Anda di halaman 1dari 18

SMF I lmu K e s e h a t a n A n a k

RSUdr.Pirngadi
Me d a n
2012
Laporan Kasus ini Melengkapi Persyaratan Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUPM
Disusun oleh:
Rusly
Hasrul Akbar
Dibimbing oleh:
dr. Masyitah, Sp.A
Dengue Shock Syndrome
i
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul Dengue Shock Syndrome.
Dalam penyusunan laporan ini tidak terlepas bantuan dan dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Masyitah, Sp.A yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan penulisan laporan kasus ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh jajaran staf pengajar di SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Pirngadi Medan serta teman- teman di
kepaniteraan klinik.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini
mungkin tidak sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala
masukan

baik kritik dan saran yang membangun dalam menyempurnakan laporan kasus
ini.
Medan, 1 November 2012
Penulis
ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR. i
DAFTAR ISI............ ii
BAB I. PENDAHULUAN.... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 3
2.1 Definisi dan Klasifikasi........ 3
2.2 Etiologi. 4
2.3 Epidemiologi 5
2.4 Patogenesa.................................................... 8
2.5 Diagnosa....... 13
2.6 Penatalaksanaan.... 16
2.7 Prognosa 18
BAB III. KESIMPULAN...... 20
DAFTAR PUSTAKA....... 21
BAB I
PENDAHULUAN
Dengue (breakbone fever) adalah infeksi virus flavivirus yang ditularkan
oleh nyamuk aedes yang ditandai dengan demam, nyeri otot dan sendi,
limfadenopati, serta ruam. Bentuk berat penyakit inim demam berdarah dengue/
sindrom syok degue, terutama mengenai anak. 1,2
Masalah serius timbul berhubungan dengan infeksi dengue adalah pola
yang kerap menjadi suatu KLB karena sebagaimana infeksi virus pada umumnya
kerap kali tidak menunjukan gejala atau hanya gejala ringan bagi pejamu yang
ditumpanginya sehingga penderita sering tidak tahu bahwa dirinya sedang

membawa penyakit. Transmisi virus dengue bergantung pada batas wilayah


tertentu dan sanitasi lingkungan yang bersih, hal ini berkaitan dengan vektor
yang
membawa virus ini yakni nyamuk aedes. Kasus dengue sering terjadi pada saat
suhu yang panas (28-32oC) dengan kelembapan yang tinggi. Karena kelembapan
tidak sama di setiap tempat, maka pola terjadinya berbeda di setiap tempat. 3,8
Dengue masih menjadi diagnosa diferensial yang penting pada anak yang
menderita demam di negara- negara Asia dan Amerika latin. Di Indonesia sendiri,
dengue haemorrhagic fever (DHF) dan dengeu shock syndrome (DSS) masih
merupakan penyakit infeksi yang menimbulkan masalah kesehatan karena
angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 7,9
Sejak tahun 1968 dimana pemeriksaan terhadap dengue pertama kali
dilakukan, penyakit ini terus berkembang dari beberapa kota besar kemudian
meluas hingga seluruh Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. Namun
dengan
kemajuan diagnostik dan penanggulangannya serta kesadaran masyarakat yang
lebih tinggi, angka kematian semakin menurun dari tahun ke tahun.9
2
Ruang lingkup masalah yang ditimbulkan juga bukan sebatas masalah
kesehatan semata, melainkan terlibatnya sektor ekonomi dan sosial. Dari aspek
ekonomi, selain pendanaan dalam memberantas nyamuk aedes sebagai vektor
virus dengue, infeksi dengeu yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini akan
membatasi usaha pemerintah dalam pengembangan potensi bangsa Indonesia
yang begitu besar. Dari sektor sosial, infeksi dengue yang terjadi epidemik dapat
menimbulkan kecemasan orangtua terhadap anak- anak mereka. Rasa cemas
orang tua yang menimbulkan sikap protektif berlebih terhadap anak- anak
mereka
akan membatasi potensi anak tersebut dalam belajar dan bersosialisasi. Akibat
multisektorial penyakit polio bisa menjadi beban bukan hanya bagi penderita

