Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1

Tinjauan Pustaka

2.1.1. Anatomi Sistem Kardiovaskuler


1.

Jantung
Jantung adalah organ muskular berongga yang bentuknya mirip

piramid dan terletak di perikardium di mediastinum. Jantung merupakan


pompa muskular dengan fungsi ganda dan pengaturan diri secara otomatis,
dan bagian-bagiannya bekerja sama untuk mengalirkan darah ke berbagai
bagian tubuh. Sisi kanan jantung menerima darah yang miskin oksigen
dari tubuh melalui vena cava superior dan vena cava inferior, kemudian
memompanya ke paru-paru melalui truncus pumonalis untuk oksigenisasi,
sedangkan sisi kiri jantung menerima darah yang kaya oksigen dari paruparu yang kemudian dipompa ke dalam aorta yang akan disalurkan ke
tubuh. Jantung memiliki empat ruangan yakni atrium dekstra, atrium
sinistra, ventrikel dekstra, dan ventrikel sinistra. Di antara atrium kanan
dan kiri dipisahkan oleh septum interatriale sedangkan di antara ventrikel
kanan dan kiri dipisahkan oleh septum interventriculare. Dinding jantung
tersusun dari lapisan bagian dalam disebut endokardium, bagian tengah
disebut miokardium, dan bagian terluar disebut epikardium. Jantung
terletak miring dengan dua pertiga bagiannya di sebelah kiri dan bagian
sepertiga bagiannya di sebelah kanan (Moore, 2002). Dinding atrium
relatif lebih tipis daripada dinding ventrikel dikarenakan ventrikel
berfungsi untuk memompa darah keluar dari jantung. Jantung memiliki
beberapa katup di antaranya adalah katup trikuspid (valva tricuspidalis)
yang merupakan katup yang memiliki 3 daun katup yang terletak di antara
atrium kanan dan ventrikel kanan, katup bikuspid (valva bicuspidalis)
merupakan katup yang memiliki 2 daun katup yang terletak di antara
atrium kiri dan ventrikel kiri, dan katup semilunaris (katup aorta dan katup
pulmonalis) merupakan katup yang terdiri dari 3 katup yang berbentuk

bulan sabit yang terletak di sambungan tempat arteri-arteri besar keluar


dari ventrikel (Sloane, 2003 & Sherwood, 2011).

Gambar 1. Anatomi Jantung (Herbrandson, 2005)


Umumnya jantung berkontraksi secara ritmik sekitar 70-90 denyut
per menit pada orang dewasa dalam keadaan istirahat. Kontraksi ritmik
berasal secara spontan dari sistem konduksi dan impulnya menyebar ke
berbagai bagian jantung. Sistem konduksi jantung terdiri dari otot jantung
khusus yang terdapat pada nodus sinuatrialis (nodus SA), nodus
atrioventricularis (nodus AV), fasciculus atriventricularis beserta dengan
crus dextrum dan crus sinistrum, dan plexus sub-endocardial serabut
Purkinje (Snell, 2006).
Nodus sinuatrialis (nodus SA) terletak pada dinding atrium dekstra
di bagian atas sulcus terminalis, tepat di sebelah kanan muara vena cava
superior. Nodus ini merupakan asal impuls ritmik elektronik yang secara
spontan disebarkan ke seluruh otot-otot jantung atrium dan menyebabkan
otot-otot ini berkontraksi. Nodus atrioventricularis terletak pada bagian
bawah septum interatriale tepat di atas tempat perlekatan cuspis septalis
valva tricuspidalis. Dari nodus atrioventricularis (nodus AV) impuls
jantung dikirim ke ventrikel oleh fasciculus atrioventricularis. Kecepatan
konduksi impuls jantung melalui nodus atrioventricularis sekitar 0,11
detik, memberikan waktu yang cukup untuk atrium mengosongkan
darahnya ke dalam ventrikel sebelum ventrikel berkontraksi. Fasciculus

atrioventricularis (berkas his) merupakan serabut otot jantung yang


menghubungkan miokardium atrium dan miokardium ventrikel, oleh
karena itu fasciculus ini dipergunakan oleh impuls jantung dari atrium ke
ventrikel. Aktivasi sistem konduksi dapat dipengaruhi oleh saraf otonom
yang mempersarafi jantung (Snell, 2006).
Vaskularisasi arterial jantung. Arteria coronaria dextra berasal
dari sinus aorta dekstra dan melintas dalam sulcus atrioventricularis
(sulcus coronarius). Arteria coronaria dextra bercabang menjadi ramus
nodi sinu-atrialis, yang mengantarkan darah ke nodus sinuatrialis. Arteria
coronaria

dextra

interventricularis

membelok
posterior,

ke
yang

kiri

dan

memasuki

sulcus

menjadi

ramus

bercabang

interventricularis posterior yang mangantarkan darah kedua ventrikel.


