Anda di halaman 1dari 11

TK 4027

Kimia dan Teknologi Batubara

Review: Analisis Karakteristik Batubara Peringkat Rendah


Indonesia Setelah Melewati Proses Upgraded Brown Coal (UBC)
serta Perkembangannya
Adinda Asri Pixelina
Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10, Bandung, Indonesia

INFO ARTIKEL
Keterangan artikel:
Ditugaskan pada 10 November
2014
Dikumpulkan pada 23 November
2014
Kata kunci:
Batubara Peringkat Rendah
Upgraded Brown Coal
Kaakteristik
Perkembangan

1.

ABSTRAK
Cadangan batubara peringkat rendah yang melimpah dapat dijadikan sumber
energi masa depan yang berkelanjutan. Namun batubara peringkat rendah
mengandung konten moisture tinggi sehingga harus dikeringkan sebelum
digunakan dan diperlukan proses tambahan untuk mengurangi terjadinya
pembakaran spontan. Di Indonesia, setengah produk batubara merupakan
batubara peringat rendah dengan kadar sulfur dan abu rendah. Oleh karena
itu, Proses UBC sangat cocok untuk diimplementasikan di Indonesia dan telah
dikembangkan untuk menghasilkan batubara kering yang sebanding dengan
batubara peringkat tinggi seperti bituminous. Untuk itu, analisis karakteristik
mulai dari analisis proksimat hingga pembakaran batubara dilakukan.
Ternyata proses UBC ini memiliki potensi untuk diterapkan dalam industry
komersial. Pada kajian ini dijabarkan pula perkembangan proses UBC di
Indonesia.

Pendahuluan

Cadangan energi komersial seperti minyak


bumi dan batubara tingkat tinggi dunia semakin
menipis. Negara dengan sumber energi yang melimpah
seperti China, India, dan Indonesia menjaga bahan
baku sumber energi yang dimilikinya dengan
kebijakan dan peraturan. Sementara, Negara dengan
bahan baku sumber energi terbatas seperti Jepang dan
Korea berusaha untuk menggunakan bahan baku yang
ada secara efektif dan efisien dengan teknologiteknologi baru.
Pemakaian batubara tingkat tinggi untuk
penyediaan energi di industri dan pemukiman negara
berkembang dengan sumber batubara berlimpah dan
pertumbuhan ekonomi tinggi seperti China sebesar
70% mengakibatkan cadangan batubara tingkat tinggi
semakin menipis. Menurut data statistika, cadangan
batubara tingkat tinggi akan habis dalam 80 tahun
penggunaan. Oleh karena itu, dibutuhan bahan baku
sumber energi yang dapat mensubtitusi batubara
tingkat tinggi.

Salah satu solusi dari permasalahan tersebut


adalah penggunaan batubara tingkat rendah yang
cadangannya mencapai 500 milyar ton. Amerika Utara
dan Rusia memiliki sumber daya batubara tingkat
rendah tertinggi di dunia, namun batubara tingkat
rendah dari Indonesia memiliki kualitas yang baik bila
dibandingkan dengan batubara tingkat rendah dari
Negara lain. Konten moisture rata-rata batubara lignit
dan subbituminous Indonesia sebesar 35% dan 25%
dengan heating value-nya sebesar 4200 kcal/kg dan
5300 kcal/kg.
Namun,
batubara
tingkat
rendah
mengandung konten moisture tinggi, heating value
rendah, dan mudah terbakar (pembakaran spontan)
sehingga penggunaannya kurang disukai. Untuk itu,
pengembangan
teknologi
pengeringan
konten
moisture batubara tingkat rendah banyak dilakukan.
Salah satu teknologi yang dapat mengeringkan dan
meningkatkan nilai jual batubara tingkat rendah
adalah proses Upgraded Brown Coal (UBC) yang
dikembangkan oleh perusahaan Jepang, Kobe Steel Ltd.

Gambar 1 Ilustrasi Batubara Sebelum dan Sesudah


Proses Slurry Dewatering
Pada awalnya, proses UBC dikembangkan
dari proses pretreatment pada Brown Coal Liquefaction
(BCL) yaitu proses slurry dewatering. Slurry
dewatering disajikan dalam Gambar 1 merupakan
proses evaporasi moisture batubara dalam slurry yang
berisi batubara, light oil, dan sedikit heavy oil seperti
asphalt pada kondisi temperatur 130-160oC dan
tekanan 0.4-0.45 MPa.
Perkembangan proses UBC di Indonesia
sudah mecapai terbentuknya demonsration plant
dengan kapasitas 600 ton/hari berlokasi di Satui,
Kalimantan Selatan pada tahun 2009. Plant ini
merupakan hasil kerjasama antara Ministry of
Economy, Trade and Industry (METI), Japan Coal
Energy Center (JCOAL), PT. Arutmin, dan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan
BatuBara (Tekmira).
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
proses UBC, perlu diketahui terlebih dahulu proses
pengeringan batubara peringkat rendah. Teknologi
pengeringan menggunakan panas untuk melepaskan
moisture yang terdapat dalam batubara. Terdapat dua

