Identitas Pasien:
Nama
: An. Y
Jenis kelamin
: Laki-laki
Tanggal lahir/Usia
Alamat`
: Seluas, Bengkayang
Agama
: Kristen
Anak
Tanggal MRS
Ayah
Ibu
Nama
Tn. D
Ny. EA
Umur
25 Tahun
25 tahun
Pendidikan Terakhir
SMA
SMA
Pekerjaan
Swasta
IRT
Keluhan Utama:
Pasien merupakan rujukan dari RS Vincensius, datang ke Rumah sakit Abdul Aziz dengan
keluhan keterlambatan perkembangan anak. Awalnya keterlambatan perkembangan ini disadari
oleh orangtua pasien ketika pasien berumur 7 bulan dimana pasien belum bisa tengkurap.
Hingga saat ini pasien masih belum bisa berdiri dan berbicara.
Batuk (-), pilek (-) mual (-), muntah (-), nafsu makan baik. Menegakkan kepala (+), duduk (+),
berdiri dan berjalan (-).
4
Pasien pernah mengalami kejang saat usia 3 hari, 3 bulan, dan 9 bulan.
23 thn
33 thn
25 thn
25 thn
2 thn
21 thn
1 bulan
Gambar 1. Genogram
6
Riwayat Imunisasi:
Hb0,1,2 (+), Polio 1, 2, 3 (+), DPT 1,2 (+), BCG (-)
Pemberian vitamin K saat lahir (+)
2
Simpulan
7
Riwayat Kehamilan
Ibu pasien memeriksakan kehamilan 3x selama hamil ke bidan, selama hamil ibu pasien
mengaku pernah demam dan pernah mengkonsumsi obat warung selama hamil untuk mengobati
demamnya. Konsumsi alkohol, rokok, jamu disangkal.
Simpulan : Riwayat kehamilan kurang baik.
10 Riwayat Persalinan:
Pasien lahir cukup bulan, BB lahir 3600 gr, spontan, persalinan ditolong bidan. Kepala bayi
menonjol, hilang dalam 2 hari. Saat lahir, pasien tidak langsung menangis dan menangis setelah
kurang lebih 2 jam persalinan.
Simpulan : Pasien lahir spontan, caput saecuadeum. Riwayat kelahiran kurang baik.
11 Riwayat Sosial dan Ekonomi:
3
Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara, Ibu pasien mengaku mengasuh pasien dengan
penuh kasih sayang dan tanpa keluhan juga menerima keadaan pasien.. Keluarga mengaku
harmonis dan tidak ada permasalahan yang berarti di keluarga.
Orang tua pasien tinggal di rumah milik sendiri dan memiliki kendaraan roda dua sendiri.
Pengobatan pasien mempergunakan BPJS
Simpulan: Keluarga pasien termasuk kelompok ekonomi menengah.
12 Pemeriksaan Fisik: (dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2015 WIB)
Keadaan umum: tampak sehat, compos mentis, status gizi baik
Tanda vital
GCS
: E4V5M6
Nadi
: 120 x/menit,
Nafas : 37 x/menit
Suhu : 36,5 oC per Axilla
Simpulan : tanda vital normal
Antropometri:
BB
: 10 Kg
PB
: 87 cm
LILA
: 14 cm
SSP
KV
Respirasi
GI
Genitourinaria
Muskuloskeletal
Integumen
Termoregulasi
Mata
: Konjungtiva mata tidak anemis. Sklera tidak tampak ikterik. Kedua pupil
isokor. Refleks cahaya positif di kedua mata. Tidak terdapat strabismus.
Pergerakan bola mata tidak tampak terganggu. Visus mata sulit dinilai.
Tidak dilakukan pemeriksaan retina.
Telinga
: Ukuran dan bentuk telinga luar normal. Tidak ada sekret keluar dari kedua
liang telinga. Telinga dalam tidak dinilai. Ketajaman pendengararan sulit
dinilai.
Hidung
: Ukuran dan bentuk hidung normal. Sekret di rongga hidung (-). Rongga
hidung tidak tampak edem atau pucat. Tidak ditemukan deviasi septum.
Mulut
: Gigi seri, taring dan geraham depan susu tampak lengkap. Tidak ditemukan
defek atau kelainan pada bibir, langit-langit mulut, lidah, atau gusi.
