Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

Disusun oleh:
Stevanus Jonathan (07120100070)
Erwin Abadi Tanesia (07120100097)

Pembimbing:
dr. Liempy, Sp.An
dr. Eka Purwanto, Sp.An

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi


Rumah Sakit Marinir Cilandak
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Periode 18 Agustus 19 September 2014

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................3
BAB II Laporan Kasus..............................................................5
II.1 Identitas...............................................................................5
II.2 Anamnesis.............................................................................5
II.2.1 Keluhan Utama.................................................................................. 5
II.2.2 Riwayat penyakit sekarang...................................................................5
II.2.3 Riwayat penyakit dahulu......................................................................5
II.2.4 Riwayat penyakit Keluarga...................................................................6
II.2.5 Riwayat kebiasaan.............................................................................. 6
II.3 Pemeriksaan Fisik....................................................................6
II.4 Pemeriksaan penunjang..............................................................9
II.5 Diagnosis............................................................................13
II.6 Penatalaksanaan....................................................................13

BAB III Tinjauan Pustaka........................................................16


III.1 Trauma pada kepala...............................................................16
III.2 HEMATOMA SUBDURAL.......................................................17
III.2.1 Etiologi........................................................................................ 20
III.2.2 Patofisiologi.................................................................................. 21
III.2.3 Indikasi untuk operasi...........................................................25
III.2.4Kontraindikasi untuk operasi....................................................26
III.3 Epidural hematoma................................................................26
III.3.1 Insiden kejadian.................................................................27
III.3.2 Anatomi..........................................................................27
III.3.3. PATOFISIOLOGI...............................................................28
III.3.4. GAMBARAN KLINIS..........................................................30
III.3.5 GAMBARAN RADIOLOGI....................................................31
III.3.6 PENATALAKSANAAN.........................................................31
III.3.7 Terapi Operatif...................................................................32
III.4 Pemilihan obat anestesi pada kraniotomi........................................33
III.5 Tatalaksana intubasi pada pasien.................................................34
III.6 Target yang di inginkan pada anestesi kraniotomi...............................34

BAB IV PEMBAHASAN KASUS.................................................36


BAB V Daftar Pustaka.............................................................40

BAB I PENDAHULUAN
Kraniotomi adalah suatu metode operasi membuka tengkorak ( tempurung
kepala) untuk memperbaiki fungsi otak. Kraniotomi dilakukan pada hampir seluruh
tindakan untuk menangkat tumor otak , pendarahan otak meliputi subdural
hematoma , epidural hematoma , subarachnoid hematoma , dan intracerebral
hematoma . Kraniotomi dilakukan atas indikasi penurunan kesadaran tiba-tiba yang
disertai riwayat sebelumnya , adanya tanda-tanda herniasi atau lateralisasi , fraktur
basis cranii , dll. Pada umumnya jika seseorang memiliki kelainan neurologis yang
disebabkan oleh hematoma atau tumor memiliki gejala seperti penurunan kesadaran
yang bisa diukur menggunakan Galsgow Coma Scale (GCS) atau penurunan tonus
otot serta pergerakannya. Hal ini terjadi dikarenakan oleh kompresi otak oleh
hematoma , tumor , dll. Sehingga kraniotomi menjadi pilihan untuk dekompresi dari
otak dan mengurangi gejala pasien.
Pada umumnya pada Operasi seperti kraniotomi digunakan anestesi umum
atau General Anesthesia. Tatalaksana operasi kraniotomi adalah menggunakan
anestesi inhalasi , anestesi intravena , dan muscle relaxant. Pertimbangan utama
dalam memilih obat

anestesi,

atau kombinasi obat-obatan anestesi, adalah

pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi


serebral mungkin berakibat peninggian TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus
dicegah. Satu yang

terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan

vasodilator kuat dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien
cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral
secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti

halotan. enfluran dan

isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman
pada konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan
vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara
klinik tidak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk
digunakan pada pasien cedera kepala. Kombinasi yang umum digunakan adalah
nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental.
Penggunaan hiperventilasi dan

mannitol sebelum dan selama induksi dapat


3

mengaburkan efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi intrakranial pada batas


tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila selama operasi pembengkakan otak maligna
terjadi, yang refraktori terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal)
pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus

digunakan.

Obat ini dapat menyebabkan

hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan hati-hati.


Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan
(Arfonad) atau nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan,
penting untuk memastikan penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena
akibat kompresi leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral
dari sisi kraniotomi.

BAB II Laporan Kasus


II.1 Identitas
Nama

: Tuan As

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 80 Tahun

Status

: Menikah

Agama

: Muslim

No. RM

: 31.26.27

Tanggal masuk Rumah sakit

: 1 September 2014

II.2 Anamnesis
AutoAnamnesis
II.2.1 Keluhan Utama
Lemas dan Tidak bisa jalan 2 hari sebelum masuk rumah sakit

II.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keadaan tidak bisa berjalan .Pasien memiliki riwayat
jatuh dari ranjang 1 bulan yang lalu dan pasien terjatuh lagi terkena aquarium 2
minggu yang lalu. Pasien merasa lemah tungkai sebelah kiri (Kaki kiri dan tangan kiri
) semenjak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan bertambah parah. Pada jatuh yang
pertama kali , pasien tidak mengeluh ada keluhan pusing ataupun rasa lemah pada
tungkai akan tetapi semenjak jatuh yang kedua pasien merasa sering nyeri kepala dan
pasien juga merasa makin lemah tungkai dan pasien pada akhirnya tidak bisa
menggerakkan tungkainya lagi 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku
terkadang wajah sebelah kanan terasa sakit dan menjalar ke kepala bagian temporal

II.2.3 Riwayat penyakit dahulu


Pasien sebelumnya belum pernah memiliki riwayat terjatuh. Pasien juga tidak
memiliki riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi terkendali selama 1 tahun belakangan , rutin minum obat dan

berobat ke dokter akan tetapi keluarga lupa nama obatnya . Pasien tidak memiliki
riwayat stroke sebelumnya . Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan paru.

