Anda di halaman 1dari 87

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menjelaskan tentang pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal yang
kompleks dan menarik sebab di dalamnya terdiri dari banyak dinamika baik itu secara
mikro maupun makro. Suatu negara dikatakan sukses dalam pembangunan ekonomi
jika telah menyelesaikan tiga masalah inti dalam pembangunan. Ketiga masalah
tersebut adalah angka kemiskinan yang terus meningkat, distribusi pendapatan yang
semakin memburuk dan lapangan pekerjaan yang tidak variatif sehingga tidak
mampu menyerap pencari kerja. Untuk itu melakukan analisis tentang pembangunan
ekonomi Indonesia merupakan hal menarik guna melihat sejauh mana negara ini
mampu

melakukan

pembangunan

ekonomi

secara

komprehensif.

Dalam

menyelesaikan masalah tersebut berbagai pendekatan dilakukan termasuk pendekatan


pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menyelesaikan masalah pembangunan ini.
Pasca krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami
ekspansi, meskipun belum mampu menyamai pertumbuhan ekonomi pada masa
pemerintahan Orde Baru. Saat ini ekonomi Indonesia secara meyakinkan terus
mengalami pertumbuhan dengan besaran diatas 5% rata-rata per tahun. Ini menarik
perhatian beberapa lembaga rating dan lembaga penelitian internasional yang
melakukan prediksi tentang masa depan ekonomi Indonesia. Bank Dunia dalam
laporan The New global Economy, lembaga rating G-Sachs dan Standard Chartered
Bank untuk Indonesia 2050 membuat analisis, bahwa diperkirakan Indonesia akan

masuk dalam salah satu negara pusat pertumbuhan ekonomi dunia (growth pool) pada
tahun 2025. Dalam laporan tersebut, juga diperkiran pertumbuhan ekonomi Indonesia
akan mencapai 13% pada tahun 2025, dengan syarat pertumbuhan ekonomi riil
Indonesia harus berada antara 7-9% pertahun dan berkelanjutan. Selain itu berbagai
lembaga riset terkemuka termasuk The Economist edisi bulan Desember 2010
menyatakan bahwa Indonesia akan bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru (new
emerging economy).
Badan Pusat Statistik 2011 melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencapai angka 6,1%. Angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya yang hanya sekitar 4,6%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi
Indonesia cenderung meningkat tiap tahunya yaitu 6,3% pada tahun 2007, 6,0% pada
tahun 2008, 4,6% pada tahun 2009 kemudian naik pada tahun 2010 sebesar 6,1%.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan konsisten tersebut memasukkan
Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju seperti Cina, Jepang dan beberapa
negara maju lainya.
Namun nampaknya diskursus yang sampai saat ini terus berlangsung dan
fakta-fakta yang tidak dapat ditolak lagi melahirkan paradoks dalam pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Laporan Bank Dunia menjadi gugatan untuk beberapa negara
yang memiliki pertumbuhan yang tinggi namun penduduknya masih tergolong miskin
termasuk Indonesia. Dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik digambarkan
pertumbuhan ekonomi yang tidak lain adalah pertumbuhan output nasional yang
merupakan fungsi dari faktor produksi dan fungsi produksi. Semakin cepat laju
pertumbuhan ekonomi maka merepresentasikan distribusi pendapatan kepada rumah

tangga faktor produksi mengalami perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi


merupakan gambaran terhadap kesejahteraan faktor produksi yang turut serta
menciptakan kue nasional tersebut. Artinya semakin tinggi laju pertumbuhan
ekonomi maka semakin tinggi pula produktivitas faktor produksi dan semakin tinggi
pula upah yang diterima oleh para pekerja.
Namun tampaknya teori tersebut digugat oleh laporan Bank Dunia tentang
kesenjangan antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Dalam
laporanya dengan tema World Development Report: Sustainable Development In A
Dinamic world: Transforming Institutions ,growth, and quality of life pada tahun
2003 melaporkan bahwa ditemukan fakta diberbagai belahan dunia, semua negara
telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan bahkan
berlangsung secara konsisten selama dua dekade, namun tidak diimbangi dengan
penurunan angka kemiskinan (pendapatan dibawah 2$). Dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa sekitar tiga milyar penduduk dunia masih berada dalam
kemiskinan padahal disatu sisi pertumbuhan terus meningkat secara konsisten
(Agussalim, 2009).

Tabel 1.1
Data pertumbuhan ekonomi dan jumlah orang miskin
Tahun

Pertumbuhan PDB (%)

1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997

9.9
7.9
2.2
4.2
5.8
2.5
3.2
3.6
1.9
1.4
7.1
6.6
6.3
2.2
7.5
8.2
7.8
4.9

1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

-13.13
0.79
4.92
3.45
4.31
4.78
5.03
5.69
5.51
6.32
6.01
4.35

5.8

Jumlah Orang
miskin (juta orang)
42,300,000
40,400,000
23,000,000
37,000,000
35,000,000
33,000,000
31,000,000
30,000,000
28,500,000
26,000,000
27,200,000
26,100,000
26,567,000
25,900,000
23,500,000
34,500,000
36,000,000
34,000,000
49,500,000
47,970,000
38,700,000
37,900,000
38,400,000
37,300,000
36,100,000
35,100,000
39,300,000
37,170,000
34,960,000
32,520,000
31,020,000

Dataa diatas menunjukkan ada beberapa tahun tertentu dimana kenaikan


pertumbuhan ekonomi tidak diikuti turunya angka kemiskinan, misalnya ditahun
1983, 1990, 1995, 2002 dan beberapa tahun tahun tertentu juga menunjukkan

pertumbuhan ekonomi yang menurun namun kemiskinan juga mengalami penurunan.


Kegagalan pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan cenderung disebabkan oleh
gagalnya pemerintah dalam mengelolah laju pertumbuhan ekonomi. Kegagalan
pemerintah dalam mengatur sistem pemberian upah kepada para pekerja menjadi
salah satu pendorong gagalnya pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan. Pekerja di
Indonesia mengalami apa yang disebut u pah besi, diamana para pekerja diberikan
upah sesuai dengan kontrak kerja yang telah diputuskan bersama antara pengusaha
dan pekerja (buruh). Namun upah yang diberikan ternyata secara riil nilainya sangat
rendah meskipun secara nominal angkanya mungkin cukup tinggi. Penetapan upah
minimum yang dilakukan oleh pemerintah secara tidak sadar telah membuat para
pekerja berada dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
(primer) yang semakin hari mengalami fluktuasi harga (inflasi). Dampak dari upah
besi juga berdampak pada penjatahan pekerjaan oleh pengusaha. Ini dikemukakan
oleh Charles Brown (1998). Ia mengatakan bahwa penentuan upah besi akan
berdampak pada penjatahan pekerjaan yang akan berdampak pada semakin
banyaknya pengangguran. Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi
namun jika terjadi penentuan upah besi maka kesejahteraan karena pertumbuhan
ekonomi tidak akan pernah terwujud. Seharusnya upah ditentukan berdaskan
prosuktivitas marginal tenga kerja dengan tetap mempertimbangkan inflasi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu syarat tercapainya pembangunan
ekonomi, namun yang perlu diperhatikan tidak hanya angka statistik yang
menggambarkan laju pertumbuhan, namun lebih kepada siapa yang menciptakan
pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah hanya segelintir orang atau sebagian besar

masyarakat. Jika hanya segelintir orang yang menikimati maka pertumbuhan


ekonomi tidak mampu mereduksi kemiskinan dan memperkecil ketimpangan,
sebaliknya jika sebagian besar turut berpartisipasi dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi maka kemiskinan dapat direduksi dan gap antara orang kaya dan orang
miskin dapat diperkecil (Todaro dan Stephen C. Smith, 2006).
Tabel 1.2
Data rasio gini dan jumlah orang miskin

Tahun
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004

Rasio
Gini (%)
0.34
0.33
0.3
0.31
0.32
0.364
0.33
0.32
0.32
0.33
0.34
0.33
0.33
0.36
0.34
0.34
0.36
0.37
0.32
0.311
0.32
0.3
0.329
0.32
0.32

Angka
Kemiskinan (Juta
Orang)
42,300,000
40,400,000
23,000,000
37,000,000
35,000,000
33,000,000
31,000,000
30,000,000
28,500,000
26,000,000
27,200,000
26,100,000
26,567,000
25,900,000
23,500,000
34,500,000
36,000,000
34,000,000
49,500,000
47,970,000
38,700,000
37,900,000
38,400,000
37,300,000
36,100,000

2005
2006
2007
2008
2009
2010

0.343
0.357
0.376
0.368
0.357
0.331

35,100,000
39,300,000
37,170,000
34,960,000
32,520,000
31,020,000

Sumber: Badan Pusat statistik


Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap kualitas
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tidak, maka kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan akan tetap menjadi masalah pembangunan ekonomi dimasa depan.
Beberapa kecenderungan menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan
ekonomi tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan taraf hidup
masyarakat miskin dijelaskan oleh berbagai literatur dan hasil penelitian. Faisal Basri
dan Haris Munandar (2006) dan Ahmad Erani Yustika (2010) misalnya memasukkan
masalah ini menjadi salah satu masalah struktural dalam perekonomian Indonesia
yang selama ini tidak disadari oleh pemerintah dan merupakan ancaman yang
berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Mereka mengemukakan bahwa kualitas
pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa menekan angka kemiskinan, karena
yang menjadi leading sektor dalam pertumbuhan ekonomi tersebut adalah sektor non
tradable yang padat modal. Sektor tersier (non tradable) yang memberikan kontrbusi
besar dalam pertumbuhan ekonomi ternyata hanya mampu menyerap sedikit dari
sekian banyak tenaga kerja yang ada di Indonesia. Setiap tahunya angkatan kerja
meningkat sekitar rata-rata 80 juta angkatan kerja dari tahun 1989-1999, sementara
orang yang mencari pekerjaan sektar 40 juta jiwa dari tahun yang sama. Pencari kerja
yang terus meningkat simultan dengan pertumbuhan ekonomi yang mengalami

ketimpangan. Secara perlahan namun konsisten, sektor industri dan jasa mulai
menggantikan peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kontribusi sektor non tradable dalam struktur PDB Indonesia membesar
seiring proses perekembangan Indonesia sebagai negara yang berkembang dan ingin
melalui masa transisi menuju negara maju (pra kondisi menuju lepas landas). Secara
perlahan namun konsisten, kontribusi sektor non tradable (sektor perdagangan, hotel
dan restoran) mulai meningkat dan menggantikan peran sektor pertanian dan industri.
Secara teoritis pergeseran struktur ekonomi menjadi syarat suatu negara dikatakan
negara maju ketika sektor jasa berkontribusi besar terhadap PDB. Namun jika tidak
dapat dikelola dengan baik maka perubahan struktur ekonomi akan berdampak pada
munculnya masalah baru seperti pengangguran dan distribusi pendapatan yang
timpang serta memburuknya angka kemiskinan.
Gambar 1.1a
Perkembangan GDP per sektor

Sumber: BAPPENAS

Perkembangan sektor tersier dalam perekonomian Indonesia menunjukkan


kontraproduktif dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peran sektor tersier dalam
perekonomian Indonesia hanya menyerap sebagian kecil dari angkatan kerja di
Indonesia karena basis dari sektor tersebut hanya didorong oleh sub sektor jasa yang
padat modal. Seharusnya yang mengalami pertumbuhan saat ini adalah sektor yang
padat tenaga kerja.
Lewis dalam Todaro (2006) menjelaskan perubahan struktur ekonomi dengan
mengasumsikan bahwa sektor pertanian yang padat tenaga kerja mengalami over
employment dan MPL=0 (Marginal Productivity of Labor). Untuk memanfaatkan
tenaga kerja yang berada pada sektor pertanian maka sektor perkotaan (industri) harus
ditingkatkan dan memberikan gaji yang paling tinggi 30% diatas rata-rata gaji pada
sektor pedesaan. Namun kritikan untuk teori ini muncul, mengatakan bahwa teori
Lewis melakukan penyederhanaan sehingga tidak realistis dalam pencapaiannya.
Tidak mudah memindahkan masyarakat desa ke kota yang telah terbiasa bekerja pada
sektor tradisional. Banyak pertimbangan (budaya, keluarga dsb) yang membuat
mereka harus bertahan di desa dan tetap bekerja pada sektor tradisional sehingga
memindahkan mereka merupakan hal yang sulit dan memerlukan banyak biaya.
Perkembangan sektor tersier dalam perekonomian Indonesia menimbulkan
banyak pertanyaan. Jika sektor padat tenaga kerja yang dibutuhkan mengapa yang
berkembang pesat justru sektor yang padat modal (Faisal Basri, 2006) . Ini berkaitan
dengan kendala yang dihadapi oleh sektor padat tenaga kerja. Sektor ini sering
menemui kendala umum misalnya dalam proses produksi sering kalah bersaing oleh
sektor yang padat modal yang memiliki teknologi canggih. Selain itu menurut Faisal

Basri (2006) sektor tersier bisa berkembang lebih cepat karena pada umumnya pelaku
usaha tidak mengalami kendala berat akibat ketebatasan supply maupun kualitas
infrastruktur. Sektor jasa juga terhindar dari carut-marut kepabeanan, buruknya
pelayanan pelabuhan, pungutan dijalan raya dan praktik ekonomi biaya tinggi lainya.
Disebabkan semua keuntungan yang diperoleh oleh sektor tersier secara umum
disebabkan karena sektor tersebut mampu menghindar dari beberapa kendala yang
tidak mampu dihindari oleh sektor primer.
Pergesaran struktur ekonomi tersebut mengharuskan terjadinya proses
industrialisasi. Proses industrialisasi yang cepat juga menjadi pemicu matinya sektor
pedesaan yang menyerap hampir 50% orang miskin. Namun menurut Oshima (1989)
kegagalan beberapa negara berkembang untuk memperbaiki ketimpangan dan
menurunkan tingkat kemiskinan tidak disebabakan oleh kegagalan teori trickle down
effect tapi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu melanjutkan proses
industrialisasi. Proses ini yang nantinya akan meyebarkan kesejahteraan ditiap daerah
dalam satu negara.
Namun sampai saat ini paradigma pemerintah nampaknya masih berorientasi
pada pertumbuhan, meskipun kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum
mampu mengentaskan kemiskinan dan justru memperbesar gap antara kaum miskin
dan kaya. Ini dapat dilihat dari strategi pembangunan yang digunakan pemerintah
yaitu triple track strategy. Triple track strrategy lebih mengedapankan pertumbuhan
(pro growth) diatas lapangan pekerjaan dan kemiskinan (pro job dan pro poor). Ini
memberikan indikasi bahwa pemerintah masih mempercayai efektifitas pertumbuhan
ekonomi sebagai salah satu variabel yang dapat menekan angka pengangguran dan

10

kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan. Dalam lima belas program


prioritas yang disebutkan dalam Nota Keuangan tahun 2010 salah satunya adalah
pertumbuhan ekonomi yang akan terus dtingkatkan sampai mencapai minimal 7 %
sehingga kesejahteraan rakyat juga lebih meningkat, termasuk untuk mencukupi
kebutuhan hidup mereka.
Masalah lain yang menarik perhatian dalam pembangunan ekonomi Indonesia
adalah pengeluaran pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Dari tahun ke tahun
pemerintah telah mengeluarkan banyak anggaran untuk menekan angka kemiskinan
(pendapatan dibawah 2$/hari). Namun jika dilihat lebih teliti anggaran yang
meningkat begitu besar hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar paling
besar 1%.
Tabel 1.4
Pengeluaran pemerintah dan kemiskinan
Tahun

