Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN
Dilaporkan kasus seorang pasien perempuan usia 60 tahun datang ke RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan 2
hari sebelum masuk rumah sakit disertai hidung yang terus keluar darah
bercampur lendir setelah tindakan pengambilan sampel di Banjarmasin tanggal 4
Juni 2015 lalu. Keluhan nyeri kepala juga dirasakan setelah dilakukan
pengambilan sampel sehingga keluarga membawa pasien ke RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Sebelum dirawat, pasien pernah datang ke Dokter
Spesialis THT di Palangka Raya dengan keluhan benjolan di mulut dan di dekat
telinga kurang lebih 7 bulan yang lalu. Benjolan dirasakan semakin membesar
perlahan-lahan disertai nyeri telinga dan berdengung yang terus menerus. Dokter
Spesialis THT menganjurkan untuk dirawat dan dilakukan biopsi untuk
kecurigaan adanya keganasan, namun pasien menolak dan pulang ke Pulang Pisau
lalu berobat herbal dengan ramuan akar-akaran.
Setelah beberapa bulan, ternyata tidak ada perubahan dan malah semakin
membesar disertai nyeri yang terus menerus pada bagian wajah sebelah kanan di
daerah benjolan. Selain itu, pasien juga mengeluhkan pendengaran yang makin
berkurang bersamaan dengan munculnya benjolan. Keluhan sulit menelan diakui
bersamaan dengan munculnya benjolan pada telinga. Disfagia tersebut membuat
pasien mengurangi asupan makannya. Keluhan sulit bernapas lewat hidung diakui
bersama dengan benjol yang muncul perlahan-lahan, dan kadang-kadang muncul
mimisan yang hilang timbul, sehingga pasien bernapas lewat mulut. Suami pasien
memiliki kebiasaan merokok sejak belasan hingga puluhan tahun yang lalu
dengan rata-rata 1 bungkus perharinya, pasien juga mengaku sering mengonsumsi
ikan asin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan terletak pada kepala bagian
temporal kanan dengan diameter 15 cm berkonsistensi padat, immobile dan
terdapat nyeri tekan, sama dengan warna kulit sekitarnya. Palpebra mata tampak
edema, telinga kanan tampak terdesak oleh massa yang terletak pada bagian
temporalis dekstra. Dari pemeriksaan telinga kanan tampak terdesak oleh massa
dan meatus akustikus eksternus tampak tertutup dan ada sekret mukopurulen
33

keluar dari telinga. KGB tampak membesar dan teraba pada bagian retroaurikular
dekstra dan sinistra. Diameter KGB 1,5 cm dan KGB pada leher kiri dan kanan
teraba membesar, mobile, tidak nyeri tekan. Pada pemeriksaan hidung tampak
darah bercampur lendir keluar dari nostril sinistra. Rinoskopi anterior tampak
massa mengisi kedua rongga hidung kiri dan kanan disertai gumpalan darah.
Faringoskopi ditemukan hipersalivasi dan juga ada massa dengan permukaan
tidak rata yang berwarna kekuningan sehingga mendorong palatum durum ke
bawah.
Kesulitan menelan pada pasien dapat disebabkan massa tumor yang
menghalangi bolus untuk masuk ke faring atau terjadi invasi tumor ke intra
kranial hingga mengenai N.IX dan N.X sehingga muncul gejala tersebut,
menyebabkan

pasien

hipoalbuminemia.

Berkurangnya

pendengaran

pada

penderita dapat disebabkan karena meatus akustikus eksternus terdesak massa


yang menghalangi hantaran suara melalui udara dan penekanan pada tuba
eustachius. Anemia pada pasien ini disebabkan karena sifat tumor yang mudah
berdarah apalagi pada pasien ini perdarahan muncul lebih sering setelah dilakukan
biopsi, dapat juga disebabkan karena kurangnya asupan pada pasien ini.
Peningkatan leukosit akibat dari penutupan rongga-rongga sinus oleh tumor dan
adanya jaringan nekrotik menyebabkan sekret tertahan yang menjadi media yang
baik untuk pertumbuhan kuman.
Faktor resiko munculnya kanker pada pasien ini didukung dengan riwayat
suami merokok belasan tahun dengan jumlah yang 1 bungkus setiap hari, karena
dalam rokok tersebut mengandung banyak zat karsinogenik yang dapat memicu
mutasi-mutasi sel, sehingga mekanisme apoptosis menjadi terhambat. Walaupun
karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (Human
Leukocyte Antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Gen ini
berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring. Pada pasien ini belum
dapat dipastikan apakah pasien memiliki gen ini dalam tubuhnya karena belum