II.2.4 Riwayat penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit asthma , diabetes ,
hipertensi , ataupun penyakit jantung dan bawaan .

II.2.5 Riwayat kebiasaan


Pasien merupakan perokok ringan , sekitar 2 batang per hari dan kalau tidak
ada uang tidak akan membeli rokok. Pasien tidak meminum minuman ber alkohol .

II.3 Pemeriksaan Fisik

Status generalis
-

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Tingkat kesadaran

: compos mentis

Tanda tanda vital

o Nadi

: 80 kali / menit

o Tekanan darah : 150/90 mmHg

o Pernapasan

: 22 kali / menit

o Suhu

: 36 0C

Data antropometri
o Berat badan

:
: 52 kg

Head to toe examination


-

Kepala :
6

Normosefal, rambut berwarna putid, wajah berbentuk oval dan tidak


terdapat kelainan bentuk, tidak terdapat luka / lesi
-

Mata :
Mata simetris, tidak ada edema palpebra, konjutiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm / 3 mm, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)

Telinga :
Bentuk telinga normal dan simetris, tidak terdapat deformitas, liang
telinga tidak terdapat sekret, nyeri tekan tidak ada, pendengaran
normal

Hidung :
Bentuk hidung normal dan simetris, tidak terdapat deviasi, tidak
terdapat sekret atau darah yang keluar dari hidung

Mulut dan tengggorok


Bentuk bibir simetris, bibir berwarna merah dan tidak ada tanda
tanda sianosis. Lidah berbentuk normal, lembab dan tidak ada tremor.
Uvula, faring dan tonsil tidak terlihat

Leher
Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi. Tidak terdapat
pembesaran KGB.

Thoraks
o Inspeksi
Bentuk dan pergerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi
dinding dada, iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi
7

Ichtus cordis teraba 2 jari dibawah dan lateral dari garis


midklavikula sinistra. Tactile fremitus kanan = kiri
o Perkusi
Perkusi pada lapang paru terdengar sonor
o Auskultasi
Jantung: suara dasar SI dan SII normal, tunggal murni, irama
irreguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, ronchi (-/-),wheezing (-/-)
-

Abdomen
o Inspeksi
Dinding perut terlihat simetris, bentuk dinding perut datar,
tidak terdapat kelainan pada kulit, pergerakan dinding perut
sesuai dengan irama pernapasan
o Auskultasi
Bising usus (+) normal, tidak menurun atau meningkat dengan
frekuensi : 8 kali / menit
o Palpasi
Dinding perut supel, tidak terdapat distensi abdomen, nyeri
tekan (-), massa (-), hepatomegali (-), nyeri ketok CVA (-)
o Perkusi
Timpani pada seluruh regio abdomen

Ekstremitas
Akral hangat

Motorik

Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak terdapat kelainan dan turgor kulit baik

II.4 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan lab Tgl 1 september 2014
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Glukosa sewaktu
Ureum darah
Creatinin darah
Na
K
Cl

Hasil
13,4
40
6,4
249
134
43
1,06
142,2
6,05
93,5

Nilai normal
13 17 GR/DL
37 54%
5 10 Ribu/ul
150 400 Ribu /ul
<200 mg/dl
20 50 mg %
0,8 1,1 mg/dl
136 145 mmol/L
3,5 5,1 mmol/L
96-106 mmol/L

Pemeriksaan Lab tgl 3 september 2014


No
1
2
3
4
5
6
7

Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Masa pembekuan/ CT
Masa perdarahan/BT
Golongan darah / Rh

Hasil
14,7
45
15,9
235
4
2
B-

Nilai Normal
13 17 GR/DL
37 54%
5 10 Ribu/ul
150 400 Ribu /ul
2 6 menit
1 3 menit

CT scan

10

Kesan foto CT : Perdarahan


subdural

subakut-kronis

regio

fronto-temporo-

parietal

kanan

Perdarahan

epidural

subakut-kronis
parietal

dan

kanan

menyebabkan

regio
dan
hernia

subfalcin 10,6 mm ke kiri ,


dilatasi

ventrikel

lateral

kanan cornu anterior dan


ventrikel lateral kiri cornu
posterior.
EKG tgl 1 september 2014

11

II.5 Diagnosis
- ASA Grade 3 ( Hipertensi , riwayat penyakit jantung , usia 80 tahun)
- Subdural hematoma dan epidural hematoma
- Atrial fibrilation

II.6 Penatalaksanaan
Jam
17.30

Tindakan
Terpasang IV line pada tangan kiri pasien dan telah terpasang RL
Pasien dipasang IV line pada kaki kiri dan diberi RL
Pasien dipasangkan tensimeter pada kaki bagian kanan dan pulse oxymeter pada
kaki kiri.
Pasien pada posisi supine , dimasukkan SA 0,25 mg , Miloz 3 mg , dan Fentanyl
50 microgram sebagai pre medikasi
Pasien diberikan Propofol 100 mg dan Noveron 40 mg
Pasien diintubasi dengan gas inhalasi isoflurane 2v %, N2O 2L/menit, dan O2 2L/
menit.

17.35

Tekanan darah 226/103 , nadi 125


Tekanan darah 210/103 , nadi 125
Pasien diberikan ondansentron 4 mg , dexamethason 5 mg , transamin 500 mg.

