Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Temper Tantrum
1. Pengertian
Temper tantrum adalah suatu luapan emosi yang meledak-ledak
dan tidak terkontrol. Temper tantrum seringkali muncul pada anak suai 15
bulan hingga 6 tahun (Zaviera, 2008).
Umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa
karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat
mengendalikan emosinya. Pada usia 2-4 tahun, karakteristik emosi anak
muncul pada ledakan marahnya atau temper tantrum (Hurlock, 2000).
Sikap yang ditunjukkan untuk menampilkan rasa tidak senangnya, anak
melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit,
melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas
besar lainnya (Hurlock, 2000).
Tantrum lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap sulit
dengan ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang
tidak teratur, sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru,
lambat beradaptasi terhadap perubahan, suasana hati lebih sering negative,
mudah terprovokasi, gampang merasa marah dan sulit dialihkan
perhatiannya (Zaviera, 2008).
La Forge (dalam Zaviera, 2008) menilai bahwa tantrum adalah
suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari
proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif,
dan emosi. Sebagai periode dari perkembangan, tantrum pasti akan
berakhir.
Berdasarkan teori-teori di atas disimpulkan bahwa tempertantrum
merupakan luapan emosi yang meledak-ledak akibat suasana yang tidak
menyenangkan yang dirasakan oleh anak. Ledakan emosi tersebut dapat

berupa menangis, menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling,


memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya
2. Manifestasi tantrum berdasarkan kelompok usia
Berdasarkan kelompok usia tantrum dibedakan menjadi (Zaviera, 2008):
a. Di bawah 3 tahun
Anak dengan usia di bawah 3 tahun ini bentuk tantrumnya adalah
menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, memekikmekik, melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai,
memukul-mukulkan tangan, menahan napas, membentur-benturkan
kepala dan melempar-lempar barang (Zaviera, 2008).
b. Usia 3-4 tahun
Anak dengan rentang usia antara 3 tahun sampai dengan 4 tahun
bentuk tantrumnya meliputi perilaku pada anak usia di bawah 3 tahun
ditambah

dengan

menghentak-hentakkan

kaki,

berteriak-teriak,

meninju, membanting pintu, mengkritik dan merengek (Zaviera, 2008).


c. Usia 5 tahun ke atas
Bentuk tantrum pada anak usia 5 tahun ke atas semakin meluas yang
meliputi perilaku pertama dan kedua ditambah dengan memaki,
menyumpah, memukul, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang
dengan sengaja dan mengancam (Zaviera, 2008).
Menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa stiap anak yang
setidaknya telah berusia 18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan lebih akan
menentang perintah dan menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal
ini merupakan bagian normal balita karena mereka terus menerus
mengeksplorasi dan mempelajari batasan-batasan disekelilingnya. Anak
akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan
membangkang

karena

sedang

mengembangkan

kepribadian

dan

otonominya. Tantrum juga merupakan cara normal untuk mengeluarkan


semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan
menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut :
a. Penolakan atas kontrol dalam bentuk apapun

b. Keinginan untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan


tingkah laku yang membangkang.
c. Berganti-ganti antara kemandirian dan bertingkah manja.
d. Ingin mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan
e. Pada umumnya menunjukkan tantrum.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper
tantrum, diantaranya adalah (Zaviera, 2008) :
a. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu
Anak jika menginginkan sesuatu harus selalu terpenuhi, apabila tidak
tidak berhasil terpenuhinya keinginan tersebut maka anak sangat
dimungkinkan untuk memakai cara tantrum guna menekan orangtua
agar mendapatkan apa yang ia inginkan (Zaviera, 2008).
b. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri
Anak-anak mempunyai keterbatasan bahasa, pada saatnya dirinya
ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtua pun tidak
dapat memahami maka hal ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan
terungkap dalam bentuk tantrum (Zaviera, 2008).
c. Tidak terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk
selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Apabila
suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan
mobil, maka anak tersebut akan merasa stress. Salah satu contoh
pelepasan stresnya adalah tantrum (Zaviera, 2008).
d. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan
tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapat apa yang
ia inginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak.
Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang
diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi
anak yang terlalu dan didominasi oleh orantuanya, sekali waktu anak