Leher
Tenggorokan: Tonsil T1/T1, faring tidak tampak hiperemis, tidak ditemukan sekret
keputihan, glotis tidak dinilai.
Dada
Paru
Jantung
: Bunyi jantung S1S2 reguler, tidak ditemukan murmur atau suara jantung
tambahan.
Abdomen
Ekstremitas:
Anggota gerak atas kanan dan kiri: siku dapat ditekukkan, bahu dapat digerakkan lebih
dari 45 derajat abduksi-adduksi dan 45 derajat ke depan belakang. Tangan posisi
menggenggam. Reflek genggam positif.
Anggota gerak bawah kanan dan kiri: tampak varus, lutut sukar digerakkan. Kaki dapat
digerakkan. Telapak kaki tertekuk ke arah depan. Talipes equinus.
Simpulan : Mikrosefal, brachycephal, talipes equinus.
Pemeriksaan Neurologis
Refleks Fisiologis :
Biseps (++)
Triseps (++)
Patella (++)
Achilles (++)
Refleks patologis :
Babinski (+)
Chaddock (-)
Schuffer (-)
Rangsang meningeal :
Kaku kuduk (-)
Lasek (-)
Kernig (-)
Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-)
Klonus (+) pada kedua ekstrimitas bawah
Simpulan : reflek fisiologis baik, reflex patologis babinsky (+)
13 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologi
6
19 Agustus 2015
Hemoglobin
11,6 gr/dl
Leukosit
10.900 u/L
Trombosit
340.000 u/L
Hematokrit
35 %
Eritrosit
MCV
69,6
MCH
23,1
MCHC
33,2
BT
510
CT
150
EXPERTISE CT-SCAN
Kesimpulan :
1. Subdural hygroma pada frontal sinistra, kemungkinan infantile subdural hygroma yang
disebabkan karena perdarahan yang berulang sebelumnya.
2. Kalsifikasi basal ganglia, bisa karena hypoxia/ hipoglikemia sebelumnya / saat
dilahirkan.
3. Saat ini tidak tampak: intraparenchym haemorrage pada cerebrum/cerebellum,
epidural/subdural hematom maupun subarachnoid hemorrage.
14 Daftar Masalah
- Keterlambatan perkembangan
- Riwayat imunisasi tidak lengkap
- Caput succedaneum
- Riwayat kelahiran kurang baik, tidak langsung menangis
- Mikrosefal, Brachycephal, benjolan pada dahi sebelah kiri
- Talipes equanus
- CT scan : subdural hygroma, kalsifikasi ganglia basal
15 Diagnosis
Cerebral Palsy
Subdural Hygroma
Missed Opportunity Immunization
16 Diagnosis Banding
17 Penatalaksanaan:
Nonmedikamentosa:
Fisioterapi
Terapi bicara
Edukasi Keluarga
Medikamentosa:
9
Catch up immunization
Subdural Drainage
1.18.
Prognosis:
Ad Vitam
: Dubia ad Bonam
10
Follow up harian
Tanggal
Subjektif
Objektif
Assesment
Post
ada. demam
subdural
(-), kejang
T : 37,2 C
drainage
(-).
BB : 10 kg
hari ke-1
kejang (-).