17.40
17.45
17.50
17.55
18.00

Operasi dimulai
Tekanan darah 160/102 , nadi 125
Tekanan darah 159/100 , nadi 124
Tekanan darah 104/65 , nadi 125
Tekanan darah 104/65 , nadi 125
Tekanan darah 105/ 55 , nadi 125

18.05
18.10

Pasien diberikan cairan RL ke 2 , noveron 10 mg


Tekanan darah 85/50 , nadi 88
Tekanan darah 82/50 , nadi 89
12

18.15

Tekanan darah 85/50 , nadi 85

18.20
18.25
18.30

Pasien diberikan cairan RL ke 3


Tekanan darah 95/55 , nadi 80
Tekanan darah 89/53 , nadi 90
Tekanan darah 90/55 , nadi 90

18.35
18.40
18.45
18.50

Pasien diberikan RL ke 4 , noveron 10 mg


Tekanan darah 90/48 , nadi 93
Tekanan darah 78/50 , nadi 70
Tekanan darah 76/48 , nadi 65
Tekanan darah 75/44 , nadi 65

18.55
19.00

Pasien diberikan RL ke 5
Tekanan darah 80/53 , nadi 69
Tekanan darah 80/50 , nadi 70

19.05
19.10

Pasien diberikan noveron 10 mg


Tekanan darah 80/45 , nadi 70
Tekanan darah 80/43 , nadi 69

19.15
19.20
19.25
19.30

Pasien diberikan RL ke 6
Tekanan darah 80/48 , nadi 70
Tekanan darah 82/49 , nadi 68
Tekanan darah 80/45 , nadi 69
Tekanan darah 80/45 , nadi 69

19.35
19.40

Pasien diberikan noveron 10 mg , adona 50 mg , transamin 500 mg


Tekanan darah 79/49 , nadi 70
Tekanan darah 90/53 , nadi 89

19.45
19.50
19.55
20.00
20.05
20.10

Pasien diberikan PRC ke 1 , pasien diberikan atropin 0,50mg


Tekanan darah 90/54 , nadi 90
Tekanan darah 88/ 55 , nadi 90
Tekanan darah 87/55 , nadi 89
Tekanan darah 95/49 , nadi 90
Tekanan darah 99/59 , nadi 89
Tekanan darah 98/60 , nadi 90

20.15
20.20
20.25
20.30
20.35

Pasien diberikan FFP ke 1


Tekanan darah 99/55 , nadi 88
Tekanan darah 100/56 , nadi 90
Tekanan darah 100/60 , nadi 86
Tekanan darah 99/59 , nadi 89
Tekanan darah 99/59 , nadi 89
Pasien diberikan prostigmin 2 ampul
Operasi selesai
Ekstubasi pasien

13

14

BAB III Tinjauan Pustaka


III.1 Trauma pada kepala
Pasien yang datang dengan trauma kepala, khususnya yang dalam keadaan
koma, memerlukan penatalaksanaan segera dengan prioritas yang sesuai.
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan terhentinya pernafasan yang
sementara. Apnea yang berlangsung lama sering merupakan penyebab kematian
langsung di tempat kecelakaan.
Aspek yang sangat penting pada penatalaksanaan segera penderita cedera
kepala berat ini adalah Intubasi endotrakeal. Penderita mendapat ventilasi dengan
oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat
dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita
cedera kepala berat. Walaupun hal ini dapat digunakan sementara untuk
mengkoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan
pupil

yang

telah

berdilatasi,

tindakan

hiperventilasi

ini

tidak

selalu

menguntungkan. Hiperventilasi dapat dilakukan secara hati-hati pada penderita


cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan GCS atau timbulnya dilatasi
pupil. pCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg (3,3-4,7 kPa).
Hipotensi dan hipoksia adalah penyebab utama terjadinya perburukan
pada penderita cedera kepala berat. Karenanya bila terjadi hipotensi maka harus
segra dilakukan tindakan untuk menormalkan tekanan darahnya. Hipotensi
biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri keduali pada stadium
terminal medulla oblongata sudah mengalami gangguan.
Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Penyebab lainnya
adalah Trauma Medula Spinalis (Tetraplegia atau Paraplegia), kontusio jantung
atau tamponade jantung dan tension pneumothorax.
Pada pasien dengan trauma kepala, seringkali anamnesis tidak didapat dari
pasien melainkan dari keluarga atau orang lain yang melihat kejadian trauma
tersebut. Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain adalah :
15

Berapa lama terjadinya penurunan kesadaran

Periode amnesia pasca trauma

Penyebab trauma

Keluhan nyeri kepala dan muntah

Pada pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ialah :

Kesadaran dan tanda vital

Refleks pupil dan pergerakan bola mata

Kelemahan pada ekstremitas

Tanda fraktur basis cranii

Laserasi dan hematoma

Pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya adalah :

Pemeriksaan lab rutin

Pemeriksaan radiologis, berupa foto rontgen kepala dan bagian tubuh lain
yang diperlukan. Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT
scan atau MRI.

III.2 HEMATOMA SUBDURAL


Hematoma subdural/ subdural hematoma (SDH) merupakan kelainan bedah
saraf umum yang sering memerlukan intervensi bedah. SDH adalah jenis perdarahan
intrakranial yang terjadi di bawah duramater dan mungkin terkait dengan cedera otak
lainnya. Pada dasarnya, masalah ini terjadi akibat terbendungnya darah di atas
permukaan otak. SDH biasanya disebabkan oleh trauma tetapi dapat spontan atau
disebabkan oleh suatu prosedur, seperti pungsi lumbal. Antikoagulasi, misalnya
heparin atau warfarin (Coumadin), mungkin menjadi faktor penyebabnya.

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis


walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak
terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena
tarikan ketika terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Karena perdarahan subdural
sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah
16

hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom
sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan
yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan
kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian
bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Keluhan bisa timbul langsung
setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah mengidap trauma kapitis. Masa
tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan bisa berlangsung berminggu-minggu,
berbulan-bulan bahkan ada kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun demikian,
latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan.
Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh
tentang sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga
mengeluh setelah mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul
gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada
saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala
tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, organic brain syndrome,
hemiparesis ringan, hemiparestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya tandatanda papiledema.

Sebuah

hematoma

subdural sisi kiri akut (SDH).

