Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

GANGGUAN PERTUMBUHAN
PADA ANAK DENGAN THALASSEMIA

Disusun Oleh :

dr. Agustina Fajarini

Pembimbing :

dr. Nyayu Fatimah Desi, Sp.A

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT DAERAH LAHAT
SUMATERA SELATAN
2012

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul :

Gangguan Pertumbuhan
pada Anak dengan Thalassemia

Disusun oleh:
dr. Agustina Fajarini

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat selama mengikuti Program
Dokter Internship di Rumah Sakit Umum Daerah Lahat
periode 6 Februari 2012 5 Februari 2013

Lahat, November 2012


Mengetahui,

dr. Nyayu Fatimah Desi, Sp.A

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................ii
DAFTAR ISI

..........................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II. LAPORAN KASUS..........................................................................................3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................10
A. Definisi.......................................................................................................10
B. Etiologi........................................................................................................10
C. Epidemiologi...............................................................................................11
D. Klasifikasi...................................................................................................11
E. Manifestasi Klinik.......................................................................................14
F. Penatalaksanaan...........................................................................................15
Bab IV. ANALISIS KASUS.........................................................................................19
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
Thalassemia

adalah

suatu

penyakit

dengan

gangguan

pembentukan

hemoglobin herediter. Pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika serikat


dan Italia sekitar tahun 1925-1927. Kata thalassemia dimaksudkan untuk mengaitkan
penyakit tersebut dengan penduduk Mediterania dimana dalam bahasa Yunani thalasa
berarti laut1.
Thalassemia dan penyakit gangguan hemoglobin lainnya merupakan
kelompok penyakit kelainan genetik yang banyak ditemukan di seluruh dunia.
Penyakit-penyakit ini terutama sering dijumpai pada penduduk di Asia Tenggara, Asia
Selatan, Timur Tengah dan daerah Mediterania. Penderita yang terkena akan memiliki
gejala utama berupa anemia dengan berbagai derajat keparahan2.
Etiologi yang menjadi dasar terjadinya thalassemia adalah kelainan genetik
yang diturunkan secara autosomal resesif. Defek genetik ini akan mempengaruhi
proses pembentukan molekul hemoglobin dalam darah sehingga hemoglobin yang
dihasilkan tidak optimal selain sel darah merah yang terbentuk juga mudah
mengalami kerusakan. Jenis anemia pada penyakit ini adalah anemia hemolitik yang
pada kasus berat dapat bermanifestasi sebagai splenomegali, ikterik pada sklera
maupun kulit dan gangguan tulang-tulang pipih tubuh akibat hematopoiesis
ekstramedularis yang memberikan gambaran khas facies cooley pada penderita
thalasemia mayor3.
Dalam 30 tahun terakhir ini pula, telah terjadi perkembangan yang bermakna
dalam diagnosis dan penatalaksanaan berbagai penyakit termasuk talasemia.
Peningkatan kebersihan dan pelayanan kesehatan menyebabkan penyakit infeksi dan
malnutrisi berkurang. Bayi-bayi yang lahir dengan kelainan darah yang dahulu sering
meninggal dalam usia kurang dari satu tahun kini sebagian besar selamat dan
memerlukan

diagnosis

dan

penatalaksanaan

lebih

lanjut.

Oleh

karenanya

permasalahan baru yang muncul terkait meningkatnya angka harapan hidup pun
menjadi hal baru dalam perkembangan penyakit-penyakit kronis seperti talasemia1.
Diantaranya terkait perkembangan thalasemia pada anak adalah adanya faktor
risiko terjadinya gangguan pertumbuhan pada penderitanya. Anak-anak dengan
thalasemia mayor sering didapatkan juga mengalami gangguan pertumbuhan,
perawakan pendek, status gizi yang kurang bahkan buruk serta adanya keterlambatan
perkembangan seksual2,4.
Aspek ini penting mengingat faktor gangguan fisik yang timbul akibat
komplikasi ini dapat pula mempengaruhi kualitas hidup penderita thalasemia
sehingga kajian lebih lanjut mengenai gangguan pertumbuhan pada penderita
talasemia perlu untuk terus dikembangkan.

BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identifikasi
Nama

An. R

Umur

3 tahun 3 bulan

Jenis Kelamin

Perempuan

Agama

Islam

Bangsa

Indonesia

Alamat

Talang Jawa Lahat

Pasien rawat inap bangsal anak pada tanggal 9-12 September 2012
B. Anamnesis
(Alloanamnesis dengan ibu penderita tanggal 11 September 2012)
Keluhan utama

: Badan pucat

Keluhan tambahan

: Badan lemas

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak sekitar 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien tampak pucat.
Badan tampak lemas dan mudah lelah. Perut pasien juga dirasakan semakin
membesar dan terasa penuh. Pasien juga sering mengeluh nyeri pada tulang.
Memar-memar tanpa sebab yang jelas, mimisan dan bintik-bintik merah spontan di
kulit tidak ada. Sering demam tanpa sebab yang jelas disangkal. Mata tampak
kuning tidak ada.
Sekitar 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien tampak semakin
pucat dan lemas. Nafsu makan menurun. Pasien tampak rewel dan gelisah.