Post
subdural
T : 36,3 C
drainage
BB : 10 kg
hari ke-2
Post
subdural
T : 36,5 C
drainage
BB : 10 kg
hari ke-5
(+/+)
25/8/2015 - Demam (-)
- Kejang (-)
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-12
jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
(+/+)
22/8/2015 - demam (-),
Planning
11
- Post subdural
drainage hari
T : 39,2 C
ke-6
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
(+/+)
- Phlebitis
- Post subdural
12 tpm mikro
drainage hari - Inj. Merofen 250 mg/12
ke-6
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-12
jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
(+/+)
- Post subdural
drainage hari
ke-7
- CSF leakage
aspirasi
100 cc
- Aff DC
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-12
jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
100 cc
- Diet biasa
- Aff NGT
12
29/8/15
- Demam (-)
- Kejang (-)
- Post subdural
drainage hari
T : 37,6 C
ke-9
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
(+/+)
31/8/15
- Demam (-)
- Kejang (-)
- Post subdural
drainage hari
100 cc
- Diet biasa
- PO : Cefadroxil 2 x1 cth
- Piracetam 3x1
ke-11
- CSF leakage
1/9/15
- Rewel (+)
- Hidung
tersumbat (+)
- Demam (-)
- Kejang (-)
(+/+)
HR : 120 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 36,4 C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
2/9/15
- Rewel (+)
- Demam (+)
- Kejang (-)
(+/+)
HR : 130 kali per menit
- Post
cranioplasty
T : 38,1 C
H-1
jam
- Inj. Ranitidine 25mg/ 12
(+/+)
- Demam (-)
- Kejang (-)
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-12
BB : 10 kg
3/9/15
- Post
jam
- IVFD D5% NaCl 0,45%
13
cranioplasty
T : 36,4 C
H-2
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-12
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
jam
- Inj. Ranitidine 25mg/ 12
(+/+)
4/9/15
- Demam (-)
- Kejang (-)
- Post
cranioplasty
T : 36,8 C
H-3
- Post
cranioplasty
T : 36,9 C
H-4
BB : 10 kg
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Inj. Ranitidine 25mg/ 12
(+/+)
- Demam (-)
- Kejang (-)
- Rewel (+)
jam
- IVFD D5% NaCl 0,45%
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-12
BB : 10 kg
5/9/15
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Cefadroxil syr 3x1 cth
- Kontrol ke poliklinik
bedah saraf 5 hari lagi
untuk aff hecting.
14
PEMBAHASAN
Cerebral palsy menggambarkan sekelompok kelainan permanen dari perkembangan gerakan dan
postur, yang mengakibatkan terbatasnya aktivitas, yang diakibatkan oleh gangguan non-progresif
yang terjadi pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang. Gangguan motor dari CP
seringkali disertai gangguan pada sensasi, persepsi, komunikasi, dan tingkahlaku, yang dapat
diakibatkan oleh epilepsi dan permasalahan muskuloskeletal sekunder.1 Sehingga CP bukanlah
sebuah penyakit tunggal melainkan sebutan yang diberikan untuk berbagai variasi luar sindrom
gangguan neuromotor yang terjadi sekunder akibat lesi pada otak anak yang sedang
berkembang.2
Kerusakan nonprogresif otak yang menyebabkan CP dapat terjadi sebelum, selama atau segera
setelah persalinan.2 Kerusakan pada otak ini bersifat permanen dan belum dapat disembuhkan
dengan teknologi kedokteran saat ini, walau terobosan dalam kedokteran nano dan sel puncah
dalam beberapa dekade ke depan diharapkan dapat menawarkan jalan alternatif untuk
mengurangi derajat gejala CP.3 Walaupun demikian sering ditemukan patologi muskuloskeletal
progresif pada sebagian besar anak.4
Lesi pada otak dapat terjadi selama periode prenatal, perinatal atau postnatal. Jejas sistem saraf
pusat nonprogresif apapun yang terjadi selama 2 tahun pertama masa kehidupan dianggap
sebagai bagian dari CP.2
15
CP pertama kali dideskripsikan oleh dokter berkebangsaan Inggris, Sir Francis William Little
pada tahun 1861 dan untuk jangka waktu yang lama dinamakan Penyakit Little. Pada awalnya
CP dianggap sebagai akibat dari asfiksia neonatorum namun seiring dengan perkembangan ilmu
kedokteran dan temuan-temuan lapangan, ternyata CP dapat diakibatkan oleh berbagai keadaan
yang dapat merusak perkembangan otak janin dan bayi, selama proses kehamilan, persalinan
atau tahun-tahun pertama kehidupan.5 Saat ini, diperkirakan hanya 10% saja kasus CP yang dapat
dikatakan diakibatkan oleh asfiksia neonatorum. Sebagian besar kasus terjadi akibat gangguan