namun keluarganya dan bahkan dalam kontekstual yang lebih luas, masalah ini
merupakan masalah bagi bangsa dan negara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Dengue yang juga dikenal sebagai breakbone fever adalah sebuah penyakit
infeksi tropis yang disebabkan oleh virus dengue. Gejalanya memiliki spektrum
klinis yang bervariasi meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot dan tulang dan
ruam kulit yang khas seperti penyakit campak. Dalam kasus yang relatif jarang,
penyakit ini dapat progresif menjadi sebuah penyakit yang mengancam nyawa
akibat dari perdarahan, trombositopenia dan kebocoran plasma dimana
membawa
keadaan syok yang dikenal sebagai dengue shock syndrome (DSS). 1,2,4,7
Bagan 1. Spektrum Klinis (Simptomatis) Infeksi Virus Dengue. 9
Infeksi virus dengue dipengaruhi oleh beberapa faktor dari imunitas host
dan virulensi agent. Seperti fenomena gunung es, infeksi virus dengue dapat
menimbulkan gejala dan tidak menimbulkan gejala dimana keadaan yang berat
merupakan ujung/ puncak gunung es yang terlihat sementara yang tanpa gejala
terpendam sebagai dasar gunung es. Gejala yang ditimbulkan mulai dati demam
ringan yang tidak spesifik, demam dengue/ dengue fever (DF) dan keadaan yang
lebih berat yakni DHF dan DSS.3,8,9
4
Pada klasifikasi ini, DF dibedakan dari DHF grade I sampai IV dimana
DSS sama dengan DHF grade III/ IV. Namun demikian, trombositopenia dan
perdarahan spontan/ provokasi dapat terjadi pada demam dengue. Secara
sederhana, klasifikasi ini membagi infeksi dengue menjadi dengue ringan dan
dengue dengan keadaan yang berat. Mungkin perrmeabilitas plasma bukan hal
yang utama dalam keadaan dengue yang berat seperti hemokonsentrasi, efusi

pleura dan asites tetapi penanda gejala dengue yang berat meliputi keadaan
syok
(ekstermitas yang dingin, tekanan nadi yang lemah, perpanjangan waktu CRT),
perubahan kesadaran, perdarahan mukosa (hematemesis, melena, atau
perdarahan
dari hidung atau gusi) dan manifesatasi berat lainnya (kerusakan hati,
cardiomyopaty, ensephalopaty, dan ensefalitis).9
2.2 Etiologi
Terdapat 3 faktor yang memegang peranan penting dalam penularan
infeksi virus yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk aedes. 2, 3,4
Virus dengue sebagai penyebab DF, DHF dan DSS termasuk kelompok
arbovirus (arthopod borne virus) yang dikenal sebagai genus flavivirus, famili
flaviviridae dan hingga saat ini terdapat 4 jenis serotipe yaitu DEN 1, DEN 2,
DEN 3 dan DEN 4. DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak
menjadi penyebab. DEN 3 merupakan serotipe dominan di Indonesia dan
diasumsikan menjadi penyebab manifestasi klinis yang berat walaupun
akhirakhir
ini DEN 2 mulai cenderung mendominasi. DSS cenderung terjadi pada
urutan infeksi serotipe tertentu yakni DEN 1 yang disusul DEN 2 sebanyak 20%
dan DEN 3 yang disusul DEN 2 sebanyak 2%. 3, 5,7
Infeksi salah satu serotipe akan memberikan perlindungan seumur hidup
terhadap serotipe tersebut tetapi proteksi silang antar serotipe hanya
berlangsung
singkat bahkan cenderung mengakibatkan penyakit berat (Demam Berdarah
Dengue/ Sindrom Syok Dengue). 3
5
Gambar 1. Nyamuk aedes aegypti.
Virus ini ditularkan oleh nyamuk Aedes. Di Indonesia dikenal 2 jenis