Arteria

coronaria

dextra

bercabang

lagi

menjadi

ramus

nodi

atrioventricularis yang mengantarkan darah ke nodus atrioventricularis


dan fasciculus atrioventricularis (Moore, 2002).
Arteria coronaria sinistra dilepaskan dari sinus aortae siniter.
Arteria coronaria sinistra bercabang menjadi ramus interventricularis
anterior yang memperdarahi kedua ventrikel dan septum interventriculare.
Ramus circumflexus yang lebih kecil dari arteria coronaria sinistra,
melepaskan ramus marginalis yang mengikuti tepi kiri jantung (Moore,
2002).
Pembuluh balik darah dari jantung. Darah dalam jantung terutama
disalurkan melalui vena yang mencurahkan isinya ke dalam sinus
coronarius dan untuk sebagian kecil melalui vena-vena kecil (venae cordis
minimae, venae ventriculli dextri anteriores) yang bermuara ke dalam
atrium dekstra.
Persarafan jantung. Jantung dipersarafi oleh serabut otonom dari
plexus cardiacus. Persarafan simpatis berasal dari bagian servikal dan
torakal atas truncus symphaticus. Serabut simpatis

pascaganglion

berakhir dalam nodus sinuatrialis dan nodus atrioventricularis, pada


serabut otot jantung dan pada arteria coronaria. Persarafan parasimpatis
berasal dari nervus vagus dexter dan nervus vagus sinister. Serabut

parasimpatis pascaganglion berakhir dalam nodus sinuatrialis, nodus


atrioventricularis dan dalam arteria coronoria.
2.

Pembuluh Darah
Pembuluh darah adalah serangkaian tuba tertutup yang bercabang

dan membawa darah dari jantung ke jaringan kemudian kembali ke


jantung. Ada tiga jenis pembuluh darah yaitu arteri, kapiler, dan vena
(Sloane, 2003).

Gambar 2. Struktur Pembuluh Darah (Slomianka, 2009)


Arteri membawa darah dari jantung dan mengedarkannya ke seluruh
tubuh. Dinding arteri terdiri dari tiga lapisan berturut-turut yaitu tunika
intima yang terbentuk dari sel-sel endotel yang menyediakan permukaan
nontrombogenik untuk aliran darah, tunika media yang terdiri dari
kolagen, serat otot polos, dan elastin yang bertanggung jawab dalam
mengontrol diameter pembuluh darah saat dilatasi atau konstriksi, dan
tunika adventisia yang merupakan lapisan terluar yang mengandung
serabut saraf dan pembuluh darah yang menyuplai dinding arteri serta
terdiri dari jaringan ikat yang memberikan kekuatan penuh pada
dinding arteri. Berbagai jenis arteri dibedakan berdasarkan tebal
dindingnya dan perbedaan struktur lapisannya, yaitu sebagai berikut arteri
elastik, arteri muskular, dan arteriol. Arteri elastik merupakan golongan
arteri yang terbesar. Tekanan darah arterial antara kontraksi jantung
dipertahankan berkat kelenturan arteri elastik ini. Arteri muskular
mengantarkan darah ke berbagai bagian tubuh. Dinding pembuluh ini
terdiri dari serabut otot polos sirkuler yang menyempitkan lumen sewaktu

kontraksi. Arteriol merupakan jenis arteri yang terkecil. Lumen pembuluh


relatif sempit dan dindingnya tebal derajat tekanan dalam sistem arterial
(tekanan arterial) terutama diatur melalui derajat tonus (ketegangan) otot
polos dalam dinding arteriol. Apabila tonus di atas normal, akibatnya ialah
hipertensi (Moore, 2002).
Kapiler merupakan pembuluh yang sangat kecil dan berbentuk
anyaman yang menghubungkan sisi arterial dan sisi venosa peredaran
darah. Darah yang mengalir diantar masuk oleh arteriol dan disalurkan
keluar oleh venula (Moore, 2002).
Vena adalah pembuluh yang membawa darah kembali ke jantung.
Dinding vena lebih tipis daripada dinding arteri. Vena dibedakan menjadi
tiga jenis yaitu vena kecil (venula), sedang, dan besar. Vena berukuran
sedang memiliki katup-katup yang memungkinkan darah mengalir ke arah
jantung tetapi tidak sebaliknya. Berkas otot polos memanjang merupakan
sifat khas adventisia terbentuk dengan baik pada vena besar (Moore,
2002).