1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995

Pengeluaran Pemerintah
1,501,600,000,000
6,399,200,000,000
8,605,800,000,000
9,290,250,000,000
10,459,300,000,000
10,647,000,000,000
8,296,000,000,000
7,756,600,000,000
8,897,600,000,000
12,480,200,000,000
16,225,000,000,000
19,997,700,000,000
22,912,000,000,000
25,227,200,000,000
27,398,300,000,000
30,783,500,000,000

11

Angka
Kemiskinan
42,300,000
40,400,000
23,000,000
37,000,000
35,000,000
33,000,000
31,000,000
30,000,000
28,500,000
26,000,000
27,200,000
26,100,000
26,567,000
25,900,000
23,500,000
34,500,000

1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

34,502,700,000,000
28,880,800,000,000
49,391,700,000,000
82,448,300,000,000
41,605,700,000,000
52,299,100,000,000
52,299,100,000,000
66,146,100,000,000.00
18,000,000,000,000
23,000,000,000,000
42,000,000,000,000
56,000,000,000,000
62,000,000,000,000
66,200,000,000,000
94,000,000,000,000

36,000,000
34,000,000
49,500,000
47,970,000
38,700,000
37,900,000
38,400,000
37,300,000
36,100,000
35,100,000
39,300,000
37,170,000
34,960,000
32,520,000
31,020,000

Sumber: Nota Keuangan dan BAPPENAS


Kondisi ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar anggaran pemerintah
yang dijadikan program belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Bahwa
belanja untuk program kemiskinan terus bertambah belum menjadi ukuran prestasi.
Lagi pula tingkat kemiskinan terendah pada masa pasca krisis masih cukup jauh jika
dibandngkan dengan tingkat kemiskinan terendah pada masa sebelum krisis (Faisal
Basri, 2006). Hal ini juga diakui oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS), bahwa meskipun angka kemiskinan menurun tapi penurunannya
mengalami pelambatan jika dibandingkan pada masa sebelum krisis dan tidak sesuai
jika dibandingkan dengan kenaikan jumlah anggaran yang telah dikeluarkan (Vivi
Yulaswati, 2009)

12

Gambar1.1b
Perkembangan jumlah orang miskin

Sumber: Presentase Bappenas pada saat Rakornas II TKPK Provinsi Jakarta, 2 Desember2009

Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menemui


berbagai kendala yang mendasar dan sangat penting guna ketercapaian tujuan
program tersebut. Ada berbagai program pengentasan kemiskinan yang terangkum
dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Dalam menyusun
program

pengentasan

memaksimalkan

peran

kemiskinan,
masyarakat

pemerintah
untuk

mengalami

melakukan

kesulitan

penyusunan

dalam
program

pengentasan kemiskinan. Meskipun secara konseptual, diberlakukan Musrembang


(musyawarah perencanaan pembangunan) ditiap tingkatan masyarakat, namun dari
sisi realisasi belum maksimal. Program partisipasi masyarakat yang diklaim
pemerintah telah berhasil ternyata belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Selain faktor tersebut, ada program yang memang hanya bersifat jangka
pendek. Program ini pada prinsipnya hanya mengangkat orang miskin dari posisi
miskin menjadi hampir miskin. Ini dipertegas dengan temuan Afrizal. Berdasrkan

13

penelitian yang dilakukan ia menemukan bahwa Raskin dikatakan sebagai bantuanbatuan habis sesaat. BLT/SLT pada umumnya hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi sehari-hari dan tidak membuat mereka dapat menyimpan karena
adanya bantuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena bantuan tersebut terlalu
kecil, sedangkan pendapatan mereka tidak mampu menutupi kebutuhan dasarnya.
Untuk itu beberapa masalah pembangunan yang tidak kunjung selesai harus
diberikan solusi guna memecahkan masalah pembangunan yang mulai asimetris
dengan indikator keberhasilan pembangunan. Maka dari itu berdasarkan pemaparan
latar belakang masalah tersebut maka judul penelitian Dampak Pembangunan
Ekonomi Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Periode 19802010 memberikan analisis tentang beberapa masalah yang terjadi dalam
pembangunan ekonomi Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dirumuskan masalah pokok
dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah

pengeluaran

pemerintah,

pertumbuhan

ekonomi,

distribusi

pendapatan berpengaruh sgnifikan terhadap kemiskinan?


1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan tujuan
penelitian yaitu:
1. Melakukan analisis hubungan antara pengeluaran pemerintah, pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan

14

1.4 Kegunaan Penelitian


Penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa kalangan diantaranya:
1. Bagi mahasiswa, penelitian ini bermanfaat sebagai literatur tambahan dalam
memahami kondisi pembangunan ekonomi Indonesia
2. Bagi masyarakat, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan refleksi tentang
pembangunan ekonomi yang selama ini djalankan.

BAB II

15

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Konsep tentang pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan
Pembangunan ekonomi Indonesia telah berlangsung cukup lama. Selama itu
pula pembangunan ekonomi dijalankan dengan berbagai macam teori dan pendekatan
yang diadopsi, namun belum mampu meyelesaikan masalah pembangunan yang
mengancam keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia. Ketidakmampuan
berbagai macam pendekatan tersebut menarik perhatian banyak akademisi untuk
melakukan penelitian guna mencari akar permasalahan tersebut.
Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan masalah kemiskinan. Sebab
tujuan utama dari pembangunan adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat atau
pemerataan kesejahteraan. Jadi negara dikatakan telah berhasil melakukan
pembangunan ketikan ketiga masalah dalam pembangunan dapat diselesaikan, yaitu
kemiskinan, distribusi pendapatan dan pengangguran.
Landasan teori dari beberapa penelitian memberikan kesimpulan yang
beragam. Apa yang dikemukakan oleh Todaro (2009) menjadi entry point dalam
melihat hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan. Menurutnya Gross Domestic
Produk/Product Domestic Bruto (pertumbuhan ekonomi) yang cepat menjadi salah
satu syarat tercapainya pembangunan ekonomi. Namun masalah fundamental bukan
hanya menumbuhkan GNI, tetapi siapakah yang akan menumbuhkan GNI tersebut,
sejumlah orang yang ada dalam suatu negara ataukah hanya segelintir orang saja. Jika
hanya segelintir orang

yang menubuhkan GNI ataukah orang-orang kaya yang

16

jumlahnya sedikit, maka manfaat dari pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh
mereka saja sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin
parah (Todaro dan Stephen C.Smith, 2006, Dawey, 1993). Untuk itu hal yang paling
penting dalam pertumbuhan adalah siapa yang terlibat dalam pertumbuhan ekonomi
tersebut atau dengan kata lain adalah tingkat kualitas pertumbuhan tersebut.
Apa yang dikemukakan oleh Todaro sebelumnya dijelaskan oleh teori
distribusi pendapatan klasik dan pertumbuhan output dalam Mankiew (2006). Dalam
teori distribusi pendapatan klasik dan pertumbuhan output dijelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tidak lain adalah pertumbuhan output nasional
merupakan fungsi dari faktor produksi. Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi
maka seharusnya aliran pendapatan kepada rumah tangga faktor produksi mengalami
perbaikan. Tingginya pertumbuhan output suatu negara diakibatkan oleh tingginya
produktivitas input dalam penciptaan barang dan jasa. Peningkatan output tersebut
dapat memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan upah dan pada akhirnya
memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Ravalion (1997), Son dan Kakwani
(2003) dan Bourguignon (2004) juga memberika kesimpulan yang secara keseluruhan
mendukung teori Todaro dan Mankiew. Menurut Ravalion (1997), Son dan Kakwani
(2003) dan Bourguignon (2004) setelah mekakukan analisis hubungan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan menemukan bahwa dampak
pertumbuhan terhadap angka kemiskinan hanya terjadi jika ketimpangan relatif
tinggi. Dengan kata lain bagi negara-negara yang mempunyai tingkat ketimpangan

17

sedang atau rendah dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan relatif tidak signifikan
(Agussalim, 2009).
Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional USD 1 per orang maka
Squaire (1993) melanjutkan dengan melakukan studi ekonometrik dengan analisis
regresi antara tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan.
Menurutnya, jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan ekonomi maka akan
mengurangi jumlah penduduk miskin (pendapatan dibawah USD 1 per orang per
hari) sebesar 0,24%. Untuk itu Bourgoignon (2004) mengeluarkan fungsi untuk
menjelaskan secara sedehana tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan
dimana change in poverty = (growth, distribution, change in distribution).
Pendapat Bourgoignon dijelaskan lebih jauh oleh Dollar dan Kray (2001)
dalam Agussalim (2006). Menurut Dollar dan Kray pertumbuhan ekonomi akan
memberikan manfaat kepada warga miskin jika pertumbuhan ekonomi tersebut
disertai dengan berbagai kebijakan seperti penegakan hukum, disipin fiskal,
keterbukaan dalam perdagangan internasional dan strategi penanggulangan
kemiskinan. Negara yang berhasil dalam pertumbuhan ekonomi kemungkinan besar
juga akan berhasil dalam menurunkan angka kemiskinan, apalagi jika terdapat
dukungan kebjakan dan lingkungan kelembagaan yang tepat (Bigsten dan Levin,
2001).
Adams (2004) juga melihat hubungan yang kuat antara pertumbuhan dan
kemiskinan.

Pertumbuhan

ekonomi

dapat

menurunkan

kemiskinan

ketika

pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan pendapatan rata-rata. Terdapat hubungan


yang kuat secara statistik antara pertumbuhan ekonomi dan kemiksinan. Untuk itu

18

Hasan dan Quibria (2002) mengatakan bahwa tidak adalagi yang meragukan
pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi penurunan angka kemiskinan. Apa yang
dikemukakan oleh Adams, Hasan dan Quibria dipertegas kembali oleh Siregar dan
Wahyuniarti. Ia menemukan bahwa setiap pertumbuhan 1 Triliun dalam output akan
menurunkan sekitar 9.000 orang miskin.
Fakta pendukung peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan angka
kemiskinan dijelaskan oleh Bank Dunia dalam World Development report (1990).
Bank Dunia memberika rekomendasi kebijakan yaitu mendorong pertumbuhan
ekonomi agar tercipta lapangan kerja dan pemanfaatan tenaga kerja guna
mengentaskan angka kemiskinan. Pentingnya pertumbuhan ekonomi untuk
menurunkan angka kemiskinan dijelaskan secara teoritis melalui virtous circle oleh
Sagir (2009). Ia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi
pemicu atau indikasi dunia usaha mengalami tingkat produktivitas yang tinggi dan
kemudian akan berdampak pada luasnya lapangan pekerjaan yang tersedian seiring
peningkatan kapasitas produksi
Namun tidak semua hasil penelitian menemukan hubungan yang negatif
antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Beberapa temuan juga
mengatakan bahwa pertumbuhan berhubungan positif terhadap kemiskinan. Misalnya
apa yang dikatakan oleh Ahluwalia dan Chenery (1974) bahwa sudah jelas
sekarang bahwa lebih dari satu dekade pertumbuhan ekonomi yang cepat di negaranegara terbelakang hanya memberikan sedikit manfaat atau tidak sama sekali
memberikan manfaat terhadap sekitar sepertiga dari populasi mereka ". Gagalnya
pertumbuhan mereduksi kemiskinan disebabkan oleh gagalnya proses trickle down

19

effect. Gagalnya kesejahteraan (kue pembangunan) menetes kebawah membuat


kemiskinan semakin dalam meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat setiap tahun.
Artinya hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan bukan hubungan kausalitas
karena kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak mutlak menurunkan angka kemiskinan.
Ada banyak hal/syarat yang harus terpenuhi untuk membuat pertumbuhan ekonomi
itu inklusif dalam artian pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua
kalangan masyarakat bukan hanya kelas sosial tertentu dalam masyarakat.

2.1.2 Konsep tentang distribusi pendapatan dan kemiskinan


Todaro (2009) menjadi landasan penting dalam melihat hubungan antara
distribusi pendapatan dan kemiskinan. Menurutnya Gross domestic Produk/Product
Domestic Bruto (pertumbuhan ekonomi) yang cepat menjadi salah syarat tercapainya
pembangunan ekonomi. Namun Masalah dasarnya bukan hanya menumbuhkan GNI,
tetapi juga siapakah yang akan menumbuhkan GNI tersebut, sejumlah orang yang ada
dalam suatu Negara ataukan hanya segelintir orang. Jika hanya segelintir orang yang
menubuhkan GNI ataukah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat
dari pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh mereka saja sehingga
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin parah (Todaro dan
Stephen C.Smith, 2006, Dawey, 1993). Untuk itu hal yang paling penting dalam
pertumbuhan adalah siapa yang terlibat dalam pertumbuhan ekonomi tersebut atau
dengan kata lain adalah tingkat kualitas pertumbuhan tersebut.

20

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pertama kali


dikemukakan oleh Simon Kusnets. Dalam Todaro (2009) Kusnets mengatakan bahwa
hubungan antara pertubuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan berbentuk kurva
U-Shape terbalik. Dasar dari hipotesis Kusnetz adalah ketimpangan yang rendah yang
terjadi dipedesaan dengan sektor yang mendominasi adalah pertanian dibandingkan
dengan perkotaan yang didominasi oleh sektor jasa dan industri yang tingkat
ketimpangan pendapatanya tinggi. Ia mengatakan, terjadi transformasi ekonomi dari
sektor pertanian ke sektor jasa.
Transformasi ekonomi tersebut membuat upah yang diterima oleh pekerja
disektor pertanian lebih rendah dari upah yang diterima oleh pekerja disektor jasa.
Untuk itu pada tahap awal pembangunan, ketimpangan pendapatan masih rendah.
Kemudian pada tahap selanjutnya ketimpangan pendapatan mengalami peningkatan
seiring perubahan struktur ekonomi (Institut Pertanian Bogor).
Namun beberapa penelitian yang lian menemukan hal yang berbeda. Misalnya
apa yang dikemukakan oleh Ravallion yang mengatakan bahwa antara distribusi
pendapatan dan kemiskinan tidak terdapat hubungan yang sistematis.
2.1.3 Konsep tentang pengeluaran pemerintah dan kemiskinan kemiskinan
. Dalam pembangunan ekonomi, peran pemerintah melalui kebijaksanaan
fiskal sangat dibutuhkan untuk menekan angka kemiskinan. Namun program yang
dibuat harus melalui analisis kebutuhan yang jelas agar anggaran yang digunakan
efektif dalam menurunkan angka kemiskinan.

21

Menurut Dollar dan Kray (2001) setelah melakukan pengamatan terhadap


stabilitas makro, disiplin fiskal dan belanja publik untuk kesehatan dan pendidikan
menemukan bahwa kuat dugaan kebijakan pro poor seperti belanja publik untuk
kesehatan dan pendidikan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap
pendapatan kaum miskin. Sebaliknya pendapatan kaum miskin memiliki hubungan
yang sistematis terhadap kebjakan publik misalnya disipln fiskal, stabilitas makro
ekonomi, penegakan hukum dan keterbukaaan dalam perdagangan internasional.
Menurut mereka seringkali di negara berkembang kebijakan pro poor tersebut hanya
dinikmati oleh kelompok menengah dan kaya dari pada kelompok miskin. Ini terjadi
misalnya pada subsidi BBM (bahan bakar minyak) atau listrik dimana sebagaian
besar yang menikmati subsidi terbut hanya mereka yang berpendapatan menegah
keatas.
Menurut World Bank dalam laporan Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan
di Indonesia (2006) bahwa disamping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial,
dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat
membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun
non-pendapatan) dengan beberapa hal. Pertama, pengeluaran pemerintah dapat
digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi
pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan
kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua,
pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator
pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek nonpendapatan.

