Anda di halaman 1dari 9

PERCOBAAN 8

UJI AKTIVITAS PENGAWET


8.1 Tujuan
Agar mahasiswa mampu dan mengerti pratikum ini untuk menetapkan
efektivitas antimikroba meliputi penentuan kesesuaian kinerja minimal pengawet
dalam kosmetika dan obat. Mampu memastikan dan mengevaluasi efektifitas
kesesuaian pengeawet dan kinerja minimal pengawet.
8.2 Prinsip

Uji tantang terhadap produk bebas cemaran dengan mengunakan mikroba


baku yang telah ditetapakan, kemudian produk yang telah diinokulasi tersebut

disimpan pada suhu yang telah ditetapkan


Penghitungan jumlah mikroba baku yang bertahan hidup dalam produk yang

diuji, pada interval waktu yang ditentukan dengan metode angka lempeng
Penentuan produk yang memenuhi kriteria, merupakan produk yang
menggunakan pengawet yang sesuai, baik untuk proses pembuatan maupun

pengunaan oleh konsumen


Penentuan produk yang tidak memenuhi kreteria, merupakan produk yang
tidak mengunakan pengawet yang sesuai

8.3 Teori Dasar


Mikroorganisme atau mikroba (jasad renik) terdapat dimana-mana dan
disekitar kita, mereka menghuni tanah, air dan atmosfer planet kita (Irianto, 2006).
Pengawetan dalam bidang farmasi bertujuan untuk mencegah pertumbuhan
mikroorganisme. Pengawet antimikroorganisme adalah zat yang ditambahkan pada
sediaan

obat

untuk

melindungi

sediaan

tersebut

terhadap

kontaminasi

mikroorganisme. Bahaya dari pencemaran mikroorganisme baik bakteri, jamur ata


khamir terdapat dimana-mana selama pembuatan, pengemasan, penyimpanan, dan

penggunaan obat, dimana manusia, lingkungan (ruangan, udara), bahan obat dan
bahan pembantu, alat kerja seperti mesin dan bangahan pengemas primer merupakan
sumber kontaminasi utama (Natsir, 2008).
Ingesti dari makanan mengandung toxin dan pathogen manusia yang dapat
menyebabkan variasi dari penyakit. Ini harus dihambat kontaminasinya pada produk
makanan dengan pathogen manusia dan untuk mengontrol potensial proliferasi dari
produksi toxin mikroorganisme, dimana dapat menghasilkan keracunan pada
makanan. Pada beberapa kasus, pertumbuhan dari mikroorganisme pathogen dalam
penyertaan makanan oleh bentuk yang nyata dari bentuk yang rusak. Seperti produksi
dari gas atau bau bahan bahan yang kotor, dimana memberikan indikasi bahwa
produk tidak boleh dinamakan. Pada kasus lain, mereka tidak secara nyata bentuk
perusakannya untuk mengindikasi adanya pathogen atau toxin. Ini dibutuhkan untuk
membawa keluar program inspeksi pada kemungkinan deteksi kontaminais dari
produk makanan dengan mikroorganisme petogen (Atlas, 2006).
Adanya mikroorganisme dalam suatu sediaan obat dapat menyebabkan
perubahan sediaan obat yang tidak dikehendaki, disamping itu dapat menyebabkan
terjadinya bulukan, kekeruhan, pembentukan bau, dan fermentasi dan bahaya
terjadinya infeksi oleh mikroorganisme pathogen dan kemungkinan terbentuknya
produk metabolism yang dihasilkan oleh mikroorganisme pencemar tersebut. Usaha
yang penting mengurangi kandungan mikroorganisme dapat dilakukan pencegahan
(produksi higienis), menghilangkan seperti penyaringan, inaktivitas (dengan cara
fisika, kimia). Untuk mempertahankan kemurnian sutau sediaan obat selama dalam
penyimpanan dan penggunaan, maka dibutuhkan sutau penstabilisasi dengan bahan
anti microbial yang disebut pengawet. Pengawet digunakan untuk wadah dosis ganda
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat masuk dengan tidak
sengaja selama atau setelah proses produksi (Natsir, 2008).
Pengontrolan dari kualitas makanan adalah utamanya mengenai dengan tes
produk maknan untuk melihat kehadiran dari mikroorganisme spesifik. Produk

