Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kehamilan adalah hasil akhir dari suatu fertilisasi yang terjadi karena
adanya pertemuan dan persenyawaan antara sel telur (ovum) dan sel mani
(spermatozoon). (Firman, 2010)
Kehamilan merupakan hal fisiologis. Walaupun demikian, jika perempuan
hamil memiliki penyakit tertentu, penting diketahui penyakit yang diderita akan
mempengaruhi kehamilan atau sebaliknya kehamilan akan mempengaruhi
perjalanan penyakit. Tatalaksana penyakit pada kehamilan tidak hanya meliputi
periode antenatal, namun juga periode persalinan dan post partum. Selain itu
dalam tatalaksana farmakologik perlu diperhatikan keamanan pemberian obatobatan bagi janin yang dikandung, karena ini semua berpengaruh terhadap
morbiditas dan mortalitas. (FKUI, 2008)
Banyak timbul spekulasi mengenai efek-efek yang mungkin timbul
sehubungan dengan menurunnya surveilans imun selama kehamilan. Walaupun
terjadi perubahan ringan kadar immunoglobulin dalam darah selama kehamilan,
perubahan ini tampaknya tidak menimbulkan dampak. Kemotaksis dan daya
lekat leukosit polimorfonuklear mungkin berkurang mulai pertengahan
kehamilan.

Penilaian

tentang

imunitas

selular

sulit

dilakukan,

tetapi

menunjukkan bahwa limfosit ibu sama kompetennya seperti sel ayah atau sel lain
dalam menghasilkan respons sitotoksik (Williams, 2005)
Wanita hamil dan janinnya rentan terhadap banyak infeksi dan penyakit
infeksi. Beberapa penyakit ini mungkin cukup serius dan mengancam nyawa bagi
ibu, sementara yang lain menimbulkan dampak besar pada neonatus karena
besarnya kemungkinan infeksi pada janin. (Williams, 2005)

I.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui tentang infeksi pada ibu
hamil dan memahami dengan baik guna membantu dalam pencegahan
penyakit ini.
b. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi persyaratan mengikuti Ujian Akhir Blok.

I.3 Manfaat
1. Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah pengetahuan serta
wawasan penulis mengenai infeksi pada ibu hamil.
2. Memberi wawasan untuk teman mahasiswa lain.
3. Menambah bahan pustaka bagi institusi.

BAB II

PEMBAHASAN
II.1. Infeksi Virus pada Ibu Hamil
A. Human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS)
1) Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus HIV yang masuk ke
dalam tubuh akan berkembang biak. Virus HIV akan masuk kedalam sel
adarah putin dan merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya,
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan penderita mudah terkena
berbagai penyakit. (DEPKES RI, 2001)
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma
dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat
menurunnya

sistem

kekebalan

tubuh

oleh

immunodeficiency virus (HIV). (Sarwono, 2012)


Acquired immunodeficiency syndrome

infeksi
(AIDS)

Human
merupakan

kumpulan gejala penyakit yang timbul karena rendahnya daya tahan


tubuh. Pada awalnya penderita HIV positip sering tidak menampakkan
gejala sampai bertahun-tahun (5-10 tahun). Banyak faktor yang
mempengaruhi panjang pendeknya masa tanpa gejala ini, namun pada
masa ini penderita dapat menularkan penyakitnya pada orang lain. Sekitar
89% penderita HIV akan

berkembang menjadi penderita AIDS.

(DEPKES RI, 2001)

2) Epidemiologi
Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah,
khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak
mengalami infeksi perinatal dari ibunya. Laporan CDC (center for disease
control) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu

prenatal adalah 0,0%-1,7%, pada saat persalinan 0,4%-2,3% dan 9,4%29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intra vena.
(Sarwono, 2006)
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat
memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Penelitian di
Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal
pada ibu hamil adalah 20%-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta,
perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun demikian
WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya
mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko
penularan HIV. (Sarwono, 2006)
3) Patogenesis
Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen dan secret vagina. Sebagian besar 75% penularan terjadi
melalui hubungan seksual. Human immunodeficiency virus (HIV)
awalnya dikenal dengan nama lymphadenopathy associated virus (LAV)
merupakan golongan retrovirus dengan materi genetic ribonucleic acid
(RNA) yang dapat diubah menjadi deoxyribonucleic acid (DNA) untuk
diintegrasikan ke dalam sel pejamu dan deprogram membentuk gen virus.
Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T yang
memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem
kekebalan tubuh. (Sarwono, 2012)
4) Gejala klinis
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik
dengan

spektrum

yang

lebar, mulai

dari

infeksi

tanpa

gejala

(asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat


pada stadium yang lebih lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka
dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai
replikasi virus yang lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem

imun yang berat, maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat
dikatakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi pertama, bahkan bisa lebih lama lagi. (Sarwono, 2012)
Penderita HIV mempunyai gejala awal yang tidak spesifik seperti
fatigue, anoreksia, berat badan menurun atau mungkin menderita
kandidiasis orofaring maupun vagina. (Sarwono, 2006)
5) Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan.
Pemberian AZT (zidovudine) dapat memperlambat kematian dan
menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi opportunistic. Pengobatan
infeksi HIV dan penyakit opportunistiknya dalam kehamilan merupakan
masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya terhadap
kehamilan. Dengan demikian pencegahan menjadi sangat penting
peranannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat
kontrasepsi dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
(Sarwono, 2006)
Dalam persalinan, seksio sesaria bukan merupakan indikasi untuk
menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada
penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% per tahun exposure.
Oleh karena itu di anjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan
terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
a. Gunakan gaun, sarung tangan dan masker yang kedapa air dalam
b.
c.
d.
e.

menolong persalinan.
Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
Cucilah tangan setiap selesai menolong penderita
Gunakan pelindung mata
Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai

barang infeksious
f. Jangan menggunakan pengisap lendir bayi melalui mulut
g. Bila curiga adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa
antibodi terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis.
(Sarwono, 2006)
6) Pencegahan penularan HIV/AIDS

a. Melakukan hubungan seksual hanya dengan satu pasangan yang setia,


atau menghindari hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti
b. Mempunyai perilaku seksual yang bertanggung jawab dan setia pada
pasangan
c. Setiap darah transfuse di cek terhadap HIV, dan donor darah kepada
sanak saudara lebih sehat dan aman daripada donor darah professional
d. Menghindari injeksi, pemeriksaan dalam prosefur pembedahan yang
tidak steril dari petugas kesehatan yang tidak bertanggung jawab
e. Menggunakan kondom dengan hati-hati benar dan konsisten.
(DEPKES RI, 2001)
B. Hepatitis
1) Definisi
Hepatitis merupakan penyebab tersering ikterik pada kehamilan
yang disebabkan oleh virus. (Laurentius, 2007)
2) Epidemiologi
Studi yang lebih awal menunjukkan wanita hamil mudah
mengalami hepatitis dan sering terjadi pada trimester terakhir kehamilan.
Suatu studi porspektif menemukan insiden hepatitis wanita hamil berjalan
secara parallel pada populasi umum. Suatu studi epidemiologi di
Hamburg, Jerman menemukan insiden hepatitis pada 270.000 wanita usia
subur sebesar 0,04% pada wanita hamil dan 0,07% pada wanita tidak
hamil, sedangkan pada populasi umum sebanyak 0,07%. Studi di Vienna,
Jerusalem dan Haifa, Israel, Copenhagen dan India menemukan hasil yang
serupa. Sejumlah penelitian menunjukkan peningkatan insiden hepatitis
seiring tingkat pendidikan. Data ini dikumpulkan dari klinik obstetri yang
dikunjungi pasien terutama saat masa akhir kehamilan. Suatu penelitian
porspektif yang diikuti wanita hamil trimester pertama, menemukan
insidens hepatitis sama pada semua trimester. (Laurentius, 2007)
3) Cara penularan
Penularan infeksi hepatitis B di Amerika Serikat ternyata paling
sering terjadi akibat hubungn seksual. Hepatitis delta dapat pula menular
dengan cara hubungan seksual, sedangkan hepatitis A hanya menular pada

kontak seksual secara fekal oral. Hepatitis non A dan non B tidak jelas
diketahui penularan secara kontak seksualnya. Hepatitis non A dan non B
yang saat ini disebut sebagai hepatitis C, ternyata merupakan
permasalahan yang cukup besar mengingat selama ini tidak pernah
dilakukan

skrining

pada

donor

darah,

sedangkan

infeksi

yang

ditimbulkannya mempunyai komplikasi kelainan hati menahun yang lebih


berat. (Sarwono, 2006)
4) Gejala klinis
Kebanyakan kasus dalam keadaan akut tidak menampilkan gejala
klinik yang khas. Gambaran klinik mencakup anoreksia, rasa mual,
muntah, febris, pembesaran hati disertai rasa nyeri, dan kemudian disusul
oleh ikterus. Apabila kita tidak waspada, maka gejala-gejala itu sering
disalahtafsirkan sebagai akibat kehamilannya, terutama sebagai gejalagejala hiperemesis gravidarum dalam triwulan I. (Sarwono, 2006)
5) Klasifikasi
Sampai saat ini telah dikenal tujuh macam virus hepatitis (HVA,
HVB, HCV, HDV, HEV, TTV, HGV). Dua virus hepatitis yang akhir
belum diketahui secara jelas pengaruhnya pada manusia. Infeksi virus
hepatitis yang bisa memberikan pengaruh khusus pada kehamilan adalah
infeksi virus hepatitis A (VHA), virus hepatitis B (VHB), virus hepatitis D
(VHD), dan virus hepatitis E (VHE). (Sarwono, 2012)
Hepatitis yang tersering pada kehamilan yaitu:
a. Virus hepatitis A (VHA)
Virus hepatitis A (VHA) ditularkan secara fekal oral. Pada
sekitar 10-20 tahun yang lalu sebagian besar orang dewasa di daerah
yang sanitasinya kurang baik telah terinfeksi VHA. Penelitian 1985 di
Pulau Air Lombok 92,8% antibodi VHA positif, di Jayapura anak lebih
besar dari 15 tahun 100% positif di tahun 1990, di Sumbawa sebesar
93,2% pada anak umur 10-14 tahun. (Sarwono, 2012)
Permasalahan penyebaran penyakit HVA terjadi pada golongan
ekonomi relative tinggi, dimana hygiene dan sanitasi baik, antibodi

