Anda di halaman 1dari 3

SISTEM RELIGI DAN KEYAKINAN MASYARAKAT

PESISIR
Konsep sistem kepercayaan berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Mitcheli, 1997).
Sistem kepercayaan didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumber daya (Matowanyika, 1991), ialah:
1.

Sepenuhnya pedesaan

2.

Sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat

3.

Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga
sebagai dasar pembagian kerja

4.

Sistem distribusi yang mendorong adanya kerjasama\

5. Sistem pemilikan sumber daya yang beragam, tetapi selalu terdapat sistem pemilikan bersama
6.

Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal.


Pada esensinya, unsur religi (sistem kepercayaan/keyakinan dengan praktik seremonial ) dari suatu kebudayaan berfungsi
untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan hubungan atau kesatuannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, pencipta alam
semesta dengan segala isinya. Berikut, agama secara ideal dipahami sebagai yang berfungsi regulasi berkehidupan bersesama,
berhubungan dengan dan pengelolaan (pemeliharaan) pemanfaatan sumber daya alam sebagai berkah dari-Nya. Agama
dengan demkian, dipahami sebagai pedoman kehidupan masyarakat manusia untuk selamat dunia dan akhirat.
Pada kebanyakan kelompok dan komunitas nelayan dan pelayar di dunia, agama lebih difungsikan dalam urusan duniawi
yang pragmatis dari pada pemungsiannya secara ideal atau esensialnya, yakni sebagai mekanisme pemecahan persoalanpersoalan lingkungan fisik dan sosial ekonomi yang dihadapinya di laut sehari-hari. Sama halnya kepercayaan pada ilmu
magic dan praktik sihir yang digunakan oleh masyarakat nelayan atau pelayar (secara individual atau kelompok) untuk
memecahkan berbagai masalah seperti itu karena tidak dapat diatasi dengan akal sehat dan praktik biasa. Contohnya :

Nelayan Urk (Belanda) meyakini sumber daya dan hasil laut sebagai berkah dari Tuhan yang harus diusahakan
dengan kerja keras disertai doa. Bahkan, mesin raksasa 3000 PK yang menggerakkan kapal berbobot ratusan ton diyakini
sebagai nakhoda yang digerakkan oleh pneggerak utama, yaitu Tuhan. Keyakinan religius terkait kehidupan ekonomi dan
kecanggihan iptek ini terwujud dalam pelaksanaan ibadah gereja setiap hari minggu (Heilig dag), mengharamkan pembatasan
kelahiran karena anak adalah berkah dari Tuhan (Zegen Van God) yang kelak menjadi awak kapal yang terampil dan
produktif. Dan, tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor/mesin pada hari minggu sebagai penghargaan pada Tuhan
penggera mekanik yang utama (Lampe,1986).

Nelayan Islandia hingga sekarang masih banyak yang percaya bahkan mengandalkan kekuatan bisikan mahluk halus
dan roh nenek moyang, petunjuk mimpi dan firasat serta feeling dan intuisi yang dikombinasikan dengan sistem manajemen
formal ekonomi yang modern dan rasional sebagai model untuk sikses dan selamat (model for success and model for safety)
(Palsson, 2001).

Kebanyakan nelayan Bugis, Bajo, Makassar dan Madura yang beragama Islam sangat percaya pada kekuasaan Allah
dan takdir-Nya. Sedikit banyaknya hasil yang diperoleh senantiasa dikembalikan pada ketentuan takdir. Rintangan arus dan
ombak besar yang diarungi ; dalamnya laut yang diselami pencari teripang, berbahaya dan angkernya berbagai tempat yang
justru kaya sumberdayanya. Dan ancaman raksasa laut (gurita, hiu dan paus) semuanya dihadapi dan dilawan atau dihindari
dengan keyakinan religius dan praktik ritual (doa dan penyembahan sesaji). Keberanian pelaut dari sulawesi selatan dan
Tenggara menjelajahi perairan Nusantara ini sebagian besar dilandasi keyakinan agama, bukan atas modal pengetahuan dan
keterampilan berlayar serta etos ekonomi yang tinggi semata.

Kebanyakan nelayan suku bangsa Fanti-Ghana (Afrika Barat) dan komunitas-komunitas nelayan dan pelayar di
negara-negara kepulauan pasifik, termasuk kepulauan Trobriand, percaya dan melakukan praktik magic untuk menjaga
keselamatan mereka dari gangguan hantu-hantu laut. Bahkan nelayan melakukan persaingan memperebutkan sumber daya
laut dengan menggunakan kekuatan supranatural / jimat dan praktik sihir.
Sistem kepercayaan dalam memanfaatkan sumber daya laut masyarakat pesisir selalu mengikuti kebiasaan yang sudah
menjadi tradisi adat bahkan ada yang melakukannya dengan suatu acara dalam bentuk ritual yang menurut sistem kepercayaan

dan pengetahuan masyarakat setempat ritual tersebut dapat memberikan mereka hasil usaha sebagai nelayan maupun
keselamatan selama melaut.
Di lain pihak mereka juga percaya bahwa pada kondisi tertentu, ketika penghuni alam ini, maksudnya manusia
serakah dan bertindak dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir tidak sesuai dengan sistem nilai, hukum adat
dan tradisi budaya yang dianut, maka alam akan bertindak sebaliknya yakni memberi sanksi dan hukuman kepada manusia.
Menurut sistem kepercayaan masyarakat setempat bentuk hukuman yang alam berikan kepada mereka dalam memanfaatkan
sumberdaya alam laut dan pesisir yang tidak sesuai dengan kesepakatan adat dan tradisi masyarakat setempat, dapat berupa
bencana alam, sakit yang tidak dapat diobati secara medis, kecelakaan baik di laut dan di darat (tenggelam, digigit ikan hiu,
paus, ular atau jatuh dari pohon).
Resiko dan hukuman alam ini dapat dialami secara fatal yakni menimbulkan kematian dan/atau hanya menimbulkan
kecelakaan seperti luka, patah, hilang beberapa organ tubuh dan dapat juga menimbulkan kelumpuhan serta mempengaruhi
gangguan kejiwaan (gila). Mereka sangat menyadari bahwa nilai-nilai tersebut merupakan warisan leluhur yang perlu
ditumbuh-kembangkan kembali agar menjadi penuntun moral dan pranata untuk mengatur masyarakat dalam menfaatkan
sumberdaya pesisir dan laut secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kesadaran masyarakat dalam melestarikan sistem
kepercayaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga disebabkan oleh adanya kekewatiran akan
pudarnya atau hilangnya nilai-nilai sistem kepercayaan . Fenomena lainnya adalah dewasa ini di mana-mana terjadi perilaku
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut cenderung bersifat destruktif dan tidak ramah lingkungan.
Selain itu masyarakat pesisir umumnya merasa pesimis dan meragukan implementasi hukum-hukum positif termasuk
aparat penegak hukum. Respons masyarakat terhadap hukum-hukum positif yang ada dan berlaku sangat rendah. Hal ini
disebabkan karena adanya kenyataan bahwa para pelaku perusakan lingkungan yang ditangkap, tidak jelas penyesaiannya dan
tidak membuat jera terhadap para pelaku pengrusak lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai