DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
Latar Belakang.................................................................................................... 1
Identifikasi Masalah............................................................................................ 12
Tujuan dan Kegunaan......................................................................................... 14
Metode Penelitian................................................................................................ 15
Kajian Teoritis......................................................................................................... 16
Kajian terhadap prinsip yang terkait dengan penyusunan norma................ 28
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,
Serta permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas di masyarakat..31
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur
dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas dalam
aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta
dampaknya terhadap beban keuangan negara.................................................. 35
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai peradaban
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Bangsa Indonesia senantiasa menempatkan penghormatan
terhadap harkat dan martabat manusia dalam segala aspek berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa hak
asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
setiap manusia tidak terkecuali para penyandang disabilitas. Hak tersebut
bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dihalangi, apalagi
dicabut atau dihilangkan oleh siapa pun termasuk Negara. Hak Asasi Manusia
dalam segala keadaan, wajib dilindungi, dihormati, dan dijunjung tinggi tidak
hanya oleh negara tetapi semua elemen bangsa termasuk pemerintah hingga
masyarakat. Dengan pemahaman seperti ini, maka perlindungan, pemajuan
dan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara dari kalangan
penyandang disabilitas harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
Hal ini perlu dilakukan oleh karena penyandang disabilitas sebagai warga
negara yang mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik
dalam waktu lama yang dalam berinteraksi dilingkungan sosialnya,
berhadapan dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasi
mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan pada asas
kesetaraan dengan warga Negara pada umumnya. Sebagai bagian dari umat
manusia dan warga Negara Indonesia, maka penyandang disabilitas secara
konstitusional mempunyai hak dan kedudukan, yang sama di depan hukum
dan pemerintahan. Oleh karena itu, peningkatan peran serta pemajuan,
pemenuhan
hak
dan
kewajiban
para
penyandang
disabilitas
dalam
perundang-undangan
lainnya,
memang
telah
dilembagakan
Saharuddin Daming. 2013. Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Hal 3-
4
3
penghalang
atau
perintang
baginya
untuk
mengukir
dan
seperti itu bukan saja ditampakkan oleh kalangan awam tetapi justru sering
muncul dari kalangan decision maker, kaum intelektual termasuk dari para
agamawan sendiri. Tidak heran jika sebahagian besar penyandang disabilitas
masih termarginalisasi diemper-emper kehidupan, sosial, ekonomi dan politik,
sebagai kelompok masyarakat terbelakang dan hidup di bawah garis
kemiskinan.
Fenomena
komunitas
penyandang
disabilitas
yang
dalam
proses
pendidikan formal, hingga saat ini masih harus terisolasi dalam lembaga
khusus yang disebut sekolah luar biasa. Demikian pula bursa kerja dari
instansi pemerintah maupun swasta sejak dulu sampai sekarang selalu dapat
mengeliminasi hak penyandang disabilitas untuk memproleh akses dalam
dunia kerja hanya dengan alasan bahwa penyandang disabilitas diasumsikan
sebagai tidak sehat secara jasmani. Bahkan tidak kalah kejamnya adalah karena
persoalan kerentanan dan keterbelakangan penyandang disabilitas serta upaya
pemberdayaannya sampai saat ini, memang belum pernah menjadi isu
strategis dalam program pemerintah. Isu advokasi dan pemberdayaan
penyandang disabilitas selalu menduduki urutan paling bawah dan dianggap
tidak penting dalam persfektif kebijakan negara.
Memperhatikan keadaan tersebut, sejumlah pihak diberbagai belahan
dunia terus berupaya membangkitkan kesadaran global tentang arti penting
perlembagaan perlindungan hak penyandang disabilitas. Mula-mula isu
perlindungan hak penyandang disabilitas disandingkan dengan konsep Hak
Asasi Manusia, karena bagaimanapun perlindungan hak penyandang
disabilitas, tentu tidak terlepas kaitannya dengan konsep Hak Asasi Manusia
(HAM) pada umumnya. Sebab ketika dunia mencoba merumuskan format
perlindungan Hak Asasi penyandang disabilitas, maka seluruh upaya ke arah
itu selalu bermuara pada postulat equal justice underlaw, equal opurtunity for all.
Hal tersebut sangat terasa pada saat dilangsungkannya beberapa
konferensi internasional tentang Hak Asasi penyandang disabilitas yang
diprakarsai oleh Dewan Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditahun
6
instrumen
yang
bersifat
spesifik
tentang
pengakuan
dan
anasir
diskriminasi
dan
ketidakadilan.
Tak
hanya
itu,
10
yuridis formal menurut Roscoe Pound, paling tidak mempunyai dua fungsi
utama yaitu a tool of social control and a tool of social engineering. Jadi eksistensi
CRPD dalam persfektif hukum dan HAM bagi penyandang disabilitas, harus
mampu menjadi sarana kontrol terhadap semua peraturan hukum maupun
kebijakan yang selama ini belum mengakomodasi perlindungan dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Kehidupan penyandang disabilitas dari alam keterpurukan menuju
taman sari kehidupan yang sejahtera mandiri dan bermartabat. Dalam hal ini,
CRPD dapat berperan aktif dalam bagian terpenting dari social change of agent
bagi restorasi paradigmatik kehidupan para penyandang disabilitas. Ditilik
dari dimensi human rights, upaya untuk mewujudkan penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana
tertuang dalam CRPD melekat pada tugas dan tanggungjawab negara maupun
masyarakat. Mereka adalah duty barier dengan tugas dan tanggungjawab
minimal yaitu obligation to respect, obligation to protect and obligation to fullfill for
rights person with disability (Pasal 8, Pasal 71 dan Pasal 72 UU No.39 tahun 1999
tentang HAM).
Apabila tugas dan tanggungjawab mereka tidak dipenuhi atau dipenuhi
tetapi tidak maksimal atau berbeda dari ekspektasi publik, maka itu berarti
negara atau masyarakat telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para
penyandang disabilitas. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 6 UU
No.39 tahun 1999 tentang HAM, merinci definisi tentang pelanggaran HAM
yang pada pokoknya terkonsentrasi pada 4 unsur utama yaitu pembatasan,
pengurangan,
penghalangan
atau
penghilangan
hak.
Dalam
hal
ini
11
urgensi
dan
relevansinya
antara
reformasi
hukum
tentang
Negara
sebagai
asosiasi
politik
dan
menjadi
wadah
untuk
mengakomodasi
12
tuntutan
perubahan
warga
Internasional
Indonesia
sebagai
tertuju
bagian
dari
pada
komitmen
masyarakat
Negara
Republik
Internasional
untuk
dan
Internasional,
Pendanaan,
Pembinaaan,
Pengawasan,
dari
upaya
penghormatan,
13
pemajuan,
perlindungan,
pembahasan
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Penyandang
Disabilitas.
D. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dengan menggunakan metode
yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan melalui studi pustaka
yang menelaah terutama data sekunder yang berupa Peraturan Perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum
lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya.
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Seiring dengan terjadinya perubahan yang sangat dinamis tentang
paradigma pemberdayaan masyarakat sipil dalam konteks Welfare State maka
pola penanganan juga mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).
Perubahan dimaksud mencakup pergeseran dari paradigma pelayanan dan
rehabilitasi (charity based) menjadi pendekatan berbasis hak (right based). Dalam
hal ini, penanganan penyandang disabilitas tidak hanya menyangkut pada
aspek kesejahteraan sosial sebagaimana yang menjadi ciri
undang-undang
16
17
18
satu unsur yang sering luput dari daftar masalah klasik dan strategis yang
potensial memicu terjadinya delegitimasi dan degradasi terhadap upaya
pemberdayaan dan pembangunan kemajuan kesejahteraan penyandang
disabilitas justru bersumber dari faktor kebahasaan atau peristilahan yang
mengidentifikasi keberadaan Penyandang Cacat dengan kata kunci yaitu
cacat.
