Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KARDIORESPI
Skenario 2
KELOMPOK 10

Anggota kelompok :
Annisa Mardhiyyah

1318011018

Annisa Rusfiana

1318011019

Dear Apriyani Purba

1318011048

Dian Octaviani

1318011057

Intan Damaya Antika

1318011085

Intan Fajar Ningtiyas

1318011086

Intan Siti Hulaima

1318011087

Rani Pratama Putri

1318011136

Restu Pamanggih

1318011138

Ria Arisandi

1318011139

Victoria Hawarima

1318011174

Wage Nurmaulina

1318011175

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015

PRAKATA

Assalammu'alaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyusun laporan diskusi tutorial
ini.
Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas blok kardiorespi.
Kepada para dosen yang terlibat dalam mata kuliah dalam blok ini, kami
mengucapkan terima kasih atas segala pengarahan yang telah diberikan sehingga
dapat menyusun laporan ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
laporan ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu,
kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kami. Selain itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan, guna kesempurnaan laporan
ini dan perbaikan bagi kita semua.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan
untuk kita semua.
Wassalammu'alaikum wr.wb.
Bandar Lampung,12 September 2015

Penyusun

Daftar Isi

Prakata......................................................................................................................2
Daftar isi...................................................................................................................3
Skenario 2.................................................................................................................4
Step 1............................................................................................ ...7
Step 2........................................................................................................................8
Step 3 & 4.............................................................................................................9
Step 5......................................................................................................................42
Step 7......................................................................................................................43

SKENARIO 2
(Multilevel Skenario)

Sesak Napas
Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke UGD pada tengah malam, dengan
keluhan sesak napas.

Informasi pada Skenario 2

Anamnesis
1. Identitas Pasien :
Laki-laki usia 28 tahun
2. Keluhan utama :
Datang ke UGD tengah malam dengan keluhan sesak nafas
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluhan lain seperti batuk (awalnya tidak berdahak namun pagi hari

sebelum ke UGD berdahak), dan mengalami mengi saat bernafas


Keluhan seperti dada terasa nyeri disangkal
Keluhan sesak nafas sudah sejak kecil
Dulu pernah menjalani pengobatan, namun sekarang tidak lagi
Faktor pencetus sekarang sebelumnya membersihkan rak buku, namun

dulu akibat dari cuaca dingin


Pola makan biasa, tidak minum alcohol, dan tidak merokok
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat alergi makanan laut seperti kerang, udang
5. Riwayat penyakit keluarga
Ibu pasien menderita asma
Paman pasien perokok dan saat ini dirawatdi RS, karena infeksi saluran
napas
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Keadaan umum
Tekanan darah
RR
Nadi
Suhu
Inspeksi

: tampak sakit sedang, kesadaran composmentis


: 120/80 mmHG
: 44 x/menit
: 84 x/menit
: 38 C
:

-Pasien tampak gelisah


-Adanya pernapasan cuping hidung
-Adanya otot-otot pernapasan tambahan
-Konjungtiva ananemis
-Tidak ada sianosis
-Dinding dada
5

-Adanya retraksi dinding dada


7. Palpasi
8. Perkusi
9. Auskultasi

: Fremitus taktil simetris


: Hipersonor
: Vesikuler, wheezing ++ saat ekspirasi

Pemeriksaan penunjang
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hb
Trombosit
Eritrosit
Leukosit
LED
Hitung
Jenis
( eosinofilia )

: 13 g/dl
: 380.000 /l
: 6 juta /l
: 8.400 /l
: 10 mm/jam
: 0 10 3 55

Diagnosis banding
1. Asma
2. PPOK
3. Emfisema

STEP 1
Tidak ditemukan kata-kata sulit

STEP 2

1.
2.
3.
4.
5.