Perhatikan intensitas sinyal tinggi darah akut dan ringan) pergeseran garis tengah (dari
ventrikel). SDH biasanya ditandai berdasarkan ukuran, lokasi, dan lama terjadinya
(misalnya, apakah terjadinya akut, subakut, atau kronis). Faktor-faktor ini, serta
kondisi neurologis pasien, menentukan pengobatan dan mungkin juga mempengaruhi
hasilnya.
SDH sering diklasifikasikan berdasarkan jangka waktu yang telah berlalu dari
waktu terjadinya (jika diketahui) untuk diagnosis. Bila proses kejadian tidak
17

diketahui, gambaran hematoma pada CT scan atau MRI dapat membantu menentukan
kapan hematoma terjadi.
Umumnya, SDH akut kurang dari 72 jam dan hyperdense dibandingkan
dengan otak pada CT scan. Subakut SDH adalah 3-20 hari lamanya dan isodense atau
hypodense dibandingkan dengan otak. Kronis SDH adalah 21 hari (3 minggu) atau
lebih lama dan hypodense dibandingkan dengan otak. Namun, SDH dapat berbentuk
gabungan seperti ketika perdarahan akut telah terjadi menjadi SDH kronis.
Dalam sebuah penelitian, 82% pasien koma dengan SDH akut telah memar
parenkim. Tingkat keparahan cedera difus parenkim mempunyai korelasi kuat
(korelasi inverse) dengan hasil pasien. Dalam kenyataan ini, sebuah SDH yang tidak
terkait dengan cedera otak yang mendasari kadang-kadang disebut sebuah SDH
sederhana atau murni, sedangkan istilah yang rumit telah diterapkan untuk SDH di
mana cedera yang signifikan dari otak yang mendasari juga telah diidentifikasi.
Adanya atrofi otak atau hilangnya jaringan otak karena sebab apapun, seperti usia tua,
alkoholisme, hidrosefalus, atau stroke, dapat memberikan ruang yang meningkat
antara dura dan permukaan otak mana hygroma subdural dapat terbentuk atau traksi
pada vena yang menjembatani span kesenjangan antara permukaan kortikal dan dura
atau sinus vena. Hygromas mungkin terbentuk setelah cairan di arakhnoid
memungkinkan cerebrospinal fluid (CSF) untuk terkumpul di ruang subdural. Sebuah
hygroma subdural mungkin karena itu juga terjadi setelah trauma kepala, mereka
seringkali tanpa gejala. Sebagian kecil kasus kronis SDH berasal dari kasus SDH akut
yang telah memburuk karena kurangnya perawatan.

Atrofi dari otak, menghasilkan ruang antara permukaan otak dan tengkorak,
meningkatkan risiko hematoma subdural (SDH).
18

Trauma cedera kepala terus menjadi masalah kesehatan yang signifikan di


Amerika Serikat dan di tempat lain. Subdural hematoma (SDH) adalah jenis yang
paling umum dari lesi massa intrakranial, terjadi tidak hanya pada pasien dengan
cedera kepala berat, tetapi juga pada pasien dengan cedera kepala kurang berat,
terutama mereka yang sudah berusia lanjut atau yang menerima antikoagulan. SDH
dapat dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan tingkat morbiditas, bahkan
dengan perawatan terbaik medis dan bedah saraf.
III.2.1 Etiologi

Hematoma subdural akut (SDH)


o

Head trauma Trauma kepala

Koagulopati atau antikoagulasi medis (misalnya, warfarin [Coumadin],


heparin, hemofilia, penyakit hati, trombositopenia)

Perdarahan intrakranial non traumatic karena aneurisma serebral,


kelainan arteriovenosa, atau tumor (meningioma atau metastasis dural)

Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)

Hipotensi intrakranial (misalnya, setelah pungsi lumbal, lumbal CSF


bocor, tabrakan lumboperitoneal, anestesi epidural spinal 5

Spontan atau tidak diketahui penyebabnya (jarang)

SDH Kronis
o

Trauma kepala (mungkin relatif ringan, misalnya, pada individuindividu yang lebih tua dengan atrofi otak)

SDH akut, dengan atau tanpa intervensi bedah

Spontan atau idiopatik

19

Faktor risiko untuk SDH kronis termasuk kronis alkoholisme , epilepsi,


koagulopati, kista arakhnoid, terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit
kardiovaskuler (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes. Pada
pasien yang lebih muda, alkoholisme, trombositopenia, gangguan koagulasi, dan
terapi antikoagulan oral telah ditemukan untuk menjadi lebih lazim. Kista pada
Arachnoid lebih umumnya terkait dengan pasien yang lebih muda dari 40 tahun
dengan SDH kronis. Pada pasien yang lebih tua, penyakit jantung dan hipertensi arteri
yang ditemukan lebih umum. In one study, 16% of patients with chronic SDH were on
aspirin therapy. Dalam sebuah penelitian, 16% dari pasien dengan SDH kronis pada
terapi aspirin. Dehidrasi Mayor adalah suatu kondisi yang kurang umumnya terkait
dan ditemukan bersamaan hanya 2% pasien.
III.2.2 Patofisiologi
Hematoma subdural akut
Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut (SDH) adalah
dampak berkecepatan tinggi untuk tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak
untuk mempercepat atau melambat relatif terhadap struktur dural tetap, merobek
pembuluh darah, terutama vena bridging. Cedera kepala primer juga dapat
menyebabkan hematoma otak berhubungan atau memar, perdarahan subarachnoid,
dan menyebar aksonal cedera. Cedera otak sekunder dapat meliputi edema, infark,
perdarahan sekunder, dan herniasi otak.
Sering kali, pembuluh darah robek adalah vena yang menghubungkan
permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut sebagai vena bridging). Atau,
pembuluh darah korteks, baik arteri vena atau kecil, dapat rusak oleh cedera langsung
atau robekan. Suatu SDH akut karena arteri cortical pecah dapat berhubungan dengan
hanya cedera kepala ringan, mungkin tanpa memar otak yang terkait. Dalam sebuah
penelitian, arteri cortical pecah ditemukan berada sekitar fisura sylvian. Pada orang
lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena atrofi otak
(penyusutan yang terjadi dengan usia).
Seperti massa lainnya yang memperluas di dalam tengkorak, SDHs bisa
menjadi mematikan dengan meningkatkan tekanan dalam otak, menyebabkan
perubahan patologis dari jaringan otak (herniations otak). Dua tipe umum dari
20