jenis moisture yaitu moisture yang ada pada


permukaan batubara yang penghilangannya mudah
dengan pemanasan pada temperatur dan tekanan yang
tidak tinggi dan moisture yang terdapat dalam
batubara yang penghilangannya membutuhkan energi
yang tinggi.
Jenis
pengeringan
yang
sedang
dikembangkan adalah conveyer dryers, rotary dryers,
screw conveyer dryers, superheated steam fluidized bed
dryers, flash-fluidized bed dryers, dan microwave dryers.
Kekurangan dari proses pengeringan ini adalah bila
batubara hasil pengeringan disimpan pada udara
terbuka, batubara ini akan kembali mengabsorpsi
moisture. Salah satu contoh, batubara Indonesia
dengan moisture sebesar 35% dikeringkan dan konten
moisture-nya menjadi 7-10%. Bila dibiarkan selama 1
bulan, moisture batubara akan kembali meningkat
menjadi 15%. Oleh karena itu dibutuhan proses
pengeringan
yang
dapat
disimpan
dan
ditranportasikan tanpa terjadinya reabsorpsi.
Selain itu, batubara tingkat rendah rentan
mengalami pembakaran secara spontan. Hal ini dapat
menurunkan heating value dan kualitas batubara
tersebut sebagai bahan bakar serta meningkatkan
biaya handling penyimpanan dan transportasi. Dengan
proses UBC pembakaran secara spontan dapat
dikendalikan.
2.

Metodologi Proses Upgraded Brown Coal (UBC)

Proses yang akan dijelaskan di bawah ini


merupakan
proses
yang
digunakan
dalam
demonstration plant. Proses UBC terbagi dalam lima
bagian yaitu coal preparation, slurry dewatering, coal
oil separation, oil recovery, dan upgraded coal
briquetting. Diagram proses UBC disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 2 Diagram Alir Penggunaan Batubara Peringkat Rendah (Brown Coal)

Gambar 3 Diagram Proses UBC


2.1 Coal Preparation
Batubara mentah digiling dalam hammer mill
sehingga berdiameter di bawah 3 mm. Sebenarnya
reduksi ukuran batubara juga dapat dilakukan dengan
penghancuran kasar yang akan menghasilkan
batubara dengan ukuran di bawah 50 mm. Namun,
untuk mengoptimumkan proses UBC ini digunakan
grinding mill jenis hammer mill dengan hasil diameter
yang lebih kecil. Lalu batubara disimpan dalam bunker
dan dialirkan menuju tank tempat pembentukan slurry.
2.2 Slurry Dewatering
Batubara hasil gilingan di campurkan dengan
kerosene dan Low Sulfur Wax Residue (LSWR) dalam
tank pembuatan slurry. Perbandingan kerosene dengan
batubara adalah 1.2-1.5 banding 1 bergantung pada
karakteristik batubara yang dipakai dan jumlah LSWR
yang ditambahkan sekitar 1% dari jumlah kerosene
yang digunakan. Slurry tersebut dipindahkan ke
dewatering vessel yang terdiri dari evaporator yang
membuat konten moisture dalam batubara terlepas
pada kondisi temperatur 130-160oC dan tekanan 400450 kPa. Setelah itu, dewatered slurry dan evaporated
water dipisahkan dalam separator gas-cair dan air
yang terpisah digunakan untuk memanaskan
evaporator dengan sebelumnya dilewatkan pada
kompresor adiabatik sehingga temperaturnya naik.
Dewatered slurry dipertahankan dengan menurunkan
tekanan ke tekanan atmosferik.
2.3 Coal-Oil Separation
Screw decanter (centrifucal separator)
digunakan untuk memisahkan batubara dari light oil.
Lelehan hasil pemisahan diperlakukan seperti padatan
dan dikirim ke alat pengeringan. Pemisahan mekanik

ini memisahkan cairan bebas yang terdapat pada


slurry.
2.4 Oil Recovery
Dua Steam Tube Dryer yang dipasang secara
seri berfungsi sebagai alat yang melepaskan sisa
minyak yang masih terdapat dalam pori-pori batubara.
Lelehan batubara dan gas carrier dialirkan secara
counter current dan dipanaskan secara tidak langsung
dengan steam tubes yang akan menguapkan fraksi
minyak dalam batubara. Recovery minyak hasil
evaporasi yang masih mengandung nitrogen dari gas
carrier digunakan kembali untuk pembuatan slurry
dengan mengondensasinya di cooling tower sehingga
cairan minyak terpisah dari gas nitrogen. Hasil proses
UBC dalam bentuk bubuk dikeluarkan lewat outlet
dryer pada temp 170oC.
2.5 Upgraded Coal Briquetting
Bubuk hasil UBC yang panas dipindahkan
menuju mesin double roll press briquetting tanpa
penambahan bahan pelekat. Mesin ini terdiri dari
sepasang gulungan yang berputar berlawanan arah.
Briket yang dihasilkan memiliki bentuk seperti bantal
dengan tinggi 30mm, panjang 47 mm, dan lebar 35
mm. Produk yang dihasilkan disimpan dan diambil
sampelnya untuk di karakterisasi.
Bila bubuk
batubara tidak dilewatkan pada mesin briquetting
maka batubara berbentuk bubuk ini akan memiliki
konten moisture mencapai 0% dan heating value
sebesar 6670 kcal/kg. Jenis ini digunakan untuk feed
ke pembangkit listrik secara langsung. Sementara,
batubara yang sudah berbentuk briket mempunyai
konten moisture sekitar 8-10% dan heating value
sebesar 6000 kcal/kg. jenis ini dapat ditransportasikan
via kapal ataupun kereta ke jarak yang jauh. Batubara