10

bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku


tantrum. Orangtua yang mengasuh anak secara tidak konsisten juga
bisa menyebabkan anak tantrum (Zaviera, 2008).
Pola asuh orangtua dalam hal ini sebenarnya lebih pada
bagaimana orangtua dapat memberikan contoh atau teladan kepada
anak dalam setiap bertingkah laku karena anak akan selalu meniru
setiap tingkah laku orangtua. Jika anak melihat orangtua meluapkan
kemarahan atau meneriakkan rasa frustasi karena hal kecil, maka anak
akan kesulitan untuk mengendalikan diri. Seorang anak perlu melihat
bahwa orang dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa
harus lepas kendali, dengan demikian anak dapat belajar untuk
mengendalikan diri. Orangtua jangan menghadapkan anak dapat
menunjukkan sikap yang tenang jika selalu memberikan contoh yang
buruk.
e. Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit
Kondisi sakit, lelah serta lapar dapat menyebabkan anak menjadi
rewel. Anak yang tidak pandai mengungkapkan apa yang dirasakan
maka kecenderungan yang timbul adalah rewel, menangis serta
bertindak agresif (Zaviera, 2008).
f. Anak sedang stress dan merasa tidak aman
Anak yang merasa terancam, tidak nyaman dan stress apalagi bila tidak
dapat memecahkan permasalahannya sendiri ditambah lagi lingkungan
sekitar yang tidak mendukung menjadi pemicu anak menjadi temper
tantrum (Zaviera, 2008).
Pemicu tantrum menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa :
a. Mencari perhatian
Walaupun tantrum jarang dilakukan hanya untuk memanipulasi
orangtua, jika hasil dari tantrum adalah perhatian penuh orang dewasa,
hal ini memberi alasan untuk mulai menunjukkan tantrum.

11

b. Meminta sesuatu yang tidak bisa ia miliki


Anak memaksa ingin sarapan es krim atau meminta ibunya
memeluknya saat menyiapkan makanan.
c. Ingin menunjukkan kemandirian
Anak ingin mengenakan pakaian yang kurang sesuai dengan cuaca hari
itu, seperti kaus di hari-hari yang dingin, atau tidak mau makan
makanan yang sudah disiapkan.
d. Frustasi dengan kemampuan yang terbatas untuk melakukan aktivitas
yang ia coba, anak ingin menunjukkan kemampuannya melakukan
beberapa hal sendiri, seperti berpakaian, atau menemukan potongan
puzle, tetapi tidak bisa berhasil menyelesaikannya.
e. Cemburu
Biasanya ditunjukkan kepada kakak, adik atau lain. Ia menginginkan
mainan atau buku mereka.
f. Menantang otoritas
Anak tiba-tiba tidak ingin melakukan rutinitas seperti rutinitas sebelum
tidur, atau menolak berangkat ke tempat penitipan anak, walaupun ia
selalu senang di sana.
g. Semata-mata keras kepala
Seorang anak bisa saja menunjukkan tantrum apapun yang terjadi
B. Pola Asuh Orang Tua
1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang
diterapkan pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu
kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negative
maupun positif (Drey, 2006).
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan
orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan
pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak
untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak

12

menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan


terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak.
Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan
makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi
yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Jas
& Rahmadiana, 2004).
Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara
cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya
disebut sebagai pola pengasuhan. Dalam interaksinya dengan orang tua
anak cenderung menggunakan caracara tertentu yang dianggap paling
baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola
asuh. Disuatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh apa yang
tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain
sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk
membentuk anak menjadi seseorang yang dicita citakan yang tentunya
lebih baik dari orang tuanya (Jas & Rahmadiana, 2004).
Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh
tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi :
a. Perilaku yang patut dicontoh.
Artinya setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat
mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya
akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak anaknya.
Orangtua yang tidak dapat bertindak konsisten antara apa yang
diucapkan dengan apa yang diperbuat dapat memberikan penilaian
yang negatif pada anak. Akhirnya anak akan protes yang salah satu
caranya adalah dengan bertindak temper tantrum.
b. Kesadaran diri.
Ini juga harus ditularkan pada anak anak dengan mendorong mereka
agar perilaku kesehariannya taat kepada nilainilai moral. Oleh sebab
itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan
observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun

13

non verbal tentang perilaku. Hal ini apabila tertanam dengan baik
dalam diri anak maka anak akan mengetahui dan memahami batasanbatasan yang diperbolehkan sehingga dapat meminimalisir tindakan
tantrum.
c. Komunikasi
Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anakanaknya,
terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk
memecahkan permasalahnya. Orangtua yang menerapkan pola
komunikasi yang baik dengan anak, akan membentuk hubungan yang
baik antara anak dengan orangtua. Anak yang memiliki kedekatan
emosional yang tinggi terhadap orangtua akan ada kecenderungan
untuk mengungkapkan keinginan dengan baik sehingga didapatkan
pemecahan masalah dengan baik pula. Oleh karena itu cara ini
diharapkan dapat mengurangi tindakan tantrum pada anak.
2. Bentuk Pola Asuh
Menurut Drey (2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua :
1. Pola asuh Otoriter
Para orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak
harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancamanancaman.
Misalnya kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara.
Orang tua cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila
anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka
orang tua tidak seggan menghukum anaknya. Orang tua tipe ini juga
tidak mengenal kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu
arah dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk
mengerti mengenai anaknya (Drey, 2006).
Pola asuh Otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang
penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka
melanggar norma, berkepribadian lemah dan menarik diri. Berkaitan

14

dengan perilaku gemar menentang, melanggar norma dan bertindak


agresif merupakan ciri dari temper tantrum (Drey, 2006).
Menurut Kartono (1992), ada beberapa pendekatan yang diikuti
orangtua dalam berhubungan dan mendidik anak-anaknya salah satu di
antaranya adalah sikap dan pendidikan otoriter. Pola asuh otoriter
ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam
menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap
memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah
laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua
tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus
mendidik, maka timbullah berbagai sikap orang tua yang mendidik
menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya
adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat
menimbulkan

ketegangandan

ketidaknyamanan,

sehingga

memungkinkan kericuhan di dalam rumah.


2. Pola asuh Demokratis
Pola asuh yang mempentingkan kepentingan anak, akan tetapi
tidak raguragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh
ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau
pemikiran pemikiran dan orang tua bersikap realitis terhadap
kemampuan anak, memberikan kebebasan pada anak untuk memilih
dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya pada anak bersifat
hangat (Drey, 2006).
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karekteristik anak
yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik
dengan temannya dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. Pola
asuh

demokratis

ini

membantu

anak

untuk

untuk

dapat

mengembangkan diri berdasarkan kemampuannya. Hasil dari pola


asuh ini adalah adanya kontrol diri yang bagus pada anak sehingga
dapat mengurangi temper tantrumnya.

15

Hurlock (2000) berpendapat bahwa pola asuh demokrasi adalah


salah satu tehnik atau cara mendidik dan membimbing

anak, di

mana orangtua bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang


dikemukakan anak, kemudian mendiskusikan hal tersebut bersamasama. Pola inilebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan
daripada aspek hukuman,orangtua memberikan peraturan yang luas
serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman
serta imbalan tersebut. Hurlock (2000) mengatakan bahwa pola asuh
demokrasi ditandai dengan sikap menerima, responsif, berorientasi
pada kebutuhan anak yang disertai dengan tuntutan, kontrol dan
pembatasan. Jadi penerapan pola asuh demokrasi dapat memberikan
keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang
dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan
orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan
pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada.
3. Pola asuh Permisif
Orang tua memberikan pengawasan yang sangat longgar,
memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu
tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak
menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam
bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua.
Namun orang tua tipe ini biasanya hangat sehingga sering disukai
anak.
Pola asuh Permisif akan menghasilkan karekteristik anak yang
impulsiv, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang
sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
Kecenderungan untuk mendapatkan sesuatu menjadi suatu keharusan,
sehingga apabila tidak terpenuhi maka anak akan menunjukkan
marahnya dengan temper tantrum.
Pola asuh permisif dikatakan pola asuh tanpa disiplin sama
sekali. Orangtua enggan bersikap terbukaterhadap tuntutan dan