2.1.2. Tekanan Darah


Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap
dinding pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung di dalam
pembuluh dan compliance atau daya regang dinding pembuluh darah. Jika volume
darah yang masuk ke arteri sama dengan volume yang keluar dari arteri selama
periode yang sama maka tekanan darah arteri akan konstan. Namun, sewaktu
sistol ventrikel (kontraksi dan pengosongan), satu isi sekuncup darah masuk ke
arteri dari ventrikel, sementara hanya sepertiga dari jumlah tersebut yang
meninggalkan arteri untuk masuk ke arteriol. Selama diastol (relaksasi dan
pengisian), tidak ada darah yang masuk ke arteri, sementara darah terus keluar
dari arteri, didorong oleh recoil elastik (dinding arteri yang teregang secara pasif
mengecil). Tekanan maksimal yang ditimbulkan pada arteri sewaktu darah
disemprotkan ke dalam pembuluh tersebut selama sistol disebut tekanan sistolik,
rerata adalah 120 mmHg (milimeter air raksa). Tekanan minimal di dalam arteri

10

ketika darah mengalir keluar menuju ke pembuluh yang lebih kecil sewaktu
diastol disebut tekanan diastolik, rerata 80 mmHg (Sherwood, 2011).
1.

Pengukuran Tekanan Darah


Perubahan tekanan arteri sepanjang siklus jantung dapat diukur secara

langsung dengan menghubungkan suatu alat pengukur tekanan ke jarum yang


dimasukkan ke sebuah arteri. Namun, tekanan dapat diukur secara tidak
langsung dengan lebih mudah dan cukup akurat dengan sfigmomanometer, suatu
manset yang dapat dikembangkan dan dipasang secara eksternal untuk
mengukur tekanan. Ketika manset dilingkarkan di sekitar lengan atas dan
kemudian dikembungkan dengan udara maka tekanan manset disalurkan melalui
jaringan

ke

arteri

brakhialis

di

bawahnya.

Teknik

ini

memerlukan

penyeimbangan antara tekanan di manset dan tekanan di arteri (Sherwood,


2011).
Pada permulaan penentuan tekanan darah, manset dikembungkan ke
tekanan yang lebih besar daripada tekanan darah sehingga tekanan arteri
brakhialis kolaps. Karena tekanan eksternal lebih besar daripada puncak tekanan
internal maka arteri terjepit total di sepanjang siklus jantung; tidak terdengar
bunyi apapun, karena tidak ada darah yang mengalir. Sewaktu udara di manset
secara perlahan dikeluarkan, maka tekanan di manset secara perlahan berkurang.
Ketika tekanan manset turun tepat di bawah tekanan sistolik puncak, arteri
secara transien terbuka sedikit. Darah sesaat lolos melewati arteri yang tertutup
parsial. Semburan darah ini bersifat turbulen sehingga dapat terdengar. Karena
itu, tekanan manset tertinggi saat bunyi pertama dapat terdengar menunjukkan
tekanan sistolik. Sewaktu tekanan manset terus menurun, darah secara intermiten
menyembur melewati arteri dan menghasilkan suara seiring dengan siklus
jantung setiap kali tekanan arteri melebihi tekanan manset (Sherwood, 2011).
Ketika tekanan manset akhirnya turun di bawah tekanan diastol, arteri
brakhialis tidak lagi terjepit dan darah mengalir tanpa terhambat melalui
pembuluh. Dengan pulihnya aliran darah nonturbulensi maka tidak ada lagi
suara yang terdengar. Karena itu, tekanan manset tertinggi saat bunyi terakhir
terdengar menunjukkan tekanan diastolik (Sherwood, 2011).

11

Selama penentuan tekanan darah, stetoskop diletakkan di atas arteri


brakhialis di sisi dalam siku tepat di bawah manset. Tidak terdengar suara ketika
darah tidak mengalir melalui pembuluh atau ketika darah mengalir dalam aliran
laminar normal. Sebaliknya, aliran darah turbulen menciptakan getaran yang
dapat terdengar. Bunyi yang terdengar ketika memeriksa tekanan darah, yang
dikenal sebagai bunyi Korotkoff (Sherwood, 2011). Pola bunyi Korotkoff yaitu :
Korotkoff I, suara denyut yang mulai terdengar, tapi masih lemah dan akan
mengeras setelah tekanan diturunkan 10-15 mmHg. Fase ini sesuai dengan
tekanan sistolik. Korotkoff II, suara terdengar seperti bising jantung (murmur)
selama 15-20 mmHg berikutnya. Korotkoff III, suara menjadi kecil kualitasnya
dan menjadi lebih jelas dan lebih keras selama 5-7 mmHg berikutnya. Korotkoff
IV, suara akan meredup sampai kemudian menghilang setelah 5-6 mmHg
berikutnya. Korotkoff V, titik suaranya menghilang. Fase ini sesuai dengan
tekanan diastolik (Sudoyo et al, 2007).
Faktor-faktor yang turut mempengaruhi hasil pengukuran tekanan darah
adalah lebar manset, posisi pasien, dan emosi pasien (Sudoyo et al, 2007).
Pada praktek klinis, tekanan darah arteri dinyatakan sebagai tekanan sistolik
per tekanan diastolik, dengan batas untuk tekanan darah yang dianjurkan
adalah 120/80 mmHg (Sherwood, 2011).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (Dewasa lebih 18 tahun) Berdasarkan
JNC 7 (Chobanian et al, 2003)
Kategori

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

120

80

Prehipertensi

120-139

80-89

Hipertensi Tahap 1

140-159

90-99

Hipertensi Tahap 2

160

100

Normal

2.

