Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi dan klasifikasi


Croup adalah terminologi yang digunakan untuk menunjukan beberapa
penyakit pernafasan yang memiliki karakteristik berupa batuk yang menggonggong,
suara serak, stridor inspirasi dalam berbagai derajat yang disebabkan obstruksi pada
daerah laring, dengan atau tanpa tanda stres pernafasan. [1, 2, 3, 4, 5]
Pada sindrom croup peradangan jalan nafas terutama terjadi di daerah laring
(laringitis subglotik,, laringitis spasmodik) sampai dengan bronkus (laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis).
Klasifikasi croup berbeda-beda
dan
berubah-ubah.
Beberapa penulis membagi croup menjadi dua, viral croup (karena infeksi virus)
dan spasmodik croup (karena faktor atopi).[1, 3] Namun ada juga yang membagi
menjadi
empat
(spasmodic,
laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis/laringotrakeobronkopneumonitis/bacterial
trakeitis,
laringitis difteri). Istilah laringotrakeobronkitis sering disalahgunakan dalam untuk
menyebutkan croup secara umum, karena kasus terbanyak dari croup adalah
laringotrakeitis dancroup spasmodik. Beberapa penulis lebih cenderung
menggunakan istilah tersebut untuk derajat croup yang lebih berat atau tidak
sembuh dengan pengobatan kortikosteroid dan adrenalin. Banyak pula yang
berpendapat keikutsertaan bronkus maupun parenkim paru (laringotrakeobronkitis
dan laringotrakeobronkopneumonitis) lebih dikarenakan adanya infeksi bakteri
sekunder.[1, 5]
Etiologi dari sindrom croup sebagian besar adalah virus.[1, 2, 3, 4, 5, 6] Diantaranya
adalah virus parainfluenza terutama tipe 1 (bertanggungjawab atas 80%
kasus croup) dan 3, Influenza A and B, adenovirus, respiratory syncytial virus (RSV),
echo virus, rhinovirus. Penyebab lain yang jarang adalah Mycoplasma
pneumonia. Pada perjalanan penyakit tidak jarang terjadi infeksi bakteri sekunder,
antara lain oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Streptococcus
pneumoniae, danMoraxella catarrhalis.

B. PATOFISIOLOGI

Transmisi virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena


adanya inokulasi direk dari sekresi yang membawa virus lewat tangan atau melalui
partikel aerosol besar yang masuk lewat mata ataupun hidung. [7, 8] Infeksi virus pada
laringotrakheitis, laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonia
biasanya berawal dari nasofaring atau orofaring yang kemudian turun sampai ke
laring dan trakea setelah masa inkubasi 2 8 hari. Terjadi peradangan difus yang
menyebabkan eritema dan edema pada mukosa dinding saluran pernafasan. Laring
adalah bagian yang paling sempit pada saluran pernafasan atas, yang membuatnya
sangat rentan terhadap terjadinya obstruksi. Terjadinya edema mukosa yang sama
pada dewasa dan anak-anak akan menyebabkan penyempitan yang berbeda. Edema
mukosa dengan ketebalan 1mm akan menyebabkan penyempitan jalan nafas sebesar
44% pada anak dan 75 % pada bayi. Sedangkan pada dewasa hanya akan
menyebabkan penyempitan sebesar 27%.[6, 9]
Edema mukosa pada daerah glottis akan menyebabkan terganggunya
mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis juga dapat menyebabkan gejala
sesak nafas. Penyempitan saluran nafas akibat inflamasi ini menyebabkan
turbulensi udara yang menyebabkan terjadinya stridor.
Pada latingotrakeitis akut terdapat daerah edematous yang secara histologis
mengandung infiltrat seluler pada lamina propria, submukosa dan advensisia.
Infiltrat ini mengandung histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil. [1, 5, 7]
Pada Laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis terdapat
area edematous disertai dengan infiltrat sel-sel peradangan, dan sering terdapat
pula ulserasi, pseudomembran dan mikroabses. Terdapat pus yang tebal didalam
lumen trakea dan jalan udara bawah.[1, 10, 11]
Pada croup spasmodik terjadi edema noninflamasi pada subglotik. Etilogi
dari croup spasmodik belum sepenuhnya diketahui, namun beberapa penulis
mengajukan alergi sebagai penyebab.[1, 2, 3, 5, 6, 9, 1
C. DIAGNOSIS
Pada kebanyakan kasus, anak-anak dengan sindrom croup tidak memerlukan
uji klinis lain selain anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Hal

