Croup 2
Croup 2
B. PATOFISIOLOGI
yang terpenting adalah menegakkan diagnosis yang tepat atas penyakit obstruktif
akut lainnya.[1, 2, 3, 5]
Berdasarkan derajad kegawatan, croup dibagi menjadi empat kelompok dapar
dilihat pada tabel 1. Pembagian ini juga dapat diperoleh dengan menilai penyakit
melalui Westley Croup Score,tabe 2.
Tabel 1 Derajat kegawatan Croup.
Derajat Kegawatan
Karakteristik
Ringan
Sedang
Berat
Kriteria
Retraksi
Masuknya udara
Nilai
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Normal
Berkurang
Sangat berkurang
Srtidor inspirasi
Sianosis
Derajat Kesadaran
Tidak ada
Gelisah
Tidak ada
Gelisah
Istirahat
Sadar
Gelisah, cemas
Penurunan kesadaran
D. Diagnosis banding
Dalam menegakkan diagnosis croup perlu juga mempertimbangkan adanya
penyebab lain yang bisa menimbulkan gejala yang serupa.
1. Epiglotitis
Sering disebut juga sebagai supraglotitis. Merupakan infeksi pada epiglotis
dan struktur supraglotis yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas akut. Penyebab
tersering adalah Hemophilus influenza tipe B. gejala klinis yang sering muncul
adalah demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorok, sesak nafas yang
progresif, sesak akan lebih berat pada posisi tidur, rewel ketika makan / menyusu,
dan drooling. Pada anak yang lebih besar dapat disertai disfagia dan lebih menyukai
posisi membungkuk ke depan dengan leher ekstensi dan mulut terbuka (sniffing
position). Pada gambaran radiografi leher lateral menunjukkan Thumb sign.
Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laringoskopi. Gambaran
epiglotis yang membesar, bengkak, berwarna merah ceri menunjukan epiglotitis. [2, 3,
6, 9, 10, 11]
5. Keganasan
Keganasan pada laring khususnya didaerah glotis dan subglotis dapat
menimbulkan gejala yang mirip dengan croup (serak, sesak, stridor). Maka sesak
karena keganasan dapat disingkirkan.
E.
PENGELOLAAN
Pengelolaan croup meliputi 3 aspek yaitu aspek medikamentosa, aspek keperawatan
dan
aspek
dietetik.
Kriteria rawat inap pada pasien dengan sindrom croup apabila dijumpai salah satu
dari gejala-gejala: terdengar stridor progresif, usia di bawah 6 bulan, stridor
terdengar ketika sedang istirahat, terdapat gejala gawat nafas, hipoksemia, gelisah,
sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada
respon terhadap terapi.
1. Aspek Keperawatan
Pengawasan keadaan umum penderita, tanda vital ( HR, RR, Suhu), tandatanda distress respirasi yaitu nafas cuping hidung dan retraksi otot-otot suprasternal
dan epigastrial saat inspirasi. Pemberian O2 jika terdapat sesak, dan jika ada lendir
jalan nafas harus dibersihkan dangan penghisapan. Selain itu diberikan infus 2AN
sebagai masukan kalori dan sebagai jalan masuk obat.
2. Aspek Medikamentosa
Kortikosteroid merupakan pengobatan evidence based utama pada croup
yang telah diteliti dan disepakati. Penggunaan kortikosteroid pada menajemen
croup antara lain budesonid nebulisasi dan dexamethason oral. Pada kebanyakan
kasus croup cukup digunakan dexametason 0,6 mg/kgBB per oral / intramuskular.
Dapat pula diberikan prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB, dapat diulang 6
24 jam.[1, 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16, 17] Namun pada kasus berat dapat dipertimbangkan pemberian
budesonid nebulisasi 2-4 mg (2ml) dapat diulang 12 48 jam pertama, karena efek
terapi budesonid nebulisasi terjadi dalam 30 menit sedangkan efek kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam. Pada sebagian besar kasus, pemakaian budesonid
tidak lebih baik daripada kortikosteroid sistemik. [1, 2, 3, 4, 5, 13, 14, 15, 17, 18 ]
Selain itu juga digunakan Adrenalin racemik untuk membantu meringankan gejala
sesak dengan mengurangi edema dan sekresi lendir mukosa saluran nafas
(perangsangan pada reseptor alfa) serta membuat relaksasi otot bronkus (reseptor
beta). Pada umumnya, adrenalin racemik digunakan pada kasus sindrom croup
derajat sedang - berat. Dari hasil berbagai penelitian menunjukan bahwa adrenalin
racemik secara signifikan efektif menurunkan skor croup. [1, 2, 3, 4, 5, 13] Namun efek ini
hanya berlangsung dua jam dan pasien harus tetap diobservasi karena gejala dapat
muncul kembali yang merupakan efek fenomena rebound dari penggunaan
adrenalin. Adrenalin racemik dapat diberikan nebulisasi maupun dengan tekanan
positif intermiten. Akan tetapi adrenalin racemik belum ada di Indonesia. Dapat
digunakan pula adrenalin 1:1000 sebanyak 5 ml dalam 2ml salin diberikan melalui
nebulizer. Efek terapi dapat terjadi dalam dua jam. [1, 2, 3, 4, 5, 13, 17]
Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada pengobatan sindrom croup. Antibiotik
hanya digunakan pada laringotrakeobronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis
yang
disertai
infeksi
bakteri
Untuk menurunkan demam diberikan Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB.