selama masa prenatal, dan pada sebagian besar kasus, penyebab spesifik utama tidak dapat
diidentifikasikan.2
CP adalah penyebab disabilitas anak-anak paling umum di Dunia Barat. Insidens CP di Dunia
Barat diperkirakan 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup. Sebagian anak-anak yang mengalami CP
tidak dapat bertahan hidup selama tahun-tahun kehidupan pertama, terutama di dunia
berkembang. Prevalensinya sendiri berkisar 1-5 per 1000 bayi hidup di berbagai negara.6
Semula, peningkatan dalam hal pelayanan kesehatan perinatal dan obstetrik dianggap dapat
menurunkan insidensi CP. Akan tetapi, insidensi tidak menurun dan bahkan prevalensi
keseluruhan CP meningkat selama tahun 1980an dan 1990an. Hal ini merupakan hasil dari
meningkatnya angka keselamatan hidup bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah, dan
meningkatnya jumlah kehamilan kembar. Bahkan pada pusat-pusat rumah sakit di mana terdapat
perlayanan perinatal optimal dan asfiksia neonatorum jarang terjadi insidensi CP pada bayi term
tidaklah berubah. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan bahwa CP juga diakibatkan oleh faktorfaktor lain yang belum diketahui dan tidak hanya asfiksia neonatorum saja.2
Penyebab CP hanya dapat ditemukan pada 50% kasus. Bayi-bayi dengan satu atau lebih faktor
resiko dapat memiliki resiko mengalami CP yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
bayi normal. 2
Faktor resiko yang berhubungan dengan CP dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal,
perinatal dan postnatal yang dapat dilihat di tabel 1.2
Tabel 1. Faktor resiko untuk Palsi Serebral. (Disadur dari Berker, 2010).2
16
Bayi-bayi dengan faktor-faktor resiko ini sebaiknya diawasi secara ketat oleh neurolog-pediatrik
untuk tanda-tanda yang menunjukkan adanya keterlambatan perkembangan neuromotor.2
Pada pasien ini diperkirakan penyebab dari Cerebral Palsy ialah faktor post natal, yaitu adanya
kejang yang pada pasien ini berulang dan adanya trauma kepala.
Lesi spesifik otak yang terkait dengan CP dapat diidentifikasikan pada sebagian
besar kasus. Lesi-lesi ini terjadi pada daerah yng sensitif terhadap gangguan pasokan
darah dan dikelompokkan sebagai ensefalopati hipoksik-iskemik. Terdapat 5 tipe
ensefalopati
hipoksik-iskemik
yakni
jejas
serebral
parasagital,
leukomalasia
periventrikuler, nekrosis otak iskemik fokal dan multifokal, status marmoratus dan
neukrosis neuronal selektiof. Karakterikstik dari masing-masing ensefalopati hipoksikiskemik ini dapat dilihat pada tabel 3.2
Tabel 2. Tipe-tipe utama dari Ensefalopati Hipoksik-Iskemik. (Disadur dari Berker, 2010).2
Pada penderita CP dapat ditemukan riwayar keterlambatan perkembangan motor kasar selama
tahun pertama kehidupan, yang dapat ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut.:4
17
Tonus otot yang abnormal. Ini merupakan gejala yang paling sering tampak, dapat
berupa hipotonisitas atau yang lebih sering, hipertonisitas dengan penurunan atau
peningkatan tahanan terhadap gerakan pasif. Anak-anak dengan CP dapat pada awalnya
hipotonia sebelum menjadi hipertonia. Kombnasi dari hipotonia aksil dan hipertonia
Pada pasien ini didapatkan tiga dari tanda-tanda tersebut, yaitu tonus otot yang abnormal,
keterlambatab perkembangan, dan adanya kelainan gait, gait yang khas pada pasien yaitu adanya
posis talipes equines varus, yaitu bentuk kaki menyilang seperti gunting.
18
Pemeriksaan fungsi tiroid: fungsi tiroid yang abnormal dapat berkaitan dengan tonus otot
siklus urea.
Asam amino dan organik: pemeriksaan nilai asam amino kuantitaif serum dan asam
Radiologi kepala dapat membantu mengevaluasi kerusakan otak dan mengidentifikasi pasien
yang memiliki resiko CP. Pemeriksaan yang dapat digunakan:4
iskemik
CT Scan otak:pada bayi dapat membantu mengidentifikasi malformasi kongenital,
Pada pasien ini telah dilakukan CT scan kepala tanpa kontras untuk membantu mengidentifikasi
penyebab kelainan pada otak anak tersebut.
Untuk menentukan seberapa berat gejala yang dialami oleh pasien dapat mempergunakan
beberapa alat bantu klinis untuk menilai kualitas hidup pasien dan beratnya gejala.4
Skala Ashworth dan Skala Ashwoth termodifikasi, dapat dipergunakan untuk semua usia;
dieprgunakan untuk menilai spastisitas otot.
