Anda di halaman 1dari 17

KEMAMPUAN KITIN DARI LIMBAH CANGKANG KEPITING BAKAU

DALAM MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL PADA LEMAK SAPI

Proposal
diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:
SUBHAN HADI KUSUMA
1206103010010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2015

KEMAMPUAN KITIN DARI LIMBAH CANGKANG KEPITING BAKAU


DALAM MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL PADA LEMAK SAPI
1. Latar Belakang
Kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi produk hewani yang berlebihan
merupakan kebiasaan yang buruk. Terlebih lagi, masyarakat Aceh yang sering
melakukan kegiatan meugang setiap hari-hari besar menjadikan kebiasaan yang
berdampak buruk bagi kesehatan. Hal ini dikarenakan, produk-produk hewani
khususnya daging sapi memiliki kadar lemak yang sangat tinggi. Jika tidak diiringi
dengan olahraga yang cukup serta pola makan yang baik akan mengakibatkan
munculnya timbunan lemak dalam tubuh terutama kolesterol. Salah satu penyakit
akibat

kebiasaan

tersebut

adalah

hiperkolesterolemia.

Hiperkolesterolemia

merupakan kondisi fisik yang menunjukkan adanya kenaikan kadar kolesterol di


dalam darah (Martati, 2008:158). Hiperkolesterolemia menyebabkan aterosklerosis
dan faktor utama untuk penyakit kardiovaskular seperti jantung koroner (Park,
2010:1457). Karena itu, perlu dicarikan pemecahan dengan pendekatan ke arah
pencegahan dan peningkatan kualitas hidup. Salah satu senyawa yang dapat
mereduksi kadar kolesterol adalah senyawa kitin.
Kitin

merupakan

poly-beta-1,4-N-acetylglucosamine

(GlcNAc)

yang

merupakan komponen utama eksoskeleton artropoda, seperti kepiting dan udang


(Khoushab, 2010:1989).

Kitin juga merupakan sumberdaya alam yang dapat

diperbarui dan polimer terbanyak setelah selulosa. Struktur kimia kitin mirip dengan
selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa

gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah
gugus asetamida (Muzzarelli, 1985 dalam Hargono, 2008:54).
Kulit kepiting mengandung kitin paling tinggi (70%) dari bangsa krustasea.
Kitin telah banyak digunakan untuk penjernihan air, kosmetika, pengobatan serta
feed additive. Aktivitas kitin sebagai feed additive meningkatkan kualitas makanan
terkait dengan komponen fungsional, selain mampu menurunkan kolesterol karena
bersifat hipokolesterolamik (Warsono, 2004:56). Kitin merupakan senyawa yang
tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan dapat menurunkan kadar kolesterol.
Senyawa kitin sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer glukosa, namun
dapat mengikat racun dan glukosa didalam tubuh. Glukosa yang terdapat pada
kitin tidak berubah menjadi glukosa darah sehingga tidak menambah produksi
kolesterol. Kitin mampu menurunkan absorbsi kolesterol lebih efektif daripada
selulosa

dan mempunyai potensi sebagai hipokolesterolemik yang tinggi serta

digesti dan absorpsi lemak dalam traktus intestinal berinteraksi dengan pembentukan
misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbsi (Suryaningsih, 2006:63).
Indonesia merupakan negara maritim kaya akan bahan baku kitin yang
banyak terdapat dalam kulit udang, kulit kepiting, dan cumi-cumi yang akan
menjadi bahan baku alam yang sangat potensial dalam produksi kitin dan kitosan.
Pemanfaatan

kepiting

umumnya

baru terbatas

untuk

keperluan

biasanya hanya dagingnya saja yang diambil sedangkan cangkangnya

makanan,
dibuang,

padahal cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang cukup tinggi yaitu,
sekitar 20-30 % berat kulit keringnya. Sedangkan kulit kepiting sendiri merupakan
limbah pengalengan kepiting yang belum

diolah

secara

maksimal (Hendri,

2008:271). Karena itu, perlu dimanfaatkan limbah tersebut, salah satunya dengan
cara mengekstraksi kitin dalam mereduksi kadar kolesterol pada lemak hewani
terutama lemak sapi.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka penulis
melakukan penelitian dengan judul Kemampuan Kitin dari Limbah Cangkang
Kepiting Bakau dalam Menurunkan Kadar Kolesterol pada Lemak Sapi.