makanan adalah pembawa utama respon untuk transmisi dari penyakit akibat
mikroorganisme dari system pencernaan. Untuk alasan ini, produk makanan harus di
uji untu melihat kehadiran dari bakteri (Prescott, 2002).
Populasi bakteri dapat menjadi luar biasa banyak dalam waktu yang singkat.
Dengan memahami kondisi ini, kita dapat menentukan cara mengontrol pertumbuhan
bakteri penyebab penyakit atau bakteri perusak makanan (Maksum, 2002).
Cara pengujian efektivitas pengawet. Bila kemasan sediaan dapat ditembus
dengan menggunakan jarum suntik, maka disiapkan 5 wadah asli dari sediaan. Tetapi
bila wadah tidak dapat ditembusi secara aseptic, maka pindahkan 20 ml contoh ke
dalam tabung reaksi yang bertutup sebanyak 5 buah. Selanjutnya dilakukan inokulasi
suspense mikroorganisme uji sebanyak 0,1 ml yang setara dengan 20 ml sediaan.
Dilakukan penetapan jumlah mikroorganisme hidup pada setiap suspense inokulum.
Hitung angka awal mikroorganisme per ml sediaan yang di uji dengan metode
taburan atau pour plate. Dilakukan pengamatan pada hari ke 7, 14, 21, dan 28 setelah
dilakukan inokulasi (Natsir, 2008).
Pengawet yang digunakan secara farmasetik dapat dibagi menjadi 5
kelompok, yaitu : (1) Fenol dan turunanya, (2) alcohol alifatik dan aromatic, (3)
Senyawa air raksa organic, (4) senyawa ammonium kuarterner dan (5) asam karbonat
(Natsir, 2008).

Bahan pangan atau makanan disebut rusak atau tidak layak dimakan jika
sifat-sifat bahan pangan atau makanan tersebut telah berubah. Kerusakan pangan
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau binatang pengerat, adanya aktivitas
enzim dan non enzim dalam bahan makanan, dan adanya kerusakan fisik, misalnya
karena proses pembekuan, pengeringan, pemanasan, dan tekanan (Maksum. 2011).

Gejala keracunan sering terjadi ketika seseorang mengkonsumsi makanan


yang mengandung bahan-bahan berbahaya, termasuk mikroorganisme, yang tidak
dapat terdeteksi langsung dengan indera manusia.Bahan-bahan kimia berbahaya yang
terdapat dalam makanan sulit diketahui secara langsung sehingga sering
menyebabkan keracunan makanan (Maksum. 2011).
Mikroorganisme berbahaya yang terdapat dalam makanan kadang-kadang
dapat

dideteksi

jika

pertumbuhan

mikroorganisme

tersebut

menyebabkan

pertumbuhan mikroorganisme tersebut menyebabkan perubahan tertentu pada


makanan, misalnya menimbulkan bau asam, bau busuk, dan lain-lain.Akan tetapi,
tidak semua mikroorganisme menimbulkan perubahan yang mudah diketahui
sehingga sering menimbulkan masalah jika kita mengkonsumsi makanan tersebut
(Maksum. 2011).
Pada prinsipnya, upaya pengawetan bahan makanan didasarkan pada
(Maksum. 2011) :
a) pencegahan atau penghilangan kontaminasi mikroorganisme.
b) penghambat pertumbuhan dan metabolisme organism
c) pembunuhan mikroorganisme kontaminan.
Pemilihan metode pengawetan makanan harus memperhatikan jenis spora
bakteri yang tahan terhadap pemanasan yang kemungkinan terdapat dalam bahan
makanan tersebut. (Maksum. 2011).
Penanganan bahan makanan secara aseptis sangat penting dilakukan agar
makanan tidak tercemar serta mengurangi kerusakan makanan dan memperkecil
kemungkinan kontaminasi oleh bakteri patogen (Maksum. 2011).
Pengepakan, pengemasan, dan pengalengan makanan yang telah diolah harus
memenuhi cara produksi makanan yang baik agar makanan terhindar dari
mikroorganisme yang dapat merusak makanan(Maksum. 2011).

Untuk menghindari dan mengurangi kemungkinan pencemaran suatu produk


oleh mikroorganisme, dilakukan proses pengawetan produk. Secara garis besar tehnik
pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pengawetan secara alami,
pengawetan secara biologis dan pengawetan secara kimia.Syarat zat pengawet adalah
mampu membunuh kontaminan mikroorganisme, tidak toksik atau menyebabkan
iritasi pada pengguna, stabil dan aktif, serta selektif dan tidak bereaksi dengan bahan
(Sylvia. 2008).
Tehnik pengawetan produk (Sylvia. 2008) :
a. Proses pengawetan secara alami
meliputi proses pemanasan dan pendinginan. Teknik liofilisasi atau teknik
pengeringan beku merupakan teknik preservasi (pengawetan) yang sangat terkenal
dan biasa digunakan untuk mikroorganisme dengan kisaran yang luas.Penerapan
teknik tersebut diperkenalkan oleh Perlman dan kikuchi (1977) dan Heckly (1978).
Teknik ini termasuk pengawetan secara alami denga cara pembekuan kultur yang
diikuti dengan pengeringan dalam keadaan vakum untuk menghasilkan sublimasi air
sel. Teknik ini melibatkan pertumbuhan kultur ke fase sel stasioner yang maksimal
dan meresuspensi sel dalam media seperti susu, serum, atau natrium glutamat.
Beberapa tetes suspensi ditransfer ke dalam ampul, kemudian dibekukan dan
divakumkan sampai terjadi sublimasi sempurna, dan ampul ditutup.Ampul disimpan
dalam pendingin dan dapat bertahan hidup selama 10 tahun atau lebih.

b. Pengawetan secara Biologis


Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi
(peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol.