orang dewasa terhadap VHA rendah sehingga jika terjadi wabah,


sangat mudah tertular. Pada kehamilan masalah yang bisa terjadi
adalah jika hepatitis fulminan pada infeksi akut, kemungkinan terjadi
perdarahan karena gangguan pembekuan darah. (Sarwono, 2012)
b. Virus hepatitis B (VHB)
Prevalensi pengidap VHB pada ibu hamil di Indonesia berkisar
antara 1-5%, dimana keadaan ini berganung pada prevalensi VHB di
populasi. (Sarwono, 2012)
Beberapa faktor predisposisi terjadinya penularan vertical
antara lain titer DNA-VHB tinggi pada ibu (makin tinggi titer makin
tinggi kemungkinan bayi tertular), terjadinya infeksi akut pada
kehamilan trimester ketiga, persalinan lama dan mutasi VHB.
Kegagalan vaksinasi yang menyebabkan bayi tertular 10-20%
disebabkan oleh mutasi VHB. (Sarwono, 2012)
Virus hepatitis B (VHB) mudah menimbulkan infeksi
nosokomial pada tenaga medik dan paramedik melalui pertolongan
persalinan atau operasi, karena tertusuk jarum suntik atau luka lecet,
terutama pada pasien dengan HBsAg dan HBeAg positif. Virus
hepatitis B (VHB) lebih besar berpotensi untuk menimbulkan infeksi
nosokomial di rumah sakit dibandingkan HIV. (Sarwono, 2012)
c. Virus hepatitis delta (VHD)
Prevalensi tinggi virus ini terdapat di negara-negara Timur
Tengah (seperti di Saudi Arabia dan mesir), Kenya, Amerika Selatan
seperti Venezuela. Virus ini ditularkan secara seksual atau melalui
jarum suntik. Penularan vertical sangat jarang. Pasien yang terinfeksi
secara ko-infeksi akan berakhir dengan kesembuhan, tetapi yang
terinfeksi secara super-infeksi akan berakhir seperti halnya pada
infeksi HVB, dimana 90% akan menjadi pengidap kronik dan jika
terjadi hepatitis fulminan akan menyebabkan kematian sebesar 5-20%.
(Sarwono, 2012)
d. Virus hepatitis E (HVE)
Virus hepatitis E (HVE) mirip dengan VHA (RNA virus)
dimana keduanya ditularkan secara fekal oral, kebanyakan manifestasi

secara akut dan merupakan wabah pada daereah dengan sanitasi buruk.
(Sarwono, 2012)
Wabah pernah dilaporkan terjadi di India, Burma, China, dan
Afganistan. Di Indonesia pernah dilaporkan terhadi di Jawa Barat pada
tahun 1983 dan di Kalimantan 1989. (Sarwono, 2012)
Dari ibu hamil yang terinfeksi ini 42,86% mengalami nifeksi
akut dan 30% kemudian mengalami hepatitis fulminan, dengan 25%
kematian ibu, dimana 2 ibu meninggal sebelum melahirkan dan 1
meninggal segera pascapersalinan. Dari ibu hamil dengan RNA-VHE
positif 92,86% akan tertular dan mengalami ikterus atau tanda klinik
lainnya, teyapi hanya 2 yang meninggal dan sisanya sembuh total.
(Sarwono, 2012)
6) Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap infeksi virus hepatitis tidak ada yag spesifik,
dalam kehamilan sama dengan di luar kehamilan. Penderita harus dirawat,
istirahat baring, dan diet tinggi protein, rendah lemak. Infuse cairan untuk
keperluan kalori dan elektrolit harus diberikan apabila penderita mual dan
muntah-muntah. (Sarwono, 2006)
7) Pencegahan
Pencegahan dengan vaksinasi sebaiknya dilakukan. Seorang
wanita yang telah pasti terpapar virus hepatitis B harus diberikan
imunisasi HBIG (hepatitis B immuneglobulin) dengan dosis 0,06ml/kgBB
IM dosis tunggal dalam jangka waktu 14 hari setelah terpapar, kemudian
dilanjutkan dengan serial vaksin HB. Untuk wanita yng diketahui
mempunyai risiko untuk menjadi terpapar HbAg dianjurkan untuk
dilakukan vaksinasi HB dalam waktu 6 bulan setelah terpapar. Pada ibu
hamil sebaiknya diberikan pula vaksinasi untuk mencegah infeksi
hepatitis. (Sarwono, 2006)
C. Rubela
1) Definisi
Rubela merupakan penyakit saluran pernafasan dengan masa
inkubasi 2-3 minggu, disebabakan olejh infeksi virus RNA rantai tunggal