Fisiologi Tekanan Darah


Tekanan arteri rata-rata adalah gaya pendorong utama yang mengalirkan

darah ke jaringan. Tekanan ini harus diatur dengan ketat karena tekanan ini
harus cukup tinggi untuk menjamin tekanan pendorong yang memadai ke
jaringan dan tekanan harus tidak terlalu tinggi karena dapat menimbulkan

12

tambahan kerja bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh


darah. Terdapat dua faktor yang menentukan tekanan arteri rata-rata yakni curah
jantung dan resistensi perifer total (Sherwood, 2011).
Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta oleh
jantung setiap menit dan jumlah darah yang mengalir melalui sirkulasi
(Guyton & Hall, 2008) atau volume darah yang dipompa oleh masing-masing
ventrikel

tiap

menit

(Sherwood,

2011).

Terdapat

faktor-faktor

yang

mempengaruhi curah jantung yakni metabolisme basal, aktivitas fisik, usia, dan
ukuran tubuh. Untuk laki-laki dewasa muda sehat, besar curah jantung saat
istirahat rata-rata sekitar 5,6 L/menit sedangkan wanita sekitar 4,9 L/menit. Jika
dinilai dari faktor usia, semakin meningkat usia seseorang, aktivitas tubuhnya
berkurang sehingga besar curah jantung rata-rata saat istirahat sekitar 5 L/menit
(Guyton & Hall, 2008). Kecepatan denyut jantung rata-rata saat istirahat adalah
70 denyut/menit, yang ditentukan oleh irama nodus sinuatrialis (nodus SA),
sedangkan volume sekuncup rata-rata saat istirahat adalah 70 mL/denyut,
sehingga curah jantung rata-rata adalah 4.900 mL/menit atau sekitar 5 L/menit.
Setiap menit ventrikel kanan memompa 5 liter darah ke paru-paru dan ventrikel
kiri memompa darah 5 liter darah ke sirkulasi sistemik. Ini merupakan curah
jantung saat istirahat. Selama olahraga, curah jantung dapat meningkat menjadi
20-25 L/menit (Sherwood, 2011).
Kecepatan denyut jantung ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus
sinuatrialis. Nodus sinuatrialis adalah pemacu normal jantung karena memiliki
laju depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus sinuatrialis

(nodus SA)

mencapai ambang, terbentuk suatu potensial aksi yang menyebar ke seluruh


jantung yang memicu jantung untuk berkontraksi, ini berlangsung sekitar 70
kali/menit sehingga kecepatan denyut jantung rata-rata adalah 70 kali/menit
(Sherwood, 2011).
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi
kecepatan kontraksi, walaupun untuk memulai kontraksi tidak memerlukan
stimulasi sistem saraf. Saraf parasimpatis ke jantung adalah saraf vagus,
terutama yang mempersarafi atrium pada nodus sinuatrialis dan nodus
atrioventrikularis (nodus AV). Persarafan parasimpatis ke ventrikel tidak

13

banyak. Saraf simpatis jantung juga mempersarafi atrium pada nodus sinuatrialis
dan nodus atrioventrikularis serta banyak mempersarafi ventrikel (Sherwood,
2011).
Efek stimulasi saraf parasimpatis pada jantung. Pengaruh saraf
parasimpatis pada nodus sinuatrialis adalah mengurangi kecepatan jantung.
Asetilkolin yang dibebaskan akibat peningkatan aktivitas saraf parasimpatis
menyebabkan peningkatan permeabilitas nodus sinuatrialis terhadap K+ dengan
memperlambat penutupan saluran K+ sehingga kecepatan pembentukan potensial
aksi spontan berkurang.

Pengaruh saraf

atrioventrikularis mengurangi

eksitabilitas

parasimpatis pada nodus


nodus

tersebut,

memperlama

transmisi impuls ke ventrikel. Efek ini terjadi akibat peningkatan permeabilitas


K+ yang menyebabkan

hiperpolarisasi

membran sehingga

memperlambat

inisiasi eksitasi di nodus atrioventrikularis. Stimulasi parasimpatis pada sel-sel