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Apakah kitin dari cangkang
kepiting bakau berpotensi terhadap penurunan kadar kolesterol pada lemak sapi?.

3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui kemampuan kitin dari
limbah cangkang kepiting bakau dalam menurunkan kadar kolesterol pada lemak
sapi.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai

alternatif

penyelesaian

dalam

memecahkan

masalah

hiperkolesterolemia.
2. Sebagai informasi bagi para masyarakat tentang pemanfaatan limbah
cangkang

kepiting

yang

mampu

menjadi

solusi

hiperkolesterolemia yang berdampak buruk bagi kesehatan.

permasalahan

3. Sebagai informasi bagi penelitian di masa mendatang untuk solusi


penurunan kolesterol yang lebih efektif.

5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya kemampuan kitin dari limbah
cangkang kepiting bakau dalam menurunkan kadar kolesterol pada lemak sapi.

6. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini meliputi Biokimia, Gizi dan Kesehatan, Struktur
Hewan, dan Fisiologi Hewan.

7. Definisi Istilah
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penulisan maka perlu
dirumuskan definisi istilah yaitu:
1
Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar mampu. Kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
2

kemampuan kitin dalam menurunkan kadar kolesterol lemak sapi


Kitin merupakan poly-beta-1,4-N-acetylglucosamine (GlcNAc) yang
merupakan komponen utama eksoskeleton artropoda, seperti kepiting
dan udang (Khoushab, 2010:1989). Kitin dalam penelitian ini diambil

dari limbah cangkang kepiting bakau Scylla spp.


Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan salah satu jenis kepiting dari
famili Portunidae yang hidup di perairan pantai yang ditumbuhi
mangrove (Wjijaya, 2011:15). Kepiting bakau dalam penelitian ini

diperoleh dari nelayan kepiting di daerah ekosistem mangrove,


4

Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.


Kolesterol adalah steroid paling melimpah dalam tubuh hewan. Banyak
steroid dalam jumlah kecil bertindak sebagai hormon pada hewan.
Kolesterol plasma terikat pada lipoprotein (Wilibraham, 1992:426).
Sumber Kolesterol dalam penelitian ini yaitu kolesterol pada lemak sapi
(gajih).

8. Landasan Teoritis
8.1 Kepiting Bakau
Kepiting bakau merupakan salah satu spesies yang dominan di ekosistem
mangrove. Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam
subfamili yaitu Carcinae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Phodopthalminae dan
Portuninae. Ada 234 jenis yang tergolong dalam famili Portunidae di wilayah Indo
pasifik barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam kelompok
kepiting perenang, karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan dapat
digunakan untuk berenang. Kepiting bakau genus Scylla dinamakan demikian karena
banyak ditemukan di wilayah hutan bakau/mangrove (Syafitri, 2014: 7).
Kepiting bakau ditutupi oleh karapakas yaitu kulit yang terdiri atas kitin
bercampur bahan baku yang telah mengeras. Karapaks berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang
kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Karim, 1998
dalam Wijaya, 2011: 17)
Kepiting Bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove
dan memanfaatkan ekositem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni
sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran, kepiting Bakau
melangsungkan perkawinan juga diperairan hutan mangrove, Demikian pula dengan

juvenile kepiting Bakau yang bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsurangsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia, 2008: 60).