Sejak sekitar 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien menjadi semakin
lemas dan mudah lelah.
Pasien juga mengalami demam, tidak terlalu tinggi, dirasakan terus
menerus dan tidak menggigil. Pasien juga mengalami batuk berdahak. Nyeri
tenggorokan ada sulit menelan tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. Bintik-bintik
merah spontan di kulit tidak ada. Mimisan dan gusi berdarah tidak ada. BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Pasien hanya dikompres dengan air hangat untuk
menurunkan demam.
Pasien kemudian dibawa berobat ke UGD RSUD Lahat.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Riwayat transfusi darah sebanyak 21 kali karena Hb rendah, transfusi

pertama usia 5 bulan


Didiagnosis menderita Thalassemia dengan pemeriksaan laboratorium Hb

elektroforesis pada tahun 2012


Riwayat menerima terapi kelasi besi disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga dari pihak ayah dan ibu disangkal
Riwayat keluarga

D/
wiraswasta

Saudar
aPend
erita

Y/ IRT

Pend
erita

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan

aterm dari ibu G2P1A0

Partus

spontan

Ditolong oleh

bidan

Berat badan

3000 gram

Tinggi badan

35 cm

Keadaan saat lahir

langsung menangis

Riwayat KPSW (-), riwayat ketuban kental, hijau dan bau (-)
Riwayat Makanan
ASI

: 0 - 2 minggu

Susu formula

: 0 - sekarang

Bubur susu

: 4 - 6 bulan

Nasi tim

: 6 bulan 12 bulan

Nasi biasa

: 1 tahun sekarang ( 2-3 porsi/hari, lauk pauk lengkap)

Riwayat Perkembangan Fisik


Berbalik

: 3 bulan

Tengkurap

: 5 bulan

Duduk

: 6 bulan

Merangkak

: 8 bulan

Berbicara

: 12 bulan

Berdiri

: 12 bulan

Berjalan

: 16 bulan

Kesan : dalam batas normal

Riwayat vaksinasi
BCG

(+)

DPT

lengkap (DPT I-III)

Polio

lengkap ( polio I-IV)

Hepatitis B

lengkap ( Hepatitis I-III)

Campak

(+)

Kesan

imunisasi dasar lengkap

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum

: tampak sakit berat

Kesadaran

: compus mentis

Nadi

: 110 kali/menit, isi dan tegangan cukup

Pernapasan

: 24 kali/menit

Suhu

: 37,3 C

Berat badan

: 10 Kg

Tinggi badan

: 85 cm

Keadaan gizi

: BB/U = 10/14 x 100%

= 71,4%

TB/U = 85/95 x 100% = 89,5%


BB/TB = 10/12 x 100% = 83,3%
Kesan :
Berdasarkan BB/TB tergolong gizi kurang ringan
TB < persentil 3 tergolong perawakan pendek
Keadaan Spesifik
Kulit
Turgor baik, anemia (+), ikterus tidak ada, sianosis tidak ada.
Kepala
Bentuk

: bulat, simetris. Facies cooley (+), tulang pipi menonjol (+),


Jarak kedua mata agak jauh (+), frontal bossing (+), rodent
like mouth (+).

UUB

: cekung (-)

Rambut

: hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: kelopak mata cekung (-), air mata (+/+), konjungtiva anemis


(+/+), sklera tidak ikterik, refleks cahaya (+/+) normal, pupil
bulat, isokor 2 mm, bitot spot tidak ada, xeroptalmia tidak
ada, keratomalasia tidak ada

Hidung

: sekret tidak ada, nafas cuping hidung (-)

Telinga

: sekret tidak ada

Mulut

: bibir kering tidak ada, stomatitis angularis tidak ada, atrofi


papil lidah tidak ada

Tenggorokan

: tonsil T1-T1, faring hiperemis (+)

Leher

: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tekanan


vena jugularis tidak meningkat

Thoraks
Paru-paru
Inspeksi

: statis dinamis simetris, retraksi (-)

Palpasi

: stemfremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: vesikuler (+) normal, ronki (-/-), wheezing tidak ada

Jantung
Inspeksi

: pulsasi, iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: thrill tidak teraba

Perkusi

: batas kanan linea midsternalis, batas kiri linea


midclavicularis sinistra

Auskultasi

: HR 110 x/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak ada

Abdomen
Inspeksi

: datar

Palpasi

: lemas, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costa dan lien

teraba schuffner 3, turgor kembali cepat


Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
Ekstremitas
Akral dingin (-/-), edema tidak ada, sianosis (-/-)
D. Diagnosis Kerja
Thalassemia + Perawakan Pendek + faringitis akut
E. Pemeriksaan Penunjang

Darah rutin (9 September 2012)


Hb
: 6,8 g/dl
Hct
: 16,9 %
MCV : 63,8 fl
MCH : 25,8 pg
MCHC: 40,4 %
PLT : 120.000 /mm
WBC : 6.900 /mm
RDW : 11,9 %
Golongan darah
:O
DDR
: (-) negatif

Hb Elektroforesis (3 Januari 2012)