34

dapat dilakukan pemeriksaan. Pasien juga memiliki suatu faktor resiko dari
etiologi karsinoma nasofaring yaitu sering makan ikan asin.18
Meskipun beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring tidak dapat
dikontrol, ada beberapa yang dapat dihindari dengan melakukan perubahan gaya
hidup. Menghentikan menghirup asap rokok, karena hal ini adalah hal yang sangat
penting untuk mengurangi risiko karsinoma nasofaring. Cara pencegahan lain
dapat dilakukan pada lingkungan yang penduduknya banyak yang terkena
karsinoma nasofaring ini misalnya dengan pemberian vaksinasi, dapat pula
dengan memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat
lainnya. Menurut laporan luar negeri, orang Cina generasi pertama (umumnya
penduduk Kanton) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada memiliki angka
kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit
putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, generasi
ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara keseluruhan cenderung menurun.19
Edukasi akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan yaitu dengan menghindari memasak dengan kayu bakar atau arang
seperti dalam membakar ikan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahanbahan yang berbahaya seperti nitrosamin. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup
yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes
serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring lebih dini.
Dalam menentukan stadium kanker pasien, diperlukan pemeriksaan
tambahan untuk mengetahui besarnya tumor, serta metastase.

Dengan

pemeriksaan CT-Scan dan adanya gejala yang melibatkan saraf kranial (N.VIII,
IX, X) dapat disimpulkan tumor primer pasien tergolong T4. Pembesaran kelenjar
bagian retroaurikular ditemukan limfadenopati bilateral dengan diameter 1,5
cm. Bone survey yang belum didapat membuat penilaian metastasis jauh,
misalnya ke hati atau paru belum bisa dipastikan serta hasil biopsi yang belum
didapatkan juga belum bisa menegakkan jenis sel tumornya, stadium pada pasien
ini ialah T4N3Mx.

35

Tatalaksana yang paling sesuai dengan stadium ini adalah kemoradiasi,


karena sampai sekarang radioterapi merupakan pilihan utama untuk penderita
KNF terutama bila masih dini (stadium I dan II), untuk stadium lanjut radioterapi
diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan
hidup penderita. Pertimbangan pemilihan radioterapi didasarkan histopatologis
kebanyakan KNF dari jenis karsinoma undifferensiated dan karsinoma non
keratinisasi yang sangat radiosensitif. Respon tumor terhadap radiasi umumnya
meningkat bila dikombinasikan dengan kemoterapi. Indikasi pemberian
kemoterapi pada KNF antara lain stadium lanjut lokoregional, disertai atau
dicurigai adanya metastasis jauh, tumor persisten dan rekuren. Alasan lain
digunakan terapi kemoradiasi ialah faktor anatomi nasofaring yang terletak di
dasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan bedah
ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor sangat sulit dikerjakan.3
Pada pasien ini juga ditemukan hipoalbumin yang ditandai dengan edema
palpebra, pitting edema pada kedua tungkai dan hipoalbumin pada pemeriksaan
laboratorium. Hal ini diakibatkan dari kurang asupan yang disebabkan pasien sulit
menelan karena massa tumor yang menghalangi bolus untuk masuk ke faring atau
terjadi invasi tumor ke intra kranial hingga mengenai N.IX dan X.
Prognosis penderita KNF ditentukan dari stadium tumor. Keberhasilan
terapi untuk pasien KNF stadium I dan II lebih dari 80% sedangkan stadium III
dan IV kurang dari 40%.2 Angka bertahan hidup 5 tahun untuk stadium I
dilaporkan sebesar 83,7%, stadium II 67,9%, stadium III 40,3% dan stadium IV
sebesar 22,3%.19 Pasien ini berada pada stadium IV sehingga persentase
keberhasilan pengobatan pada pasien ini rendah dan harapan hidup jelek. Pasien
rencana dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin setelah mendapatkan hasil
pemeriksaan patologi anatomi tapi pasien tidak datang lagi untuk kontrol.

36

Anda mungkin juga menyukai