8.2 Kitin, Kitosan dan Membran Kitosan


Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer N-asetil-D-glukosamin yang saling
berikatan dengan ikatan (14). Kitin adalah Kristal amorphous bewarna putih,
tidak berasa , tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air, pelarut organik
umumnya, asam organik dan basa encer. Sumber kitin yang sangat potensial adalah
kerangka luar crustacean (seperti udang, kepiting, rajungan, dan lobster), serangga,
dinding yeast dan jamur, serta mollusca (Muzzarelli, 2011c). Di alam, kitin
merupakan senyawa yang tidak berdiri sendiri tetapi bergabung dengan senyawa
lain. Pada crustacea, kitin bergabung dengan protein, garam anorganik (CaCO3),
dan pigmen (Suhardi, 1992).
Kulit kepiting mengandung protein (15,60%-23,90%), kalsium karbonat
(53,70%-78,40%) dan kitin (18,70%-32,20%), sedangkan kulit udang mengandung
protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan kitin (15%-20%) (Syafitri,
2014 :13). Menurut Suhardi, 1992 dalam Yunita dan Sanjaya, 2007: 31, kandungan
kitin dalam cangkang kepiting sekitar 71,4%.
Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari
proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan bersifat sebagai
polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali dengan pH di atas 6,5.
Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan
asam sitrat (Mekawati dkk, 2000).

Secara umum proses pembuatan

kitosan

meliputi

tahap,

yaitu

deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan


mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan
yang cukup. Proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral
(CaCO3) dengan menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan
kitin, sedangkan proses deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil
dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi
(Yunizal dkk., 2001). Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dengan NaOH dapat
dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 8.1 Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dengan NaOH


Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan
menyebabkan lepasnya gugus asetil dari molekul kitin. Gugus amida pada kitin akan
berikatan akan berikatan dengan gugus amina bebas NH 2 (Mekawati dkk., 2000).
Dengan adanya gugus ini kitosan dapat mengadsorpsi ion logam dengan membentuk
senyawa kompleks (khelat). Kitosan bersifat mudah mengalami degradasi secara

biologi, tidak beracun, mempunyai berat molekul rata-rata diatas 120.000, tidak
pada pH 6,5 (Budiyanto, 1993).
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk
molekul, menahan komponen dari material yang mempunyai ukuran lebih besar
daripada pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran
lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran, selain berfungsi sebagai sarana
pemisahan juga berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu laruta
yang dilewatkan pada membran tersebut (Agustina dkk., 2005). Dalam beberapa
dekade terakhir, kitosan banyak digunakan dalam pembuatan membran, walaupun
dari segi proses pembuatan membran kitosan relatif lebih sederhana dan
membutuhkan waktu yang relatif singkat. Namun, membran yang berbahan kitosan
saja akan menghasilkan membran yang tidak berpori. Salah satu membran yang
dikembangkan adalah membran kitosan-silika (Afif, 2012).

8.3 Logam Merkuri


Merkuri atau Hydragyrum (Hg) merupakan jenis logam berat yang berbentuk
cair pada temperatur kamar, bewarna putih-keperakan. Merkuri membeku pada
temperatur -38,9oC dan mendidih pada temperatur 357oC (Setiabudi, 2005 dalam
Fitri, 2010: 3).
Secara alamiah, pencemaran Hg berasal dari kegiatan gunung api atau
rembesan air tanah yang melewati deposit Hg. Apabila masuk ke dalam perairan,
merkuri mudah ber-ikatan dengan klor yang ada dalam air laut dan membentuk
ikatan HgCl.Dalam bentuk ini, Hg mudah masuk ke dalam plankton dan bisa

10

berpindah ke biota laut lain. Merkuri anorganik (HgCl) akan berubah menjadi
merkuri organik (metil merkuri) oleh peran mikroorganisme yang terjadi pada
sedimen dasar perairan. Merkuri organik sangat beracun dan bersift bioakumulatif
(Widodo, 2008 dalam Fitri, 2010: 3).
Merkuri dapat masuk kedalam tubuh individu melalui makanan atau
minuman, pernafasan, dan kontak langsung melalui kulit. Keracunan merkuri terjadi
karena merkuri teroksidasi atau terikat dengan sulfida. Uap merkuri cepat teroksidasi
ketika bernafas sehingga dalam dosis berlebihan akan menimbulkan keracunan
(Syafitri, 2014: 16)

9. Metode Penelitian
9.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen pola
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 kali ulangan
dengan lamanya waktu kontak terhadap membran kitosan dengan taraf 30 menit, 60
menit, 90 menit dan 120 menit.