herniasi otak termasuk subfalcial (cingulate gyrus) herniasi dan transtentorial (uncal)
herniasi. herniasi Subfalcial dapat menyebabkan infark otak melalui kompresi dari
arteri serebral anterior, dan herniasi transtentorial dapat menyebabkan suatu infark
melalui kompresi dari arteri serebral posterior. Transtentorial herniasi juga
berhubungan dengan tekanan pada saraf kranial ketiga, menyebabkan reaktivitas
menurun dan kemudian dilatasi pupil ipsilateral.
Dengan herniasi transtentorial progresif, tekanan pada batang otak menyebabkan
migrasi ke bawah. Air mata ini pembuluh darah penting yang memasok batang otak,
mengakibatkan perdarahan Duret dan kematian. Peningkatan tekanan intrakranial
(ICP) juga dapat menurunkan aliran banjir serebral, mungkin menyebabkan iskemia
dan edema dan meningkatkan lebih lanjut ICP, menyebabkan lingkaran setan
peristiwa pathophysiologic.
Hematoma subdural kronis
Kronis SDH mungkin mulai sebagai hygroma subdural, yang dimulai sebagai
pemisahan dalam antarmuka dura-arakhnoid, yang kemudian diisi oleh CSF. Sel
berkembang biak di sekitar perbatasan dural koleksi ini CSF untuk menghasilkan
sebuah neomembrane. Pembuluh darah yang pecah kemudian tumbuh menjadi
membran. These vessels can hemorrhage and become the source of blood into the
space, resulting in the growth of the chronic SDH. Pada pembuluh darah ini dapat
terjadi perdarahan dan menjadi sumber darah ke ruang, mengakibatkan pertumbuhan
SDH kronis. SDH kronis juga dapat berkembang dari pencairan dari SDH akut,
terutama yang relatif tanpa gejala. Pencairan biasanya terjadi setelah 1-3 minggu,
dengan hematoma hypodense muncul pada CT scan.
SDH kronis yang terbentuk dari SDHs akut mungkin memiliki membran
antara dura dan hematoma pada 1 minggu dan antara otak dan hematoma pada 3
minggu. Sebagaimana dinyatakan di atas, pembuluh rapuh baru dapat tumbuh ke
dalam membran. Jika tidak diresorpsi, kapal dalam membran yang mengelilingi
hematoma dapat perdarahan berulang kali, memperbesar hematoma. Beberapa SDH
kronis juga bisa membesar dari gradien osmotik, menarik lebih banyak cairan ke
dalam ruang subdural, atau melalui mekanisme terpisah kalsifikasi (Atkinson, 2003).

21

Pada tahun 1989, Kawakami menemukan bahwa sistem koagulasi dan fibrinolisis
berdua berlebihan diaktifkan di SDH kronis. Hal ini menyebabkan pembentukan
bekuan rusak dan perdarahan berulang. Katano et al (2006) baru-baru ini melaporkan
status penanda molekul lain dalam SDHs kronis.

Acute subdural hematomaHematoma subdural akut


Hematoma subdural akut yang paling mungkin terjadi setelah cedera kepala
dari jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, atau penyerangan. SDH lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-untuk-wanita sekitar
3:1. Pasien dengan SDH harus diperiksa untuk cidera (menggunakan pedoman yang
ditetapkan oleh American College of Surgeons Komite Trauma), seperti fraktur tulang
belakang leher, cedera tulang belakang, atau patah tulang panjang.
Pasien ditemukan memiliki SDH akut biasanya lebih tua dari pasien lain
dengan trauma. Dalam sebuah penelitian, usia rata-rata pasien dengan trauma tetapi
tanpa SDH akut adalah 26 tahun, sedangkan usia rata-rata pasien dengan SDH akut
adalah 41 tahun. Oleh karena itu, pasien yang lebih tua tampaknya berisiko lebih
besar untuk mengembangkan SDH akut setelah cedera kepala. Hal ini diyakini karena
pasien yang lebih tua memiliki lebih atrofi, yang memungkinkan kekuatan lebih tipis
terhadap vena bridging segera setelah dampak.
Presentasi klinis pasien dengan SDH akut tergantung pada ukuran hematoma
dan tingkat cedera otak yang terkait parenkim. Beberapa gejala yang terkait dengan
SDH akut termasuk sakit kepala, mual, kebingungan, perubahan kepribadian,
penurunan tingkat kesadaran, kesulitan bicara, perubahan lain dalam status mental,
gangguan penglihatan atau penglihatan ganda, dan kelemahan. Tentu saja, gejala
seperti itu juga bisa disebabkan oleh kondisi lainnya.
Neurologis temuan terkait dengan SDH akut mungkin termasuk yang berikut:

Perubahan tingkat kesadaran

22

A dilated or nonreactive pupil ipsilateral to the hematoma (or earlier: a pupil


with a more limited range of reaction) Dilatasi pupil atau nonreactive
ipsilateral untuk hematoma (atau sebelumnya: seorang murid dengan rentang
yang lebih terbatas reaksi)

Hematoma kontralateral mengakibatkan hemiparesis.

