diuji, pada interval waktu yang ditentukan dengan metode angka lempeng
Penentuan produk yang memenuhi kriteria, merupakan produk yang
menggunakan pengawet yang sesuai, baik untuk proses pembuatan maupun
obat
untuk
melindungi
sediaan
tersebut
terhadap
kontaminasi
penggunaan obat, dimana manusia, lingkungan (ruangan, udara), bahan obat dan
bahan pembantu, alat kerja seperti mesin dan bangahan pengemas primer merupakan
sumber kontaminasi utama (Natsir, 2008).
Ingesti dari makanan mengandung toxin dan pathogen manusia yang dapat
menyebabkan variasi dari penyakit. Ini harus dihambat kontaminasinya pada produk
makanan dengan pathogen manusia dan untuk mengontrol potensial proliferasi dari
produksi toxin mikroorganisme, dimana dapat menghasilkan keracunan pada
makanan. Pada beberapa kasus, pertumbuhan dari mikroorganisme pathogen dalam
penyertaan makanan oleh bentuk yang nyata dari bentuk yang rusak. Seperti produksi
dari gas atau bau bahan bahan yang kotor, dimana memberikan indikasi bahwa
produk tidak boleh dinamakan. Pada kasus lain, mereka tidak secara nyata bentuk
perusakannya untuk mengindikasi adanya pathogen atau toxin. Ini dibutuhkan untuk
membawa keluar program inspeksi pada kemungkinan deteksi kontaminais dari
produk makanan dengan mikroorganisme petogen (Atlas, 2006).
Adanya mikroorganisme dalam suatu sediaan obat dapat menyebabkan
perubahan sediaan obat yang tidak dikehendaki, disamping itu dapat menyebabkan
terjadinya bulukan, kekeruhan, pembentukan bau, dan fermentasi dan bahaya
terjadinya infeksi oleh mikroorganisme pathogen dan kemungkinan terbentuknya
produk metabolism yang dihasilkan oleh mikroorganisme pencemar tersebut. Usaha
yang penting mengurangi kandungan mikroorganisme dapat dilakukan pencegahan
(produksi higienis), menghilangkan seperti penyaringan, inaktivitas (dengan cara
fisika, kimia). Untuk mempertahankan kemurnian sutau sediaan obat selama dalam
penyimpanan dan penggunaan, maka dibutuhkan sutau penstabilisasi dengan bahan
anti microbial yang disebut pengawet. Pengawet digunakan untuk wadah dosis ganda
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat masuk dengan tidak
sengaja selama atau setelah proses produksi (Natsir, 2008).
Pengontrolan dari kualitas makanan adalah utamanya mengenai dengan tes
produk maknan untuk melihat kehadiran dari mikroorganisme spesifik. Produk
makanan adalah pembawa utama respon untuk transmisi dari penyakit akibat
mikroorganisme dari system pencernaan. Untuk alasan ini, produk makanan harus di
uji untu melihat kehadiran dari bakteri (Prescott, 2002).
Populasi bakteri dapat menjadi luar biasa banyak dalam waktu yang singkat.
Dengan memahami kondisi ini, kita dapat menentukan cara mengontrol pertumbuhan
bakteri penyebab penyakit atau bakteri perusak makanan (Maksum, 2002).
Cara pengujian efektivitas pengawet. Bila kemasan sediaan dapat ditembus
dengan menggunakan jarum suntik, maka disiapkan 5 wadah asli dari sediaan. Tetapi
bila wadah tidak dapat ditembusi secara aseptic, maka pindahkan 20 ml contoh ke
dalam tabung reaksi yang bertutup sebanyak 5 buah. Selanjutnya dilakukan inokulasi
suspense mikroorganisme uji sebanyak 0,1 ml yang setara dengan 20 ml sediaan.
Dilakukan penetapan jumlah mikroorganisme hidup pada setiap suspense inokulum.
Hitung angka awal mikroorganisme per ml sediaan yang di uji dengan metode
taburan atau pour plate. Dilakukan pengamatan pada hari ke 7, 14, 21, dan 28 setelah
dilakukan inokulasi (Natsir, 2008).