kontraktil atrium mempersingkat potensial aksi yang disebabkan oleh
mengurangi arus masuk lambat yang dibawa oleh Ca++ yaitu fase datar
memendek, akibatnya kontraksi atrium melemah. Saraf parasimpatis tidak
mempengaruhi kontraksi ventrikel karena jarangnya persarafan parasimpatis di
ventrikel jantung. Dengan demikian, saraf parasimpatis menyebabkan jantung
berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang,
dan kontraksi atrium lebih lemah. Hal ini terjadi pada situasi rileks dan tenang
saat tubuh tidak membutuhkan peningkatan curah jantung (Sherwood, 2011).
Efek stimulasi saraf simpatis pada jantung. Saraf simpatis mengontrol
kerja jantung pada situasi darurat atau olahraga, ketika dibutuhkan peningkatan
aliran darah, mempercepat frekuensi denyut jantung melalui efeknya pada
jaringan pemacu. Efek utama stimulasi saraf simpatis pada nodus sinuatrialis
adalah meningkatnya kecepatan depolarisasi sehingga ambang lebih cepat
tercapai. Norepinefrin yang dikeluarkan dari ujung saraf simpatis mengurangi
permeabilitas K+ dengan mempercepat inaktivasi saluran K+. Dengan penurunan
jumlah ion kalium yang meninggalkan sel, bagian dalam sel menjadi kurang
negatif sehingga timbul efek depolarisasi. Hal ini menyebabkan kecepatan
jantung meningkat. Stimulasi saraf simpatis pada nodus atrioventrikularis
mengurangi penundaan

nodus atrioventrikularis dengan meningkatkan

14

kecepatan penghantaran dengan meningkatkan arus masuk Ca++. Stimulasi saraf


simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur hantaran
khusus. Di sel-sel kontraktil atrium dan ventrikel terdapat banyak ujung saraf
simpatis, stimulasi saraf simpatis meningkatkan kekuatan kontraksi sehingga
jantung berdenyut lebih kuat dan memeras keluar lebih banyak darah. Dengan
demikian, efek stimulasi saraf simpatis adalah meningkatkan efektivitas jantung
sebagai pompa dengan meningkatkan kecepatan denyut jantung, menurunkan
jeda antara kontraksi atrium dan ventrikel, menurunkan waktu hantaran ke
seluruh jantung, dan meningkatkan kekuatan kontraksi (Sherwood, 2011).
Volume sekuncup merupakan jumlah darah yang dipompa keluar oleh
masing-masing ventrikel pada setiap denyut jantung. Terdapat 2 jenis kontrol
yang mempengaruhi volume sekuncup yakni kontrol intrinsik yang berkaitan
dengan banyaknya aliran balik vena dan kontrol ekstrinsik yang berkaitan
dengan stimulasi simpatis pada jantung. Kontrol intrinsik bergantung pada
hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup. Kontrol
instrinsik ini bergantung pada panjang tegangan otot jantung. Hubungan tersebut
dikenal sebagai hukum Frank-Starling pada jantung yang menyatakan bahwa
jantung dalam keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan
kepadanya sewaktu diastol; peningkatan aliran balik vena menyebabkan
peningkatan volume sekuncup. Kontrol ekstrinsik berasal dari luar jantung
adalah efek saraf simpatis jantung dan epinefrin. Stimulasi saraf simpatis dan
epinefrin meningkatkan kontraktilitas jantung dan meningkatkan kontriksi vena
sehingga aliran balik vena meningkat (Sherwood, 2011).
Faktor utama lain tekanan darah arteri rata-rata adalah resistensi perifer
total, bergantung pada jari-jari semua arteriol dan kekentalan darah (Sherwood,
2011). Tekanan darah secara terus-menerus dipantau oleh baroreseptor (reseptor
tekanan) di dalam sistem sirkulasi. Ketika terdeteksi adanya penyimpangan dari
normal, maka akan dimulai serangkaian

respon refleks untuk memulihkan

tekanan darah ke nilai normal. Terdapat penyesuaian jangka pendek (dalam


hitungan beberapa detik) dilakukan untuk mengubah curah jantung dan resistensi
perifer total, yang diperantarai oleh pengaruh sistem saraf otonom pada jantung,
vena, dan arteriol. Adapula penyesuaian jangka panjang (memerlukan waktu

15

beberapa menit sampai hari) dicapai melalui penyesuaian volume darah dengan
cara memulihkan keseimbangan garam dan air melalui mekanisme yang
mengatur pengeluaran urin dan rasa haus. Besar-kecilnya volume darah
berdampak besar pada curah jantung dan tekanan darah arteri rata-rata
(Sherwood, 2011).
Setiap perubahan pada tekanan arteri rata-rata memicu suatu refleks
baroreseptor yang mencakup reseptor, jalur aferen, pusat integrasi, jalur
eferen, dan organ efektor. Sinus karotis dan baroreseptor arkus aorta adalah
mekanoreseptor yang peka terhadap perubahan pada tekanan arteri rata-rata dan
tekanan nadi. Baroreseptor memiliki letak yang strategis di pembuluh-pembuluh
yang menuju ke otak (baroreseptor sinus karotis) dan di trunkus arteri utama
sebelum pembuluh ini bercabang (baroreseptor arkus aorta). Baroreseptor terusmenerus memberi informasi tentang tekanan arteri rata-rata atau dapat dikatakan
sensor ini selalu menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan di
dalam arteri. Ketika tekanan arteri meningkat, potensial baroreseptor meningkat
sehingga kecepatan lepas muatan di neuron-neuron aferen terkait meningkat.
Sebaliknya, penurunan tekanan arteri rata-rata memperlambat kecepatan lepas
muatan yang dibentuk di neuron aferen oleh baroreseptor. Pusat integrasi yang
menerima impuls dari neuron aferen adalah pusat kontrol kardiovaskular yang
terletak di medula di dalam batang otak. Jalur eferennya adalah sistem saraf
otonom. Yang menjadi organ efektornya adalah jantung dan pembuluh darah
(Sherwood, 2011).
Ada sejumlah zat kimia yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi tekanan darah. Zat tersebut meliputi hormon medula
adrenal (norepinefrin dan epinefrin), hormon antidiuretik, angiotensin, histamin,
glukagon, kolesistokinin, sekretin, bradikinin, dan prostaglandin (Sloane, 2003).
Terkadang mekanisme kontrol tekanan darah tidak berfungsi dengan benar
atau tidak mampu secara sempurna mengompensasi perubahan-peruabahan
yang terjadi. Tekanan darah dapat terlalu tinggi (hipertensi jika di atas 140/90
mmHg) atau terlalu rendah (hipotensi jika di bawah 100/60 mmHg). Hipotensi
dalam bentuk ekstrimnya