16

pendapat yang dikemukakan anak. Menurut Kartono (1992) dalam


pola asuh permisif, orangtua memberikan kebebasan sepenuhnya dan
anak diijinkan membuat keputusan sendiri tentang langkah apa yang
akan dilakukan, orangtua tidak pernah memberikan pengarahan dan
penjelasan kepada anak tentang apa yang sebaiknya dilakukan anak.
Dalam polaasuh permisif hampir tidak ada komunikasi antara anak
dengan orangtua serta tanpa ada disiplin sama sekali.
4. Pola asuh campuran
Pola asuh campuran adalah orangtua yang tidak konsisten dalam
mengasuh anak. Orangtua terombang-ambing antara tipe demokratis,
otoriter atau permisif. Orangtua mungkin menghadapi sifat anak dari
waktu-kewaktu dengan cara berbeda, contohnya orangtua bisa
memukul anaknya ketika anak menolak perintah orangtua, pada
kesempatan lain orangtua mengabaikan anak bila anak melanggar
perintah orangtua.
3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah :
a. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman
sangat berpengaruh dalam mengasuh anak (Anwar, 2000).
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai polapola
pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya (Anwar,
2000).
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti caracara yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaankebiasaan masyarakat
disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena polapola tersebut
dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua
mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan

17

baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam


mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam
memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).
4. Cara mengukur pola asuh
Pola asuh yang dibedakan atas bentuk otoriter, demokratis dan
permisif maka cara pengukuran pola asuh didasarkan pada hasil kuesioner
yang

berisikan

tentang

penerapan

pola

asuh

orangtua.

Pengklasifikasiannya didasarkan pada kecenderungan hasil jawaban yang


mengarah pada bentuk pola asuh otoriter, demokratis atau permisif.
C. Perkembangan Anak Usia Prasekolah
1. Pengertian
Anak usia prasekolah adalah mereka yang berusia 3 6 tahun.
Mereka biasa mengikuti program prasekolah dan kinderganten.
Sedangkan di Indonesia pada umumnya mereka mengikuti program
tempat penitipan anak 3 5 tahun dan kelompok bermain atau
Play Group (usia 3 tahun), sedangkan pada anak usia 4 6 tahun
biasanya mereka mengikuti program taman kanak-kanak. (Biechler dan
Snowman dari Patmonodewo, 2003).
2. Tumbuh dan Kembang Anak
Anak merupakan individu yang unik, karena faktor bawaan dan
lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian
kemampuan perkembangan juga berbeda (Soetijiningsih, 1995).
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar,
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang
bisa diukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang
(centimeter, meter), dan ukuran tulang (Soetijiningsih, 1995).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam
struktur dan fungsi yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan
dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan yang

18

menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan


tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa,
sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya (Soetijiningsih, 1995).
Tumbuh kembang merupakan proses kontinyu sejak dari konsepsi
sampai maturasi atau dewasa yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan
lingkungan (Soetijiningsih, 1995).
Pertumbuhan adalah peningkatan jumlah dan ukuran sel pada saat
membelah diri dan mensintesis protein baru menghasilkan peningkatan
ukuran dan berat seluruh atau sebagian dari bagian sel (Wong, 2009).
Perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara bertahap
perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih rendah ke yang lebih
tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui
pertumbuhan maturasi serta pembelajaran.
Pola tumbuh kembang bersifat jelas dapat diprediksi, kontinyu,
teratur, dan progresif, pola atau kecendrungan ini juga bersifat universal
dan mendasar bagi semua individu, namun unik dalam hal cara dan
waktu pencapaiannnya.
3. Ciri-ciri Anak Prasekolah
Snowman (1993) dikutip dari Padmonodewo (2003) mengemukakan
ciri-ciri anak prasekolah meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif
anak.
a. Ciri Fisik
Penampilan atau gerak-gerik prasekolah mudah dibedakan
dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya.
1) Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah
memiliki

penguasaan

(kontrol)

terhadap

tubuhnya

dan

sangat menyukai kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri.