19
Child Health Questionnaire (CHQ); untuk menilai kesejahetraan fisik, emosionaal dan
Perkembangan
Gejala
Morik
Minimal
Penyakit
penyerta
Normal, hanya
* kelainan tonus
terganggu secara
sementara
kualitatif
* Gangguan
komunikasi
* Gangguan
belajar spesifik
clumpsy
* Beberapa kalinan pada
pemeriksaan neurologis
* Perkembangan refleks
primitif abnormal
* respon postular
20
terganggu
* Gangguan motorik<
misalnya tremor
Berjalan umur 3 tahun,
Sedang
kadang memerlukan
bracing
Tidak perlu alat khusus
* Gangguan koordinasi
* Berbagai kelainan
neurologis
* Refleks primmitif
menetap dan kuat
* respon postural terlambat
Berat
* Gejala neurologis
dominan
alat bantu
* Retardasi
mental
* Gangguan
belajar dan
kominikasi
* Kejang
Penatalaksanaan CP untuk saat ini bukanlah menyembuhkan pasien dan membuat pasien menjadi
normal. Hal ini dikarenakan lesi otak pada CP walau tidak progresif namun bersifat permanen.
Penatalaksanaan bertujuan untuk meningkatkan fungionalitas dan menjaga kesehatan anak.
Penignkatan fungsionalitas terutama dipusatkan pada perbaikan fungsi lokomosi, perkembangan
kognitif, interaksi sosial dan kemandirian. Hasil terbaik berasal dari penatalaksanaan yang
dilaksanakan sejak dini dan memerlukan pendekatan tim yang berpusat pada perbaikan
keseluruhan pasien bukan hanya satu gejala saja, melibatkan terapi fisik, tingkahlaku,
farmakologi, bedah, dan alat bantu mekanik, serta dukungan kepada keluarga. Dokter pelayanan
primer sebaiknya menyediakan bimbingan, imunisasi dan pengawasan perkembangan anak. 4
Strategi penatalaksanaan yang umum digunakan saat ini adalah terapi neurodevelopmental atau
metode Bobath yang bertujuan unuk mengendalikan komponen sensorimotor dari tonus otot,
refleks, pergerakan abnormal, kontrol postural, sensasi, persepsi, dan memori dengan
mempergunakan latihan khusus. Strategi penatalaksanaan lain adalah edukasi konduktif yang
menekankan pendekatan edukasi dan rehabilitasi dibandangkan aspek medis. Namun belum ada
pendekatan yang ditemukan pada penelitian menunjukkan hasil yang superior untuk CP. Latihan
fisik atau fisioterapi pada pasien CP bertujuan untuk menguatkan otot dan mencegah kelemahan
otot yang dapat menyebabkan gangguan otot. Penguatan otot bagian bawah tubuh dapat
memperbaiki kecepatan berjalan dan fungsi motorik kasar sewaktu berdiri atau berjalan tanpa
spastisitas.4
Medikasi yang umum dipergunakan umumnya adalah terapi antispastik yang bertujuan untuk
mengurangi spastisitas yang diakibatkan peningkatan tonus otot. Tiga agen obat yang paling
sering dipakai untuk tujuan ini adalah Baclofen, Diazepam dan Dantrolene, selain itu dapat juga
dipergunakan injeksi Fenol aau Toksin botulinum langsung ke saraf atau otot.2
Baclofen yang merupakan agonis GABA diberikan dengan dosis 2,5 mg yang dapat
ditingkatkan hingga 30 mg untuk anak usia 2-7 tahun dan 60 mg untuk anak di atas 8
tahun dengan waktu kerja 2-6 jam, namun mempunyai efek samping menurunkan
Dantrolen adalah sebuah inhibitor yang mencegah pelesan ion Kalsium dari retikulum
sarkoplasma sehingga mencegah kontraksi otot. Dosisnya adalah 3 mg/kg sekali
sehari dengan lama kerja 4-15 jam. Namun efek hepatotoksitasnya membuat
motor dan 3 mL untuk blok saraf. Lama kerja neurolisi adalah 2 hingga 36 bulan.
Toksin Botulinum. Toksin in akan mencegah pelepasan asetilkolin dan
merelaksasikan otot-otot, dan umumnya dipergunakan untuk mengurangi spastisitas
pada otot-otot berukuran kecil. Dosis maksimal dalam satu kali pemberian adalah 400
U dengan maksimal 50 U untuk satu tempat penyuntikkan. Lama relaksasi yang dapat
dicapai menggunakan toksin botulinum ini adalah 3-6 bulan.