adalah

syok sirkulasi. Hipertensi

merupakan

kelainan tekanan darah yang paling sering dijumpai. Terdapat dua golongan

16

hipertensi berdasarkan penyebabnya yaitu hipertensi primer dan hipertensi


sekunder (Sherwood, 2011).
3.

Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah


Faktor risiko

hipertensi

di Indonesia adalah genetik, jenis kelamin,

pendidikan rendah, kebiasaan merokok, konsumsi minuman berkafein >1 kali


per hari, konsumsi alkohol,

kurang

aktivitas fisik, obesitas dan obesitas

abdominal (Rahajeng, 2009), banyak mengonsumsi garam, mengonsumsi


alkohol, stress, usia tua ( > 65 tahun), adanya riwayat keluarga bertekanan darah
tinggi, penyakit ginjal kronis, gangguan adrenal dan tiroid (Robert, 2009).
1)

Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan

keluarga itu mempunyai risiko menderita tekanan darah tinggi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya
rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan
hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat
hipertensi dalam keluarga (Wade, 2003).
2)

Umur
Insidensi peningkatan tekanan darah meningkat seiring dengan

pertambahan umur. Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50 60 %


mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg
(Anggraini, 2009).
Pada orang lanjut usia (usia > 60 tahun) terkadang mengalami
peningkatan tekanan nadi dikarenakan arteri menjadi lebih kaku akibat
terjadinya arteriosklerosis sehingga arteri relatif menjadi tidak lentur
(Guyton, 2008). Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada
orang yang bertambah usianya. Dengan bertambahnya umur, maka tekanan
darah juga akan meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan
mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada
lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan
menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh

17

darah besar yang berkurang pada penambahan umur sampai dekade ketujuh
sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan
keenam kemudian menetap atau cenderung menurun. Peningkatan umur akan
menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi
peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan
darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah
berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Anggraini, 2009).
3)

Jenis Kelamin
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein


(HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam
mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen
dianggap

sebagai

penjelasan

adanya

imunitas

wanita

pada

usia

premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi


sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini terus berlanjut, hormon estrogen tersebut berubah
kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai
terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Anggraini, 2009).
4)

Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada

kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for


Health USA (NIH, 1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32%
untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17%
untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut
standar internasional). Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat
menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah,
yaitu terjadinya

resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf

simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal


(Anggraini, 2009).

18

5)

Konsumsi Garam
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko


terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak
lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) per hari
(Shapo, 2003). Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi
natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya
cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat.

Meningkatnya

volume

cairan

ekstraseluler

tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada


timbulnya hipertensi (Anggraini, 2009).
6)

Merokok
Rokok mengandung nikotin sebagai penyebab ketagihan yang akan

merangsang jantung, saraf, otak dan bagian tubuh lainnya sehingga bekerja
tidak normal, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga
meningkatkan tekanan darah, denyut nadi dan tekanan kontraksi jantung
(Winarta, 2011).
7)

Kebiasaan minum kopi


Kopi mengandung kafein yang meningkatkan debar jantung dan

naiknya tekanan darah. Pemberian kafein 150 mg atau 2-3 cangkir kopi akan
meningkatkan tekanan darah 5-15 mmHg dalam waktu 15 menit. Peningkatan
tekanan darah ini bertahan sampai 2 jam, diduga kafein mempunyai efek
langsung pada medula adrenal untuk mengeluarkan epinefrin. Konsumsi kopi
menyebabkan curah jantung meningkat dan terjadi peningkatan sistole yang
lebih besar dari tekanan diastole. Hal ini terlihat pada orang yang bukan
peminum kopi atau peminum kopi yang menghentikannya paling sedikit 12
jam sebelumnya (Winarta, 2011).