22

Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin merupakan syarat


harus untuk menekan angka kemiskinan saat ini, terutama mengingat adanya peluang
dari sisi fiskal. Hendri Saparini (2008) mengatakan bahwa pemerintah harus
memprioritaskan alokasi anggaran untuk program-program pengentasan kemiskinan
dan pengangguran. Selain itu, pernerintah harus memperbesar alokasi belanja modal
dan mengurangi biaya birokrasi. Ini dikarenakan kecenderungan anggaran yang
meningkat namun tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan.
Peran pemerintah dalam mempengaruhi kemiskinan termasuk dalam
mengantisipasi kegagalan pasar dalam perekonomian sangat penting. Peranya melalui
kebijakan

fiskal

ditargetkan

dapat

menyelesaikan

masalah

pembangunan

(kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan). Inilah yang mendasari


Keynes mengeluarkan teori yang memberikan peran yang besar bagi pemerintah
untuk

memberikan

stabilisasi,

redistribusi

pendapatan

dan

alokasi

dalam

perekonomian suatu negara. Keynes mengatakan pada tingkat makro, pemerintah


harus secara aktif dan sadar mengendalikan perekonomian ke arah posisi Full
Employment, sebab mekanisme otomatis kearah posisi tersebut tidak bisa
diandalkan secara otomatis atau diserahkan pada mekanisme pasar. Untuk itu peran
pemerintah melalui kebijaksanaan fiskal untuk melakukan distribusi pendapatan
termasuk melalui mekanisme pajak, sangat penting karena ketidakmampuan
mekanisme pasar dalam meyelesaikan masalah kesejahteraan. Pendapat tersebut juga
dikemukakan oleh Iradian (2005). Ia mengatakan bahwa selain ketimpangan
pendapatan, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh terhadap penurunan
kemiskinan.

23

Pemerintah memiliki perangkat kebijakan fiskal untuk mempengaruhi tujuan


pembangunan suatu negara. Kebijakan fiskal terdiri atas dua instrumen utama yaitu
kebijakan pajak dan pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981).
Sama seperti Keynes, Maipita, Jantan, Razak mengemukakan peran pemerintah
melalui kebijakan fiskal dengan tiga tujuan yang masing-masing memiliki sasaran
yang berbeda-beda. Fungsi alokasi berhubungan dengan persediaan barang-barang
sosial dan proses pemanfaatan sumber daya secara menyeluruh untuk produksi
barang-barang swasta, barang-barang sosial, dan kombinasi dari barang-barang sosial
yang telah dipilih. Fungsi distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan
dan distribusi pendapatan dalam masyarakat. Fungsi stabilisasi ditujukan untuk
menstabilkan atau mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau
tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
Dalam mengamati perkembangan pembangunan ekonomi Indonesia ada
banyak peneliti yang memberikan perhatian terhadap ketimpangan pembangunan ini.
Misalnya menurut Klassen (2005) dalam Agussalim (2009) pertumbuhan hanya dapat
disebut pro poor jika tingkat pertumbuhan orang miskin berada diatas tingkat
pertumbuhan pendapatan rata-rata. Dengan kata lain pertumbuhan relatif bisa
berpengaruh terhadap orang miskin dalam artian pendapatan mereka relatif
meningkat dibandingkan dengan kelompok pendapatan masyarakat lainya. Hal
tersebut senada namun dalam konteks yang lebih jelas dengan apa yang dikatakan
oleh Ravalioon (1997), Son dan Kakwani (2003) dan Bourgoignon (2004) bahwa

24

dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan hanya terjadi


jika ketimpangan relatif tinggi. Artinya bagi negara yang memiliki tingkat
ketimpangan sedang apalagi rendah dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan relatif
tidak signifikan.
Dalam studi lain yang melihat hubungan pertumbuhan dengan kemiskinan
dilakukan oleh Squire (1993) dalam Agussalim (2009). Ia melakukan studi
ekonometrik dengan melakukan analisis regresi antara tingkat penurunan kemiskinan
dengan tingkat pertumbuhan. Hasilnya, jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan
ekonomi akan mengurangi jumlah penduduk miskin (pendapatan dibawah 1$/hari)
sebesar 0,24%. Kemudian studi Squire dilanjutkan oleh Bruno, Ravallion dan Squire
(1998) dengan melakukan analisis regresi terhadap 20 negara berkembang selama
periode 1984-1993 menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang hidup dibawah
garis kemiskinan (1$/hari) secara statistik dapat turun sebesar 2,12%. Dan dipertegas
dengan hasil penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tentang
dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin
menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan dalam
mengurangi kemiskinan, namun magnitude dari pengaruh tersebut relatif tidak besar.
Secara umum ditemukan bahwa kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya dengan
mengharapkan proses trickle down effect dari pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan untuk
mengurangi kemiskinan.

25

Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional USD 1 per orang maka


Squaire (1993) melanjutkan analisis untuk meilhat korelasi antara pertumbuhan dan
kemiskinan. Dengan melakukan studi ekonometrik dengan analisis regresi antara
tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan menunjukkan jika terjadi
kenaikan 1% dalam pertumbuhan ekonomi maka akan mengurangi jumlah penduduk
miskin (pendapatan dibawah USD 1 per orang per hari) sebesar 0,24%. Namun
penelitian yang dilakukan oleh Deininger dan Squire (1995-1996) tidak menemukan
keterkaitan yang sistematis dan korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan. Studi
mereka ini yang juga menggunakan data lintas negara sangat menarik karena tidak
menemukan suatu keterkaitan yang sistematis walaupun relasi antara pertumbuhan
PDB dan pengurangan kemiskinan positif. Kemudian dipertegas oleh Fields dan
Jacobson (1989) dan Ravallion (1995) justru menemukan hal yang lebih ekstrim.
Mereka mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi
terhadap kemiskinan. Apa yang dikemukakan Ravallion, dipertegas temuan Kakwani
(2000). Dengan menggunakan data lintas negara di Asia (Thailand, Philipina Laos
dan Korea), Kakwani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat
mengatasi kemiskinan. Menurutnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya
dinikmati oleh masyarakat non miskin sedangkan penduduk miskin tidak mengalami
keuntungan yang sama besarnya dengan penduduk non miskin. Implikasi dari temuan
itu, Kakwani menyarankan bahwa pemerintah harus menerapkan pro poor-grwoth
strategy.

26

Hal yang berbeda temukan oleh Penelitian Saeful Hidayat (2007) yang
berjudul Pertumbuhan Ekonomi Ketidakmerataan Pendapatan dan Kemiskinan:
Estimasi Parameter Elastisitas Kemiskinan Tingkat Provinsi Di Indonesia Tahun
1996-2005. Penelitian tersebut membahas tentang hubungan pertumbuhan ekonomi,
ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan panel data
dan memberikan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan
ketidakmerataan pendapatan tetapi disisi yang lain pertumbuhan ekonomi mampu
mengurangi kemiskinan, bahkan peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang
merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi tidak mengganggu efektifitas
pengurangan kemiskinan. Artinya penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi

memberikan

dampak

pada

ketidakmerataan

pendapatan

namun

ketidakmerataan pendapatan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap angka


kemiskinan. Meskipun terjadi ketimpangan pendapatan tetapi ini tidak berpengaruh
pada efektifitas penurunan angka kemiskinan. Hal ini juga dikemukakan oleh
Hermanto Siregar dan Dwi Wahyu Winarti (2008) dengan judul penelitian Dampak
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Temuannya
juga mengatakan bahwa Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah
penduduk miskin menunjukkan bahwa pertumbuhan berpengaruh signifikan dalam
mengurangi kemiskinan, namun pengaruhnya relatif tidak besar. Pertumbuhan
tersebut menjadi syarat harus untuk mengentaskan kemiskinan namun syarat
penunjangnya juga harus tetap terpenuhi untuk mengentaskan kemiskinan secara
efektif.

27

2.2.2 Hubungan pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan terhadap


kemiskinan
Peran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan sangat dibutuhkan, sesuai
dengan peranan pemerintah yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Peranan tersebut
merupakan syarat yang harus dipenuhi jika tujuan pembangunan yaitu pengentasan
kemiskinan ingin terselesaikan. Anggaran yang dikeluarkan untuk pengentasan
kemiskinan menjadi stimulus dalam menurunkan angka kemiskinan dan beberapa
persoalan pembangunan yang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2005) dalam Alawi (2006)
menegaskan peranan anggaran untuk pengentasan kemiskinan. Temuan penelitian
tersebut menjelaskan hubungan yang negatif antara anggaran pendapatan terhadap
jumlah orang miskin. Artinya semakin tinggi jumlah anggaran pendapatan maka akan
menurunkan tingkat kemiskinan. Tentu anggaran yang dimaksud dialokasikan guna
membuat program pengentasan kemiskinan baik yang bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang. Apa yang ditemukan oleh Hasibuan diperkuat oleh Alawi (2006).
Alawi menemukan bahwa alokasi anggaran untuk program pemberdayaan
masyarakat memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat keparahan kemiskinan.
Artinya semakin tinggi alokasi anggaran untuk program pemberdayaan masayarakat
maka akan menurunkan tingkat keparahan kemiskinan.

28

Dua penelitian diatas menjelaskan teori yang dikemukakan Todaro. Todaro


(2001) dalam Alawi menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan dipengaruhi oleh salah
satunya tingkat pendapatan rata-rata daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat
pendapatanya maka potensi untuk mengalokasikan anggaran guna menyelesaikan
masalah kemiskinan akan semakin besar. Namun alokasi tersebut tentu harus tepat
sasaran, jika tidak justru akan menyebabkan kemiskinan akan semakin memburuk
dan akan menghasilkan kekacauan sosial (social chaos).
Dalam temuan lain yang mempertegas beberapa temuan diatas yaitu temuan
dari Fan (2004). Ia membuktikan bahwa pengeluaran pembangunan untuk
infrastruktur dan jasa di daerah pedesaan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di
sektor pertanian yang menjadi sektor terbesar terjadinya kemiskinan di negara
berkembang. Selain itu pengeluaran pembangunan untuk teknologi dan modal
manusia juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan di
negara berkembang, khususnya negara-negara di Afrika. Dalam penelitian
sebelumnya Fan (et all 1999) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki
dampak secara langsung dan dampak tidak langsung terhadap penduduk miiskin. Ia
mengatakan dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima
penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung
berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan
pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih

29

luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya
harga kebutuhan pokok.
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan beberpa kelemahan dari
pengeluaran pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pada sisi implementasi
program. Penelitian yang fokus pada implementasi program pengentasan kemiskinan
memberikan hasil yang berbeda yang menunjukkan bahwa tidak mutlak pengeluaran
pemerintah dapat menurunkan kemiskinan. Misalnya yang dilakukan oleh dalam
penelitan yang dilakukan oleh Agus Purbathin Hadi (2008) terkait implementasi
program PPK menemukan bahwa terdapat kekurangan dalam proses implementasi
program pengentasan kemiskinan yaitu PPK (Program Pengembangan Kecamatan).
Dalam pelaksanaanya PPK menyediakan dana bantuan secara langsung bagi
masyarakat (BLM) sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per kecamatan, tergantung
dari jumlah penduduk dari suatu daerah. Uang yng dikeluarkan untuk program ini
dimaksudkan agar proses pembangunan yang bersifat partisipatif dimana masyarakat
terlibat langsung dalam proses pembangunan dapat terwujud. Namun dari beberapa
propnsi yang ada di Indonesia yang menjalankan program ini mendapat berbagai
kendala teknis seperti pada enam propinsi yang telah melaksanakan PPK
menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan, baik itu dari segi manajemen
pelaksanaan,

kesiapan masyarakatnya

dan lebih-lebih

proses

sosialisasinya

(Menayang dkk , 2001). Kelemahan ini sangat menentukan hasil apakah kemiskinan
dapat diturunkan sesuai dengan harapan atau tidak mengalami perubahan. Selain itu
dimungkinkan juga karena kurang memperhatikan kondisi masyarakat seperti halnya

30

pada

konteks

sistem

komunikasinya,

struktur

masyarakatnya

dan

fungsi

institusi/lembaga lokal masyarakat setempat. Sekalipun para petugas lapangan


(pendampingan) telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau kemampuan
bersosialisasi, tetapi tanpa mengenal, memahami dan menggunakan peta komunikasi
sosial, serta pengetahuan tentang struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat, maka kemungkinan besar mereka akan menuai kegagalan
(Gunawan, 2008).
Kelemahan PPK lainnya di awal-awal program adalah pada perekrutan dan
lemahnya pembekalan fasilitator. Tugas dan peran fasilitator dalam pendampingan
masyarakat membutuhkan lebih dari sekedar kecakapan teknik dan penguasaan
metodologi, namun juga empati dan keberpihakan dari para fasilitator. Empati
semacam itu tidak bisa ditumbuhkan hanya dengan seminggu pelatihan fasilitator.
Pengalaman di Desa Aik Berik, fasilitator tidak tinggal di desa yang didampingi,
padahal empati dan keberpihakan yang otentik hanya bisa tumbuh manakala
fasilitator live in, tinggal bersama masyarakat yang didampingi (Agus Purbathin
Hadi, 2008).
Selain program PPK, pemerintah saat juga membuat program P2KP (Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Tentu tujuan dari dibuatnya program ini
semata-mata untuk memperkuat kelembagaan masyarakat agar kedepan dapat
melewati fase kemiskinan dan sampai pada tahap terberdayakan. Namun sama seperti
program PPK, program P2KP juga menemui kedala yang menentukan berhasil atau
tidak program tersebut. Masih lemahnya kelembagaan BKM dan KSM karena belum

31

mampu berfungsi optimal dan kurang optimalnya peran fasilitator (Faskel) dalam
pendampingan masyarakat akibat lemahnya pemahaman ideologi pembangunan
berbasis komunitas dan lemahnya pemahaman community development di antara
pelaku P2KP utamanya para konsultan pendamping (Agus Purbathin Hadi, 2008).
Temuan ini juga dipertegas oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarini
(2001) di kelurahan Lenteng agung, dimana temuan ini menunjukkan masih terdapat
beberapa kendala salah satunya kendala dalam hal fasilitator yang dapat mendampngi
masyarakat untuk membuat program pembangunan. Sealin itu beberpa anggota
masyarakat yang terlibat dalam program ini adalah anggota masyarakat yang telah
memiliki uaha yang relatif stabil sehingga tidak memungkinkan terjadi kegagalan,
padahal yang seharusnya menjadi sasaran dalam program ini adalah masyarakat yang
tidak mampu. Kesungguhan masyarakat untuk mengikuti program ini juga menjadi
faktor penghambat dalam implementasi program tersebut. Ini dikarenakan dana yang
ditunggu oleh masyarakat dicairkan dalam waktu yang belum diketahui oleh
masyarakat. Dari segi fasilitator, juga menemui beberapa masalah diantaranya
fasilitator hanya mengemukakan hal-hal yang bersifat administrasi namun tidak
mengarahkan

masyarakat

pada

pengenalan

potensi

mereka

dan

mecoba

mengidentifikasi permasalahan yang ada.