Berikan kesempatan kepada anak untuk lari, memanjat, dan

19

melompat. Usahakan kegiatan-kegiatan tersebut sebanyak


mungkin sesuai dengan kebutuhan anak dan selalu di bawah
pengawasan.
1) Walaupun anak laki-laki lebih besar, namun anak perempuan
lebih terampil dalam tugas yang bersifat praktis, khususnya
dalam tugas motorik halus, tetapi sebaiknya jangan mengkritik
anak lelaki apabila dia tidak terampil. Jauhkan dari sikap
membandingkan lelaki-perempuan, juga dalam kompetensi
ketrampilan.
b. Ciri Sosial
Anak prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang di
sekitarnya. Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua
sahabat yang cepat berganti. Mereka umumnya dapat cepat
menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan
teman. Sahabat yang biasa dipilih biasanya yang sama jenis
kelaminnya, tetapi kemudian berkembang menjadi sahabat yang
terdiri dari jenis kelamin yang berbeda.
c. Ciri Emosional
Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan
bebas dan terbuka, sikap marah, iri hati pada anak prasekolah sering
terjadi, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru atau orang
sekitar. Pada usia ini sudah menjadi kebiasaan anak untuk
berperilaku lebih agresif dan lemah dalam kontrol diri. Anak-anak
dengan emosional tinggi dapat menunjukkan sifatnya tersebut
dengan temper tantrum.
d. Ciri Kognitif
Anak prasekolah umumnya sudah terampil berbahasa, sebagian
besar dari mereka senang berbicara, khususnya pada kelompoknya.
Sebaliknya anak diberi kesempatan untuk menjadi pendengar yang
baik (Padmonodewo, 2003).

20

4. Tugas Tumbuh Kembang Anak


Soetijiningsih,

1995

mengemukakan

bahwa

semua

tugas

perkembangan anak usia 4-6 tahun itu disusun berdasarkan urutan


perkembangan dan diatur dalam empat kelompok besar yang disebut
sektor perkembangan yang meliputi :
1. Perilaku Sosial
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan kemandirian,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan

lingkungan misalnya,

membantu di rumah, mengambil makan, berpakaian tanpa bantuan,


menyuapi boneka, menggosok gigi tanpa bantuan, dapat makan
sendiri.
2. Gerakan Motorik Halus
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian
tubuh tertentu yang dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat misalnya menggambar garis, lingkaran dan
menggambar manusia.
3. Bahasa
Kemampuan

yang

memberikan

respon

terhadap

suara,

mengikuti perintah, misalnya bicara semua dimengerti, mengenal


dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil).
4. Gerakan Motorik Kasar
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh,
misalnya berdiri dengan satu kaki, berjalan naik tangga dan
menendang bola ke depan.
5. Faktor yang mempengaruhi perkembangan
1. Keturunan
Karakteristik yang diturunkan mempunyai pengaruh besar
pada perkembangan jenis kelamin anak, yang ditentukan oleh seleksi
acak pada waktu konsepsi, mengarahkan pola pertumbuhan dan
perilaku orang lain terhadap anak. Jenis kelamin dan determinan

21

keturunan lain secara kuat mempengaruhi hasil akhir pertumbuhan


dan laju perkembangan untuk mendapatkan hasil akhir tersebut.
Terdapat hubungan yang besar antara orang tua dan anak dalam hal
sifat seperti tinggi badan, berat badan dan laju pertumbuhan.
Kebanyakan karakteristik fisik, termasuk pola dan bentuk gambaran,
bangun

tubuh

dan

keganjilan

fisik

diturunkan

dan

dapat

mempengaruhi cara pertumbuhan dan integrasi anak dengan


lingkungan (Soetjiningsih, 1995).
2. Faktor Neuroendoktrin
penelitian

menunjukan

kemungkinan

adanya

pusat

pertumbuhan dalam region hipotalamik yang bertanggungjawab


untuk mempertahankan pola pertumbuhan yang ditetapkan secara
genetic.

Beberapa

hubungan

fungsional

diyakini

diantara

hipotalamus dan system endokrin yang mempengaruhi pertumbuhan.