jenis briket pun dapat di campur dengan batubara


peringkat rendah untuk meningkatkan nilai kalori
yang dihasilkan.
3.

Karakteristik Batubara Tingkat Rendah


Indonesia Setelah Melewati Proses UBC

Analisis yang telah dilakukan saat ini


menyangkut karakteritik proximate, karakteristik
oksidasi batubara peringkat rendah pada temperatur
rendah dengan isothermal oxidation, karakteristik
pembakaran secara spontan dengan Crossing-Point
Temperature (CPT), karakteristik zat pelarut yang
digunakan pada tahap Slurry Dewatering, karakteristik
pembakaran upgraded coal dengan Differential
Thermal Analyzer (DTA) dan Thermogrametri (TG),
serta karakteristik slagging yang terbentuk pada
Boiler dalam proses pembakaran.
Penjelasan mengenai analisis karakteristik
tersebut yang penentuannya dilakukan dengan terebih
dahulu melakukan penelitian dijabarkan dalam subbab
dibawah ini.

Tabel 1 menyajikan hasil analisis proximate


dari sampel batubara. Pada tabel, upgrading pressure
merupakan tekanan dari evaporator dalam proses
upgrading dan asphalt concentration merupakan
persen berat dari asphalt dari berat total slurry.
Selama terjadinya proses UBC, konten moisture dalam
batubara menurun dan heating value meningkat dari
5,448 kcal/kg (raw coal) menjadi 6,623 kcal/kg
(upgraded coal). Ash content, volatile matter, dan fixed
carbon dari raw coal dan upgraded coal tidak
mengalami perubahan, artinya tidak ada reaksi kimia
yang terjadi antara pelarut dan batubara.
Meningkatnya upgrading pressure akan meningkatkan
konten moisture dalam upgraded coal. Ini terjadi
karena meningkatnya temperatur didih juga akan
meningkatkan upgrading pressure. Konten moisture
bernilai sebesar 9-10% pada proses UBC tanpa
penambahan asphalt. Hal ini terjadi karena proses
readsorpsi terjadi secara natural ketika upgraded coal
disimpan pada udara terbuka. Konten moisture
bernilai sebesar 6% pada proses UBC dengan
penambahan asphalt. Artinya penambahan asphalt
bisa mengurangi terjadinya proses readsorpsi.

3.1 Analisis Proximate


3.2 Analisis Isohermal Oxidation Gas
Untuk analisis ini digunakan batubara lignit
Indonesia (KBB coal) dengan ukuran 0.5-1.3 mm.
Slurry dibentuk dengan mencampurkan batubara
dengan kerosene dan 4%-wt asphalt sebagai zat aditif.
Campuran memiliki rasio berat (kerosene + aslphalt) :
raw coal = 1 : 1. Slurry dipanaskan pada suhu 140oC
dan tekanan 0.1-0.3 MPa dalam 30 menit. Setelah
proses evaporasi, batubara disaring dan dikeringkan
dalam oven bertemperatur 130oC. Sebelum dilakukan
analisis proksimat, raw coal dan upgraded coal
dikeringkan kembali pada suhu 105oC selama 5 jam
dengan gas nitrogen untuk membuang moisture yang
teradsorb selama kedua sampel disimpan pada udara
terbuka.

Karakteristik ini dianalisis pada 3 variasi


temperatur yaitu 40 oC, 60 oC, dan 90oC. Gambar 3
merupakan skema diagram eksperimen dari analisis
isothermal oxidation gas. 125 g batubara ditambahkan
ke dalam vessel yang berada dalam oven dan
dipanaskan hingga temperatur target nitrogen yang
diinginkan. Ketika panas antara oven dan vessel telah
mengalami keseimbangan (tunak), oksigen dipasok ke
dalam vessel pada laju volumetrik sebesar 50
mL/menit untuk mengukur exhaust gas. Oksigen
digunakan untuk meningkatkan akurasi dari
pengukuran gas dengan meningkatkan jumlah produk
gas pada temperatur rendah. Pengukuran exhaust gas