Dalam konsep sosiolinguistik dipahami bahwa bahasa merupakan
instrumen utama bagi manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi,
bahkan bahasa menjadi simbol dalam mendeskripsikan harkat dan
martabat manusia. Singkat kata, bahasa tidak lain merupakan sarana untuk
memuliakan manusia itu sendiri karena melalui bahasa manusia saling
bahu membahu untuk mengukir peradaban moderen.
Sungguh hal yang sangat disesalkan karena paradigma pemuliaan
manusia melalui bahasa sebagaimana diuraikan di atas, justru bertolak
belakang dengan realitas penggunaan bahasa di Indonesia yang
mendeskripsikan orang yang mengalami disfungsi fisikal dan/atau
intelektual dengan sebutan Penyandang Cacat. Ditinjau dari sisi
pemaknaan apapun, istilah Cacat selalu berkonotasi destruktif. Tapi
anehnya istilah tersebut justru merupakan istilah umum dalam percakapan
sehari-hari bahkan terminologi Cacat sudah sejak lama dilembagakan
secara formal menjadi istilah baku dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Hal yang dikemukakan di atas, sungguh merupakan realitas sosial yang
telah mengkebiri bagian-bagian terpenting dari harkat dan martabat para
penyandang disabilitas. Betapa tidak karena pikiran dan sikap kita sangat
dipengaruhi oleh bahasa yang kita gunakan. Dalam hal ini, biasanya kita
cenderung menceburkan diri begitu saja ke kancah bahasa yang sudah
dipatenkan sebagai bahasa yang baik dan benar. Dengan begitu, kita juga
secara tak langsung mengadopsi pola pikir serta pola sikap yang mapan.
19
21
interaksinya
dengan
berbagai
hambatan
dapat
merintangi
asas
kesetaraan.
Dengan
demikian
maka
pemilihan
istilah
Penyandang
Cacat,
dapat
menjadi
modal
dasar
dalam
Saharuddin daming. 2011. Tantangan dan Peluang Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas Pasca Ratifikasi
CRPD. Hal. 5-9
22
Nomor
11
Tahun
2005
tentang
Pengesahan
telah
melengkapi
25
penerimaan
atas
Undang-undang
Saharuddin Daming. 2010. Kewajiban Negara Dalam Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas. Hal. 7-11
26
serta
mengedepankan
aspek
pemberdayaan
penyandang
B.
27
untuk memutuskan dan atau menentukan secara bebas segala apa yang
dianggap baik dan atau benar berdasarkan pikiran dan hati nuraninya
tanpa intervensi dalam bentuk apapun dan dari siapa pun.
c. Kemandirian;
Yang dimaksud dengan asas kemandirian adalah kemampuan
penyandang disabilitas untuk melangsungkan hidup tanpa bergantung
kepada belas kasihan orang lain.
d. Keadilan;
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah nilai kebaikan yang harus
terwujud
dalam
kehidupan
penyandang
disabilitas
berupa
dimaksud
menghilangkan
dengan
segala
asas
bentuk
inklusif
diskriminasi
adalah
kepada
kondisi
yang
penyandang
alasan
untuk
mendiskriminasi
siapa
pun
atas
dasar
kedisabilitasan.
i. Kesamaan hak dan kesempatan;
Yang dimaksud dengan asas kesamaan hak dan kesempatan adalah
keadaan yang mendudukkan penyandang disabilitas sebagai subjek
hukum yang bersifat penuh dan utuh disertai penciptaan iklim yang
kondusif berupa peluang yang seluas-luasnya untuk menikmati, berperan
dan berkontribusi dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
sebagaimana warga negara lainnya.
j.
k. Aksesibilitas;
Yang dimaksud dengan aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan
bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
29
l. Kesetaraan gender;
Yang dimaksud dengan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan
posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan
mengakses,
berpartisipasi,
mengontrol,
dan
memperoleh
manfaat
C.
menutupi
bila
memiliki
anggota
keluarga
disabilitas
sehingga
rendahnya
melakukan
upaya-upaya
penyandang
disabilitas
kemampuan
penyandang
pemenuhan
kebutuhan
memiliki
kemampuan
disabilitas
dasarnya
yang
untuk
sehingga
rendah
untuk
30
tersebut
pada
gilirannya
menyebabkan
Upaya
terkait
juga
karena
rendahnya
dukungan
keluarga
dan
disabilitas.
Hal
ini
menyebabkan
pemenuhan
hak-
hak
31
yang
memungkinkan
penyandang
disabilitas
mengakses
nilai
dan
terkoordinasi.
disabilitas
seharusnya
Dengan
demikian
terdapat
di
perwujudan
setiap
sektor
hak
karena
upaya
penghormatan,
pemajuan,
perlindungan,
pemberdayaan,
D.
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Undang-Undang
Penyandang
Disabilitas
dalam
aspek
kehidupan
ada
kekhawatiran
tentang
implikasi
pembiayaan.
Jika
proses
35
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Dalam naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang Penyandang
Disabilitas akan terkait dan bersesuaian dengan berbagai peraturan perundangundangan yang terkait dengan perwujudan hak penyandang disabilitas. Sesuai
dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditetapkan ketentuan bahwa jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Peraturan Presiden;
g. Peraturan Daerah Provinsi; dan
h. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan dimaksud,
maka berikut dipaparkan hasil inventarisasi sejumlah aturan hukum yang relevan
dengan perwujudan hak penyandang disabilitas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
36
A.
darah
Indonesia
dan
memajukan
kesejahteraan
umum,
37
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan,
penyandang
disabilitas
dalam
kegiatan
yang
bersifat
Tahun
1945:
setiap
orang
berhak
hidup
serta
berhak
penyandang disabilitas dalam arti yang seluas-luasnya dan sebenarbenarnya. Selain itu, dengan undang-undang baru tersebut, dapat berfungsi
sebagai instrumen strategis dalam melakukan harmonisasi terhadap
berbagai
peraturan
perundang-undang
sebelum
dan
sesudahnya
Nomor
4 Tahun
1997 Tentang
tidak
Pembangunan
pernah
menjadi
agenda
Jangka
Panjang
Nasional
urgen
dalam
(RPIPN)
dan
Rancangan
Rencana
telah
mengatur
secara
komprehensif
mengenai
hak-hak
Nomor
Tahun
1997,
6Nhamona.
dimana
upaya
yang
dilakukan
2012. Desak Revisi UU Penyandang Cacat. http://nhamona.wordpress.com/2012/05/04/desakrevisi-uu-penyandang-cacat/). Diakses 1 Februari 2013. Pukul 10.12 WIB.
41
gramatikal
upaya
pemerintah/masyarakat
yang
taraf
kesejahteraan
sosial,
tidak
untuk
mendapatkan
medis
dan
sosial,
pendidikan,
pelatihan
konsultasi,
penempatan
kerja,
dan
jenis
pelayanan
yang
mengembangkan
kapasitas
dan
memungkinkan
mereka
untuk
semua
keterampilan,
1945 senantiasa
asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang secara kodrati telah melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, wajib dilindungi, dihormati,
ditegakkan dan dipenuhi oleh negara, khususnya pemerintah maupun
penyelenggara lainnya. Menyadari kedudukan penyandang disabilitas
sebagai warga negara yang mempunyai kesamaan hak dan kesempatan
dengan
warga
negara
lainnya,
maka
pelembagaan
penghormatan,
7Isharyanto.
2010. Bahan Perkuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surakarta: Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
43
Ndis. 2012. Turunkan Penumpang Cacat, Komnas HAM Selidiki Dugaan Pelanggaran HAM oleh Garuda.
http://city.seruu.com/read/2012/09/19/119916/turunkan-penumpang-cacat-komnas-ham-selidiki-dugaanpelanggaran-ham-oleh-garuda . Diakses 5 Februari 2013. Pukul 06.58 WIB.