yang terpenting adalah menegakkan diagnosis yang tepat atas penyakit obstruktif
akut lainnya.[1, 2, 3, 5]
Berdasarkan derajad kegawatan, croup dibagi menjadi empat kelompok dapar
dilihat pada tabel 1. Pembagian ini juga dapat diperoleh dengan menilai penyakit
melalui Westley Croup Score,tabe 2.
Tabel 1 Derajat kegawatan Croup.

Derajat Kegawatan

Karakteristik

Ringan

Kadang-kadang batuk menggonggong,


tidak terdengar stridor ketika istirahat,
retraksi ringan atau tidak ada.

Sedang

Batuk menggonggong yang sering, stridor


yang terdengar pada saat istirahat,
terdapat retraksi pada saat istirahat, anak
tidak gelisah

Berat

Batuk menggonggong yang sering, stridor


ekspirasi, terdapat retraksi sternal yang
jelas, anak gelisah dan terdapat tandatanda distress

Ancaman gagal nafas

Batuk menggonggong, stridor yang


terdengar saat istirahat, terdapat retraksi

sternal, letargi atau terdapat penurunan


kesadaran dan sianosis

Tabel 2. Skor Westley

Kriteria

Retraksi

Masuknya udara

Nilai

Tidak ada

Ringan

Sedang

Berat

Normal

Berkurang

Sangat berkurang

Srtidor inspirasi

Sianosis

Derajat Kesadaran

Tidak ada

Gelisah

Istirahat dengan stetoskop

Istirahat tanpa stetoskop

Tidak ada

Gelisah

Istirahat

Sadar

Gelisah, cemas

Penurunan kesadaran

Skor Westley sangat banyak digunakan untuk menilai derajat


kegawatan croup. Skor 0-1 adalah ringan, skor 2-7 sedang dan skor 8 atau lebih
adalah berat.
Pemeriksaan
penunjang
jarang
diperlukan
dalam
mendiagnosis
penyakit croup. Temuan laboratorium pada penyakit croup tidaklah khas dan jarang
berguna dalam mendiagnosis croup.[1, 2, 3, 5] Pemeriksaan radiografis juga tidak
diperlukan jika perjalanan penyakit sudah tampak secara klinis. Walaupun
gambaran steeple sign pada foto radiografis leher dapat menunjang diagnosis,
namun gambaran ini hanya didapatkan pada 50% kasus. [2, 5] Akan tetapi, jika
terdapat kecurigaan laringotrakeo-bronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis
maka pemeriksaan sel darah putih, hitung jenis, foto thorak dan leher PA dan lateral
diindikasikan.[1, 3] Jika ditemukan peningkatan leukosit yang di dominasi PMN
kemungkinan sudah terjadi superinfeksi. Gambaran radiografis dada yang
menunjukan adanya pneumonia bilateral menunjang diagnosis keterlibatan jalan
napas bawah pada penyakit croup. Pada kasus laringotrakeitis tidak jarang pula
dijumpai adanya infeksi bakteri sekunder. Hal ini perlu dipertimbangkan apabila
dengan pengobatan kortikosteroid yang adekuat tidak mengalami perbaikan. [1, 4]
Endoskopi belum memiliki peran yang jelas dalam diagnosis croup. Adanya
pembengkakan pada daerah subglotis merupakan salah satu pertimbangan untuk
tidak melakukan instrumentasi dan sebaiknya hanya dilakukan pada kecurigaan
selain viral / spasmodik croup.[1, 2, 3, 5]