nyamuk aedes, yaitu aedes aegypti dan aedes albopictus. Terdapat perbedaan
pada
profil kedua nyamuk ini yakni aedes aegypti lebih sering ditemukan dan
merupakan nyamuk daerah tropis yang hidup dan berkembang biak di dalam
rumah, nyamuk ini tampak berlurik dengan bintik putih yang biasanya menggigit
pada pagi dan sore hari sementara aedes albopictus mempunyai daur hidup di
luar
rumah, menggigit pada siang hari dan jarak terbang lebih pendek dibandingkan
aedes aegypti. Selain kedua tipe tersebut, spesies seperti aedes albopictus,
aedes
polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang
berperan
dalam transmisi kepada manusia. 3, 5
Nyamuk aedes mendapatkan virus dari darah yang penderita yang
mengalami viremia. Virus berkembang biak di tubuh nyamuk dalam waktu 8- 10
hari (extrinsic incubation periode). Setelah itu virus ditularkan kepada telur- telur
nyamuk (transovarian transmission) tetapi tidak bermakna kepada transmisi
manusia. Virus dapat ditularkan kepada manusia seumur hidup nyamuk. Di
tubuh
manusia,virus memerlukan waktu masa tunas 6 hari (intrinsic incubation
periode).
Penularan kepada nyamuk hanya dapat terjadi pada saat manusia mengalami
viremia yakni 2 hari sebelum panas hingga 5 hari setelah demam timbul.
Penyakit
ini mudah menjadi endemik karena nyamuk dikatakan sebagai multiple bitters.
2, 3
2.3 Epidemiologi
Di banyak negara tropis, virus dengue sangat endemik. Di Asia, penyakit ini
sering mernyerang kawasan Karibia, Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Tahun
6
1962, penyakit demam berdarah dengue yang mematikan ditemukan di
Indonesia

setelah Filipina (1953) dan Muangthai (1958). Pada tahun 1968 barulah dilakukan
pemeriksaan serologis. Walaupun sebenarnya sejak abad ke-18 David Bylon
seorang dokter berkebangsaan Belanda pernah melaporkan penyakit seperti
demam degue sebagai demam lima hari (vijfdaagse koorts) atau demam sendi
(knokkel koorts), tetapi pada saat itu infeksi virus dengue tidak menyebabkan
kematian di Asia Tenggara. Semula penyakit ini ditemukan di beberapa kota
besar
kemudian menyebar hampir ke seluruh kota besar di Indonesia bahkan sampai
ke
perdesaan dengan penduduk padat dalam waktu yang relatif singkat. Sejak
tahun
1968, angka kesakitan rata- rata DHF di Indonesia terus meningkat 1968 (0,05
per
100.000), 1973 (8,1 per 100.000), 1983 (8,65 per 100.000) dan puncaknya pada
tahun 1998 (35,19 per 100.000) 3,5,7
Menurut Laporan tahunan dari WHO, kasus DHF dan DSS meningkat
secara global dari tahun ke tahun. Pertama kali DSS dilaporkan di Filipina pada
tahun 1953 yang kemudian menyebar ke seluruh negara ASEAN lainnya.
Sebelum tahun 1970 hanya 9 negara yang mengalami DSS tetapi angka ini
meningkat 4 kali lipat hingga tahun 1995. 9
Gambar 2. Jumlah Kasus DHF/DSS Tahunan secara Global.9
7
Gambar 3. Persebaran Kasus Dengue secara Global.9
Namun tingkat kefatalatan dari kasus dengue di 3 wilayah WHO; SEAR
(South East Asia Region), WPR (West Pacific Region) dan AMR (American
Region) cenderung menurun tiap tahunnya. 9
Tabel 2. Tingkat Fatalitas Kasus Denggue berdasarkan wilayah WHO.9
Faktor- faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
infeksi dengue sangat kompleks, yaitu:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali


3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi
Sementara faktor- faktor morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh:
8
1. Status imunitas host
2. Kepadatan vektor nyamuk
3. Virulensi agent
4. Environment: kondisi geografis setempat yang dipengaruhi oleh elemen
seperti ilim dan kelembapan udara. Dimana elemen seperti suhu panas dan
kelembapan tinggi membuat nyamuk aedes tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama.
Di Indonesia, suhu udara dan kelembapan berbeda setiap tempat maka pola
waktu
juga bervariasi berdasarkan tempat. Secara umum, penyakit ini terjadi
sepanjang
tahun di Indonesia sehingga pengaruh musim tidak begitu jelas. 3,5
2.4 Patogenesa
Patogenesa DHF dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial
dan belum dapat dimengerti sepenuhnya. Dua hipotesis yang banyak dianut
antara
lain secondary heterologous infection dan antibody dependent enhancement
(ADE). DSS acapkali dihubungkan dengan infeksi virus dengue yang besifat
heterolog sekunder. Pada infeksi sekunder, antibodi heterolog yang didapat dari
infeksi primer akan membentuk kompleks antigen- antibodi. Fa dan Fb akan
berikatan dengan reseptor antigen pada permukaan virus yang dikenali
sementara
Fc akan berikatan dengan makrofag. Oleh karena antibodi heterolog, virus tidak

dapat dinetralisasikan sehingga virus berkembang biak dalam sel makrofag.