44
Undang
Nomor
Tahun
1997,
pengusaha/pemberi
kerja
wajib
45
PNS yang:
1. menurut
pendapat
pejabat
yang
berwenang
tidak
dapat
ketentuan
tersebut,
maka
Menkes
mengeluarkan
d. Kelainan-kelainan lain
Kelainan-kelainan kecil yang tidak mengganggu pekerjaan dan tidak
mempengaruhi kesehatan umum, dan yang menurut perkiraan tidak
akan memburuk (progresif) hingga seseorang, tidaklah mengurangi
syarat untuk dinyatakan baik kesehatannya kecuali jika kelainan tadi
ditemukan bersamaan hingga mengakibatkan ketidakcakapannya.
e. Pembagian perbedaan syarat kesehatan untuk pekerjaan berat dan
ringan.
Kecuali untuk pekerjaan tertentu yang ditentukan pula persyaratan
khusus dengan surat keputusan tersendiri oleh Menteri Kesehatan,
selain syarat kesehatan seperti tersebut di atas, diadakan pembagian
syarat kecakapan bagi pekerjaan berat dan sebagai berikut :
(1) Pekerjaan berat fisik
(a) Tulang belulang
Tidak ada kelainan yang mencolok pada tulang punggung,
kepala dan anggota dan anggota badan, bila ada cacat tidak lebih
dari 2 (dua) jari tangan.
(b) Otot
Tidak menunjukkan kelainan besar, tidak ada atrophi,
(c) berat badan
berat badan tidak kurang dari 20% dari berat badan ideal weight
standard, bila lebih sampai 50% di atas berat standar asalkan
tidak bersamaan dengan kelainan jantung, ginjal, atau pankreas.
(d) Paru-paru
Paru-paru sehat, jika pernah menderita penyakit tuberculosis
harus sudah dinyatakan sudah tenang secara klinis, radiologis
dan laboratories.
48
(e) Jantung
Jantung sehat, hanya diperbolehkan adanya systolic murmur
grade 1 tanpa kelainan organik.
(f) Tekanan darah
Tekanan darah yang disesuaikan dengan usianya
(g) Nadi
Denyut nadi/menit tidak lebih dari 90 dan 2 menit sehabis
gerakan jongkok berdiri sepuluh kali harus sudah kembali
kepada keadaan semula.
(h) Hati
Tidak menunjukkan kelainan fungsi, tidak ada pembesaran
(i) Limpa
Tidak ada pembesaran lebih dari S.1
(j) Tractus digestivus dan tractus urosentitalis. Tidak menunjukkan
kelainan kelainan/ gejala kronis.
(k) Hernia
Tidak terdapat suatu biatus hernia
(l) Laboratorium
Urine : Reduksi
: Negatif
Protein
: Negatif
Sedimen
: Normal
Darah : Hb minimal 11 g%
Lain-lain normal
(2) Pekerjaan fisik ringan
(a) Tulang belulang
49
kelainan organik
ringan yang
tidak akan
menimbulkan insufficiensi
(f) Nadi
Pada waktu istirahat tidak boleh dari 96/menit, dan dua menit sehabis
gerakan jongkok berdiri (10 x sudah harus kembali kepada keadaan
semula).
(g) Tekanan Darah
Boleh menyimpang sedikit dari normal asal tidak disertai kelainan
jantung, dan ginjal.
(h) Hati
Sehat tidak menunjukkan pembesaran lebih dari 1 jari.
50
(i) Limpa
Tidak menunjukkan pembesaran
(j) Tractus digestivus dan tractus urogenitalis
Tidak menunjukkan gejala kronis
(k) Hernia
Tidak terdapat suatu hernia
(l) Laboratorium
Urine : reduksi negatif
protein negatif
sedimen negatif
darah : Hb tidak kurang dari 11 g%
lain-lain normal
(3) Syarat untuk menerima/ memangku jabatan negara tertentu, apabila calon
dicalonkan untuk memangku/ menduduki/ menerima tugas jabatan
khusus, hendaknya dibahas
oleh
calon
sebelum
diambil
keputusan
tentang
51
nadi,
otot,
dan
lain-lain
harus
dalam
keadaan
normal.
Pendidikan
Nasional.
Undang-undang
tersebut
menyatakan
Saharuddin Daming. 2009. Tinjuan Hukum dan HAM Terhadap Syarat Jasmani dan Rohani Dalam
Ketenagakerjaan dan Kepegawaian. Hal.6-9
10 Marjuki. Op.Cit.
52
maka
pengelola
sekolah
mempunyai
kewenangan
untuk
11
12
Saharuddin Daming. 2008. Potret Diskriminasi Penyandang Disabilitas Dalam Layanan Pendidikan. Hal. 2-3
Irwanto, Eva Rahmi Kasim, Asmin Fransiska, Mimi Lusli, Siradj Okta. Op.Cit. Hlm. 22.
55
diremehkan,
disia-siakan,
diabaikan,
bahkan
ada
yang
objektifitas
dan
kemandirian
penyelenggara
Pemilu,
yang dipilih sendiri. Ironisnya lagi karena dalam peraturan perundangundangan Pemilu ternyata tidak ada sanksi hukum terhadap pihak yang
mengabaikan hak politik penyandang disabilitas yang sudah barang tentu,
semakin memperbesar peluang untuk merekayasa dan memanipulasi suara
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. (Cetro, 2005: 12; PPUA, 2005: 7).
Demikian pula hak penyandang disabilitas untuk dipilih sebagai
anggota legislatif atau eksekutif, cenderung dibatasi, dikurangi, dipersulit
atau dihilangkan oleh kalangan publik khususnya pemangku otoritas
dengan memperalat keterbatasan dan kelemahan peraturan perundangundangan atau melalui hasil penafsiran yang keliru terhadap peraturan
hukum tentang penyelenggaraan Pemilu. Misalnya seorang Tunanetra
dinyatakan tidak dapat menjadi anggota legislatif selain dianggap tidak
dapat membaca dan menulis huruf latin, juga karena gangguan indra
penglihatan
yang
disandangnya
diasumsikan
sebagai
bagian
dari
ini
bertujuan
untuk
memenuhi
kesejahteraan
penyandang
disabilitas.
13
Saharuddin Daming , 2012. Marjinalisasi Hak Politik Penyandang Disabilitas, Jakarta: Komnas HAM. hal. 4243
57
12
menyebutkan
mengenai
hak
yang
diperoleh
anak
kemanusiaan,
meningkatkan
kepercayaan
diri,
dan
kemampuan
perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
2.
3.
4.
diskriminasi
terhadap
anak
(secara
umum)
yang
Lihat penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
59
tersebut
menekankan
mengenai
pengadaan
akses
(Konvensi
Mengenai
Hak-Hak
Penyandang
Disabilitas).
umum dan infra struktur, bangunan umum, jalan umum, taman dan
pemakaman, dan sarana transportasi.15
6. Analisis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyatakan Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, yang
di dalamnya termasuk penyandang disabilitas. Apabila kita hubungkan
dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang
menyatakan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,
pendidikan, dan kemampuannya. Sedangkan Pasal 14 mewajibkan
perusahaan swasta dan pemerintah untuk mempekerjakan penyandang
cacat, maka pengusaha/pemberi kerja wajib mempekerjakan 1 orang
penyandang cacat untuk setiap 100 pekerja yang dipekerjakannya. Ini berarti
terdapat kuota 1% (minimal) bagi penyandang disabilitas untuk mengakses
tempat kerja dan hak ekonominya.
Walaupun
undang-undang
telah
mengatur
demikian,
namun
Lihat Pasal 11-15 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
16Ethenia Novyanti Widyaningrum. Op.Cit.
17 Kristyan Dwijosusilo. Op.Cit. Hlm.30.
15
61
disabilitas,
mempekerjakan
tenaga
yang
kerja
isinya
mengatur
penyandang
cacat
pengusaha
wajib
yang
memberikan
Pendidikan
Nasional
menyatakan
bahwa
pendidikan
62
Untuk
memperluas
kesempatan
dan
partisipasi
penyandang
itu,
dalam
merumuskan
rancangan
undang-undang
bagi
Pemerintah. Kemudian Pasal 35 ayat (a) tentang jaminan hari tua, mengatur
bahwa jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin
agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun,
mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Ulasan di atas menujukkan bahwa sistem jaminan sosial nasional
mempunya sifat yang pro terhadap penyandang disabilitas dalam rangka
untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang
layak.