Etiologi dan factor resiko Asma dan PPOK


Patogenesis Asma dan PPOK
Manifestasi klinis Asma dan PPOK
Diagnosis Asma dan PPOK
Penatalaksanaan dan pencegahan Asma dan PPOK

STEP 3 dan STEP 4


1. ASMA
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
a. Faktor genetik
Hiperreaktivitas
Atopi/Alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis Kelamin
Ras/Etnik
b. Faktor lingkungan
Alergen didalam

ruangan

(tungau,

debu

rumah,

kucing,

alternaria/jamur)
Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)


Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-

blocker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu


Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan


dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial.
Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm
(EIB). Exercised induced asthma

harus dibedakan antara penderita asma

dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan


metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak
ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya
EIB adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable
maximum heart rate.

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya


kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha
lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam
alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan
osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast
dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory
mediator berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada
akhirnya menyebabkan terjadinya bronkospasme pada exercised induced
asthma. Pada EIB atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun
peningkatan eosinofil, neutrofil, atau sel epitel kolumnar sehingga tidak
berespon terhadap steroid inhalasi.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut :

Hiperaktivitas bronkus

obstruksi

P
Faktor
Genetik
Sensitisasi

inflamasi

Gejala Asma

Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang
diduga berhubungan
dengan penyakit asma,
serta penyakit
Pemicu (inducer)
Pemacu (enhancer)
Pencetus (trigger)
yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang
terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak
pada kromosom 6 daerah 6p21.31.
PPOK

10

Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

Pertambahan penduduk

Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an


menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

Industrialisasi

Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di


pertambangan

(PDPI,2010)

Faktor Resiko
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a) Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2.
3.
4.
5.

Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja


Hipereaktiviti bronkus
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

11

2. ASMA
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua
usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama
kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan
lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis
atopik.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas
II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik
merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori.
Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam
epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju
kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang
terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif .
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat
dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil,
sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada
saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated

12

mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan
mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama
fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro
inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi selsel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat
semakin lama semakin kuat .
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan
proliferasi

sel-sel

otot

polos

saluran

respiratori

dan

meningkatkan

permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan


jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang
meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit .

13

Gambar 1. Patogenesis Asma


Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik
dan

berat.

Secara

keseluruhan,

saluran

respiratori

pasien

asma,

memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan


dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga
merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama
(lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi
kortikosteroid .
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus .

Faktor Risiko

Faktor Risiko
Inflamasi

Hiperaktivitas Bronkus

Obstruksi Bronkus

Faktor Risiko

Gejala

14

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,


nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel
dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar
reaksi yang terjadi .

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik


Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil,
trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang
kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan
protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus .
PPOK

15

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini
adalah

merokok.

Komponen-komponen

asap

rokok

ini

merangsang

perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain


itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional
serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas.
Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan
edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat.
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan
akibat mukus yang kental dan adanya peradangan .
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas seperti pada gambar 1.
Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi

16

(Sumber :Antonio et all, 2007)


Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni :
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen
saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding
saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan
inflamasi yang terjadi pada penderita asma.(Corwin EJ, 2001)
Tabel 1. Patogenesis PPOK

17

3. ASMA
Manifestasi klinis :
Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas
yang berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari
menjelang waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon
kortisol yang kadarnya rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya.
Penderita asma akan mengeluhkan sesak nafas karena udara pada waktu
bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar pada saluran nafas yang sempit
dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi ngik-ngik pada saat
bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan yang terjadi
dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang diproduksi
secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk mengeluarkan
dahak tersebut. Gambar dibawah ini adalah gambar penampang paru dalam
keadaan normal dan saat serangan asma.

Gambar 3. Sebelum dan sesudah serangan asma


Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan di luar serangan. Artinya, pada
saat serangan, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk,
sesak napas hebat dan bahkan sampai seperti tercekik), tetapi di luar serangan
dia sehat-sehat saja (bisa main tenis 2 set, bisa jalan-jalan keliling taman, dan
lain-lain). Inilah salah satu hal yang membedakannya dengan penyakit lain
(keluhan sesak pada asma adalah revesibel, bisa baik kembali di luar
serangan).