Sejumlah temuan dapat dikaitkan dengan ini, seperti refleks cepat atau abnormal,
aphasia (biasanya dengan hematoma kiri-sisi), drift ekstremitas atas, atau gangguan
fungsi sensorik kortikal. Temuan Kurang umum termasuk papilledema dan unilateral
atau bilateral palsi saraf kranial VI. Beberapa hal di atas dapat terjadi kemudian dalam
perjalanan klinis, misalnya, koma dengan seorang murid tetap dilatasi biasanya
menunjukkan herniasi transtentorial sepihak. Kurangnya penemuan (misalnya,
papilledema) tidak dapat mengesampingkan SDH.
Kurang umum, hemiparesis mungkin ipsilateral ke hematoma, mungkin karena
langsung cedera parenkim atau kompresi dari batang otak kontralateral ke hematoma
terhadap tepi cerebelli tentorium (fenomena takik Kernohan). Oleh karena itu, jika
temuan bertentangan, indikator yang paling dapat diandalkan (dengan pemeriksaan)
dari sisi hematoma adalah murid melebar atau nonreactive, yang muncul pada sisi
yang sama dengan hematoma.
Pasien mungkin memiliki interval jelas setelah trauma yang menyebabkan sebuah
SDH. Selain itu, CT scan temuan awal mungkin negatif (misalnya, perdarahan
intrakranial tertunda).
Meskipun SDHs akut paling sering terjadi di belahan otak (konveksitas), mereka
juga dapat ditemukan antara belahan sepanjang falx (SDH interhemispheric),
sepanjang tentorium, atau di fosa posterior. Interhemispheric SDHs mungkin tanpa
gejala atau bermanifestasi sebagai sakit kepala, kesadaran terganggu, atau hemiparesis
atau monoparesis (lebih cenderung mempengaruhi kaki kontralateral dari tangan).
Subdurals Interhemispheric biasanya dikelola konservatif kecuali kerusakan
neurologis ditemukan.
Hematoma subdural kronis
23

Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi SDH kronis. Rasio laki-untukperempuan telah dilaporkan 2:1. Kebanyakan orang dewasa dengan SDH kronis lebih
tua dari 50 tahun, dengan 2 studi pelaporan usia rata-rata 68 dan 70,5 tahun.
Satu

setengah dari pasien dengan SDH kronis tidak memiliki sejarah

diidentifikasi dari trauma kepala. Jika seorang pasien tidak memiliki riwayat trauma
kepala, biasanya ringan. Waktu rata-rata antara terjadinya trauma kepala dan diagnosis
SDH kronis adalah 4-5 minggu.
Presentasi klinis untuk SDH kronis sering membahayakan, dengan gejala yang
mencakup penurunan tingkat kesadaran, sakit kepala, kesulitan dengan gaya berjalan
atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau kehilangan memori, defisit motor
(misalnya hemiparesis), sakit kepala, atau aphasia. SDH kronis mungkin memiliki
presentasi

yang

mirip

dengan

penyakit

Parkinson.

Presentasi

akut

juga

memungkinkan, seperti dalam kasus seorang pasien yang menyajikan dengan kejang.
Pemeriksaan neurologis dapat menunjukkan perubahan status mental,
hemiparesis, papilledema, hyperreflexia atau asimetri refleks, hemianopsia, atau
disfungsi saraf kranial ketiga atau keenam. Temuan tersebut juga dapat dikaitkan
dengan entitas lain. Pada pasien berusia 60 tahun atau lebih, hemiparesis dan asimetri
refleks tanda-tanda presentasi umum. Pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun,
sakit kepala adalah gejala presentasi umum. SDH kronis telah dilaporkan bilateral di
8,7-32% kasus.

III.2.3 Indikasi untuk operasi


Sifat dan waktu intervensi bedah saraf tergantung pada beberapa faktor,
termasuk usia, ukuran, dan lokasi hematoma dan kondisi medis dan neurologis pasien.
Pembedahan mungkin sangat diperlukan, namun bahkan pembedahan darurat tidak
menjamin hasil yang memuaskan.
Bedah evakuasi melalui kraniotomi sering dipertimbangkan pada pasien
dengan hematoma subdural akut (SDH) lebih tebal dari 5 mm (diukur dengan aksial
CT scan) yang memiliki tanda-tanda neurologis, seperti lesu atau perubahan lain
dalam status mental, atau defisit neurologis fokal . Bullock dkk baru-baru ini
melaporkan bahwa "sebuah SDH akut dengan ketebalan lebih besar dari 10 mm, atau
24

pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm pada computed tomography (CT) scan harus
operasi dievakuasi, terlepas dari pasien Glasgow Coma Scale (GCS) skor. " Bedah
untuk hematoma subdural kronis (SDH) dapat diindikasikan jika SDH merupakan
gejala atau menghasilkan efek massa yang signifikan, sebagai dievaluasi dengan
pencitraan diagnostik.
Diagnostik imaging yang menunjukkan hematoma meluas juga mungkin
menunjukkan perlunya operasi, bahkan pada beberapa pasien yang status neurologis
mendekati normal.

III.2.4Kontraindikasi untuk operasi


Kontraindikasi untuk operasi ditentukan berdasarkan kasus per kasus,
tergantung pada faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien neurologis
dan medis. Sebagai contoh, seorang pasien dengan hematoma subdural besar tidak
dapat menjadi calon bedah jika ia telah mati otak secara bersamaan, kerusakan
neurologis diantisipasi parah, hidup berdampingan lesi otak (misalnya, infark), atau
kondisi medis yang kontraindikasi terhadap anestesi umum atau operasi (misalnya,
koagulopati sebelum koreksi). Apa yang diketahui dari pasien dan kepercayaan
keluarga dan petunjuk mungkin memainkan peran dalam keputusan ini.
Di ujung lain spektrum, SDH akut kecil tipis dari 5 mm pada gambar CT axial
tanpa efek massa cukup untuk menyebabkan pergeseran garis tengah atau tanda-tanda
neurologis mungkin dapat diamati secara klinis. MRI mungkin lebih sensitif
dibandingkan CT scan dalam mendeteksi SDH kecil. Sebuah SDH kronis dengan efek
massa minimal atau tidak ada pada studi imaging dan tidak ada gejala neurologis atau
tanda-tanda kecuali sakit kepala ringan sering diamati dengan scan serial dan dapat
diselesaikan tanpa intervensi bedah.

III.3 Epidural hematoma

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus25

sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka
darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah
yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi
pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan
masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan
cepat terjadi.

III.3.1 Insiden kejadian


Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.(2,9)

III.3.2 Anatomi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti
adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari
cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan secepatnya dari tim medis
untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik
dan bahkan kematian.

26

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,


padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane
dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti
pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang
subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh
ini dapat emmbawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang
jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala
yang seksama bila galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau
tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula eksterna,
dan dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan
suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . tabula
interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior, media, dan
p0osterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekopyaknya salah satu
dari artery-artery ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam
ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan
diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater .
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang
membungkus dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang
berlanjut terus di foramen mgnum dengan dura mater spinalis yang
membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
27

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak
pembuluh darah.