Zat zat yang

bekerja pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses
peragian tergantung pada bahan yang akan diragikan.
c. Pengawetan secara Kimia
pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang
bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah
penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat,
asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia,
sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan kedalam bahan makanan yang akan
diawetkan.
Pengawetan dengan cara dehidrasi. Dehidrasi dapat digunakan untuk
menngawetkan bahan makanan terutama karena menghambat pertumbuhan;
mikroorganismenya sendiri tidak selalu terbunuh. Pertumbuhan mikroorganisme
dapat dicegah dengan cara mengurangi kelembapan lingkungannya sampai dibawah
titik kritis. Titik kritis ditentukan oleh ciri-ciri organisme yang bersangkutan dan oleh
kepastian bahan makanan untuk mengikat air sehingga tidak tersedia sebagai
kelembapan bebas yang dapat ditiadakan oleh proses dehidrasi (Pelcaar. 2009).
Walaupun khamir dan kapang relatif resisten terhadap perubahan osmotik,
tetapi proses-proses pengawetan pangan yang didasarkan pada prinsip ini
bagaimanapun juga sangat bermanfaat. Jeli dan selai jarang diganggu oleh kegiatan
bakteri karena kadar gulanya tinggi. Namun, seringkali dijumpai juga pertumbuha
kapang pada permukaan jeli yang terbuka ke udara. Hasil yang sama kita peroleh bila
mengawetkan daging dan bahan makanan lain dalam larutan garam. Tekanan osmotik
yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroba, tetapi tidak dapat diandalkan
untuk mematikan organisme (Irianto. 2006).
Hanya beberapa macam zat kimia secara hukum diterima untuk digunakan
dalam pengawetan makanan.Diantaranya yang paling efektif ialah asam benzoat,
sorbat, asetat, laktat dan propionat, kesemuanya ini adalah asam organik.Asam sorbat

dan propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang pada roti.Nitrat


dan nitrit, yang dipergunakan untuk mengawetkan daging (terutama untuk
mengawetkan warna) bersifat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri anaerobik,
terutama

Clostridium

botulinum.Kemungkinan

nitrit

bersifat

karsinogenik

( mengakibatkan penyakit kanker) bagi manusia menimbulkan keragu-raguan


mengenai kelangsungan penggunaanya (Irianto. 2006).
Pengawetan dengan cara meningkatkan tekanan osmotik. Air akan ditarik
keluar dari sel mikroorganisme bila sel tersebut dimasukkan kedalam larutan yang
mengandung sejumlah besar substansi terlarut seperti gula atau garam. Dengan
perkataan lain, sel tersebut mengalami dehidrasi, metabolisme terhenti, dan dengan
demikian memperlambat atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme(Pelcaar.
2009).
Setiap zat antimikroba dapat bersifat pengawet, meskipun demikian semua zat
antimikroba adalah zat yang beracun. Untuk melindungi konsumen secara
maksimum, pada penggunaan harus di usahakan agar pada kemasan akhir kadar
pengawet yang masih efektif lebih rendah dari kadar yang dapat menimbulkan
keracuna pada manusia (Ditjen POM. 1995).
Pengujian berikut dimaksudkan untuk menunjukkan efektifitas pengawet
antimikroba yang ditambahkan pada sediaan dosis ganda yang dibuat dengan dasar
atau bahan pembawa berair seperti produk-produk parenteral, telinga, hidung dan
mata, yang dicantumkan pada etiket produk bersangkutan.Pengujian dan persyaratan
hanya berlaku pada produk di dalam wadah asli belum dibuka yang didistribusikan
oleh produsen (Ditjen POM. 1995).

DAFTAR PUSTAKA
Burchanan, Egibbobins. 1974. Determinatif Bakteriologi. The Williams and Wilkins
Company.

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Depkes RI; Jakarta.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI; Jakarta.
Garrity M. George, 2004. Taxonomic Autline of the Prokaryetos Bergey`s Manual
Systemic Bacteriology. Second edition.
Irianto, Koes. 2006. Mikrobiologi, Jilid I. Yrama Widya. Bandung.
Pelcaar, Michael.2009. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia.
Pratiwi, Sylvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Jakarta.
Radji, Maksum. 2002.Buku Ajar Mikrobiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta
Atlas, M, Ronald. 2006 . Microbiological Media For The Examination Of Food.
Second Edition. CRC Press.
Ditjen POM,1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI: Jakarta.
Ditjen POM 1995.Farmakope Indonesia Edisi IV.Depkes RI: Jakarta.
Koes, Irianto. 2006 . Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Yrama
Widya: Bandung.
Natsir, Djide. 2008 . Dasar Dasar Mikrobiologi Farmasi . Universitas Hassanuddin :
Makassar.
Natsir, Djide. 2008 . Analisis Mikrobiologi Farmasi . Universitas Hassanuddin :
Makassar.
Prescott, Harley. 2002 . Laboratory Exercises In Microbiology. Fifth Edition. The
McGraw Hill Companies
Radji, Maksum, M.Biomed. 2002. Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran . ECG : Jakarta.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana,Raharja. 2002 . Obat Obat Penting. Kelompok
Gramedia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai