BLOK KARDIORESPI
Skenario 2
KELOMPOK 10
Anggota kelompok :
Annisa Mardhiyyah
1318011018
Annisa Rusfiana
1318011019
1318011048
Dian Octaviani
1318011057
1318011085
1318011086
1318011087
1318011136
Restu Pamanggih
1318011138
Ria Arisandi
1318011139
Victoria Hawarima
1318011174
Wage Nurmaulina
1318011175
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
PRAKATA
Assalammu'alaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyusun laporan diskusi tutorial
ini.
Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas blok kardiorespi.
Kepada para dosen yang terlibat dalam mata kuliah dalam blok ini, kami
mengucapkan terima kasih atas segala pengarahan yang telah diberikan sehingga
dapat menyusun laporan ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
laporan ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu,
kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kami. Selain itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan, guna kesempurnaan laporan
ini dan perbaikan bagi kita semua.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan
untuk kita semua.
Wassalammu'alaikum wr.wb.
Bandar Lampung,12 September 2015
Penyusun
Daftar Isi
Prakata......................................................................................................................2
Daftar isi...................................................................................................................3
Skenario 2.................................................................................................................4
Step 1............................................................................................ ...7
Step 2........................................................................................................................8
Step 3 & 4.............................................................................................................9
Step 5......................................................................................................................42
Step 7......................................................................................................................43
SKENARIO 2
(Multilevel Skenario)
Sesak Napas
Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke UGD pada tengah malam, dengan
keluhan sesak napas.
Anamnesis
1. Identitas Pasien :
Laki-laki usia 28 tahun
2. Keluhan utama :
Datang ke UGD tengah malam dengan keluhan sesak nafas
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluhan lain seperti batuk (awalnya tidak berdahak namun pagi hari
Keadaan umum
Tekanan darah
RR
Nadi
Suhu
Inspeksi
Pemeriksaan penunjang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hb
Trombosit
Eritrosit
Leukosit
LED
Hitung
Jenis
( eosinofilia )
: 13 g/dl
: 380.000 /l
: 6 juta /l
: 8.400 /l
: 10 mm/jam
: 0 10 3 55
Diagnosis banding
1. Asma
2. PPOK
3. Emfisema
STEP 1
Tidak ditemukan kata-kata sulit
STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.
ruangan
(tungau,
debu
rumah,
kucing,
alternaria/jamur)
Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
blocker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
Hiperaktivitas bronkus
obstruksi
P
Faktor
Genetik
Sensitisasi
inflamasi
Gejala Asma
Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang
diduga berhubungan
dengan penyakit asma,
serta penyakit
Pemicu (inducer)
Pemacu (enhancer)
Pencetus (trigger)
yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang
terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak
pada kromosom 6 daerah 6p21.31.
PPOK
10
Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
Pertambahan penduduk
Industrialisasi
(PDPI,2010)
Faktor Resiko
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a) Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2.
3.
4.
5.
11
2. ASMA
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua
usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama
kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan
lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis
atopik.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas
II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik
merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori.
Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam
epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju
kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang
terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif .
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat
dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil,
sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada
saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated
12
mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan
mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama
fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro
inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi selsel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat
semakin lama semakin kuat .
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan
proliferasi
sel-sel
otot
polos
saluran
respiratori
dan
meningkatkan
13
berat.
Secara
keseluruhan,
saluran
respiratori
pasien
asma,
Faktor Risiko
Faktor Risiko
Inflamasi
Hiperaktivitas Bronkus
Obstruksi Bronkus
Faktor Risiko
Gejala
14
15
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini
adalah
merokok.
Komponen-komponen
asap
rokok
ini
merangsang
16
17
3. ASMA
Manifestasi klinis :
Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas
yang berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari
menjelang waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon
kortisol yang kadarnya rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya.
Penderita asma akan mengeluhkan sesak nafas karena udara pada waktu
bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar pada saluran nafas yang sempit
dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi ngik-ngik pada saat
bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan yang terjadi
dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang diproduksi
secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk mengeluarkan
dahak tersebut. Gambar dibawah ini adalah gambar penampang paru dalam
keadaan normal dan saat serangan asma.
18
PPOK
Manifestasi klinis :
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
5. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
4. ASMA
Diagnosis :
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma
menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun)
pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna
dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji
provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara
kering
dan
dingin,atau
dengan
salin
hipertonis
sangat
menunjang
sianosis
dapat
dijumpai,
pasien
berbicara
terputus-putus
saat
mengucapkan kata-kata .
Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih
dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya
wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi
nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau
manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan .
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem
dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme
patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat
terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai
anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol .
Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior.
Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi
paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan
adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal .
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil
total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis,
20
dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji
provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan .
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma
anak menjadi 3 derajat penyakit
Parameter
Asma
episodic Asma
klinis
Kebutuhan
jarang
(asma ringan)
sering
(asma sedang)
obat,
dan faal paru
1.Frekuensi
3-4x /1tahun
1x/bulan
1/bulan
serangan
2.Lama
<1 minggu
1 minggu
Hampirsepanjang
serangan
tahun,
3.Intensitas
Ringan
Sedang
remisi
Berat
serangan
4.diantara
Tanpa gejala
Gejala
serangan
5.Tidur dan Tidak terganggu
<3x/minggu
aktivitas
6.Pemeriksaa Normal, tidak
ditemukan kelainan
n fisis
diluar
serangan
7.Obat
Tidak perlu
pengendali
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80%
(di
luar
serangan0
9.Variabilitas
20%
Sering terganggu
>3x/minggu
Mungkin terganggu
(ditemukan
tidak
ada
siang
dan
malam
Sangat terganggu
Tidak pernah normal
kelainan)
Perlu, non steroid/
Perlu, steroid inhalasi
steroid
inhalasi Dosis 400 g/hari
dosis
100-200 g
PEF/FEV1 60-80%
30%
faal paru
(bila
ada
serangan)
Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma
21
Parameter klinis,
Fungsi paru,
Laboraturium
Sesak (breathless)
Posisi
Ringan
Sedang
Berat
Berjalan
Bayi :
Menangis
Berbicara
Bayi :
Tangis
keras
pendek
& lemah
Kesulitan
menetek dan
makan
Lebih suka
Duduk
Istirahat
Bayi :
Tidak mau
minum /
makan
Bisa
berbaring
Bicara
Kesadaran
Sianosis
Wheezing
Penggunaan otot
Bantu respiratorik
Retraksi
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Kalimat
Penggal
kalimat
Mungkin
Biasanya
irritable
irritable
Tidak ada
Tidak ada
Sedang,
Nyaring,
Sepanjang
sering
ekspirasi
hanya pada
inspirasi
akhir
ekspirasi
Biasanya
Biasanya ya
Duduk
bertopang
lengan
Kata-kata
Biasanya
Irritable
Ada
Sangat
nyaring,
Terdengar
tanpa
stateskop
kebingungan
Ya
Gerakan
tidak
Dangkal,
Retraksi
Interkosta
Sedang,
ditambah
Retraksi
suprasternal
Ancaman
henti napas
Dalam,
ditambah
Napas
Nyata
Sulit /
Tidak
terdengar
paradox
TorakoAbdominal
Dangkal/
Hilang
cuping
hidung
Takipnu
Takipnu
Takipnu
Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia
frekuensi napas normal
<2 bulan
< 60 / menit
2-12 bulan
< 50 /menit
1-5 tahun
< 40 / menit
6-8 tahun
< 30 / menit
Normal
Takikardi
Takikardi
Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia
Frekuensi nadi normal
2-12 bulan
< 160 / menit
1-2 tahun
< 120 / menit
22
3-8 tahun
Pulsus paradoksus
Tidak ada
<10 mmHg
Ada
>20 mmHg
Tidak ada,
Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik
SaO2 %
PaO2
PaCO2
(%
<40%
<60%
Respon < 2
91-95%
>60 mmHg
jam
90%
<
<45 mmHg
mmHg
>45 mmHg
60
PPOK
Diagnosis :
Anamnesis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
5. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1. Inspeksi
a. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sela iga
23
f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
g. Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
a. Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3. Perkusi
a. Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
4. Auskultasi
a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
Faal paru
24
Uji bronkodilator
1. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
2. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
25
1. Normal
2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus
Faal paru
1. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
2. DLCO menurun pada emfisema
3. Raw meningkat pada bronkitis kronik
4. Sgaw meningkat
5. Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
26
Radiologi
1. CT - Scan resolusi tinggi
2. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
3. Scan ventilasi perfusi
4. Mengetahui fungsi respirasi paru
Elektrokardiografi
1. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
2. Ekokardiografi
3. Menilai funfsi jantung kanan
Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2007, dibagi atas 4 derajat :
Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
27
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.
Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak
nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi
yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <
30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas
kronik dan gagal jantung kanan. Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1
dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala
sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1
5. ASMA
Penatalaksanaan :
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan
potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan:
1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
28
2. Mengurangi hipoksemia
3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu
tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan
atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu
dilakukan penurunan pelan pelan (step down).
Syarat step up :
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.
Syarat step down :
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan
bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat
pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
Obat obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
29
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor 2
adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP
sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak
ada 2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada
reseptor
30
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
32
yang paling
tambahan.
glukokortikosteroid
ini
Terapi
pemeliharaan
dengan
mampu
mengontrol
gejala-gejala
inhalasi
asma,
leukotriane;
Mempunyai
bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali
efek
bronkodilator
dan
perlindungan
terhadap
33
bertujuan
untuk
mengontrol
asma
dan
mengurangi
dosis
5-8 tahun
ALAT INHALASI
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
Nebuliser
35
Turbuhaler)
Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler
36
37
(Sumber : PDPI,2010)
Tabel 4. Algoritma PPOK
38
(Sumber : PDPI,2010)
Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
-
Berhenti merokok
STEP 5
39
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Diagnosis PPOK
Diagnosis Asma
Penatalaksanaan PPOK dan asma pada anak
Pencegahan Asma dan PPOK
Rehabilitasi medic
Pola diet pada penyakit saluran respirasi
40
STEP 7
1. Diagnosis PPOK
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda
inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
41
42
43
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan
44
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal
paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
45
46
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas
Faal Paru :
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat
asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai
47
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1< 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/ KVP < 75% atau VEP 1<
80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 1014 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator),
48
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti
PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
-
sehingga
dapat
dilaksanakan
kontrol
lingkungan
dalam
penatalaksanaan.
-
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat
untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.
50
51
3. Penggunaan oksigen
Berapa dosisnya
52
5. Tanda eksaserbasi :
Sputum bertambah
Sedang
Berat
53
Obat obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (
long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
-
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali
perhari ).
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
54
Lini I
: Amoksisilin makrolid
Lini II
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum
yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
55
Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
a. Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
b. Indikasi
1. Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
2. Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
1. Pemberian oksigen jangka panjang
2. Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
-
56
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi
oksigen di atas 90%.
c. Alat bantu pemberian oksigen :
1. Nasal kanul
2. Sungkup venturi
3. Sungkup rebreathing
4.
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit
di ruang ICU atau di rumah.
a. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
-
57
Volume control
Pressure control
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT
/ Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan
pada :
-
Kualiti hidup
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
-
58
Antropometri
Hipofosfatemi
Hiperkalemi
Hipokalsemi
Hipomagnesemi
59
tidak
diperlukan)
4.Variasi harian APE kurang dari 20%
60
2.
Menentukan klasifikasi
3.
4.
5.
6.
7.
61
Pencegahan PPOK
A. Mencegah terjadinya ppok
Hindari asap rokok
Hindari polusi udara
Hindari infeksi saluran napas berulang
B. Mencegah oerburukan ppok
Berhentikan merokok
Gunakan obat-obatan yang adekuat
Mencegah eksaserbasi berulang
Pencegahan Asma
Pada penderita asma:
-Hindari kontak dengan alergen
-Hindari olahraga yang berat karena dapat menyebabkan obstruksi singkat
saluran pernapasan
-Latihan pernapasan, relaksasi dan lakukan senam asma
Selain itu pencegahan asma meliputi:
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan
bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan
tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis
asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau
menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor
tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga
pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah
itu terus berlangsung dan menjanjikan.
Periode prenatal
62
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen
(antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus
tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus,
walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah penting.
Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi
daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan
sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi
imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu
hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi,
bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada
nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat
direkomendasikan untuk dilakukan.
Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama
difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur,
ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal
tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan).
Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien
dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan
tindak lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada
efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa
upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung
oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko
menimbulkan gangguan tumbuh kembang. Diet menghindari antigen pada ibu
menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi
dibutuhkan studi lanjutan (bukti C).
