil perikanan (terutama udang). Jumlah ekspor kedua macam
hasil pertanian ini selama 1968 1973 rata-rata meningkat
266

TAB EL
EKSPOR HASIL

VI - 2

P ER TAN I AN TERPENTING
1968 - 1973
(ribu ton)

Jenis hasil

1968

1969

1970

1971

1972

1973

Karet
Minyak sawit

770,9
152,4

833,3
194,4

755,7
189,0

719,5
219,7

740,5
275,1

669,9
191,1

Teh

20,2

40,5

39,3

34,4

84,7
24,6
8,2

29,5
120,9

35,5

Kopi

94,3

65,9

89,4

73,4

16,7
13,2

2,6
16,9

23,6
19,5

24,4
30,1

18,7
30,7

217,0
2,9

157,0
5,6

I85,0
7,3

63,7

42,0

65,0

15,3

23,4

28,8

3,4

2,3

1,2

34,5
18,0

38,2
18,7

52,9
34,8

4,1
51,4

3,9
52,6

5,9
51,0

24,3

30,9

11,4

5,4

6,8

5,7

4,8

6,1

4,9

1.239,5

3.595,8

7.412,0

10.706,5 13.890,9

19.488,0

91,0
9,5

155,0
20,0

254,0
22,0

213,0
21,0

79,6
13,4

117,6
21,7

162,0

304,0

312,0

452,0

344,5

73,9

Lada
Tembakau
Kopra
Udang
Ikan segar
Sapi
Kerbau
Kulit ternak
Kayu
Jagung
Kacang tanah
Gaplek

1) Angka diperbaiki.
2) Angka sementara.

dengan lebih dari 50% setahun, kayu sebesar kurang lebih


82% dan udang kurang lebih 62% setahunnya. Peningkatan
volume ekspor yang relatif besar ini terutama disebabkan oleh
semakin meningkatnya produksi, sebagai akibat adanya peningkatan permintaan di pasaran dunia, dan sebagai hasil usaha
perbaikan mutu dan perbaikan-perbaikan dalam cara pemasaran.
Demikian secara garis besar perkembangan produksi dan
ekspor dari hasil-hasil pertanian terpenting selama Repelita I.
Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan secara lebih terperinci
perkembangan produksi dan hasil-hasil lain yang telah dicapai
selama Repelita I di sektor pertanian.
267

1.

Padi/beras.

Perkembangan produksi beras selama Repelita I pada umumnya menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Selama
lima tahun terakhir produksi beras bertambah dengan tingkat
kenaikan rata-rata 4,8% setahun. Peningkatan produksi ini
terutama disebabkan oleh penambahan luas areal panen padi
dan kenaikan hasil rata-rata per ha.
Dalam Tabel-tabel VI 3, VI 4 dan VI 5 dapat dilihat
perkembangan luas panen hasil rata-rata per ha dan produksi
padi/beras dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1973.
Luas panen padi tahun 1968 meliputi areal seluas 8.020 ribu
ha dan tahun 1973 meningkat menjadi 8.363 ribu ha. Ini berarti
bahwa selama Repelita I terjadi penambahan seluas 243 ribu
ha atau 4,1%. Jadi ada kenaikan rata-rata sebesar 0,84% setiap tahun. Perkembangan luas panen padi tersebut sebagian
besar disebabkan oleh meningkatnya panen padi sawah sebesar
388 ribu ha di Jawa dan 401 ribu ha di luar Jawa. Luas panen
padi gogo berkurang sebesar 90 ribu ha di Jawa dan 336 ribu
ha di luar Jawa. Penambahan luas areal panen padi sawah
terutama disebabkan oleh bertambah baiknya sarana pengairan.
Dengan adanya perbaikan pengairan itu maka luas sawah baku
yang dapat dipanen dua kali setahun menjadi bertambah luas.
Di samping itu, dengan perluasan jaringan-jaringan irigasi baru
terdapat pula perluasan sawah baku, hasil dari pencetakan
sawah baru.
Hasil rata-rata padi per ha meningkat dari 27,9 kwintal
dalam tahun 1968 menjadi 33,7 kwintal padi pada tahun 1973.
Bertambahnya luas panen padi dan naiknya hasil padi per ha telah
berhasil meningkatkan produksi beras dari 11.666 ribu
ton
dalam tahun 1968 menjadi 14.702 ribu ton dalam tahun 1973. Ini
berarti bahwa selama Repelita I produksi meningkat sebesar 26,0%.
Penurunan produksi beras dalam tahun 1972 sebesar 3,1%
dari produksi tahun 1971 adalah akibat dari musim kemarau
268

T A B E L VI 3
LUAS PANEN PADI, 1968 1973
(ribuan ha)

1968

Jawa

padi sawah

3.857

1)

4.050

1972

1)

1973

2)

Kenaikan
rata-rata
1968-1973

4.006

4.245

1,96

347

343

366

326

317

4,62

4.264

4.302

4.416

4.332

4.562

1,40

padi sawah

2.506

2.597

2.720

2.843

2.685

2.907

3,02

padi gogo

1.250

1.123

1.113

1.065

970

914

6,02

3.756

3.720

3:832

3.908

3.655

3.821

0,39

6.363

6.544

6.679

6.893

6.691

7.152

2,37

1.657

1.470

1.456

1.431

1.296

1.231

5,66

8.020

8.014

8.135

8.324

7.987

8.363

0,8

padi sawah
Indonesia

3.959

1971

4.294

padi sawah
:

3.947

1970

407

padi gogo

Luar Jawa

1969

dan gogo

dan gogo

padi sawah
padi gogo
padi sawah

dan gogo

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

269

270

271

(Sambungan Grafik VI 1)

272

(Sambungan Grafik VI 1)

273

(Sambungan Grafik VI 1)

274

(Sambungan Grafik VI 1)

275

T A B E L VI - 4
HASIL RATA-RATA PADI PER HA, 1968- 1973
(kw/ha)

1968

1969

1970

1971

1972

1973 *)

Kenaikan ratarata 1968


1973

Jawa

31,76

33,50

35,17

36,65

35,78

37,36

3,25

Luar Jawa

23,67

24,65

26,45

26,12

27,52

29,39

4,46

Indonesia

27,97

29,39

31,06

31,70

32,00

33,73

3,83

* ) Angka sementara

TABEL VI 5
PRODUKSI BERAS, 1968 1973
(ribuan ton)
1968

1969
1970

1971

1972

1973 *)

Kenaikan
rata-rata
1968 1973

Jawa

7.043

7.481

7.868

8.416

8.061

8.863

4,80

Luar Jawa

4.623

4.768

5.272

5.308

5.230

5.839

4,91

12.249

13.140

14.702

4,83

Indonesia
* ) Angka sementara

276

11.666

13.724

13.291

GRAFIK VI 2
HASIL RATA-RATA PADI PER Ha., 1968 1973
(KW/HA}

277

G R A F I K VI 3
PRODUKSI BERAS, 1968 1973

278

yang panjang. Pada tahun 1973 produksi beras dapat ditingkatkan lagi dengan kenaikan 10,6% dibanding dengan produksi
tahun 1972 atau 6,6% dibanding dengan produksi tahun 1971.
Angka-angka yang dikemukakan dalam Tabel VI 4 dan Tabel
VI 5 berbeda dengan angka-angka tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan adanya perbaikan-perbaikan dalam cara
pengumpulan data perkiraan produksi padi. Biro Pusat Statistik
yang bertanggung jawab mengumpulkan data pro- duksi beras di
Jawa dan Madura menggunakan angka konversi padi kering
panen/padi kering giling 69%, sedang Departemen Pertanian,
yang bertanggung jawab mengumpulkan
data produksi di luar
Jawa, menggunakan angka konversi 77%. Angka-angka baru ini
merupakan hasil angka-angka konversi dari padi kering panen
menjadi padi kering giling menjadi
sebesar 77% untuk pulau
Jawa maupun untuk luar Jawa. Perubahan angka-angka tersebut
sudah dikemukakan dalam buku Repelita II. Karena sangat
penting, penelitian mengenai angka konversi akan diteruskan
dalam Repelita II.
Kenaikan hasil rata-rata padi per ha terutama disebabkan
oleh perluasan program intensifikasi selama lima tahun terakhir dengan penambahan areal Bimas dan Inmas menjadi
lebih kurang 4 juta ha. Hasil-hasil rehabilitasi pengairan memberikan sumbangan yang besar dalam perluasan program intensifikasi itu.
Dalam Tabel VI 6 dan Tabel VI 7 dapat dilihat perkembangan luas panen dan hasil rata-rata padi dari program intensifikasi. Dalam tabel itu ditunjukkan bahwa program intensifikasi yang dalam tahun 1968 menghasilkan luas panen 1.597
ha telah menghasilkan areal panen seluas 3.986 ha dalam tahun
1973; suatu peningkatan sebesar 146%. Hasil rata-rata per ha
meningkat dari 36,3 kwintal pada tahun 1969 menjadi 46,0
kwintal pada tahun 1973. Jadi meningkat dengan 26%. Peningkatan luas panen dan hasil rata-rata padi dari program
tersebut mempunyai peranan yang besar terhadap peningkat-

27

TABEL VI 6
LUAS PANEN INTENSIFIKASI PADI, 1968 1973
(ribuan ha)
Bimas
Biasa

Bimas
Baru

Jumlah
Bimas

Inmas
Biasa

Inmas
Baru

Jumlah
Inmas

Jumlah
Bimas &

1968
1969

745
926

18
383

763
1.309

834
722

99

834
821

1.597
2.130

1970

803

445

1.248

511

334

845

2.093

1971

827

569

1.396

867

525

1.393

2.798

1972

621

582

1.203

1.166

800

1.966

3.169

1973

621

1.169

1.831

1.074

1.081

2.155

3.986

Tahun
Inmas

TABEL VI 7

Angka diperbaiki.

HASIL PADI INTENSIFIKASI PER HA, 1969 1973


(kw/ha)
B imas

Tahun
Biasa
1969

Baru

I nmas
Jumlah

1973

Biasa

Baru

Rata-rata
Intensifikasi
Jumlah

1970

35,8

1971

40,7

42,4

53,41
53,1

37,9

42,96

56,24

*) Angka sementara.

280
1972

44,00

58,0
0

36,14 44,98 44,23

32,52

36,87

33,08

36,28

49,38 52,00

34,35

40,12

36,12

41,92

31,13

42,23

34,92

39,45

36,44

44,87

39,87

43,48

36,00

45,0

40,00

46,00

an produksi padi secara keseluruhan selama Repelita I ini. Peranan produksi padi intensifikasi terhadap produksi total pada
akhir Repelita I naik menjadi 64,3%. Ini berarti bahwa produksi padi Bimas dan Inmas meliputi hampir 2/3 dari produksi
padi secara nasional.
Faktor-faktor lain yang memungkinkan peningkatan hasil
rata-rata per ha, selain bertambah baiknya prasarana pengairan, adalah penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk dan
penggunaan pestisida.
Penggunaan bibit jenis unggul baru meningkat dari areal
seluas 485 ribu ha dalam tahun 1969 menjadi 2.91.2 ribu ha
dalam tahun 1973. Dengan demikian pada tahun 1973 penggunaan jenis unggul baru meliputi 37,8% dari seluruh luas
panen atau sekitar 73,5% dari areal intensifikasi. Peningkatan
areal ini sangat dibantu oleh adanya usaha-usaha penunjang
seperti rehabilitasi dan pembangunan balai-balai benih, gerakan sertifikasi benih, memperbanyak jumlah demonstrasi benih
unggul dan demonstrasi plot. Selama Repelita I sudah dilaksanakan perbaikan sistim pengadaan dan penyebaran benih
antara lain dengan rehabilitasi 230 kebun benih, pembangunan
5 Kebun Benih Sentral dan Industri Benih Perum "Sang
Hyang Seri" serta pembinaan 486 unit penangkar benih swasta. Demonstrasi benih unggul seluas 12.500 ha dalam tahun
1973, yang diusahakan di sawah petani dan dikelola oleh petani
sendiri, sekaligus berfungsi sebagai sumber pengadaan benih
bagi para petani disekitarnya.
Perkembangan penggunaan pupuk dan pestisida tampak
dari Tabel VI 8 dan Tabel VI 9. Penggunaan pupuk selama
Repelita I telah meningkat rata-rata 27,4% setiap tahun dalam bentuk zat hara MPK, sedangkan penggunaan pestisida
meningkat dengan 24,5%. Peningkatan penggunaan kedua
sarana produksi padi ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya kesadaran petani akan manfaatnya pupuk dan pesti-

281

TABEL VI 8
PENGGUNAAN PUPUK SEKTOR BAHAN MAKANAN
1968 1973
(ribuan kadar ton pupuk)
Tahun

P 205

K 20

1968

Jumlah

95,0

24,4

0,4

119,8

1969

155,2

36,2

1,0

192,4

1.970

162,1

31,3

3,6

197,0

1971

219,2

24,2

1,0

244,4

1972

262,3

43,5

2,3

308,1

1973 *)

296,9

82,1

379,2

*) Angka sementara.

TABEL VI 9
PENGGUNAAN PESTISIDA DAN RODENTISIDA
SEKTOR BAHAN MAKANAN
1968 1973
Tahun

Pestisida

Rodentisida
(ton, cq. Zinkphosphide)

1968

630,6

40,2

1969

1.209,3

33,7

1970

1.075,6

52,4

1971

1.555,6

53,0

1972

1.410,0

33,0

1973 *)

1.504,2

116,0

*) Angka sementara.

282

GRAFIK VI 4
PENGGUNAAN PUPUK SEKTOR BAHAN M AK AN A N , 1 9 6 8 1973
pupuk)

(ribuan kadar ton

283

GRAFIK VI - 5
PENGGUNAAN PESTISIDA DAN RODENTISIDA
SEKTOR BAHAN MAKANAN
1968 1973

284

sida untuk pertumbuhan padi. Di samping itu adanya perbaikan distribusi dan fasilitas tata niaganya serta dilaksanakannya
kebijaksanaan harga beras yang seimbang dengan harga sarana tersebut selama Repelita I, telah banyak mendorong para
petani untuk menggunakan sarana pertanian tersebut dalam
usaha meningkatkan produksinya.
Selanjutnya dalam usaha peningkatan produksi padi/beras,
fungsi pengolahan dari padi ke beras merupakan pula suatu
pendorong. Cara pengolahan padi/beras secara tradisionil sebagian besar sudah beralih ke penggunaan alat-alat mekanis
(Huller atau "Rice Milling Unit"). Pada tahun 1968 perusahaan penggilingan padi dan huller diperkirakan sebanyak 7.700
buah dengan kapasitas potensiil 2,2 juta ton beras, yang ber- arti
lebih kurang 20% dari produksi beras nasional. Dalam
tahun
1973 kapasitas ini meningkat menjadi 86% (Tabel
VI
10).
Meningkatnya penggunaan bibit unggul dan pestisida serta
pengetrapan tehnologi baru lainnya mencerminkan peningkatan
kesadaran petani akan manfaat tehnologi baru tersebut. Pemanfaatan tehnologi baru oleh para petani lebih dimungkinkan
oleh adanya fasilitas yang cukup baik dibidang pengadaan sa- rana
produksi maupun dalam penyaluran dan pemasarannya.
Tersedianya pupuk di kios-kios di desa-desa dengan harga yang
murah merangsang petani untuk menggunakan pupuk lebih
banyak.
Di samping hal-hal di atas bimbingan dan penyuluhan yang
terus-menerus amatlah penting artinya bagi kemajuan para
petani. Dalam tahun 1971 telah ditempatkan 1.823 Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan 113 Penyuluh Pertanian
Spesialis (PPS) yang tersebar di daerah-daerah, dan
dalam
tahun 1973 jumlah tersebut ditingkatkan menjadi 3.960 orang
PPL dan 197 orang PPS. Peningkatan ini disesuaikan dengan
perluasan areal intensifikasi selama Repelita I. Selama

285

TABEL VI - 1 0
JUMLAH

ALAT PENGOLAHAN

Tahun

PADI, 1969 1973

Penggilingan Padi
dan Huller
(buah)

Kapasitas produksi
beras setahun
(juta ton)

1968

7.700

2.20

1969

10.000

3.00

1970

10.475

3.91

12.963

5.40

1971
1972

1)

17.538

9.33

1973

2)

23.974

12.19

1)

Angka diperbaiki.

2)

Angka sementara.

itu jumlah kabupaten dan wilayah Unit Desa yang melaksa- nakan
program-program tersebut berkembang dengan pesat. Jumlah
kabupaten dan desa yang ikut serta dalam program intensifikasi
dalam tahun 1969 masing-masing 90 dan 2.970 buah. Jumlah itu
telah meningkat menjadi 194 kabupaten atau 16.978 desa dalam
tahun 1973 dan tersebar di 23 propinsi. Perkembangan wilayah
Unit Desa dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1973 meningkat
dari 1.584 buah menjadi 2.941 buah Unit Desa.
Sistim Bimas yang disempurnakan yang dimulai dari tahun
1970 mempunyai ciri-ciri khas dengan adanya Unit-unit Desa
BRI. Jumlah Unit Desa BRI Mini telah berkembang sejalan dengan peningkatan areal intensifikasi, pertambahan volume
kredit dan pelayanan kredit kepada petani juga semakin meningkat. Dalam tahun 1970 terdapat sebanyak 545 BRI Unit
Desa. Dalam tahun 1973 jumlah tersebut sudah menjadi 2.069
buah. Di samping BRI Unit Desa, untuk memperlancar penyaluran dan pengambilan kredit, maka BRI membentuk pula 233
286

mobile unit khusus untuk daerah-daerah yang belum memungkinkan dibentuknya Unit Desa. Sistim Bimas yang disempurnakan
ini memungkinkan pembelian kredit yang lebih memuaskan.
Sistim distribusi sarana produksi disesuaikan dengan sis- tim
Unit Desa dengan mengikut sertakan distributor dalam
penyaluran sarana tersebut ke Unit-unit Desa. Untuk penyaluaran
pupuk digunakan kios-kios yang perkembangannya sejalan
dengan Unit-unit Desa BRI. Dibentuknya Badan Usaha
Unit
Desa (BUUD) lebih melengkapi kebutuhan sistim unit Desa.
Secara bertahap diusahakan agar BUUD berkembang menjadi usaha koperasi yang menjadi milik masyarakat desa,
yaitu Koperasi Unit Desa (KUD). Dalam Tabel VI 11 dapat dilihat
perkembangan Wilayah Unit Desa, Penyuluh Pertanian, BRI Unit
Desa, dan BUUD/KUD. Jumlah BUUD/KUD, yang dalam tahun
1971 baru mencapai 104 buah, telah berkembang menjadi 2.315
buah dalam tahun 1973. Hal lain yang sangat penting mengenai
Unit Desa ialah bahwa sistim ini menciptakan kesempatan
kerja di daerah-daerah pedesaan bagi lulus- an SMA dan
Sekolah Per tanian Menengah Atas (SPMA).
TABEL VI - 1 1
PERKEMBANGAN WILAYAH UNIT DESA, PENYULUH PERTANIAN,
BRI UNIT DESA DAN BADAN USAHA UNIT DESA
1970 1973

Tahun

1970

P.P.L.