Tabel 1 Data Hasil Analisis Proximate dari Raw Coal dan Upgraded Coal

(CO dan CO2) dilakukan dengan alat 6,890 N GC


(agilent technologies) yang dipasang dengan TCD
(thermal conductivity detector) dan 100/120 mesh
carbosieve S-II column (SUPELCO). Gas helium
digunakan sebagai carrier gas dengan laju volumettrik
sebesar 50 mL/menit. Oven dipanaskan pada laju
10oC/min dari 70 oC hingga 220oC dan ditahan selama
5 menit saat T = 220 oC. Perhitungan diulangi 20 kali
dengan interval waktu 30 menit. Berdasarkan laju
pembentukan CO dan CO2, karakterisasi batubara yang
mengalami oksidasi secara isothermal memiliki
persamaan sebagai berikut.

rCO
rCO2
W
Vgas
CCO,out
CCO2,out

= laju pembentukan CO
= laju pembentukan CO2
= berat kering batubara
= laju alir gas
= konsentrasi CO oulet
= konsentrasi CO2 outlet

Gambar 4 Diagram Proses Analisis Isothermal


Oxidation Gas
Gambar 5 dan 6 menyajikan perubahan laju
pembentukan CO dan CO2 terhadap waktu pada
beberapa variasi temperatur untuk raw coal dan
upgraded coal. Laju pembentukan untuk kedua gas
mencapai nilai tertinggi di awal dan menurun secara
eksponensial terhadap waktu. Laju pembentukan
untuk kedua gas paling rendah pada temperatur 40OoC
namun meningkat secara signifikan seiring temperatur
meningkat. Artinya bila batubara disimpan pada udara
terbuka, batubara mungkin akan bereaksi dengan
oksigen bahkan pada temperatur rendah. Upgraded
coal menghasilkan laju pembentukan yang lebih
rendah dibandingkan raw coal. Batubara dengan
penambahan asphalt terbanyak akan menghasilkan
laju pembentukan yang semakin rendah.
Kesimpulan dari analisis isothermal oxidation
gas adalah ketika penambahan asphalt ke dalam slurry
sebesar 1% tidak ada perubahan pada laju
pembentukan gas secara signifikan. Penambahan

asphalt ke dalam proses upgrading ini dapat


meningkatkan reaksi oksidasi pada temperatur rendah.
Sehingga penambahan asphalt yang paling baik adalah
sekitar 0.5-1%.
3.3 Analisis CPT

Gambar 7 Diagram Proses Analisis CPT

Saat sampel disimpan dalam oven dengan


predetermined temperatur yang terekspos oleh udara
sementara temperatur oven terus meningkat pada laju
yang konstan, maka pada suatu waktu temperatur dari
batubara sendiri akan melebihi temperatur oven yang
disebut dengan Crossing Point Temperature (CPT)
karena batubara mengalami self-heating. CPT
mengindikasi kelebihan temperatur sehingga dapat
dikarakterisasi pembakaran batubara secara spontan.
Secara umum, semakin tinggi nilai CPT maka semakin
tinggi temperatur pembakaran spontan terjadi. Juga,
semakin tinggi laju dari temperatur batubara di antara
rentang CPT maka semakin tinggi kemungkinan
batubara mengalami pembakaran spontan. Penentuan
dan pengukuran kondisi seperti ukuran partikel,
konten moisture, kelembaban udara, laju alir gas akan
berpengaruh pada nilai CPT dari batubara tersebut.
Gambar 7 merupakan skema diagram analisis
CPT. Dua vessel berisi sampel batubara masing-masing
35 gram di pasang dalam oven yang terprogram.
Temperatur oven di set pada 40oC nitrogen. Setelah
temperatur oven dan vessel mencapai keseimbangan
(tunak), oven dipanaskan dengan laju 0.5oC/menit
selama udara dipasok ke vessel pertama dan nitrogen
dipasok ke vessel ke nitrogen dengan laju alir 30
mL/menit. Batubara yang dicampur dengan gas
nitrogen berfungsi sebagai referensi.
Gambar 8 menyajikan perubahan upgrading
pressure terhadap variasi jumlah asphalt. Nilai CPT
upgraded coal lebih besar dibandingkan nilai CPT raw
coal yang berada pada nilai 143.4oC. bahkan tanpa
penambahan aslphalt pun nilai CPT dari upgraded coal
jauh lebih besar. Saat jumlah asphalt 0,5% nilai CPT
meningkat sedikit bila dibandingkan dengan
penambahan jumlah asphalt 1%, nilai CPT meningkat
dengan secara signifikan. Ini terjadi karena asphalt
menutupi permukaan batubara selama proses yang
dapat menghindari gugus fungsi pada batubara kontak

Gambar 5 Grafik Hubungan Antara Laju Pembentukan CO


pada Tiga Variasi Temperatur Terhadap Waktu
dengan oksigen. Namun, bila penambahan asphalt di
atas 1% terihat tidak ada peningkatan CPT secara
signifikan. Kesimpulan dari hasil ini adalah
penambahan tertentu asphalt ke dalam slurry akan
meningkatkan CPT dan penambahan 1% asphalt
merupakan penambahan yang paling baik.
3.4 Analisis Pelarut yang Digunakan pada Tahap
Slurry Dewatering
Sampel batubara lignit Indonesia digunakan
dalam analisis ini dengan sebelumnya direduksi
partikelnya secara mekanik sehingga memiliki ukuran
partikel dengan variasi sebesar 2-3 mm, 6-7 mm, dan