18

PPOK
Manifestasi klinis :
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
5. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
4. ASMA
Diagnosis :
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma
menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun)
pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna
dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji
provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara
kering

dan

dingin,atau

dengan

salin

hipertonis

sangat

menunjang

diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak


melalui 3 cara yaitu didapatkannya.
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala
batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk
dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
19

yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan,


gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan
aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat
anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak
dan

sianosis

dapat

dijumpai,

pasien

berbicara

terputus-putus

saat

mengucapkan kata-kata .
Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih
dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya
wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi
nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau
manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan .
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem
dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme
patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat
terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai
anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol .
Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior.
Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi
paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan
adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal .
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil
total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis,

20

dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji
provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan .
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma
anak menjadi 3 derajat penyakit
Parameter

Asma

episodic Asma

episodic Asma persisten


(asma berat)

klinis
Kebutuhan

jarang
(asma ringan)

sering
(asma sedang)

obat,
dan faal paru
1.Frekuensi

3-4x /1tahun

1x/bulan

1/bulan

serangan
2.Lama

<1 minggu

1 minggu

Hampirsepanjang

serangan

tahun,

3.Intensitas

Ringan

Sedang

remisi
Berat

serangan
4.diantara

Tanpa gejala

Sering ada gejala

Gejala

serangan
5.Tidur dan Tidak terganggu
<3x/minggu
aktivitas
6.Pemeriksaa Normal, tidak
ditemukan kelainan
n fisis
diluar
serangan
7.Obat

Tidak perlu

pengendali
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80%
(di
luar
serangan0
9.Variabilitas

20%

Sering terganggu
>3x/minggu
Mungkin terganggu
(ditemukan

tidak

ada

siang

dan

malam
Sangat terganggu
Tidak pernah normal

kelainan)
Perlu, non steroid/
Perlu, steroid inhalasi
steroid
inhalasi Dosis 400 g/hari
dosis
100-200 g
PEF/FEV1 60-80%

30%

PEF/FEV1 < 60%


Variabilitas 20-30%
50%

faal paru
(bila
ada
serangan)
Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma

21

Parameter klinis,
Fungsi paru,
Laboraturium
Sesak (breathless)

Posisi

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan
Bayi :
Menangis

Berbicara
Bayi :
Tangis

keras

pendek
& lemah
Kesulitan
menetek dan
makan
Lebih suka
Duduk

Istirahat
Bayi :
Tidak mau
minum /
makan

Bisa
berbaring

Bicara
Kesadaran
Sianosis
Wheezing

Penggunaan otot
Bantu respiratorik

Retraksi

Frekuensi napas

Frekuensi nadi

Kalimat

Penggal

kalimat
Mungkin
Biasanya
irritable
irritable
Tidak ada
Tidak ada
Sedang,
Nyaring,
Sepanjang
sering
ekspirasi
hanya pada
inspirasi
akhir
ekspirasi
Biasanya
Biasanya ya

Duduk
bertopang
lengan
Kata-kata
Biasanya
Irritable
Ada
Sangat
nyaring,
Terdengar
tanpa
stateskop

kebingungan

Ya

Gerakan

tidak
Dangkal,
Retraksi
Interkosta

Sedang,
ditambah
Retraksi
suprasternal

Ancaman
henti napas

Dalam,
ditambah
Napas

Nyata
Sulit /
Tidak
terdengar

paradox
TorakoAbdominal
Dangkal/
Hilang

cuping
hidung
Takipnu
Takipnu
Takipnu
Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia
frekuensi napas normal
<2 bulan
< 60 / menit
2-12 bulan
< 50 /menit
1-5 tahun
< 40 / menit
6-8 tahun
< 30 / menit
Normal
Takikardi
Takikardi
Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia
Frekuensi nadi normal
2-12 bulan
< 160 / menit
1-2 tahun
< 120 / menit
22

3-8 tahun
Pulsus paradoksus

Tidak ada
<10 mmHg

< 110 / menit


Ada
10-20 mmHg

Ada
>20 mmHg

Tidak ada,
Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik

PEFR atau FEV1


Prabronkodilator
Pascabronkodilator

SaO2 %
PaO2
PaCO2

(%

Nilai Nilai terbaik)