9. Analisis Undang-Undang
Nomor
Sistem
Keolahragaan Nasional
Sistem keolahragaan nasional yang diatur dalam, undang-undang ini
didasarkan pada bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan
tujuan negara, mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui instrumen
pembangunan
nasional
di
bidang
keolahragaan
merupakan
upaya
terhadap
peningkatan
olahraga,
prestasi,
dan
peningkatan
manajemen
kesehatan
dan
keolahragaan
kebugaran,
yang
mampu
mengenai
partisipasi
penyandang
disabilitas
atas
dasar
kesetaraan dengan yang lain dalam kegiatan rekreasi, hiburan, dan olah
raga, maka perlu sarana penjaminan agar hak-hak tersebut dapat diperoleh
18
Lihat Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan
Nasional
64
65
Indonesia Sebagai negara hukum sesuai dengan teori dari F.J. Stahl
bahwa karakteristik negara hukum adalah adanya perlindungan hak asasi
manusia terhadap warga negaranya. Pertimbangan Indonesia meratifikasi
konvensi ini, dapat dikatakan sebagai tindak lanjut dari lahirnya UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam ketentuan konvensi ini untuk memberikan perlindungan hak
bagi
setiap
rakyatnya
dalam
menentukan
nasibnya
sendiri.
Serta
peraturan
satu
sama
perundang-undangan
lain.
Pengaturan
yang
mengenai
tidak
boleh
perlindungan
pengaturan
dalam
hak
asasi
manusia
maupun
konvensi
(Kovenan
66
19
Penjelasan bagian umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights
67
adalah
hak-hak
yang
boleh
dikurangi
atau
dibatasi
bahwa fasilitas khusus dapat berupa pembuatan jalan khusus di stasiun dan
sarana khusus untuk naik kereta api atau penyediaan ruang yang
disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi
orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Ketentuan peraturan perundang-undangan di atas merupakan
upaya-upaya negara dalam memberikan penjaminan aksesibilitas kepada
penyandang disabilitas agar mendapatkan kesempatan dan dapat pula
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas yang sebagian besar
hambatan aksesibilitas tersebut berupa hambatan arsitektural, sehingga
penyandang disabilitas tidak kehilangan haknya dalam mendapatkan
pelayanan yang baik sebagaimana hak yang harus diperolehnya sebagai
warga negara Indonesia.
13. Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran menyatakan bahwa perusahaan angkutan di perairan wajib
memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat,
wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang
lanjut usia. Selanjutnya pada ayat (2) menyatakan pemberian fasilitas
khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dipungut biaya tambahan.
Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang disabilitas,
wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang
lanjut usia dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan
angkutan dengan baik. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas khusus
dapat berupa penyediaan jalan khusus di pelabuhan dan sarana khusus
untuk naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan ruang yang
disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi
orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.20
20
Penejelasan Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
69
menyebutkan
bahwa
penyelenggara
diwajibkan
memberikan
layak
dan
mampu
mengembangkan
diri
sehingga
dapat
menyatakan
seseorang
yang
mengalami
disfungsi
sosial
71
16. Analisis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Definisi Lalu lintas dan angkutan jalan menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan
jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan serta pengelolaannya.
Mengingat begitu kompleksnya kepentingan lalu lintas dan angkutan jalan
ini maka perlu perhatian khusus terhadap prasarana dan peran transportasi
dalam mewujudkan aksesibilitas yang memperhatikan keselamatan dan
kenyamanan pengguna fasilitas ini, apalagi khusus bagi penyandang
disabilitas.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan ini memiliki spirit yang sama dengan undang-undang yang
telah
dijelaskan
sebelumnya
yaitu
sama-sama
untuk
mewujudkan
kesetaraan di bidang pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UndangUndang ini juga mengatur mengenai perlakuan khusus bagi penyandang
disabilitas. Bentuk perlakuan khusus yang diberikan oleh Pemerintah
berupa pemberian kemudahan sarana dan prasarana fisik atau non fisik
yang meliputi aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan.
Fasilitas khusus itu seperti trotoar yang bisa diakses pengguna kursi roda,
halte atau kedaraan umum yang bisa diakses penyandang disabilitas.
Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa
untuk dapat mengemudikan kendaraan bermotor penyandang disabilitas
harus memiliki Surat Izin Mengemudi D. Kemudian Pasal 242 juga memberi
amanat agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau perusahaan
angkutan umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan kepada penyandang disabilitas. Bahkan apabila amanat
tersebut tidak dilaksanakan, Pasal 244 mengatur sanksi bagi perusahaan
angkutan umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan
prasarana pelayanan kepada penyandang disabilitas dapat dikenai sanksi
72
pelayanan
publik.
Pasal
menyatakan
bahwa
pelayanan dengan
perlakuan
tertentu
khusus
kepada
anggota
masyarakat
(termasuk
menjamin
ketersediaan
fasilitas
pelayanan
kesehatan
dan
Kesehatan
mempunyai
peran
peting
dalam
upaya
Irwanto, Eva Rahmi Kasim, Asmin Fransiska, Mimi Lusli, Siradj Okta. Op.Cit.. Hlm. 14.
74
masyarakat
yang
mengalami
kerusakan
atau
gangguan
fungsional dari fisik, mental atau intelektual dan termasuk juga mereka
yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan seharihari yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lingkungannya.
Pemahaman
penyandang
disabilitas
merupakan
istilah
dan
memajukan, melindungi
dan
menjamin
B.
75
sistem
tidak
boleh
mengandung
peraturan-peraturan
yang
23
Satjipto Rahardjo. 2010. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 51-52.
76
hukum positif tertulis tersebut telah sinkron atau serasi dengan peraturan
lainnya. Ada dua jenis cara pengkajian sinkronisasi aturan yaitu:24
a. Vertikal
Apakah suatu perundang-undangan tersebut sejalan apabila ditinjau dari
sudut strata atau hierarki peraturan perundangan yang ada.
b. Horizontal
Ditinjau peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan
yang mengatur bidang yang sama.
Terkait dengan uraian teori dari Fuller maka dapat dievaluasi dari
beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang berada di atas, bahwa
pengaturan tentang perlindungan penyandang disabilitas yang tertuang dalam
undang-undang penyandang cacat maupun beberapa peraturan perundangundangan lain, muatan materinya tidak seluas dengan isi Convention on the
Rights Of Persons With Disabilities.
Pengaturan undang-undang seperti pada uraian sebelumnya telah sejalan
dengan perintah konstitusi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28A,
Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal
28G ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (2) dan (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat
(1), dan Pasal 34 ayat (2). Menelisik sinkronisasi aturan secara vertikal dan
horizontal25 antara undang-undang dengan konstitusi, maka undang-undang
tersebut sejalan dengan norma yang lebih tinggi bahkan yang tertinggi yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sinkronisasi
secara horizontal pada dasarnya telah sesuai, hanya saja belum sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Saat ini masih banyak terjadi perlakuan diskriminatif dan pelanggaran
hak asasi terhadap penyandang disabilitas. Hal tersebut membuktikan bahwa
sanksi hukum belum ditegakkan sebagaimana mestinya. Teori validitas dari
Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang efektif
jika berlaku mengikat serta memberikan kepastian hukum dengan adanya
24
25
Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 94.
Ibid.
77
78
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis
Pembukaan UUD 1945 pada alinea IV telah mengamanatkan bahwa
Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi, dan
keadilan sosial.
Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya
mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pada sila ke-5
Pamcasila dan Pembukaan UUD 1945 secara jelas dinyatakan bahwa Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi salah satu dasar filosofi bangsa,
karenanya setiap warga negara Indonesia tanpa ada pengecualian berhak untuk
memperoleh keadilan sosial yang sebaik-baiknya, termasuk penyandang
disabilitas.
Penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia telah
dijamin UUD 1945 atas hak dan kewajibannya dalam kesamaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan, atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27), atas
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan (Pasal 28),
kerja,
untuk
memperoleh
kesempatan
yang
sama
dalam
memilih
tempat
tinggal
di
wilayah
negara
dan
mendapatkan
perlindungan
terhadap
perlakuan
yang
bersifat
untuk
bertanggung
jawab
atas
semua
tindakan
yang
dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak
asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran
terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena
itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk
mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa
kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan
tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
81
demikian,
negara
dan
pemerintah
bertanggung
jawab
untuk
berkembang
berangsur-angsur
mengupayakan
terciptanya
83
Human Rights and fundamental freedoms are the birth Rights of all Human
being; their protection and promotion is the responsibility of governments.
Implementasi konvensi tentang HAM ini penting, mengingat pertama,
untuk mengatasi dan mengakhiri fenomena pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh penyelnggara negara (aparat negara) terhadap masyarakat sipil di berbagai
negara. Kedua, untuk menggalang kerjasama yang bersifat multilateral demi
mencegah, mengatasi dan mengakhiri fenomena pelanggaran HAM baik
langsung maupun tidak langsung yang melibatkan penyelenggara negara
(aparat pemerintah). (M. Afif Hasbullah, 2005: 1-3)
Terjadinya perlekatan kewajiban dan tanggung jawab pada perlakuan
publik khususnya di kalangan penyelengggara negara untuk senantiasa
mengoptimalkan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM
tidak terkecuali kepada para penyandang disabilitas, adalah karena HAM
bukanlah pemberian dari negara atau elemen insaniah yang bernama apapun,
tetapi HAM adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak ini tidak dapat
diingkari, dicabut, atau dihilangkan karena ia merupakan hak yang melekat dan
menyatu dengan lahirnya manusia. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti
mengingkari keberadaan dan martabat kemanusiaan.
Dalam pandangan agama terutama Islam, manusia dengan segala hak yang
melekat padanya adalah makhluk yang paling mulia dan mengemban tugas
sebagai Khalifah di muka bumi. Firman Allah dalam Al-Quranul Qarim:
1. Surah At-Tin : 4
Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.(QS :at-tin: 4)
2. Surah Al Anam : 165
84
3. Surah Hud: 61
Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Nabi Shaleh.
Nabi Shalih yang menyerukan: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekalikali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan tanah itu sebagai sember kemakmuran
bagimu. Sebab itu mohon ampun dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena
sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi Maha Penerima Doa. (QS: Hud
61)
4. Surah Al Hujurat : 13
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS: Al-Hujurat: 13)
85
Islam
menentang
segala
bentuk
praktik
diskriminasi,
baik
dilindungi dan dipenuhi oleh siapa pun. Dalam konteks formal, organisasi,
negara, pemerintah, atau kelompok apapun mengemban kewajiban untuk
mengakui, menghormati, dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa
kecuali. Ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hal ini tidak lain merupakan amanat dari Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) yang ditetapkan majelis umum PBB pada tanggal 10 Desember
1948 di Paris Perancis. Pada bagian mukaddimah UDHR antara lain
dikemukakan:
Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and
inalienable rights of all members of the human family is the foundation of
freedom, justice and peace in the world,
Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in
barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the
advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech
and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the
highest aspiration of the common people.
Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a
last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights
should be protected by the rule of law,
Whereas it is essential to promote the development of friendly relations
between nations,
Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed
their faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the
human person and in the equal rights of men and women and have
determined to promote social progress and better standards of life in
larger freedom,
87
dalam
melembagakan
upaya
penghormatan,
pemajuan
dan
88
sosio yuridis dapat dilihat pada bagian konsideran UU no. 39 tahun 1999
tentang HAM antara lain dirumuskan sebagai berikut :
a. Bahwa manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh
ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia,
oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan
harkat
dan
martabat
kemuliaan
dirinya
serta
keharmonisan
lingkungannya,
b. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun,
c. Bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban
dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap
masyarakat
secara
keseluruhan
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
89
2. Bahwa deklarasi dan program aksi dibidang Hak Asasi Manusia (Vienna
Declaration and Programme Of Action Of the World Conference on
Human Rights)
pemindahan
secara
paksa/pengungsi
domestik
91
freedoms by all persons with disabilities, and to promote respect for their
inherent dignity.
Persons with disabilities include those who have long-term physical,
mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with
various barriers may hinder their full and effective participation in society
on an equal basis with others.
Rangkaian pranata hukum sebagaimana dikemukakan di atas menjadi sarana
legitimasi
bagi
upaya
perjuangan
penyandang
disabilitas
dalam
mengalami
disfungsi,
namun
penyandang
disabilitas
secara
B.
Landasan Sosiologis
Upaya
pemerintah
penyandang
disabilitas
untuk
meningkatkan
dilakukan
dengan
kesejahteraan
sosial
mengundangkan
Undang-
Peningkatan
Kesejahteraan
Penyandang
Cacat.
peraturan
Kedua
perundang-
26
Saharuddin Daming. 2009. Paradigma Perlakuan Negara Terhadap Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Hal. 6-17
93
marginalisasi
atas
Penyandang
disabilitas
sebagaimana
terjun ke pentas formal, sekalipun figur dimaksud eligible dari sudut kapasitas
dan leadershif. Akibatnya tingkat apresiasi publik terhadap Penyandang
disabilitas yang sudah mulai terbangun melalui perjuangan panjang yang
sangat melelahkan selama ini, akhirnya harus buyar dan terdistorsi dengan
sikap sinis dan apriori yang kian melembaga. Ini kemudian berimbas kepada
kaum Penyandang disabilitas sendiri yang secara psikologis menimbulkan rasa
frustrasi dan makin menjamurnya proses marginalisasi serta perasaan
imperioritas kompleks (minder) di kalangan Penyandang disabilitas untuk
menutup diri, bermasa bodoh dan enggan mengadakan hubungan eksternal
yang dianggap kejam, kaku, dan arogan.
Pada bagian lain Penyandang disabilitas kerap diberikan apresiasi dan
95
natura
bagi
menuju taraf kehidupan yang lebih sejahtera dan mandiri. Namun sayang
karena upaya seperti itu tidak dibarengi dengan tekad untuk memberdayakan
Penyandang disabilitas yang lebih terarah, intensif, menyeluruh, dan
berkelanjutan.
Dari sekian banyak Penyandang disabilitas yang telah direhabilitasi, hanya
sebagian kecil saja yang mampu terakses dalam dunia kerja. Itupun terbatas
pada
profesi-profesi
informal,
semisal
Masseur,
Pengamen,
Konveksi,
menghalangi
keberadaan
Penyandang
disabilitas
di
lembaga
pengabdiannya.
Di negara-negara barat yang konon sangat individualistis seperti :
Skandinavia, Belanda, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat tingkat apresiasi
pemerintah dan masyarakatnya terhadap Penyandang disabilitas sangat
kondusif, mulai dari soal penempatan kerja dan akses pendidikan hingga
sarana umum di negara-negara tersebut semuanya ditata melalui fasilitas
kemudahan atau aksesibiliti bagi Penyandang disabilitas tanpa halangan,
hambatan dan reduksi hak bagi Penyandang disabilitas untuk berekspresi dan
berapresiasi. Fenomena ini sudah banyak diketahui dan disaksikan langsung
oleh sejumlah pejabat dan tokoh intelektual Indonesia.
96
97
a.
b.
c.
d.
e.
Adanya sikap dan perilaku tidak terpuji dari segelintir oknum tertentu
yang berpretensi kepada timbulnya praktek eksploitasi Penyandang
disabilitas
untuk
kepentingan
pribadi
yang
mengatasnamakan
kesejahteraan.
f.
memberdayakan
Penyandang
disabilitas
98
secara
terprogram,
g.
h.
i.
j.
k.