HbA2 : 3,1%
HbF : 16,9%

F. Penatalaksanaan

Diet BB

IVFD D5 gtt X/menit (makro)

Injeksi ceftriaxone 1x1 gram i.v (skin test)

Paracetamol sirup 3x150mg

Ambroxol sirup 3x5mg

Transfusi PRC 2x80 cc, injeksi furosemid 10 mg i.v post transfusi

G. Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Thalassemia merupakan suatu kelompok anemia hemolitik herediter yang


terjadi karena adanya mutasi pada gen globin atau penyusun hemoglobin.
Pada penyakit ini terjadi kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun
molekul globin dalam hemoglobin sehingga terbentuk molekul hemoglobin yang
abnormal2,3.
Penyakit genetik ini diturunkan secara autosomal resesif menurut hukum
Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit thalassemia meliputi suatu
keadaan penyakit dari gelaja klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang
disebut thalassemia minor atau thalassemia trait (carrier = pengemban sifat)
hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalassemia mayor.
Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tua yang mengidap penyakit
thalassemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang tua yang
mengidap penyakit thalassemia2.
B. Etiologi
Thalasemia terjadi akibat adanya defek genetik yang dapat berupa delesi
total atau parsial gen rantai globin pada hemoglobin. Akibat dari berbagai
perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu atau lebih
rantai globin atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional. Akibatnya
adalah penurunan atau supresi total sintesis rantai polipeptida. Penderita
thalassemia memiliki hemoglobin yang kurang dan sel darah merah yang lebih
sedikit dari orang normal yang akan menghasilkan suatu keadaan anemia ringan
sampai berat3.
C. Epidemiologi
Gen thalasemia sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan
penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi
daerah-daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, Timur
Tengah, subbenua India dan Asia Tenggara. Dari 3% sampai 8% orang amerika

keturunan italia atau yunani dan 0,5% dari kulit hitam membawa gen untuk
thalassemia-2,3.
Thalasemia 0 ditemukan terutama di Asia Tenggara dan Kepulauan
Mediterania. Thalasemia + tersebar di Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India
dan Asia Tenggara. Angka carrier-nya mencapai 40-80%. Thalasemia memiliki
distribusi yang sama dengan thalasemia dengan pengecualian di beberapa
negara. Frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di Mediterania dan bervariasi di
Timur Tengah, India dan Asia Tenggara1.
D. Klasifikasi
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalasemia dan ,
sedangkan secara klinis dibedakan atas thalasemia mayor dan minor.
Hemoglobin terdiri dari dua jenis rantai protein rantai globin dan rantai
globin. Jika masalah ada pada globin dari hemoglobin, hal ini disebut
thalassemia . Jika masalah ada pada globin hal ini disebut thalassemia .
kedua bentuk dan mempunyai bentuk dari ringan atau berat. Bentuk berat
dari thalassemia sering disebut anemia Cooleys.

Thalassemia
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin
banyak ditemukan di Afrika, negara di bagian Mediterania dan sebagian
besar Asia. Delesi gen globin menyebabkan sebagian besar kelainan ini.
Terdapat empat gen globin pada individu normal dan empat bentuk
thalassemia yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi pada satu,
dua, tiga atau semua empat gen ini3.
o Delesi gen globin tunggal menyebabkan silent carrier thalassemia .
Biasanya tidak ada abnormalitas hematologi yang nyata kecuali

mikrositosis ringan. Kira-kira 25% orang Amerika-Afrika mempunyai


bentuk thalassemia ini
o Individu yang kekurangan dua gen globin menunjukkan gambaran
carrier thalassemia dengan anemia mikrositik ringan. Pada bayi baru
lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (4) dapat ditemukan pada
elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan Hb Barts tidak lagi terlihat dan
kadar Hb A2 dan Hb F secara khas normal.
o Delesi tiga dari empat gen globin dikenal dengan penyakit Hb H.
Anemia mikrositik pada kelainan ini disertai dengan morfologi eritrosit
yang abnormal, dengan inklusi nyata interseluler tampak dalam eritrosit
setelah pewarnaan pada pemeriksaan apusan darah. Hb H (4) sangat
tidak stabil dan dengan mudah dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
elektroforesis.
o Bentuk thalassemia yang paling berat disebabkan karena delesi semua
gen globin , disertai dengan tidak adanya sintesis rantai globin .
Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai maka
tidak satupun dari Hb ini yang terbentuk. Hb Barts (4) merupakan
sebagian besar Hb yang terdapatpada bayi yang menderita dan karena
bentuk Hb ini memiliki afinitas yang tinggi terhadap oksigen maka akan
menyebabkan keadaan hipoksia berat. Kebanyakan dari bayi yang
menderita delesi empat gen globin ini lahir mati dan kebanyakan dari
bayi yang lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam dengan
gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat dikenal dengan

hydrops fetalis2,3.
Thalassemia
Jenis thalassemia ini terjadi akibat defek pada salah satu atau kedua
gen globin yang mengatur produksi rantai globin pada hemoglobin.
Untuk menandai tingkat kemampuan ekspresi gen globin tersebut
diberikan tanda penunjukan huruf di atas (superscript) yang menyatakan