40-60%
dugaan/
60-80%
>60%
>80%
>95%
Normal
<45 mmHg

<40%
<60%
Respon < 2

91-95%
>60 mmHg

jam
90%
<

<45 mmHg

mmHg
>45 mmHg

60

PPOK
Diagnosis :
Anamnesis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
5. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1. Inspeksi
a. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sela iga
23

f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
g. Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
a. Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
a. Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin

Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)

24

1. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau


VEP1/KVP ( %).
2. Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
3. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
4. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%

Uji bronkodilator
1. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
2. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil


Darah rutin : Hb, Ht, leukosit
Radiologi :
1. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
2. Pada emfisema terlihat gambaran :
3. Hiperinflasi
4. Hiperlusen
5. Ruang retrosternal melebar
6. Diafragma mendatar
7. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

Pada bronkitis kronik :

25

1. Normal
2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus

Faal paru
1. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
2. DLCO menurun pada emfisema
3. Raw meningkat pada bronkitis kronik
4. Sgaw meningkat
5. Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

Uji latih kardiopulmoner


1. Sepeda statis (ergocycle)
2. Jentera (treadmill)
3. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

Uji coba kortikosteroid


Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal
paru setelah pemberian kortikosteroid

Analisis gas darah


Terutama untuk menilai :
1. Gagal napas kronik stabil
2. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

26

Radiologi
1. CT - Scan resolusi tinggi
2. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
3. Scan ventilasi perfusi
4. Mengetahui fungsi respirasi paru

Elektrokardiografi
1. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
2. Ekokardiografi
3. Menilai funfsi jantung kanan

Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2007, dibagi atas 4 derajat :
Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam

27

tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.
Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak
nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi
yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <
30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas
kronik dan gagal jantung kanan. Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1
dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala
sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1
5. ASMA
Penatalaksanaan :
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan
potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan:
1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

28

2. Mengurangi hipoksemia
3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu
tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan
atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu
dilakukan penurunan pelan pelan (step down).
Syarat step up :
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.
Syarat step down :
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan
bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat
pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
Obat obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
29

a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor 2
adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP
sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast.

Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak
ada 2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada
reseptor

1, 2, dan sehingga menimbulkan efek samping

berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan


hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan
karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan

menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.


2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol
: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi

: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,


efek puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1
menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6
jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.

30

Serangan berat: MDI 10 semprotan.


Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena
pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal
obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit
kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
2. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi
karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat
ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan
anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,

sebagian besar dieksresi bersama urin.


Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia .
3. Anticholinergics
31

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan


nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam . Obat ini dapat juga
diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8
20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

4. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.


Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.


Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24
jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari
selama 3 5 kali sehari . Kortikosteroid tidak secara langsung berefek
sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi
sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat
peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan
adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4
mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam .

32

Obat obat Pengontrol


Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral 2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol

yang paling

efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.


Intervensi awal dengan

penggunaan inhalasi budesonide berhubungan

dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan


obat-obat

tambahan.

glukokortikosteroid

ini

Terapi

pemeliharaan

dengan

mampu

mengontrol

gejala-gejala

inhalasi
asma,

mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah


sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat
digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut.
2.

Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :

LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;
Mempunyai

bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali

efek

bronkodilator

dan

perlindungan

terhadap

per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;


sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;

33

Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan


meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta
diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ proinflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per
oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun
adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7
tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek
samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase)
sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari
frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan
LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).
Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai
obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang

bertujuan

untuk

mengontrol

asma

dan

mengurangi

dosis

pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah


34

daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek samping berupa


anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi,
takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek
samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu
terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi
karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada
asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi
pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah
cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Cara Pemberian Obat
UMUR
< 2 tahun
2-4 tahun

5-8 tahun

ALAT INHALASI
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
Nebuliser

35

MDI dengan spacer


Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
>8 tahun

Turbuhaler)
Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut


(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga
mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik
sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk
bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,
Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas
atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah
dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Pencegahan
1. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
3. Menghindari makanan berpotensi alergen
PPOK
Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita

36

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Obat obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil
dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Tabel 3. Penatalaksanaan PPOK

37

(Sumber : PDPI,2010)
Tabel 4. Algoritma PPOK

38

(Sumber : PDPI,2010)
Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
-

Hindari asap rokok

Hindari polusi udara

Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK


-

Berhenti merokok

Gunakan obat-obatan adekuat

Mencegah eksaserbasi berulang

STEP 5

39

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Diagnosis PPOK
Diagnosis Asma
Penatalaksanaan PPOK dan asma pada anak
Pencegahan Asma dan PPOK
Rehabilitasi medic
Pola diet pada penyakit saluran respirasi

40

STEP 7
1. Diagnosis PPOK
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda
inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
41

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher
dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

42

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk


mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi

43

- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan

44

minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal
paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin

45

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema


pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
Diagnosis Asma
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.

Anamnesis yang baik cukup untuk

menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran


faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
Gejala :
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Jasmani :
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah

46

mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas
Faal Paru :
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat
asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai

yang akurat, diambil nilai tertinggi dari

2-3 nilai yang

47

reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1< 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/ KVP < 75% atau VEP 1<
80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 1014 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator),

atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)


Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh

48

karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik


sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan..
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara:
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE
pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah
bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE
harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
(APE malam + APE pagi)
Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan
APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai
terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling
mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS
-

Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi
bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang
49

tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan


diagnosis asma persisten, tetapi

hasil positif tidak selalu berarti bahwa

penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti
PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
-

Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/
pencetus

sehingga

dapat

dilaksanakan

kontrol

lingkungan

dalam

penatalaksanaan.
-

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat
untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.

2. Penatalaksanaan ppok dan asma


Penatalaksanaan PPOK
Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita

50

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan. PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil
dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di
unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi
diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat

51

diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan


semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktiviti
dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan
derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan
kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat obatan

Macam obat dan jenisnya

Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau


kalau perlu saja )

Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

Kapan oksigen harus digunakan

Berapa dosisnya

4. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

52

5. Tanda eksaserbasi :

Batuk atau sesak bertambah

Sputum bertambah

Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi


7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan
penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan

Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara


lain berhenti merokok

Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

Menggunakan obat dengan tepat

Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

Penggunaan oksigen di rumah

53

Obat obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (
long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
-

Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali
perhari ).

Golongan agonis beta 2


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang.

Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.


-

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda.

Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan


mempermudah penderita.
-

Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
54

tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),


bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250
mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
-

Lini I

: Amoksisilin makrolid

Lini II

: Amoksisilin dan asam klavulanat


Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum
yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati

55

Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
a. Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
b. Indikasi
1. Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
2. Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
1. Pemberian oksigen jangka panjang
2. Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
-

Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT)

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

56

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi
oksigen di atas 90%.
c. Alat bantu pemberian oksigen :
1. Nasal kanul
2. Sungkup venturi
3. Sungkup rebreathing
4.

Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit
di ruang ICU atau di rumah.
a. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
-

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal


napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

57

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif


Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
-

Volume control

Pressure control

Bilevel positive airway pressure (BiPAP)

Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT
/ Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan
pada :
-

Analisis gas darah

Kualiti dan kuantiti tidur

Kualiti hidup

Analisis gas darah

b. Indikasi penggunaan NIPPV


-

Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus


respirasi dan abdominal paradoksal

Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35

Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
-

Penurunan berat badan

58

Kadar albumin darah

Antropometri

Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan


mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan
pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
-

Hipofosfatemi

Hiperkalemi

Hipokalsemi

Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian


nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu
pemberian yang lebih sering.
Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :

59

Memperbaiki fungsi paru

Memperbaiki mekanik paru

Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi

Memperbaiki kualiti hidup

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :


1. Bulektomi
2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey
(LVRS)
3. Transplantasi paru
Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1.Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2.Mencegah eksaserbasi akut
3.Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4.Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5.Menghindari efek samping obat
6.Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1.Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2.Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3.Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya

tidak

diperlukan)
4.Variasi harian APE kurang dari 20%

60

5.Nilai APE normal atau mendekati normal


6.Efek samping obat minimal (tidak ada)
7.Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah
gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.
Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga
terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1.Edukasi
2.Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3.Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4.Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5.Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6.Kontrol secara teratur
7.Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa
yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi asma,
yaitu :
1.