Penyandang
secara
disabilitas
proporsional
dalam
yang
merepresentasikan
penyusunan
kebijakan,
menyeluruh,
dan
berkesinambungan
untuk
melibatkan
99
penyandang
perkembangan
disabilitas
waktu,
yang
undang-undang
terbatas.
ini
Akibatnya,
tidak
mampu
dengan
lagi
untuk
sesuai
lagi
dengan
semakin
tersebut memandang
para
memposisikan
mereka
sebagai
sebuah
objek
yang
memiliki
kepada
perlindungan hak
upaya-upaya
penyandang
pemerintah
disabilitas pada
dalam
memberikan
upaya rehabilitasi,
penyandang
UUD
1945,
dalam
perubahan
UUD
45,
yakni
Pasal
28H
ayat
(2)
untuk
hak penyandang
bagi
upaya
perlindungan
dan
pemenuhan
hak
101
hukum
yang
penyandang
C.
Landasan Yuridis
Hukum sebagai seperangkat norma yang mengandung unsur-unsur
perintah larangan serta sanksi, pada hakekatnya diadakan untuk mewujudkan
keteraturan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sebab
sebuah tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa aturan
hukum sudah barang tentu akan melahirkan anarkisme dan ketidakpastian.
Sehingga potensi manusia sebagai zoon politicon akan tercabik-cabik justru
oleh manusia lain yang memiliki otoritas dengan modus homo homini lupus.
Itulah
sebabnya
Indonesia
sebagai
welfare
state
modern
dalam
102
wadah
bagi
setiap
orang
dalam
mengembangkan
diri
serta
Bertitik tolak dari konsep teoritis tentang tujuan esensial negara seperti
dikemukakan di atas, maka setiap warga negara tidak terkecuali tentu para
Penyandang disabilitas merupakan bagian dari keseluruhan rakyat dan bangsa
dalam struktur negara yang mempunyai hak untuk menikmati kesejahteraan
dan kebahagiaan. Hal tersebut didasarkan pada prinsip hukum yang sangat
legendaris yaitu : equal justice under law, equal justice before the law. Oleh
karena itu, peningkatan peran serta pemajuan pemenuhan hak dan kewajiban
para Penyandang disabilitas dalam pembangunan nasional, merupakan hal
yang sangat urgen dan strategis. Apalagi dengan bergulirnya semangat
reformasi dan demokratisasi yang bertumpu pada penguatan sendi-sendi dasar
hak asasi manusia, maka Penyandang disabilitas ditinjau dari optik sosio
kultural pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang memiliki dan berpeluang
untuk mengekspresikan potensi bagi kemajuan diri dan lingkungannya. Bahkan
Penyandang disabilitas dalam fase tertentu dapat menjadi change of social agent
bagi pembangunan di segala bidang serta berkesempatan untuk tampil
mengukir prestasi gemilang secara multidisipliner.
Secara historis perjuangan Penyandang disabilitas untuk memperoleh
kesamaan kesempatan dan kedudukan dalam sistem hukum Indonesia, telah
lama dilakukan baik oleh kelompok Penyandang disabilitas sendiri maupun
oleh pembela HAM dan para cendikiawan serta pemerhati masalah Penyandang
disabilitas. Namun kesemuanya baru mulai menampakkan hasil ketika DPR dan
pemerintah melahirkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
103
peserta didik
pusat maupun di daerah tidak termasuk pihak yang dilekati kewajiban menurut
undang-undang ini. Tidak heran jika cukup banyak disabilitas yang harus kecewa
dan terpental kesemutan akibat sengatan pasal tersebut yang sengaja dijadikan pagar
oleh otoritas unit kerja pemerintah non company untuk menahan animo dan laju
disabilitas bernafkah di instansinya .
Jika ada upaya untuk menempuh jalur hukum dengan dalil instansi
pemerintah non company menolak tenaga kerja Penca dan melanggar Pasal 14 UU No
4 tahun 1997, maka putusan pengadilan hampir dapat dipastikan akan memenangkan
tergugat. Keadaan tersebut sangat bisa dipahami mengingat kuatnya pengaruh aliran
positifis dan legis dihampir seluruh pengambil keputusan di Indonesia termasuk para
fungsionaris hukum. Sebab bagi kaum positifis dan legis, hukum tidak lain adalah
apa yang tertulis dalam peraturan. Jika ketentuan telah mengatur bahwa pihak yang
wajib memperkerjakan disabilitas adalah perusahaan negara dan swasta, maka kaum
legis dan positivis mengharamkan penafsiran yang menambah apalagi memperluas
makna selain yang tersebut dalam undang-undang. 28
Tak dapat di pungkiri jika rangkaian persoalaan seperti tersebut di atas,
terjadi karena kelemahan UU No 4 tahun 1997. Kelemahan itu mencakup persoalan
substansi maupun terminologi Berikut ini disajikan beberapa poin dari fakta
kelemahan UU No 4 tahun 1997.
28
disabilitas
dan mendapatkan
dimana kata yang disebut terakhir merupakan turunan dari dapat mengandung
makna fakultatif. Seharusnya posisi kesamaan hak tidak lagi sebagai tujuan, tetapi
diformulasikan sebagai hal yang harus terjadi dan dilaksanakan.
Namun yang lebih aneh lagi adalah perkataan peluang yang tidak lain
adalah sinonim dari kata kesempatan. Sebagaimana yang telah dimaklumi bersama
bahwa pendefenisian sebetulnya bukanlah mencari sinonim suatu istilah kata
melainkan membuat jelas obyek pendefenisian melalui uraian unsur-unsur yang
mencakup makna istilah/kata yang didefenisikan. Dengan demikian mengulangi
obyek yang didefenisikan dalam unsur uraian sebagaimana berulangnya kata
kesempatan yang sama sangat mubazir, dangkal dan menyalahi kelaziman
pendefenisian, sampai disini kesamaan kesempatan menurut undang-undang
menjadi kabur, tidak pasti dan menghidupkan kembali pertentangan kelas.
Secara sosio politis, lembaga kesamaan hak yang tergali dari istilah equality
of rights sebenarnya hanya cocok diterapkan untuk heterogenitas kelompok yang
berkedudukan simetris. Artinya dua kelompok komunitas atau lebih yang melekat
perbedaan semata-mata karena faktor non disabilities seperti kelompok minoritas
etnis, agama, ras, atau klas ekonomi tertentu, maka prinsip kesamaan hak menjadi
pilihan yang sangat strategis untuk menghilangkan atau setidaknya memperkecil
kesenjangan yang terjadi. Disebut perbedaan simetris karena kelompok-kelompok
tersebut pada hakekat sama dari sudut kemampuan bahkan kebutuhan. Unsur
108
bisa sama dengan non disabilitas. Karena dari semula unsur kemampuan untuk
melakukan aktifitas sebagaimana kemampuan setiap orang dalam ukuran normal
memang telah mengalami disfungsi. Agar keadaan tersebut dapat tetap optimal
hingga menyamai tingkat kemampuan normal bahkan lebih, maka bukan hanya
pendekatan sosio politik dan penegasan hukum untuk menghapus diskriminasi
sebagai cara memperkecil kesenjangan Penyandang disabilitas
perlu memperoleh
rehabilitasi dan bantuan peralatan dan sentuhan teknologi yang disesuaikan dengan
karakteristik tantangan kedisabilitasan dan kebutuhan memulihkan fungsi hingga
mencapai kemampuan normal atau lebih.