63
64
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru
mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada
penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung,
mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset
asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi
total dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh
berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
4. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang
telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
65
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial
dan latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan
pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi
yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan
ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut
bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu
bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan
kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
Endurance exercise
66
67
5. Pola diet
68
PPOK
Tujuan Diet :
o Memberikan asupan makanan cukup energi, zat gizi makro dan zat gizi lain
sesuai dengan kebutuhan.
o Mengurangi asupan Karbohidrat karena dapat meningkatkan produksi CO 2
hasil metabolism KH dan meningkatkan asupan lemak.
o Meningkatkan asupan zat gizi mikro terutama melalui buah dan sayur.
o Memberi makanan yang lunak per oral.
o Meningkatkan asupan cairan.
o Memberikan makanan PKTS
v Preskripsi Diet : Diet TETP, makanan lunak, PKTS
v Syarat Diet :
o Asupan energi cukup disesuaikan dengan kebutuhan 2.103,09 kkal.
o Protein 15 %,yaitu 78,9 gr.
o Asupan Karbohidrat dikurangi menjadi 45 % dari total kebutuhan, yaitu
236.6 gr untuk mengurangi sesak napas.
o Lemak tinggi 40% dari total kebutuhan, yaitu 93,5 gr lemak jenuh < 10 %
Resporatory Quontient (RQ) rendah.
o Cairan diberikan cukup 4cc/kg BB/hari yaitu 2000 cc atau 2 liter / hari
o Pola makan dengan memperhatikan prinsip PKTS ( porsi kecil tapi sering) 3
kali utama, 2 kali selingan.
o Pemberian makanan diberikan secara oral dan lunak karena tingkat
kesadaran pasien composmentis (baik).
o Bentuk makanan lunak untuk mengurangi kerja usus, untuk mengurangi
inflamasi yang berlebih.
o Jangan berikan makanan yang terlalu manis, goreng-gorengan, dan terlalu
asin (merangsang lambung).
o Hindari makanan yang bersantan kental.
o Hindari makanan yang berbumbu tajam/ merangsang lambung.
o Hindari teknik memasak dengan menggoreng, dianjurkan dengan teknik
menumis, memanggang, dan merebus.
v Monitoring :
o Memantau kenaikan IMT menjadi normal
o Peningkatan BB secara bertahap.
69
o Memantau asupan energi dan zat gizi makro dari makanan yang habis
dikonsumsi.
o Menurunkan kadar LED dan Segmen hingga mencapai kadar normal.
o Meningkatkan pengetahuan gizi seimbang.
o Memantau pengurangan frekuensi mual.
v Evaluasi :
o Mengukur kenaikan BB setiap hari sesaat setelah bangun tidur sampai
mencapi IMT normal, yaitu 18,5 25,0
o Perubahan asupan energi total dari kebutuhan energi yang harus dipenuhi
2.103,09 kkal di lihat dengan cara recall makanan (habis/tidak habis
makanan yang diberikan). Dan pemberian protein yang mempunyai nilai
bilogis tinggi.
o Pasien dapat mengidentifikasi hambatan yang ada dalam merubah pola
makan.
o Pasien dapat menjelaskan pola makan seimbang serta penerapannya pada
pengaturan makanan sehari.
o Melihat perubahan pasien dalam mengkonsumsi ikan dan daging.
ASMA
1. Cukup Energi dan Protein, jaga agar berat badan dalam kisaran normal
diupayakan ideal.
2. Cukupi Kebutuhan air, biasakan minum air minimal gelas per jam agar
sekresi tetap encer.
3. Hindari makanan yang telah diketahui sebagai biang penyebab terjadinya
serangan asma.
4. Hindari bahan makanan yang mengandung Sulfit hasil penelitian makanan
yang mengandung sulfit dapat memicu serangan asma pada 20 persen
orang penderita asma. Sulfit terdapat dalam makanan sebagai hasil dari
fermentasi dan ditemukan dalam makanan olahan. Jika kita tidak hati-hati
dalam memilih makanan, tentu banyak sekali makanan yang mengandung
sulfit karena sulfit banyak sekali digunakan sebagai bahan pengawet.
Sebelum anda memakan suatu makanan, bacalah dulu komposisi makanan
tersebut karena sulfit menggunakan nama seperti sulfur dioksida, kalium
bisulfit atau kalium metabisulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit atau
natrium sulfit.
70
71