1.854

1.584

P.P.S.

BRI
Unit Desa

B.U.U.D.

545

1.823

1.823

113

1.047

104

1)

2.606

2.747

152

1.300

1.245

1973 2)

2.941

3.960

197

2.069

2.315

1971
1972

1)
2)

Unit
Desa

Angka diperbaiki.
Angka sementara.

287

Mereka berkesempatan bekerja di Unit-unit Desa BRI, di kioskios, sebagai penyuluh pertanian dan sebagai anggota pengurus BUUD/KUD.
2.

Palawija dan hortikultura

Perkembangan produksi palawija selama Repelita I dapat


dilihat dalam Tabel VI 1. Pada umumnya produksi palawija
tidak menunjukkan kenaikan yang tetap setiap tahun. Produksi jagung tidak menunjukkan arah perkembangan yang
jelas. Produksi ubi kayu dan ubi jalar menunjukkan penurunan. Adapun produksi kedele dan kacang tanah menunjukkan
suatu peningkatan. Naik turunnya produksi setiap tahun diikuti pula oleh perkembangan luas panen yang sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, antara lain keadaan
iklim, serangan hama dan penyakit tanaman. Di samping itu
selama Repelita I para petani lebih banyak mendapat kesem-patan
dan fasilitas untuk bertanam padi. Lagi pula perkem-bangan
harga padi selama Repelita I lebih menguntungkan daripada
perkembangan harga palawija.
Dalam Tabel VI 12 dapat dilihat perkembangan produksi
jagung tahun 1968 1973. Dalam tahun 1972 terdapat luas
TABEL VI 12
LUAS PANEN, HASIL RATA-RATA DAN PRODUKSI JAGUNG
1968 1973
Tahun

Luas Panen
(ribu ha)

Hasil rata-rata
(kw/ha)

Produksi
(ribu ton)

1968

3.220

9,83

3.165

1969

2.435

9,42

2.292

1970

2.939

9,61

2.825

1971 1)

2.626

9,92

2.606

1972

1)

2.160

10,44

2.254

1973

2)

3.288

8,85

2.912

1)
2)

288

Angka-angka diperbaiki.
Angka sementara.

TABEL VI - 1 3
LUAS PANEN, HASIL RATA-RATA DAN PRODUKSI UBI-UBIAN
1968 1973

Tahun

1968

Luas panen
(ribu ha)
Ubi Jalar
Ubi Kayu

Produksi
(ribu ton)
Ubi Kayu
Ubi Jalar

404

75,6

58,5

11.356

2.364

1.467

369

74,4 1)

61,2 1)

10.917 1)

2.260 1)

1970

1.398

357

74,9

60,9

10.478

2.175

1971

1.406

357

76,0

61,9 1)

10.690 1)

2.211 1)

1972 1)

1.468

338

70,7

61,1

10.385

2.066

1973 2)

1.413

375

66,5

58,1

9.399

2.180

1969

1)
2)

1.503

Hasil rata-rata
(kw/ha)
Ubi Kayu
Ubi Jalar

Angka diperbaiki.
Angka sementara.

289

panen dan produksi jagung sangat rendah sebagai akibat musim kemarau yang panjang. Angka sementara tahun 1973 menunjukkan luas panen dan tingkat produksi tertinggi sejak
tahun 1969. Dibandingkan dengan tahun 1972 luas panen jagung tahun 1973 meningkat sebesar 52,2% sedangkan produksinya meningkat dengan 29,2%. Penambahan luas panen sebanyak
1.128 ribu ha itu adalah akibat dari besarnya kesempatan menanam pada akhir musim kemarau tahun 1972. Penurunan hasil
rata-rata jagung per hektar dari 10,44 kwintal per ha dalam
tahun 1972 menjadi 8,85 kwintal per ha dalam tahun 1973 di
antaranya disebabkan oleh kekurangan bibit unggul, karena
adanya perluasan areal tanam yang melonjak dibanding dengan
tahun-tahun sebelumnya dan oleh banyaknya turun hujan dalam
tahun 1973.
Produksi ubi kayu dan ubi jalar selama lima tahun terakhir
masing-masing menurun sebesar 3,6% dan 2,5%. Penurunan
produksi kedua jenis tanaman tersebut sejalan dengan penurunan luas areal panenan. Dalam tahun 1972, meskipun luas
panen ubi kayu meningkat dibandingkan dengan luas panen
tahun 1971, hasil rata-rata per ha menurun sebagai akibat
musim kemarau tahun 1972. Demikian pula hujan yang terlalu
banyak menyebabkan menurunnya hasil rata-rata per ha dalam
tahun 1973. Penurunan hasil rata-rata tersebut terjadi juga
dalam produksi ubi jalar.
Produksi kacang-kacangan sejak tahun 1969 menunjukkan kenaikan, sebagaimana terlihat dalam Tabel VI 14. Peningkat- an
produksi kacang tanah dan kedele terutama disebabkan oleh.
peningkatan areal panen. Hasil rata-rata per ha kedua jenis
tanaman ini tidak menunjukkan kenaikan yang nyata.
Perkembangan produksi palawija secara langsung atau tidak
langsung akan dipengaruhi oleh perkembangan harga masingmasing dan oleh harga beras. Dalam Tabel VI - 1 5 dapat dilihat
perkembangan harga rata-rata tahunan palawija di daerah pedesaan di pulau Jawa. Kalau harga jagung dan harga ubi-ubian

290

TABEL VI -- 14
LUAS PANEN, HASIL RATA-RATA DAN PRODUKSI KACANG- KACANGAN,
1968 -- 1973
Tahun

1968

Luas panen
(ribu ha)
K. Tanah
Kedele
395

Produksi
(ribu ton)
K. Tanah
Kedele

7,27

6,20

287

420

554 )

7,18

7,02

267

389

380

695

7,40

7,17

281

498

376

680

7,55

7,59

2841)

516

1972 )

354

697

7,97 )

7,43

282

518

407

751

7,45

5,94

303

446

1969

372

1970
1971
1

1973 )

677

Hasil rata-rata
(kw/ha)
K. Tanah
Kedele

1) angka diperbaiki
2) angka sementara.

291

GRAFIK VI 6
LUAS PANEN HASIL RATA-RATA DAN PRODUKSI JAGUNG
1968 - 1973

292

T A B E L VI - 15
HARGA R A T A - R A T A T A H U N A N BERAS D A N P A L A W I J A
DI PASAR P E D E S A A N JAWA D A N M A D U R A 1968 - 1973
(Rp/kg)
Tahun

Beras

Jagung

1968

39,86

19,11

7,26

7,40

58,84

38,09

1969

36,88

20,17

6,28

6,81

73,02

52,69

1970

42,55

19,60

8,08

8,52

83,81

52,72

7,58

8,61

86,06

58,80

10,69

109,82

65,68

18,82

153,48

102,70

1971

40,81

20,44

1972

49,42

27,32 *)

1973

76,63

35,92

Ubi kayu

9,88* )
10,86

Ubi jalar

Kacang tanah

Kedele

*) A n g k a diperbaiki

293

GRAFIK VI 7
HARGA RATA-RATA TAHUNAN BERAS DAN PALAWIJA
DI PASAR PEDESAAN JAWA DAN MADURA
1968 1973

294

TABEL VI - 16
EKSPOR PALAWIJA, RATA-RATA (1965 1968) 1 1973
(ribu ton)

1965-1968

1972 1)

Kenaikan
1973 rata-rata
69-73 %

79,6 +)

177,6

27,0

21,7

7,9

35,0

31,1

73,9

13,7

1,1

1969

1970

1971

91,0

155,0

254,0

213,0

9,5

20,0

22,0

21,0

13,4

Kedele

10,7

0,7

3,7

0,7

3,1

Gaplek

162,0

304,0

312,0

452,0

0,6

1,6

1,0

1,3

rata-rata
Jagung
Kacang Tanah

Tapioka

344,5 +)
1,1

+) Angka diperbaiki.

295

GRAFIK VI - 8
EKSPOR PALAWIJA, RATA-RATA (1965 - 1968) - 1973
(ribu ton)

296

dibandingkan dengan harga beras maka secara relatip hargaharga tersebut tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan yang
menyolok kecuali untuk ubi kayu pada tahun 1973. Harga kacang-kacangan selama lima tahun terakhir meningkat secara
terus menerus dan tingkat perkembangan harganya lebih tinggi
dari perkembangan harga beras, terutama dalam tahun-tahun
terakhir Repelita I. Karenanya luas panen kacang kedele dan
tanah dalam tahun 1973 meningkat dengan nyata. Perkembangan harga kacang-kacangan antara lain juga dipengaruhi
oleh meningkatnya ekspor. Dari Tabel VI 6 tampak bahwa
dalam tahun 1973 volume ekspor untuk komoditi tersebut
meningkat dengan nyata.
Hasil palawija tidak seluruhnya dikonsumsi dalam negeri.
Sebagian juga diekspor. Perkembangan ekspor palawija dapat
dilihat dalam Tabel VI -- 16.
Untuk meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan para
petani, khususnya yang hidup di daerah yang tidak mempunyai
persawahan yang baik pengairannya, produksi palawija perlu
ditingkatkan. Karenanya dalam tahun-tahun terakhir Repelita
I telah mulai dirintis program intensifikasi palawija.
TABEL VI17
LUAS PANEN DAN PRODUKSI HORTIKULTURA
1969 1973

Tahun

Luas Panen
(ribu ha)
Sayuran
Buah-buahan

Produksi
(ribu ton)
Buah-buahan
Sayuran

1969

600

488

1.791

2.272

1970

641

533

1.832

3.332

1971

715

554

2.067

3.435

1972

1)

694

666

2.120

3.906

1973

2)

634

758

2.294

4.290

1)
2)

Angka diperbaiki.
Angka sementara.

297

GRAFIK VI 9
LUAS PANEN DAN PRODUKSI HOLTIKULTURA
- 1973

( ribuan Ha )
800

LUAS PANEN

758

1969

1969
Sayuran
Buah-buahan

298

1969

1970

1971

1972

1973

1970

1971

1972

1973

Produksi hortikultura, yang terdiri atas sayur-sayuran dan


buah-buahan, selama Repelita I terus meningkat. Ini tidak berarti produksi semua jenis sayur-sayuran dan buah-buahan meningkat. Beberapa jenis tanaman buah-buahan menurun. Tanaman jeruk, misalnya, produksinya menurun karena sejak 10
tahun terakhir tanaman ini dilanda virus.
Usaha peningkatan produksi hortikultura diutamakan di
daerah-daerah konsentrasi produksi. Daerah-daerah hortikultura di luar Jawa yang diharapkan akan berkembang baik di
antaranya adalah Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Daerah-daerah tersebut juga mempunyai potensi untuk mengekspor kool, kentang dan buah-buahan. Sebagian dari hasil produksi hortikultura diekspor, antara lain ke
Singapura dan Malaysia.
3.

Perkebunan

Selama Repelita I pembangunan di bidang perkebunan, yang


terdiri atas perkebunan-perkebunan rakyat, perkebunan-perkebunan besar swasta dam perkebunan-perkebunan negara,
terutama dititik beratkan pada usaha rehabilitasi perkebunan
dan pabrik-pabrik pengolahan yang telah ada, di samping usaha
perluasan areal. Di samping untuk meningkatkan hasil devisa,
pengembangan produksi hasil perkebunan terutama ditujukan
untuk meningkatkan, pendapatan negara dan penghasilan para
petani perkebunan, dan juga untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri yang semakin meningkat.
Selama Repelita I telah dijalankan beberapa usaha pembangunan perkebunan rakyat yang di arahkan kepada peningkatan
pendapatan petani perkebunan dengan cara meningkatkan penggunaan tehnologi baru serta perbaikan cara pengolahan hasil
produksi dan pemasarannya. Di samping itu dalam Repelita I
telah pula diusahakan secara khusus proyek Pembangunan

299

Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara, yang meliputi tanaman


karat dan kelapa sawit, dan proyek Pembangunan Teh Rakyat dan
Swasta di Jawa Barat. Kedua proyek tersebut merupakan usaha
untuk memperbaiki pengelolaan di bidang perkebunan rakyat
dengan menggunakan sistim pendekatan secara menyeluruh
(integrated approach). Dalam pendekatan ini para petani
perkebunan yang diikut-sertakan memperoleh bantuan yang
sifatnya menyeluruh. Artinya, para petani perkebunan yang
bersangkutan diberi penyuluhan dalam pembinaan budidaya
dan dalam pengelolaan hasil dan pemasarannya. Dan mereka
dibantu dalam penyediaan sarana dan kredit.
Pada akhir Repelita I telah pula dirintis usaha perkebunan
inti (Nucleus Estate) yang dimulai di Jambi. Perkebunan inti
ini,
yang merupakan perkebunan negara, dimaksudkan untuk
menjadi inti dari perkebunan rakyat di sekitarnya. Jadi perkebunan tersebut akan menjadi pusat untuk melaksanakan kegiatan
penyuluhan, pembinaan budidaya, pengolahan dan pemasaran
hasil perkebunan rakyat yang ada di sekitarnya. Kegiatan perkebunan inti ini diharapkan akan membantu pula perkembangan koperasi di bidang perkebunan rakyat.
Dalam menunjang usaha peremajaan di perkebunan rakyat
telah dijalankan berbagai kegiatan, antara lain rehabilitasi kebunkebun induk, penanaman percontohan dalam bentuk "demonstration plot" dan kebun pembibitan untuk menyebarkan
bibit-bibit unggul kepada petani perkebunan. Adapun hasil usaha
menunjang peremajaan yang dilakukan dalam perkebunan
rakyat untuk beberapa jenis tanaman dapat dilihat dalam Tabel
VI-18.
Usaha peremajaan kelapa rakyat yang dijalankan selama
Repelita I rata-rata setiap tahun meningkat dengan 1.1.784 ha.
Ini tidak termasuk peremajaan spontan oleh rakyat yang tidak

300

diketahui baik luas areal, mutu maupun sumber bibitnya.

TABEL VI - 1 8
USAHA PENUNJANG PEREMAJAAN PERKEBUNAN RAKYAT
DISELURUH INDONESIA, 1969/70 1973/74
(dalam ha)
Kegiatan

1969/70 1970/71 1971/72 1972/73

1973/74")

1. Pembibitan
Karet

21,9

67,8

53

Kelapa

1,3

18,2

17,9

24,6 *)

17,5
23,0

Cengkeh

3,5

14,1

12,6

17,1

11,0

75

25

25

6,3

11

26

30

27

15

11,8

22

19,0

36

83

10

Lada
Kapas
Tebu

38

2. Kebun Induk
Karet
Kelapa
Kopi

112

49 *)

10

90

30 *)

7,5

3,5

10,5

6,8
1

10

14

10

40

50

100

Kelapa

15

59 *)

Kapas

30

24

44

75

62,5

220

75

26,5

27

100

Lada
Cengkeh

3. Demonstrasi Plot
Karet

Lada

180
45

*) Angka perbaikan.
**) Angka sementara.

301

Guna meningkatkan produksi kapas dalam negeri, yang selama ini dirasakan kurang begitu berkembang, telah diadakan
penelitian mengenai pengembangan penanaman kapas untuk
daerah-daerah yang dapat ditanami kapas seperti Lombok, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
dan Lampung.
Adapun perkembangan luas areal dan produksi kapas selama
Repelita I dapat dilihat dalam Tabel VI 19.
Luas areal intensifikasi kapas adalah perluasan tanaman
kapas yang di1akukan oleh rakyat yang untuk penyediaan sarana produksi dan pengupasan hasilnya (ginnery) dibantu oleh
Perum kapas, sedangkan BRI menyediakan kreditnya.
Dalam perkebunan besar swasta, yang terdiri dari perkebunan-perkebunan swasta nasional dan asing, selama Repelita I
telah dijalankan usaha-usaha ke arah perbaikan. Antara lain
telah digiatkan kembali penyuluhan dan usaha-usaha lain yang
diperlukan untuk menciptakan iklim yang baik bagi para penanam modal.
Dengan dijalankannya usaha-usaha perbaikan tersebut, maka
kecuali untuk beberapa komoditi, pada umumnya produksi
perkebunan rakyat selama Pelita I mengalami peningkatan.
Sebagai tampak dalam Tabel VI 20, peningkatan produksi
yang cukup menggembirakan selama Pelita I terjadi dalam.
produksi tanaman karet, kopi, cengkeh, gula dan lada. Kelapa/
kopra, teh dan tembakau mengalami penurunan Dalam tahun
1973 produksi tebu (gula merah) menurun jika dibandingkan
dengan tahun 1972. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena
sangat panjangnya musim hujan yang dapat menurunkan kadar
gula. Selanjutnya dalam Tabel VI 20 tampak bahwa pro-duksi
kelapa/kopra ,selama Pelita I mencapai hasil yang tertinggi
dalam tahun 1972. Hal ini antara lain, disebabkan oleh mulai
berhasilnya usaha pemberantasan hama sexava yang telah
dijalankan sejak tahun 1971. Penurunan produksi kelapa/ kopra
dalam tahun 1973 antara lain disebabkan musim kemarau
yang panjang yang terjadi pada akhir tahun 1972.