Dari sudut aktualitas istilah kesamaan hak, sebenarnya sudah ketinggalan
jaman karena dalam perkembangan hukum dewasa ini khususnya yang terkait
dengan persoalan perlindungan HAM, tidak terkecuali dalam sistim hukum kita
telah mengintrodusir pranata hukum baru dengan istilah : perlindungan lebih. Hal
ini dapat kita jumpai pada UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Pasal 5 ayat 3 berbunyi:
Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
Pasal 41 ayat 2 berbunyi:
Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan
anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
109
110
Frase special needs yang banyak disebut sebagai istilah terpopuler untuk
menggantikan istilah penyandang disabilitas di Indonesia, terdapat pada artikel 23
konverensi Wina A/CONF.157/ 23 tertanggal 14 sampai 25 Juni 1993 yang
selengkapnya berbunyi:
Primarily through the preferred solution of dignified and safe
voluntary repatriation, including solutions such as those adopted by
the international refugee conferences. The World Conference on
Human Rights underlines the responsibilities of States, particularly as
they relate to the countries of origin.
Dalam preambul point (j) international convention on the rights of person
with disability, resolusi PBB No. 61/106 tertanggal 13 Desember 2006 istilah
perlindungan lebih bagi penyandang disabilitas dirumuskan dengan frase: more
intensive support. Hal tersebut selengkapnya berbunyi:
Recognizing the need to promote and protect the human rights of all
persons with disabilities, including those who require more intensive
support.
Hadirnya istilah-istilah seperti yang dikemukakan di atas, bukanlah
berpretensi untuk menciptakan eksklusifitas atau pengistimewaan maupun
pemanjaan bagi disabilitas. Pelembagaan terminology tersebut lebih disebabkan
karena
pertimbangan
keberpihakan,
111
kepedulian,
semua
pihak
untuk
dalam
tingkat dan keadaan tertentu, sulit atau tidak dapat melakukan ekspresi dan
apresiasi secara optimal hanya dengan bersandarkan pada prinsip kesamaan hak.
Kalau tidak dengan politik diskriminasi seorang yang terbedakan secara simetris
tidak akan terhalang untuk mengikuti proses ujian dengan cara membaca atau
menulis sebagaimana peserta lainnya dari para kerabat elit atau otoritas. Tetapi
seorang yang terbedakan secara asimetris seperti tunanetra total betapapun
cerdasnya tentu tidak akan dapat mengikuti proses ujian jika harus membaca dan
menulis persis sama dengan peserta lainnya dari kerabat para elit atau otoritas.
Disinilah makna kesamaan hak menjadi bias dan disini pulalah istilah perlindungan
lebih menjadi sangat urgen.
-Kesejahteraan Sosial
Pada poin 5, 6 dan 7 Pasal 1 undang-undang ini secara eksplisit didefenisikan
tentang rehabilitasi, bantuan dan
pemeliharaan
taraf
kesejahteraan
sosial.
Pencantuman ketiga hal tersebut, selain terkesan mubazir karena diatur lebih rinci
dalam Bab V mulai dari Pasal 16 22, juga mengandung pretensi yang sangat jelas
tentang adanya dominus litis dari departemen tertentu dalam pemerintahan atas
undang-undang ini. Sungguh hal yang tak dapat dipungkiri jika substansi tersebut
secara ideologis merupakan atribut terpenting dari Departemen Sosial mengingat
istilah rehabilitasi sosial dan bantuan sosial merupakan unit teknis instansi ini baik
di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Dengan demikian peraturan tersebut secara implisit mengisyaratkan
penyelenggaraan upaya pembinaan kesejahteraan Penyandang disabilitas , hanya
menjadi tanggung jawab Departemen Sosial. Bahkan UU N0 4 tahun 1997 hampir
112
undang-undang
Penyandang
terpenuhinya kepuasan atas hasil yang dicapai. Tetapi lebih karena redaksi
ketentuan tersebut tampak seperti badut yang lucu dan menggelikan.
Sebagai
contoh
dapat
ditemukan
pada
kasus
penolakan
sejumlah
IAIN
Jakarta, Makassar, Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Padahal berbicara tentang
soal keimanan, ketaqwaan, kekeluargaan dan segala apa yang disebut pada Pasal 3
semuanya merupakan rutinitas kehidupan lembaga tersebut sehari-hari.
Pada sisi yang lain formulasi ketentuan seperti itu mengundang keprihatinan
sekaligus kedongkolan. Betapa tidak karena sudah hampir sepuluh tahun undangundang tersebut diberlakukan, tangis sebagian besar Penyandang disabilitas masih
sering terdengar, akibat masih gentayangannya drakula yang tega memperkosa hak
Penyandang disabilitas dengan berbagai justifikasi.
Sampai
disini,
tujuan
perlindungan
hukum
Penyandang
disabilitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 betul-betul menjadi makhluk utopis yang sulit
dicapai padahal secara philosofis dan sosiologis tujuan keberadaan Penyandang
disabilitas sebenarnyan bukan hanya pada aspek kemandirian dan kesejahteraan,
114
tetapi juga mencakup aspek kesederajatan, harkat dan martabat serta keterlibatan
dalam segala bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
-Aksesibilitas
Dalam Bab III undang-undang ini diatur mengenai hak dan kewajiban
Penyandang disabilitas. Pada unsur hak undang-undang ini memang menyebutkan
secara eksplisit substansi tentang equal justice under law and equal oportunity for
all sebagaimana yang tertuang pada Pasal 5 yang berbunyi : setiap penyandang
cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Hanya sangat disesalkan karena penegasan rinci tentang hak Penyandang
disabilitas dalam batang tubuh undang-undang ini, ternyata hanya mencakup soal
pendidikan, tenaga kerja, rehabilitasi, bantuan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial serta aksesibilitas. Sedangkan hak fundamental lainnya seperti hak agama,
kesehatan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan,
keamanan, olahraga, rekreasi, informasi dll ternyata hanya disebutkan pada bagian
penjelasan.
Meski secara konsepsional dipahami bahwa antara mukaddimah, batang
tubuh dan penjelasan sebuah peraturan hukum merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan, namun sudah merupakan kelaziman jika bagian batang tubuh selalu
memperoleh kedudukan yang lebih utama daripada penjelasan. Selain itu ketentuan
dalam batang tubuh
yang kalau
menyaksikan dengan telanjang bagaimana para aktor di balik layar ini dapat
memainkan peran dan atraksi ambivalen dan paradoksal.
Persoalan krusial di balik pengaturan hak Penyandang disabilitas
dalam
undang-undang ini adalah karena UU No 4 tahun 1997 sama sekali tidak mengatur
tentang hak Penyandang disabilitas
hal untuk mewujudkan kesamaan dan keadilan baginya yang mengalami keadaan
khusus. Ini penting karena dengan keadaan disabilitas yang disandang seseorang
terutama untuk jenis dan derajat kecacatan tertentu sulit sekali menikmati aspek
kesamaan hak dan kesempatan tanpa ketersediaan layanan khusus baik yang
berbentuk aksesibilitas maupun dalam bentuk kebijaksanaan/kearifan seperti
dispensasi yang bersifat pengurangan atau penambahan syarat yang memungkinkan
kesulitan
Penyandang
disabilitas
116
Seperti diketahui bahwa setiap orang dalam penciptaannya, tidak ada yang
persis sama walau dalam keadaan kembar sekalipun. Setiap orang masing-masing
mempunyai tantangan hidup dan kebutuhan yang berbeda-beda. Demikian pula
Penyandang
disabilitas
Penyandang
Penyandang
disabilitas. Hal tersebut secara teknis yuridis telah diatur dalam UU No 4 tahun 1997
maupun UU No. 28/2002 tentang bangunan gedung dan peraturan pelaksanaannya.