Untuk mengencerkan sekresi lendir, juga diberikan ambroksol dengan dosis dosis
0,5 mg/kgBB/kali. Karena sebagian besar croup adalah infeksi virus, maka terapi
suportif
seperti
roborantia
dapat
diberikan
Salbutamol merangsang reseptor beta pada bronkus sehingga terjadi relaksasi otot
bronkus. Penggunaan salbutamol pada pasien croup kurang tepat karena
patofisiologi utama yang terjadi adalah edema mukosa bukan bronkokonstriksi (efek
b adrenergik).
3. Aspek Dietetik
Pada penderita dengan croup perlu diperhatikan pemberian diet melalui
enteral jika terdapat sesak dan usaha nafas karena ditakutkan terjadi aspirasi.
Pemberian enteral juga memperhatikan akseptabilitas makanan. Perlahan, diet
enteral
diganti
per
oral
Pasien dapat dipulangkan jika keadaan umum membaik, tidak terdapat tanda-tanda
distress respirasi, tidak terdengar stridor saat istirahat. Orang tua harus tetap diberi
edukasi agar memperhatikan adanya gejala croup yang berulang dan untuk mencari
pertolongan dokter secepatnya jika terjadi.
F.
Prognosis pasien dengan sindrom croup pada umumnya baik.
PROGNOSIS
G.
SARAN
Saran dan edukasi yang seharusnya diberikan kepada orangtua pasien dengan croup
secara umum setelah menjalani perawatan adalah sebagai berikut :
1. Promotif : sebagai promotif menganjurkan memberikan makanan yang
mengandung gizi yang cukup yang meliputi karbohidrat, protein, lemak,
kemudian buah-buahan dan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral
untuk penderita.dan menasehatkan supaya selalu menjaga kebersihan diri
dan lingkungan terutama lingkungan rumah.
2. Preventif : sebagai usaha preventif mengajarkan kepada orang tua untuk
mencuci tangan yang lebih sering, menghindarkan anak dari berdekatan
dengan keluarga atau orang lain yang menderita infeksi saluran nafas. Jika
terdapat batuk yang keras dan kering berikan banyak minum dan dekatkan
pada udara yang lembap dan hangat. Mengedukasikan kepada orang tua
tentang kepentingan asi dan kegunaannya. Bayi yang mendapat asi akan
memiliki daya tahan tubuh yang lebih optimal. Jika terdapat tanda-tanda
croup berulang segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
3. Memberikan nasehat kepada orang tua penderita untuk secara optimal
berusaha mencukupi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang yang
meliputi :
Asuh : memenuhi kebutuhan akan pangan/gizi, papan/pemukiman
yang layak, perawatan kesehatan dasar antara lain : imunisasi,
penimbangan anak yang teratur dan pengobatan kalau sakit.
Asih : memberikan kasih sayang dan perhatian pada penderita supaya
pengobatan berjalan sampai tuntas dan mencegah berulangnya
penyakit.
Asah : memberikan stimulasi mental psikososial dengan alat pengasah
edukatif yang dapat berupa gambar dan suara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cherry JD, Croup. N Engl J Med, 2008; 358(4): 384 391.
2. Yangtjik K, Dadiyanto DW. DB. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Balai Penerbit IDAI, 2008 : 320-329.
3. KNUTSON D, ARING A. Viral Croup. American Family Physician, 2004;
69(3): 535 - 540
4. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in the Paediatric Emergency Department.
Paediatr Child Health. 2007; 12(6): 473477.
5. Muiz A, Molodow RE, Defendi GL. Croup [cited 2008 Nov 21]. Available at
URL: www.emedicine.medscape.com/article/962972-overview.html
6. Postma GN, Koufman JA. Laryngitis. Dalam : Bailey BJ. Ed. Head and Neck
Surgery Otolaringology. 2nd ed. Volume 1. Philadelphia: JB Lippincot, 2006:
731-739
7. Hall CB. Respiratory Syncytial Virus and Parainfluenza Virus. N Engl J Med
2001, 344(25): 1917-1928.
8. Parija SC, Marrie TJ. Parainfluaenza Virus [cited 2008 Jul 24]. Available at
URL: www.emedicine.medscape.com/article/224708-overview.html
9. Probst, Rudolf, MD. Basic Otorhinolaryngology. Stuttgart: Georg Thieme
Verlag, 2006: 338-361
10. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara,
1994: 511-525.