Gambar 6 Grafik Hubungan Antara Laju Pembentukan


CO2 pada Tiga Variasi Temperatur Terhadap Waktu
10-11 mm. Minyak bekas yang sudah dimurnikan dan
minyak berat B-C digunakan sebagai pelarut dalam
proses pengeringan. Minyak bekas yang digunakan
telah dimurnikan dari konten moisture, abu, logam
berat dan kontaminan lainnya yang terdapat pada
minyak bekas tersebut. Titik didih dari minyak bekas
yang digunakan sebesar 340oC dengan nilai specific
gravity sebesar 0,856-0,86, minyak berat B-C yang
digunakan memiliki nilai viskositas minimum 50 cst
pada T=50oC, titik didih sekitar 340oC, dan nilai specific
gravity sebesar 0,92-0,95.
Minyak dipanaskan hingga stabil pada variasi
T=120oC; 130oC; dan 140oC sebelum batubara
sebanyak 50 gram/L minyak dimasukkan ke dalam

Gambar 8 Grafik Hubungan Antara CPT CO2 pada Tiga


Variasi Tekanan Terhadap Konsentrasi Asphalt
reaktor. DIlakukan proses pengeringan dengan waktu
tiap run 10 menit. Setelah pengeringan, slurry di
transfer menuju sentrifugal separator selama 10 menit
dan minyak yang sudah terpisahkan diukur jumlahnya.
Data konsumsi minyak pada proses ini sama
pada setiap ukuran partikel dan sedikit meningkat
pada setiap temperatur pengeringan meningkat. Hal
tersebut terjadi karena meningkatnya volatilitas
minyak pada temperatu pengeringan yang semakin
tinggi. Pada proses pengeringan menggunakan minyak
berat B-C, penyerapan minyak jauh lebih banyak pada
ukuran partikel yang semakin kecil. Hal ini disebabkan
karena absorpsi minyak pada pori-pori partikel yang
membuat batubara memiliki luas permukaan lebih
besar. Namun, minyak berat B-C tidak dapat
dipisahkan dari batubara karena viskositasnya yang
tingi. Sementara, minyak bekas yang telah dimurnikan
dapat dipisahkan dari batubara dengan laju tertentu
yang disajikan dalam Gambar 9. Laju recovery tidak
dipengaruhi oleh temperature pengeringan dan
ukuran partikel batubara.
Pemilihan pelarut yang baik sebagai zat
pendispersi dipengaruhi oleh viskositas dan kestabilan
pelarut. Maka dari itu selain penggunaan minyak berat
dan minyak bekas dapat digunakan pula pelarut
berupa minyak pati. Penggunaan minyak pati yang
memiliki viskositas yang rendah harus diseimbangi
dengan pekatnya konsentrasi batubara dalam slurry
sehingga sama seperti pelarut lainnya slurry memiliki
nilai viskostas mekanik yang besar. Pemakaian pelarut
bio-based memilki kelebihan yaitu lebih murah dan
ramah lingkungan. Namun, karena tidak ditemukannya
daerah hidrofobik ya tepat pelarut minyak pati
memiliki efisiensi yang lebih kecil dari pelarut
komersial.

Gambar 9 Grafik Hubungan Antara Persen Minyak yang


Terpisah dan Laju Bersih Minyak yang Hilang Terhadap
Temperatur Refined Oil
3.5 Analisis Pembakaran dengan Metoda DTA - TG
Sampel batubara yang digunakan dalam
analisis ini berasal dari tiga daerah pertambangan
yang dikenal dengan nama batubara Taban, Berau, dan
Samaranggau. Tes DTA-TG dilakukan menggunakan
peralatan shimadzu DTG-60, dengan mereduksi
partikel raw coal dan upgraded coal di bawah 75 mikro
meter. Sampel sebanyak 5 mg di simpan di atas sel
platinum, laju udara sebesar 25 mL/menit dan laju
pemanasan 10oC/menit, Dan temperatur maksimum
sebesar 800oC. Dari kurva DTA-TG yang dihasilkan
parameter
pembakaran
yaitu
Tig
(ignition
temperature), Tmax (maximum combustion rate
temperature), Rmax (maximum combustion rate) dan
Tbo (char burn out temperature).
Kurva DTA dari raw coal dan upgraded coal
dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10
menggambarkan perbedaan panas yang dilepas
selama tes dilangsungkan. Terdapat 3 puncak pada
setiap raw coal yang diuji. Puncak pertama dan kedua
terlihat pada temperatur 60oC (endotermik) dan 330oC
(eksotermik) yang terjadi karena penguapan moisture
dan pembakaran dari volatile matter. Puncak ketiga
(eksotermik) menggambarkan pembakaran dari char.
Terdapat 3 puncak pada setiap upgraded coal yang

Gambar 10 Grafik Hubungan Antara Panas Terlepas


Terhadap Temperatur Metoda DTA

Gambar 11 Grafik Hubungan Antara Berat Hilang


Terhadap Temperatur Metoda TG

diuji. Puncak pertama menurun bila dibandingkan raw


coal secara signifikan karena adanya pelepasan
moisture dari proses UBC. Puncak kedua yang
merupakan pelepasan volatile matter tidak berubah
karena dilakukannya poses UBC pada temperature
yang tidak tinggi. Puncak ketiga meningkat secara
signifikan. Hasil ini membuktikan bahwa heating value
dari upgraded coal lebih tinggi dari raw coal.
Kurva TG pada Gambar 11 mengilustrasi
massa relatif yang hilang akibat pembakaran. Massa
hilang di bawah 150oC merupakan pelepasan moisture,
di atas 150oC merupakan pelepasan volatile matter
dan char. Nilai Tig merupakan temperatur awal
menguapnya volatile matter. Tig hasil percobaan
upgraded coal sedikit meningkat dan hal tersebut tidak
mengindikasi adanya penurunan kandungan volatile
matter setelah melewati proses UBC. Peningkatan Tig
dianggap berasal dari menurunnya volatile matter,

karena ignition batubara peringkat tinggi dipengaruhi


oleh
volatile
matter,
namun
sulit
untuk
membandingkan secara umum karena ignition pada
low rank coal besar dipengaruhi oleh reaktivitas
oksigen. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
batubara dengan temperatur ignition rendah dan
massa hilang tinggi pada rentang temperatur rendah
akan mudah untuk terbakar.
Temperatur
pada
laju
pembakaran
maksimum (Tmax) berhubungan dengan reaktifitas
batubara dan batubara yang reaktif memiliki Tmax
yang rendah. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai
Tmax dari upgraded coal Taban sedikit meningkat dan
Tmax dari upgraded coal Berau dan Samaranggau
sedikit menurun. Tbo dari batubara Taban dan Berau
yang menggambarkan karakteristik char meningkat
dan untuk upgraded coal Samaranggau menurun. Bila
dibandingkan antara batubara peringkat tinggi dengan

upgraded coal terdapat perbedaan karakteristik. Pada


batubara peringkat tinggi seperti bituminous biasanya
memiliki nilai Tbo nya tinggi. Rmax menunjukkan laju
pembakaran maksimum. Nilai Rmax untuk upgraded
coal Berau dan Taban lebih tinggi dari nilai Rmax
upgraded coal Samaranggau tetapi sedikit lebih rendah
dari nilai Rmax raw coal. Hal tersebut menunjukkan
bahwa upgraded coals Berau dan Taban mudah untuk
terbakar.
Tabel 2 Parameter Pembakaran Hasil Analisis DTA_TG

pencampuran batubara hasil proses UBC dengan


batubara bituminous dapat menurunkan fraksi
pembentukan molten slag. Ini terjadi karena komposisi
fasa padat dari alumino-silikat yang terbentuk
membuat slag yang terbentuk tidak mudah menempel
pada dinding boiler. Namun, partikel abu deposit pada
boiler semakin membesar dan membulat. Kesimpulan
dari analisis ini adalah massa dari deposit abu hasil
pencampuran batubara tidak meningkat terlalu besar
dan tidak terjadi slagging selama 8 hari boiler
dioperasikan.
4.

3.6 Analisis Slagging yang Terbentuk pada Boiler


dalam Proses Pembakaran
Titik leleh abu batubara peringkat rendah
Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan batubara
peringkat tingginya. Oleh karena itu, akan terdapat
masalah yaitu slagging dan fouling pada boiler tempat
pembakaran terutama tipe pulverized combustion
boiler. Salah satu masalahnya adalah bila deposit abu
pada permukaan heat exchanger dapat menurunkan
nilai overall heat coefficient karena konduktivitas
termal yang rendah akibat adanya deposit abu.
Pengetahuan
dengan
hasil
kuantitatif
dari
pembentukan endapan dari abu batubara dengan titik
leleh rendah pada boiler sebenarnya belum dapat
diketahui secara pasti. Yang telah terbukti adalah:
kalkulasi dari keseimbangan kimia yaitu dari fraksi
molten slag yang terbentuk yang dapat memprediksi
metode pencampuran batubara hasil UBC dan
batubara peringkat tinggi untuk menurunkan endapan
abu.

Perkembangan Teknologi Proses UBC di


Indonesia

Gambar 13 Sejarah dan Daftar Perjalanan dari Proses UBC

Kobe Steel telah bekerja keras sejak tahun


1993 hingga saat ini untuk mendalami proses UBC.
Unit pertama yang berkapasitas 100 kg/hari dibangun
di Kakogawa Works. Pada tahun 2001, Jepang dan
Indonesia melakukan kerjasama pengaplikasian
proses UBC dalam bentuk pilot plant. Pilot plant
dengan kapasitas 3 ton/hari telah dibangun dan
dioperasikan pada tahun 2004. Setelah pembangunan
plant dalam skala kecil, Japan Coal Energy Center
(JCOAL), PT BUMI Resources Tbk. PT Arutmin
Indonesia, dan Kobe Steel Ltd bekerjasama dalam
pembangunan proses UBC dalam skala lebih besar
yang merupakan langkah awal dalam komersialisai
proses tersebut dalam suatu plant besar. Keempat
lembaga/organisasi tersebut merupakan kontributor
utama dalam perkembangan proses UBC. Beberapa
informasi mengenai lembaga tersebut disajikan dalam
subbab di bawah ini.
a.

Gambar 12 Diagram Proses dari Pembakaran Batubara


pada Pembangkit Listrik 145 MW
Hasil dari percobaan yang dilaksanakan
dalam 145 MW coal combustion power station
berlokasi di Kakogawa Works of Kobe steel, Ltd adalah

JCOAL

JCOAL merupakan organisasi non-profit


yang berada dibawah Ministry of Economy Trade
and Industry (METI). Aktivitas yang telah
dilakukan dalam organisasi ini dimulai dari
penambangan batubara hingga sistem utilitas
dalam
proses
pembatubaraan.
JCOAL
mengembangkan penggunaan batubara sebagai
pasokan energi stabil yang ramah lingkungan.
Untuk itu organisasi ini melakukan penelitian,
pengembangan sumber daya manusia, dan survei.
Informasi lebih lanjut tersedia pada website
www.jcoal.or.jp

b.

PT BUMI Resources Tbk

PT BUMI Resources Tbk merupakan


salah satu perusahaan natural resources
terkemuka di Indonesia. Bisnis inti BUMI ini
terdiri dari perusahaan batubara yaitu PT
ARutmin Indonesia dan PT kaltim Prima Coal
serta perusahaan minyak dan gas yaitu Gallo Oil
(Jersey) Ltd. Informasi lebih lanjut tersedia pada
website www.bumiresources.com.

c.

PT Arutmin Indonesia

PT
Arutmin
Indonesia
adalah
perusahaan batubara terbesar keempat di
Indonesia yang telah meproduksi 24,3 juta metrik
ton pada tahun 2010. Informasi lebih lanjut
tersedia pada website www.arutmin.com.
d.

Kobe Steel, Ltd

Kobe Steel, Ltd adalah salah satu


industri steelmakers dan industry aluminium dan
tembaga yang terkemuka, Bisnis lain meliputi
welding consumables, industrial machinery,
engineering, contruction equipment, dan electronic
materials dengan coal-based power supplier.
Informasi lebih lanjut tersedia pada website
www.kobelco.co.jp.
Pada Desember 2008 hingga Mei 2011,
demonstration plant 600 ton/hari berlokasi di Satui,
Kalimantan Selatan dioperasikan dengan batubara
mentah hasil penambangan PT Arutmin. Pada Gambar
14 disajikan beberapa foto demonstration plant. Dari
pembangunan dan pengoperasian plant ini tranportasi
dan pembakaran upgraded coal berhasil dilakukan,
informasi untuk dilakukannnya scale-up berhasil
dikumpulkan, data modal dan biaya operasi berhasil
dikumpulkan, serta beberapa subjek penelitian lebih
lanjut sudah dikumpulkan dan sedang dalam
pengerjaan.

UBC ke dalam bentuk industry komersial. Selanjutnya


ada Negara India, China, Australia dan Rusia yang
merupakan daerah pengembangan proses UBC dapat
dibangun. Proyek yang sedang dilaksanakan KOBELCO
di Indonesia adalah pembangunan plant komersial
berlokasi di Pendopo, Sumatra Selatan bekerjasama
dengan PT DH Energy (Bumi Group).
5.

Kesimpulan

Setiap analisis karakteristik yang dijabarkan


menunjukkan bahwa proses UBC dapat menghasilkan
batubara Indonesia dengan heting value lebih tinggi
dan cocok untuk dibakar tanpa menghasilkan emisi
yang tinggi. Selain itu, karakteristik tersebut telah
diimplementasikan oleh KOBELCO dalam bentuk
demonstration plant dan ternyata proses UBC ini dapat
dikembangkan menjadi industri skala komersial. Tentu
penelitian harus terus dilaksanakan. Penelitian lebih
lanjut yang dapat digali dan dikembangkan adalah
mengenai penggunaan pelarut bio-based selain minyak
pati dalam proses slurry dewatering. Selain itu bentuk
dan dimensi dari evaporator dari proses UBC dapat
dianalisis untuk menghasilkan penguapan yang
optimum.
Produk
upgraded coal
ini
pun
pemanfaatannya harus sakin luas dengan dilewatkan
proses-proses lainnya yang dapat meningkatkan nilai
guna dan jual.
Dengan adanya proses UBC, penambangan
batubara peringkat rendah di Sumatera Selatan,
Kalimantan dan Jawa dapat dilaksanakan dan
dikonversi menjadi upgraded coal. Oleh karena itu,
pengontrolan produksi batubara peringkat tinggi yang
semakin menipis dapat dilakukan. Upgraded coal ini
dapat dimanfaatkan
sebagai
sumber
energi
pembangkit listrik dan dapat pula dicairkan menjadi
bahan bakar. Salah satu faktor penting dalam
pengembangan proses adalah adanya kerjasama dan
investasi asing. Kejasama dan investasi yang dilakukan
antara Indonesia dan Jepang merupakan salah satu
contoh kerjasama yang menguntungkan kedua pihak.
Pengembangan proses ini pula harus
diselaraskan dengan pembangunan transporatsi
seperti jalur kereta, pelabuhan dan jalan yang
memadai untuk pengiriman upgraded coal ke seluruh
Indonesia sebagai sumber energi nasional pembangkit
listrik dan indutri. Kondisinya saat ini biaya
transportasi sangat tinggi karena infrastuktur yang
ada tidak memadai.
Penutup

