Anda di halaman 1dari 2

Yang Meracuni, yang Menghidupi...

Jumat, 12 Maret 2010 | 11:06 WIB

Fatwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan rokok itu hukumnya haram. Rokok
mengandung zat adiktif yang membahayakan kesehatan sehingga merokok sama dengan
upaya menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan sekaligus bunuh diri secara perlahan.

Di sisi lain, rokok yang dianggap meracuni itu justru memberikan kehidupan bagi ribuan
masyarakat ekonomi kecil. Mereka, yang mayoritas perempuan, menjadi tenaga harian,
borong, dan bathil (pemotong batangan rokok) di industri rokok kecil.

"Kalau rokok dilarang dan dikatakan haram, lalu pabrik rokok tutup, saya mau kerja apa?"
kata Kastonah (45), tenaga harian Pabrik Rokok Kembang Arum, Kudus, Kamis (11/3).

Bagi ibu beranak dua itu, rokok sangat berarti. Melalui rokok, ia dan keluarga dapat makan,
minum, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menyekolahkan anak. Sebagai tenaga
penggiling rokok, Kastonah mampu menggiling 3.000 batang rokok per setengah hari.
Bayaran yang diperolehnya mencapai Rp 24.000.

Namun, tidak setiap hari ia bekerja. Dalam sebulan rata-rata hanya 24 hari. Bisa jadi kalau
permintaan pasar sepi, Kastonah hanya bekerja 15-20 hari. Padahal, biaya kebutuhan hidup
sehari-hari yang harus ditanggung rata-rata Rp 20.000.

"Kalau tidak bekerja atau libur selama sehari saja bingung mencari uang, apalagi tidak
bekerja sama sekali. Mengandalkan uang dari suami, tidak mungkin cukup," ujar Kastonah.

Pengusaha Rokok Kembang Arum, Peter Muhammad Faruq, mengatakan, fatwa


Muhammadiyah mengarah pada penutupan pabrik rokok. "Meski fatwa itu terus diserukan,
saya tetap akan memproduksi rokok," kata Peter yang mempunyai lebih kurang 75 pekerja.

Kudus yang merupakan kota kretek mempunyai sekitar 200 pabrik rokok mulai dari golongan
besar, sedang, hingga kecil. Tenaga kerja yang menggantungkan hidup di pabrik-pabrik itu
sekitar 120.000 orang.

Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Jawa Tengah, mencatat ada 70 pabrik
rokok golongan industri kecil. Setiap pabrik rata-rata mempunyai tenaga kerja 100 orang
dengan rata-rata penghasilan tenaga kerja Rp 8.000-Rp 10.000 per hari.

Ketua Formasi Jateng Ahmad Guntur mengemukakan, industri rokok kecil mengalami aneka
tekanan. Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan
Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif, membatasi ruang gerak industri rokok golongan III
atau kecil, yaitu industri dengan produksi di bawah dua miliar batang per tahun.

Selain itu, industri rokok golongan kecil harus berhadapan dengan kenaikan tarif cukai rokok.
Kenaikan cukai itu secara otomatis mengakibatkan harga jual eceran rokok naik menjadi Rp
65 per batang. Kenaikan itu jauh sekali dibanding harga jual eceran rokok produksi
perusahaan besar, golongan I dan II, yaitu Rp 15 per batang.

"Kami ini ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Dua persoalan tersebut belum kelar,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa rokok hukumnya haram," kata Guntur.

Menurut Guntur, bisnis rokok tidak sekadar berbicara tentang perusahaan dan tenaga kerja,
tetapi menyangkut pula petani tembakau. Mereka yang adalah penyedia bahan baku utama
juga terpengaruh tekanan-tekanan tersebut. "Per tahun, pabrik rokok saya membutuhkan
sekitar 1 juta ton tembakau. Bayangkan saja, kalau pabrik tutup, berapa jumlah petani
tembakau yang bakal kehilangan mata pencaharian dan kehidupannya," kata Guntur.

Dalam kunjungan kerja di Kudus, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Temanggung, Mukhamdi,
menyatakan, ada sekitar 60.000 petani tembakau yang bakal terimbas tekanan-tekanan terkait
kebijakan rokok itu. Kiranya perlu langkah bijak untuk mengatasi persoalan tersebut.
(HENDRIYO WIDI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/12/11064738/.Yang.Meracuni..yang.Menghid
upi...

Anda mungkin juga menyukai