Disusun oleh:
Stevanus Jonathan (07120100070)
Erwin Abadi Tanesia (07120100097)
Pembimbing:
dr. Liempy, Sp.An
dr. Eka Purwanto, Sp.An
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................3
BAB II Laporan Kasus..............................................................5
II.1 Identitas...............................................................................5
II.2 Anamnesis.............................................................................5
II.2.1 Keluhan Utama.................................................................................. 5
II.2.2 Riwayat penyakit sekarang...................................................................5
II.2.3 Riwayat penyakit dahulu......................................................................5
II.2.4 Riwayat penyakit Keluarga...................................................................6
II.2.5 Riwayat kebiasaan.............................................................................. 6
II.3 Pemeriksaan Fisik....................................................................6
II.4 Pemeriksaan penunjang..............................................................9
II.5 Diagnosis............................................................................13
II.6 Penatalaksanaan....................................................................13
BAB I PENDAHULUAN
Kraniotomi adalah suatu metode operasi membuka tengkorak ( tempurung
kepala) untuk memperbaiki fungsi otak. Kraniotomi dilakukan pada hampir seluruh
tindakan untuk menangkat tumor otak , pendarahan otak meliputi subdural
hematoma , epidural hematoma , subarachnoid hematoma , dan intracerebral
hematoma . Kraniotomi dilakukan atas indikasi penurunan kesadaran tiba-tiba yang
disertai riwayat sebelumnya , adanya tanda-tanda herniasi atau lateralisasi , fraktur
basis cranii , dll. Pada umumnya jika seseorang memiliki kelainan neurologis yang
disebabkan oleh hematoma atau tumor memiliki gejala seperti penurunan kesadaran
yang bisa diukur menggunakan Galsgow Coma Scale (GCS) atau penurunan tonus
otot serta pergerakannya. Hal ini terjadi dikarenakan oleh kompresi otak oleh
hematoma , tumor , dll. Sehingga kraniotomi menjadi pilihan untuk dekompresi dari
otak dan mengurangi gejala pasien.
Pada umumnya pada Operasi seperti kraniotomi digunakan anestesi umum
atau General Anesthesia. Tatalaksana operasi kraniotomi adalah menggunakan
anestesi inhalasi , anestesi intravena , dan muscle relaxant. Pertimbangan utama
dalam memilih obat
anestesi,
vasodilator kuat dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien
cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral
secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti
isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman
pada konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan
vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara
klinik tidak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk
digunakan pada pasien cedera kepala. Kombinasi yang umum digunakan adalah
nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental.
Penggunaan hiperventilasi dan
digunakan.
: Tuan As
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 80 Tahun
Status
: Menikah
Agama
: Muslim
No. RM
: 31.26.27
: 1 September 2014
II.2 Anamnesis
AutoAnamnesis
II.2.1 Keluhan Utama
Lemas dan Tidak bisa jalan 2 hari sebelum masuk rumah sakit
berobat ke dokter akan tetapi keluarga lupa nama obatnya . Pasien tidak memiliki
riwayat stroke sebelumnya . Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan paru.
Status generalis
-
Keadaan umum
Tingkat kesadaran
: compos mentis
o Nadi
: 80 kali / menit
o Pernapasan
: 22 kali / menit
o Suhu
: 36 0C
Data antropometri
o Berat badan
:
: 52 kg
Kepala :
6
Mata :
Mata simetris, tidak ada edema palpebra, konjutiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm / 3 mm, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
Telinga :
Bentuk telinga normal dan simetris, tidak terdapat deformitas, liang
telinga tidak terdapat sekret, nyeri tekan tidak ada, pendengaran
normal
Hidung :
Bentuk hidung normal dan simetris, tidak terdapat deviasi, tidak
terdapat sekret atau darah yang keluar dari hidung
Leher
Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi. Tidak terdapat
pembesaran KGB.
Thoraks
o Inspeksi
Bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi
dinding dada, iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi
7
Abdomen
o Inspeksi
Dinding perut terlihat simetris, bentuk dinding perut datar,
tidak terdapat kelainan pada kulit, pergerakan dinding perut
sesuai dengan irama pernapasan
o Auskultasi
Bising usus (+) normal, tidak menurun atau meningkat dengan
frekuensi : 8 kali / menit
o Palpasi
Dinding perut supel, tidak terdapat distensi abdomen, nyeri
tekan (-), massa (-), hepatomegali (-), nyeri ketok CVA (-)
o Perkusi
Timpani pada seluruh regio abdomen
Ekstremitas
Akral hangat
Motorik
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak terdapat kelainan dan turgor kulit baik
Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Glukosa sewaktu
Ureum darah
Creatinin darah
Na
K
Cl
Hasil
13,4
40
6,4
249
134
43
1,06
142,2
6,05
93,5
Nilai normal
13 17 GR/DL
37 54%
5 10 Ribu/ul
150 400 Ribu /ul
<200 mg/dl
20 50 mg %
0,8 1,1 mg/dl
136 145 mmol/L
3,5 5,1 mmol/L
96-106 mmol/L
Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Masa pembekuan/ CT
Masa perdarahan/BT
Golongan darah / Rh
Hasil
14,7
45
15,9
235
4
2
B-
Nilai Normal
13 17 GR/DL
37 54%
5 10 Ribu/ul
150 400 Ribu /ul
2 6 menit
1 3 menit
CT scan
10
subakut-kronis
regio
fronto-temporo-
parietal
kanan
Perdarahan
epidural
subakut-kronis
parietal
dan
kanan
menyebabkan
regio
dan
hernia
ventrikel
lateral
11
II.5 Diagnosis
- ASA Grade 3 ( Hipertensi , riwayat penyakit jantung , usia 80 tahun)
- Subdural hematoma dan epidural hematoma
- Atrial fibrilation
II.6 Penatalaksanaan
Jam
17.30
Tindakan
Terpasang IV line pada tangan kiri pasien dan telah terpasang RL
Pasien dipasang IV line pada kaki kiri dan diberi RL
Pasien dipasangkan tensimeter pada kaki bagian kanan dan pulse oxymeter pada
kaki kiri.
Pasien pada posisi supine , dimasukkan SA 0,25 mg , Miloz 3 mg , dan Fentanyl
50 microgram sebagai pre medikasi
Pasien diberikan Propofol 100 mg dan Noveron 40 mg
Pasien diintubasi dengan gas inhalasi isoflurane 2v %, N2O 2L/menit, dan O2 2L/
menit.
17.35
17.40
17.45
17.50
17.55
18.00
Operasi dimulai
Tekanan darah 160/102 , nadi 125
Tekanan darah 159/100 , nadi 124
Tekanan darah 104/65 , nadi 125
Tekanan darah 104/65 , nadi 125
Tekanan darah 105/ 55 , nadi 125
18.05
18.10
18.15
18.20
18.25
18.30
18.35
18.40
18.45
18.50
18.55
19.00
Pasien diberikan RL ke 5
Tekanan darah 80/53 , nadi 69
Tekanan darah 80/50 , nadi 70
19.05
19.10
19.15
19.20
19.25
19.30
Pasien diberikan RL ke 6
Tekanan darah 80/48 , nadi 70
Tekanan darah 82/49 , nadi 68
Tekanan darah 80/45 , nadi 69
Tekanan darah 80/45 , nadi 69
19.35
19.40
19.45
19.50
19.55
20.00
20.05
20.10
20.15
20.20
20.25
20.30
20.35
13
14
yang
telah
berdilatasi,
tindakan
hiperventilasi
ini
tidak
selalu
Penyebab trauma
Pada pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ialah :
Pemeriksaan radiologis, berupa foto rontgen kepala dan bagian tubuh lain
yang diperlukan. Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT
scan atau MRI.
hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom
sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan
yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan
kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian
bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Keluhan bisa timbul langsung
setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah mengidap trauma kapitis. Masa
tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan bisa berlangsung berminggu-minggu,
berbulan-bulan bahkan ada kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun demikian,
latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan.
Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh
tentang sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga
mengeluh setelah mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul
gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada
saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala
tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, organic brain syndrome,
hemiparesis ringan, hemiparestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya tandatanda papiledema.
Sebuah
hematoma
Perhatikan intensitas sinyal tinggi darah akut dan ringan) pergeseran garis tengah (dari
ventrikel). SDH biasanya ditandai berdasarkan ukuran, lokasi, dan lama terjadinya
(misalnya, apakah terjadinya akut, subakut, atau kronis). Faktor-faktor ini, serta
kondisi neurologis pasien, menentukan pengobatan dan mungkin juga mempengaruhi
hasilnya.
SDH sering diklasifikasikan berdasarkan jangka waktu yang telah berlalu dari
waktu terjadinya (jika diketahui) untuk diagnosis. Bila proses kejadian tidak
17
diketahui, gambaran hematoma pada CT scan atau MRI dapat membantu menentukan
kapan hematoma terjadi.
Umumnya, SDH akut kurang dari 72 jam dan hyperdense dibandingkan
dengan otak pada CT scan. Subakut SDH adalah 3-20 hari lamanya dan isodense atau
hypodense dibandingkan dengan otak. Kronis SDH adalah 21 hari (3 minggu) atau
lebih lama dan hypodense dibandingkan dengan otak. Namun, SDH dapat berbentuk
gabungan seperti ketika perdarahan akut telah terjadi menjadi SDH kronis.
Dalam sebuah penelitian, 82% pasien koma dengan SDH akut telah memar
parenkim. Tingkat keparahan cedera difus parenkim mempunyai korelasi kuat
(korelasi inverse) dengan hasil pasien. Dalam kenyataan ini, sebuah SDH yang tidak
terkait dengan cedera otak yang mendasari kadang-kadang disebut sebuah SDH
sederhana atau murni, sedangkan istilah yang rumit telah diterapkan untuk SDH di
mana cedera yang signifikan dari otak yang mendasari juga telah diidentifikasi.
Adanya atrofi otak atau hilangnya jaringan otak karena sebab apapun, seperti usia tua,
alkoholisme, hidrosefalus, atau stroke, dapat memberikan ruang yang meningkat
antara dura dan permukaan otak mana hygroma subdural dapat terbentuk atau traksi
pada vena yang menjembatani span kesenjangan antara permukaan kortikal dan dura
atau sinus vena. Hygromas mungkin terbentuk setelah cairan di arakhnoid
memungkinkan cerebrospinal fluid (CSF) untuk terkumpul di ruang subdural. Sebuah
hygroma subdural mungkin karena itu juga terjadi setelah trauma kepala, mereka
seringkali tanpa gejala. Sebagian kecil kasus kronis SDH berasal dari kasus SDH akut
yang telah memburuk karena kurangnya perawatan.
Atrofi dari otak, menghasilkan ruang antara permukaan otak dan tengkorak,
meningkatkan risiko hematoma subdural (SDH).
18
SDH Kronis
o
Trauma kepala (mungkin relatif ringan, misalnya, pada individuindividu yang lebih tua dengan atrofi otak)
19
herniasi otak termasuk subfalcial (cingulate gyrus) herniasi dan transtentorial (uncal)
herniasi. herniasi Subfalcial dapat menyebabkan infark otak melalui kompresi dari
arteri serebral anterior, dan herniasi transtentorial dapat menyebabkan suatu infark
melalui kompresi dari arteri serebral posterior. Transtentorial herniasi juga
berhubungan dengan tekanan pada saraf kranial ketiga, menyebabkan reaktivitas
menurun dan kemudian dilatasi pupil ipsilateral.
Dengan herniasi transtentorial progresif, tekanan pada batang otak menyebabkan
migrasi ke bawah. Air mata ini pembuluh darah penting yang memasok batang otak,
mengakibatkan perdarahan Duret dan kematian. Peningkatan tekanan intrakranial
(ICP) juga dapat menurunkan aliran banjir serebral, mungkin menyebabkan iskemia
dan edema dan meningkatkan lebih lanjut ICP, menyebabkan lingkaran setan
peristiwa pathophysiologic.
Hematoma subdural kronis
Kronis SDH mungkin mulai sebagai hygroma subdural, yang dimulai sebagai
pemisahan dalam antarmuka dura-arakhnoid, yang kemudian diisi oleh CSF. Sel
berkembang biak di sekitar perbatasan dural koleksi ini CSF untuk menghasilkan
sebuah neomembrane. Pembuluh darah yang pecah kemudian tumbuh menjadi
membran. These vessels can hemorrhage and become the source of blood into the
space, resulting in the growth of the chronic SDH. Pada pembuluh darah ini dapat
terjadi perdarahan dan menjadi sumber darah ke ruang, mengakibatkan pertumbuhan
SDH kronis. SDH kronis juga dapat berkembang dari pencairan dari SDH akut,
terutama yang relatif tanpa gejala. Pencairan biasanya terjadi setelah 1-3 minggu,
dengan hematoma hypodense muncul pada CT scan.
SDH kronis yang terbentuk dari SDHs akut mungkin memiliki membran
antara dura dan hematoma pada 1 minggu dan antara otak dan hematoma pada 3
minggu. Sebagaimana dinyatakan di atas, pembuluh rapuh baru dapat tumbuh ke
dalam membran. Jika tidak diresorpsi, kapal dalam membran yang mengelilingi
hematoma dapat perdarahan berulang kali, memperbesar hematoma. Beberapa SDH
kronis juga bisa membesar dari gradien osmotik, menarik lebih banyak cairan ke
dalam ruang subdural, atau melalui mekanisme terpisah kalsifikasi (Atkinson, 2003).
21
Pada tahun 1989, Kawakami menemukan bahwa sistem koagulasi dan fibrinolisis
berdua berlebihan diaktifkan di SDH kronis. Hal ini menyebabkan pembentukan
bekuan rusak dan perdarahan berulang. Katano et al (2006) baru-baru ini melaporkan
status penanda molekul lain dalam SDHs kronis.
22
Sejumlah temuan dapat dikaitkan dengan ini, seperti refleks cepat atau abnormal,
aphasia (biasanya dengan hematoma kiri-sisi), drift ekstremitas atas, atau gangguan
fungsi sensorik kortikal. Temuan Kurang umum termasuk papilledema dan unilateral
atau bilateral palsi saraf kranial VI. Beberapa hal di atas dapat terjadi kemudian dalam
perjalanan klinis, misalnya, koma dengan seorang murid tetap dilatasi biasanya
menunjukkan herniasi transtentorial sepihak. Kurangnya penemuan (misalnya,
papilledema) tidak dapat mengesampingkan SDH.
Kurang umum, hemiparesis mungkin ipsilateral ke hematoma, mungkin karena
langsung cedera parenkim atau kompresi dari batang otak kontralateral ke hematoma
terhadap tepi cerebelli tentorium (fenomena takik Kernohan). Oleh karena itu, jika
temuan bertentangan, indikator yang paling dapat diandalkan (dengan pemeriksaan)
dari sisi hematoma adalah murid melebar atau nonreactive, yang muncul pada sisi
yang sama dengan hematoma.
Pasien mungkin memiliki interval jelas setelah trauma yang menyebabkan sebuah
SDH. Selain itu, CT scan temuan awal mungkin negatif (misalnya, perdarahan
intrakranial tertunda).
Meskipun SDHs akut paling sering terjadi di belahan otak (konveksitas), mereka
juga dapat ditemukan antara belahan sepanjang falx (SDH interhemispheric),
sepanjang tentorium, atau di fosa posterior. Interhemispheric SDHs mungkin tanpa
gejala atau bermanifestasi sebagai sakit kepala, kesadaran terganggu, atau hemiparesis
atau monoparesis (lebih cenderung mempengaruhi kaki kontralateral dari tangan).
Subdurals Interhemispheric biasanya dikelola konservatif kecuali kerusakan
neurologis ditemukan.
Hematoma subdural kronis
23
Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi SDH kronis. Rasio laki-untukperempuan telah dilaporkan 2:1. Kebanyakan orang dewasa dengan SDH kronis lebih
tua dari 50 tahun, dengan 2 studi pelaporan usia rata-rata 68 dan 70,5 tahun.
Satu
diidentifikasi dari trauma kepala. Jika seorang pasien tidak memiliki riwayat trauma
kepala, biasanya ringan. Waktu rata-rata antara terjadinya trauma kepala dan diagnosis
SDH kronis adalah 4-5 minggu.
Presentasi klinis untuk SDH kronis sering membahayakan, dengan gejala yang
mencakup penurunan tingkat kesadaran, sakit kepala, kesulitan dengan gaya berjalan
atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau kehilangan memori, defisit motor
(misalnya hemiparesis), sakit kepala, atau aphasia. SDH kronis mungkin memiliki
presentasi
yang
mirip
dengan
penyakit
Parkinson.
Presentasi
akut
juga
memungkinkan, seperti dalam kasus seorang pasien yang menyajikan dengan kejang.
Pemeriksaan neurologis dapat menunjukkan perubahan status mental,
hemiparesis, papilledema, hyperreflexia atau asimetri refleks, hemianopsia, atau
disfungsi saraf kranial ketiga atau keenam. Temuan tersebut juga dapat dikaitkan
dengan entitas lain. Pada pasien berusia 60 tahun atau lebih, hemiparesis dan asimetri
refleks tanda-tanda presentasi umum. Pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun,
sakit kepala adalah gejala presentasi umum. SDH kronis telah dilaporkan bilateral di
8,7-32% kasus.
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm pada computed tomography (CT) scan harus
operasi dievakuasi, terlepas dari pasien Glasgow Coma Scale (GCS) skor. " Bedah
untuk hematoma subdural kronis (SDH) dapat diindikasikan jika SDH merupakan
gejala atau menghasilkan efek massa yang signifikan, sebagai dievaluasi dengan
pencitraan diagnostik.
Diagnostik imaging yang menunjukkan hematoma meluas juga mungkin
menunjukkan perlunya operasi, bahkan pada beberapa pasien yang status neurologis
mendekati normal.
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus25
sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka
darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah
yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi
pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan
masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan
cepat terjadi.
III.3.2 Anatomi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti
adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan secepatnya dari tim medis
untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik
dan bahkan kematian.
26
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah.
III.3.3. PATOFISIOLOGI
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
28
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa
jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada
subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri
kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan
diperiksa dengan teliti.
29
31
III.3.6 PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau
gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan
meningkakan drainase vena.
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema
cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang
terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini
mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk
penggunaan
jangka
panjang dapat
dilanjutkan
dengan
karbamazepin. Tri-
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
meninggikan aliran darah serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil
seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral,
namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit
kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek
vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik
dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.
33
intravena, dan
mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan
membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila
selama
refraktori
terhadap
hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg)
harus digunakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien
hipovolemik, karenanya harus digunakan
2. Posisi kepala
36
dilakukan
tindakan
anestesi
terlebih
dahulu
diberikan
dapat diberikan lidocain 1-2 mg/kgBB secara iv dan harus dilakukan perlahan
untuk mengurangi nyerinya. Dosis pemberian propofol untuk induksi adalah
23mg/kgBB sehingga pada pasien ini diberikan dosis 100mg. Pada wanita
hamil tidak dianjurkan karena dapat menembus plasenta. Noveron dipakai
untuk relaksasi otot-otot pernapasan dan supaya pasien tidak bergerak dan
relax selama operasi, Noveron yang dipakai 40 mg. Untuk menahan gejala
mual pada pasien diberikan ondansntron 4 mg agar tidak ada aspirasi ke paru
pada saat ekstubasi nanti.
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi
yang digunakan adalah N2O, O2, dan Isofluran. N2O merupakan zat anestesi
yang lemah tapi mempunyai efek analgetik yang kuat. Pemberian N2O
biasanya bersamaan dengan O2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
hipoksia. Selain itu N2O bersifat mendesak oksigen dalam tubuh karena
sebagian besar N2O maasuk ke dalam alveoli yang akan menyebabkan
terjadinya hipoksia dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipoksia difusi adalah dengan cara pemberian O2 tinggi beberapa menit setelah
selesai anestesi. Selain digunakan juga halothan untuk menjaga tingkat sedasi
dari pasien. Baunya tidak mengganggu dan tidak merangsang jalan nafas,
maka oleh sebab itu sering digunakan untuk maintenance anastesi umum dan
induksi inhalasi pada pasien anak yg umumnya kurang kooperatif. Pada
rumatan nafas spontan biasanya diberikan 12 vol% sedangkan pada rumatan
pasien dengan nafas terkendali sekitar 0,51 vol%. Isofluran tidak
menyebabkan vasodilatasi serebral yang meninggikan aliran darah ke otak
yang sulit dikendalikan sehingga dianjurkan untuk operasi pada bedah otak
dibandingkan penggunaan halotan.
Pada pasien kraniotomi biasanya disertai perdarahan yang cukup banyak
sehingga diperlukan obat yang bersifat hemostatik. Untuk mengatasinya maka
pada pasien diberikan Transamin yang berisi Asam traneksamat dengan dosis
500mg iv dikombinasi dengan vitamin K yang berperan dalam faktor
pembekuan darah dan vitamin C yang bertujuan untuk meningkatkan kerja
dari obat Transamin sehingga volume perdarahan bisa ditekan. Akan tetapi
pada operasi kraniotomi ini hanya digunakan asam traneksamat
Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri operasi dan pasca operasi
diberikanketorolac dengan dosis 30 mg/ml. Ketorolac merupakan senyawa anti
38
darah.
Efedrin
dapat
meningkatkan
gula
darah
sehingga
BB : 52 KG
1. Maintenance : 52 x 2 = 104 cc/jam x 3
= 312 cc
=1248cc
= 832 cc
= 2392 cc
39
Pemberian cairan :
1 jam pertama : 50 % dari total
= 1196 cc
= 598 cc
= 598 cc
= 3000 cc
3) Post Op
Laporan di Ruangan ICU
A
: Clear
B
: Rr : 24 x / mnt, SN vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- , ventilator ()
C
: TD : 130/80 mmHg, N: 90 x /mnt, S: 36,7 0C
D
: GCS : 8 (E2M4V2)
Instruksi post op
-Tirah baring
-IVFD RL 20 tpm
-Injeksi neulin 2x 500 mg iv
-Injeksi neurobion 5000 1x1 amp
-Injeksi tramadol 2x1 amp
-Pasien dipasang kateter dan drainage
-Pantau urine output dan cairan drainage
40
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah
P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
Pramudianti, Arlina, dkk. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 10.
Jakarta : BIP
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006, 359-366
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC,
Jakarta, 2004, 818-819
41