D. Diagnosis banding
Dalam menegakkan diagnosis croup perlu juga mempertimbangkan adanya
penyebab lain yang bisa menimbulkan gejala yang serupa.
1. Epiglotitis
Sering disebut juga sebagai supraglotitis. Merupakan infeksi pada epiglotis
dan struktur supraglotis yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas akut. Penyebab
tersering adalah Hemophilus influenza tipe B. gejala klinis yang sering muncul

adalah demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorok, sesak nafas yang
progresif, sesak akan lebih berat pada posisi tidur, rewel ketika makan / menyusu,
dan drooling. Pada anak yang lebih besar dapat disertai disfagia dan lebih menyukai
posisi membungkuk ke depan dengan leher ekstensi dan mulut terbuka (sniffing
position). Pada gambaran radiografi leher lateral menunjukkan Thumb sign.
Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laringoskopi. Gambaran
epiglotis yang membesar, bengkak, berwarna merah ceri menunjukan epiglotitis. [2, 3,
6, 9, 10, 11]

2. Edema Angioneurotik akut


Adalah suatu reaksi inflamasi yang ditandai pembengkakan vaskuler dan
peningkatan pereabilitas vaskuler. Gejala klinis yang sering muncul adalah edema
akut pada berbagai bagian tubuh antara lain pada wajah, ekstremitas, rongga mulut,
orofaring dan laring. Sebagian kecil penyakit ini adalah menurun, karena defisiensi
enzym Cl esterase inhibitor, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh reaksi
alergi.[2, 6, 9]
3. Penyakit Jantung
Kelainan pada jantung juga dapat menyebabkan sesak nafas, terutama setelah
beraktivitas. Namun kelainan yang paling sering menyebabkan sesak yang akut
antara lain aritmia, iskemik arteri koroner dan gangguan ventrikel kiri. Gejala yang
dapat menyertai antara lain palpitasi, kepala terasa ringan dan pingsan. Pada
pemeriksaan fisik bisa didapatkan takikardi, bising, suara jantung ketiga,
peningkatan tekanan vena jugular, edema, hepatomegali. Pada gagal jantung
didapatkan gejala yang khas antara lain sesak saat beraktivitas, paroksismal
noktusrnal dispnea dan orthopnea.[12]
4. Benda asing
Obstruksi karena benda asing biasanya terjadi mendadak dan dapat terjadi
sumbatan total maupun parsial. Pada umumnya gejala yang timbul adalah sesak
ringan sampai berat, batuk, muntah, gelisah, sianosis, ptekiae pada wajah, suara
nafas yang tidak normal, wheesing ataupun stridor.

5. Keganasan
Keganasan pada laring khususnya didaerah glotis dan subglotis dapat
menimbulkan gejala yang mirip dengan croup (serak, sesak, stridor). Maka sesak
karena keganasan dapat disingkirkan.
E.
PENGELOLAAN
Pengelolaan croup meliputi 3 aspek yaitu aspek medikamentosa, aspek keperawatan
dan
aspek
dietetik.
Kriteria rawat inap pada pasien dengan sindrom croup apabila dijumpai salah satu
dari gejala-gejala: terdengar stridor progresif, usia di bawah 6 bulan, stridor
terdengar ketika sedang istirahat, terdapat gejala gawat nafas, hipoksemia, gelisah,
sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada
respon terhadap terapi.
1. Aspek Keperawatan
Pengawasan keadaan umum penderita, tanda vital ( HR, RR, Suhu), tandatanda distress respirasi yaitu nafas cuping hidung dan retraksi otot-otot suprasternal
dan epigastrial saat inspirasi. Pemberian O2 jika terdapat sesak, dan jika ada lendir
jalan nafas harus dibersihkan dangan penghisapan. Selain itu diberikan infus 2AN
sebagai masukan kalori dan sebagai jalan masuk obat.
2. Aspek Medikamentosa
Kortikosteroid merupakan pengobatan evidence based utama pada croup
yang telah diteliti dan disepakati. Penggunaan kortikosteroid pada menajemen
croup antara lain budesonid nebulisasi dan dexamethason oral. Pada kebanyakan
kasus croup cukup digunakan dexametason 0,6 mg/kgBB per oral / intramuskular.
Dapat pula diberikan prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB, dapat diulang 6
24 jam.[1, 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16, 17] Namun pada kasus berat dapat dipertimbangkan pemberian
budesonid nebulisasi 2-4 mg (2ml) dapat diulang 12 48 jam pertama, karena efek
terapi budesonid nebulisasi terjadi dalam 30 menit sedangkan efek kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam. Pada sebagian besar kasus, pemakaian budesonid
tidak lebih baik daripada kortikosteroid sistemik. [1, 2, 3, 4, 5, 13, 14, 15, 17, 18 ]