10

yang termasuk ke dalam keluarga Togavirus. Infeksi berwal dari saluran


pernafasan atas, umumnya terjadi 1 minggu sebelum gejala muncul.
(Purwita, 2008)

Infeksi rubela atau dikenal sebagai German measles menyerupai campak,


hanya saja bercaknya sedikit lebih kasar. (Sarwono, 2012)
2) Epidemiologi
Insidens sindrom rubela kongenital di Amerika

Serikat

menagalami peningkatan dari tahun 80an hingga awal 90. Salah satu
penyebabnya adalah kegagalan vaksinasi MMR (measles mumps rubela)
terhadap kelompok individu yang rentan terhadap infeksi tersebut.
(Purwita, 2008)
3) Gejala klinis
Gejala klinis yang dapat muncul antara lain eksantema
makulopapular diskret berwarna merah muda, yang berawal dari wajah
dan menyebar ke batang tubuh dan ekstremitas. Gejala sistemik seperti
limfadenopati postaulikular dan suboksipetal, demam, serta nyeri sendi
juga dapat dijumpai. Sekitar 25-50% infeksi rubela tidak bergejala.
(Purwita, 2008)
4) Penatalaksanaan
Tidak ada terapi anti viral spesifik untuk infeksi rubela. Vaksinasi
merupakan upaya preventif yang dianjurkan, mengingat angka kegagalan
proteksinya cukup rendah. Vaksinasi MMR memberikan proteksi jangka
panjang pada 95% kasus. Jadwal imunisasai MMR yang dianjurkan ialah
pada usia 12-15 bulan. Wanita yang tidak memiliki antibodi IgG spesifik
terhadap rubela perlu mendapat imunisasi, dan tidak boleh hamil sampai 3
bulan setelah mendapat suntikan MMR. Kontraindikasi vaksinasi MMR
antara lain kehamilan. Pemberian terapi simptomatis dengan asetaminofen
dapat diberikan untuk mengurangi keluhan. (Purwita, 2008)
5) Pencegahan

11

Untuk

mengeradikasi

penyakit

secara

tuntas,

dianjurkan

melakukan pendekatan berikut iuntuk mengimunisasi populasi dewasa,


terutama wanita berusia subur, antara lain:
a. Pendidikan petugas kesehatan dan masyarakat umum tentang bahaya
infeksi rubela
b. Vaksinasi terhadap wanita rentan sebagai bagian dari pelayanan
kesehatan rutin dan ginekologis, termasuk di pusat kesehatan di
universitas
c. Vaksinasi terhadap wanita rentan yang mengunjungi klinik keluarga
berencana
d. Identifikasi dan vaksinasi terhadap wanita yang belum diimunisasi
segera setelah melahirkan atau mengalami keguguran
e. Vaksinasi terhadap wanita tidak hamil yang rentan berdasarkan
identifikasi secara serologis sebelum menikah
f. Vaksinasi terhadap semua petugas rumah sakit yang rentan dan
mungkin terpajan pasien rubela atau yang mungkin berkontak dengan
wanita hamil. (Williams, 2005)
D. Sitomegalovirus
1) Definisi
Virus sitomegalo (CMV) merupakan anggota dari keluarga virus
Herpesviridae, dan merupakan penyebab infeksi kongenital tersering di
Amerika Serikat. (Purwita, 2008)
2) Epidemiologi
Infeksi CMV primer terjadi pada 0,7-4% dari wanita hamil.
Seropositif lebih sering terjadi pada kelompok sosioekonomi rendah
dibandingkan dengan kelompok sosioekonomi tinggi, berkaitan dengan
hygiene yang buruk, lingkungan tempat tinggal yang padat, dan
promiskuitas.
Infeksi kongenital oleh CMV terjadi pada 1-2% neonatus di
Amerika. Baik infeksi primer dan rekuren dapat menyebabkan infeksi
intrauterin, tetapi transmisi virus lebih tinggi pada infeksi primer (3040%), sementara pada infeksi rekuren kurang dari 1% janin terinfeksi.
(Purwita, 2008)