produksi yang menurun dengan lambang + atau tidak ada sama sekali
dengan lambang 0.
o Thalassemia 0 homozigot
Dikenal dengan Thalassemia mayor atau anemia Cooley. Biasanya
menunjukkan gejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif
selama 6 bulan kedua kehidupan. Transfusi darah reguler sangat
diperlukan pada penderita ini untuk mencegah anemia berat dan gagal
jantung. Tanpa transfusi harapan hidup tidak lebih dari beberapa tahun.
Kelainan morfologi sel darah merah selain menunjukkan gambaran
mikrositik hipokromik dapat pula ditemukan gambaran poikilositosis
yang terfragmentasi dan sel target. Gambaran biokimiawi pada Hb
elektroforesis adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam darah.
o Thalassemia + homozigot
Menghasilkan sindrom seperti anemia Cooley namun ringan
(Thalassemia

intermediate).

Deformitas

skletal

dan

hepatosplenomegali dapat timbul dengan kadar Hb biasanya bertahan 6-8


g/dL tanpa transfusi.
o Thalassemia heterozigot (/ +) atau (/ 0)
Dikenal dengan thalassemia trait atau thalassemia minor. Biasanya
terkait dengan anemia ringan. Kadar Hb khas 2-3 g/dL lebih rendah dari
nilai normal menurut umur. Eritrosit dengan gambaran mikrositik
hipokromik, poikilositosis dan sering bintik-bintik basofil serta mungkin
ditemukan sel target. Penurunan masa hidup eritrosit bisa terjadi namun
tanda-tanda hemolisis biasanya tidak ada.
Jenis thalassemia ini sering dikelirukan dengan anemia defisiensi besi.
Lebih dari 90% individu dengan thalassemia trait memiliki
peningkatan kadar Hb A2 yang berarti (3,4-7%). Kira-kira 50% dari
individu ini juga memiliki sedikit kenaikan Hb F, sekitar 2-6%3.
Jika dua orang tua dengan thalassemia trait mempunyai seorang
bayi, salah satu dari tiga hal dapat terjadi :

o Bayi bisa menerima dua gen normal (satu dari masing-masing


orangtua) dan mempunyai darah normal (25 %).
o Bayi bisa menerima satu gen normal dan satu varian gen dari
orangtua yang thalassemia trait (50%).
o Bayi bisa menerima dua gen thalassemia (satu dari masing-masing
orangtua) dan menderita penyakit bentuk sedang sampai berat (25%).
E. Manifestasi klinik
Keluhan yang dirasakan penderita umumnya adalah gejala dari anemia
berupa anak pucat, lemah, mudah lelah, sering berdebar, sakit kepala, sering
terasa ngilu/sakit di tulang, gangguan pertumbuhan dan adanya riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga5,6.
Pada

anak

yang

mendapat

cukup

transfusi,

pertumbuhan

dan

perkembangannya biasanya normal dan splenomegali biasanya tidak ada. Bila


terapi kelasi efektif, penderita bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia
dewasa secara normal. Bila terapi kelasi tidak adekuat secara bertahap akan
terjadi penumpukan zat besi. Efeknya akan mulai tampak pada akhir dekade
pertama. Adolescent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi hati, endokrin
dan jantung akibat kelebihan zat besi akan mulai tampak termasuk diabetes,
hipertiroid, hipoparatiroid dan kegagalan hati progresif. Tanda-tanda seks
sekunder akan terlambat atau tidak timbul1.
Gambaran klinis pasien yang tidak mendapat transfusi adekuat akan
berbeda.

Pertumbuhan

dan

perkembangannya

akan

sangat

terlambat.

Splenomegali yang progresif sering memperburuk anemia dan kadang-kadang


diikuti

oleh

trombositopenia.

Terjadi

perluasan

sumsum

tulang

yang

mengakibatkan deformitas tulang kepala dengan zygomatikus menonjol yang


memberikan gambaran khas mongoloid. Ditambah dengan frontal bossing, mulut
tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi yang dikenal
dengan sebutan facies Cooley

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb yang rendah,


retikulosit meningkat, blood film adanya anisositosis, poikilositosis, hipokromik,
mikrositik, basophilic stripling, polikromasi dan sel target. Kadar MCV, MCH,
dan MCHC rendah namun ditemukan adanya peningkatan RDW. Hb
elektroforesis dapat ditemukan Hb abnormal seperti Hb F, Hb H, Hb Barts atau
peningkatan Hb A22.
Pemeriksaan radiologis akan menunjukkan gambaran osteoporosis serta
korteks tulang menipis akibat medulla yang melebar pada tulang-tulang panjang.
Pada tulang tengkorak tampak atap tulang tengkorak yang menebal, kadangkadang tampak hair brush appearance1,5.
F. Penatalaksanaan
a. Promotif:
- Edukasi terhadap pasien Thalasemia trait mengenai resiko yang terjadi
jika menikah dengan sesama penderita Thalasemia baik mayor ataupun
minor.
- Anjuran untuk melakukan konseling genetik pra-nikah.
b. Preventif
- Primer: Konseling genetik pra-nikah dengan Screening Carrier.
- Sekunder:
Konsultasi genetik jika ingin mempunyai anak.
Diagnosis prenatal dengan cara :
- Analisis sintesis globin in vitro (Chorionic villy sampling).
- Analisis DNA (PCR)
c. Kuratif
- Non medikamentosa: Konsumsi protein lengkap (protein hewani)
- Medikamentosa:
Simptomatik
- Transfusi darah
Diberikan packed red cell (PRC) 10-15 cc/kgbb dengan tujuan
agar anak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan
mempertahankan kadar Hb di atas 6-8 g/dL. Terapi
hipertransfusi (mempertahankan kadar Hb diatas 10 g/dL)
dapat pula digunakan untuk mencegah spelomegali masif