Dalam kasus kegagaln program pengentasan kemiskinan yang lain yaitu IDT
(Inpres Desa Tertinggal) juga terjadi di Desa Gunung Berita Kecamatan Namorambe
Kabupaten Deliserdang. Kegagalan program ini deteliti oleh Sumandar Sitomorang
(2001). Dalam hasil penelitianya ditemukan beberapa kegagalan program diantaranya

32

bahwa pendapatan yang diterima dari hasil usaha yang dibuat melalui program IDT
ini tidak mencukupi untuk menggeser kedudukan masyarakat dari masyarakat miskin
menuju masyarkat sejahtera. Artinya dari semua hasil penelitian yang dirilis
mengemukaan

faktor

yang

menyebabkan

kegagalan

program

pengentasan

kemiskinan, namun jika ada perubahan pada angka kemiskinan/penurunan maka


beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat miskin dapat bergerak
sendiri tanpa bantuan dari pemerintah Ini dipertegas oleh temuan lembaga penelitian
SMERU pada annual report tahun 2007. Temuan itu mengatakan bahwa Temuan studi
menunjukkan bahwa keberhasilan kelompok mover lebih banyak ditunjang oleh
faktor kemampuan pribadi, baik perseorangan maupun kolektif dari pada struktur
peluang yang ada. Kemampuan pribadi antara lain memiliki ketrampilan, bimbingan
orang tua, bekerja mulai usia muda, bekerja keras, memiliki motivasi yang kuat untuk
maju, dan mampu memperoleh tambahan penghasilan dari non pertanian.
Kemampuan kolektif mencakupi jaringan dan hubungan sosial yang baik. Penelitian
ini dilakukan di tiga daerah di Indonesia yaitu Jawa Timur, Maluku dan NTT.
Di Daerah lain di Kalimantan Tengah temuan dari hasil monitoring Yessi
(2000) juga menemukan hal yang sangat mencengangkan terkait dengan pelaksanaan
program pengentasan kemiskinan Jaring Pengaman sosial (JPS). MIisalnya
pemberian dana besa siswa dari Dikti untuk peserta didik yang tidak mampu
ditemukan beberpa permasalahan diantaranya: Penerima program bea siswa tidak
tepat sasaran karena berasal dari keluarga yang mampu dan pegawai negeri sipil
(PNS), sistem rekrutmen calon penerima beasiswa dipenuhi oleh kolusi dan

33

nepotisme, pengelolaan dana bantuan oprasional tidak dapat dilacak karena pihakpihak yang ditemui rata-rata tidak mengetahui penggunaan dana tersebut dan beberpa
orang terkesan menghindar untuk ditemui.
Selain program tersebut beberapa program yang lainya juga mengalami
permasalahan yang sama, misalnya untuk program operasi pasar khusus beras (OPK
Beras) beberapa temuan diantaranya: Data penduduk miskin penerima bantuan ini
tidak akurat. Ada beberapa orang yang seharusnya mampu tetapi ikut menikmati
program beras murah tersebut, terjadi pengurangan pada timbangan beras namun
tetap membayar sesuai dengan kuantitas beras yang dipesan, di beberapa desa
ditemukan harga beras yang lebih mahal di badingkan harga dasarnya, rata-rata
kenaikan harga sebesar Rp.250-Rp750, pengeloalaan program belum tersosialisasi
dengan baik sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengatahui.
Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Adi
Widodo (2011) yang menunjukkan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah sektor
publik tidak secara langsung mempengaruhi IPM ataupun kemiskinan. Hal ini berarti
bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan tidak bisa berdiri
sendiri sebagai variabel independen dalam mempengaruhi kemiskinan, namun harus
berinteraksi dengan variabel lain (variabel IPM). Artinya ada faktor lain yang lebih
mempengaruhi penurunan angka kemiskinan diluar pengeluaran pemerintah (Lestari,
2008, Mulyaningsih ). Hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh Iskana (2009)
dan

Rudiningtyas

(2010). Ia menemukan bahwa pendapatan dan belanja tidak

berpengaruh terhadap kemiskinan selama tahun anggaran 2004 sampai dengan 2008.

34

Hal ini dikarenakan salah satu sumber pendapatan nasional berasal dari rakyat dalam
bentuk pajak. Pajak merupakan iuran wajib yang bersifat memaksa artinya pajak
wajib dibayar tanpa memperdulikan apakah rakyat punya uang atau tidak, sehingga
semakin besar pendapatan daerah berarti semakin banyak pula hasil pajak yang
terkumpul dari rakyat
2.2.3Pengaruh distribusi pendapatan terhadap kemiskinan
Distribusi pendapatan menjadi gambaran tersendiri jika ingin melakukan analisis
korelasi dengan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan
memperbaiki kesejahteraan masyarakat jika distribusi pendapatan mengalami
ketimpangan. Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8
faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara
sedang berkembang, diantaranya Pertambahan penduduk yang tinggi yang
mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita, Inflasi di mana pendapatan uang
bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi
barang-barang., ketidakmerataan pembangunan antar daerah, investasi yang sangat
banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan
persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah,
rendahnya mobilitas sosial, pelaksanaan kebijak-sanaan industri substitusi impor
yang meng-akibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi
usaha-usaha golongan kapitalis, memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negaranegara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai

35

akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negaranegara sedang berkembang dan hancurnya industri-industri kerjainan rakyat seperti
pertukangan, industri rumah tangga.
Signifikansi pengaruh distribusi pendapatan terhadap penurunan kemiskinan
dijelaskan melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Suryadarma, dkk
(2005), dalam penelitiannya berjudul A Reassessment of Inequality and Its Role in
Poverty Reduction in Indonesia, bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan
ketimpangan pada saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi dan saat
terjadi krisis, serta menguji apakah ketimpangan berhubungan dengan kemiskinan di
Indonesia. Penelitian ini memberikan gambaran tentang ketimpangan di Indonesia
selama periode tahun 1984 hingga 2002 dengan menggunakan beberapa pengukuran
ketimpangan yaitu Gini Rasio, Generalized Entropy (GE) Index, dan Atkinson Index.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun ketika terjadi krisis
semua metode pengukuran menunjukkan penurunan ketimpangan, namun sebenarnya
terjadi peningkatan tetapi dibawah garis kemiskinan. Penelitian ini menunjukkan
adanya penjelasan penting yaitu bahwa tingkat kemiskinan menurun dengan cepat
antara tahun 1999 dan 2002, yang disebabkan karena ketimpangan selama krisis pada
tahun 1999 berada pada tingkat paling rendah.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh R. Gunawan Setianegara (2008), dalam
penelitiannya berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan, Krisis Ekonomi dan
Kemiskinan, bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketimpangan pendapatan yang
dipengaruhi oleh krisis ekonomi mempengaruhi jumlah penduduk miskin di

36

Indonesia. Dalam penelitian ini juga menggambarkan bagaimana keadaan


ketimpangan pendapatan Indonesia dimulai dari tahun 1960-an hingga akhir tahun
1999 menggunakan alat pengukur ketimpangan yaitu Gini Rasio. Menurut Gunawan,
ada banyak analisis yang membuktikan bahwa walaupun tingkat pertumbuhan tinggi
akan selalu menyebabkan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi. Selain itu jumlah
penduduk miskin di Indonesia juga akan selalu berubah seiring tinggi rendahnya
tingkat ketimpangan pendapatan. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Perry
at All (2006).
2.3 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
1. Diduga terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan secara matematis antara
variabel pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi
terhadap kemiskinan. Artinya jika pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan
ekonomi mengalami peningkatan dan kemiskinan menurun memberikan
dampak yang positif dalam pembangunan ekonomi
2. Diduga terdapat pengaruh positif dan signifikan secara matematis antara
variabel distribusi pendapatan terhadap kemiskinan. Artinya jika distribusi
pendapatan mengalami peningkatan dan kemiskinan meningkat memberikan
dampak yang negatif dalam pembangunan ekonomi

37

2.1a Gambar Kerangka Pikir


PEMBANGUNAN EKONOMI
INDONESIA

ANGGARAN
UNTUK
PENGENTASA
N
KEMISKINAN
PERTUMBUH
AN EKONOMI

DISTRIBUSI
PENDAPATAN

ANGKA
KEMISKIN
AN

DAMPAK
PEMBANGUNA
N EKONOMI

Pembangunan ekonomi Indonesia telah menetapkan sasaran tersendiri untuk


menetapkan indikator pembangunan ekonomi. Berangkat dari landasan yang
dikemukakan oleh Prof.Dudley Seers dalam Todaro (2006) tentang indikator
pembangunan ekonomi suatu negara. Menurutnya jika ada negara yang mengklaim
telah melakukan pembangunan, maka patut dipertanyakan terkait dengan masalah
kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan negara tersebut. Untuk itu
Indonesia menetapkan salah satu sasaran pembangunan adalah pengentasan
kemiskinan dan dijadikan salah satu variabel dalam penelitian ini.

38

Pengentasan kemiskinan yang ditergetkan membutuhkan begitu banyak


perangkat analisis guna melihat apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai salah
satu tujuan pembangunan tersebut. Dalam berbagai literatur dan penelitian, secara
umum kebijakan yang cenderung diambil selalu diarahkan pada pertumbuhan
ekonomi, anggaran untuk mengentaskan kemiskinan dan perbaikan distribusi
pendapatan. Ini dikarenakan peran vaiabel tersebut dalam pengentasan kemiskinan
memiliki peran yang besar.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2006) Ravalioon (1997),
Son dan Kakwani (2003) dan Bourgoignon (2004) yang menemukan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang pesat berperan besar dalam pengurangan kemiskinan,
meskipun bukan satu-satunya cara untuk mengurangi kemiskinan. Inilah kemudian
yang menjadikan beberapa negara termasuk Indonesia menggunakan pendekatan
pertumbuhan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan.
Selain pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah untuk pengentasan
kemiskinan juga menjadi stimulus yang terus meningkat seiring komitmen
pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Ini tentu didasari oleh teori yang
mengatakan bahwa peran pemerintah dalam perekonomian sangat penting termasuk
dalam penyelesaian kemiskinan. Menurut Hasibuan (2005) dalam Alawi (2006)
semakin tinggi tingkat pendapatan rata-rata pemerintah, maka potensi penyelesaian
kemiskinan akan semakin besar. Ini tentu disebabkan oleh adanya korelasi yang
signifikan antara jumlah dana yang dikeluarkan untuk mengentaskan kemiskinan
dengan jumlah orang miskin.

39

Sedangkan untuk distribusi pendapatan dijelaskan oleh teori distribusi


pendapatan klasik dalam Mankiew (2006). Teori tersebut menjelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi dtentukan oleh seberapa besar produktifitas tenaga kerja atau
MPL (Marginal Productiviy of Labour). Jika Y dilihat dari sisi penerimaan dengan
persamaan Y= w+r+i+p yang masing-masing variabel tersebut merupakan
penerimaan dari tiap-tiap faktor pruduksi. Artinya semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi, maka distribusi pendapatan seharusnya akan membaik dan lebih merata.
Tentu dengan asumsi bahwa sektor yang pertumbuhannya cepat adalah sektor yang
padat karya (tenaga kerja).
Proses pembangunan yang melibatkan tiga variabel independen pertumbuhan
ekonomi, anggaran untuk kemiskinan dan distribusi pendapatan diarahkan untuk satu
tujuan pembangunan, yaitu penurunan angka kemiskinan. Karena landasan teori dan
penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
ketiga varibel independent tersebut dengan variable dependen, meskipun ada juga
yang menemukan hal yang berbeda maka dibuatlah kerangka berfikir dari penelitian
ini sesuai dengan konstruktsi teori dan hasil penelitian sebelumnya.

40

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
3.1.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang
bersifat time series. Data ini didapatkan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya
termasuk dalam jurnal, skripsi, tesis, buku dan karya ilmiah yang lain yang
mendukung penelitian ini. Selain itu data tersebut juga diperoleh dari situs resmi
Badan Pusat Statistik dan Bappenas yang diterbitkan secara resmi.
3.1.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari berbagai macam sumber seperti
data dari BPS, jurnal, buku, skripsi dan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang
dapat mendukung penelitian ini.
3.2 Model Analisis
Untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, anggaran kemiskinan
dan distribusi pendaptan terhadap angka kemiskinan, digunakan model dasar sebagai
berikut:
Y=(X1t, X1t-1, X1t-2, X1t-3, X2, X3 . 1
Dari fungsi sederhana tersebut, kemudian dibuat model regresi berganda dengan
menggunakan time lag sebagai berikut:

41

Y = 0x11t x21t-1 x31t-2 x41t-3 e1 X25x36..(2)


LnY=Ln0+1X1t+2X1t-1+3X1t-2+4X1t-3+5LnX2+6 X3+1..(3)
Dimana:
Y = Kemiskinan
X1t X1t-1 X1t-2 X1t-3= pertumbuhan ekonomi dengan time lag
X2= Pengeluaran Pemerintah untuk kemiskinan
X3 = Distribusi pendapatan
0 = Konstanta
= koefisien regresi
1 = error term
3.3 Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam peneltian ini adalah metode regresi berganda.
Untuk memudahkan dalam menganalisis data maka penelitian ini menggunakan
bantuan software SPSS.
3.4 Uji Kesesuaian
1. R2 (koefisien determinan) ditujukan untuk melihat kerikatan antara variabel
bebas dan variabel terikat
2. T-test dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi koefisien regresi. Jika
hasilnya t hitung>t table maka H0 ditolak dan H1 diterima

42

3.5 Uji Asumsi Klasik


1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan kondisi dimana terdapat hubungan antara
variabel independen (bebas). Untuk itu uji multikolinearitas bertujuan
untuk melihat apakah terdapat hubungan antara satu variabel bebas
dengan variabel bebas yang lain. Seharusnya model regresi yang baik,
tidak terdapat hubungan antara variabel bebas.
3.6 Defenisi Oprasional
Defenisi oprasional dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan
variabel yang ingin diteliti. Untuk itu defenisi oprasional variabel dalam penelitian ini
adalah:
1. Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jumlah output yang diproduksi dalam
suatu negara pada suatu periode tertentu yang diukur dengan GDP harga
konstan dari tahun 1980-2010
2. Kemiskinan adalah jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
(pengeluaran 2.100 kalori/hari) dari tahun 1980-2010
3. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk yang
memiliki pendapatan tinggi lebih besar proporsinya dibandingkan jumlah
penduduk yang berpendapatan rendah (diukur dari rasio gini) dari tahun 19802010.
4. Pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan adalah jumlah uang yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dari tahun
1980-2010.