12

3) Patogenesis
Infeksi CMV terjadi secara primer terjadi pada masa anak dan
dewasa. Infeksi ini ditandai dengan adanya limfosit atipikal pada darah
tepi. Virus sitomegalo (CMV) yang telah menginfeksi jaringan akan
bertahan lama di jaringan host tersebut. Transmisi melalui darah atau
transplantasi organ terjadi akibat sifat infeksi ini yang tidak terdeteksi
secara klinis (silent infections). (Purwita, 2008)
4) Gejala klinis
Pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis, dan beberapa
pasien dapat memberikan gejala mononucleosis like syndrome, seperti
demam, nyeri tenggorok, mialgia, fatigue, dan diare. Gejala sistemik lain
yang dapat dijumpai adalah lesi kulit, limfadenopati, faringitis,
hepatosplenomegali,

peningkatan

enzim

transaminase

hati,trombositopenia, limfositosis, atau limfositopenia. Antibodi IgM dan


IgG spesifik akan memberikan hasil positif pada infeksi CMV.
Serokonversi titer antibodi fase akut dan konvalesens menunjang
diagnosis infeksi. (Purwita, 2008)
5) Penatalaksanaan
Sebagian besar infeksi CMV merupakan penyakit yang self
limiting. Gansiklovir, foscarnet dan sidofovir merupakan anti viral yang
efektif terhadap virus sitomegalo, tetapi keamanan penggunaannya pada
kehamilan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (Purwita, 2008)
E. Herpes simpleks
1) Definisi
Herpes simpleks merupakan infeksi herpes virus hominis yang
sebagian besar merupakan tipe 2 (HSV 2) yang tidak menunjukkan gejala
kilinis atau hanya memberikan gejala ringan, sehingga wanita yang
mengalami infeksi HSV 2 cenderung tidak mencari pertolongan medis dan
oleh karena itu seringkali tidak terdiagnosis. (Purwita, 2008)
2) Epidemiologi
Prevalensi infeksi virus HSV 2 pada wanita usia produktif di
Amerika diperkirakan sebesar 25% dan dari seluruh populasi yang

13

terinfeksi, hanya sekitar 25% yang mengeluhkan adanya gejala, seperti


nyeri, gatal, dan erupsi vesikuolseratif. (Purwita, 2008)
Herpes neonatal merupakan komplikasi yang memberikan dampak
klinis cukup berat bagi neonatus. Insidens kejadian ini bervariasi diseluruh
dunia, berkisar antara 1 dalam 2000-15000 kelahiran hidup. Episode
pertama infeksi herpes genital pada trimester akhir kehamilan memberikan
kemungkinan infeksi pada neonatus yang lebih besar, karena hampir
seluruh herpes neonatal terjadi akibat kontak langsung selama proses
persalinan. (Purwita, 2008)
3) Patogenesis
Virus ini menginfeksi melalui dermis dan epidermis dari kulit atau
mukosa yang mengalami abrasi. Pada saat terjadi infeksi proses
berlangsung secara subklinis. Infeksi terjadi pada ujung saraf sensoris atau
otonom. Proses penyebaran virus di tubuh dapat terjadi secara lokal dan
sistemik. Saat seseorang terinfeksi maka respon imun selular dan humoral
akan teraktivasi. Berat ringannya penyakit juga ditentukan oleh respon ini.
Seseorang yang memiliki defek pada respon imun dapat mengalami
infeksi herpes berulang. Demikian pula dengan kehamilan yang
merupakan kondisi imunokompromis, sehingga risiko untuk terkena
infeksherpes juga lebih tinggi. (Purwita, 2008)
Infeksi virus herpes simpleks tipe 1 (HSV 1) lebih sering
ditransmisikan ke janin, dan lesi yang ditimbulkan pada neonatus terbatas
pada kulit, mata dan membran mukosa, sementara infeksi oleh HSV 2
lebih menyebar dan dapat menginvasi sistem saraf pusat sehingga
menyebabkan gangguan perkembangan di kemudian hari. (Purwita, 2008)
4) Gejala klinis
Gejala klinis yang timbul bervariasi dari ringan sampai berat.
Gejala diawali dengan rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi
beberapa jam setelah timbulnya lesi. Selain itu, dapat pula disertai gejala
konstitusi seperti malaise, dan nyeri otot. Lesi tipikal berupa vesikel
berkelompok dengan dasar eritema mudah pecah dan menimbulkan erosi
multipel. (sarwono, 2012)