9.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium FKIP Kimia dan Biologi Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai tanggalbulan
2014.

9.3 Bahan dan Alat Penelitian

11

9.3.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cangkang, air yang
tercemar merkuri, kertas saring (Waltmant), NaOH 2% dan 50%, aquadest, HCl,
CH3COOH 2%, tertaetil ortosilikat (TEOS), etanol.

9.3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ayakan (ukuran 80
mesh), refluks, oven (memmerth), AAS (Shimadzhu AA-6300), hot plate stirer,
magnetik stirer, termometer, pengaduk, alat tulis, neraca listrik, ball mill (pulverisette
6), pH indikator (merck), alat uji dead end.

9.4 Prosedur Penelitian


Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap isolasi
kitin dari cangkang kepiting bakau, tahap pembuatan membran kitosan-silika, dan
tahap uji air yang tercemar merkuri dengan mebran kitosan-silika.

9.4.1 Isolasi kitin dari Cangkang Kepiting Bakau


Pada tahap isolasi kitin dari cangkang kepiting bakau, cangkang kepiting
dihaluskan dengan menggunakan Ball Mill selama 30 menit dengan kecepatan sudut
450 rpm, lalu serbuk yang dihasilkan diayak menggunakan ayakan 80 mesh. Proses
pemurinian kitin yang berasal dari serbuk limbah cangkang kepiting selanjutya
melalui tahap deproteinasi dan dimenarilisasi. Proses deproteinasi dilakukan dengan

12

ditambahkan NaOH 1M 3% dengan perbandingan 1:6 (b/v) untuk menghilangkan


protein dan lemak dari kitin. Kemudian dipanaskan pada suhu 65 oC selama 4 jam.
Dicuci sampel tersebut sampai pH netral dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam
pada suhu 80oC. Pada Proses demineralisasi dilakukan penambahan HCl 1M 2%
pada serbuk hasil deproteinasi dengan perbandingan 1:10 (b/v) untuk menghilangkan
garam anorganik atau mineral dari kitin, terutama CaCO3. Dipanaskan pada suhu
65oC selama 1 jam. Lalu dikeringkan pada suhu 85oC selama 24 jam (Yunianti, 2014:
25).

9.4.2 Proses Pembuatan Membran Kitosan-Silika


Pada tahap pembuatan membran kitosan, terlebih dahulu kitin yang sudah
dihasilkan dilakukan proses deasetilasi dengan penambahan NaOH 50% dengan
perbandingan 1:20 (b/v) pada suhu 120oC selama 120 menit. Selanjutnya dilakukan
pencucian dengan aquadest hingga pH netral. Setelah itu dikeringkan pada suhu
80oC selama 24 jam. Setelah dihasilkan kitosan, maka untuk pembuatan membran
kitosan yang dalam penelitian ini adalah pembuatan membran kitosan-silika, maka
sebanyak 1gr kitosan dilarutkan dalam 100ml CH3COOH 2% dan distirer selama 1
jam (larutan kitosan 1%) . Selanjutnya pembuatan sol silika dengan cara 3, 34 ml
TEOS 0,004 M ditambahkan 15 ml etanol, kemudian dengan gelas kimia lain 10 ml
etanol ditambahkan dengan 25 ml HCl 0,03 M kemudian ditambahkan larutan diatas
secara perlahan-lahan , diaduk dan distirer selama 24 jam (sol silika). Selanjutnya sol
silika ditambakan pada larutan kitosan silika 1:1 (b/v). larutan diaduk menggunakan
magnetik stirrer selama 30 menit. Larutan yang telah homogen selanjutnya

13

dituangkan ke dalam cetakan cawan petri dan dikeringkan pada suhu kamar hingga
diperoleh kitosan-silika kering. Untuk melepas membran dari cetakan, diperlukan
perendaman dengan menggunakan NaOH 1% . Membran yang diperoleh selanjutnya
dibilas dengan aquadest hingga netral (Yunianti, 2012).