akibat eritropoiesis ekstramedular selain masalah kosmetik


progresif
-

terkait

perubahan

tulang-tulang

wajah

dan

meminimalkan dilatasi jantung serta osteoporosis3,5.


Pemberian iron chelating agent pada peningkatan Fe setelah
transfusi untuk menghindari hemosiderosis.
Terapi transfusi jangka panjang akan

menyebabkan

penumpukan Fe dalam tubuh (hemosiderosis) karena tiap


500mL darah membawa sekitar 200mg Fe ke jaringan yang
tidak dapat diekskresikan secara fisiologis.

Hal ini dapat

dicegah dengan pemberian iron chelating agent, desferoksamin


atau desferal, yang membentuk kompleks Fe yang dapat
diekskresikan ke urin.
Terapi kelasi Fe ini dapat dimulai jika kadar ferittin 1.000
ng/ml atau bila pemeriksaan ferittin tidak tersedia dapat
digantikan dengan pemeriksaan saturasi transferin 55%. Bila
tidak memungkinkan dilakukannya pemeriksaan laboratorium
maka digunakan kriteria sudah menerima 3-5 liter atau 10-20
kali transfusi PRC. Dapat pula ditentukan dengan mengukur
Liver Iron Concentration (LIC) melalui biopsi hati. Kadar LIC
lebih dari 3.000 g/mL diindikasikan untuk mulai memberikan
terapi kelasi Fe.
Kadar desferoksamin darah yang dipertahankan tinggi penting
untuk ekskresi Fe yang memadai. Untuk dewasa dan anak-anak
3 tahun diberikan 30-50mg/kgbb/hari subkutan dalam jangka
8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil / syringe
pump, 5-6 kali/minggu.

Anak < 3 tahun diberikan 15-25

mg/kgbb/hari dengan pengawasan ketat (efek samping :


gangguan pertumbuhan).
Pasien-pasien yang tidak

patuh

atau

menolak

rutin

menjalankan terapi kalasi besi ini dapat diberikan deferiprone /

L1 sebanyak 75-100 mg/kgbb/hari, 3 kali/hari sesudah makan


atau deferasirox / ICL 670 20-30 mg/kgbb/hari, 1 kali/hari.
Sedangkan untuk pasien dengan kadar ferittin > 3.000 ng/ml
yang bertahan minimal 3 bulan disertai adanya kardiomiopati
akibat kelebihan besi dapat diterapi dengan terapi kombinasi
desferoksamin dan deferiprone.
Penderita yang menerima terapi kelasi besi ini dapat
mempertahankan kadar ferritin serum kurang dari 1.000 ng/mL
(di bawah kadar toksik). Komplikasi siderosis jantung dan hati
-

dengan demikian dapat secara nyata dicegah atau ditunda. 2,3,5.


Apabila terdapat hipersplenisme dilakukan splenektomi.
Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah
sampai 30% pada pasien yang indeks transfusinya lebih dari
200ml/kg/tahun. Karena adanya risiko infeksi, splenektomi

sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun5.


Kausatif
Pada kasus thalassemia mayor dengan kadar Hb rendah kurang
dari 7 g/dL dan hematokrit kurang dari 20% dapat dilakukan
Allogeneic hematopoietic stem cell transplantation dengan
syarat kecocokan HLA donor2,3.
Supportif : Vit C, untuk antioksidan. Asam folat 2x5 mg/hari,
vitamin E IU/hari, aspilet 80 mg jika trombosit > 600.000/l6.

BAB IV
ANALISIS KASUS

An. R, perempuan, usia 3 tahun 3 bulan, datang dibawa oleh orang tuanya
berobat ke UGD RSUD Lahat dengan keluhan badan pucat sejak 1 bulan SMRS.
Keluhan lain yang dirasakan adalah adanya badan lemas dan mudah lelah. Perut
pasien dirasakan semakin membesar dan terasa penuh. Pasien juga sering mengeluh
nyeri pada tulang. Memar-memar tanpa sebab yang jelas, mimisan dan bintik-bintik
merah spontan di kulit disangkal. Riwayat mudah demam tanpa sebab yang jelas juga
disangkal. Mata tampak kuning juga disangkal. Semua keluhan ini semakin lama
dirasakan pasien semakin memberat.
Sejak 2 hari SMRS, pasien juga mengalami demam yang tidak terlalu tinggi,
dirasakan terus menerus dan tidak menggigil. Pasien juga mengalami batuk berdahak.
Nyeri tenggorokan ada namun sulit menelan tidak ada. Mual dan muntah disangkal.
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Berdasarkan anamnesis dan keluhan utama, dapat diperkirakan bahwa pasien
mengalami gejala-gejala anemia yakni badan pucat, lemas dan mudah lelah.
Ditambah dapat dipikirkan adanya anemia dengan organomegali berdasarkan keluhan
perut pasien yang membesar dan terasa penuh. Nyeri tulang yang dirasakan pasien