3. Nutrisi
Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling
penting pada pertumbuhan. Faktor diit mengatur pertumbuhan pada
semua tahap perkembangan dan efeknya ditunjukan pada cara yang
beragam dan rumit, selama masa bayi dan kanak-kanak. Kebutuhan
kalori relative besar dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat
badan (Soetjiningsih, 1995).
4. Hubungan interpersonal
Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran penting
dalam perkembangan terutama dalam perkembangan emosi,
intelektual dan kepribadian, terutama dalam perkembangan emosi,
intelektual dan kepribadian tidak hanya kualitas dan kuantitas kontak
dengan orang lain yang memberi pengaruh pada anak yang sedang
berkembang

tetapi

luasnya

rentang

kontak

penting

pembelajaran dan perkembangan kepribadian yang sehat.

untuk

22

5. Tingkat Sosioekonomi
Tingkat

sosioekonomi

keluarga

mempunyai

dampak

signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia


anak dari kelas atas dan menengah mempunyai tinggi lebih dari anak
keluarga dengan strata ekonomi rendah. Keluarga dari sosioekonomi
rendah kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang
diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi
dan kaya nutrisi yang membantu perkembangan optimal anak.
6. Penyakit
Perubahan pertumbuhan dan perkembangan adalah satu
menifestasi klinis dalam sejumlah gangguan hereditas. Gangguan
pertumbuhan terutama terlihat pada gangguan skeletal, seperti
berbagai bentuk duarfisme dan sedikitnya satu anomaly kromosom
(sindrom turner) banyak gangguan metabolisme seperti riketsia
resisten-vitamin D, mukopoli sekaridosis, dan berbagai gangguan
lain, kecendrungannya adalah kearah persentil atas tinggi badan.
Gangguan apapun yang dicirikan dengan ketidakmampuan untuk
mencerna dan mengabsorsi nutrisi tubuh akan memberi efek
merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan
7. Bahaya Lingkungan
Bahaya dilingkungan adalah sumber kekawatiran pemberi
asuhan kesehatan dan orang lain yang memperhatikan kesehatan dan
keamanan cedera fisik paling sering terjadi akibat bahaya
lingkungan, dan berkaitan dengan usia bahaya khusus dan
ketidakmampuan fisik (Soetjiningsih, 1995).
Anak beresiko tinggi mengalami cedera akibat resiko kimia
dan ini berhubungan dengan potensi kardiogenik, efek enzimatik dan
akumulasi (Baum dan Shannon, 1995). Agens berbahaya yang paling
sering dikaitkan dengan resiko kesehatan adalah bahan kimia dan
radiasi.

23

8. Stress pada masa kanak-kanak


Meskipun semua anak mengalami stres beberapa anak muda
tampak lebih rentan dibanding yang lain. Usia anak temperamen
situasi hidup dan status kesehatan mempengaruhi kerentanan reaksi
dan kemampuan mereka mengatasi stres. Orang tua dapat mencoba
untuk mengenali tanda stres untuk membantu anak mengahadapi
stres sebelum menjadi berat (Soetjiningsih, 1995).
9. Pengaruh media massa
Media dapat memberi pengaruh besar pada perkembangan
anak, media memberi anak suatu cara untuk memperluas
pengetahuan mereka tentang dunia tempat mereka hidup dan
berkontribusi untuk mempersempit perbedaan antar kelas. Anak
dapat mengidentifikasi secara dekat orang atau karakter yang
digambarkan dalam materi bacaan, film, video dan program televisi
serta iklan (Soetjiningsih, 1995).

24

D. Kerangka teori
Terhalang
keinginan
Pola asuh orang tua
- Demokratis
- Otoriter
- Permisif

Ketidakmampuan
mengungkapkan
diri
Tidak terpenuhinya
kebutuhan
Lelah, lapar dan
sakit
Stress dan merasa
tidak aman
Mencari perhatian
Ingin menunjukkan
kemandirian
Cemburu
Semata-mata keras
kepala

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Zaviera, 2008, Drey, 2006

Temper tantrum

25

E. Kerangka konsep
Variabel bebas

Variabel terikat

Pola asuh orang


tua

Temper tantrum

Gambar 2.2 Kerangka konsep


F. Variabel penelitian
1. Variabel bebas (Independen variable) dalam penelitian ini adalah pola
asuh orangtua.
2. Variabel terikat (dependen variable) dalam penelitian ini adalah temper
tantrum.
G. Hipotesis penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh
orangtua dengan temper tantrum pada anak di RA. Masysitoh Bustanul Athfal.

Anda mungkin juga menyukai