I.
PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan
permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.1,2
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar
penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit menahun
yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang
mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi terkena
kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur
yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan
penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita 2,3,3,4,5
1. II.
DEFINISI
Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia
yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah kusta berasal
dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.
Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman
yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus
Hansen.4,5,6
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit
kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang
baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti
masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih
kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkannya.2
1. III.
ETIOLOGI
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan
asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik,
dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya.5,7
Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah
pecah (fragmented), bentuk granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk
utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya
biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya terputus
sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana
kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus,
dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau
berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60
BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA.
Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan
biasanya lebih dari 500 BTA . 1,5,7
1. IV. EPIDEMIOLOGI
4.1 Distribusi Menurut Geografi
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan
jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663
dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta
terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia merupakan negara dengan
jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64
per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita
sebanyak 22.175 (WHO).1,3,5,6
Gambar I. Peta penyebaran Penyakit Kusta
Sumber : Kepustakaan 6
4.2 Distribusi Menurut Waktu
Seperti terlihat pada tabel di bawah, ada 17 negara yang melaporkan 1.000 atau lebih kasus baru
selama tahun 2005. Tujuh belas negara ini memiliki kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di
dunia
Negara
1993
Angola
2
3
4
5
6
7
8
9
Bangladesh
Brazil
China
Kongo
Mesir
Ethiopia
India
Indonesia
339
6.943
34.235
3.755
3.927
1.042
4.090
456.000
12.638.740
2002
2003
2004
2005
4.727
2.933
2.109
1.877
9.844
38.365
1.646
5.037
1.318
4.632
473.658
12.377
8.712
49.206
1.404
7.165
1.412
5.193
367.143
14.641
8.242
49.384
1.499
11.781
1.216
4.787
260.063
16.549
7.882
38.410
1.658
10.737
1.134
4.698
161.457
19.695
10
Madagascar
11
12
13
14
15
Mozambique
Myanmar
Nepal
Nigeria
Philippines
16
Sri Lanka
17
Tanzania
740
1.930
12.018
6.152
4.381
3.442
944
2.731
5.482
5.104
3.710
2.709
5.830
7.386
13.830
5.078
2.479
5.907
3.808
8.046
4.799
2.397
4.266
3.748
6.958
5.276
2.254
5.371
3.571
6.150
5.024
3.130
2.214
1.952
1.995
1.924
6.497
5.279
5.190
4.237
555.307
599.945
495.074
389.027
279.664
94%
97%
96%
95%
94%
Jumlah
Sumber : Kepustakaan 6
4.3 Distribusi Menurut Faktor Manusia3,5,6
a)
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena
faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar
kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan
etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta
lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India.
Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita
kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu
b)
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal
ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut
ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta
impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi
c)
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di
dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang
dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena
faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki
lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya.
4.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta 3,5,6
a)
Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus
yang tidak mempunyai kelenjar thymus
b)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari
penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan
telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan
sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan
c)
Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahuntahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan
masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan
penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak
menjadi sumber penularan bagi orang lain
d)
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak
kulit yang tidak utuh
e)
Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler
dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik
seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat
meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan
bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi. Sebagian
besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5%
yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi
sakit.
V.PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama
adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL
12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5,
IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari
makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan
IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya
sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke
arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th1. 1,3,4
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan melalui
darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif
karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh
serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja
harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida
dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator
CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan
yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin
satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui
TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti
19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan
terhadap leprosy. 5,6
5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan
berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2
dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae
akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.
Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus-menerus untuk
menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai
bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti
dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non professional.3
5.2 Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap
sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari
kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi
lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed Type Hipersensitivity
Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan
limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari
reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke
arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous (penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi.
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi
tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun
dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples , imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel. 1,3,4
VI.Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis. Klasifikasi kusta menurut
Ridley dan Jopling :1,5,7,8
1.
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
1.
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan
saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat
saraf perifer yang menebal
1. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan
lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out,
yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas
1. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke
seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
1. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,
pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi
testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya
di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang- kadang dapat ditemukan
makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.3,5
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya,
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah. Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.5
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan
otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada
ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing
ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan
tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis
posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus
pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan
cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan
konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder
makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat
dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan
konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi
ringan dan berat.3
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri.
Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang
nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi
ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan
banyak basil M.leprae di endotel kapiler.3
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu
tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.1
VII. Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus diperhatikan
dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat
alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing
masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf
tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak,
pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya
nyeri atau tidak (Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa
pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus
diperiksa pada bagian tengahnya
-
Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam
dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana
yang tajam dan mana yang tumpul
-
Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya
400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke
tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut
pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah
tersebut terganggu
b. Tes Motoris
-
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu
menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya
-
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan
jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada
bagian telapaknya.
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan
tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut
-
Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan
fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai
kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non
solid.
IM =
Jumlah solid
X 100 %
solid
virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (
reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat
ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis
Reaksi Mitsuda bernilai :
0
+1
Papul berdiameter 4 6 mm
+2
Papul berdiameter 7 10 mm
+3
VIII.Diagnosis
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada
penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka
akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa
suhu, dan rasa nyeri.
1. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
1. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6
bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula differetial diagnosisnya vitiligo, Pitiriasis Versikolor, Ptiriasis alba, Tinea
korporis. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis,
Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi
saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung
sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula
putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun,ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan
hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka
diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak
melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap
respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme
tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA
bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter
hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering
terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan
hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Mukosa jarang terkena, kadang
kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan
mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka
serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula
yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang
menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora normal
yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau
Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada
dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya
imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai
efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan
lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal
ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Gejala klinisnya
adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir,
daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak
bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan konfigurasi
yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku siku.
Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan
infeksi virus.
Psoriasis penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya bercak
bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan disertai
fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema
yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi
pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikuler
dan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri
dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut
akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala
kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan,
dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas,
disfungsi ereksi dll
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis,
mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan
vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin (
vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly
neuropathy dan demensia.
X.Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan
tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan
penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para- aminobezoic acid
(PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping
dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan
vertigo
Lamprene (Clofazimin), merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin
bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Efek sampingnya
adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman, warna kulit akan kembali normal bila
obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat
DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Efek
sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta
dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk
(ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi
1. Pausi Basiler (PB)
Dewasa(50-70
Rifampicin
600 mg
Ofloxacin
400 mg
Minocyclin
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
kg)
Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah
minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.
Rifampicin
600 mg/bulan
Dewasa
Diminum
Dapson
100 mg/hr diminum
didepan
petugas kesehatan
450 mg/bulan Diminum
Anak-anak
dirumah
50 mg/hari diminum di
(10-14 th)
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah
selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan FT/=Realease From Treatment yaitu berhenti
minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2
tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin
Dewasa
600
Dapson
100 mg/hari
Lamprene
300
mg/bulandiminum di
depan petugas
depan petugas
kesehatan
kesehatan dilanjutkan
dgn 50 mg/hari
Anak-anak(10- 450
14 th)
50 mg/hari
diminum di rumah
150
mg/bulandiminum di
depan petugas
depan petugas
kesehatan dilanjutkan
dg 50 mg selang
sehari diminum di
rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat
timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot, claw toes
dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan prinsip
pengobatan reaksi kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat
penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat
kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan
pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan
dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,
Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling
dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh
karena toksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik). Dosis 400 mg/hari
kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid, dimulai dengan dosis tinggi atau sedang. Digunakan prednison atau
prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga
diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon
maksimal
XI. Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe
pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
1. Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah
Lama Pengobatan
6 Bulan
Jenis Obat
Klofazimin
Ofloksasin
Minosiklin
Klofazimin + Ofloksasin
Dosis
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg.hari
50 mg/hari
atau
Minosiklin
400 mg/hari
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin
pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin
100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen
MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB,
obat ini harus dihentikan.
Dewasa
Anak-anak
Rifampisin
600 mg/bln
450 mg/bln
Klofazimin
50 mg/hari dan 300 mg/bulan
50 mg/hari dan 150 mg/bulan
XII.Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga
sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien
lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah
vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder
merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
XIII. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen
dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan
tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical
medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal
ginjal dapat mejadi komplikasi.