juga dapat dihubungan dengan gejala anemianya sebagai tanda adanya peningkatan
aktivitas hematopoietik ditulang-tulang panjang pasien. Tidak adanya keluhan mudah
memar, mimisan atau bintik merah spontan di kulit (petechie) serta riwayat mudah
demam tanpa sebab yang jelas dapat digunakan untuk mulai menyingkirkan
kemungkinan anemia aplastik dimana selain terdapat gejala anemia juga akan
ditemukan gejala-gejala trombositopenia dan

leukopenia. Kemungkinan

pasien

menderita anemia hemolitik belum dapat disingkirkan hanya berdasarkan tidak


adanya keluhan mata kuning karena gejala klinis kuning mungkin belum muncul
terkait kadar bilirubin dalam darah. Kemungkinan menderita anemia terkait faktor
gizi seperti defisiensi Fe atau vitamin B12 juga belum dapat disingkirkan meskipun
pada anamnesis mengenai riwayat pola makan pasien dapat tergolong cukup baik.
Keluhan demam yang dirasakan pasien kemungkinan terkait adanya infeksi lain yang
terjadi pada pasien.
Alloanamnesis lebih lanjut pada ibu pasien didapatkan bahwa pasien memang
telah sering menerima transfusi darah (sebanyak 21 kali sejak usia 5 bulan).
Diketahui pula pasien telah terdiagnosis mengalami thalassemia dengan hasil
pemeriksaan Hb elektroforesis dengan peningkatan kadar Hb F (16,9%) dan Hb A2
(3,1%). Riwayat menerima terapi kelasi besi disangkal.
Dengan riwayat demikian maka dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini
mengalami anemia e.c thalassemia. Meskipun pada riwayat penyakit dalam keluarga,
keluarga pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang memliki penyakit serupa
ataupun anggota keluarga yang mengalami gejala-gejala anemia. Perlu dilakukan
identifikasi lebih lanjut mengingat thalassemia merupakan penyakit herediter yang
diturunkan secara autosomal resesif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat.
Pasien tampak lemas dan pucat. Ditemukan pula konjungtiva anemis (+/+) yang
bersesuaian dengan keadaan anemia yang diderita pasien. Vital sign pasien
didapatkan masih dalam batas normal. Pemeriksaan tenggorkan ditemukan faring

hiperemis (+) dgn Tonsil normal T1/T1 yang dapat mendukung adanya faringitis akut
pada pasien sebagai penyebab demam.
Pemeriksaan spesifik pada kepala ditemukan thalassemic face atau facies
cooley yang khas yaitu berupa frontal bossing, batang hidung melesak ke dalam,
tulang pipi menonjol, jarak kedua mata berjauhan seperti mongolid, mulut menonjol
(rodent like mouth), bibir agak tertarik dan maloklusi gigi. Hal ini disebabkan oleh
tulang pipih seperti tulang wajah adalah tempat untuk memproduksi erirosit sehingga
tulang wajah seorang anak yang menderita thalassemia dapat berubah akibat sumsum
tulang bekerja keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.Selain itu pada pasien
ini juga ditemukan hepatosplenomegali (hepar teraba 2 jari di bawah arcus costa dan
lien teraba schuffner 3) yang disebabkan oleh destruksi eritrosit secara masif.Temuan
pemeriksaan hepatosplenomegali ini cocok dengan keluhan pasien yang menyatakan
perut membesar dan terasa penuh.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb pasien adalah sebesar
6,8 g/dl. Hasil ini berdasarkan kriteria WHO 2001 telah dapat digolongkan sebagai
anemia dimana nilai normal Hb anak umur 6-59 bulan adalah 11,0 g/dl, sedangkan
untuk Hb < 7 g/dl tergolong sebagai anemia berat7. Nilai MCV, MCH dan MCHC
pada pemeriksaan darah pasien juga mengalami penurunan, hal ini sesuai mengingat
pada pasien thalassemia memang terjadi anemia dengan jenis mikrositik hipokromik.
Nilai-nilai laboratorium lain masih dalam batas normal. DDR (-) sehingga penyebab
demam karena malaria dapat disingkirkan.
Lebih lanjut An. R yang datang berobat ke IGD RSUD Lahat dengan
diagnosis thalassemia ini setelah dilakukan penilaian status pertumbuhan dengan
mengukur TB sewaktu, didapatkan TB pasien ternyata berada < persentil 3 sehingga
pasien tergolong sebagai perawakan pendek. Batas persentil 3 ukuran TB untuk anak
perempuan usia 39 bulan adalah 88cm sedangkan TB pasien adalah 85 cm. Untuk
status gizi berdasarkan BB menurut TB didapatkan bahwa pasien berada pada status
gizi kurang derajat ringan dimana persentase BB/TB pasien adalah 83,8% dengan
rujukan nilai normal status gizi BB/TB > 90%8.

Gangguan pertumbuhan anak dengan thalassemia dapat terjadi dengan


manifestasi laju pertumbuhan linier yang kurang, perawakan pendek dan delayed
bone age (retardasi usia tulang)9. Pada pasien ini laju pertumbuhan linier tidak dapat
diukur mengingat untuk menilainya diperlukan penilaian TB minimal 2 kali dengan
jarak 6 bulan. Hal ini tidak bisa dilakukan mengingat keterbatasan waktu. Penentuan
usia tulang untuk menilai ada tidaknya retardasi usia tulang juga tidak dapat
dilakukan. Pada pasien ini hanya dilakukan penilaian status pertumbuhan dengan
mengukur TB sewaktu untuk menilai perawakan anak. Didapatkan pasien tergolong
berperawakan pendek (short stature) yang sesuai dengan gejala gangguan
pertumbuhan.
Secara teori diperkirakan memang terdapat hubungan antara thalassemia
dengan gangguan pertumbuhan. Diduga anak dengan thalassemia akan mengalami
gangguan dalam proses pertumbuhannya4 selain juga diperkirakan terdapat gangguan
proses kematangan seksualnya10.
Sebelum dikembangkannya teknik hipertransfusi dan penggunaan kelasi besi,
diperkirakan anemia dengan hipoksia kronis serta kadar besi serum yang tinggi
(hemosiderosis) merupakan penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak
dengan thalassemia4. Beberapa hal lain yang diperkirakan pula menjadi penyebab
ganggguan pertumbuhan dan kematangan seksual pada anak dengan thalassemia
mayor adalah penyakitnya sendiri, komplikasi transfusi, dan kelasi yang tidak
optimal7. Berdasarkan anamnesis dan riwayat pengobatan diketahui memang pasien
telah sering menerima transfusi yakni sebanyak 21 kali sejak usia 5 bulan, dengan
tidak adanya riwayat menerima terapi kelasi besi. Hal inilah yang diperkirakan
menjadi faktor terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien ini.
Thalassemia dengan transfusi berulang akan menyebabkan terjadinya
hemosiderosis pada organ-organ tubuh selain dapat pula berasal dari peningkatan
penyerapan besi sebagai respon kurang efektifnya eritripoiesis4. Hemosiderosis yang
terjadi pada kelenjar tiroid akan menjadi penyebab timbulnya gangguan endokrin
berupa kurangnya produksi hormon pertumbuhan (growth hormone) sehingga

berdampak terjadinya gangguan pertumbuhan11. Selain juga anemia menahun kronis


juga berdampak pada kerusakan sel dan disfungsi organ-organ tubuh termasuk organ
endokrin. Penimbunan besi di kelenjar hipofisis anterior mengganggu hormon seks
steroid7. Bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dL, disertai
pencegahan hemokromatosis maka diperkirakan gangguan pertumbuhan tidak
terjadi12.
Beberapa penelitian pun telah dilakukan guna mengetahui hubungan antara
gangguan pertumbuhan dengan thalassemia. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Yudith Setiati Ermaya, Dany Hilmanto, Lelani Reniarti mengenai Hubungan Kadar
Hemoglobin Sebelum Transfusi dan Zat Pengikat Besi dengan Kecepatan
Pertumbuhan Penderita Thalassemia Mayor didapatkan bahwa 76,4% penderita
thalassemia yang menjadi subyek penelitian mengalami gangguan pertumbuhan 11.
Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Deby Anggororini, Eddy
Fadlyana, Ponpon Idjradinata mengenai Korelasi Kadar Feritin Serum dengan
Kematangan Seksual pada Anak Penyandang Thalassemia Mayor didapatkan 77%
penderita thalassemia yang diteliti status gizinya adalah kurang dan 83,3% memiliki
keterlambatan perkembangan seksual10. Penelitian yang dilakukan oleh S Jha, G
Bano dn SN Nussey mengenai Short stature in thalassemia major: multiple
aetiologies pada tahun 2004 di London mendapatkan bahwa 40% subyek penderita
thalassemia yang diteliti memiliki perawakan pendek13.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut pula didapatkan kadar hemoglobin
rata-rata yang rendah sebelum transfusi meningkatkan risiko terjadinya gangguan
kecepatan pertumbuhan. Risiko terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak dengan
thalassemia mayor dengan kadar Hb rata-rata sebelum transfusi < 7g/dL adalah 5,6
kali dibandingkan penderita dengan kadar Hb 7 g/dL 11. Terdapat pula perbedaan
yang sangat bermakna antara kadar ferritin serum dengan hormon seks antara
kelompok anak dengan thalassemia dibandingkan dengan kelompok anak sehat.
Kematangan seksual menurut skala Tunner menunjukkan perbedaan yang bermakna
antara anak thalassemia dan anak sehat10.