Kejang adalah salah satu keadaan penyerta yang umum dijumpai pada CP dan dapat terjadi pada
sekitar 30% hingga 50% anak dengan CP terutama pada CP spastik hemiplegia dan CP spastik
kuadriplegia. Kejang ini terutama disebabkan oleh menurunnya ambang batas kejang pada pasien
CP akibat dari gangguan otak yang mendasari timbulnya CP. Kejang pada CP umumnya resisten
terhadap obat terutama pada CP spastik hemiplegia. Tidak semua anak dengan CP yang
mengalami kejang akan menderita epilepsi di kemudian hari.2,4
Kejang pada pasien dapat timbul akibat dari proses dasar kerusakan otak yang mendasari
penyakit CP yang mengakibatkan penderita CP mudah mengalami proses epiloptogenik yang
mengakibatkan anak lebih rentan mengalami kejang.
Kontrol oro-motor yang kurang optimal mengakibatkan anak dengan CP mengalami kesulitan
untuk dapat makan dengan baik dan oleh karena itu rentan mengalami malnutrisi terutama untuk
anak dengan CP kuadriplegik yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Pada pasien ini hingga
saat ini masih mengalami kesulitan dalam menelan dengan baik, diusia 2 tahun yang seharusnya
sudah bisa makan makanan keluarga, pasien hanya bisa makan bubur.
23
Beberapa faktor sangat menentukan prognosis, tipe klinis CP, derajat kelambatan yang tampak
pada saat diagnosis ditegakan, adanya refleks patologis, dan yang sangat pentig adalah derajat
defisit intelegensi, sensorik, dan emosional. Tingkat kognisi sulit ditentukan pada anak kecil
dengan gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur. Tingkat kognisi sangat berhubungan
dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat menentukan kualitas hidup seseorang.
Hygroma Subdural
Dilakukan CT Scan untuk mencari etiologi GDD dan riwayat kejang yang dialami anak tersebut,
dari hasil CT scan didapatkan Subdural hygroma pada frontal sinistra, kemungkinan infantile
subdural hygroma yang disebabkan karena perdarahan yang berulang sebelumnya. Dari
anamnesis tidak didapatkan riwayat perdarahan sebelumnya, namun terdapat riwayat trauma,
yaitu riwayat terjatuh pada usia 3 bulan. Terdapat pula gambaran kalsifikasi basal ganglia, bisa
karena hypoxia/ hipoglikemia sebelumnya / saat dilahirkan, gambaran ini sesuai dengan riwayat
pasien yang tidak menangis saat lahir, yang menangis 2 jam setelah lahir, kemungkinan
disebabkan oleh asfiksia.
Post-trauma kecelakaan
24
Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS mengalir dan
terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang umum
terjadi.7
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi yang umum terjadi dari
pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista. Shu-qing et al melaporkan
suatu kasus higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada ventrikel
lateral yang menyebabkan deformasi brainstem dekompresif. Ia menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS dan
fluktuasi yang cepat dalam tekanan intrakranial.8
Kebanyakan subdural hygromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat trauma.
Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute
subdural hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian mengalami resolusi
spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma subdural.
Hematom subdural akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater, yang
biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80% kasus.
Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu
mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma
subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma subdural harus
dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut.
Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan xanthochromic yang
jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma subdural dan hematom sulit dilakukan
dan mungkin artifisial, sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi hematom.
Vandenberg et al melaporkan suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah tindakan
anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi yang jarang
dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah kebocoran LCS
melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebosoran ini menyebabkan
25
pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the brain), dengan konsekuensi berupa
peregangan dan rembesan dari vena-vena subdural intrakranial. Berkurangnya tekanan otak
akibat atrofi serebral, pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan ventrikuler juga merupakan
faktor yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan kasus, mekanisme yang ada tetap
belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI dan radioisotope cisternography
untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.