43

BAB IV
GAMBARAN UMUM INDIKATOR PEMBANGUNAN
EKONOMI INDONESIA

4.1 Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia

44

Pasca transisi politik dari masa pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan
masa Orde baru menuju pemerintahan reformasi. perekonomian Indonesia mulai
mengalami perbaikan yang fundamental. Salah satu indkator makro ekonomi
Indonesia yang mengalami perbaikan adalah pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini
dengan jelas digambarkan oleh beberapa instansi pemerintah (BPS dan Bank
Indonesia). Setelah dihantam badai krisis pada tahun 1997-1998 yang berimprlikasi
pada penurunan angka perumbuhan ekonomi yang menyentuh angka -13%
pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi meskipun dalam
perjalanannya cenderung fluktuatif tapi secara rata-rata mengalami peningkatan.
Pengalaman buruk pada saat pemerintahan Orba mewariskan beberapa
permasalah ekonomi, termasuk bagaimana memepercepat pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Sampai saat ini kondisi tersebut mengalami fluktuasi yang cukup
signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, apalagi Indonesia mengalami
determinisme ekonomi terhadap beberapa Negara maju. Kontraksi perekonomian
global tidak dapat dihindari memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun 2009. Hal itu menyebabkan ekspor yang mencatat pertumbuhan negatif sejalan
dengan dampak kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia. Perlambatan ekonomi
domestik akibat kontraksi ekspor tersebut serta suku bunga perbankan yang masih
tinggi pada gilirannya berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan investasi.
Dengan penurunan ekspor dan investasi tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun
2009 secara umum banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi
rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Peran konsumsi secara keseluruhan

45

masih mampu menopang kegiatan ekonomi Indonesia tahun 2009 untuk tetap tumbuh
positif sebesar 4,5%. Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008
sebesar 6,1%, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 masih lebih tinggi dibandingkan
dengan perkiraan awal tahun 2009 sebesar 4,0%.19 Pertumbuhan ekonomi tahun
2009 juga lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara lain yang
sebagian besar mencatat kontraksi.(Bank Indonesia)
Meskipun gambaran untuk tahun 2009 pertumbuhan ekonomi masih cukup
kuat untuk bertahan ditengah pengaruh negatf krisis keuangan global namun beberapa
pola yang negatif pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusi sektor kunsumsi yang
menopang 50% PDB Indonesia membawa pengaruh buruk. Pertumbuhan ekonomi
yang didorong oleh sektor konsumsi dapat disebut pertumbuhan ekonomi semu
karena sektor tersebut tidak produktif. Sebaiknya pertumbuhan ekonomi ditopang
oleh sektor produksi atau sektor investasi (PMTDB) yang jelas memberikan efek
multiplier yang besar. Investasi diprakirakan meningkat dan tumbuh sebesar 10,0%10,5% pada tahun 2010, terutama sebagai respons dari kuatnya konsumsi dan
solidnya kinerja ekspor. Prospek investasi tersebut didorong oleh berbagai faktor
lainnya, antara lain tetap terjaganya stabilitas makroekonomi, potensi perbaikan
sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade, perbaikan iklim investasi
dan birokrasi pemerintahan, serta besarnya potensi pasar di Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Pada Triwulan I-2010, sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar adalah
sektor industri pengolahan yaitu sebesar 25,4 persen, diikuti oleh sektor pertanian

46

sebesar 16,0 persen, Sektor Perdagangan-Hotel-Restoran sebesar 13,9 persen, dan


Sektor Pertambangan-Penggalian 11,2 persen, serta Sektor Konstruksi sebesar 10,0
persen. Secara keseluruhan kelima sektor tersebut mempunyai andil peranan sebesar
76,5 persen dalam PDB. Sedangkan empat sektor lainnya mempunyai peran masingmasing kurang dari 10 persen. Sementara itu peranan seluruh sektor ekonomi tanpa
migas pada triwulan I-2010 sebesar 91,8 persen.
4.1a Gambar Pertumbuhan ekonomi dari supply side dan demand side

Sumber: Kementerian keuangan

Sumber: Bank Indonesia


4.2 Kondisi pemeretaan pendapatan/distribusi pendapatan
Salah satu indicator pembangunan yang juga mengalami kondisi yang stagnan
adalah distribusi pendapatan. Perbaikan distribusi pendapatan yang diukur dengan

47

angka rasio gini menunjukkan belum adanya perbaikan minimal 5 tahun terakhir. Ini
menujukkan bahwa pembangunan cenderung dinikmati oleh sebagian kalangan
(orang kaya). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan pendapatan
masyarakat Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini (gini ratio) pada 2010
masih tinggi, yaitu pada level 0,331, meskipun telah membaik jika dibandingkan
dengan pada 2009 di posisi 0,357.Data BPS menunjukkan perbaikan pendapatan
hanya terjadi di perkotaan, dari 0,362 pada 2009 menjadi 0,352 pada 2010.
Sebaliknya, ketimpangan pendapatan masyarakat di perdesaan justru semakin
melebar dengan rasio gini sebesar 0,297, naik dari posisi 2009 yang mencapai 0,288.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan posisi 5 tahun terakhir yang berada di level
0,343, rasio gini pada tahun ini relatif tidak menunjukkan perubahan signifikan (Agus
Supriadi).
Pola distribusi yang menetes dari atas kebawah (trickle down effect)
sepertinya mengalami stagnasi. Pendekatan dalam distribusi yang digunakan pada
masa Orde baru nampaknya sampai saat ini belum mampu melakukan perbaikan
dalam kesetraan yang dnikmati oleh masyarakat terkait pembangunan ekonomi. Ini
disebebkan karena distribusi alat-alat produksi lebih banyak dikuasai oleh sebagian
orang saja. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam
kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal
(capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang
lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula.

48

Pada tahun 1969 1970, Gini cooficient pengeluaran konsumsi per kapita di
pedesaan Indonesia 0,34, yang mengindikasikan tingkat ketidakmerataan yang sangat
tinggi di pedesaan. Hal ini sedikit lebih rendah di daerah perkotaan, dimana
berdasarkan survey tentang biaya hidup pada tahun 1968 969 menunjukan bahwa
Gini coefficient pendapatan rumah tangga sebesar 0.4 di Jakarta, Manado dan
Yogyakarta, walaupun Gini cooficient di Bandung dan Surabaya, dan kebanyakan
kota besar diluar jawa lebih rendah. Kesenjangan pengeluaran juga meningkat antara
1969-1970 hingga 1976, baik di perkotaan maupun pedesaan (Mizan Asnawi dkk).
4.3

Perkembangan

Pengeluaran

Pemerintah

Untuk

Pengentasan

Kemiskinan
Untuk

melihat

sejauh

mana

tingkat

keseriusan

pemerintah

untuk

meneyelaikan masalah kemiskinan beberpa indkator dapat dijadikan dasar peniliaian,


salah satunya adalah seberapa besar pengeluaran pemerintah yang diperuntukkan
untuk pengentasan kemiskinan. Data yang dirilis oleh Bappenas menunjukkan
setidaknya 10 tahun terakhrir pengeluartan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan
mengalami

peningkatan

yang

sangat

signifikan.

Setidaknya

perkembangan

pengeluaran pemerintah rata-rata diatas 100% selama tahun 2004-2010. Ini tentu
menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menelesaikan masalah kemiskina

di

Indonesia.
Setidaknya dengan anggaran yang mengalami peningkatan, pemerintah dapat
membuat berbagai program pengetasan kemiskinan baik yang bersifat jangka panjang

49

maupun jangkan pendek. Terhitung dari sejak rezim Orde Baru ada beberapa program
pengentasan kemiskina yang dilakukan. Misalnya program Inpres Desa tertinggal
(IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang menekankan pada pentingnya
pemerina dana bergulir kepada masyarakat melalui pemebrian dana secara langsung.
Selain itu ada juga Program Pengembangan Kawasan Desa-Kota Terpadu dimana
program ini bertujuan untuk mengembangkan desa yang memiliki potensi ekonomi
yang besar namun masih mengalami ketertinggalan. Ditambah lagi beberpa program
yang sampai saat ini masih dijlankan, misalnya Bantuan Langsung Tunai, Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Sekolah Gratis, Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang menjadi wadah untuk semua program
pengentasan kemiskian.
Banyaknya program yang dibuat dan fokus pemerintah untuk membentuk
berbagai lemabaga non kementrian menunjukkan bahwa masalah kemiskinan harus
mendapat perhatian yang khusus. Namun sampai saat ini angka kemiskinan masih
diatas 30 juta orang miskin. Sejak masa reformasi pegetasan kemiskinan di Indonesia
mengalami pelambatan. Artinya semua program yang direncanakan pemerintah
belum maksimal dalam menurunkan angka kemiskinan.
4.1Tabel
Data Pengeluaran pemerintah
Tahun
2004
2005
2006
2007

Jumlah Anggaran (Rp.


Trilyun)
18
23
42
56

50

Persentase Kenaikan Anggaran


(%)
27,8
133,3
211,1

2008
2009
2010
2011

62
66,2
94
86

244,4
267,8
422,2
377,8

4.4 Gambaran Umum kemiskinan Indonesia


Pada

dekade

1990-an

pemerintah

memunculkan

kembali

program

pengentasan kemiskinan, diantaranya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),


Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Tabungan Kesejahteraan
Keluarga (Takesra) dan Kredit Keluarga Sejahtera (Kukesra). Adanya programprogram tersebut dan program pembangunan lainnya secara perlahan-lahan mampu
menurunkan angka kemiskinan. Akan tetapi dengan timbulnya krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak pertengahan 1997, telah menyebabkan bertambahnya
penduduk miskin. Akibat krisis ekonomi yang terus berkelanjutan, sampai dengan
akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin telah menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar
24,2 % dari jumlah penduduk Indonesia. Perlu dicatat bahwa peningkatan jumlah
penduduk miskin tersebut tidak sepenuhnya terjadi akibat krisis ekonomi, tetapi juga
dikarenakan perubahan standar yang digunakan (BPS, 2003:575).
Laporan Bank Dunia memberikan apresiasi Indoensia sebagai negara yang
berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dimana tingkat kemiskinan di Indonesia
telah berhasil diturunkan dari sekitar 40% pada tahun 1976 menjadi sekitar 11% pada
tahun 1996 berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Perhitungan Bank Dunia juga
menunjukkan hal yang sama dimana persentase penduduk yang hidup di bawah garis

51

kemiskinan 1 dolar PPP per kapita per hari turun dari 20,6% pada tahun 1990 menjadi
7,8% pada tahun 1996. Akan tetapi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat
kemiskinan kemabali meningkat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1998 tingkat
kemiskinan tercatat sebesar 24,2% yang utamanya disebabkan oleh meroketnya
harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan.
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar pembangunan
ekonomi yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun termasuk
Indonesia. Permasalahan pembangunan di Indonesia tersebut ditandai dengan jumlah
penduduk miskin yang meningkat tajam menjadi 39,05 juta jiwa (17,75 persen) pada
tahun 2006. Penduduk miskin meningkat 3,95 juta jiwa dari tahun sebelumnya
dimana sebagian besar penduduk miskin berada di daerah pedesaan.
Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia cenderung menurun
selama periode 1998-2011 menjadi prestasi tersendiri untuk pemerintah. Pada tahun
1998, persentase penduduk miskin tercatat sebanyak 24,23 persen (49,5 juta orang).
Tingginya angka kemiskinan tersebut dikarenakan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada pertengahan 1997 yang berakibat pada meroketnya harga-harga
kebutuhan dan berdampak parah pada daya beli penduduk miskin. Sejalan dengan
harga-harga kebutuhan yang kembali menurun, angka kemiskinan juga menurun.
Selama periode 19992002 jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 9,57 juta
orang dari 47,97 juta orang (23,43 persen dari total penduduk) menjdi 38,4 juta orang
(18,2 persen dari total penduduk). Angka kemiskinan terus menurun dan mencapai
35,1 juta orang (15,97 persen dari total penduduk) pada tahun 2005. Sebagai akibat

52

dari kebijakan pemerintah menaikkan harga minyak pada tahun 2005 yang
berdampak pada meningkatnya harga-harga kebutuhan dasar, kemiskinan tercatat
meningkat menjadi 17,75 persen (39,3 juta orang) pada tahun 2006, atau meningkat
sebanyak 4,2 juta orang dibanding tahun 2005. Meskipun demikian selama periode
20072011, angka kemiskinan kembali turun.
Pada tahun 2007, penduduk miskin tercatat sebanyak 37,17 juta orang (16,58
persen). Beberapa program pemerintah yang ditujukan bagi penduduk miskin
dijalankan pemerintah secara internsif sejak tahun 2005 memiliki dampak positif
terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada terus menurunnya
angka kemiskinan, baik dalam jumlah maupun persentase penduduk miskin. Pada
2011, persentase penduduk miskin tercatat menurun menjadi 12,49 persen (30,02 juta
orang) (Badan Pusat Statistik).
Secara umum angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Jika dibandingkan
dengan beberpa Negara tetangga Indoensia termasuk Negara yang lambat dalam
proses pengentasan kemiskinan. Faktor eksternal lebih banyak menyebabakan
lambatnya proses pengetasan kemiskinan seperti krisis moneter dan kenaikan harga
minyak dunia yang berpengaruh pada daya beli manyarakat. Untuk itu perhatan
pemeritnah seharusnya tertuju untuk mengantisipasi masalah eksternal yang
berdampak pada perekonomian Indonesia.

53

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah dan


distribusi pendapatan terhadap kemiskinan

54

Untuk menjelaskan tentang bagaimana signifikansi hubungan antara variabel


independen (pertumbuhan ekonomi) terhadap variabel dependen (kemiskinan) maka
dilakukan analisis regresi berganda. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
regresi linear dan dilakukan dalam beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Hasil regresi tersebut
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Model

(Constant1
)
X1T
X1T1
X1T2
X1T3
X2
X3

Standardize
d
Coefficients

Unstandardized
Coefficients
Std.
B
Error

Sig.
df

Beta

91.983
74.21
-2.222
1.027
-1.552
1.131
-0.637
1.023
-0.266
0.994
-0.001
0.017
87.401 238.611

-0.435
-0.304
-0.127
-0.055
-0.015
0.09

1.239
-2.165
-1.372
-0.623
-0.268
-0.077
0.366

0.229
0.042
0.185
0.54
0.791
0.939
0.718

F
6
21
27

Sig.

1.479

Hasil analis korelasi yang diperoleh dari pengolahan data menunjukkan


korelasi antara pertumbuhan ekonomi pada periode waktu tertentu terhadap
kemiskinan diperoleh

R2 = 0,297. Angka ini menunjukkan bahwa variabel

pengentasan kemiskinan yang dapat dijelaskan oleh persamaan regresi sebesar 29,7%
sedangkan selebihnya yaitu 71% dijelaskan oleh variabel diluar persamaan model ini.

55

.233a

Nilai R sebesar 0,541 menunjukkan pengaruh antara variable, pertumbuhan ekonomi


terhadap angka kemiskinan memiliki pengaruh yang kuat.

5.2.Analisis dan Pembahasan Pengujian Hipotesis


Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah variable
pengeluaran

pemerintah,

pertumbuhan

ekonomi

dan

distribusi

pendapatan

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Terkait dengan


masalah yang diangkat dalam penelitian ini maka kemudian dibangun sebuah
hipotesis yang hendak diuji melalui dalam penelitian ini, yaitu apakah variable
pengeluaran

pemerintah,

pertumbuhan

ekonomi

dan

distribusi

pendapatan

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan.