Peranan kelasi besi dalam terapi pasien thalassemia juga didapatkan


berpengaruh pada gangguan pertumbuhan penderitanya terkait proses hemosiderosis
yang terjadi. Pemberian transfusi darah berulang dengan penggunaan desferoksamin
untuk kelasi besi yang tidak teratur tidak akan mampu menghambat terjadi
penimbunan besi. Kadar besi yang berlebihan di dalam tubuh akan diubah menjadi
feritin. Gangguan berbagai fungsi organ dapat teijadi bila kadar feritin plasma lebih
clan 2000 ng/m2 . Kadar feritin plasma yang tinggi ini pula dapat menyebabkan
penurunan kadar seng dalam darah, karena besi dan seng bersaing pada saat akan
berikatan dengan transferin (binding site), setelah diabsorpsi pada mukosa jejunum
dan ileum12.
Faktor lain yang juga dinilai berperan pada pertumbuhan penderita
thalassemia adalah faktor genetik dan lingkungan12.

Nutrisi merupakan faktor

lingkungan yang penting dalam mempengaruhi tumbuh kembang anak. Beratnya


anemia dan hepatosplenomegali menyebabkan nafsu makan menurun sehingga
asupan makanan berkurang yang mengakibatkan terjadinya gangguan gizi12. Hal ini
juga dinilai turut berperan pada pasien dalam laporan kasus ini mengingat pada
pasien telah terjadi hepatosplenomegali dengan keluhan pasien berupa perut
membesar dan terasa penuh.
Penatalaksanaan pada pasien ini terutama adalah dilakukan transfusi darah
berupa PRC untuk mengatasi anemia berat yang terjadi. Dilakukan penghitungan
dengan rumus BBx(Hb target-Hb aktual)x4 sehingga didapatkan jumlah PRC yang
diperlukan adalah sebanyak 160 cc. Oleh karena maksimal pemberian 1 kali transfusi
pada anak adalah 10cc/kgbb maka transfusi diberikan sebanyak 2x80 cc. Untuk
mengurangi beban jantung juga diberikan injeksi furosemid 10mg post transfusi.
Terkait faringitis akut yang juga diderita oleh pasien

maka diberikan

terapi

tambahan berupa injeksi antibiotik ceftriaxone 1 x 1gram i.v, ambroxol sirup 3x5mg,
dan parasetamol sirup 3x150mg.
Lebih lanjutdisarankan pada pasien untuk kontrol secara berkala 1 kali/bulan
untuk memantau kadar Hb. Edukasi mengenai keadaan penyakit pasien serta

komplikasi yang dapat terjadi juga diinformasikan pada keluarga pasien termasuk
dalam hal gangguan pertumbuhan yang terjadi. Penjelasan mengenai pentingnya
terapi kelasi besi juga dijelaskan pada keluarga pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Permono Bambang. Hemoglobin Abnormal. Dalam : Buku Ajar Hematologi


Onkologi Anak. 2005. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Hal. 64-84.
2. Vanichsetakul, Preeda. Thalassemia : Detection, Management, Prevention &
Curative Treatment. The Bangkok Medical Journal; February 2011.
3. Honig, George R. Kelainan Hemoglobin. In : Behrman, Kliegman and Arvin,
editors. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, Volume 2. Jakarta : EGC; 1999;
p.1708-1712.
4. Low, Louis C.K. Growth of Children with Thalassemia Major . Department of
Pediatrics and Adolescent Medicine, The University of Hong Kong, Queen Mary
Hospital, Pokfulam Road, Hong Kong SAR, PR China.
5. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. Universitas Sriwijaya. 2008.
Palembang : Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH.
6. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. Universitas Sriwijaya. 2010.
Palembang : Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH.
7. IDAI Sumsel. Workshop : Tatalaksana Pucat Mendadak pada Anak. 2012.
Palembang : Departemen IKA FK UNSRI RSMH.
8. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. 1995. Jakarta : EGC.

9. Prakanita. Pertumbuhan Linier pada Penderita Thalassemia di Palembang dengan


Terapi Kelasi yang Tidak Adekuat. Tesis. 2006. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unsri RSMH Palembang.
10. Anggororini, Fadlyana, dan Idjradinata. Korelasi Kadar Feritin Serum dengan
Kematangan Seksual pada Anak Penyandang Thalassemia Mayor. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober
2010.
11. Ermaya, Hilmanto, dan Reniarti. Hubungan Kadar Hemoglobinn Sebelum
Transfusi dan Zat Pengikat Besi dengan Kecepatan Pertumbuhan Penderita
Thalassemia Mayor. Artikel Penelitian. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
12. Arijanty, Luszy. Abstrak : Hubungan antara Kadar Darah Seng Plasma dengan
Feritin dan Status Gizi Pasien Thalasemia Mayor. Tesis. Jakarta : Universitas
Indonesia.
13. S Jha, G Bano and SN Nussey. Short Stature in Thalassemia Major: Multiple
Aetiologies. Endocrine Abstracts (2004) 7 P303.. Endocrine, St Georges Hospital,
London, UK; St Georges Hospital, London, UK.

Anda mungkin juga menyukai