Mengenal seluk beluk asma

2.

Menentukan klasifikasi

3.

Mengenali dan menghindari pencetus

4.

Merencanakan pengobatan jangka panjang

5.

Mengatasi serangan asma dengan tepat

6.

Memeriksakan diri dengan teratur

7.

Menjaga kebugaran dan olahraga

3. Pencegahan ppok dan asma

61

Pencegahan PPOK
A. Mencegah terjadinya ppok
Hindari asap rokok
Hindari polusi udara
Hindari infeksi saluran napas berulang
B. Mencegah oerburukan ppok
Berhentikan merokok
Gunakan obat-obatan yang adekuat
Mencegah eksaserbasi berulang
Pencegahan Asma
Pada penderita asma:
-Hindari kontak dengan alergen
-Hindari olahraga yang berat karena dapat menyebabkan obstruksi singkat
saluran pernapasan
-Latihan pernapasan, relaksasi dan lakukan senam asma
Selain itu pencegahan asma meliputi:
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan
bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan
tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis
asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau
menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor
tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga
pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah
itu terus berlangsung dan menjanjikan.
Periode prenatal
62

Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen
(antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus
tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus,
walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah penting.
Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi
daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan
sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi
imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu
hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi,
bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada
nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat
direkomendasikan untuk dilakukan.

Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama
difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur,
ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal
tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan).
Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien
dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan
tindak lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada
efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa
upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung
oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko
menimbulkan gangguan tumbuh kembang. Diet menghindari antigen pada ibu
menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi
dibutuhkan studi lanjutan (bukti C).

63

Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari


sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa
menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi;
dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing
kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang
tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan
hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di
kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi
pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel
Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen.
Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan imunomodulasi
menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen yang berkaitan dengan IL12 atau IFN-, pemberian mikroorganisme usus yang relevan melalui oral
(berhubungan dengan kolonisasi flora mikrobial usus). Semua strategi tersebut
masih sebagai hipotesis dan membutuhkan penelitian yang tepat.
Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada
kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun,
walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau
postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan
akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4
kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam tahun pertama
kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu
yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga
disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru,
meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi
mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.
Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal
maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/
penyakit dengan mengi (bukti A).

64

Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru
mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada
penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung,
mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset
asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi
total dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh
berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
4. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang
telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun

65

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial
dan latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan
pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi
yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan
ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut
bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu
bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan
kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
Endurance exercise

66

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.


Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar
pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat
meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena
meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.
Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian
oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan
satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan
latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada
penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang
dominan untuk menghentikan latihannya. Berkurangnya aktiviti kegiatan
sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi
selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter
serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring
ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya
oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah
6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif
tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada
walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama
2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.

67

Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70%


maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5
hari perminggu. Denyut nadimaksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat
diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi
atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna
memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot
ekstrimiti.
Rehabilitasi asma
-