Untuk membuktikan hipotesis tersebut maka akan digunakan uji serempak
(uji F) dan uji parsial (uji t). Uji serempak dimaksudkan untuk mengetahui bahwa
variable independen secara serempak mempengaruhi penurunan angka kemiskinan.
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara nilai F hitung dengan nilai F
table pada = (0,05). Sedangkan untuk uji T digunakan untuk mengetahui apakah
masing-masing variable independen berpengaruh secara parsial terhadap varabel
dependen. Pengejian ini dilakukan dengan membandingkan antara T hitung dengan T
table pada = 0,05. Berikut hasil pengujian hipotesis:
1. Pada hasil regresi diatas menunjukkan bahwa F hitung sebesar 1,479 dan F
tabel sebesar 1,84. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, pertumbuhan
ekonomi, pengeluaran pemerintah dan distribusi pendaptan secara serempak

56

tidak berpengaruh signifkan terhadap kemiskinan. Ini ditunjukkan dari F hitung


< Ftabel (1,497<1,84).
2. Variable pertumbuhan ekonomi pada time lag current period secara parsial
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dan signifikan. Ini dapat dilihat dari
Thitung >Ttabel (2,165 >1,697). Artinya hipotesis dari penelitian ini yang
mengatakan bahwa ada pengaruh yang negatif dan signifikan antara
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan diterima .
3. Pada variable pertumbuhan ekonomi Time lag satu tahun diperoleh nilai 1,372
sementara t table 1,697. Artinya untuk variable pertumbuhan ekonomi pada
time lag ini secara parsial berpengaruh terhadap kemiskinan tidak signifikan
pada periode waktu 1983-2010. Ini dapat dilihat dari Thitung < Ttabel (1.372<1,697).
4. Pada variable pertumbuhan ekonomi Time lag dua tahun diperoleh nilai 0,623

sementara t table 1,697. Artinya untuk variable pertumbuhan ekonomi pada


time lag ini secara parsial berpengaruh terhadap kemiskinan tidak signifikan
pada periode waktu 1983-2010. Ini dapat dilihat dari Thitung < Ttabel
(0,623<1,697).
5. Pada variable pertumbuhan ekonomi Time lag tigs tahun diperoleh nilai 0,268
sementara t table 1,697. Artinya untuk variable pertumbuhan ekonomi pada
time lag ini secara parsial berpengaruh terhadap kemiskinan tidak signifikan
pada periode waktu 1983-2010. Ini dapat dilihat dari Thitung < Ttabel
(0,268<1,697).
6. Pada variable pengeluaran pemerintah diperoleh nilai 0,077 sementara t table
1,697. Artinya untuk variable pengeluaran pemerrintah ini secara parsial

57

berpengaruh terhadap kemiskinan tidak signifikan pada periode waktu 19832010. Ini dapat dilihat dari Thitung < Ttabel (0,077<1,697).
7. Pada variable distribusi pendaptan diperoleh nilai 0,366 sementara t table
1,697. Artinya untuk variabel distribusi pendapatan berpengaruh terhadap
kemiskinan tidak signifikan pada periode waktu 1983-2010. Ini dapat dilihat
dari Thitung < Ttabel (0,366<1,697).
5.3 Uji asumsi klasik Multikolonearitas
Uji asumsi klasik untuk mencari multikolonearitas bertujuan untuk melihat
apakah terjadi bias antara satu variable independen dengan variable independen yang
lain. Dar hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa nilai VIF masing-masing
variable independen dibawah 5, dan nilai tolerance dibawah satu. Artinya persamaan
dalam model ini tidak mengalami multikolonearitas.
5.4 Pembahasan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
Salah satu variabel yang sering diperhitungkan dalam mengukur baik atau
tidaknya perekonomian suatu negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya.
Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin rendah angka kemiskinan. Pada
latar belakang masalah penelitian ini telah dikemukakan beberapa masalah
pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Namun dalam penelitian ini diperoleh
hasil perhitungan yang menunjukkan hubungan yang signifikan antara pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan namun pada time lag tertentu hubungan antara pertumbuhan

58

dan kemiskinan tidak signifikan. Setidaknya ada bebarapa penelitian terdahulu yang
mendukung hasil tersebut.
Kelemahan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah pergeseran struktur
ekonomi yang tidak diimbangi oleh perbaikan sumber daya manusia sehingga sector
yang tadinya berkontribusi ke PDB adalah sector pertnian yang padat tenaga kerja
justru digantikan oleh sector yang padat modal. Perubahan dalam strutur ekonomi
berimplikasi kepada rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja sehingga belum
mampu memberikan efek yang signifikan terhadap kemiskinan. Selain itu meskipun
perttumbahan ekonomi Indonesia cukup tinggi namun itu tidak dikuti oleh kenaikan
upah khususnya pada sector-sektor industry. Seperti yang dikemukakan oleh
Mankiew dalam bukunya bahwa pada beberapa negara pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tidak diikuti oleh perbaikan nasib tenaga kerja karena tidak industry tidak
menikkan upah. Kondisi ini disebut oleh Mankiew sebagai upah besi, kondisi
dimana upah tidak mengalami perubahan meskipun terjadi kenaikan produksi. Ini
berimplikasi pada kemampuan daya beli masyarakat yang mengalami penurunan
karena upah yang tidak mengalami kenaikan sementara inflasi terus mengalami
kenaikan.
Apa yang dikemukakan oleh Todaro (2009) menjadi entry point dalam melihat
hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan. Menurutnya Gross Domestic
Produk/Product Domestic Bruto (pertumbuhan ekonomi) yang cepat menjadi salah
satu syarat tercapainya pembangunan ekonomi. Namun masalah fundamental bukan
hanya menumbuhkan GNI, tetapi siapakah yang akan menumbuhkan GNI tersebut,

59

sejumlah orang yang ada dalam suatu negara ataukah hanya segelintir orang saja. Jika
hanya segelintir orang

yang menubuhkan GNI ataukah orang-orang kaya yang

jumlahnya sedikit, maka manfaat dari pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh
mereka saja sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin
parah (Todaro dan Stephen C.Smith, 2006, Dawey, 1993). Penelitan ini menunjukkan
bahwa dalam tahun-tahun tertentu pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh
sebagian kalangan saja, atau pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif.
Selanjutnya apa yang dikemukakan oleh Todaro sebelumnya dijelaskan oleh
teori distribusi pendapatan klasik dan pertumbuhan output dalam Mankiew (2006).
Dalam teori distribusi pendapatan klasik dan pertumbuhan output dijelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tidak lain adalah pertumbuhan output nasional
merupakan fungsi dari faktor produksi. Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi
maka seharusnya aliran pendapatan kepada rumah tangga faktor produksi mengalami
perbaikan. Tingginya pertumbuhan output suatu negara diakibatkan oleh tingginya
produktivitas input dalam penciptaan barang dan jasa. Peningkatan output tersebut
dapat memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan upah dan pada akhirnya
memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Ravalion (1997), Son dan Kakwani
(2003) dan Bourguignon (2004). Menurut Ravalion (1997), Son dan Kakwani (2003)
dan Bourguignon (2004) setelah mekakukan analisis hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan menemukan bahwa dampak pertumbuhan

60

terhadap angka kemiskinan hanya terjadi jika ketimpangan relatif tinggi. Ini sesuai
dengan kondisi yang terjadi di Indonesia dengan derajat ketimpangan pendapatan
diukur dengan raso gini rata-rata berada pada angka 0,3. Artinya ada syarat tertentu
yang harus dipenuhi jika pertumbuhan ekonomi memberikan berpengaruh terhadap
kemiskinan.
5.5 Pembahasan pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan
Dalam perhitungan regresi untuk melihat secara matematis hubungan
pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan menunjukkan hasil yang negatif namun
tidak signifikan meskipun persentase kenaikanya cukup besar. Artinya pengeluaran
pemerintah belum mampu mereduksi kemiskinan. Pengaruh yang tidak signifikan
tersebut disebabkan oleh kondisi perekonomian global yang berdampak pada
perekonomian

nasional sehingga mengalami guncangan, tingginya inflasi dan

rendahnya perturnbuhan ekonorni di sebagian besar negara-negara rnaju, rnaka akan


berpengaruh pada masalah kestabilan ekonorni Indonesia khusunya untuk
pertumbuhan ekonomi.
Sejak awal bulan April sarnpai dengan akhir bulan Agustus 1979, laju inflasi
yang diukur berdasarkan indeks harga konsurnen Indonesia dari sekitar 150 macarn
barang dan jasa adalah sebesar 13,23 persen atau rata-rata sekitar 2,65 persen sebulan.
Dalam periode yang sama tahun sebelumnya laju inflasi yang diukur dengan indeks
biaya hidup di Jakarta dari 62 rnacarn barang dan jasa rnenunjukkan kenaikan ratarata sekitar 0,57 persen tiap bulannya. Laju inflasi yang re1atif tinggi tersebut antara
lain disebabkan karena kenaikan harga-harga di luar negeri yang masih berlangsung

61

hingga kini inilah yang membuat pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan tidak
signifikan mempengaruhi peningkatan pertumbuhan ekonomi sedangkan yang
signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan investasi. Jika
diperhatikan datanya pengeluaran pemerintah mengalami kenaikan yang signifikan
namun kemiskinan malah nyaris tidak menujukkan perubahan yang signifkan.
Selain faktor inflasi, faktor eksternal yaitu gejolak perkembangan ekonomi dunia
turut menghancurkan perekonomian Indonesia sehingga kemiskinan mengalami
fluktuasi yang sangan cepat. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter dan ekonomi
yang melanda negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara terutama Indonesia.
Dampak krisis moneter sangatlah terasa di antara penduduk miskin dan membuat
semakin meluasnya kemiskinan (Nota keuangan 1980).
PHK yang terjadi di mana-mana akibat krisis ekonomi membuat ribuan
pekerja formal dari golongan masyarakat berpendapatan rendah dan menengah di
kota-kota menjadi penganggur atau pekerja di sektor informal, dan banyak pula
diantaranya kembali ke desa masing-masing. Dalam peristiwa meningkatnya
kemiskinan secara nasional sejak Februari 1996 hingga Februari 1999, terlihat bahwa
tingkat kemiskinan di perkotaan yang semula kurang dari seperempatnya telah
meningkat menjadi sekitar sepertiganya dari jumlah kemiskinan di pedesaan (World
Bank, 2003). Kasus PHK yang terus membanyangi perekonomian Indonesia
memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun semakin tinggi pengeluaran
pemerintah untuk pengentasan kemiskinan tetapi guncangan pemutusan hubungan
kerja juga mengikuti maka kemiskinan tidak akan mengalami perubahan. Ini sesuai

62

dengan hasil perhitungan regresi diatas bahwa ada sekitar 64% variabel diluar model
ini yang memiliki pengaruh.
Penurunan angka kemiskinan pada beberapa tahun tertentu hanya bersifat
sementara.

Pengeluaran

pemerintah

untuk

pengentasan

kemiskinan

hanya

mempertahankan pendapatan masyarakat miskin untuk sementara karrena hanya


mampu mengangkat masyarakat miskin sedikit diatas garis kemiskinan. Kondisi ini
sangat rawan terhadap pengaruh/guncangan eksternal misalnya variabel inflasi yang
telah dikemukakan diatas (Frederick, 1985, Swapna Mukdhopaday, 1985, Lincolin
Arsyad, 1992) sehingga ketika shock dalam perekonomian (krisis 1998) maka dengan
sendirinya masyarakat yang sedikit diatas garis kemiskinan (nyaris miskin) akan
kembali kebawah garis kemiskinan.
Pada fase reformasi upaya pengentasan kemiskinan mulai mendapat perhatian
dari pemerintah terbukti dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang
dikeluarkan misalnya program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP),
program nasionan pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM Mandiri), bantuan
langsung tunai PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan
Departemen Dalam Negeri, P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan) yang dilaksanakan Departemen Pekerjaan Umum, P4K (Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil) yang dilaksanakan Departemen
Pertanian, PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dilaksanakan
Departemen Kelautan dan Perikanan, KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang
dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain (Agus Purbathin Hadi) dan dibuatnya
beberpa lembaga yang bertugas untuk mengontrol kemiskinan. Ini dilihat sebagai

63

upaya terstruktur pemerintah untuk menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia.


Fokus pemerintah untuk menyelesaikan kemiskinan pada masa reformasi
sampai saat ini juga dapat dilihat dari perkembangan anggaran yang dikeluarkan oleh
pemerintah guna membuat program pengentasan kemiskinan untuk menyelesaikan
masalah kemiskinan di Indonesia.
5.1 Tabel
Pengeluaran Pemerintah dan persentase kenaikan anggaran
Jumlah Anggaran (Rp.
Tahun
Trilyun)
2004
18
2005
23
2006
42
2007
56
2008
62
2009
66,2
2010
94
2011
86
Sumber: Bappenas

Persentase Kenaikan Anggaran


(%)
27,8
133,3
211,1
244,4
267,8
422,2
377,8

Dari tahun 2004 sampai tahun 2010 perkembangan pengeluaran pemerintah


rata-rata berada diatas 100%. Data ini tentu secara sekilas membuat analisis awal
bahwa kemiskinan setelah reformasi akan mengalami perubahan yang signifikan.
Namun nampaknya hal itu tidak terjadi paling tidak untuk sepuluh tahun terakhir.
Sesuai dengan penelitian ini data tentang kemiskinan untuk spuluh tahun terakhir
nampaknya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Data yang dirilis oleh
Bappenas memberikan dasar untuk mengatakan bahwa dana yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk pengentasan kemiskinan selama sepuluh tahun terakhir belum dapat
merubah posisi kemiskinan.

64

Meskipun data menunjukkan ada penurunan angka kemiskinan antara periode


waktu tahun 2004-2010 namun jika dibandingkan dengan penurunan angka
kemiskinan pada periode Orde baru masih jauh lebih rendah. Ini kemudian melandasi
beberapa akademsi untuk melakukan penelitian terkait dengan faktor apa yang
menyebabkan sehingga besarnya dana yang dikeluarkan untuk pengentasan
kemiskinan namun kemiskinan cenderung tidak berubah.
Dalam penelitan yang dilakukan oleh Agus Purbathin Hadi (2008) terkait
implementasi program PPK menemukan bahwa terdapat kekurangan dalam proses
implementasi program pengentasan kemiskinan yaitu PPK (program pengembangan
kecamatan). Dalam pelaksanaanya PPK menyediakan dana bantuan secara langsung
bagi masyarakat (BLM) sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per kecamatan,
tergantung dari jumlah penduduk dari suatu daerah. Uang yng dikeluarkan untuk
program ini dimaksudkan agar proses pembangunan yang bersifat partisipatif dimana
masyarkat terlibat langsung dalam proses pembangunan dapat terwujud. Namun dari
beberapa propnsi yang ada di Indonesia yang menjalankan program ini mendapat
berbagai kendala teknis seperti di enam propinsi yang telah melaksanakan PPK
menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan, baik itu dari segi manajemen
pelaksanaan,

kesiapan masyarakatnya

dan lebih-lebih

proses

sosialisasinya

(Menayang dkk , 2001). Kelemahan ini sangat menentukan hasil apakah kemiskinan
dapat diturunkan sesuai dengan harapan atau tidak mengalami perubahan. Selain itu
dimungkinkan juga karena kurang memperhatikan kondisi masyarakat seperti halnya
pada

konteks

sistem

komunikasinya,

65

struktur

masyarakatnya

dan

fungsi

institusi/lembaga lokal masyarakat setempat. Sekalipun para petugas lapangan


(pendampingan) telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau kemampuan
bersosialisasi, tetapi tanpa mengenal, memahami dan menggunakan peta komunikasi
sosial, serta pengetahuan tentang struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat, maka kemungkinan besar mereka akan menuai kegagalan
(Gunawan, 2008).
Kelemahan PPK lainnya di awal-awal program adalah pada perekrutan dan
lemahnya pembekalan fasilitator. Tugas dan peran fasilitator dalam pendampingan
masyarakat membutuhkan lebih dari sekedar kecakapan teknik dan penguasaan
metodologi, namun juga empati dan keberpihakan dari para fasilitator. Empati
semacam itu tidak bisa ditumbuhkan hanya dengan seminggu pelatihan fasilitator.
Pengalaman di Desa Aik Berik, fasilitator tidak tinggal di desa yang didampingi,
padahal empati dan keberpihakan yang otentik hanya bisa tumbuh manakala
fasilitator live in, tinggal bersama masyarakat yang didampingi (Agus Purbathin
Hadi, 2008).
Selain program PPK, pemerintah saat juga membuat program P2KP (Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Tentu tujuan dari dibuatnya program ini
semata-mata untuk memperkuat kelembagaan masyarkat agar kedepan dapat
melewati fase kemiskinan dan samapai pada tahap terberdayakan. Namun sama
seperti program PPK, program P2KP juga menemui kedala yang menentukan berhasil
atau tidak program tersebut. Masih lemahnya kelembagaan BKM dan KSM karena
belum mampu berfungsi optimal dan kurang optimalnya peran fasilitator (Faskel)

