Proposal
diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
SUBHAN HADI KUSUMA
1206103010010
kebiasaan
tersebut
adalah
hiperkolesterolemia.
Hiperkolesterolemia
merupakan
poly-beta-1,4-N-acetylglucosamine
(GlcNAc)
yang
diperbarui dan polimer terbanyak setelah selulosa. Struktur kimia kitin mirip dengan
selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa
gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah
gugus asetamida (Muzzarelli, 1985 dalam Hargono, 2008:54).
Kulit kepiting mengandung kitin paling tinggi (70%) dari bangsa krustasea.
Kitin telah banyak digunakan untuk penjernihan air, kosmetika, pengobatan serta
feed additive. Aktivitas kitin sebagai feed additive meningkatkan kualitas makanan
terkait dengan komponen fungsional, selain mampu menurunkan kolesterol karena
bersifat hipokolesterolamik (Warsono, 2004:56). Kitin merupakan senyawa yang
tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan dapat menurunkan kadar kolesterol.
Senyawa kitin sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer glukosa, namun
dapat mengikat racun dan glukosa didalam tubuh. Glukosa yang terdapat pada
kitin tidak berubah menjadi glukosa darah sehingga tidak menambah produksi
kolesterol. Kitin mampu menurunkan absorbsi kolesterol lebih efektif daripada
selulosa
digesti dan absorpsi lemak dalam traktus intestinal berinteraksi dengan pembentukan
misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbsi (Suryaningsih, 2006:63).
Indonesia merupakan negara maritim kaya akan bahan baku kitin yang
banyak terdapat dalam kulit udang, kulit kepiting, dan cumi-cumi yang akan
menjadi bahan baku alam yang sangat potensial dalam produksi kitin dan kitosan.
Pemanfaatan
kepiting
umumnya
baru terbatas
untuk
keperluan
makanan,
dibuang,
padahal cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang cukup tinggi yaitu,
sekitar 20-30 % berat kulit keringnya. Sedangkan kulit kepiting sendiri merupakan
limbah pengalengan kepiting yang belum
diolah
secara
maksimal (Hendri,
2008:271). Karena itu, perlu dimanfaatkan limbah tersebut, salah satunya dengan
cara mengekstraksi kitin dalam mereduksi kadar kolesterol pada lemak hewani
terutama lemak sapi.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka penulis
melakukan penelitian dengan judul Kemampuan Kitin dari Limbah Cangkang
Kepiting Bakau dalam Menurunkan Kadar Kolesterol pada Lemak Sapi.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Apakah kitin dari cangkang
kepiting bakau berpotensi terhadap penurunan kadar kolesterol pada lemak sapi?.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui kemampuan kitin dari
limbah cangkang kepiting bakau dalam menurunkan kadar kolesterol pada lemak
sapi.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai
alternatif
penyelesaian
dalam
memecahkan
masalah
hiperkolesterolemia.
2. Sebagai informasi bagi para masyarakat tentang pemanfaatan limbah
cangkang
kepiting
yang
mampu
menjadi
solusi
permasalahan
5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya kemampuan kitin dari limbah
cangkang kepiting bakau dalam menurunkan kadar kolesterol pada lemak sapi.
7. Definisi Istilah
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penulisan maka perlu
dirumuskan definisi istilah yaitu:
1
Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar mampu. Kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
2
8. Landasan Teoritis
8.1 Kepiting Bakau
Kepiting bakau merupakan salah satu spesies yang dominan di ekosistem
mangrove. Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam
subfamili yaitu Carcinae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Phodopthalminae dan
Portuninae. Ada 234 jenis yang tergolong dalam famili Portunidae di wilayah Indo
pasifik barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam kelompok
kepiting perenang, karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan dapat
digunakan untuk berenang. Kepiting bakau genus Scylla dinamakan demikian karena
banyak ditemukan di wilayah hutan bakau/mangrove (Syafitri, 2014: 7).
Kepiting bakau ditutupi oleh karapakas yaitu kulit yang terdiri atas kitin
bercampur bahan baku yang telah mengeras. Karapaks berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang
kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Karim, 1998
dalam Wijaya, 2011: 17)
Kepiting Bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove
dan memanfaatkan ekositem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni
sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran, kepiting Bakau
melangsungkan perkawinan juga diperairan hutan mangrove, Demikian pula dengan
juvenile kepiting Bakau yang bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsurangsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia, 2008: 60).
kitosan
meliputi
tahap,
yaitu
biologi, tidak beracun, mempunyai berat molekul rata-rata diatas 120.000, tidak
pada pH 6,5 (Budiyanto, 1993).
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk
molekul, menahan komponen dari material yang mempunyai ukuran lebih besar
daripada pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran
lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran, selain berfungsi sebagai sarana
pemisahan juga berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu laruta
yang dilewatkan pada membran tersebut (Agustina dkk., 2005). Dalam beberapa
dekade terakhir, kitosan banyak digunakan dalam pembuatan membran, walaupun
dari segi proses pembuatan membran kitosan relatif lebih sederhana dan
membutuhkan waktu yang relatif singkat. Namun, membran yang berbahan kitosan
saja akan menghasilkan membran yang tidak berpori. Salah satu membran yang
dikembangkan adalah membran kitosan-silika (Afif, 2012).
10
berpindah ke biota laut lain. Merkuri anorganik (HgCl) akan berubah menjadi
merkuri organik (metil merkuri) oleh peran mikroorganisme yang terjadi pada
sedimen dasar perairan. Merkuri organik sangat beracun dan bersift bioakumulatif
(Widodo, 2008 dalam Fitri, 2010: 3).
Merkuri dapat masuk kedalam tubuh individu melalui makanan atau
minuman, pernafasan, dan kontak langsung melalui kulit. Keracunan merkuri terjadi
karena merkuri teroksidasi atau terikat dengan sulfida. Uap merkuri cepat teroksidasi
ketika bernafas sehingga dalam dosis berlebihan akan menimbulkan keracunan
(Syafitri, 2014: 16)
9. Metode Penelitian
9.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen pola
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 kali ulangan
dengan lamanya waktu kontak terhadap membran kitosan dengan taraf 30 menit, 60
menit, 90 menit dan 120 menit.
11
9.3.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cangkang, air yang
tercemar merkuri, kertas saring (Waltmant), NaOH 2% dan 50%, aquadest, HCl,
CH3COOH 2%, tertaetil ortosilikat (TEOS), etanol.
9.3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ayakan (ukuran 80
mesh), refluks, oven (memmerth), AAS (Shimadzhu AA-6300), hot plate stirer,
magnetik stirer, termometer, pengaduk, alat tulis, neraca listrik, ball mill (pulverisette
6), pH indikator (merck), alat uji dead end.
12
13
dituangkan ke dalam cetakan cawan petri dan dikeringkan pada suhu kamar hingga
diperoleh kitosan-silika kering. Untuk melepas membran dari cetakan, diperlukan
perendaman dengan menggunakan NaOH 1% . Membran yang diperoleh selanjutnya
dibilas dengan aquadest hingga netral (Yunianti, 2012).
14
R=1
Cp
100
Cf
Dimana,
R = Koofesien rejeksi (%)
Cp = Konsentrasi zat terlarut dalam permeat,
Cf = Konsentrasi zat terlarut dalam umpan
(Kusumawati, 2012 :43-52)
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Sagita. 2012. Modifikasi Membran Kitosan-Silika-Cu Sebagai Filter dan
Adsorben Urea. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 3: 106-116
Agung, L. 2012. Paparan Merkuri di Daerah Pertambangan Emas Rakyat Cisoka
Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Makalah Ilmiah. Vol. 7 No. 3
Agustina, et al. 2005. Penggunaan Teknologi Membran Pada Pengolahan Air
Limbah Indutri Kelapa Sawit
15
16