Superficial heating (infrared) 10-15 menit pada daerah dinding dada


Nebulized
Terapi fisik dada

5. Pola diet

68

PPOK
Tujuan Diet :
o Memberikan asupan makanan cukup energi, zat gizi makro dan zat gizi lain
sesuai dengan kebutuhan.
o Mengurangi asupan Karbohidrat karena dapat meningkatkan produksi CO 2
hasil metabolism KH dan meningkatkan asupan lemak.
o Meningkatkan asupan zat gizi mikro terutama melalui buah dan sayur.
o Memberi makanan yang lunak per oral.
o Meningkatkan asupan cairan.
o Memberikan makanan PKTS
v Preskripsi Diet : Diet TETP, makanan lunak, PKTS
v Syarat Diet :
o Asupan energi cukup disesuaikan dengan kebutuhan 2.103,09 kkal.
o Protein 15 %,yaitu 78,9 gr.
o Asupan Karbohidrat dikurangi menjadi 45 % dari total kebutuhan, yaitu
236.6 gr untuk mengurangi sesak napas.
o Lemak tinggi 40% dari total kebutuhan, yaitu 93,5 gr lemak jenuh < 10 %
Resporatory Quontient (RQ) rendah.
o Cairan diberikan cukup 4cc/kg BB/hari yaitu 2000 cc atau 2 liter / hari
o Pola makan dengan memperhatikan prinsip PKTS ( porsi kecil tapi sering) 3
kali utama, 2 kali selingan.
o Pemberian makanan diberikan secara oral dan lunak karena tingkat
kesadaran pasien composmentis (baik).
o Bentuk makanan lunak untuk mengurangi kerja usus, untuk mengurangi
inflamasi yang berlebih.
o Jangan berikan makanan yang terlalu manis, goreng-gorengan, dan terlalu
asin (merangsang lambung).
o Hindari makanan yang bersantan kental.
o Hindari makanan yang berbumbu tajam/ merangsang lambung.
o Hindari teknik memasak dengan menggoreng, dianjurkan dengan teknik
menumis, memanggang, dan merebus.
v Monitoring :
o Memantau kenaikan IMT menjadi normal
o Peningkatan BB secara bertahap.
69

o Memantau asupan energi dan zat gizi makro dari makanan yang habis
dikonsumsi.
o Menurunkan kadar LED dan Segmen hingga mencapai kadar normal.
o Meningkatkan pengetahuan gizi seimbang.
o Memantau pengurangan frekuensi mual.
v Evaluasi :
o Mengukur kenaikan BB setiap hari sesaat setelah bangun tidur sampai
mencapi IMT normal, yaitu 18,5 25,0
o Perubahan asupan energi total dari kebutuhan energi yang harus dipenuhi
2.103,09 kkal di lihat dengan cara recall makanan (habis/tidak habis
makanan yang diberikan). Dan pemberian protein yang mempunyai nilai
bilogis tinggi.
o Pasien dapat mengidentifikasi hambatan yang ada dalam merubah pola
makan.
o Pasien dapat menjelaskan pola makan seimbang serta penerapannya pada
pengaturan makanan sehari.
o Melihat perubahan pasien dalam mengkonsumsi ikan dan daging.
ASMA
1. Cukup Energi dan Protein, jaga agar berat badan dalam kisaran normal
diupayakan ideal.
2. Cukupi Kebutuhan air, biasakan minum air minimal gelas per jam agar
sekresi tetap encer.
3. Hindari makanan yang telah diketahui sebagai biang penyebab terjadinya
serangan asma.
4. Hindari bahan makanan yang mengandung Sulfit hasil penelitian makanan
yang mengandung sulfit dapat memicu serangan asma pada 20 persen
orang penderita asma. Sulfit terdapat dalam makanan sebagai hasil dari
fermentasi dan ditemukan dalam makanan olahan. Jika kita tidak hati-hati
dalam memilih makanan, tentu banyak sekali makanan yang mengandung
sulfit karena sulfit banyak sekali digunakan sebagai bahan pengawet.
Sebelum anda memakan suatu makanan, bacalah dulu komposisi makanan
tersebut karena sulfit menggunakan nama seperti sulfur dioksida, kalium
bisulfit atau kalium metabisulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit atau
natrium sulfit.

70

5. Perbanyak makanan sumber anti oksidan sebagai pencegah stress


oksidatif, konsumsi minimal 3 porsi sayur dan 2 porsi buah setiap hari
agar anti oksidan dapat terpenuhi.
6. Konsumsi makanan yang omega 3: makanan yang mengandung asam
lemak omega 3 ternyata mampu mengurangi gejala asma. Contoh
makanan yang banyak mengandung omega3 yaitu : ikan, biji jintan, dan
kacang. Atau bisa mengkonsumsi asam lemak yang mudah sekali
didapatkan.

71

Anda mungkin juga menyukai