66

dalam

pendampingan

pembangunan

berbasis

masyarakat
komunitas

akibat
dan

lemahnya
lemahnya

pemahaman
pemahaman

ideologi
community

development di antara pelaku P2KP utamanya para konsultan pendamping (Agus


Purbathin Hadi, 2008).
Temuan ini juga dipertegas oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarini
(2001) di kelurahan Lenteng agung, dimana temuan ini menunjukkan masih terdapat
beberpa kendala asalah satunya kendala dalam hal fasilitator yang dapat mendampngi
masyarkat untuk membuat program pembangunan. Sealin itu beberpa anggota
masyarakat yang terlibat dalam program ini adalah anggota masyarkat yang telah
memiliki uaha yang relatif stabil sehingga tidak memungkinkan terjadi kegagalan,
padahal yang seharusnya menjadi sasaran dalam program ini adalah masyarakat yang
tidak mampu. Kesungguhan masyarakat untuk mengikuti program ini juga menjadi
faktor penghambat dalam implementasi program tersebut. Ini dikarenakan dana yang
ditungguoleh masyarakat dicairkan dalam waktu yang belum diketahui oleh
masyarkat. Dari segi fasilitator, juga menemui beberapa maslah diantaranya fasilitator
hanya mengemukakan hal-hal yang bersifat administrasi namun tidak mengarahkan
masyarakt pada pengenalan potensi mereka dan mecoba mengidentifikasi
permasalahan yang ada.
Dalam kasus kegagaln program pengentasan kemiskinan yang lain yaitu IDT
(Inpres Desa Tertinggal) juga terjadi di Desa Gunung Berita Kecamatan Namorambe
Kabupaten Deliserdang. Kegagalan program ini deteliti oleh Sumandar Sitomorang
(2001). Dalam hasil penelitianya ditemukan beberapa kegagalan program diantaranya

67

bahwa pendapatan yang diterima dari hasil usaha yang dibuat melalui program IDT
ini tidak mencukupi untuk menggeser kedudukan masyarakat dari masyarakat miskin
menuju masyarkat sejahtera. Artinya dari semua hasil penelitian yang dirilis
mengemukaan

faktor

yang

menyebabkan

kegagalan

program

pengentasan

kemiskinan, namun jika ada perubahan pada angka kemiskinan/penurunan maka


beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa masyarkat miskin dapat bergerak
sendiri tanpa bantua dari pemerintah Ini dipertegas oleh temuan lembaga penelitian
SMERU pada annual report tahun 2007. Temuan itu mengatakan bahwa Temuan studi
menunjukkan bahwa keberhasilan kelompok mover lebih banyak ditunjang oleh
faktor kemampuan pribadi, baik perseorangan maupun kolektif dari pada struktur
peluang yang ada. Kemampuan pribadi antara lain memiliki ketrampilan, bimbingan
orang tua, bekerja mulai usia muda, bekerja keras, memiliki motivasi yang kuat untuk
maju,

dan

mampu

memperoleh

tambahan

penghasilan

dari

nonpertanian.

Kemampuan kolektif mencakupi jaringan dan hubungan sosial yang baik. Penelitian
ini dilakukan di tiga daerah di Indonesia yaitu Jawa Timur, Maluku dan NTT.
Di Daerah lain di Kalimantan Tengah temuan dari hasil monitoring Yessi
(2000) juga menemukan hal yang sangat mencengangkan terkait dengan pelaksanaan
program pengentasan kemiskinan Jaring Pengaman sosial (JPS). Misalnya pemberian
dana bea siswa dari Dikti untuk peserta didik yang tidak mampu ditemukan beberapa
permasalahan diantaranya: Penerima program bea siswa tidak tepat sasaran karena
berasal dari keluarga yang mampu dan pegawai negeri sipil (PNS), sistem rekrutmen
calon penerima beasiswa dipenuhi oleh kolusi dan nepotisme, pengelolaan dana

68

bantuan oprasional tidak dapat dilacak karena pihak-pihak yang ditemui rata-rata
tidak mengetahui penggunaan dana tersebut dan beberpa orang terkesan menghindar
untuk ditemui.
Selain program tersebut beberapa program yang lainya juga mengalami
permasalahan yang sama, misalnya untuk program operasi pasar khusus beras (OPK
Beras) beberapa temuan diantaranya: Data penduduk miskin penerima bantuan ini
tidak akurat. Ada beberapa orang yang seharusnya mampu tetapi ikut menikmati
program beras murah tersebut, terjadi pengurangan pada timbangan beras namun
tetap membayar sesuai dengan kuantitas beras yang dipesan, di beberapa desa
ditemukan harga beras yang lebih mahal di badingkan harga dasarnya, rata-rata
kenaikan harga sebesar Rp.250-Rp750, pengeloalaan program belum tersosialisasi
dengan baik sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengatahui.
Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Adi
Widodo (2011) bahwa alokasi pengeluaran pemerintah sektor publik tidak secara
langsung mempengaruhi IPM ataupun kemiskinan, Hal ini berarti bahwa pengeluaran
pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan tidak bisa berdiri sendiri sebagai
variabel independen dalam mempengaruhi kemiskinan, namun harus berinteraksi
dengan variabel lain (variabel IPM). Artinya ada faktor lain yang lebih
mempengaruhi penurunan angka kemiskinan diluar pengeluaran pemerintah (Lestari,
2008, Mulyaningsih ). Hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh Iskana (2009)
dan

Rudiningtyas

(2010). Ia menemukan bahwa pendapatan dan belanja tidak

berpengaruh terhadap kemiskinan selama tahun anggaran 2004 sampai dengan 2008.

69

Hal ini dikarenakan salah satu sumber pendapatan nasional berasal dari rakyat dalam
bentuk pajak. Pajak merupakan iuran wajib yang bersifat memaksa artinya pajak
wajib dibayar tanpa memperdulikan apakah rakyat punya uang atau tidak, sehingga
semakin besar pendapatan daerah berarti semakin banyak pula hasil pajak yang
terkumpul dari rakyat
Selain faktor program yang belum maksimal dalam menurunkan angka
kemiskinan, faktor pertumbuhan penduduk juga dapat menjadi dasar mengapa
pengeluaran pemerintah belum mampu mengentaskan kemiskinan secara maksimal.
Setidaknya hasil sensus penduduk memberikan gambaran tentang pertumbuhan
penduduk yang cepat yang tidak mampu diimbangi dengan fasilitas yang memadi
untuk menigkatkan taraf hidup mereka sehingga meskipun pengeluaran pemerintah
meningkat namun belum signifikan mempengaruhi kemiskinan

5.1a Gambar
Data perkembangan jumlah penduduk

70

Sumber: Badan Pusat Statistik

5.6 Pembahasan pengaruh distribusi pendapatan terhadap kemiskinan


Distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio gini merupakan gambaran
dari aliran pendapatan yang dinikmati oleh masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi sebaiknya diimbangi dengan distribusi pendaptan yang merata. Hal ini juga
dikemukakan oleh Todaro. Ia mengatakan bahwa Gross domestic Produk/Product
Domestic Bruto (pertumbuhan ekonomi) yang cepat menjadi salah syarat tercapainya
pembangunan ekonomi. Namun Masalah dasarnya bukan hanya menumbuhkan GNI,
tetapi juga siapakah yang akan menumbuhkan GNI tersebut, sejumlah orang yang ada
dalam suatu Negara ataukan hanya segelintir orang. Jika hanya segelintir orang yang
menubuhkan GNI ataukah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat
dari pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh mereka saja sehingga
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin parah (Todaro dan
Stephen C.Smith, 2006, Dawey, 1993). Untuk itu hal yang paling penting dalam
pertumbuhan adalah siapa yang terlibat dalam pertumbuhan ekonomi tersebut atau
dengan kata lain adalah tingkat kualitas pertumbuhan tersebut.
Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang
menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang
berkembang, yaitu: Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan
menurunnya pendapatan per kapita, Inflasi di mana pendapatan uang bertambah

71

tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang,


Ketidakmerataan pembangunan antar daerah, Investasi yang sangat banyak dalam
proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan
modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan
yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah, Rendahnya mobilitas
sosia, Pelaksanaan kebijak-sanaan industri substitusi impor yang meng-akibatkan
kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan
kapitalis, Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat
ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara
sedang berkembang dan Hancurnya industri-industri kerjainan rakyat seperti
pertukangan, industri rumah tangga.
Pada hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif antara distribusi
pendapatan terhadap kemiskinan namun pengaruh tersebut tidak signifikan. Artinya
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi distribusi pendapatan yang dilihat dari rasio
gini maka kemiskinan juga semakin meningkat. Ini disebabkan oleh hasil
pembangunan ekonomihany dinikmati oleh beberapa kalangan yang secara ekonomi
berada pada posisi menengah keatas. Artinya masyarakat yang memperoleh
pembangian dari kue nasional hanya dari kalangan tertentu dan buka masyarkat
miskin. Ini dapat dilihat tidak adanya perubahan yang signifikan terhadap rasio gini
Indonesia beberpa tahun terakhir.
5.1 Tabel

72

Data rasio gini dan kemiskinan sepuluh tahun terakhir


Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

Rasio
Gini
0.32
0.3
0.329
0.32
0.32
0.343
0.357
0.376
0.368
0.357
0.331

Angka
Kemiskinan
38,700,000
37,900,000
38,400,000
37,300,000
36,100,000
35,100,000
39,300,000
37,170,000
34,960,000
32,520,000
31,020,000

Sumber: Badan Pusat Statistik

Angka ini menunjukkan perubahan yang tidak signifikan selama 10 tahun


terakhir pada rasio gini Indonesia sehingga pengaruhnya pada penurunan kemiskinan
juga tidak signifikan. Ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel
Suryadarma, dkk (2005). Penelitian ini memberikan gambaran tentang ketimpangan
pendapatan di Indonesia selama periode tahun 1984 hingga 2002 dengan
menggunakan beberapa pengukuran ketimpangan yaitu Gini Rasio, Generalized
Entropy (GE) Index, dan Atkinson Index. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa walaupun ketika terjadi krisis semua metode pengukuran menunjukkan
penurunan ketimpangan, namun sebenarnya terjadi peningkatan tetapi dibawah garis
kemiskinan. Penelitian ini menunjukkan adanya penjelasan penting yaitu bahwa
tingkat kemiskinan menurun dengan cepat antara tahun 1999 dan 2002, yang
disebabkan karena ketimpangan selama krisis pada tahun 1999 berada pada tingkat
paling rendah. Temuan R. Gunawan Setianegara (2008) dan oleh Perry at All (2006)

73

juga mempertegas peran distribusi pendapatan dalam menurunkan angka kemiskinan.


Tidak signifikanya pengaruh distribusi pendapatan terhadap kemiskinan juga
disebebkan oleh pola pendaptan yang semakin menurun yang dinikmati oleh
masyarkaat miskin sementara masyrakat yang pendaptanya tinggi cenderung
mengalami pertumbuhan. Dalam artian masyarakat yang pertumbuhan kekayaanya
sangat signifikan semakin besar dibandingkan masyarakat yang berpendaptan
menengah kebawah.
Perkembangan distribusi pendapatan Indonesia yang dinikmati oleh kelompok
40% penduduk termiskin mengalami penurunan dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2
pada tahun 2006. Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40%
penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang dinikmati oleh
20% kelompok terkaya dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama.
Singkatnya, ada indikasi kuat adanya trickle up effect, efek muncrat ke atas, dalam
proses pembangunan di Indonesia. Teori dampak menetes ke bawah (trickle down
effect) agaknya tidak berlaku untuk negeri kita (Mudrajad Kuncoro, 2007).
Distribusi pendapatan dan kemiskinan memiliki hubungan yang positif
namun ada faktor lain yang membuat hubungan tersebut dapat signifikan karena ada
faktor lain yang memberikan pengaruh yang lebih signifikan. Misalnya proses trickle
down effect yang sampai saat ini di Indonesia belum dapat dilhat perkembangannya,
meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan. Hubungan ini
dijelaskan oleh Daimon dan Thorbecke (1999:5) berpendapat bahwa penurunan
ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan

74

bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari
inkonsistensi tersebut. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah
meningkatsecara drastis sebagai akibat krisis.

Kedua, merupakan persoalan

metodologi berkaitan dengan keraguandalam pengukuran kemiskinan dan indikator


ketimpangan.
Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya: Tidak
tergantung pada nilai rata-rata (mean independence ). Ini berarti bahwa jika semua
pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah, Tidak
tergantung pada jumlah penduduk ( population size independence ). Jika penduduk
berubah, ukuran ketimpanganseharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap
(ceteris paribus ).Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini yaitu Simetris, jika antar
penduduk bertukar tempat tingkatpendapatannya, seharusnya tidak akan ada
perubahan dalam ukuran ketimpangan. Dan sensitivitas Transfer Pigou-Dalton.
Dalam kriteria ini, transfer pendapatan dari orang kaya ke orang miskin akan
menurunkan ketimpangan.Gini juga memenuhi kriteria ini

Dari beberapa negara di dunia yang memiliki tingkat ketimpangan


pendapatan yang tinggi tidak menjadi indkator yang mutlak bahwa negara tersebut
mayoritas penduduknya miskin. Karena di beberapa negara meskipun secara
pendapatan ketimpangan semakin lebar namun upaya pemerintah untuk memberikan
pelayanan kepada masyrakat miskin juga dapat membuat masyarakat miskin dapat
mengakses kebutuhan-kebutuhan primer seperti pendidikan dan kesehatan. Misalnya
Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam Tulus Tambunan (2001)

75

mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan Datt (1996) dalam Tulus
Tambunan (2001) mengemukakan bahwa di India, menunjukkan kedua negara
tersebut dilihat dari tingkat pendapatan per kapita maupun ukuran Gini ( Gini ratio)
menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun dilihat dari tingkat
kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberapa negera Amerika
Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat pendapatan perkapita
tinggi.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan terkait dengan hasil regresi diatas maka dapat
disimpulkan beberapa hal terkait dengan penelitian ini, yaitu:

76

1. Kemiskinan adalah masalah yang kompleks yang membutuhkan solusi dari


berbagai dimensi, bukan hanya dimensi ekonomi tapi dimensi sosial, politik
bahkan budaya juga harus terlibat dalam menyelesaikan masalah kemiskinan.
2. Setelah melakukan analisis regresi untuk melihat pengaruh variabel
pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendaptan
terhadap kemiskinan secara serempak berpengaruh secara signifikan. Artinya
ketiga variabel independen ini dapat dijadikan instrument untuk menurunkan
angka kemiskinan, meskipun masih banyak variabel lain yang juga turut
mempengaruhi kemiskinan.
3. Secara parsial, pengeluaran pemerintah berpengaruh positif namun tidak
signifikan terhadap kemiskinan. Ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian
ini dimana diduga pengaluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap
kemiskinan. Ini mendankan ada banyak variabel yang diluar model ini yang
membuat kemiskinan tidak mengalami perubahan yang signifikan meskipun
pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan meningkat secara signifikan.
4. Untuk variabel pertumbuhan ekonomi menunjukkan hubungan yang negatif
dan signifikan, sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini. Ini menunjukkan
pertumbuhan ekonomi memiliki kaitan yang erat dengan kemiskinan.
5. Pada variabel distribusi pendapatan memiliki hubungan yang negatif namun
tidak signifikan. Ini menunjukkan meskipun distribusi pendapatan mengalami
perbaikan tapi pengaruh yang diberikan untuk penurunan angka kemiskinan
tidak signifikan. Ini menunjukkan pemerintah belum fokus minimal 10 tahun
terkahr untuk melakukan perbaikan dalam distribusi pendapatan.
6.2 Saran

77

Dari beberapa masalah yang dijelaskan dalam penelitian ini dan menjelaskan
temuan dari penelitian ini, maka dapat di jelaskan beberpa saran setidaknya untuk
menjadi referensi terkhsus untuk mencari penyelsaian dalam masalah kemiskinan ini.
Setidaknya dalam periode waktu analisis dalam penelitian ini data perkembangan
kemiskinan menurun secara tajam dibeberapa tahun pada rezim Orde Baru dan mulai
meningkat secara segifikan ketika Indonsia mengalami beberpa kali krisis ekonomi.
Untuk Itu beberpa saran ini dikemukakan berdasarkan hasl temuan penelitian ini,
diantaranya:
1. Pada sisi pengeluaran pemerintah ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian, terkhusus beberapa program yang dibuat untuk pengentasan
kemiskinan. Dalam pembahasan penelitian ini dijlesakan bahwa beberapa
program pengentasan kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah mengalami
kegagalan dibeberapa daerah di Indonesia. Untuk itu pemerintah harus
melakukan pengawasan terkait dengan program yang sedang berjalan. Proses
monitoring kegiatan yang dilakukan pemerintah dapat disimpulkan sangat
minim. Ini membuat beberpa program yang berada dalam fase implementasi
menemui berbagai macam kendala yang menentukan berhasil atau tidak
program tersebut.
2. Untuk program pengetasan kemiskinan yang lebih bersifat pendampingan
masyarakat, sebaiknya pemerintah memikirkan perangkat-perangkatnya
dengan baik. Misalnya fasilitator dalam pendampingan tersebut seharusnya
adalah orang yang memiliki pengalaman pendampingan sehingga dapa
mempelajari karakteristik masyarakat yang akan didampingi.