9.4.3 Uji Efektifitas Membran Kitosan


Pada tahap filtrasi air yang tercemar logam merkuri dilakukan dengan alat uji
dead end. Membran yang akan diuji dipotong berbentuk lingkaran Kemudian
membran diletakkan dibagian bawah alat penguji yang telah dilapisi kertas saring.
Air yang telah tercemar oleh merkuri sebanyak 50 ml dimasukkan kedalam alat,
ditutup rapat dan kemudian dialirkan pada tekanan 1 atm. Larutan yang disaring
akan diuji menggunakan Spektrofometri Serapan Atom (SSA) dan spektrofotometer
UV-Visible.

9.6 Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan ANOVA (Analysis of
Varian) satu arah. Untuk mengetahui konsentrasi logam merkuri setelah dilewatkan
membran, dilakukan pengukuran nilai absorbansi dengan menggunakan instrumen
spektrofotometer UV-Visible. Nilai absorbansi yang diperoleh dimasukkan pada
persamaan regresi dari kurva kalibrasi, untuk selanjutnya dapat dihitung koefisien
rejeksinya. Koefisien rejeksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

14

R=1

Cp
100
Cf

Dimana,
R = Koofesien rejeksi (%)
Cp = Konsentrasi zat terlarut dalam permeat,
Cf = Konsentrasi zat terlarut dalam umpan
(Kusumawati, 2012 :43-52)

DAFTAR PUSTAKA
Afif, Sagita. 2012. Modifikasi Membran Kitosan-Silika-Cu Sebagai Filter dan
Adsorben Urea. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 3: 106-116
Agung, L. 2012. Paparan Merkuri di Daerah Pertambangan Emas Rakyat Cisoka
Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Makalah Ilmiah. Vol. 7 No. 3
Agustina, et al. 2005. Penggunaan Teknologi Membran Pada Pengolahan Air
Limbah Indutri Kelapa Sawit

15

Aprilia, Sri. 2006. Pembuatan Membran Komposit Khitosan-Selulosa dari Limbah


Kulit Kepala Udang. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 5: 28-35
Budiyanto, D. 1993. Teknologi Khitin dan Khitosan. Direktorat Jenderal Perikanan:
Jakarta
Firdani, Andika. 2011. Pengembangan Model Rancangan Set Alat Filtrasi dengan
Media Filter Membran Kitosan-Glutaraldehida. Jurnal Sains dan
Teknologi Kimia. 2: 69-77
Fittri, Y. 2010. Pengaruh Limbah Merkuri Penggilingan Bijih Emas di Kawasan
Krueng Sabee Terhadap Perkembangan Tikus (Rattus wistar) Pranatal.
Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala
Mekawati, dkk. 2000. Aplikasi Kitosan Hasil Transformasi Kitin Limbah Udang
(Penaeus merguensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains dan
Matematika. 8: 51-54
Muzzarelli, R. A. A. 2011. Potential of Chitin/Chitosan-Bearing Materials for
Uranium Recovery. Carbohydrate Polymers 84. Science Direct Journal.
Rahayu, L. H. Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Limbah Cangkang Ranjungan
(Portunus pelagicus) Untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor. 11:
45-49
Siahainenia, Laura. 2013. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Suhardi. 1992. Kitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM
Yogyakarta
Syafitri, Resa. 2014. Kemampuan Kitin dari Limbah Cangkang Kepiting Bakau
Genus Scylla dalam Pengikatan Merkuri (Hg) di Perairan Krueng Sikulat
Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan. Skripsi. Banda Aceh:
Universitas Syiah Kuala
Widodowati, W. 2008. Efek Toksik Logam Pencegahan Dan Penanggulangan
Pencemaran. Yogyakarta: Andi Offset
Yunianti, Shofiyah. 2012. Pemanfaatan Membran Kitosan-Silika untuk Menurunkan
Kadar Ion Logam Pb(II) dalam Larutan. UNESA Journal of Chemistry.
1:108-115
Yusnizal, dkk. 2001. Ekstraksi Khitosan dan Kepala Udang Putih (Penaeus
merguensis). J. Agric. 3: 113-117

16

Anda mungkin juga menyukai