302

TABEL VI19
LUAS AREAL DAN PRODUKSI KAPAS, 1969 1973

Tahun

1)

Luas areal
kapas rakyat
(ha)

Produksi kapas
rakyat
(ton)

Luas areal
intensifikasi kapas
(ha)

Produksi kapas
intensifikasi
(ton)

832

294

1.407

322

1.573

340

1969

10.790

2,416

1970

10.352

2.576

1971

7.328

1,620

1972

7.235

1.003

1.391

511

1973

9.801

1.258

3.510

808

1)

Angka perbaikan.

303

TABEL VI 20
PRODUKSI PERKEBUNAN RAKYAT, 1968 1973
(ribuan ton)
1968

1969

1970

1971

1972

1973 )

Kenaikan rata-rata
1968 1973
(%)

531

Karet
Kelapa/kopra
Teh
Kopi

Cengkeh
Gula tebu

558

571

572

5591)

609

2,6

1.198

1,4

12

4,8

1.131

1.220

1.198

1.147

1.3081)

33

22

21

24

71)

-144

162

170

178

17
203

11
220 4)

196
131)

211

247

185

1,4

29

2,7

17

17

24

18

Tembakau 3)

54

75

69

69

74

1)
2)
3)
4)

Angka diperbaiki.
Angka sementara.
Tembakau rakyat dan tembakau virginia.
Angka dikoreksi.

304

11,3

15

47

2,4

2,4

22

196

Lada
Kapas

157

14

2,6

1,3

1,2 1)

43

-1,0

1,5

7,9

Perkembangan produksi perkebunan besar swasta selama Pelita


I ditunjukkan dalam Tabel VI 21.
Dari tabel di atas terlihat bahwa produksi kelapa sawit/minyak sawit, gula tebu dan kelapa/kopra dalam periode 1968
1973 setiap tahun masing-masing rata-rata bertambah sebesar
6,9%, 53,2% dan 6,6%. Hal ini disebabkan karena pengolahan
tanah serta pemupukan yang semakin baik, peremajaan dengan
bibit unggul dalam tahun-tahun sebelumnya dan karena perbaikan pengolahan basil yang terns diusahakan.
Dalam perkebunan negara selama Repelita I telah
dijalankan usaha ke arah pemeliharaan, pengolahan tanah dan
pemupukan yang lebih intensif serta peremajaan dengan bibit
unggul. Di samping itu telah pula dicapai perbaikan dalam
bidang management dan permodalan melalui kredit jangka
panjang. Dengan dijalankannya usaha-usaha tersebut, produksi
jenis-jenis bahan yang dihasilkan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), selama Pelita I pada umumnya menunjukkan
peningkatan yang menggembirakan (Tabel VI 22).
Penurunan dalam produksi kopi terutama disebabkan oleh
adanya sistim quota (penjatahan) kopi dan usaha pengalihan
dari kopi robusta ke kopi arabica.
Seperti terlihat dalam Tabel VI 22, selama periode 1968
1973 produksi perkebunan negara rata-rata setiap tahun meningkat sebagai berikut: karet 6,0%, minyak sawit 11,2%, teh
9,1% dan gula tebu 8,1%.
Peningkatan produksi tersebut merupakan hasil dari usahausaha pemeliharaan dan pengolahan tanah serta pemupukan
yang lebih intensif, dan juga hasil peremajaan dengan bibit
unggul.
Produksi gula tebu dalam tahun 1973 ternyata menurun dibandingkan tahun 1972. Hal ini disebabkan musim hujan yang
sangat panjang dalam tahun 1973 yang mengakibatkan terjadinya penurunan kadar ,gala dari tebu.
411234 - (20).

305

TABEL VI21
PRODUKSI PERKEBUNAN BESAR SWASTA, 1968 1973
(ribuan ton)
Jenis

1968

1969

1970

1971

1972

1973

Produksi
102

110

113

114

128

Teh

12

10

59

60

70

79

81

Inti sawit

11

13

15

18

Gula tebu

23

72

74

122

0,08

Minyak sawit

Kelapa/kopra
Cengkeh
1)
2)

Angka diperbaiki.
Angka sementara.

306

Kenaikan rata-rata
1968 1973
(%)

Karet
Kopi

2)

107

1,5

1)

10

0,2

1)

5,5

17
1)
1)

0,05

130
3

1)

0,17

1)

82

7,0

18

10,8

116

53,2

+ 6,6

0,80

TABEL VI 22
PRODUKSI PERUSAHAAN NEGARA PERKEBUNAN, 1968 1973
(ribuan ton)
Jenis
Produksi

1969

1970

1971

103

110

118

118

121

137

6,0

122

129

147

170

189

207

11,2

Inti sawit

24

28

33

39

46

14,0

Teh

28

31

34

37

43

9,1

Karet
Minyak sawit

Kopi
Gula tebu
Tembakau
1)
2)

11

523

630

603

708

1972

42
37 1)
12

1973 2)

Kenaikan rata-rata
1968 1973
(%)

1968

1,6

756

693

8,1

p.m.

p.m.

Angka diperbaiki.
Angka sementara.

307

GRAFIK VI 10
PRODUKSI PERUSAHAAN NEGARA PERKEBUNAN, 1968 1973
(ribuan ton)

308

SAMBUNGAN GRAFIK V I - 10

309

Dalam rangka usaha meningkatkan produksi gula, telah dilaksanakan penjajagan tentang kemungkinan pengembangan
industri gula secara menyeluruh. Di samping itu dalam rangka
mencari areal baru yang cocok untuk tanaman tebu, juga telah
dimulai percobaan penanaman tebu di beberapa daerah di luar
Jawa.
Sebagian besar dari hasil produksi perkebunan, baik negara,
swasta maupun rakyat diekspor. Adapun perkembangan volume ekspor hasil perkebunan selama Pelita I dapat dilihat dalam
Tabel ;VI - 23.
TABEL V I - 23
VOLUME EKSPOR HASIL PERKEBUNAN, 1968 - 1973
(ribuan ton)
Jenis
Produksi

1968

1969

1970

1971

1972 1)

19732)

770,9

833,3

152,4

755,7
187,0

719,5

194,4

219,7

740,6
275,1

669,9
191,1

36,6

42,7

42,4

48,6

51,4

39,1

29,5

35,5

40,5

39,3

Kopi

20,2
84,7

120,9

94,3

65,9

89,4

Lada

24,6

16,7

2,6

23,6

24,4

73,4
18,7

Karet
Minyak Sawit
Inti Sawit
Teh

8,2

13,2

16,9

19,5

30,1

30,7

217,0

157,0

185,0

63,7

42,0

65,0

Tembakau
Kopra
1)
2)

310

34,4

Angka sementara.
Angka perkiraan.

Naik turunnya volume ekspor hasil-hasil perkebunan terutama disebabkan oleh dua, faktor. Pertama, faktor-faktor yang
terjadi di dalam negeri sendiri, seperti musim yang kurang baik,
serangan hama dan lain-lain dan kedua, faktor-faktor yang terjadi
di luar negeri yang dapat mempengaruhi permintaan
dan harga
dari hasil-hasil perkebunan yang dibutuhkan.
Selanjutnya dapat pula dikemukakan bahwa dari tahun ke
tahun kita masih harus mengimpor beberapa hasil perkebunan
tertentu antara lain yang terpenting adalah gula pasir, cengkeh,
tembakau dan kapas kasar. Hal ini disebabkan karena produk- si dalam negeri dari hasil-hasil perkebunan tersebut masih
belum mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Diharapkan dalam tahun-tahun Repelita I I jumlah-jumlah
impor dari hasil-hasil pertanian tersebut di atas dapat semakin
berkurang.
4.

Perikanan.

Dalam periode sebelum Repelita I keadaan usaha perikanan


sangat kurang memuaskan. Pengusahaan di bidang penangkapan dan pemeliharaan ikan masih bersifat statis. Hal ini di
antaranya disebabkan oleh terbatasnya perlengkapan penangkapan serta sarana dan prasarana perikanan. Tambahan pula
pola pemasaran masih belum menguntungkan para produsen.
Dengan keadaan yang demikian itu penggalian sumber-sumber
perikanan belum dapat dikembangkan secara optimal.
Sejak tahun 1968 produksi perikanan secara keseluruhan
memperlihatkan kenaikan, walaupun kenaikannya itu belum
mencapai seperti apa yang diharapkan. Produksi perikanan selama Repelita I rata-rata meningkat dengan 2,3% setiap tahun
dan pada akhir tahun 1973 diperkirakan telah mencapai 1,3 juta
ton. Perkembangan produksi tersebut dapat dilihat dari Tabel
VI 24.

311

TABEL VI24
PRODUKSI PERIKANAN TAHUN 1968 1973
(ribuan ton)
No.

Tahun

Ikan
laut

1.

1968

723

2.

1969

3.
4.
5.

(%)

Ikan
darat
437

785

8,7

1970

808

1971

820

Kenaikan
(%)

Jumlah

Kenaikan
(%)

1.160

429

-1,8

1.214

4,7

2,9

421

-1,9

1.229

1,2

1,5

424

0,7

1.244

1,2
2,0
2,4

1972 *)

836

2,0

433

2,1

1.269

1973 **)

860

2,9

440

1,6

1.300

* ) Angka perbaikan.
* * ) Angka sementara

312

Kenaikan

GRAFIK VI 11
PRODUKSI PERIKANAN TAHUN 1968 - 1973
(ribuan ton)

Ikan Laut

Ikan Darat

1968

313

Peningkatan produksi perikanan terutama terjadi dalam produksi perikanan laut yang bertambah dengan kira-kira 3,6%
setahun, sedangkan peningkatan produksi perikanan darat hanya sekitar 0,1% setahun. Kenaikan produksi perikanan darat
tidak begitu menggembirakan, terutama karena hasil tangkapan di perairan umum di daerah-daerah Kalimantan dan Sumatera, yang merupakan daerah produksi utama, menurun. Hal
ini adalah sebagai akibat dari mendangkalnya beberapa danau,
tertutupnya perairan oleh tanaman air, musim kemarau yang
panjang serta terjadinya perpindahan usaha dari usaha penangkapan ikan ke bidang usaha perkayuan. Di samping itu
usaha pemeliharaan ikan di Sumatera Utara dan Jawa Barat
juga mengalami hambatan karena adanya serangan wabah
hama Lerneae sp. Dalam tahun-tahun terakhir Repelita I pemberantasan wabah hama Lerneae sp. ini telah dilakukan secara
intensip.
Produksi melalui usaha pertambakan sudah ditingkatkan
dan dalam Pelita II akan lebih ditingkatkan lagi. Hal ini perlu
dan dimungkinkan karena hasil pertambakan seperti udang
dan bandeng mempunyai pasaran yang baik. Khususnya komoditi udang merupakan komoditi ekspor hasil-hasil perikanan
yang perkembangannya sangat pesat.
Peningkatan produksi perikanan laut terutama disebabkan
oleh bertambahnya unit-unit penangkapan dan oleh adanya pergeseran dari penggunaan, alat penangkapan ikan tradisionil ke
alat-alat penangkapan yang lebih efisien, seperti trawl, purse,
saine, pole & line, gill net dan lain-lainnya. Di samping itu
penambahan kapal-kapal motor dalam perikanan industri memperbesar kemampuan untuk mengadakan operasi penangkapan
di wilayah perikanan lepas pantai dan bahkan ke wilayah per- ikan
laut dalam.
Armada perikanan, rakyat ,dan perikanan industri yang menggunakan motor telah berkembang dengan pesat. Rata-rata naik
314

10,5% setiap tahun. Dari 5.767 buah dalam tahun 1968 menjadi

TABEL VI - 25
JUMLAH DAN PENYEBARAN PERAHU MOTOR DAN
PERAHU LAYAR PENANGKAPAN IKAN MENURUT DAERAH
TAHUN 1968 - 1973
Kapal motor

Daerah
1968

1969

Perahu layar

1970

1971

1972 *)

1973* * )

4.915

5.158

5.300

4.020
736

768

1.197

1.200

940

1.023

1.856

1.900

Sulawesi

97

188

278

300

Bali & Nusa


Tenggara

35

52

55

Sumatera
J a w a
Kalimantan

Maluku

1968

1969

1970

1971

1972 *)

1973 **)

38.732

37.903

43.600

43.400

41.558

42.481

44.079

44.000

19.216

18.021

19.802

20.000

119.644

103.954

102.640

102.000

23.658

26.459

27.480

27.500

5.707

5.319

237

247

297

315

278.206

275.314 46.594

48.844

48.862

48.800

5.707

5.319

6.034

7.176

8.818

9.070

278.206

275.314 289.402

277.662

286.463

285.700

* ) Angka sementara.
* * ) Angka perkiraan.

315

kira-kira 9.070 buah dalam tahun 1973. Sedangkan perkembangan perahu layar relatif kecil yaitu sebesar 0,6% setiap ta-hun,
yaitu dari 278 ribu buah pada tahun 1968 menjadi 285 ribu
buah pada tahun 1973. Dari angka-angka tersebut dapat
disimpulkan bahwa peranan perahu bermotor dalam usaha perikanan relatip semakin meningkat. Hal ini terjadi di semua
daerah, terutama di Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Secara
keseluruhan jumlah perahu bermotor yang terbanyak terdapat di
daerah Sumatra, sedangkan perahu layar di 'daerah Sulawesi.
Keadaan perkembangan dan penyebaran kapal motor dan pe-rahu
layar ini dapat dilihat dari Tabel VI 25.
Dalam hubungan dengan usaha peningkatan produksi melalui
motorisasi kapal-kapal kecil, dalam Repelita I diambil kebijaksanaan untuk mengembangkan pemasaran hasil-hasil perikanan
dalam bentuk segar. Sebagaimana diketahui sebagian besar dari
hasil produksi usaha perikanan rakyat diolah menjadi ikan asin,
ikan kering dan hasil perikanan tradisionil lainnya yang relatif
murah dan mudah pengolahannya. Pola pemasaran yang
diarahkan kepada komoditi-komoditi ikan asin ini tidak menguntungkan bagi para produsen, sebab selain sistim pemasarannya berdaya guna, rendah, daya serap konsumen akan ikan
asinpun terbatas pula.
Dalam rangka peningkatan pemasaran ikan segar diusahakan rehabilitasi/pembangunan pelabuhan-pelabuhan perikanan
di masing-masing daerah produksi dan pelengkapan fasilitas
pemasaran yang diperlukan, seperti cold storage, pabrik es,
tempat-tempat pelelangan dan sebagainya.
Selain sarana-sarana tersebut telah dibangun juga beberapa
buah pabrik es dan "insulated truck". Peranan pemerintah dalam
pembangunan sarana-sarana tersebut dimaksudkan sebagai pendorong bagi usaha-usaha koperasi dan swasta dalam peningkatan pemasaran ikan untuk konsumsi dalam negeri.
Volume ekspor hasil-hasil perikanan sejak tahun 1968 sampai
dengan tahun 1973 meningkat dengan kira-kira 22,3% setahun.
316

T A B E L VI 26
VOLUME EKSPOR H A S I L - H A S I L P E R I K A N A N , 1968 1973
(ton)
Komoditi

1968

1969

1970 *)

(segar & awetan)

2.902

5.637

7.333

15.319

23.411

28.752

Ikan

3.416

2.332

1.247

4.118

3.865

5.868

28

652

568

867

2.867

42

104

103

190

286

782

1.935

1971 *)

1972 *)

1973 **)

Udang

segar

Katak
Ikan Hias
Ubur-ubur (diasin)

23

601

389

Lain-lain

13.376

13.387

12.123

10.259

12.041

12.435

Jumlah :

19.717

21.426

22.060

30.756

41.156

52.143

*) angka diperbaiki
* * ) angka sementara.

Dalam tahun 1973 volume ekspor diperkirakan akan mencapai


sebesar 52.143 ton. Selama Pelita I komoditi udang merupakan bagian yang terbesar (56%) dari hasil-hasil perikanan
yang diekspor. Volume ekspor udang rata-rata bertambah sebesar lebih kurang 61,8% setahun. Peningkatan itu terutama
disebabkan oleh meningkatnya permintaan udang di pasaran
dunia.
Perkembangan dalam usaha perudangan ini telah menye- babkan
terjadinya pergeseran dari usaha perikanan yang lain
ke usaha
penangkapan dan ekspor udang. Di samping itu ter- dapat juga
beberapa pengusaha di luar bidang perikanan yang beralih ke
usaha perudangan.
Selama Pelita I impor hasil perikanan yang terutama terdiri atas ikan dalam kaleng, minyak ikan dan agar-agar masih
dilakukan. Diharapkan dalam waktu mendatang, dengan makin
berkembangnya industri pengolahan ikan dalam negeri, impor
hasil-hasil perikanan olahan ini akan semakin berkurang.
317

5.

Kehutanan.