Mekanisme
pula sebagai
mekanisme idiopatik, dan merupakan fenomena sekunder setelah kerusakan otak. Dalam kasus
idiopatik sel dalam jaringan granulasi dari membran arachnoid tidak berkembang secara
memadai, yang kemudian mengganggu proses penyerapan cairan serebrospinal normal. Pada
akhirnya, Higroma subdural terjadi kemudian ketika membran arachnoid luar rusak atau ketika
cap cell membran arachnoid berproliferasi. Namun demikian diketahui bahwa ketika terjadi
peningkatan cairan pada higroma subdural, saat itu pula biasanya seiring waktu cairan
cerebrospinal diserap. Di sisi lain, telah dilaporkan bahwa saat Higroma subdural berkembang
secara cepat sambil menunggu untuk resolusi spontan, dapat mempengaruhi perkembangan otak
dan juga berkembang ke hematoma subdural, yang membutuhkan intervensi bedah.
Pada pasien perkembangan yang terlambat kemungkinan disebabkan oleh perkembangan otak
yang terhambat akibat pertumbuhan dari higroma subdural yang terjadi pada fase perkembangan
otak.9
Pada pasien ini dilakukan subdural drainage untuk mengeluarkan cairan serebrospinal yang
menumpuk di daerah subdural. Untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan operasi, terdapat
indikasi operasi. Salah satu kriteria dilakukan operasi adalah pergeseran midline shift melebihi 5
mm pada gambaran CT Scan atau volume massa melebihi 20 cc. Indikasi intervensi operasi
berdasarkan gejala yang muncul, seperti peningkatan tekanan intracranial, macrocrania,
hemiparesis, kemunduran mental, dan ketika diameter ketebalan lesi lebih dari 7mm. Untuk
subdural higroma yang simple, operasi terdiri atas aspirasi subdural atau drainase subdural
menggunakan subdural kateter atau jalur subdural peritoneal. Jika pada subdural higroma telah
diikuti subdural hematoma, drainase subdural.10 Pada pasien ini Pada pasien ini dilakukan
subdural drainage atas indikasi volume cairan 25cc dan telah terjadi kejang dan kemunduran
mental (keterlambatan perkembangan). Dilakukan subdural drainage daan pemasangan vacum
26
drain. Setelah dilakukan subdural drainage pasien dipindahkan ke ruang ICU untuk dilakukan
observasi ketat. Diberikan terapi post operasi berupa : IVFD D5% :NaCl 045 % 12 tpm, injeksi
merofen 250mg/12 jam sebagai antibiotic profilaksis post operasi, injeksi ketorolac 2 mg/ 8-12
jam sebagai anti nyeri, dan injeksi phenitoin 30 mg/8 jam dalam NaCl 50 cc. Fenitoin disini
digunakan efek neuroprotektornya untuk mencegah kejang post pemasangan subdural drainage.
Vacum drain dipantau setiap hari dan pelepasan vacuum drain dilakukan pada hari ke-4 setelah
operasi.
Pada hari ke-5 operasi dilakukan pelepasan subdural drainase, daerah bekas
pemasangan drainase umumnya akan menutup dalam 4-5 hari, namun pada hari ke-4 terjadi
pengeluaran cairan serebrospinal melalui luka bekas pemasangan drainase, sehingga dilakukan
cranioplasty untuk menutup daerah subdural drainase (patching) menggunakan bone wax.
Setelah 4 hari perawatan post cranioplasty dan tidak ada kebocoran dari daerah pemasangan
drainase, dan dari gejala klinis tidak ada tanda-tanda peningkatan intracranial dan infeksi, pasien
dipulangkan dan kontrol kembali ke poliklinik bedah saraf 5 hari setelah pulang.
27
KESIMPULAN
Pasien anak laki-laki usia 2 tahun datang dengan keluhan keterlambatan perkembangan, dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa CT Scan kepala
ditegakkan diagnosis Cerebral Palsy dan Subdural Hygroma. Higroma subdural merupakan
pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul dibawah duramater. Higroma
subdural yang berkembang secara cepat dapat mempengaruhi perkembangan otak, sehingga
subdural higroma yang terjadi pada pasien ini dapat pula menjadi etiologi dari keterlambatan
perkembangan yang dialami. Telah dilakukan drainase subdural sebagai terapi dari subdural
higroma pada pasien ini.
28
DAFTAR PUSTAKA
1
Global HELP.
Balakrishnan B, Elizabeth Nance E, Johnston MV, Kannan R, Kannan S. Nanomedicine in
4
5
Penerbit
Effects on the Size of Existent Subdural Hygroma: A Case Report. Turkish Neurosurgery
8
1056)
10 Cho J Beom, dkk.2005. Surgical Treatment of Subdural Hygromas in Infants and Children J
Korean Neurosurg Soc 38
29
30