2.1.3. Kafein
Kafein (C8H10N4O2) atau 1,3,7-trimethylxanthine adalah zat psikoaktif yang
paling banyak digunakan (Chawla et al, 2008). Kafein merupakan derivat xantin

19

yang mengandung gugus metil. Xantin adalah dioksipurin yang mempunyai


struktur mirip dengan asam urat (Gunawan et al, 2007).
Struktur kafein berkaitan dengan asam urat. Kafein dimetabolisme oleh
demethylation dan mengalami oksidasi. Hasil utamanya paraxanthine (1,7dimethylxanthine) pada manusia, mengarah ke metabolit utama urin yakni lmethylxanthine, asam 1-methyluric, dan derivatif urasil asetat (Chawla et al,
2008).

Gambar 1. Struktur Kimia Kafein (Murray, 2003)


Sumber makanan yang mengandung kafein adalah kopi, teh, coklat, dan
minuman cola (Chawla et al, 2008). Kafein juga terdapat pada obat pereda nyeri,
obat flu, dan obat diet (Kiefer, 2011). Kandungan kafein dari makanan bervariasi,
mulai 71-220 mg/150 mL untuk kopi, 32-42 mg/150 mL untuk teh, 32-70 mg/330
mL untuk cola, dan 4 mg/150 mL untuk kakao (coklat). Rata-rata konsumsi kafein
dari semua sumber adalah sekitar 76 mg / orang / hari tapi mencapai 210-238 mg
per orang per hari di Amerika Serikat dan Kanada dan lebih dari 400 mg per
orang per hari di Swedia dan Finlandia, di mana 80-100% dari asupan kafein dari
kopi saja (Chawla et al, 2008).
1)

Pengaruh Kafein
Setelah kafein dikonsumsi secara oral, semua kafein diserap dengan cepat,

mencapai kadar puncak di dalam darah dalam 30-45 menit dan cepat dieliminasi.
Kafein memiliki waktu paru 4-6 jam. Kafein menghasilkan berbagai efek
fisiologis, termasuk efek pada otak, sistem vaskular, tekanan darah, fungsi
pernafasan, aktivitas lambung dan kolon, volume urin serta aktivitas (Juliano &
Griffiths, 2004).

20

Efek perilaku yang terjadi setelah konsumsi kafein dengan dosis rendah
sampai dosis sedang (50-300 mg) yakni peningkatan kewaspadaan, energi, dan
kemampuan untuk berkonsentrasi (Chawla et al, 2008). Selain itu, mengonsumsi
kafein sebanyak 85-250 mg (1-3 cangkir) dapat menyebabkan tidak mengantuk,
tidak merasa lelah, dan daya pikir lebih cepat dan jernih (Gunawan et al, 2007).
Konsumsi kafein dengan dosis yang sedang jarang menyebabkan risiko kesehatan.
Sebaliknya, dosis tinggi kafein menyebabkan efek negatif seperti kecemasan,
gelisah, insomnia, tremor, hiperestesia, gugup, dan takikardia (Chawla et al, 2008
dan Gunawan et al, 2007). Efek ini terlihat terutama dalam kelompok kecil orang
yang sensitif kafein (Chawla et al, 2008).
2)

Mekanisme Kafein
Mekanisme utama kafein adalah antagonis kompetitif pada reseptor

adenosin A1 dan A2A (Juliano & Griffiths, 2004). Reseptor adenosin A1


didistribusikan secara luas di seluruh otak, hippocampus, korteks serebral,
serebelum, dan thalamus. Sebaliknya, reseptor A2A terletak hampir secara
eksklusif di striatum, nucleus accumbens, dan tuberkel penciuman (Chawla et al,
2008).
Efek aktivitas dari metilxantin adalah peningkatan akumulasi nukleotida
siklik, translokasi kalsium intraseluler, dan blokade reseptor adenosin.
Kemampuan dari

methylxanthines

untuk

menghambat nukleotida

siklik

phosphodiesterases sering dikutip untuk menjelaskan efek terapi, namun, bukti


kuat untuk teori ini adalah kurang. Plasma konsentrasi kafein yang meningkatkan
tekanan

darah,

berada

di

bawah

ambang

batas

untuk

penghambatan

fosfodiesterase. Dengan demikian, penghambatan fosfodiesterase mungkin tidak


penting untuk efek terapi dari methylxanthines. Pada konsentrasi tinggi (0.5-1
mmol), kafein mengganggu penyerapan dan penyimpanan kalsium oleh retikulum
sarkoplasma dalam otot lurik. Tindakan ini dapat menjelaskan pengamatan bahwa
konsentrasi kafein meningkatkan kekuatan dan durasi kontraksi pada otot skeletal
dan jantung. Methylxanthines (sekitar 0,2 mmol atau lebih) umumnya
menyebabkan relaksasi otot polos vaskular mungkin hasil dari pengurangan
konsentrasi kalsium sitosol. Dikarenakan methylxanthines dapat mengubah ikatan

21

kalsium dan transportasinya, baik secara langsung atau tidak langsung, dengan
mengubah metabolisme nukleotida siklik. (Chawla et al, 2008).
3)

Efek Kafein Terhadap Tekanan Darah


Konsumsi kafein 250 mg yang menghasilkan kadar plasma 10 g/mL akan

meningkatkan kadar katekolamin plasma, dapat meningkatkan tekanan darah


diastolik dan aktivitas renin plasma. Kafein dapat menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah termasuk pembuluh koroner dan pulmonal. Stimulasi pusat
vasomotor dan stimulasi langsung miokard akan menyebabkan kenaikan tekanan
darah.