Gambar 14 Demonstration Plant Berlokasi di Satui,


Kalimantan Selatan
KOBELCO menargetkan daerah Indonesia
sebagai prioritas pertama dalam pembangunan proses

Paper review ini merupakan tugas akhir dari mata


kuliah TK4027 Kimia dan Teknologi Batubara. Adinda
Asri Pixelina berterima kasih kepada Dr. Dwiwahju
Sasongko dan Dr. Winny Wulandari atas bimbingannya
pada tugas ini.

Referensi
[1] Akiyama, K., Pak, H., Tajubo, Y., Tada, T., Ueki, Y.,

[2]

[3]
[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]

[11]

[12]

[13]

[14]

[15]

Yoshiie, R., et al. (2013). Slagging Behavior of


Upgraded Brown Coal and Bituminous Coal in 145
MW Practical Coal Combustion Boiler. (H. Qi, & B.
Zhao, Eds.) Cleaner Combustion and Sustainable
World, 91-98.
Choi, H., Kim., S., Yoo, J., Chun, D., Rhim, Y., & Lee, S.
(2013). Low Temperature Oxidation and
Spontaneous Combustion Characteristics of
Upgraded Low Rank Coal. (H. Qi, & B. Zhao, Eds.)
Cleaner Combustion and Sustainable World, 7579.
Chun, & Li, Z. (2004). Advances in the Science of
Victorian Brown Coal. China: Elsevier.
Das, D., Dash, U., Nayak, A., & Misra, P. K. (2010).
Surface Engineering of Low Rank Indian Coals by
Starch-Based Additives for the. Energy Fuels,
1260-1268.
Favas, G., Chaffee, A. L., & Jackson, W. R. (n.d.). The
Future of Brown Coal Drying Technologies for
Power Generation Comparison of Prducts from
Various Processes.
Japan Coal Energy Center; Kobe Steel, Ltd. (2004).
4D2. Low-rank Coal Upgrading Technology (UBC
Process). Japan: Japan Coal Energy Center; Kobe
Steel, Ltd.
Kinoshita, S., Yamamoto, S., Deguchi, T., &
Shigehisa, T. (2010). Demonstration of Upgraded
Brown Coal (UBC) Process by 600 tonnes/day
Plant. Japan: Kobelco Technology Review.
Lee, S., Sando, K., Hokyung, C., Donghyuk, C.,
Younjun, R., Jiho, Y., et al. (2013). Efficient Use of
Low Rank Coal: Current Status. (H. Qi, & B. Zhao,
Eds.) Cleaner Combustion and Sustainable World,
893-895.
Manabe, S. (2011). Commercialization of UBC
Process. Intenational Symposium Clean Coal Day
in Japan. Japan: Kobe Steel Ltd.
Ohm, T.-I., Chae, J.-S., Lim, J.-H., & Moon, S.-H.
(2012). Evaluation of a Hot Oil Immersion Drying
Method for the Upgrading of Crushed Low-Rank
Coal. Journal of Mechanical Science and
Technology, 26(4), 1299-1303.
Rao, Z., Zhao, Y., Huang, C., Duan, C., & He, J. (2015).
Recent Developments in Drying and Dewatering
for Low Rank Coals. Progress in Energy and
Combustion Science(46), 1-11.
Sihite, T. (n.d.). Low Rank Coal Utilization in
Indonesia. Clean Coal Day in Japan 2012
International Symposium. Tokyo: Ministry of
Energy and Mineral Resources.
Tamura, M. (2010). New Utilization Technologies
for Low Rank Coals. International Symposium on
the Sustainable Use of Low Rank Coals.
Melbourne: Kobe Steel Ltd.
Umar, D. F., Usui, H., & Daulay, B. (2006). Change
of combustion characteristics of Indonesian low
rank coal. Fuel Processing Technology(87), 10071011.
www.kobelco.co.jp (2007, May 23). Kobe Steel to
Begin Construction of Upgraded Brown Coal
Demonstration Plant in Indonesia.

[16] Yu, Y., Liu, J., Wang, R., Zhou, J., & Cen, K. (2012).

Effect of Hydrothermal Dewatering on the


Slurryability of Brown Coals. Energy Conversion
and Management, 57, 8-12.

Anda mungkin juga menyukai