Pada
hipotesis ADE, antibodi non-neutralisasi yang terbentuk meningkatkan potensi
virus untuk masuk kedalam sel mononuklear dimana ADE bersifat sitofilik.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga membawa keadaan syok
dan
hipovolemia. 1,2,3,7,8
Sebagai infeksi sekunder oleh tipe virus yang berlainan, dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue
dalam sel limfosit yang bertransformasi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
9
kompleks antigen- antibodi yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen, aktivasi koagulasi dan agregrasi trombosit. 3,5,6
Peredaran kompleks antigen- antibodi meningkat dalam kadar tinggi,
penurunan komplemen C3 berkaitan dengan derajat beratnya penyakit. Dari
beberapa penilitan yang dilakukan dari serum ibu manusia yang anaknya
menderita DHF atau anak yang mendapat DHF menunjukan bahwa sirkulasi
antibodi merupakan resiko terkuat yang berkaitan dengan perkembangan
penyakit.
Penurunan trombosit, penurunan faktor hageman, penurunan kadar fibrinogen
dan
beredarnya pecahan fibrin menandakan koagulasi intravaskular disemata. Oleh
karena vaskulitis merupakan bagian intergral penyakit yang berperan dalam
proses perdarahan. Cedera kapiler akan menyebabkan plasma bocor ke
ekstravaskuler. Bersamaan dengan muntah menimbulkan hemokonsetrasi,
hipovolemia dan kerja jantung bertambah, hipoksia jaringan, asidosis metabolik
dan hiponatremia. 1,2,3,6,8
Gambar 4. Keterlibatan Sistem Komplemen dalam Melawan Infeksi

Mikroorganisme (diilustrasikan mikroorganisme sebagai mikroba, hal yang


hampir sama terjadi pada virus hanya saja teraktivasi melalui classical pathway
dan alternative pathway, melalui potein plasma- properdin faktor B dan D).
Pada awal stadium akut infeksi dengue sekunder, ada aktivasi cepat sistem
komplemen pada kompleks antigen- antibodi, kadar C1q, C3, C4, C5-C9 dan
10
proaktivator C3 mengalami depresi dan kecepatan katabolik C3 naik. Komplemen
dapat diaktivasi melalui jalur klasik yaitu fiksasi C1 terhadap kompleks
antigenantibodi.
Pelepasan C3a dan C5a mengakibatkan permeabilitas pembuluh darah
kapiler. 3,5
Bagan 2. Patogenesa DSS. 3
C3a dan C5a akan meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan
vasodilatasi dengan menginduksi mast cells untuk melepaskan histamin. Produk
kompleme ini juga disebakan anafilaktosin karena aksi komplemen ini mirip
dengan sel mast yang merupakan reaksi alergi yang parah disebut sebagai
anafilaksis. C5a juga mengaktivasi jalur lipoksigenase pada metabolisme asam
arakidonat pada netrofil da makrofag yang menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi; meningkatkan aktivitas leukosit adhesi ke endothel dan bersifat
kemotaksis terhadap netrofil, monosit, eosinofil dan basofil. Komplemen juga
11
merangsang monosit untuk memproduksi berbagai sitokin seperti TNF, IFN
Gamma dan interleukin (IL-2 dan IL-1). 2,7
Bagan 3. Patogenesa Infeksi Dengue hingga Membawa pada Keadaan DHF dan
DSS. 3
Kompleks antigen- antibodi dalam sirkulasi darah dapat mengakibatkan
trombosit kehilangan fungsi agregrasi karena akibat dari perlekatan kompleks
pada membran trombosit dan trombosit juga mengalami perubahan bentuk
sehingga difagositosis oleh sistem retikuloendotelial sehingga terjadi