Selain itu juga digunakan Adrenalin racemik untuk membantu meringankan gejala
sesak dengan mengurangi edema dan sekresi lendir mukosa saluran nafas
(perangsangan pada reseptor alfa) serta membuat relaksasi otot bronkus (reseptor
beta). Pada umumnya, adrenalin racemik digunakan pada kasus sindrom croup
derajat sedang - berat. Dari hasil berbagai penelitian menunjukan bahwa adrenalin
racemik secara signifikan efektif menurunkan skor croup. [1, 2, 3, 4, 5, 13] Namun efek ini
hanya berlangsung dua jam dan pasien harus tetap diobservasi karena gejala dapat
muncul kembali yang merupakan efek fenomena rebound dari penggunaan
adrenalin. Adrenalin racemik dapat diberikan nebulisasi maupun dengan tekanan
positif intermiten. Akan tetapi adrenalin racemik belum ada di Indonesia. Dapat
digunakan pula adrenalin 1:1000 sebanyak 5 ml dalam 2ml salin diberikan melalui
nebulizer. Efek terapi dapat terjadi dalam dua jam. [1, 2, 3, 4, 5, 13, 17]
Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada pengobatan sindrom croup. Antibiotik
hanya digunakan pada laringotrakeobronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis
yang
disertai
infeksi
bakteri
Untuk menurunkan demam diberikan Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB.
Untuk mengencerkan sekresi lendir, juga diberikan ambroksol dengan dosis dosis
0,5 mg/kgBB/kali. Karena sebagian besar croup adalah infeksi virus, maka terapi
suportif
seperti
roborantia
dapat
diberikan
Salbutamol merangsang reseptor beta pada bronkus sehingga terjadi relaksasi otot
bronkus. Penggunaan salbutamol pada pasien croup kurang tepat karena
patofisiologi utama yang terjadi adalah edema mukosa bukan bronkokonstriksi (efek
b adrenergik).
3. Aspek Dietetik
Pada penderita dengan croup perlu diperhatikan pemberian diet melalui
enteral jika terdapat sesak dan usaha nafas karena ditakutkan terjadi aspirasi.
Pemberian enteral juga memperhatikan akseptabilitas makanan. Perlahan, diet
enteral
diganti
per
oral
Pasien dapat dipulangkan jika keadaan umum membaik, tidak terdapat tanda-tanda
distress respirasi, tidak terdengar stridor saat istirahat. Orang tua harus tetap diberi
edukasi agar memperhatikan adanya gejala croup yang berulang dan untuk mencari
pertolongan dokter secepatnya jika terjadi.