14

5) Penatalaksanaan
Mengingat infeksi HSV selain pada trimester akhir kehamilan
hampir tidak memberikan dampak klinis kepada janin, terapi anti viral
dibatasi penggunaannya hanya untuk infeksi maternal dengan gejala yang
berat. Asiklovir, valasiklovir dan famsiklovir merupakan anti viral yang
efektif terhadap HSV, tetapi hanya asiklovir yang telah terbukti aman
digunakan untuk wanita hamil. Dosis asiklovir untuk infeksi HSV pada
wanita hamil tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil. (Purwita,
2008)
6) Pencegahan
Ibu dengan herpes genital aktif boleh merawat dan menyusui
bayinya, tetapi kebersihan tangan harus dijaga, dan dianjurkan untuk
selalu mencuci tangan sebelum memegang bayi. Ditambahkan mengenai
HSV yang berat dan pemberian obat secara intra vena. (Purwita, 2008)

II.2. Infeksi Bakteri pada Ibu Hamil


A. Tuberculosis (TBC)
1) Definisi
Infeksi tuberculosis

(TBC)

disebababkan

oleh

kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Pada sebagian kejadian, infeksi tuberculosis


ini terjadi sebagai akibat inhalasi basili tuberkel ke dalam saluran
pernafasan. (Purwita, 2008)
2) Epidemiologi
Setiap tahunnya, diperkirakan dapat ditemukan 8 hingga 9 juta
kasus tuberculosis baru, dimana 95% diantaranya terjadi di negara-negara
miskin dan berkembang. Infeksi tuberculosis ini menyebabkan 2 hingga 3
juta kematian setiap tahunnya, menempatkannya sebagai penyakit infeksi
utama yang menyumbangkan angka kematian. (Purwita, 2008)
Indonesia sendiri merupakan negara dengan prevalensi infeksi
tuberculosis peringkat ketiga terbanyak, dimana ditemukan 627.000 kasus
baru dan terjadi 143.000 kematian setiap tahunnya. (Purwita, 2008)
3) Patogenesis

15

Proses infeksi tuberculosis diawali dengan masuknya droplet


basili tuberkel ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Sebagian dari
kuman-kuman tuberculosis yang terinhalasi ini akan mencapai alveoli dan
difagositosis oleh sel makrofag. Apabila sel makrofag gagal untuk
mengeliminasi

dan menghambat pertumbuhan kuman tuberculosis

tersebut, maka akan terjadi suatu proses respon inflamasi lokal yang
diawali dengan dikeluarkannya tumor necrosis factor alpha (TNF-) dan
kemikin inflamasi, dimana hal ini akan menyebabkan rekruitmen dari
sel-sel leukosit ke tempat inflamasi tersebut. Sel leukosit yang berada di
tempat inflamasi ini juga akan turur menghasilkan kemokin dan sitokin,
menyebabkan amplifikasi respons inflamasi yang sudah terjadi, dengan
pembentukan Granuloma (afek primer/nodu; gohn) sebagai hasil akhirnya
yakni suatu kumpulan massa seluler yang terdiri dari makoofag terinfeksi,
makrofag berbusa (foamy macrophage), serta sel-sel limfosit, yang
dikelilingi oleh kolagen dan komponen matriks ekstraseluler lainnya.
Pada sisi yang lain, fagositosis kuman tuberculosis oleh leukosit ini akan
mempermudah terjadinya penyebaran hematogen. (Purwita, 2008)
4) Gejala klinis
Beberapa gejala dan tanda klinis pada tuberculosis seperti anemia,
peningkatan laju endap darah, serta penurunan kadar albumin serum
merupakan gejala dan tanda klinis yang dapat juga dijumpai pada
kehamilan normal, sehingga dapat menyamarkan kemunculan infeksi
tuberculosis pada perempuan hamil. Hal ini tentu saja perlu disadari oleh
pada tenaga medis yang menangani pasien hamil guna meingkatkan
kewaspadaan dan kecurigaan

terhadap kemungkinan adanya infeksi

tuberculosis pada seseorang yang sedang hamil. Perlu dipahami juga


bahwa perempuan hamil seringkali menunjukkan gejala-gejala infeksi
tuberculosis yang tidak spesifik. (Purwita, 2008)
5) Penatalaksanaan
Rekomendasi World Health Organization (WHO), International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD), dan British

16

Thoracic Society (BTS) untuk pengobatan tuberculosis pada perempuan


hamil serupa dengan pengobatan tuberculosis pada umumnya, dimana
digunakan kombinasi antara Isoniazid (NH), rifampisin (RIF), pirazinamid
(PZA),

dan

etambutol

(EMB).