trombositopenia. Disamping itu, trombosit yang mengalami metamorfosis


mengaktifkan sistem koagulasi. Pada beberapa penilitian yang dilakukan
menunjukan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor pembekuan bukan
hanya karena konsumsi sistem koagulasi tetapi konsumsi sistem fibrinolisis. Pada
stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis. 3,5,6,7
12
Bagan 4. Faktor Hageman dalam kaskade kinin dan kaskade pembekuan.
Akibat dari pembekuan intravaskular yang luas, plasminogen akan berubah
menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilaktosin dan
penghancuran fibrin sehingga beredarnya pecahan fibrin/ fibrin degradation
product (FDP). Menurunnya fungsi hati akan menambah berat perdarahan. 5,6,7
Lesi patologis berupa perdarahan ringan sampai sedang dapat ditemukan di
salurang cerna atas, perdarahan ptechiae lazim ditemukan di sekat
interventrikuler
jantung, perikardium dan permukaan visera major. Pada keadaan yang jarang,
perdarahan terlihat di paru-paru, hati, adrenal dan ruang subaraknoid. Hati biasa
mengalami pembesaran. Efusi bercak kuning dan berdarah pada penderita.
Secara mikroskopis, edema perivaskuler pada jaringan lunak dan diapedesis sel
darah merah menyebar. Megakariosit banyak ditemukan pada kapiler paru- paru,
glomerulus ginjal dan sinusoid organ RES (reticuloendothelial system). Virus
dengue tidak dapat diisolasi dari jaringan yang mati. 6,7,8
13
2.5 Diagnosa
Syok biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun antara hari
ke-3 sampai hari ke- 7. Pasien mula- mula gelisah kemudian jatuh kedalam syok
yang ditandai dengan kulit dingin- lembab, sianosis sekitarmulut, nadi
cepatlemah,
tekanan nadi < 20 mmHg. Dengan diagnosis biasanya teratasi dengan

segera namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok
dapat
menjadi syok berat dengan berbagai penyulit seperti asidosis metabolik,
perdarahan hebat saluran cerna hingga memperburuk prognosis. 3
Tabel 3. Derajat Penyakit DHF menurut WHO, 1997. 3
Penegakan diagnosa DSS harus memenuhi 4 kriteria DHF (meliputi
demam, fenomena perdarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi) yang
harus
dipenuhi seutuhnya ditambah denan kegagalan sirkulasi yang bermanifestasi
sebagai:
1. Pulsasi nadi yang lemah dan cepat
2. Tekanan nadi yang lemah (<20 mmHg) atau,
3. Hipotensi (Hipotensi disini diartikan sebagai tekanan sistolik lebih kecil
dari 80 mmHg untuk anak yang berusia lebih kecil dari 5 tahun atau
tekanan sistolik yang lebih kecil dari 90 mmHg)
4. Kulit dingin dan kegelisahan
Keadaan kegagalan sirkulasi yang ditandai syok dibagi menjadi 3 tingkatan; syok
berat (profound shock) adalah renjatan yang ditandai dnegan tekanan darah dan
14
nadi tidak terukur, syok sedang adalah tekanan nadi menurun menjadi < 20
mmHg sistolik < 80 mmHg. 3, 5, 9
Gejala klinis diawalai dengan demam mendadak disertai muka kemerahan
(flushed face) dan gejala klinis lain yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri
otot dan sendi, nyeri epigastrium, anoreksia, muntah dan pada beberapa pasien
mengeluhkan nyeri tenggorokan dan ditemukan faring hiperemis. 3,5
Gambar 5. Perjalanan Penyakit Dengue. 8
Penyakit ini didahului demam tinggi mendadak, terus menerus
berlangsung dalam 2-7 hari naik turun dan tidak turun dengan obat anti piretik
maupun surface cooling. Bila hipereksia dapat terjadi kejang demam. Pada saat

dase demam cenderung turun pasien akan tampak sembuh tapi hati- hati karena
fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Biasanya pada hari ketiga dari
demam. Hari ke 3 sampai ke 5 adalah fase kritis yang harus dicermati karena
pada
hari ke 6 dapat terjadi syok. Kemungkinan terjadi perdarahan ketika trombosit
sangat rendah < 20.000 /uL. 1,3
Tanda perdarahan adalah manifestasi dari vaskulopati, trombositopendia
dan gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh.
Tanda ini dapat muncul pada hari pertama muncul demam atau pada fase kritis.
15
Perdarahan terbagi atas 2 jenis perdarahan yaitu; perdarahan terprovokasi dan
perdarahan spontan. Perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti
uji
torniquet (rumple leede/ uji bendung), ptechiae, purpura dan ekimosis.
Perdarahan
lain adalah perdarahan gusi, melena dan hematemesis. Pada kasus yang jarang
dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan hematuria. Perdarahan provokasi
yang diuji melalui uji torniquet dikatakan positif jika terdapat lebih dari 10
ptechiae dalam diameter 2,8 cm2 di volar dan fossa cubiti. 3,5
Hepatomegali umumnya ditemukan pada permulaan penyakit dapat diraba
2-4 cm dibawah lengkung iga bawah kanan. Walaupun derajat pembesaran hati
tidak berbanding lurus dengan beratnya penyakit namun proses dari tidak teraba
menjadi teraba dapat meramalkan perjalanan penyakit. Nyeri perut lebih tampak
jelas pada anak besar daripada anak kecil. Nyeri tekan pada tepi hati
berhubungan
dengan adanya perdarahan. Pada sebagian kecil kasus dapat dijumpai ikterus. 3
Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut, keadaan
pasien amat lemah dan sangat gelisah. Beberapa saat setelah suhu turun, bisa
dijumpai kegagalan sirkulasi; pasien menjadi gelisah, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab pada ujung jari dan kaki, nadi cepat, lemah dan sampai

tak teraba. Keadaan profound shock terjadi pada waktu tekanan darah dan nadi
tidak dapat terukur lagi. 3,5
Dari pemeriksaan darah rutin, jumlah leukosit normal tetapi ada dominasi
netrofilpada awal fase dan limfositosis pada fase demam akhir yang dijumpai
pada
hari ketiga sama ketujuh. Trombositopensia terjadi sebelum ada peningkatan
hematokrit dan suhu turun. Jumlah trombosit < 100.000/ uL biasanya pada hari
ke-3 sampai hari ke-7. Hemokonsentrasi dengan peningkatan diatas 20%
mencerminkan peningkatan permeabilitas plasma dan perembesan plasma.
Pemeriksaan radiologis pada DSS bisa didapati efusi pleura di sebelah
hemitoraks
kanan. 3,6
16
Tabel 4. Pemeriksaan laboratorium lain pada DHF. 3
Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dilakukan di laboratorium
dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau
jaringan tubuh dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien. Sementara
diagnosis serologis dapat ditentukan dengan 5 jenis uji yaitu HI test/
Haemaglutination Inhibition test, CF test/ Complement Fixation test, NT test/
Neutralization test, IgM dan IgG Elisa. 3,5,6
2.6 Penatalaksanaan
Terapi bersifat simtomatis dan suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Syok diobat
dengan cara biasa yaitu cairan intravena dan pengembang plasma. Strategi
keberhasilan adalah pemilihan cairan dan jenis cairan serta pengawasan klinis.
Penentuan hematokrit bermanfaat untuk menentukan tanda awal pemekatan
darah
yang biasanya mendahului kegagalan persedaran darah. Asidosi metabolik harus
segera dikoreksi. Beberapa pasien sangat gelisah dapat memerlukan sedatif.

Indikasi transfusi hanya bila mengalami perdarahan hebat seperti hematemesis


dan melena. 1,3
17
Bagan 5. Tatalaksana DSS. 3
Tatalaksana DSS adalah penggantian cairan berupa IVFD dengan cairan
resusitasi seperti ringer laktat, ringer asetat dan normal saline 10-20 ml?kgBB
secepatnya dalam waktu 30 menit dan oksigen 2 liter/i. Untuk syok berat
langsung
penambahan koloid seperti dekstran, gelatin dan HES (Hydroxyl Ethyl Stratch).
Pemberian HES dan dekstran tidak boleh diberikan pada pasien KID. Observasi
tekanan darah dan nadi tiap 15 menit, trombosit tiap 6 jam. Pemeriksaan
elektrolit
18
dan gula darah perlu dilakukan. Kemudian rencanakan apabila syok telah teratasi
atau belum bisa teratasi. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk
mengetahu kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah
urin. 3,5,7
Selain penggantian volume plasma dan pemberian oksigen, koreksi
gangguan metabolik dan elektrolit dilakukan pada syok berat. Apabila tidak
dikoreksi segera akan memacu terjadinya KID sehingga tatalaksana menjadi
lebih
kompleks. Pada penderita DSS sering kali menjadi sangat gelisah sehingga
penggunaan sedatif kloral hidrat 12,5- 50 mg / kgBB / IV / supp. (maksimum 1 gr)
dapat menenangkan pasien walaupun keadaan gelisah sebenarnya akibat
keadaan
perfusi jaringan yang kurang baik dan akan menghilang dengan penggantian
volume plasma yang adekuat. 7
Selain melakukan pengobatan secara simtomatis dan suportif, pemantauan
juga perlu dilakukan misalnya nadi, tekanan darah, respirasi, temperatur harus
dicatat tiap 15-30 menit sampai syok teratasi, hematokrit juga dipantau tiap 4- 6