Selama Repelita I peranan bidang kehutanan dalam pembangunan ekonomi, terutama dalam bidang ekspor, terus, meningkat. Selama jangka waktu tersebut, baik produksi maupun
jumlah ekspornya terus bertambah dengan nyata. Pada tahun
1973 devisa negara yang berasal dari bidang kehutanan telah
menduduki tempat kedua sebagai sumber terbesar sesudah
minyak bumi.
Kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan selama Repelita I dititik beratkan pada kegiatan-kegiatan pembinaan, pengawasan dan pemanfaatan sumber alam hutan. Pembinaan
hutan terutama ditujukan terhadap areal-areal hutan non
produktif melalui usaha-usaha rehabilitasi, reboisasi dan penghijauan. Pengawasan dan pemanfaatan hutan ditujukan kepada
areal-areal hutan yang produktif yang sebagian besar terdapat
di luar Jawa. Jadi kebijaksanaan Pemerintah di bidang kehutanan bertujuan meningkatkan manfaat hutan, baik manfaat
yang langsung berupa kayu dan hasil hutan lainnya, maupun
manfaat yang tidak langsung seperti perlindungan tanah, tata
air dan sebagainya yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap kelancaran pembangunan ekonomi nasional.
Selama Repelita I produksi kayu menunjukkan perkembangan yang pesat. Dalam tahun 1968 produksi kayu berjumlah 5,2
juta m3, dan dalam tahun 1973 mencapai 24,8 juta m 3. Dengan
perkataan lain dalam tahun-tahun tersebut produksi kayu
rata-rata setiap tahun meningkat dengan 37,4% setahun. Dibandingkan dengan produksi tahun 1972, produksi tahun 1973
meningkat dengan 41,0%. Peningkatan produksi kayu tersebut
terutama disebabkan karena peningkatan permintaan kayu di
pasaran dunia.
Produksi kayu bulat menunjukkan kenaikan rata-rata 39,5%
setahun. Kenaikan produksi tersebut terutama disebabkan oleh
318

kenaikan produksi kayu bulat di Kalimantan, Sumatra dan

pulau-pulau lainnya. Produksi kayu jati tidak menunjukkan


kenaikan yang berarti, dan produksinya hanyalah merupakan
bagian kecil dari seluruh produksi kayu bulat Indonesia (label
VI 28).
TABEL VI 27
PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KAYU INDONESIA
1968 1973
Tahun

Produksi Kayu

Ekspor Kayu

Ekspor

terhadap
(ribuan m3 r.e.)

1968

1)

produksi %

5.251

1.239,5

23,6

1969

8.107

3.595,8

44,3

1970

12.424

7.412,0

59,6

1971

13.738

10.760,5

77,9

1972

17.717*)

13.890,9*)

78,4

1973

24.800**)

19.488,7**)

78,4

*) angka diperbaiki.
**) angka sementara.
1) "round wood equivalent".
TABEL

VI 28

PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR


KAYU JATI INDONESIA
1968 1973
Tahun

Produksi Kayu
Ekspor Kayu
(ribuan m3 r.e.)

Ekspor terhadap
produksi %

1968

468

42

1969

520

49

1970

568

41

1971

770*)

50 *)

6,5

1972

597*)

48,6 *)

8,1

1973

676 **)

60,4 **)

8,9

*) Angka diperbaiki.

319

**) Angka sementara.

GRAFIK VI 12
PERKEMBANGAN PRODUKSI & EKSPOR KAYU INDONESIA
1968 1973

320

Daerah produsen kayu terpenting ialah Kalimantan Timur,


Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau dan Maluku. Kalimantan Timur masih merupakan daerah produksi kayu yang
terbesar, tetapi peranan produksi Kalimantan Tengah, Suma- tra
Selatan dan Lampung meningkat dengan nyata pula.
Jenis kayu yang dihasilkan terutama Meranti, Ramin, Agathis Jati pulai, Kapur, Kerning, clan lain-lain. Pada awal Pelita I
meranti menduduki tempat utama, sedangkan jenis -jenis lainnya peranannya sangat kecil. Pada akhir Repelita I sebagai
suatu hasil dari program diversifikasi hasil, peranan kayu
kapur/keruing dan kayu lain telah meningkat.
Ekspor kayu bulat telah meningkat dengan pesat, rata-rata
sebesar 55,0% tap tahun. Ekspor kayu tersebut terutama ter- .
diri dari meranti, ramin, agathis, dan lain-lainnya. Meranti
merupakan jenis kayu ekspor yang terbesar, tetapi peranan
ekspor kayu-kayu yang lain telah meningkat pula dengan nyata.
Dalam tahun 1970 sebanyak 68,5% dari ekspor kayu berupa
kayu meranti. Dalam tahun 1973 sumbangan kayu meranti
menurun menjadi 57,8%. Sebaliknya kayu-kayu lain telah meningkat dari 13,1% dalam tahun 1970 menjadi 24,2% dalam
tahun 1973 (Tabel VI 29).
Ekspor kayu yang telah diolah ternyata meningkat pula,
baik dalam jumlah maupun dalam peranannya terhadap total
ekspor kayu. Pada awal Pelita I ekspor kayu gergajian hanya
meliputi 0,80% dari seluruh ekspor kayu, tetapi pada akhir
Pelita I telah mencapai 2,0% (Tabel VI 30).
Negara tujuan ekspor kayu Indonesia terutama Jepang, tetapi peranan ekspor ke negara-negara Korea Selatan, Taiwan
dan negara-negara lain telah meningkat, sehingga Jepang yang
dalam tahun 1969 menerima 75,3% dari seluruh ekspor kayu,
hanya memperoleh 59,3% dalam tahun 1973 (Tabel VI 31).
Daerah asa1 kayu ekspor adalah terutama Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan. Barat, Riau dan lain-lain.
411234 - (21).

221

TABEL V I - 2 9
PERKEMBANGAN EKSPOR KAYU MENURUT
JENIS KOMODITI
1970 - 1973
% terhadap total ekspor Log

Jenis Kayu
1970

1971

197

1. Meranti
2. Ramin

68,5

62,7

62,7

1973 *)
57,8

9,3

10,4

11,9

7,4

3. Agathis

5,8

2,5

2,7

4. Jati

0,6

2,9
0,3

0,4

0,3

5. Pulai

1,6
1,1

0,2
0,9

0,4
1,1

1,6

13,1

22,6

21,0

24,2

6. Kapur/Keruing
7. Lain-lain

6,0

*) angka sementara.

TABEL V I - 3 0
PERKEMBANGAN EKSPOR KAYU KONVERSI
SELAMA PELITA I
Tahun

Ribuan m3

% terhadap
Total Ekspor Kayu

Nilai
(Juta US $)
1,77

1969/70
1970/71

37,2
62,4

0,80
0,80

1971/72,

93,6

0,84

2,99

1972/73

176,0

1,18

7,70

1973/74*)

430,7

2,20

27,65 .

*) Angka sementara.

322

2,62

TABEL VI -- 31
PERKEMBANGAN EKSPOR KAYU INDONESIA
KE BEBERAPA NEGARA TUJUAN
(% terhadap Total ekspor)
1969 - 1973
% Terhadap Seluruh Ekspor Kayu
1970
1971
1972

1973 *)

75,3

80,4

75,3

69,7

59,3

2. Korea Selatan

5,2

5,9

8,7

10,9

11,8

3. Taiwan

5,8

4,6

8,9

8,9

7,5

4. Singapura

3,3

3,6

2,6

3,6

5,6

5. Italia

5,9

2,4

2,6

2,4

1,8

6. Lain-lain

4,5

3,1

1,9

4,5

14,0

Negara Tujuan
1.

1969

Jepang

*) Angka sementara.

Dalam tahun 1969 peranan ekspor Kalimantan Timur sangat


menonjol, sumbangannya meliputi 56,8% dan seluruh ekspor
log. Tetapi dalam tahun 1973 sumbangan tersebut menurun
menjadi 38%. Hal ini disebabkan terutama karena meningkatnya peranan ekspor daerah-daerah Kalimantan Tengah, Riau dan
Maluku (Tabel VI 32).
Ekspor hasil hutan lain seperti rotan, kopal, damar dan lainlain belum, menunjukkan kenaikan yang berarti. Dibandingkan
dengan jumlah ekspor tahun 1969, maka pada tahun 1973
ekspor rotan telah meningkat sebesar 10 ribu ton, sedangkan
ekspor kopal/damar hanya meningkat sebesar 0,2 ribu ton (Tabel
VI 33).
Ekspor kayu bulat masih merupakan bagian yang terbesar
dalam pendapatan devisa bidang kehutanan. Rata-rata 65,2%
dari produksi tahun 1969 1973 diperuntukkan ekspor, sedangkan pada akhir Pelita I ekspor kayu merupakan 78,4%
dari produksi.

323

TABEL VI - 32
PERKEMBANGAN EKSPOR KAYU MENURUT DAERAH ASAL
1969 - 1973
% Terhadap Seluruh Ekspor Kayu

Propinsi

1969

1970

1. Kalimantan Timur

56,8

56,7

2. Kalimantan Tengah

10,8

4,7

3. Kalimantan Barat

11,1

4. Kalimantan Selatan
5.

Riau

1971

1972

1973*)

44,7

44,5

38,0

8,3

7,7

14,3

12,5

12,3

14,5

11,1

1,8

1,0

3,6

3,3

2,4

7,6

8,8

10,4

8,2

6. Sumatera Utara

1,2

0,3

0,2

0,4

0,8

7. Sumatera Selatan

2,5

3,2

2,5

1,2

3,1

8. Lampung

0,8

0,8

2,3

3,7

2,2

9. Maluku

2,7

7,1

9,9

1,3

1,6

2,6

10. Aceh

9,2

8,3

6,4

3,0

3,0

*) Angka sementara.

TABEL VI-33
PERKEMBANGAN EKSPOR HASIL HUTAN LAINNYA
1968 - 1973
Tahun

Rotan
(ribuan ton)

Kopal/Damar
(ribuan ton)

1968

34,9

8,4

1969

33,4

10,0

1970

38,5

10,0

1971

32,2*)

9,2*)

1.972

47,2*)

10,4*)

1973

43,4**)

10,2** )

* ) Angka diperbaiki.
* * ) Angka sementara.

324

Produksi kayu sebagian besar merupakan hasil usaha modal


swasta, baik nasional maupun asing.
Sampai dengan akhir bulan Maret 1974, telah tercatat 180
unit perusahaan yang memperoleh Surat Keputusan Hak
Pengusahaan Hutan (SKHPH), meliputi areal pengusahaan seluas 17,317 juta ha dengan jumlah rencana investasi sebesar
Rp. 520 juta dan US. $. 749,55 juta. Di samping pengeluaran
SKHPH, sampai dengan waktu yang sama telah diberikan Izin
Investasi kepada 88 unit perusahaan yang meliputi 7,160 juta
ha dengan rencana investasi sebesar US. $ 149,55 juta, dan
persetujuan kehutanan (Forestry Agreement) kepada 36 unit
perusahaan yang meliputi areal seluas 2,986 juta ha dengan
rencana investasi sebesar US. S. 82,40 juta. Selanjutnya Pemerintah telah memberikan persetujuan survey dan persetujuan
sementara kepada 338 unit usaha. Semua ini secara lebih terperinci dapat dilihat pada, Tabel VI 34.
Pendapatan royalties (iuran hak pengusahaan hutan, iuran
hasil hutan, dan iuran hasil hutan tambahan) dari pengusahaan
hutan telah meningkat pula sejalan dengan meningkatnya produksi dan tarif royalties. Pada awal Pelita I pendapatan royalty
mencapai US. $. 609 ribu dan Rp. 164,21 juta berupa IHH dan
Rp. 1.261,8 juta berupa IHH. Pada akhir Pelita I pendapatan
royalties itu telah meningkat menjadi Rp. 3.943,9 juta berupa
IHH, Rp. 10.586,7 juta berupa IHH, dan Rp. 14.051,6 juta
berupa IHHT.
Pungutan IHHT baru mulai diadakan pada tahun 1972
untuk pembiayaan pengerukan sungai dan resettlement
peladang di luar Jawa.
Usaha reboisasi dan penghijauan merupakan usaha-usaha
untuk meningkatkan potensi produksi tanah dan hutan serta
mengawetkan tanah dan air. Proyek-proyek reboisasi dan penghijauan selama Pelita I tersebar di seluruh propinsi di tanahtanah kritis, baik dalam kawasan hutan, maupun ditanahtanah milik rakyat. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai melalui ang-

325

TABEL VI 34
PERKEMBANGAN PENGUSAHAAN HUTAN
(sampai dengan bulan Maret 1974)

Taraf Usaha

Jenis
Usaha

Unit
Usaha

Swasta
nasional
Joint enterprise
Swasta asing
Perhutani (negara)

116
47
14
3

1. Surat Keputusan Hak


Pengusahaan Hutan

a.
b.
c.
d.

2. Izin Investasi

a. Swasta nasional
b. Joint enterprise
c. Swasta asing
a. Swasta nasional
b. Joint enterprise

3. Persetujuan
Kehutanan
(Forestry Agreement)
4. Persetujuan
survey
(Survey Agreement)

5. Persetujuan sementara
(Preliminary Agreement)

1) dan Rp. 520 juta.

326

Rencana
investasi
(ribuan US $)

Luas
areal
(ribuan ha)

269.750 1)
150.300
329.500

8.775
5.300
2.838
404

77
10
1

163.300
28.750
2.500

6.081
1.029
50

21
15

43.600
38.800

1.730
1.256

244
94

28.442
4.812

garan pembangunan pusat maupun daerah dan anggaran rutin.


Dalam areal pengusahaan hutan usaha-usaha rehabilitasi hutan
bekas tebang pilih merupakan kewajiban pengusaha pemegang
hak pengusahaan hutan yang bersangkutan.
Selama Repelita I telah selesai direboisasikan tanah kosong
seluas 156.184 ha, 35% diantaranya dibiayai oleh pemegangpemegang SKHPH dan Perusahaan Negara Perhutani. Tanah
kritis di luar kawasan hutan yang telah selesai dihijaukan selama Repelita I meliputi areal seluas 561.673 ha (Taber VI
35).
Sebagai usaha pelengkap untuk penyediaan bibit yang baik,
maka proyek reboisasi dan penghijauan tersebut ditunjang oleh
proyek kebun biji dan bank biji.

TABEL VI 35
REBOISASI & PENGHIJAUAN SELAMA PELITA I

Tahun

Dibiayai
Pemerintah

Dibiayai
Para pengusaha

Jumlah

Penghijauan
(ha)

1969/70

18.859

14.315

33.174

149.578

1970/71

26.575

8.740

35.315

98.681

1971/72

18.054

10.064

22.118

102.259

1972/73

19.952*)

6.498

26.450

107.855

1973/74**)

18.087

21.040

39.127

103.300

101.527

54.657

156.184

561.673

Jumlah

1)

Rehabilitasi (ha)

*) Angka diperbaiki.

327

**) Angka sementara.


1) Termasuk pengawetan tanah.

6. Peternakan.
Pembangunan peternakan selama Repelita I telah banyak me-

rubah keadaan peternakan kearah perkembangan yang lebih


batik. Hal inti ternyata dari perkembangan dalam populasi ternak
dan perkembangan dalam produksi daging, telur dan susu yang
terjadi.
Produksi dan ekspor hasil-hasil peternakan lainnya, seperti
kulit dan tulang, juga menunjukkan peningkatan selama
Pelita I.
Populasi ternak selama periode 1968 1973 setiap tahun
rata-rata meningkat dengan 0,4% untuk sapi, 11,5% untuk sapi
perah, 2,4% untuk kuda, 3,4% untuk babi, 9,7% untuk ayam
kampung, 0,25% untuk kambing, 84,4% untuk ayam ras dan
18,1% untuk itik. Untuk kerbau dan domba masing-masing ratamenurun dengan 0,5%.
Dibandingkan dengan tahun 1972 pada populasi ternak tahun
1973 masing-masing meningkat sebesar 6,3% untuk sapi, 14,7%
untuk sapi perah, 1,7% untuk kerbau, 7% untuk domba, 3,8%
untuk kambing, 20,6% untuk ayam bukan ras, 22,8% untuk
ayam ras dan 11,2% untuk itik (Tabel VI 36). Sedangkan
kuda dan babi mengalami penurunan.
Potensi produksi peternakan di setiap propinsi menunjukkan
gambaran yang sangat berbeda untuk masing-masing jenis
ternak. Potensi yang tidak merata ini menimbulkan masalah
dibidang pemasaran.
Dalam rangka meningkatkan produksi ternak untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, di samping usaha-usaha
meningkatkan populasi, telah diusahakan pembinaan bibit
ternak dan unggas, pemberantasan dan pencegahan penyakit
dan pembinaan makanan ternak. Di samping itu di daerah
yang jarang penduduknya diusahakan. perkembangan peternakan dalam bentuk "ranch".
328

TABEL VI - 36
POPULASI TERNAK, 1968 - 1973
(ribu ekor)
Jumlah ternak dan unggas
Jenis ternak

Sapi
Sapi perah
Kerbau

1968

1969

6.576
45
2.870

Pertumbuhan
rata-rata
1968 - 1973
(%)

1970

1971

1972 1)

1973 2)

6.447

6.130

6.245

6.286

6.682

52

59

66

68

78

2.022

2.870

0,0
-.1,5

2.976

2.976

2.976

0,4
11,5

Domba

3.556

2.998

3.362

3.146

2.996

3.207

Kambing

7.282

7.544

6.336

6.943

7.189

7.468

0,9

642

692

665

693

689

2,4
9,7

Kuda
Ayam bukan ras
Babi
Ayam ras
Itik

612
61.119

61.788

62.652

73.841

79.627

96.084

2.727

2.727

3.163

3.352

3.350

3.218

3,4

688

786

1.799

3.000

3.685

84,4

12.404

13.810

18,1

250
7.269

7.269

7.370

10.416

1) Angka diperbaiki.
2) Angka sementara.