Namun amat disesalkan karena basis pelaksanaan pembangunan selama ini
dirasakan sangat bias dalam memenuhi aspek estetika dan artistik.
masyarakat
berkewajiban
mengupayakan
terwujudnya
hak-hak
118
penyelenggara negara
akses
29
b.
serta
menjadikannya
rintangan
sebagai
baginya
alasan
dan
untuk
siapapun
membatasi,
tidak
boleh
mengurangi,
dalam
segala
aspek
penyelenggaraan
negara
atau
Kedua
peraturan
penyelenggaraan
tersebut
upaya
secara
pembinaan
implisit
mengisyaratkan
kesejahteraan
Penyandang
keberlakuan hukum (atribut of law) adalah jika terdapat sanksi yang jelas dan
tegas. Ironisnya karena sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang No.4
/1997 Tentang Penyandang Cacat khususnya pada Pasal 28 selain sangat ringan
(maksimal 6 bulan ) juga hanya mencakup pelanggaran terhadap penyediaan
aksesibilitas Penyandang disabilitas untuk bekerja yang sampai kini belum
120
pernah ada yang diproses meski pelanggaran sudah tak terhitung jumlahnya
dan tidak jelas siapa yang berhak menuntut. Lebih aneh lagi karena sanksi
administrasi yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang tersebut
justru
dimaksud telah
peremehan,
disabilitas
pelecehan
dan
diskriminasi
terhadap
Penyandang
pelaku
121
lain meski mereka mengaku sebagai orang yang beragama bahkan mungkin
adalah tokoh agama.
Sungguh suatu kemunafikan kalau bukan kezaliman jika reformasi yang
diperjuangkan ini berhasil memberantas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, tetapi
kita
tetap
membiarkan
tindakan
sewenang-wenang,
perampasan
hak,
asas
dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
masyarakat
(public
accountability)
k. asas keikutsertaan (participation)
l. asas efektifitas atau keberlangsungan secara baik atau tepat sasaran
m. asas efesiensi atau pendayagunaan secara baik dan tepat sasaran
Selain itu Undang-Undang ini juga didasarkan pada hasil berbagai
referensi akademik dan pengalaman empiris serta menjabarkan berbagai
pranata hukum Indonesia seperti yang telah dikemukan terdahulu maupun
hukum Internasional antara lain Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Resolusi
Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966 tentang : Hak Sipil
Dan Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Deklarasi Majelis Umum PBB
tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas N0 3447 (XXX), 9 Des 1975 , Deklarasi
tentang Hak-hak Anak, Deklarasi tentang Hak-hak Disabilitas Grahita, Deklarasi Anti
Diskriminasi bagi Perempuan, Deklarasi hak-hak sipil, Konvensi ILO, UNESCO,
UNICEF, dan WHO, Resolusi Dewan Sosial dan Ekonomi PBB Nomor 1921 (LVIII)
tentang Pencegahan Kecacatan dan Rehabilitasi Kedisabilitasan . Resolusi PBB Nomor
37/52 Tahun 1981 tentang Program Aksi Tahun Penyandang Disabilitas Internasional,
Rekomendasi Konferensi Stockholm tahun 1987 tentang dasar-dasar filsafati hak
Penyandang Disabilitas,
Resolusi PBB
dan
kekurangan
dan
kelemahan
sehingga
apabila
dalam
tahap
8.
9.
Nomor
23
Tahun
2006
tentang
Administrasi
Kependudukan;
18. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
19. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
20. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
21. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
125
126
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
pendidikan,
kesamaan
hak
dan
kesempatan
dalam
larangan
dalam
penyelenggaraan
pendidikan,
serta
daerah
BAB VI
BAB VII
BAB VIII
jaminan
kebebasan
beragama
dan
menjalankan
larangan,
serta
kewajiban
pemerintah
dan
atau
pemerintah daerah.
BAB IX
BAB X
sosial,
rehabilitasi
sosial,
jaminan
sosial,
BAB XII
olahraga,
sarana
dan
prasarana
keolahragaan,
keolahragaan,
penghargaan,
pendanaan
keolahragaan
BAB XIV
BAB XV
pelayanan
publik,
larangan,
dan
kewajiban
BAB XVII
BAB XVIII
BAB XIX
BAB XXI
BAB XXII
BAB XXIII
Penghargaan
BAB XXIV
Bagian Pendanaan
BAB XXV
tempat
kedudukan,
keanggotaan,
susunan
organisasi,
BAB XXVII
BAB XXVIII
130
BAB I
Ketentuan Umum
BAB II
Prinsip Umum
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VII
BAB VIII
BAB IX
BAB X
BAB XI
BAB XII
BAB XIII
BAB XIV
BAB XV
BAB XVI
BAB XVII
BAB XVIII
BAB XIX
Koordinasi
BAB XX
BAB XXI
BAB XXII
BAB XXIII
Penghargaan
BAB XXIV
Bagian Pendanaan
BAB XXV
BAB XXVI
Tuntutan Hukum
BAB XXVII
Ketentuan Peralihan
BAB XXVIII
Ketentuan Penutup
131
BAB VI
PENUTUP
A.
Simpulan
Setiap kali dibuat strategi dan pendekatan untuk mengangkat harkat
dan martabat kaum Penyandang disabilitas oleh kalangan eksekutif dan
intelektual, rupanya sebagaian besar dirasakan hanya gagasan yang bersifat
apologi dan hipokrit, setidak-tidaknya hanya untuk pencapaian target formal
semata. Yang lebih fatal lagi adalah karena badan legislatif kita telah
mengesahkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi
legal standing bagi upaya-upaya perlindungan dan pembelaan Penyandang
disabilitas. Namun dalam kenyataan, selain peraturan perundangan tersebut
terkesan dibuat dan dilaksanakan setengah hati, juga karena dalam praktek
penyelenggaraan pemerintah dan kemasyarakatan justru bertolak belakang
dengan substansi perundang-undangan.
Sebutlah diskursus tentang perlindungan dan pemberdayaan hak
Penyandang disabilitas dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997 dan
peraturan pelaksanaannya yang secara yuridis formal adalah hukum positif,
ternyata tidak dapat mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara
negara dan kemasyarakatan untuk peduli dan berpihak kepada upaya
pembinaan kemajuan dan kesejahteraan para Penyandang disabilitas. Tidak
hanya itu dalam konstitusi baru kita dan beberapa Tap MPR telah cukup
tegas diatur mengenai perlindungan hak asasi manusia tidak terkecuali
Penyandang disabilitas, namun hingga reformasi dan demokratisasi telah
bergulir, hak Penyandang disabilitas ternyata masih sering dilanggar,
dilecehkan, diremehkan, dikebiri, dikerdilkan bahkan dihilangkan dan
dirampas justru hanya dengan alasan-alasan yang sangat tidak berdasar.
Salah
satu
penyebabnya
adalah
karena
opini
publik
mengenai
disini
citra
Penyandang
disabilitas
dalam
perspektif
dan
menggiring
wawasan
serta
persepsi
masyarakat
Penyandang disabilitas dari sisi konstitusi dan peraturan perundangundangan merupakan bagian dari warga negara yang mempunyai hak dan
kedudukan dengan warga negara pada umumnya. Namun dalam
kenyataan , penyandang cacat justru mengalami berbagai perlakuan
diskriminasi dan marginalisasi oleh penyelenggara negara maupun elemen
masyarakat. Penyandang disabilitas menjadi korban stigma negatif akibat
134
4.
B.
Saran
1) Perlunya pengaturan substansi Naskah Akademik dan Rancangan
Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dalam suatu UndangUndang.
135
2) Dengan telah siapnya draft Naskah Akademik dan Rancangan UndangUndang tentang Penyandang Disabilitas akan ditindaklanjuti dengan
penyerahan kedua naskah tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan pihak terkait lainnya, agar dapat menjadi skala
prioritas dalam pengusulan Legislasi Nasional tahun 2013, paling lambat
tahun 2014.
3) Sosialisasi dan uji publik diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. Sebelum ditetapkan sebagai
undang-undang, materi RUU tentang Penyandang Disabilitas akan
diadakan
Uji
publik.
Sosialisasi
kepada
masyarakat
136
luas
untuk
DAFTAR PUSTAKA
Apeace.
2012.
Penyandang
Disabilitas,
Siapa
dan
Berapa.
137
Nomor
12
Tahun
2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights
of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas)
[WHO] World Health Organization. 2011. World Report on Disability. Malta.
Jurnal Perempuan Volume 65 tahun 2011.Mencari Ruang untuk Difabel.
LAMPIRAN
RANCANGAN UNDANG- UNDANG TENTANG PENYANDANG DISABILITAS
138