III.3.3. PATOFISIOLOGI
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
28

mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa
jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada
subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri
kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan
diperiksa dengan teliti.

III.3.4. GAMBARAN KLINIS


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien
dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang
telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.
Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.

29

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari


cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal
batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
30

III.3.5 GAMBARAN RADIOLOGI


Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering
di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

31

III.3.6 PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau
gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan
meningkakan drainase vena.
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema
cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang
terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini
mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk
penggunaan

jangka

panjang dapat

dilanjutkan

dengan

karbamazepin. Tri-

hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke


susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam
hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk
mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap
otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10
mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam
serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.

III.3.7 Terapi Operatif


Operasi di lakukan bila terdapat :

Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

Keadaan pasien memburuk


32

Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.

III.4 Pemilihan obat anestesi pada kraniotomi


Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obatobatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang
menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian TIK,pemakaiannya
sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal ini adalah ketamin,
yang merupakan

vasodilator kuat dan karenanya secara umum dicegah

penggunaannya pada pasien cedera kepala. Semua obat

anestesi inhalasi dapat

meninggikan aliran darah serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil
seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral,
namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit
kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek
vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik

tidak bermakna, dan karenanya

dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.
33

Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan


oksigen), relaksan otot

intravena, dan

tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan

mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan
membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila
selama

operasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang

refraktori

terhadap

hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg)
harus digunakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien
hipovolemik, karenanya harus digunakan

hati-hati. Sebagai pilihan terakhir,

penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau nitroprussida


(Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting untuk memastikan
penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat kompresi leher dan
adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi kraniotomi.

III.5 Tatalaksana intubasi pada pasien


Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE
(primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP memerlukan
intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi
airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi
ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan
tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena
sehingga akan meningkatkan ICP.
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan
usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus
dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan
walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui
mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan aliran balik
vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala
adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan karena
apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada
leher akan menyebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan memperlambat
aliran balik vena.
34

III.6 Target yang di inginkan pada anestesi kraniotomi


Tujuan
a. Menurunkan tekanan intracranial
b. Memperbaiki aliran darah otak
c. Mencegah dan menghilangkan herniasi
Tatalaksana
a. Mengurangi volume komponen-komponen otak
1. Volume darah
o Hiperventilasi
o Pemberian obat-obatan anestesi menyebabkan vasokonstriksi .
o Analgesik,sedative
o Mencegah hipertemi ( menurunkan metabolisme otak )
2. Jaringan otak
o Manitol
o Deksametason
3. Cairan serebrospinal
o Furosemide
o Asetazolamid
b. Mempertahankan fungsi metabolik otak
o Tekanan O2 90-120 mmHg
o Atasi kejang
o Jaga keseimbangan elektrolit dan metabolic
o Kadar Hemoglobin dipertahankan 10 mg/dl.
o Mempertahankan MAP dalam batas normal
c. Menghindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial
1. Pengelolaan pemberian cairan
o Keseimbangan cairan
35

Diuresis > 1ml/kgbb/jam

2. Posisi kepala

36

BAB IV PEMBAHASAN KASUS


1) Pra Operatif
Pasien datang dari bangsal ICU setelah sebelumnya sudah ditangani di
IGD terlebih dahulu. Pada saat datang keadaaan umum pasien sedang, keluhan
merasa nyeri di kepala dan tidak bisa berjalan karena kelemahan anggota
gerak sebelah kiri dengan GCS E4M6V5, TD: 150/90, N: 80x/menit, RR:
22x/menit, S : 36C. Pasien tidak mempunyai riwayat operasi sebelumnya,
tidak mempunyai riwayat alergi. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung
sebelumnya dan memiliki hipertensi yang terkontrol selama 1 tahun terakhir
2) Operatif
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada pasien ini diputuskan
untuk dilakukan general anestesi dengan teknik semi closed system dan
memakai fasilitas intubasi. Alasannya karena tindakan operasi tersebut
termasuk operasi besar khusus, dan berlangsung kurang lebih 1 jam sehingga
dengan teknik ini diharapkan jalan nafas dapat dikendalikan dengan baik.
Sebelum

dilakukan

tindakan

anestesi

terlebih

dahulu

diberikan

premedikasi. Premedikasi yang digunakan adalah Sulfas Atropin (SA) dan


Miloz , dan fentanyl . SA diberikan dengan dosis 0,01 mg/kgBB pemberiannya
secara intravena. Pada pasien ini diberikan dengan dosis 0,25 mg. Indikasi SA
adalah untuk penanganan hipersekresi dan hipersalivasi sebelum atau setelah
operasi. Efek sampingnya berupa kekeringan mulut dan kekaburan pandangan.
Sedangkan pemberian Milozyang mengandung midazolam dengan dosis 3 mg
iv digunakan sebagai pelemas otot.Midazolam mempunyai durasi dan onset
cepat. Onsetnya adalah 2-12 menit dengan durasi 2,5 jam. Efek samping
midazolam adalah amnesia anterograde sehingga diharapkan pasien tidak
dapat mengingat kejadian selama di ruang operasi untuk menghindari trauma
psikologis. Fentanyl 50 mcg digunakan sebagai premedikasi untuk
mengurangi kecemasan pasien dan nyeri .
Untuk induksi diberikan Propofol dan Noveron. Indikasi Propofol adalah
sebagai induksi sedative pada anastesi umum dan sedasi pada perawatan
intensif. Suntikan secara iv seringkali menyebabkan nyeri oleh karenanya
37