F.
Prognosis pasien dengan sindrom croup pada umumnya baik.

PROGNOSIS

G.
SARAN
Saran dan edukasi yang seharusnya diberikan kepada orangtua pasien dengan croup
secara umum setelah menjalani perawatan adalah sebagai berikut :
1. Promotif : sebagai promotif menganjurkan memberikan makanan yang
mengandung gizi yang cukup yang meliputi karbohidrat, protein, lemak,
kemudian buah-buahan dan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral
untuk penderita.dan menasehatkan supaya selalu menjaga kebersihan diri
dan lingkungan terutama lingkungan rumah.
2. Preventif : sebagai usaha preventif mengajarkan kepada orang tua untuk
mencuci tangan yang lebih sering, menghindarkan anak dari berdekatan
dengan keluarga atau orang lain yang menderita infeksi saluran nafas. Jika
terdapat batuk yang keras dan kering berikan banyak minum dan dekatkan
pada udara yang lembap dan hangat. Mengedukasikan kepada orang tua
tentang kepentingan asi dan kegunaannya. Bayi yang mendapat asi akan
memiliki daya tahan tubuh yang lebih optimal. Jika terdapat tanda-tanda
croup berulang segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
3. Memberikan nasehat kepada orang tua penderita untuk secara optimal
berusaha mencukupi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang yang
meliputi :
Asuh : memenuhi kebutuhan akan pangan/gizi, papan/pemukiman
yang layak, perawatan kesehatan dasar antara lain : imunisasi,
penimbangan anak yang teratur dan pengobatan kalau sakit.
Asih : memberikan kasih sayang dan perhatian pada penderita supaya
pengobatan berjalan sampai tuntas dan mencegah berulangnya
penyakit.
Asah : memberikan stimulasi mental psikososial dengan alat pengasah
edukatif yang dapat berupa gambar dan suara.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cherry JD, Croup. N Engl J Med, 2008; 358(4): 384 391.
2. Yangtjik K, Dadiyanto DW. DB. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Balai Penerbit IDAI, 2008 : 320-329.
3. KNUTSON D, ARING A. Viral Croup. American Family Physician, 2004;
69(3): 535 - 540
4. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in the Paediatric Emergency Department.
Paediatr Child Health. 2007; 12(6): 473477.
5. Muiz A, Molodow RE, Defendi GL. Croup [cited 2008 Nov 21]. Available at
URL: www.emedicine.medscape.com/article/962972-overview.html
6. Postma GN, Koufman JA. Laryngitis. Dalam : Bailey BJ. Ed. Head and Neck
Surgery Otolaringology. 2nd ed. Volume 1. Philadelphia: JB Lippincot, 2006:
731-739
7. Hall CB. Respiratory Syncytial Virus and Parainfluenza Virus. N Engl J Med
2001, 344(25): 1917-1928.
8. Parija SC, Marrie TJ. Parainfluaenza Virus [cited 2008 Jul 24]. Available at
URL: www.emedicine.medscape.com/article/224708-overview.html
9. Probst, Rudolf, MD. Basic Otorhinolaryngology. Stuttgart: Georg Thieme
Verlag, 2006: 338-361
10. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara,
1994: 511-525.

11. Broek PVD. Acute and Chronic Laryngitis. Dalam : Scott-Brown's


Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth Heinemann, 1997: 5/5/1-18
12. Mahler DA. Dyspnea: Mechanisms, Measurement and Management. 2nd Ed.
Informa Health Care, 1998: 224-5
13. Brown CJ. The management of croup. British Medical Bulletin, 2002, 61:189202.
14. Forster J, Review: glucocorticoids improve symptoms of croup within 6 hours.
Evid. Based Med, 2000; 5: 41
15. Jaffe DM. The Treatment of Croup with Glucocorticoids. N Engl J Med, 1998;
339(8): 553-555
16. Freedman ES. Corticosteroids for the Treatment of Croup. The Journal of
Family Practice, 1999; 48(12)
17. Ausejo M, Saenz A, Pham B, Kellner JD, Johnson DW, Moher D, Klassen
TP.The effectiveness of glucocorticoids in treating croup: meta-analysis. BMJ,
1999; 319: 595-600
18. Geelhoed GC, Macdonald WBG. Oral and inhaled steroids in croup: A
randomized, placebo-controlled trial. Pediatr Pulmonol. 1995; 20: 355-361

Anda mungkin juga menyukai