329

Untuk pembinaan bibit ternak potong selama periode 19681973 telah dilaksanakan seleksi dan kastrasi sebanyak 94.500 ekor
dan pengadaan pejantan sapi samba Ongole dan peranakan
Ongole sebanyak 15.892 ekor, sapi Bali sebanyak 11.621
ekor,
sapi Madura sebanyak 550 ekor, sapi Frisien Holstein 622 ekor,
kerbau sebanyak 1.944 ekor, kuda sebanyak 1.326 ekor, kambing
1.591 ekor, domba sebanyak 2.352 ekor serta babi sebanyak 572
ekor.
Untuk perbaikan mutu genetik sapi telah dilaksanakan inseminasi buatan, dengan menggunakan semen beku (frozen
cement) impor dari jenis Frisien Holsein, Brahman, Santa
Gertrudis dan Hereford, sejumlah 14.256 dosis. Jumlah sapi
yang telah diinseminasi dalam tahun 1970 adalah 985 ekor,
tahun 1971 sebanyak 4.579 ekor, tahun 1972 sebanyak 4.876
ekor dan dalam tahun 1973 sebanyak 4.857 ekor. Jumlah tenaga inseminator sampai pada tahun 1972 telah bertambah
menjadi 59 orang dan pembimbing inseminator 6 orang.
Pelaksanaan inseminasi buatan dengan semen beku impor
tersebut telah dilaksanakan di Jakarta sebanyak 1.125 dosis,
Jawa Barat 4.292 dosis, Jawa Tengah 5.352 dosis, Sumatra
Barat 100 dosis, Aceh 107 doses, Baturaden 302 dosis dan
Lembaga Penelitian Peternakan Bogor 200 dosis.
Guna memanfaatkan potensi agronomis beberapa wilayah
untuk pembinaan daerah produksi peternakan yang baru telah
dilakukan transmigrasi ternak dan penyebaran pejantan yang
diseleksi. Penyebaran bibit ternak situ sauna, Repelita I 'meliputi
1.390 ekor sapi Bali, 616 ekor sapi peranakan Ongole, 145
ekor sapi Frisien Holstein, 410 ekor kambing/domba dan 280
ekor babi. Di samping itu pihak swasta sendiri telah mengimpor
bibit ternak potong yang berupa 401 ekor sapi Brahman, 417
ekor sapi Santa Gertrudis dan 316 ekor babi Berkshire/TamWorth.
Sebagai hasil, dari pembinaan bibit ternak yang telah dilaksanakan populasi ternak di luar Jawa telah meningkat, daerah

330

sumber bibit baru (di, Lombok, Timor, Sulawesi Selatan) berkembang, dan demikian juga daerah produsen baru (Aceh,
Lampung, Sulawesi Tengah). Sampai saat ini Sumba dan Bali
telah berfungsi sebagai sumber bibit ternak.
Selama Repelita I populasi ayam meningkat sangat pesat.
ini terutama disebabkan oleh perkembangan usaha-usaha peternakan ayam ras di daerah perkotaan oleh perusahaan Swasta. Perkembangan-perkembangan dalam usaha pembibitan dan
produksi ransuman serta obat-obatan sangat mendorong perkembangan tersebut. Di daerah pedesaan diutamakan kegiatan
penyuluhan yang bersifat menyeluruh. Kegiatan ini dibarengi
dengan penyediaan pejantan unggul ayam ras dan vaksinasi
secara massal.
Produksi dan pengadaan berbagai jenis vaksin, sera dan
diagnostika merupakan syarat utama dalam rangka menunjang
berhasilnya peningkatan produksi peternakan. Perkembangan
produksi vaksin selama periode 1969 1973 dapat dilihat
dalam Tabel VI 37. Dibandingkan dengan kebutuhan produksi vaksin dalam negeri. masih belum mencukupi sehingga
masih perlu tambahan dari impor. Untuk menunjang serta
meningkatkan kegiatan operasionil pemberantasan di daerahdaerah, selama masa Repelita I telah dibangun 11 buah laboratorium diagnostika di 11 propinsi.
Di samping itu telah dibangun juga "Disease Investigation
Centre" di Denpasar dan Ujung Pandang, dan 20 buah karantina laut dan 7 buah kerantina udara.
Dalam rangka, peningkatan kegiatan kesehatan masyarakat
Veteriner (Public Health) telah diadakan perbaikan peraturan
hygiene veteriner dan diusahakan pembangunan rumah-rumah
potong babi dan rumah potong sapi serta rehabilitasi terhadap
10 buah rumah potong hewan di daerah-daerah.
Selama Repelita I juga telah dilakukan penelitian untuk
memperoleh bibit unggul ternak dan percobaan untuk mempersilangkan ternak asli dengan ternak dari luar negeri.
331

TABEL VI - 37
PRODUKSI VAKSIN DAN OBAT-OBATAN, 1969 - 1973
(dalam ribuan dosis)

Vaksin

1969

1970

1971

1972

1973 *)

Jumlah
1969 - 1973

Pertumbuhan
rata-rata
1969 - 1973
(%)

L.V.K. (Dosis)
32,0

1. A.E.

32,5

35,8

132,2

120,4
17.100,0

352,9

68,0

2. N.D.
a. Komarov
b.

Str. F

c. Inactif

8.510,9

11.523,8

28.283,5

21.372,0

622,1

1.929,8

3.002,0

4.838,5

305,6

240,1

501,2

25,1

42,4

18,7

1.550,0

86.790,2

46,3

11.962,4

64,8
9,8

499,3

261,0

1.807,2

124,0

86,2

6,5

492,7

158,8

5.367,6

46,3

3. Fowlpox
A.
B.

30,0

197,3

139,0

581,5

665,3

1.086,3

947,8

2.086,7

144,5

282,4

473,6

530,6

502,0

1.933,1

42,4

87,2

45,5

69,6

44,6

46,6

293,5

36,6

0,5

0,9

0,1

0,5

2,0

260

8,6

9,1

6,3

L.P.P.H.
1. V.S.E.
2. V. Antrax
3. V. Boutvuur
4. V. Brucella S19
5. V. ND Inaktif
6. Antiserra
7. Diagnostika
*) Angka sementara

332

66,7
9,1
120,2

39,0

348,9

431,6

66,7

7,9

41,0

1,2

223,5

1.163,2

175,8

Perkembangan produksi hasil-hasil ternak selama periode 1968


1973 rata-rata setiap tahun telah meningkat dengan
5,7% untuk daging, 7,0% untuk susu dan 10,4% untuk telur.
Konsumsi daging, susu dan telur selama Pelita I telah mengalami peningkatan. Dalam tahun 1972 konsumsi daging per
kapita diperkirakan 2,35 kg dan dalam tahun 1973 diperkirakan 2,52 kg per kapita. Konsumsi susu segar per kapita diperkirakan 1,65 kg dalam tahun 1972, dari 1,80 kg dalam tahun
1973. Konsumsi telur per kapita diperkirakan 14,63 butir dalam
tahun 1972, dan 15,64 butir, dalam tahun 1973.
Produksi susu belum memenuhi kebutuhan. Sebagian dari
kebutuhan yang semakin meningkat dipenuhi oleh produksi
susu kaleng yang bahan baku nya masih harus diimpor.
Produksi telur selama periode 1968 1973 rata-rata setiap
tahun meningkat dengan 2,9% untuk telur ayam bukan ras,
93,2% untuk telur ayam ras dan 3,6% untuk telur itik. Dibanding dengan tahun 1972 produksi berbagai macam telur pada
tahun 1973 meningkat sebesar : 5,6% untuk telur ayam bukan
ras, 64,2% untuk telur ayam ras dan sebesar 0,6% untuk telur itik. Melonjaknya produksi telur mulai terjadi dalam tahun
1971 sebagai akibat perkembangan perusahaan ayam ras yang
pesat dan pencegahan/pembrantasan secara intensif penyakit
tetelo ( ND) di pedesaan. (Tabel VI 40).
Di samping menghasilkan bahan-bahan makanan yang bernilai gizi tinggi peternakan juga menghasilkan devisa melalui ekspor ternak, kulit dan tulang. Selama periode 1968
1973. Volume ekspor bahan-bahan tersebut setiap tahun ratarata meningkat dengan: 9,1% untuk sapi, 4,8% untuk kerbau
dan 23,9% untuk kulit sapi. Ekspor kulit kerbau, kulit kambing, kulit domba dan tulang menurun (Tabel VI 41).
Kredit peternakan memberi sumbangan yang menentukan terhadap pembangunan sub sektor ini. Selama periode 1968
1.973 jumlah kredit dalam sektor ini mencapai Rp. 2,282 milyar,

333

TABEL VI 38
PRODUKSI DAGING, TELUR DAN SUSU
1968 1973

Jenis

1968

1969

1970

1971

1972

1973

Pertumbuhan
rata-rata
1968 1973
(%)

305.095

309.302

313.621

332.164

366.200

403.487

5,7

Susu (ribu) It

28.600

28.923

29.306

35.797

37.674

39.300

7,0

Telur (juta) bt

1.161.7

1.300,1

1.319,0

1.503,2

1.655,0

1.905,7

10,4

Daging (ton) 1)

1)
2)

Tanpa offal.
Angka sementara.

334

GRAFIK VI 13
PRODUKSI DAGING, SUSU DAN TELOR
1968 - 1973

335

TABEL VI 39
PRODUKSI DAGING, 1968 - 1973
(ton)

336

TABEL VI 40
PRODUKSI TELUR 1968 1973
(juta butir)

No.

Jenis Unggas

1968

1. Ayam bukan Ras

807,0

2. Ayam Ras
3. Itik
4. Lain-lain
J u m 1 a h:

1969

082,2

Rata-rata ikan
1968 1973
(%)

1970

1971

1972

1973

894,6

947,5

553,5

1.007,4

2,9

25,0

69,5

71,2

181,5

302,6

496,9

93,2

300,0

311,3

315,6

334,8

356,5

358,8

3,6

29,7

37,1

37,6

39,8

42,4

42,6

7,0

1.300,1

1.319,0

1.655,9

1.908,7

104

1.161,7

1.503,2

1 ) Angka diperbaiki.
2) Angka sementara.

337

TABEL VI 41
VOLUME EKSPOR TERNAK
(untuk ternak : ekor; untuk kulit : ton)

No. Jenis

1968

1969

1970

Sapi

34.541

38.191

52.950

Kerbau

17.967

18.653

34.743

Ton

Ton

1971

1972

1973 *)

51.419

52.580

51.109

24.258

30.866

Pertumbuhan
rata-rata
1968 1973
(%)

I. TERNAK

II . KULIT
Sapi
Kerbau

1.462

2.368.0

Ton
3.340,5

11.442

4,8

Ton
2.614,7

23,9

696,7

585,9

753,0

478,7

609,6

503,4

2,7

2.0371

1.821,6

1.500,0

1.277,3

1.355,6

1.075,7

11,5

Domba

1.159,8

992,4

561,9

669,9

765,7

710,8

6,3

Ton

Ton

8.351,0

338

2.845,7

Ton

Kambing
I I I . TULANG

*)

3.428,1

Ton

9,1

Angka sementara.

10.616,9

Ton
8.071,5

Ton
8.113,3

Ton
9.533,2

Ton
5.585,2

4,1

yang terdiri atas kredit investasi sebesar Rp. 1,046 milyar dan
kredit eksploitasi sebesar Rp. 1,236 milyar. Bagian terbesar
dari kredit tersebut, yaitu 53,5%, dimanfaatkan untuk pengembangan peternakan unggas. Sisanya untuk peternakan babi,
sapi dan kambing.
B. INDUSTRI.
Selama Repelita I perkembangan sektor industri menunjukkan kemajuan-kemajuan. Hal ini ditandai oleh adanya peningkatan volume produksi setiap tahun, oleh peningkatan mutu
barang yang dihasilkan oleh beberapa cabang industri serta
oleh pertambahan jenis dan ragam barang-barang yang dihasilkan. Peningkatan produksi dan diversifikasi yang dicapai
ini terutama terjadi dalam barang-barang konsumsi yang tadinya diimpor.
Selama Repelita I jenis hasil produksi yang di ekspor bertambah. Hal ini menandakan bahwa barang-barang hasil industri
dalam negeri telah mulai mampu menghadapi persaingan
di luar negeri, baik dalam mutu maupun harganya.
Di samping hal-hal tersebut dapat pula dikemukakan bahwa
produksi barang-barang vital juga meningkat. Bantuan kredit
dari Pemerintah telah memungkinkan perusahaan-perusahaan
yang ada mengadakan rehabilitasi dan modernisasi, sehingga
baik volume maupun mutu produksi perusahaan-perusahaan
yang bersangkutan meningkat. Harus diakui bahwa, di samping
kemajuan-kemajuan yang menggembirakan, masalah-masalah
seperti kelangkaan modal, kekurangan dalam kemampuan management dan ketrampilan dan sebagainya masih banyak yang
belum teratasi. Di samping itu sektor industri masih harus meningkatkan sumbangannya dalam usaha memperluas kesempatan
kerja. Usaha membantu perkembangan industri kecil serta
membantu golongan lemah yang telah dimulai pada akhir Repelita I perlu diperbesar.

339

Di bawah ini disajikan secara lebih terperinci gambaran


mengenai perkembangan berbagai sektor industri selama Repelita I.
1. Industri Pupuk, Semen dan Kimia.
Selama Repelita I produksi pupuk urea meningkat dari 84,0
ribu ton pada tahun pertama menjadi 118,7 ribu ton pada tahun
terakhir Pelita I. Dengan perkataan lain selama itu produksi
pupuk urea telah meningkat dengan 41,3%. Sejak tahun ke-IV
Repelita I, di samping oleh pabrik PUSRI, pupuk urea juga dihasilkan oleh pabrik Petrokimia Gresik.
Dengan diselesaikannya pembangunan pabrik Petrokimia Gresik pada tahun ke IV Repelita I, telah dimulai pula produksi
pupuk ZA. Pada tahun 1973/74 produksi ZA. mencapai 122,7
ribu ton, yang berarti kenaikan sebesar 147,2% dibanding
dengan produksi tahun sebelumnya yang besarnya 49,7 ribu
ton. Sementara itu pembangunan pabrik pupuk PUSRI II berjalan terus sesuai dengan jadwal waktu yang ditentukan. Diharapkan bulan Agustus 1974 pembangunan seluruhnya akan selesai dan produksinya segera dapat dimulai. Dewasa ini sedang
dilaksanakan feasibility study untuk pembangunan pabrik pupuk baru di daerah Cirebon dengan kapasitas 1.000 ton amonia
sehari. Sementara ini telah dilakukan persiapan-persiapan untuk membangun PUSRI III dengan kapasitas 560.000 ton urea
setahun. Perkembangan yang menarik ialah dirintisnya pembangunan petrokimia.
Dalam tahun 1973 di Plaju telah selesai dibangun pabrik
polypropylene dengan kapasitas 20,0 ribu ton setahun. Dalam
tahun itu juga pabrik tersebut telah mulai berproduksi. Di
samping itu dewasa ini juga sedang dilaksanakan pembangunan
industri untuk produksi polymer lain, seperti polyvinylchoride (PVC) dan direncanakan proyek petrokimia baru, yaitu
proyek Benzene - Toluen - Xylene (BTX) di Plaju.

340

Industri semen juga menunjukkan perkembangan-perkembangan yang makin meningkat. Dalam tahun 1969/70 produksi
semen berjumlah 542,0 ribu ton dan pada tahun 1973/74 berjumlah 818,1 ribu ton. Jadi selama Repelita I produksi semen
telah meningkat dengan 50,9%.
Dalam rangka usaha peningkatan produksi semen dewasa ini
sedang dibangun pabrik semen Cibinong yang berkapasitas
500,0 ribu ton setahun dan yang kemudian akan diperluas sehingga mencapai kapasitas 1.200,0 ribu ton setahun. Di dekat
daerah tersebut sedang dibangun pula industri semen baru
dengan kapasitas 500.000 ton setahun yang akan selesai pada
tahun 1975.
Mengenai pabrik-pabrik semen yang lain dapat dikemukakan
sebagai berikut. Selama Repelita I telah disiapkan rencana
perluasan pabrik semen Padang, Gresik dan Tonassa yang
masing-masing akan mencapai kapasitas 330 ribu ton, satu
juta ton dan 620 ribu ton. Di samping itu telah mulai dirintis
pembangunan pabrik-pabrik semen baru seperti pabrik semen
Baturaja, Cilacap, Cirebon, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan.
Produksi ban kendaraan bermotor juga terus meningkat.
Dalam tahun 1973/74 produksi ban kendaraan bermotor telah
mencapai 1.351,5 ribu buah, sedang pada tahun 1969/70 produksi baru mencapai 368,0 ribu. Hal ini berarti peningkatan
sebesar 267,2% selama Repelita I. Dalam tahun terakhir Repelita I telah dicapai kenaikan sebesar 57,5%. Peningkatan-peningkatan ini antara lain dimungkinkan dengan adanya kerja
sama yang baik antara ketiga pabrik penghasil ban yang ada
selama Repelita I, yakni P.T. Intirub, Perum Ban Palembang
dan perusahaan-perusahaan lain.
Di samping itu untuk mengimbangi perkembangan kebutuhan
maka diusahakan perluasan dan pembangunan pabrik-pabrik
baru. Pada waktu ini, sedang dilakukan perluasan oleh salah
satu perusahaan tersebut untuk mencapai kapasitas design

341

dari 633 buah ban sehari menjadi 1.000 ban sehari. Perluasanperluasan ini diharapkan mulai menghasilkan pada tahun 1976/
1977. Di samping usaha-usaha tersebut di atas ini dalam tahun
1973 telah diberi izin kepada pengusaha asing untuk membangun
pabrik baru dengan kapasitas 1.500 buah sehari. Pabrik ini
juga diharapkan mulai menghasilkan pada tahun 1976/77.
Pabrik ban sepeda motor P.T. Gajah Tunggal dalam tahun
1972/1973 telah mulai berproduksi dengan jumlah 129,4 ribu
pasang. Dalam tahun itu juga dimulai pembangunan 6 buah
pabrik ban sepeda motor lainnya. Ke-enam pabrik ini diharapkan mulai berproduksi pada tahun 1974/1975.
Soda hanya dihasilkan oleh Pabrik Soda Waru. Kapasitas
design pabrik ini adalah 3.000 ton setahun. Sebagai akibat
berkembangnya usaha-usaha industri maka kebutuhan akan
soda dalam negeri meningkat terus. Usaha-usaha peningkatan
produksi masih terbatas pada rehabilitasi dan perluasan pabrik yang telah ada. Usaha rehabilitasi telah selesai pada tahun
1970, sedang usaha perluasan baru dimulai dalam tahun 1972/
73. Sejak diselesaikannya rehabilitasi tersebut maka produksi soda
terus meningkat. Dalam tahun 1969/70 produksi soda
mencapai 1.000 ton. Dalam tahun 1973/74 mencapai 2,9 ribu ton.
Jadi selama Repelita I produksi soda telah meningkat dengan
190,61%.
Namun demikian peningkatan produksi soda tahun 1972/
73, tahun 1973/74 hanya mencapai 3,21%. Hal itu disebabkan
oleh karena tahun 1972/73 produksi telah mendekati kapasitas
design pabrik yang ada. Dibandingkan dengan kebutuhan produksi soda masih jauh belum mencukupi. Hal ini menunjukkan
bahwa produksi soda kostik perlu dikembangkan. Hambatan
utama dalam perkembangan industri, ialah adanya kenyataan bahwa kebutuhan dalam negeri akan chlor, yang merupakan
hasil tambahan dari industri soda kostik, sangat kecil.
Produksi garam di Indonesia sampai sekarang dilakukan
dengan jalan menguapkan air laut dengan tenaga penguap
342

sinar matahari. Hingga saat ini belum ditemukan garam tambang di Indonesia. Sebagai akibat dari kenyataan tersebut
maka produksi industri garam ditentukan oleh keadaan cuaca
dan tanah setempat.
Dewasa ini produksi garam dihasilkan oleh PN Garam dan
oleh rakyat. Selama Repelita I produksi garam turun dari 185
ribu ton dalam tahun. 1969/70 menjadi 30,0 ribu ton dalam
tahun 1973/74. Karena gangguan cuaca produksi tahun 1973/74
jauh lebih rendah dari produksi 1972/73. Dalam tahun 1972/73
produksi bahan itu berjumlah 180,0 ribu ton. Dalam rangka
menjajagi kemungkinan-kemungkinan peningkatan produksi
garam telah dilakukan berbagai penelitian mengenai garam
di Indonesia. Salah satu di antaranya merupakan penelitian
yang hasil-hasilnya direncanakan untuk menjadi dasar rehabilitasi dan modernisasi PN Garam.
Dalam industri gas juga terjadi kemajuan-kemajuan. Pro- duksi
zat asam telah meningkat dari 2,201 juta M 3 dalam tahun
3
1969/70 menjadi 4,635 juta M dalam tahun 1973/74. Produksi
asam arang telah meningkat dari kira-kira
520 ton
dalam tahun 1969/70 menjadi 1,5 ribu ton dalam tahun 1973/74.
Jadi selama Repelita I hasil produksi zat asam dan asam arang
masing-masing telah meningkat dengan 110,6% dan 195,4%.
Pada tahun 1972 telah dibuka pabrik acetylen. Dengan
demikian jenis gas yang dapat diproduksi di dalam negeri bertambah. Acetylen dipakai sebagai "inert gas welding" serta untuk keperluan pengobatan dan pengawetan bahan makanan. Pada
tahun 1973/74 produksi gas ini mencapai 99,1 ribu M 3, sedang
pada tahun 1972/73 produksi itu baru sebesar 11,9 ribu M3. Hal
ini berarti adanya kenaikan sebesar 729,3%.
Mengenai perkembangan-perkembamgan dalam industri gelas
dapat diuraikan hal-hal berikut. Selama Repelita I pro- duksi
gelas botol telah meningkat dari 11,0 ribu ton pada
tahun
1969/70 menjadi 37,2 ribu ton pada akhir Repelita I. Hal ini
berarti adanya peningkatan sebesar 238,5%.

343

Dalam industri ini sejak tahun 1973 telah berproduksi 2


buah pabrik baru, yang menghasilkan gelas botol dan gelas
kaca. Pabrik gelas kaca ini merupakan suatu joint venture dan
merupakan pabrik kaca pertama di Indonesia. Pabrik ini mempunyai kapasitas 27,9 ribu ton kaca bangunan (sheet glass)
setahun dan akan diperluas dengan pendirian pabrik kaca mobil (automative safety glass) dengan kapasitas 12.000
15.000
3
M setahun. Produksi gelas kaca pada tahun 1973/74 mencapai
22,0 ribu ton.
Dengan dibukanya pabrik gelas botol yang baru tersebut
maka produksi gelas botol meningkat dari 16,6 ribu ton pada
tahun 1972/73 menjadi 37,2 ribu ton dalam tahun 1973/74. Ini
berarti bahwa dalam tahun terakhir Repelita I produksi meningkat dengan 124,7%. Sampai dengan tahun keempat Repelita I produksi gelas botol hanya dihasilkan oleh PN Iglas.
Perkembangan di bidang industri asam sulfat dan aluminium
sulfat serta obat-obat pemberantas hanya juga menunjukkan
gambaran yang cukup menggembirakan. Asam sulfat dan alumunium sulfat mulai diproduksi dalam tahun 1970 dengan jumlah masing-masing 2,1 ribu ton dam 1,8 ribu ton. Produksi
kedua bahwa kimia tersebut meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam tahun 1973/74 produksi asam sulfat mencapai 17,7 ribu
ton dan aluminium sulfat 17,2 ribu ton. Hal ini berarti bahwa
selama Pelita I produksi asam sulfat telah meningkat dengan
742,2% dan aluminium sulfat dengan 856,1%.
Peningkatan produksi tersebut merupakan hasil pembangunan pabrik-pabrik baru.
Sejak tahun 1972 di dalam negeri dihasilkan obat-obatan
pemberantas hama, yang terdiri dari insektisida, fungisida,
"woodkillers" dan redentisida. Dalam tahun 1972173 dihasilkan
148,8 ribu kg serbuk dan 60,8 ribu liter cairan. Dan dalam tahun 1973/74 diproduksi 220,0 ribu kg serbuk dan 199,9 ribu
liter cairan. Hal ini berarti adanya peningkatan sebesar 47,8%
untuk serbuk dan 228,6% untuk cairan selama 1 tahun.
Perkembangan produksi industri pupuk, semen dan kimia
selama Repelita I disajikan pada Tabel VI 42.

344

TABEL VI - 42
PRODUKSI I N D U S T R I K I M I A
1968 - 1973/74

R
No.

Janis Produksi

Satuan

E P E L I T A

1968
1969/70

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Pupuk :
a. Urea
b. Z.A.
Semen
Kertas
Ban Kendaraan
Bermotor
Ban Sepeda
Gelas :
a. Botol
b. Kaca
Garam
Soda
Aluminium Sulfat
Asam Sulfat
Amonia
Insektisida :
a. Serbuk
b. Cair
Zat Asam
Asam Arang
(Cair)
Acetylen

Ribu
Ribu
Ribu
Ribu

ton
ton
ton
ton

Ribu ton
Ribu buah
Ribu
Ribu
Ribu
Ribu
Ribu
Ribu
Ribu

ton
ton
ton
ton
ton
ton
ton

Ribu
Ribu
Ribu
Ribu

kg
liter
M3

ton

Ribu M 3

96,0
410,0

11,0

240,0
2.185
6,0

146,0

0,5
1,7
-

1.803,
0,3

1970/71

1971/72

1972/73 * * )

1973/74 * )

120,1
49,6
722,3
39,5

118,7
122,7
818,0
47,1

84,0

103,0

108,4

542,0
17,0

577,0
22,0

531,0
29,0

400,0
2.164

508,0
1.849,7

11,0

7,4

16,5

63,1
0,7

42,2
1,8
7,0
8,7
2,7

180,0
2,8
11,6
11,2
8,6

37,2
22,0
30,0
2,9
17,2
17,6
3,9

3.486,1
0,7

148,8
60,8
3.742,3
0,9

220,0
199,9
4.635,1
1,5

11,9

99,1

368,0
2.205,3
11,0
185,5
1,0
1,8
2,1
1,8

2.201,0
0,5

2,1

2.777,9
0,6

857,5
2.631,507

1.351,4
2.200,324

*) Angka-angka perkiraan.
* *) Angka-angka dikoreksi.

345

GRAFIK VI - 14
PRODUKSI INDUSTRI KIMIA
1968 dan 1969/70 1973/74

346

2. Industri tekstil.
Seperti dalam industri yang lain, maka usaha-usaha yang
dilakukan dalam industri tekstil adalah rehabilitasi, modernisasi,
perluasan dan pembangunan unit-unit produksi bare. Di samping itu dilakukan pula usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi dalam perusahaan-perusahaan yang ada. Sementara itu
usaha-usaha normalisasi produksi terus dilakukan dengan penyempurnaan sistim tarif dan perpajakan, penghapusan subsidi, pengarahan penanaman modal dan pemanfaatan bantuan
teknik yang berupa tenaga ahli dan training. Hasil daripada
usaha-usaha ini tercermin dalam perkembangan produksi, seperti yang terlihat dalam Tabel VI 43.

TABEL VI43
PRODUKSI INDUSTRI TEKSTIL
1968 1973/74
Ta h u n

Benang Tenun
(ribu bales)

Tekstil
(juta meter)

1968

130,0

316,5

1969/70

177,0

449,8

1970/71

217,0

598,3

1971/72

239,0

732,0

1972/73 **)

262,1

852,0

1973/74 *)

316,2

920,0

* ) Angka-angka perkiraan.
* * ) Angka-angka dikoreksi.

347

GRAFIK VI 15
PRODUKSI INDUSTRI TEKSTIL,
1968 dan 1969170 1973/74

348

Selain volume produksinya, mutu, jenis dan corak produksi


tekstil juga meningkat. Selama Pelita I produksi tekstil dan
benang tenun meningkat masing-masing dengan 104,5% dan
73,6%. Produksi benang tenun naik dari 177,0 ribu bales dalam
tahun 1969/70 menjadi 316,2 ribu bales dalam tahun 1973/74.
Dan produksi tekstil naik dari 449,8 juta meter menjadi 920,0
juta meter. Dibandingkan dengan sasaran-sasaran produksi yang
ditetapkan dalam Repelita I maka sasaran tahun 1973/74 telah
dapat dilampaui dalam tahun 1971. Dan sejak itu pro- duksi
terus meningkat.
Sungguhpun perkembangan-perkembangannya sangat pesat,
sampai akhir Repelita I dalam industri tekstil ada beberapa
masalah. Yang pertama ialah masalah bahan impor. Sebagian
besar bahan-bahan baku, bahan-bahan penolong dan, barang-barang modal harus diimpor. Untuk benang tenun kebutuhan impor bahan baku hanya sebesar 45% saja. Di samping
itu unit-unit perusahaan pada umumnya kecil dan tidak lengkap
peralatannya, sehingga kemampuannya terbatas. Akhirnya per- lu
disebutkan juga adanya kenyataan bahwa di dalam negeri belum
ada pabrik-pabrik "spareparts".
3.

Industri kertas

Pabrik-pabrik kertas di Indonesia yang telah berproduksi


sejak sebelum tahun 1969 terdapat di Pematang Siantar, Padalarang, Blabak, Laces dan Gowa. Dalam tahun itu juga ter- dapat
2 pabrik yang masih dalam taraf pembangunan, satu di
Banyuwangi dan satu di Martapura. Pada akhir masa Repelita I
pabrik tersebut sebagai keseluruhan baru menghasilkan
11.000 ton.
Selama Repelita I dilaksanakan rehabilitasi dan usaha perbaikan-perbaikan dalam bidang-bidang teknis dan administratif.
Di samping itu pembangunan pabrik-pabrik di Banyuwangi dan
Martapura diselesaikan. Berkat usaha-usaha tersebut produksi
kertas selama Pelita I meningkat seperti yang terlihat dalam Tabel
VI 42. Dalam tabel tersebut tampak bahwa produksi kertas
dalam tahun 1973/74 mencapai 47,1 ribu ton, jadi 30,0

349

ribu ton lebih tinggi dari tahun 1969/70. Dibanding dengan


tahun 1972/73 produksi tahun 1973/74 19,1% lebih tinggi.
Dalam Repelita I telah diselesaikan Survey Nasional Kertas
dan Pulp. Hasil survey merupakan dasar untuk menyusun
rencana induk pengembangan industri pulp dan kertas yang
akan dilaksanakan dalam Repelita II.
4.

Industri farmasi dan industri ringan.

Penanaman modal dalam industri farmasi sangat meningkat.


Selama Repelita I penanaman Modal Asing telah menghasilkan
30 buah perusahaan. Dari jumlah ini 1 7 buah telah berproduksi
sedang sisanya diharapkan menyusul dalam waktu singkat.
Sebanyak 36 perusahaan telah didirikan dengan pembiayaan
dari penanaman modal dalam negeri. Pabrik-pabrik tersebut
pada umumnya sudah berproduksi. Beberapa perusahaan telah
mulai merintis pengolahan bahan baku obat.
Selama Repelita I industri ringan juga menunjukkan perkembangan yang makin meningkat.
Di samping peningkatan volume produksi dan peningkatan
mutu dalam industri ini, terutama dalam produksi barangbarang konsumsi, juga terjadi diversifikasi. Industri dalam negeri juga makin mampu memenuhi kebutuhan akan barangbarang seperti sepeda, baterai, dan sebagainya. Bahan-bahan
pembungkus, kulit tiruan, bahan-bahan pembangunan seperti
asbes, barang-barang aluminium, formika, keramik, sanitair
sejak pertengahan masa Repelita I juga diprodusir dalam negeri.
Perkembangan dari beberapa jenis industri ringan selama
Repelita I dapat dilihat dalam Tabel VI 44. Dalam rangka
mengembangkan usaha-usaha dalam kerajinan rakyat telah dibangun pusat-pusat Pengembangan Kerajinan Rakyat di Bali,
Yogyakarta dan Jakarta.
5.

Industri logam, mesin, dan lain-lain

Pembangunan industri dasar meliputi usaha-usaha pengem-

350

bangan industri logam, industri mesin, industri alat-alat listrik

TABEL VI 44
PRODUKSI INDUSTRI RINGAN
1968 1973/74
R E P E L I T A
No.

Jenis Produksi

Satuan

1968

1969/70

1970/71

1971/72

1972/73 **)

1973/74*)

1. Sabun Cuci

Ribu ton

130,2

133,0

132,2

132,4

132,0

131,3

2. Minyak Kelapa

Ribu ton

208,0

263,0

258,2

260,7

264,5

264,5

3. Minyak Goreng

Ribu ton

23,4

27,0

26,0

27,2

28,7

28,7

4. Rokok Kretek

Juta batang

5. Tapal Gigi

Juta tube

6. Rokok Putih

Juta batang

7. Korek Api

Juta kotak

8. Detergent

Ribu ton

9. Crumb Rubber

Ribu ton

24.000

19.000

20.553

21.400

13

15

25

26

14.800

11.000

13.681

14.700

269

322

348

238

3,9

23.680
29,57
16.785

30.221
31,8
20.376

475,3

555,5

5,5

5,2

6,6

129,2

275,2

308,1

*) Angka-angka perkiraan.
* *) Angka-angka dikoreksi.

351

GRAFIK VI 16
PRODUKSI INDUSTRI RINGAN, 1968 DAN 1969/70 1973/74

352

(Lanjutan Grafik VI 16)

353

TABEL VI - 45
PRODUKSI INDUSTRI DASAR
1968

1973/74
R E P E L I T A

No. Jenis Produksi

Satuan

1968

1969/70

1970/71

1971/72

I
1972/73

1973/74 *)

1. Accu

Ribu buah

28,6

32,0

56,0

262,0

130,0

140,0

2. Radio

Ribu buah

391,8

363,5

393,0

416,0

700,0

900;0

3. Televisi

Ribu buah

1,2

4,5

4,7

65,9

60,0

4. Lampu Pijar

Ribu buah

5.863

3.500

5.500

6.000

12.300

16.000

5. Assembling
Mesin Jahit

Ribu buah

4,0

14,0

13,5

292,0

6. Assembling Mobil

Ribu bush

2,4

5,0

2,9

16,0

23,0

35,8

7. Assembling
Sepeda Motor

Ribu buah

31,1

50,0

100,0

149,7

8. Baterai

Ribu buah

9. Plaat Seng

Ribu ton

6,2
4.377
8,1

21,4
54.000
8,5

55.000
34,4

72.000
66,6

340,0

70,0 -

72.000

500,0

132.000

69,0 * * )

70,0

12,0

30,0

10. Kawat Baja

Ribu ton

11. Pipa Baja

"Ribu ton

1,2

1,9

2,9

6,0

34,0

80,0

12. Besi Beton

Ribu ton

4,5

4,5

8,5

74,0

75,0

120,0

* ) Angka-angka perkiraan.
* * ) Angka-angka dikoreksi.