Secara

khusus

PZA

belum

direkomendasikan penggunaannya di Amerika Serikat oleh Center for


Disease Control and Prevention (CDC), disebabkan oleh belum adanya
kejelasan profil keamanan dari obat untuk digunakan selama kehamilan.
Durasi terapi kombinasi dengan obat antituberkulosis ini serupa dengan
protocol pengobatan tuberculosis pada umumnya, dan tidak perlu
dimodifikasi oleh karena adanya pengobatan, maka durasi minimal
pengobatan yang direkomendasikan adalah selama 9 bulan. Pemberian
piridoksin 25 mg/hari dianjurkan apabila INH disertakan di dalam
pengobatan. (Purwita, 2008)
B. Sifilis
1) Definisi
Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh troponema pallidum,
baik yang sudah lama maupun yang baru diderita oleh ibu. (Sarwono,
2012)
2) Epidemiologi
Data di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
menunjukkan

bahwa

penyakit

ini

menurun

angka

kejadiannya

dibandingkan dengan kejadian PHS lainnya. Di Amerika Serikat, setiap


tahunnya dijumpai kira-kira 160 kasus sifilis congenital. Pada umumnya
wanita hamil tersebut tidak menjalankan pemeriksaan antenatal yang
adekuat. (Sarwono, 2012)
3) Gejala klinis
Pada perempuan kelainan sering ditemukan si labia mayor, labia
minor, fourcette, atau serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi
dapat juga tidak khas. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak
nyeri, kemudian permukaannya mengalami nekrosis dan ulserasi dengan
tepi yang meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas. Jumlah ulserasi
biasnya hanya satu, namun dapat juga multipel. (Sarwono, 2012)

17

Lesi sekunder ditandai dengan malaise, demam, nyeri kepala,


limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar,
plantar, mukosa oral atau genital, kondiloma lata di daerah intertrigenosa
dan alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula,
papuloskuamosa, dan pustul yang jarang disertai keluhan gatal. (Sarwono,
2012)
4) Penatalaksanaan
World health organization dan CDC telah merekomendasikan
pemberian terapi injeksi penisilin benzatin 2,4 juta MU untuk sifilis
primer, sekunder dan laten dini. Sedangkan untuk sifilis laten lanjut atau
tidak diketahui lamanya, mendapat 3 dosis injeksi tersebut. alternative
pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan tidak hamil dapat
diberi doksisiklin per oral, 2x100 mg/hari, atau tetrasiklin per oral 4x500
mg/hari selama 30 hari. Alternatif pengobatan bagi yang alergi terhadap
penisilin dan dalam keadaan hamil, sebaiknya tetap diberi penisilin
dengan cara desensitisasi. Bila tidak memungkinkan, pemberian
eritromisin per oral 4x500 mg/hari selama 30 hari dapat dipertimbangkan.
Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi
pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis
tunggal intra muskular. Untuk memonitor hasil pengobatan dilakukan
pemeriksaan serologi non treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 2
tahun setelah pengobatan selesai. (Sarwono, 2012)
C. Gonorea
1) Definisi
Gonorea adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Nisseria
gonorrhoeae. Kuman ini bersifat gram negatif, tampak di luar dan di
dalam leukosit polimorfonuklear, tidak dapat bertahan lama di udara
bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39C,
dan tidak tahan zat desinfektan. (Sarwono, 2012)
2) Epidemiologi
Di Amerika Serikat 0,5%-7% wanita hamil didapatkan menderita
gonorea. Meningkatnya kasus gonorea dalam kehamilan setara dengan

18

peningkatan kejadian ketuban pecah dalam kehamilan, korioamnionitis


dan terjadinya sepsis pada neonatus. (Sarwono, 2006)
3) Gejala klinis
Gejala-gejala klinis seperti disuria, uretritis, servisitis, fluor albus berupa
nanah encer agak kuning atau kuning hijau, dan kadang-kadang
bartholinitis akut atau vulvokalpitis. (Sarwono, 2006)
4) Penatalaksanaan
Secara epidemiologis pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonorea
tanpa komplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang
direkomendasi oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral, levofloksasin
250 mg per oral atau spektinomisin 2 gram dosis tunggal intramuscular.
(Sarwono, 2012)
D. Klamidiasis
1) Definisi
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebsbkan oleh bakteri
Chlamidya trachomatis, berukuran sferis, tidak bergerak, dan merupakan
parasit intrasel obligat. (Sarwono, 2012)
2) Epidemiologi
Prevalensi infeksi chlamidya pada serviks wanita hamil berkisar
antara 2-37%. (Sarwono, 2012)
3) Gejala klinis
Penjalaran chlamidya trachomatis pada saluran urogenital dimulai
dari serviks ataupun uretra keatas, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
bartholinitis, endoservisitis, sindroma uretral akut, endometritis, dan
penyakit radang pelvic yang dapat mengakibatkan infertilitas. (Sarwono,
2012)
4) Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi chlamidya dalam kehamilan senantiasa perlu
memperhatikan kemungkinan infeksi campuran dengan gonorea. Bila
sarana diagnostic tidak ada, kasus dengan risiko tinggi perlu mendapat
pengobatan dengan eritromichyn 500 mg secara oral 4 kali sehari selama 7
hari atau 250 mg per oral 4 kali sehari selama 14 hari. Bila terdapat

19

intoleransi terhadap eritromichin, dapat diberi amoxicillin 500 mg 3 kali


sehari secara oral selama 7 hari. (Sarwono, 2012)

II.3. Infeksi Protozoa pada Ibu Hamil


A. Toxoplasma
1) Definisi
Toxoplasma disebabkan oleh infeksi oleh Toxoplasma gondii yang
ditularkan melalui bentuk kista. (Williams, 2005)
2) Epidemiologi
Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa sebanyak 1530% wanita hamil memiliki antibody terhadap T.gondii dan pernah
terinfeksi. Studi lain menunjukkan bahwa angka kejadian toxoplasmosis
primer pada seorang wanita hamil, harus selalu dihubungkan dengan
endemitas penyakit tersebut di populasi. Karena skrining yang dilakukan
pada daerah dengan endemisitas rendah adalah bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi saat hamil. Sedangkan skrining yang
dilakukan pada daerah dengan endemisitas tinggi bertujuan untuk
memberikan pengobatan. Sayangnya sampai saat ini data resmi di
Indonesia atau di Jakarta belum ada. (Purwita, 2008)
Seorang anak yang lahir dari ibu dengan infeksi primer
Toxoplasma memiliki risiko mengalami penurunan intelejensi dan tuli
sensorik sebesar 10%. Secara umum kejadian toxoplasma kongenital
berat nampak sejak lahir pada kurang lebih 1 dari setiap 10.000
kelahiran. (Purwita, 2008)
3) Patogenesis
Transmisi Toxoplasma ke manusia dapat melalui 3 rute, yaitu
pertama melalui makanan, makanan daging yang tidak dimasak dengan
matang sehingga mengandung kista toksoplasma, cara kedua akibat

20

terhirup atau termakan kista dari kotoran hewan seperti kucing yang ada
di tanah, memakan buah atau sayuran yang tercemar atau dari tanah yang
mengandung kista toksoplasma. Pada tanah yang lembab, kista ini dapat
bertahan dan bersifat infeksius sampai dengan 1 tahun. Cara ketiga
adalah melalui plasenta ibu ke janin, bias terjadi apabila infeksi primer
terjadi saat hamil. Penularan melalui transfuse jarang didapatkan
walaupun biasa terjadi. (Purwita, 2008)
Parasit T.gondii bersifat intraseluler, dapat menginfeksi burung
dan mamalia. Terdapat 2 tahapan infeksi, pertama adalah yang terjadi
pada host peranta (intermedieate) di mana bradizoit atau ookista sponula
termakan dan berubah menjadi takizoit pada host intermedieate ini
(manusia, tikus, sapi, dan burung). Takizoit akan dieliminasi oleh tubuh
melalui sistem imun humoral dan seluler. Tahapan infeksi paling penting
terjadi pada tubuh kucing sebagai host definitif. (Purwita, 2008)
4) Penatalaksanaan
Terapi untuk toksoplasmosis pada wanita hamil diberikan jika
terdapat gejala klinis dan hasil uji serologi IgM spesifik terhadap
T.gondii positif. Pada saat hamil, spiramisin diberikan dengan dosis 3
gram perhari dibagi 3-4 dosis selama 3-4 minggu sampai usia kehamilan
mencapai 18 minggu. Karena obat ini tidak melalui sawar plasenta maka
apabila telah didapatkan tanda infeksi pada janin maka harus
dipertimbangkan permberian sulfadiazine. Setelah 18 minggu kehamilan
terapi yang dapat diberikan adalah pirimetamin 2x50 mg oral setiap 2
hari dikombinasi sulfadiazine 75mg/kbBB/hari 4 kali sehari sampai
dengan persalinan. Sebagai tambahan, dapat diberikan asam folinik intra
muscular atau oral 3 kali seminggu, mengingat pirimetamin merupakan
antagonis asam folinik. Namun demikian terapi yang tersedia adalah
asam folat dengan dosis 1x 15mg per hari setiap 3 hari. [julianto
wicaksono]. Protocol terapi tersebut dapat dilanjutkan sampai beberapa
bulan jika gejala yang timbul berat. (Purwita, 2008)
5) Pencegahan

21

Pencegahan infeksi T.gondii dapat dilakukan dengan beberapa


jalan, antara lain :
a. Mencuci buah dan sayuran yang akan dikonsumsi dengan baik.
b. Mencuci tangan dan peralatan makan setelah kontaak dengan sayuran
yang tidak dicuci atau daging yang tidak dimasak dengan baik.
c. Hindari kontak langsung dengan tanah dan pasir.
d. Jangan mengkonsumsi daging mentah dan susu yang tidak
dipasteurisasi.
e. Pengolahan daging yang baik ialah apabila suhu di bagian tengah
irisan daging mencapai 800C. (Purwita, 2008)

Anda mungkin juga menyukai