jam sampai pasien stabil. Selain itu, balance cairan harus diperhatikan. Salah
satu
penanda penggantian volume intravaskular terpenuhi adalah kecukupan diuresis.
7
2.7 Prognosa
Penyembuhan DHF dengan atau tanpa syok sulit diramalkan. Perubahan
keadaan dapat berubah dengan cepat dalam waktu 12-24 jam. Pada masa
penyembuhan biasanya terjadi dalam 2-3 hari jika pengobatan adekuat,
kadangkadang
ditemukan bradikardi dan aritmia serta timbul ruam pada kulit.
Kembalinya nafsu makan adalah penanda prognostik yang baik. Kesadaran
pasien
bukan penanda penting kesembuhan karena banyak pasien yan masih tetap
sadar
meskipun pada stadium akhir. Panas mempunyai nilai prognostik yang tinggi
dimana bila demam > 39,0 o C mempunyai nilai prognostik yang lebih jelek. 3,5
Kematian terjadi pada 40-50% penderita DSS tetapi dengan perawatan yang
intensid kematian kurang dari 2%. Ketahanan hidup secarra langsung terakit
dengan manajemen awal dan intensif. Pasien baru dapat dipulangkan apabila
tidak
19
demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak
perbaikan
klinis, hematokrit stabil, trombosit > 50.000 /uL dan cenderung meningkat serta
tidak dijumpai distress pernapasan. Jika syok telah teratasi maka harus ditunggu
3
hari setelah syok hilang. 1,3,7
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk
aedes. Secara sederhana, infeksi dengue diklasifikasikan sebagai keadaan ringan

(asimptomatik, dengue fever/ DF) dan keadaan berat (dengue haemorrhagic


fever/
DHF dan dengue shock syndrome/ DSS). Virus dengue ada 4 serotipe; DEN 1,
DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. DEN 3 adalah serotipe yang paling dominan dan
paling sering menyebabkan DHF. Imunitas seumur hidup tetapi bersifat spesifik
terhadap satu serotipe, tidak terhadap serotipe yang lain. Pada urutan serotipe
tertentu infeksi primer dan sekunder membawa keadaan syok.
Angka insidens meningkat setiap tahun. Faktor yang mempengaruhi
infeksi dengue adalah imunitas pejamu, kepadatan pejamu dan vektor, virulensi
virus dengue dan keadaan geografis. Patogenesa infeksi dengue masih belum
jelas
hingga saat ini namun melibatkan imunologis antara komplemen dan kosumtif
trombosit. Manifestasi klinis yang ditimbulkan adalah akibat dari kebocoran
plasma dan pengobatannya bersifat suportif didasarkan atas adanya perubahan
fisiologis berupa perembesan plasma dan perdarahan.
DSS adalah suatu kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan utama.
Pasien anak akan cepat mengalai syok dan sembuh bila diobati segera dalam 48
jam. Pada pasien DSS berat dengan tekanan darah yang tak terukur / <20 mmHg
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kgBB/jam selama 30 menit dan
bila teratasi turunkan 10 ml/kgBB.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kleigman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Vol 2. 15th ed.
Jakarta: EGC; 2005. p. 1134-9.
2. Brooks GeoF, Butel Janet S, Morse Stephen A. Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC; 2007. p. 536- 537.
3. Hadinegoro Sri Rezeki H, Soegijianto, Wuryadi, Suharyono, Suroso
Thomas. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. 3rd ed.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004. p. 1-23, 29.
4. Hay William W, Hayward Anthony R, Levin Myron J, Sondheimer Judith

M. Lange Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 6th ed. New York:
McGraw Hill; 2007.p. 1126-7
5. Rampengan TH. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. 2nd ed. Jakarta: EGC;
2007. p. 122-47
6. Rudolph Abraham M, Hoffman Julien I E, Rudolph Colin D. Buku Ajar
Pediatri Rudolph. Vol 1. 20th ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 720-3.
7. Soedarmo Sumarmo S, Garna Herry, Hadinegoro Sri Rezeki S, Satari
Irawan Hindra. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta;
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. p. 155-81
8. Sumarno, Sunaryo, Poorwo, Soedarmo. Demam Berdarah (Dengue) pada
Anak. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2005. p. 26-45, 91-93.
9. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood
Illness. Jenewa: WHO; 2005. p. 3- 14.

Anda mungkin juga menyukai