354

GRAFIK VI 16
PRODUKSI INDUSTRI RINGAN, 1968 DAN 1969/70 1973/74

355

(lanjutan Garfik VI 17)

356

(lanjutan Garfik VI 17)

357

dan alat-alat transpor. Selama Repelita I program-program


pembangunan dapat dilaksanakan dengan lancar jumlah produksi maupun mutu barang-barang yang dihasilkan meningkat
dari tahun ke tahun. Peningkatan yang pesat antara lain terjadi
dalam industri logam/besi baja. Industri memperoleh perItalian yang sangat besar dari pihak para penanaman modal.
Sampai akhir Repelita I telah tercatat 39 izin usaha industri baja
primer best beton dengan jumlah kapasitas lisensi 1.300,4 ribu
ton setahun (tidak termasuk Krakatau Steel yang berkapasitas
270,0 ribu ton setahun). Dalam Repelita I 16 perusahaan telah
berproduksi. Perusahaan-perusahaan itu merupakan pabrik baja
berskala kecil yang sebagian besar menghasilkan baja tulangan
(besi baton). Dalam tahun 1972 / 73 produksi baja primer mencapai 4.500 ton. Dalam tahun 1973/74 mencapai 150.000 ton.
Hal ini berarti selama Repelita I produksi baja primer meningkat 3.233,3%. Selama dua tahun terakhir Repelita I produksi
telah meningkat 100%.
Industri baja sekunder juga berkembang dengan pesat selama
Repelita I. Produksi pipa baja dalam tahun 1973/74 mencapai
80.000 ton, padahal dalam tahun pertama Pelita I baru mencapai 1,9 ribu ton. Ini menunjukkan adanya peningkatan produksi sebesar 3.987,9% selama Repelita I. Selama dua tahun
terakhir Repelita I produksi meningkat 135,3%.
Produksi plat sang dalam tahun 1973/74 berjumlah 70.000
ton. Dalam tahun 1969/70 produksi hanya sebesar 8.500 ton.
Ini menunjukkan peningkatan produksi sebesar 723,3% selama
Pelita I.
Kawat baja mulai dihasilkan dalam tahun 1972/73 dengan
jumlah produksi 12.000 ton. Produksi tahun 1973/74 mencapai
30.000 tan. Dengan demikian tercapai kenaikan sebesar 150%,
jika dibanding dengan produksi tahun 1972/73.
Sebelum Repelita I telah ada bengkel-bengkel yang membuat
konstruksi bangunan baja. Meningkatnya pembangunan selama
Pelita I telah mendorong pertumbuhan industri ini. Dalam
tahun

358

1973/74 jenis industri ini mulai memprodusir dengan hasil produksi sejumlah 40.000 ton.
Selama Repelita I industri barang-barang logam jadi lainnya
seperti mur, baut, kawat elektrode las, penyambung pipa, dan
sebagainya juga mulai berkembang.
Industri mesin dan alat mekanis tidak banyak berkembang
selama Repelita I. Walaupun demikian pompa-pompa, alat-alat
pengolahan hasil pertanian dan alat penyemprot hama dalam
tahun ke-empat Repelita I telah mulai dihasilkan di dalam negeri dengan menggunakan alat-alat produksi yang sudah terdapat di bengkel-bengkel yang ada.
Dalam industri mesin perkembangan yang nyata terjadi dalam produksi assembling maupun manufacturing mesin jahit.
Dalam tahun 1973/74 produksi mencapai 500.000 buah. Produksi dalam tahun 1969/70 baru mencapai 14.000 buah. Ini
menunjukkan bahwa selama Repelita I produksi meningkat dengan sangat besar.
Dalam industri non ferrous tampak perkembangan-perkembangan dalam industri kabel listrik dan telekomunikasi. Pada
waktu ini terdapat 6 perusahaan yang sudah berproduksi dengan jumlah kapasitas 30,6 ribu ton setahun. Perkembangan
yang nyata dalam bidang industri ini terjadi dalam assembling
radio, T.V., kipas angin, air conditioning serta manufacturing
lampu pijar dan T.L. serta komponen elektronika untuk reexport.
Dalam industri alat-alat transpor terdapat perkembangan
dalam produksi assembling kendaraan bermotor roda 4. Produksi pada tahun 1973/74 mencapai 38,5 ribu buah. Selama
Repelita I produksi alat-alat tersebut meningkat dengan
610,8%. Produksi sepeda motor meningkat dari 6.200 buah dalam tahun 1969/70 menjadi 150.000 buah dalam tahun 1973/74.
6. Penanaman modal dalam bidang industri
Penanaman modal di sektor industri baik dalam negeri mapun asing menunjukkan kemajuan yang pesat. Selama Pelita I
359

baik jumlah proyek maupun jumlah investasi terus meningkat.


Sejak tahun 1967 sampai akhir Maret 1974 telah disetujui 423
proyek-proyek PMA dengan jumlah investasi sebesar US.
$. 1.448,1 juta dan 1.303 buah proyek-proyek PMDN dengan
jumlah investasi sebesar Rp. 789.590 juta. Dari jumlah proyek-proyek yang telah disetujui sampai bulan Desember 1973
125 buah proyek-proyek PMA dan 503 buah proyek-proyek
PMDN telah menghasilkan.
Dari jenis-jenis investasi ternyata bahwa industri-industri
baru pada umumnya menghasilkan barang-barang substitusi
impor. Ciri khas dari perkembangan industri-industri tersebut
adalah bahwa lokasinya pada umumnya mendekati daerah pasaran. Industri-industri baru pada umumnya didirikan di kotakota besar, umumnya di Pulau Jawa. Jarang sekali yang didirikan di daerah pedalaman atau di pulau-pulau lain di luar Jawa.
Sejak tahun ketiga Repelita I telah mulai masuk proyekproyek Penanaman Modal yang menghasilkan barang-barang
untuk kebutuhan industri lain, seperti bahan-bahan kimia dan
barang-barang komponen yang dipergunakan oleh industriindustri assembling, seperti parts, serta barang-barang industriindustri kendaraan bermotor, radio, T.V., alat-alat listrik, mesin
jahit, sepeda, accumulator, pompa air dan sebagainya.
Di bidang industri tekstil pada, waktu ini sedang dilaksanakan
pembangunan proyek-proyek yang akan menghasilkan seratserat buatan. Perkembangan lain yang menarik ialah timbulnya
industri electronics modern yang bersifat padat karya dan hasil
produksi seluruhnya diekspor kembali ke negara-negara
yang sudah maju.
Angka-angka perkembangan penanaman modal dalam negeri
dalam bidang industri sejak bulan Nopember 1968 s/d 31 Maret
1974 disajikan dalam Tabel VI 46. Jumlah seluruh proyek
dalam rangka PMDN sampai dengan Maret 1974 meliputi 1.894
buah dan investasinya Rp. 1.317.327 juta. Dengan demikian
maka jumlah proyek dalam Sektor industri meliputi 68,7% dan
360

TABEL VI 46
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI BIDANG INDUSTRI
1968 1974
Jumlah
Proyek

Tahun

Modal
(dalam juta rupiah)

1968 1)

547

1969
1970
1971
1972
1973
1974 2)

95
209
233
306
391
65

25.171
60.396
109.790
186.097
340.519
67.070

1.303

789.590

Jumlah :
1) Nopember Desember 1968
) Januari Maret 1974.

TABEL VI47
PENYERAHAN PROYEK-PROYEK INDUSTRI YANG DISETUJUI
PMDN MENURUT DAERAH TINGKAT I,

1968 1974
DKI
Jaya
19681)
1969
1970
1971
1972
1973
1974 2)
Jumlah :

Jawa
Barat

Jawa
Tengah

Jawa
Timur

Lain2
Daerah

54
89
98
96
79
14

18
29
35
60
112
15

13
35
20
33
35
5

27

28

24'
49
63
3

56
68
102
28

433

269

141

172

288

1) Nopember Desember 1968.


2) Januari Maret 1974.

361

TABEL VI 48
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI
DIBIDANG INDUSTRI MENURUT JENIS,
1968 1974
Makanan
Minuman
&
Tembakau

PerceTekstil

Kimia

takan

Kayu

62

43

92

63

25

76

60

71

52

19

31

1972

62

46

62

20

16

16

1973

148

34

86

65

356

189

319

146

68

127

1968 19701) ,
1971

1974 2)
Jumlah :

1) Nopember 1968 Desember. 1970


2) Januari Maret 1974.

362

Logam/
mesin &
alat-alat
Listrik

investasinya 59,9% dari seluruh proyek dan investasi dalam


rangka PMDN.
Tabel VI 47 menunjukkan penyebaran proyek-proyek PMDN
menurut Daerah Tingkat I sejak bulan Nopember 1968 s/d Maret
1974. Dari tabel itu tampak bahwa DKI Jaya memperoleh bagian
terbesar dari proyek-proyek penanaman modal dalam negeri.
Sebaliknya dari tabel tersebut juga tampak bahwa secara
berangsur-angsur jumlah proyek di daerah-daerah di luar Jawa
semakin bertambah.
Tabel VI 48 menunjukkan pembagian proyek-proyek penanaman modal dalam negeri menurut jenis-jenis industri. Dari
tabel itu tampak bahwa sampai tahun terakhir Repelita I pro- yekproyek penanaman modal dalam negeri terutama ditujukan
kepada perluasan industri makanan, minuman & tembakau dan
industri tekstil.

TABEL VI 49
MODAL ASING DI BIDANG INDUSTRI
1967 1974 *)
Jumlah Proyek

Tahun
1967
1968

Jumlah

investasi

10
26

US $
US $

28.898.791
39.400.114

1969

40

US $

69.024.675

1970

64

US $

78.532.666

1971

64

US $

141.133.000

1972

53

US $

132.924.051

1973

148

1974 (s/d Maret)

18
Jumlah :

423

US $
602.492.453
602.492.453
US $
355.694,250
US $

1.448.100.000

*) Angka-angka di dalam tabel ml berbeda dengan angka-angka yang termuat di


dalam bab III yang didasarkan atas persetujuan Badan Koordinasi Penanaman
Modal

863

TABEL VI 50
JENIS - JENIS PENANAMAN MODAL ASING
DI BIDANG INDUSTRI
1967 1974 *)
1967 s/d Maret 1971

1967 s/d Maret 1972

1967 s/d Maret 1973 1967 s/d Maret

1974
Jumlah
Proyek

Jumlah
Investasi
US $.

Jumlah
Proyek

Jumlah
Investasi
US $.

Jumlah Jumlah
Proyek Investasi
US $.

Jumlah Jumlah
Proyek Investasi
US $.

Logam, mesin & listrik


Makanan, Minuman, Tembakau

44

56.882.776

66

79.347.276

78

103.751.127

104

28

50.676.187

34

59.886.187

39

73.594.220

48

87.247.000

Tekstil

15

71.000.000

25

105.028.000

42

215.669.000

59

320.669.000

Kimia

12

11.310.000

28

61.320.990

33

66.053.990

51

186.677.990

Lain-lain industri ringan

54

50.811.684

65

67.311.893

138

245.631.663

161

687.873.761

218

372.893.746

330

704.700.000

423

1.448.100.000

Jumlah:
*)

153

240.680.647

Angka-angka di dalam tabel ini berbeda dengan angka-angka yang termuat di


dalam bab III yang didasarkan atas persetujuan Badan Koordinasi Penanaman
Modal.

364

165.605.249

TABEL VI 51
PENYEBARAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG INDUSTRI MENURUT DAERAH
1967 s/d MARET 1974
1967 s/d Maret 1971
Dati I

Jumlah

Proyek

*)

1967 s/d Maret 1972 1967 s/d Maret 1973


Jumlah

Proyek

Jumlah

1967 s/d Maret 1974

Jumlah
Proyek

Proyek

DKI Jaya

94

60

129

59

157

48

189

45

Jatim

25

16

30

14

38

12

53

12

Jabar

18

12

30

14

43

13

62

15

Jateng

11

18

Sumut

13

13

16

Kalimantan

Lain-lain Daerah

64

19

77

18

153

100

218

100

330

100

423

100

*) Angka-angka di dalam tabel ini berbeda dengan angka-angka yang termuat di


dalam bab III yang didasarkan atas persetujuan Badan Koordinasi Penanaman
Modal.

365

Jumlah proyek di sektor industri yang disetujui sejak tahun


1 9 6 7 sampai akhir Repelita I merupakan 59,24% dari jumlah
seluruh proyek yang disetujui dalam rangka PMA yang berjumlah 714 buah. Sedang jumlah investasinya merupakan
44,4% dari seluruh jumlah investasi yang disetujui dalam
rangka PMA yang besarnya US $ 3.261,2 juta.
Dari Tabel VI 50 tampak bahwa menurut jenis industri
bagian terbesar dari proyek-proyek PMA yang telah disetujui
sejak 1 9 6 7 sampai akhir Repelita I berkembang kepada pembangunan industri logam, mesin & listrik. Tetapi dari jumlah
modal yang ditanamkan bagian terbesar adalah untuk pembangunan industri tekstil. Dalam hubungan ini penanaman
modal diarahkan kepada pembangunan industri tekstil yang
integral, yang memerlukan modal yang relatip besar. Akhirnya dari Tabel VI 51 jelas bahwa sebagian besar dari proyek PMA dilaksanakan Jakarta. Di antara daerah-daerah di
luar Jawa, Sumatera Utara memperoleh jumlah proyek yang
terbesar.
C. PERTAMBANGAN

Selama Repelita I peranan sektor pertambangan dalam pembangunan semakin meningkat. Ini nampak nyata sekali dari
sumbangannya dalam ekspor. Minyak bumi dan timah pada
akhir Repelita I telah menghasilkan kurang lebih 55 % dari
seluruh penghasilan devisa negara.
Selama Repelita I kegiatan penyelidikan dan penelitian, yang
meliputi penyelidikan geologi, eksplorasi mineral dan penelitan
pengolahan bahan galian, juga berkembang dengan pesat. Hasil
kegiatan-kegiatan ini menambah pengetahuan mengenai
kekayaan bumi Indonesia dan dengan demikian akan dapat
membantu penyusunan kebijaksanaan pertambangan secara
nasional dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.

366

TABEL VI - 52
PRODUKSI HASIL-HASIL PERTAMBANGAN
1968/69 - 1973/74

367

GRAFIK VI 18
PRODUKSI HASIL-HASIL PERTAMBANGAN
, 1968/69 1973/74

368

(Sambungan Garfik VI 18)

369
411234 (24)

Sejalan dengan semakin mantapnya keadaan politik dan


ekonomi, maka selama Repelita I baik di kalangan swasta
nasional maupun di kalangan swasta asing timbul pula kegairahan untuk mengembangkan usaha-usaha pertambangan.
Untuk mengimbangi pertumbuhan kegairahan ini selama Repelita I kegiatan-kegiatan pembinaan, pengaturan dan pengawasan telah diintensifkan.
Perkembangan produksi hasil-hasil pertambangan selama
tahun-tahun 1968/69 1973/74 dapat dilihat dalam Tabel
VI 52.
Di bawah ini akan diberikan gambaran secara singkat mengenai perkembangan produksi di cabang-cabang pertambangan
masing-masing selama periode 1969/70 1973/74.
1. Minyak dan Gas Bumi
Minyak bumi merupakan hasil utama usaha pertambangan
Indonesia. Pengusahaannya dijalankan oleh Pertamina yang
merupakan satu-satunya perusahaan negara di bidang minyak
dan gas bumi. Beberapa perusahaan asing bekerja atas dasar
kontrak karya atau dasar perjanjian bagi hasil dengan Per-tamina.
Dewasa ini terdapat 3 perusahaan asing yang bekerja atas dasar
kontrak karya dengan Pemerintah dan kurang lebih
50
perusahaan yang bekerja atas dasar perjanjian bagi hasil dengan
Pertamina.
Perkembangan ekspor minyak mentah dan hasil minyak selama periode 1969/70 1973/74 dapat dilihat dalam Tabel
VI 53.
Ekspor minyak mentah dalam tahun 1969/70 berjumlah
241,3 juta barrel dan nilainya US $ 392,4 juta. Pada tahun
1973/74 volume ekspor mencapai 438,9 barrel dan nilainya
sangat tinggi. Ini berarti bahwa volume ekspor dalam periode
tersebut meningkat sekitar 82% atau rata-rata sekitar 16%
setiap tahun.

370

TABEL VI 53
EKSPOR MINYAK MENTAH DAN HASIL MINYAK
1969/70 1973/74
Ta h u n

Volume
(Juta barrel)

1969/70

241,3

1970/71

267,1

1971/72

287,7

1972/73

360,7

1973/74

438,9

*)

Termasuk carbon black.

Kenaikan produksi minyak bumi, seperti yang ditunjukkan


dalam Tabel VI 52, dapat dicapai berkat penemuan-penemuan
sumber minyak di daratan dan di lepas pantai.
Selama Repelita I terjadi dua perkembangan penting dalam
produksi minyak bumi. Pertama, dalam tahun 1971 Indonesia
untuk pertama kalinya menghasilkan minyak bumi di daerah
lepas pantai dengan produksi sebesar 1,4% daripada jumlah
keseluruhan produksi Indonesia. Pada tahun 1972 produksi
minyak bumi di daerah lepas pantai telah meningkat menjadi
6,5%. Kedua, dalam bulan Pebruari 1972 produksi minyak
bumi Indonesia untuk pertama kalinya melampaui jumlah satu
juta barrel sehari.
Beberapa perkembangan penting juga terjadi dalam pengilangan minyak bumi. Pada tahun 1970 kilang minyak P.T. Stanvac
Indonesia di Sungai Gerong dibeli oleh Pertamina. De- ngan
terjadinya pembelian itu maka seluruh kilang minyak di Indonesia
telah menjadi milik Indonesia. Selanjutnya dalam tahun 1971 dua
buah kilang minyak selesai dibangun dan mulai beroperasi, kilang
minyak Sungai Pakning dan kilang minyak Putri Tujuh di Dumai.
371

GRAFIK VI - 19
EKSPOR MINYAK MENTAH DAN HASIL MINYAK, 1889/70 - 1 8 7 3 / 7 4

372

TABEL VI 54
HASIL PENGOLAHAN MINYAK (1968 1973)

Ta h u n

Juta Barrel

1968

72,8

1969

76,1

1970

86,0

1971

90,0

1972

100,5

1973

118,3

Pada waktu Pertamina memiliki 7 kilang minyak, yaitu


di Pangkalan Brandan, Dumai, Sungai Pakning, Sungai Gerong,
Wonokromo dan Balikpapan. Sedangkan kilang Cepu diusahakan sebagai tempat latihan dan penelitian oleh Lembaga Minyak
dan Gas Bumi. Pada tahun 1973 kilang minyak Cilacap, yang
direncanakan mempunyai kapasitas 100 ribu barrel sehari, mulai dibangun dan diharapkan selesai pada awal tahun 1976.
Sebagai akibat dari pada perkembangan dalam sektor-sektor
industri dan pengangkutan, kebutuhan akan bahan bakar minyak dan pelumas di dalam negeri terus meningkat. Sejak tahun
1969 sampai dengan tahun 1973 pemasaran hasil minyak dalam
negeri setiap tahun rata-rata meningkat 10%. Untuk mengimbangi perkembangan itu maka selama Repelita I pembangunan prasarana-prasarana angkutan dan penyimpanan serta jaringan distribusi ditingkatkan. Selain jumlah tanker ditambah, di Semarang dan di Medan telah dipasang pipa-pipa di
bawah laut; di Semarang sepanjang 9 km dan di Medan 16 km.
Di darat dipasang pupa sepanjang 22 km antara Cilacap dan
Maos, dan sepanjang 159 km antara Maos dan Yogyakarta.