Sebaliknya,

perangsangan

saraf

vagus

dan

adanya

vasodilatasi

menyebabkan penurunan tekanan darah. Resultante kedua efek tersebut biasanya


menyebabkan kenaikan tekanan darah yang tidak lebih dari 10 mmHg (Gunawan
et al, 2007). Beberapa penelitian memperlihatkan konsumsi kopi yang sering
dapat meningkatkan kadar plasma beberapa hormon seperti kortisol, epinefrin,
dan non-epinefrin yang dapat mempengaruhi tekanan darah (Winkelmayer et al,
2005).
Pada seseorang yang mengonsumsi 2 atau 3 cangkir kopi dalam sehari, jika
dia berhenti minum kopi, maka akan timbul gejala-gejala sebagai berikut sakit
kepala,

kelelahan,

kegelisahan,

iritabilitas,

gangguan

mood,

dan

sulit

berkonsentrasi (Kiefer, 2011). Beberapa penelitian membuktikan bahwa konsumsi


kafein dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit Parkinson, penyakit liver,
kanker kolorektal, diabetes tipe 2, dan demensia (Kiefer, 2011).
2.2. Penelitian Yang Pernah Dilakukan
Penelitian yang dilakukan Ernita (2011), mengenai hubungan kebiasaan
minum kopi terhadap kejadian hipertensi pada laki-laki di Lhoksumawe dengan
metode penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain case
control memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan
minum kopi dengan prevalensi hipertensi pada laki-laki di kota Lhoksumawe.
Michelle J. Klag dan rekannya (2002), melakukan penelitian mengenai
konsumsi kopi dan risiko hipertensi yang dilakukan dengan menggunakan desain
kohort memperoleh kesimpulan bahwa minum kopi berhubungan dengan sedikit
peningkatan tekanan darah, namun memiliki peranan yang kecil terhadap
terjadinya hipertensi.

22

Johanna M. Geleijnse (2008), melakukan penelitian tentang kebiasaan


konsumsi kopi dan tekanan darah dengan metode meta analisis. Hasil dari
penelitian tersebut adalah respon kopi terhadap tekanan darah relatif kecil dan
mengkonsumsi kopi sebanyak 1-2 cangkir per hari dapat meningkatkan tekanan
darah sedangkan mengkonsumsi kopi lebih dari 6 cangkir menyebabkan
penurunan tekanan darah.
Wolfgang C. Winkelmayer dan rekannya (2005) melakukan penelitian
mengenai kebiasaan minum kopi dan risiko hipertensi pada wanita dengan desain
penelitiannya kohort prospektif dengan hasil yang menyatakan bahwa tidak
adanya hubungan antara konsumsi kopi dan insiden terjadinya hipertensi.
Cuno SPM Uiterwaal dan rekannya (2007) melakukan penelitian mengenai
konsumsi kopi dengan insiden hipertensi yang menggunakan desain kohort
memperoleh hasil bahwa mengkonsumsi kopi kurang dari 3 cangkir per hari
memiliki risiko lebih besar terjadinya hipertensi daripada yang mengkonsumsi
kopi lebih dari 6 cangkir per hari.
Kwok Leung Ong bersama rekannya (2007) melakukan survei mengenai
prevalensi hipertensi pada dewasa tahun 1999-2004 yang hasilnya adalah adanya
hubungan bermakna usia > 60 tahun dengan tekanan darah.

2.3

Kerangka Teori
Genetik

Usia lansia (>60tahun)

Merokok

Nikotin

Konsumsi Kopi

Kafein

Berat badan

Obesitas

Tekanan Darah

Perangsangan
katekolamin

23

2.4

Kerangka Konsep
Variabel Independen
Frekuensi
meminum kopi
Usia

Variabel Dependen
Tekanan Darah

Jumlah kopi
yang diminum

2.5

Hipotesis
H1

: Ada hubungan bermakna antara usia dengan peningkatan tekanan

darah karyawan PT. Metropolitan Kencana.


H2

: Ada hubungan bermakna antara frekuensi meminum kopi dengan

peningkatan tekanan darah karyawan PT. Metropolitan Kencana.


H3

: Ada hubungan bermakna antara jumlah kopi yang diminum

dengan peningkatan tekanan darah karyawan PT. Metropolitan Kencana.

Anda mungkin juga menyukai