Pengawet yang digunakan secara farmasetik dapat dibagi menjadi 5
kelompok, yaitu : (1) Fenol dan turunanya, (2) alcohol alifatik dan aromatic, (3)
Senyawa air raksa organic, (4) senyawa ammonium kuarterner dan (5) asam karbonat
(Natsir, 2008).
Bahan pangan atau makanan disebut rusak atau tidak layak dimakan jika
sifat-sifat bahan pangan atau makanan tersebut telah berubah. Kerusakan pangan
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau binatang pengerat, adanya aktivitas
enzim dan non enzim dalam bahan makanan, dan adanya kerusakan fisik, misalnya
karena proses pembekuan, pengeringan, pemanasan, dan tekanan (Maksum. 2011).
dideteksi
jika
pertumbuhan
mikroorganisme
tersebut
menyebabkan
bekerja pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses
peragian tergantung pada bahan yang akan diragikan.
c. Pengawetan secara Kimia
pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang
bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah
penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat,
asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia,
sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan kedalam bahan makanan yang akan
diawetkan.
Pengawetan dengan cara dehidrasi. Dehidrasi dapat digunakan untuk
menngawetkan bahan makanan terutama karena menghambat pertumbuhan;
mikroorganismenya sendiri tidak selalu terbunuh. Pertumbuhan mikroorganisme
dapat dicegah dengan cara mengurangi kelembapan lingkungannya sampai dibawah
titik kritis. Titik kritis ditentukan oleh ciri-ciri organisme yang bersangkutan dan oleh
kepastian bahan makanan untuk mengikat air sehingga tidak tersedia sebagai
kelembapan bebas yang dapat ditiadakan oleh proses dehidrasi (Pelcaar. 2009).
Walaupun khamir dan kapang relatif resisten terhadap perubahan osmotik,
tetapi proses-proses pengawetan pangan yang didasarkan pada prinsip ini
bagaimanapun juga sangat bermanfaat. Jeli dan selai jarang diganggu oleh kegiatan
bakteri karena kadar gulanya tinggi. Namun, seringkali dijumpai juga pertumbuha
kapang pada permukaan jeli yang terbuka ke udara. Hasil yang sama kita peroleh bila
mengawetkan daging dan bahan makanan lain dalam larutan garam. Tekanan osmotik
yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroba, tetapi tidak dapat diandalkan
untuk mematikan organisme (Irianto. 2006).
Hanya beberapa macam zat kimia secara hukum diterima untuk digunakan
dalam pengawetan makanan.Diantaranya yang paling efektif ialah asam benzoat,
sorbat, asetat, laktat dan propionat, kesemuanya ini adalah asam organik.Asam sorbat
Clostridium
botulinum.Kemungkinan
nitrit
bersifat
karsinogenik
DAFTAR PUSTAKA
Burchanan, Egibbobins. 1974. Determinatif Bakteriologi. The Williams and Wilkins
Company.
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Depkes RI; Jakarta.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI; Jakarta.
Garrity M. George, 2004. Taxonomic Autline of the Prokaryetos Bergey`s Manual
Systemic Bacteriology. Second edition.
Irianto, Koes. 2006. Mikrobiologi, Jilid I. Yrama Widya. Bandung.
Pelcaar, Michael.2009. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia.
Pratiwi, Sylvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Jakarta.
Radji, Maksum. 2002.Buku Ajar Mikrobiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta
Atlas, M, Ronald. 2006 . Microbiological Media For The Examination Of Food.
Second Edition. CRC Press.
Ditjen POM,1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI: Jakarta.
Ditjen POM 1995.Farmakope Indonesia Edisi IV.Depkes RI: Jakarta.
Koes, Irianto. 2006 . Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Yrama
Widya: Bandung.
Natsir, Djide. 2008 . Dasar Dasar Mikrobiologi Farmasi . Universitas Hassanuddin :
Makassar.
Natsir, Djide. 2008 . Analisis Mikrobiologi Farmasi . Universitas Hassanuddin :
Makassar.
Prescott, Harley. 2002 . Laboratory Exercises In Microbiology. Fifth Edition. The
McGraw Hill Companies
Radji, Maksum, M.Biomed. 2002. Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran . ECG : Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana,Raharja. 2002 . Obat Obat Penting. Kelompok
Gramedia : Jakarta.