373

GRAFIK VI - '20
HASIL PENGOLAHAN MINYAK, 1 9 6 8 - 1973

374

Proyek-proyek bidang petro kimia sudah memberikan hasil


nyata. Dalam Repelita I pembangunan pabrik Carbon black di
Rantau dan pabrik polypropylene di Plaju telah selesai.
Gas bumi sampai beberapa waktu yang lain belum dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hanya sebagian kecil saja digunakan untuk
pembuatan pupuk urea di pabrik pupuk Sriwidjaya (Palembang),
LPG (Liquified Petroleum Gas) dan Jelaga Gas di
pabrik petrokimia Unit I. Dewasa ini gas yang berasal dari
kilang Plaju dan
Sungai Gerong telah digunakan oleh pabrik polypropylene di Plaju
yang mempunyai kapasitas produksi
20,0 ribu ton
polypropylene per tahun.
Sebagai hasil kegiatan eksplorasi dalam Repelita I telah ditemukan cadangan-cadangan di beberapa tempat; antara lain di
Lapangan Arun (Sumatera Utara), Lapangan Badak (Kalimantan
Timur) dan di, daratan serta daerah lepas pantai Jawa Barat.
Cadangan-Cadangan
ini
telah
membuka
kemungkinankemungkinan baru untuk memperluas industri pupuk, industri
petro kimia lainnya dan untuk diekspor sebagai LNG (Liquified
Natural Gas).
2. Timah
PN Timah merupakan perusahaan yang sudah berproduksi
di bidang pertambangan timah. Di samping itu ada 3 perusahaan
asing yang bekerja alas dasar kontrak karya dengan PN Timah dan masih dalam tahap eksplorasi. Di daerah Bangkinang
(Sumatera Tengah) terdapat juga usaha swasta nasional yang
bekerja sebagai kontraktor PN Timah dan sejak tahun 1971
telah mulai berproduksi.
Selama tahun-tahun sebelum Repelita I pemeliharaan dan
penggantian-penggantian peralatan produksi beserta saranasarana penunjang lainnya amat terbengkelai. Selama Repelita I
pemeliharaan diusahakan secara teratur. Di samping itu dilaksanakan pula pekerjaan-pekerjaan reparasi, rehabilitasi dan
modernisasi secara selektip dan bertahap. Untuk memulihkan

375

kemampuan produksi maka telah dilakukan rehabilitasi dan


modernisasi kapal keruk. Daya guna kerja ditingkatkan juga
dengan jalan modernisasi dan perluasan jaringan-jaringan telekomunikasi. Selanjutnya, guna memperlancar pengangkutan di
laut, diadakan pemasangan-pemasangan radar seperlunya.
Produksi timah telah meningkat dart 16,9 ribu ton dalam
tahun 1969/70 menjadi 22,6 ribu ton pada akhir Repelita I,
yang berarti ada kenaikan produksi rata-rata sekitar 6% setiap tahun. Sesungguhnya PN Timah dapat mencapai produksi
yang lebih tinggi, akan tetap harus dibatas mengingat bahwa
produksi tidak dapat dilepaskan dari ekspor quota. Di samping
itu kebutuhan dalam negeri hanya mencapai kira-kira 500 ton,
atau 2% dari jumlah produksi pada akhir Repelita I.
Baik volume maupun nilai ekspor selama Repelita I menunjukkan kenaikan. Dari Tabel VI 55 dapat diketahui bahwa
volume ekspor meningkat dengan 26,5%, sedangkan nilai ekspor
meningkat lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena harga timah
di pasaran internasional meningkat sebagai akibat dari krisis
energi.

TABEL VI55
EKSPOR TIMAH (1969/70 1973/74)
Tahun

Volume
(Ribu ton)

1969/70

16,4

1970/71

17,4

1971/72

19,1

1972/73

20,7

1973/74

21,0

376

GRAFIK VI 21
EKSPOR TIMAH, 1969/70 1973/74

377

Sejak tahun 1968 telah diadakan penyelidikan-penyelidikan dan


eksplorasi di daerah lepas pantai sekitar pulau-pulau Bangka, Belitung, Singkep dan, Kundur. Sebagai hasil dan penyelidikan-penyelidikan itu telah ditemukan cadangan-cadangan
baru.
Peleburan timah di Muntok sejak tahun 1969 telah berproduksi. Namun selama Repelita I peleburan timah sebagian masih dilaksanakan di luar negeri. Pada saat ini di peleburan timah
Muntok sedang dilaksanakan pembangunan 3 buah tanur beserta fasilitasnya yang direncanakan akan selesai pada tahun
1974.
3.

Batubara

Dewasa ini ada 2 tambang batubara yang masih bekerja,


yaitu Unit Pertambangan Ombilin (Sumatera Barat) dan Unit
Pertambangan Bukit Asam (Sumatera Selatan). Kedua tambang tersebut diusahakan oleh Negara.
Selama Repelita I telah diusahakan rasionalisasi dan konsolidasi perusahaan batubara. Dalam rangka itu tambang batubara Mahakam ditutup, jumlah tenaga kerja di tambang
batubara Ombilin dan Bukit Asam diperkecil serta Kantor
Pusat di Jakarta diciutkan. Tindakan-tindakan tersebut diikuti
dengan usaha-usaha peningkatan produksi. Untuk memperbaiki kedudukan perusahaan Pemerintah telah memberikan
bantuan subsidi.
Perkembangan produksi batubara selama Repelita I ditunjukkan
dalam Tabel VI 56.
Pemakaian batu bara terbesar adalah pabrik Semen Indarung, Tambang Timah Bangka dan PJKA.
Hasil survey yang diadakan menunjukkan bahwa pemakaian
batubara secara besar-besaran dimungkinkan apabila dibangun
PLTU-PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara di daerah dekat tambang. Di samping itu penjajagan mengenai kemungkinan ekspor batubara dilanjutkan dengan lebih intensif.

378

TABEL VI 56
PRODUKSI BATUBARA
(1968/69 1973/74)
Ta h u n

Produksi
(Ribu ton)

1968/69

169,0

1969/70
1970/71

176,0

1971/72

196,8

1972/73

177,2

1973/74

145,9

4.

175,4

Bauksit

Unit Pertambangan Bauksit PN Aneka Tambang mengusahakan pertambangan di pulau Bintan dan sekitarnya dengan sistim tambang terbuka. Kegiatan selama Repelita I ditujukan
terutama untuk mempertinggi produksi dan mengadakan penyelidikan-penyelidikan untuk mencari biji bauksit yang berkadar
rendah. Ekspor bauksit selama Repelita I telah memperlihatkan
kecenderungan menaik, seperti yang terlihat pada Tabel
VI 57.
Dengan diadakannya kontrak supply pasaran ekspor bauksit
terjamin untuk masa 10 tahun, dari tahun 1969 sampai dengan
tahun 1978. Ekspor bauksit selama Repelita I mencapai jumlah
5.781,90 ribu ton.
Dalam tahun 1971 oleh PN Aneka Tambang telah diselesaikan usaha pengerukan selat Kijang sepanjang 1.200 meter
untuk memungkinkan kapal yang berukuran 30.000 DWT memasuki selat tersebut. Dalam tahun itu telah diselesaikan juga
perluasan tempat penimbunan biji sehingga mampu menam-pung
90.000 ton dan peningkatan kapasitas loading menjadi 1.000 ton
379

per jam.

GRAFIK VI - 22
PRODUKSI BATUBARA,
(1968/69 - 1973/74)

380

TABEL VI 57
EKSPOR BAUKSIT, 1969/70 1973/74
Volume
(Ribuan ton)

Ta h u n

1969/70

863,6

1970/71

1.182,2

1971/72

1.211,7

1972/73

1.255,0

1973/74

1.269,4

5.

Nikkel.

Selama Repelita I produksi nikkel telah meningkat dari 29,0


ribu ton dalam tahun 1968/69 menjadi 989,9 ribu ton dalam
tahun 1973/74. Ini berarti bahwa selama Repelita I produksi
nikkel setiap tahun rata-rata meningkat 35%.
Seperti tampak dalam Tabel VI 58 jumlah ekspor selama
tahun-tahun tersebut telah meningkat dengan pesat. Pada tahun 1969/70 jumlah ekspor mencapai 232,0 ribu ton. Sejak itu
telah meningkat sehingga dalam tahun 1973/74 menjadi 830,5
ribu ton. Nilainya meningkat beberapa kali. Jadi selama Repelita I volume ekspor nikkel telah meningkat rata-rata sekitar
46%.
Untuk memperlancar kegiatan ekspor P.N. Aneka Tambang
telah melakukan perbaikan-perbaikan fasilitas pemuatan biji
nikkel ke kapal, sehingga kecepatan pemuatan dapat ditingkatkan menjadi 5.000 sampai 6.000 ton sehari.
Sementara itu P.N. Aneka Tambang telah mengadakan
eksplorasi biji nikkel berkadar rendah di daerah Kalimantan
Tenggara. Eksplorasi dan penelitian lebih lanjut mengenai cadangan ini diperkirakan akan memakan waktu sekitar 2 3
381

GRAFIK VI 23
E K S P O R B A U K S I T, 1969/70 1973/74

382

TABEL VI 58
EKSPOR NIKKEL, 1969/70 1973/74

Ta h u n

Volume
(Ribu ton)

1969/70

232,0

1970/71

538,4

1971/72

764,7

1972/73

737,5

1973/74

830,5

tahun lagi. Sekarang juga sedang diadakan feasibility study


untuk mempelajari kemungkinan mendirikan pabrik pengolahan nikkel (nickel matte) di daerah Soroako, Sulawesi Tengah, dan
di Pulau Gag, Irian Jaya. Di samping itu sedang diselesai- kan
juga kegiatan eksplorasi di daerah Halmahera dan pulau-pulau
sekitarnya.
P.N. Aneka Tambang telah mulai mengerjakan pembangunan
pabrik ferro nikkel yang akan dapat mengolah biji nikkel berkadar rendah dari tambang Pomala. Diperkirakan pabrik ferro-nikkel ini akan mulai berproduksi pada akhir tahun 1975
dan akan menghasilkan ferro-nikkel sebanyak kurang lebih
20.000 ton setahun, yang nilai ekspornya diperkirakan sebesar
U.S. $. 15 juta.
6.

Pasir Besi

Satu-satunya pertambangan pasir besi yang telah berproduksi


terdapat di pantai Cilacap. Pertambangannya diusahakan oleh P.N.
Aneka Tambang dengan cara tambang terbuka dengan
penyemprotan air. Dalam Tabel VI 52 tampak bahwa proyek
pertambangan pasir besi telah memasuki tahap produksi ko383

mersiil dalam tahun 1971. Pada tahun 1972/73 produksi me-

1973/7
4RE
PELI
TA

GRAFIK VI 24
E K S P O R N I K K E L , 1969/70 1973/74

384

TABEL VI 59
EKSPOR PASIR BESI, 1969/70 1973/74
Ta h u n
1969/70

Volume
(Ribu ton)

1970/71

1971/72

242,7

1972/73

276,2

1973/74

283,6

nurun karena kekurangan air tawar untuk penyemprotan dan


pemisahan magnit. Jumlah ekspor tahun 1971/72 meliputi 242,7
ribu ton. Pada. tahun 1973/74 jumlah ekspor menjadi 283,6
ribu ton (Tabel VI 59). N i l a i n y a j u g a m e n i n g k a t .
Di samping hal-hal tersebut P.N. Aneka Tambang telah menyelesaikan eksplorasi pasir besi di pantai selatan Jogyakarta.
7.

Emas dan Perak

Tambang emas Cikotok merupakan satu-satunya tambang


emas yang dewasa ini diusahakan secara mekanis. Pekerjaannya dilakukan oleh P.N. Aneka Tambang. Selama Repelita I
produksi emas dari tambang Cikotok tidak banyak mengalami
perubahan dan seluruh produksinya dijual di dalam negeri. Hasil produksi emas tahun 1968/69 berjumlah 200 kg dan pada
tahun 1973/74 menjadi 345,2 kg. Produksi perak mengalami
sedikit penurunan.
Hasil tambang Cikotok diolah dan dimurnikan di pabrik Logam. Mulia di Jakarta. Pabrik ini juga memurnikan emas dari
luar P.N. Aneka Tambang yang berjumlah lebih besar dari pada yang dihasilkan oleh P.N. Aneka Tambang sendiri. Perbandungan jumlah emas dari luar dan emas Cikotok menunjukkan
411234 - (25).

385

GRAFIK VI - 25
EKSPOR PASIR BESI, 1969/70 - 1973/74

386

kecenderungan meningkat. Dalam tahun 1973 jumlah emas


yang dimurnikan di Logam Mulia 18 kali lebih banyak dari
emas hasil produksi Cikotok.
8. Intan
P.N. Aneka Tambang telah memulai memprodusir intan,
tetapi
yang dihasilkan hingga saat ini belum mencapai tingkat produksi
komersiil. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kadar intan
dalam endapan batu krikil yang ditemukan sangat kecil, yaitu
sekitar 0,05 karat/M3. Apabila hingga akhir tahun 1974 tidak
ditemukan endapan yang serendah-rendahnya berkadar 0,5
karat/M3, maka usaha P.N. Aneka Tambang di bidang
perintanan terpaksa akan dihentikan.
9. Tembaga
Sejak tahun 1967 dipegunungan Ertsberg Irian Jaya telah
dilaksanakan eksplorasi. Pada akhir tahun 1972 tambang tembaga di pegunungan tersebut selesai dibangun dan pada permulaan tahun 1973 mulai menghasilkan.
Hasil produksi tembaga yang diprodusir dari bulan Januari
1973 sampai dengan Januari 1974 berjumlah 1.484,3 ribu metric
ton (kering) biji tembaga yang menghasilkan konsentrat tembaga sebesar 145,8 ribu metric ton (kering). Konsentrat yang
telah diekspor sampai dengan bulan Desember 1973 berjumlah 122,3 ribu metric ton.
10.

Batuan Granit

Kegiatan pertambangan, pemecahan, pengangkutan dan pemuatan batu granit, yang dilaksanakan oleh P.T. Karimun
Grant, berjalan dengan lancar. Batuan granit yang diekspor dalam
tahun 1972 berjumlah 47,0 ribu ton. Yang dijual di dalam
negeri berjumlah 113,0 ribu ton. Ekspor tahun 1973 hingga
triwulan ketiga mencapai 101,3 ribu ton dan penjualan dalam
negeri meliputi 103,5 ribu ton. Dalam tahun 1973/74 P.T. Ka387

rimun Granit telah berhasil memprodusir 405,1 ribu ton batuan


granit.
11.

Penyelidikan/Penelitian Umum

Kegiatan penyelidikan dan penelitian yang dibiayai oleh Pemerintah meliputi penyelidikan geologi yang disertai dengan
pemetaan, eksplorasi mineral dan penelitian pengolahan bahanbahan tambang. Kecuali penting untuk pengembangan usaha
pertambangan penyelidikan geologi, khususnya geologi tehnik dan
pembuatan peta-peta tanah, mempunyai arti yang sangat penting
juga untuk perencanaan penyediaan air untuk kota, untuk
perencanaan-perencanaan industri dan irigasi, untuk pemilihan
daerah pertanian dan untuk pembuatan-pembuatan jalan,
jembatan dan bendungan.
Kegiatan eksplorasi mineral oleh Pemerintah dilaksanakan
dalam rangka inventarisasi kekayaan mineral yang tersimpan
dalam bumi Indonesia. Dalam kegiatan ini telah diambil kebijaksanaan untuk mengikut sertakan pihak swasta. Tetapi data
geologi maupun mineral yang dikumpulkan oleh swasta harus
diserahkan kepada Pemerintah.
Kegiatan penelitian pengolahan bahan-bahan tambang ditujukan kepada pengolahan bahan galian industri yang kelak diharapkan dapat dikembangkan oleh perusahaan swasta nasional.
Kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan dalam perminyakan dan gas bumi ditujukan untuk menentukan cara pengolahan minyak bumi yang sesuai dengan jenis minyak bumi Indonesia, untuk mengadakan evaluasi minyak mentah, untuk
mengadakan analisa mikropalaentologi, analisa core, analisa
PVT dan untuk memberikan diskripsi mengenai batu-batuan.
Penyelidikan mineral industri dan bahan bangunan meliputi
penyelidikan-penyelidikan bahan baku untuk semen, tras, batu
apung, marmer, pasir kwarsa, lempung, kwartsit, lempung bentonit, kaolin dan barit.
388

Anda mungkin juga menyukai