78

3. Selain masalah program, pengeluaran pemerintah untuk pengentasan


kemiskinan tidak dapat berdiri sendiri untuk mengentaskan kemiskinan.
Dalam artan ada banyak variabel lain yang juga signifikan mempengaruhi
kemiskinan. Misalnya tingkat Inflasi yang akan berpengaruh pada daya beli
masyarakat. Artinya peran pemeritah harus dilakukan secara simultan, ketika
pengeluaran pemerintah untuk pengetasan kemiskinan dikeluarkan maka
pemerintah juga harus mengendalikan inflasi agar daya beli masyarakat dapat
meningkat.
4. Untuk distribusi pendapatan, pemerintah seharusnya dapat memaksimalkan
dalam hal perbaikan distribusi pendapatan untuk masyarkat miskin. Artinya
pemerintah hasrus mengusahakan agar kue nasional dapat dinikmati oleh
semua masyarkat khususnya untuk masyarkat menengah kebawah. Pada
kondisi ini pemerintah harus melakukan sesuatu agar terjadi efek menetes
kebawah.
5. Sebaiknya pengeluaran pemerintah lebih diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Karena pada dasarnya pengeluaran pemerintah
sebagian

besar

digunakan

untuk

belanja

rutin.

Seharusnya

terjadi

komplementer dalam pengeluaran pemeritah untuk pengentasan kemiskinan


dan pengeluaran pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi. Tapi pemerintah
juga harus memperhatikan perubahan struktur ekonomi. Untuk karekteristik
Indonesia, sektor yng seharusnya tumbuh pesat adalah sektor pertanian,
namun kondisi ini secara perlahan berubah. Intinya pertumbuhan ekonomi
harus ditopang sebagian besar dari sektor padat karya dan bukan padat modal.

79

6. Pemerintah harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dimana


pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua masyarakat tanpa
terkecuali.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Amri. Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran
di Indonesia
Agussalim, 2006, Mereduksi kemiskinan; sebuah proposal baru untuk Indonesia,
Nala Cipta Litera, 2009
Amanuddin, Minggus. 2007. Analisis Pengaruh Tingkat Pekerja, Pertumbuhan
Ekonomi dan Tingkat Upah TerhadapPengangguran di Indonesia Periode
1989 2005
Alawi, Nadhif. 2006. Pengaruh Anggaran Belanja Pembangunan Daerah Terhadap
Kemiskinan Studi Kasus: Kab/Kota di Jawa Tengan tahun 2002-2004
Asian Development Bank. 2006. From Poverty to Prosperity: A Country Poverty
Analysis for Indonesia
Arsyad, Lincolin.1992. Memahami Masalah Kemiskinan di Indonesia:Suatu
Pengantar. JEBI No.1Tahun VII 1992.
Basri, Faisal dan Munandar, Haris. 2009. Lanskap ekonomi Indonesia;
kajian dan renungan terhadap masalah-masalah struktural,

80

transformasi baru, dan prospek perekonomian Indonesia.


Kharisma Putra Utama
Badan Pusat Statistik. 2010. Data Strategis
Chenery, Hollis and Ahluwalia, 1974. Redistribution with Growth, Published for the
World Bank and the Institute of Development studies, Sussex, Oxford U.P.
Darmawan, Dhani Agung. Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas.
Darwin, Muhadjir. 2004. Pembangunan Pro Pertumbuhan VS Pro Rakyat
Eko, Sutoro. 2008. PRO POOR BUDGETING: Politik Baru Reformasi
Anggaran Daerah untuk Pengurangan Kemiskinan
Fan. 2004. Dampak pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan
Fan, Et all. 1999. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan
Hadi , Agus Purbathin.2008. Tinjauan Terhadap Berbagai Program
Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia.
Hamid, Edy Suandi. Pengangguran di Indonesia
Institut Pertanian Bogor. Strategi Pembangunan Untuk Pengantasan
Kemiskinan di Propinsi Riau
Iskana, Ida. 2009. Pengaruh Belanja dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Kemiskinan, Dan Pengangguran. SKRIPSI, tidak dipublikasikan,
Malang, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Malang.
Investor Daily Indonesia. 2008. APBN Diragukan Mampu Entaskan Kemiskinan
International Labour Organitation. 2004. Terbebas dari Kemiskinan:
Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. 2002.
Buku Putih Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Klasen Stephen.2005. Economic Growth and Poverty Reduction:
Measurement and Policy Issue. Paper Prepared for
POVNET for the Work Program on Pro-poor Growth
Kuncoro, Mudrajad dan Armunanto, Eko.2007. Unbalaced
http://website.mudrajad.com/content/unbalanced-growth
Lesmana, Teddy. Pembangunan dan Kemiskinan

81

growth.

Lestari, Fatin Catur.2008.


Kemiskinan dan Pengeluaran Pemerintah Untuk
Infrastruktur: Studi Kasus Indonesia, 1976-2006.
Mahalli, Kasyful. 2008. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan
Mankiew, N.Gregory, 2003, Teor Makroekonomi, Erlangga, Jakarta.
Mankiw, N.G. 2003. Macroeconomics. Fifth Edition. Worth Publisher, New York.
Magdalena, Ester. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat
Pengangguran di Indonesia.
Mukhopaday, Swapna.1985.the Poor In Asia:Productivity Raising Programes and
Strategies, Asian and Pacific Development Center, Kuala Lumpur.
Mulyaningsih, Yani. Pengaruh pengeluaran pemerintah di sektor publik terhadap
peningkatan pembangunan manusia dan pengurangan kemiskinan. Tesis
Menteri Keuangan. 2010. Pokok-pokok Nota Keuangan dan RAPBN
NSS, Lulus Prapti. 2006. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan
DistrbusiPendapatan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota
Jawa Tengah 2000-2004)
Prastyo, Adit Agus. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemiskinan Studi Kasus: 35 Kabupaten/Kota
di Jawa Tengah Tahun 2003-2007
Penjelasan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008; Pertumbuhan Ekonomi
dan Penurunan Jumlah Pengangguran Kuartal I 2007 Mengkonfirmasi
Percepatan Pertumbuhan Sektor Riil yang Berkelanjutan
Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia
Putra, Linggar Dewangga.2011. Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah
Periode 2000 2007.
Putra, andhika.2009.Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di
Perkotaan (P2KP)Studi Pada Keluarahan Sei Sikambing B Kecamatan Medan
Sunggal Kota Medan Sumatra Utara.
Rohidin.2010. Hasil Penelitian Perbandingan Perilaku Alokasi Anggaran
Penaggulangan Kemiskinan di Kota Pekalongan Pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Pekalongan Tahun 2005-2008

82

Ravallion, Martin.1997.Can High-Inequality Developing Countries


Escape Absolute Poverty?.Economics Letters 56:51-57.
RetriveFebruary9,2005fromhttp://web.world
Rudiningtyas, Dyah Arini.2010. Pengaruh Pendapatan Dan Belanja Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi, Kemisknan Dan Pengangguran (Studi Pada APBN
2004-2008).
Raharjo, Adi.2006. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi Swata dan Angkatan
Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi Kasus di Kota
Semarang).Thesis
Stalker, Peter.2007. Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia
Spance, Michael. 2008. Pertumbuan Ekonomi Yang Berkelanajutan, tinggi dan
Inklusif

Siregar, Hermanto, Wahyuniarti, Dwi. Dampak Pertumbuhan


Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin
Siregar, Hermanto. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah
Penduduk Miskin
Supriadi, Agus. 2010. Hasil pembangunan belum merata Kesenjangan Pendapatan
Masyarakat Desa Meningkat
Strategic Alliance for Poverty Avviliation
Siregar, Wahyuniarti. 2007. Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan faktor lain terhadap
kemiskinan di Indonesia tahun 1998-2006
Sholeh,Maimun. Kemiskinan : Telaah Dan Beberapa Strategi Penanggulangannya
Sitomorang, Simandar.2001.Kegagalan Program IDT Di Desa Gunung Berita
Kecamatan Nimorambe Kabupaten Deli Serdang.Usu e-Repository.
SMERU Research Institute.2007.Menuju Kebijakan Pro Mayarakat Miskin
Melalui Penelitian.
Todaro, Michael.P and Smith, Stephen C.2006. Pembangunan ekonomi. Erlangga
Turnovsky, S.J. 1981. Macroeconomic Analysis and Stabilization
Policy. Cambridge University Press, Cambridge.
Universitas Sumatera Utara. Pengaruh Jumlah Penduduk Miskin,
Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah
World Bank, 2006, Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
World Bank. 2003. Sustainable Development In A Dinamic world:

83

Variables Entered/Removedb
Model
1

Variables
Entered

Variables
Removed

X3, X1T3,
X2, X1T,
X1T2, X1T1a

Method

Transforming Institutions
,growth, and quality of life.
World Development Report
2003. Oxford University Press

Wijayanto, Ravy Dwi. 2010. Analisis


Pengaruh PDRB, Pendidikan
dan Pengangguran Terhadap
Kemiskinan
di
Kabupaten
a. All requested variables entered.
Kota Jawa Tengah 2005-2008
b. Dependent Variable: Y
World Bank (Urban Sector Development
Unit, Infrastructure Development,
East Asia and Pacific Region),
Kota-kota Dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era
Desentralisasi di Indonesia (terjemahan), Dissemination Paper No 7, June 30,
2003.
World Bank, World Development Report 2004: Making Service Work for Poor
People, IBRD/The World Bank, Washington DC, 2004.
. Enter

Widodo, Adi,Dkk.2011. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Di Sektor


Pendidikan Dan
Kesehatan Terhadap Pengtasan Kemiskinan Melalui
Peningkatan Pembangunan Manusia Di Provinsi Jawa Tengah.
Wibowo, Ferry. 2009. Analisis Hubungan Alokasi Anggaran Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)Dengan Indeks
Pembangunan Manusia dan Angka Kemiskinan.
Yessi, Welly. Kesimipulan Sementara Hasil Temuan Monitoring Pelaksanaan dan
Pengelolaan Program-Program JPS 1999-2000 Di Kalimantan Tengah.
Zoellick, Robert B. 2010. Pertumbuhan dan Kemiskinan
Hasil analisis regresi

84

Model Summary
Model

R Square

.545a

Adjusted R
Square

.297

Std. Error of
the Estimate

.096

18.96812

a. Predictors: (Constant), X3, X1T3, X2, X1T, X1T2,


X1T1
ANOVAb
Sum of
Squares

Model
1

df

Mean Square

Regression

3193.843

532.307

Residual

7555.578

21

359.789

10749.421

27

Total

Sig.

1.479

.233a

a. Predictors: (Constant), X3, X1T3, X2, X1T, X1T2,


X1T1
b. Dependent Variable: Y

Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
Model
1

Standardized
Coefficients

Std. Error

(Constant)

91.983

74.210

X1T

-2.222

1.027

X1T1

-1.552

X1T2

Beta

Sig.

1.239

.229

-.435

-2.165

.042

1.131

-.304

-1.372

.185

-.637

1.023

-.127

-.623

.540

X1T3

-.266

.994

-.055

-.268

.791

X2

-.001

.017

-.015

-.077

.939

X3

87.401

238.611

.090

.366

.718

a. Dependent Variable: Y

85

Data Yang digunakan dalam penelitian

Tahun

1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004

Pengeluaran Pemerintah
(Triliyun Rp)
1,501,600,000,000
6,399,200,000,000
8,605,800,000,000
9,290,250,000,000
10,459,300,000,000
10,647,000,000,000
8,296,000,000,000
7,756,600,000,000
8,897,600,000,000
12,480,200,000,000
16,225,000,000,000
19,997,700,000,000
22,912,000,000,000
25,227,200,000,000
27,398,300,000,000
30,783,500,000,000
34,502,700,000,000
28,880,800,000,000
49,391,700,000,000
82,448,300,000,000
41,605,700,000,000
52,299,100,000,000
52,299,100,000,000
66,146,100,000,000.00
18,000,000,000,000

Rasio
Gini (%)
0.34
0.33
0.3
0.31
0.32
0.364
0.33
0.32
0.32
0.33
0.34
0.33
0.33
0.36
0.34
0.34
0.36
0.37
0.32
0.311
0.32
0.3
0.329
0.32
0.32

86

Angka
Kemiskinan (Juta
Jiwa)
42,300,000
40,400,000
23,000,000
37,000,000
35,000,000
33,000,000
31,000,000
30,000,000
28,500,000
26,000,000
27,200,000
26,100,000
26,567,000
25,900,000
23,500,000
34,500,000
36,000,000
34,000,000
49,500,000
47,970,000
38,700,000
37,900,000
38,400,000
37,300,000
36,100,000

Pertumbuhan
Ekonomi (%)
9.9
7.9
2.2
4.2
5.8
2.5
3.2
3.6
1.9
1.4
7.1
6.6
6.3
2.2
7.5
8.2
7.8
4.9
-13.13
0.79
4.92
3.45
4.31
4.78
5.03

2005
2006
2007
2008
2009
2010

23,000,000,000,000
42,000,000,000,000
56,000,000,000,000
62,000,000,000,000
66,200,000,000,000
94,000,000,000,000

0.343
0.357
0.376
0.368
0.357
0.331

35,100,000
39,300,000
37,170,000
34,960,000
32,520,000
31,020,000

Sumber: Badan Pusat statistik, Bappenas, Susenas

87

5.69
5.51
6.32
6.01
4.35

5.8

Anda mungkin juga menyukai