dapat diberikan lidocain 1-2 mg/kgBB secara iv dan harus dilakukan perlahan
untuk mengurangi nyerinya. Dosis pemberian propofol untuk induksi adalah
23mg/kgBB sehingga pada pasien ini diberikan dosis 100mg. Pada wanita
hamil tidak dianjurkan karena dapat menembus plasenta. Noveron dipakai
untuk relaksasi otot-otot pernapasan dan supaya pasien tidak bergerak dan
relax selama operasi, Noveron yang dipakai 40 mg. Untuk menahan gejala
mual pada pasien diberikan ondansntron 4 mg agar tidak ada aspirasi ke paru
pada saat ekstubasi nanti.
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi
yang digunakan adalah N2O, O2, dan Isofluran. N2O merupakan zat anestesi
yang lemah tapi mempunyai efek analgetik yang kuat. Pemberian N2O
biasanya bersamaan dengan O2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
hipoksia. Selain itu N2O bersifat mendesak oksigen dalam tubuh karena
sebagian besar N2O maasuk ke dalam alveoli yang akan menyebabkan
terjadinya hipoksia dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipoksia difusi adalah dengan cara pemberian O2 tinggi beberapa menit setelah
selesai anestesi. Selain digunakan juga halothan untuk menjaga tingkat sedasi
dari pasien. Baunya tidak mengganggu dan tidak merangsang jalan nafas,
maka oleh sebab itu sering digunakan untuk maintenance anastesi umum dan
induksi inhalasi pada pasien anak yg umumnya kurang kooperatif. Pada
rumatan nafas spontan biasanya diberikan 12 vol% sedangkan pada rumatan
pasien dengan nafas terkendali sekitar 0,51 vol%. Isofluran tidak
menyebabkan vasodilatasi serebral yang meninggikan aliran darah ke otak
yang sulit dikendalikan sehingga dianjurkan untuk operasi pada bedah otak
dibandingkan penggunaan halotan.
Pada pasien kraniotomi biasanya disertai perdarahan yang cukup banyak
sehingga diperlukan obat yang bersifat hemostatik. Untuk mengatasinya maka
pada pasien diberikan Transamin yang berisi Asam traneksamat dengan dosis
500mg iv dikombinasi dengan vitamin K yang berperan dalam faktor
pembekuan darah dan vitamin C yang bertujuan untuk meningkatkan kerja
dari obat Transamin sehingga volume perdarahan bisa ditekan. Akan tetapi
pada operasi kraniotomi ini hanya digunakan asam traneksamat
Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri operasi dan pasca operasi
diberikanketorolac dengan dosis 30 mg/ml. Ketorolac merupakan senyawa anti
38

inflamasi non steroid bekerja pada jalur siklo oksigenase, menghambat


biosintesis prostaglandin dengan aktifitas analgetik yang kuat secara perifer
maupun sentral, disamping itu memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik.
Ketorolac tromethamine memiliki efek analgetik yang setara dengan morfin
atau pethidin namun efeknya lebih lambat. Sehingga digunakan untuk nyeri
pasca operasi.
Efedrin merupakan agonis reseptor , 1, dan 2 sehingga merangsang
pelepasan norepinefrin dari neuron simpatis. Dengan lepasnya norepinefrin
akan menyebabkan bronkodilatasi dan meningkatkan aktivitas kardiovaskular
dengan cara menstimulasi detak jantung sehingga mempengaruhi cardiac
output disertai dengan vasokonstriksi sehingga berefek pada meningkatnya
tekanan

darah.

Efedrin

dapat

meningkatkan

gula

darah

sehingga

penggunaannya pada pasien diabetes perlu diperhatikan.


Neostigmin merupakan salah satu antikolinesterase yang paling sering
digunakan sebagai penawar pelumpuh otot. Dosis neostigmin adalah
0,040,08 mg/kgBB. Neostigmin bersifat muskarinik sehingga menyebabkan
hipersalivasi, hipersekresi, bradikardi, bronkospasme, hipermotilitas usus,
sehingga penggunannya harus diperhatikan dan disertai obat vagolitik seperti
Atropin dosis 0,010,02mg/kgBB. Penggunaan deksametason dimaksudkan
untuk mengurangi peradangan pasca pembedahan.
Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan kristaloid dan
koloid pada pasien selama operasi dan cairan kristaloid selama puasa
perioperatif.Setelah selesai operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan dan
diberikan O2 secara inhalasi 2 l/mnt untuk mencegah hipoksia akibat
N2O.Pasien diberikan 6 kantong RL , 1 FFP , dan 1 PC.
Terapi Cairan
Kebutuhan cairan

Operasi : berlangsung 180 menit

BB : 52 KG
1. Maintenance : 52 x 2 = 104 cc/jam x 3

= 312 cc

2. Stress operasi : 52 x 8 = 416 cc/jam x 3

=1248cc

3. Pengganti puasa : 104 x 8

= 832 cc

Total cairan = 832 cc + 312 cc + 1248 cc

= 2392 cc

39

Pemberian cairan :
1 jam pertama : 50 % dari total

= 1196 cc

1 jam kedua : 25 % dari total

= 598 cc

1 jam terakhir : 25 % dari total

= 598 cc

Cairan yang diberikan 6 kantong x 500cc

= 3000 cc

Pada operasi juga diberikan 1 kantong FFP dan 1 kantong PC

3) Post Op
Laporan di Ruangan ICU
A
: Clear
B
: Rr : 24 x / mnt, SN vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- , ventilator ()
C
: TD : 130/80 mmHg, N: 90 x /mnt, S: 36,7 0C
D
: GCS : 8 (E2M4V2)
Instruksi post op
-Tirah baring
-IVFD RL 20 tpm
-Injeksi neulin 2x 500 mg iv
-Injeksi neurobion 5000 1x1 amp
-Injeksi tramadol 2x1 amp
-Pasien dipasang kateter dan drainage
-Pantau urine output dan cairan drainage

40

BAB V Daftar Pustaka

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah
P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.

Pramudianti, Arlina, dkk. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 10.
Jakarta : BIP

Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif FK UI.
Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme
Medical Publisher, New York,1996, 22

Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition,


Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 178

Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006, 359-366

Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC,
Jakarta, 2004, 818-819

41

Anda mungkin juga menyukai