Anda di halaman 1dari 18

TB (Tuberculosis)

Pada masa kini, tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan


yang serius. Bahkan secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai
penyumbang kasus terbanyak didunia
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik,
yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru
Sifat sistemik ini karena adanya penyebaran hematogen dan lemfatogen setelah
terjadi infeksi primer Mycobacterium Tuberculosis
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, pencegahan, serta TB pada infeksi HIV.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit
didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat
diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang
ditemukan pada sediaan langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas
tes Mantoux dan foto rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi
lebih sulit.
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis
yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan
undertreatnrent. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah
orang dewasa dengan sputum basil fahan asam positif, sehingga penanggulangan TB
ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak kurang
diperhatikan.
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya
pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan
salah satu upaya penting yang harus
dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor risiko
infeksi TB.
Peningkatan insidens infeksi HIV dan AIDS di berbagai negara turut
menambah permasalahan TB anak. Saat ini, telah terjadi peningkatan interaksi antara
tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak.
Untuk mengatasi berbagai masalah di atas, diperlukan usaha penyegaran
kembali tentang TB anak. Bagi para dokter anak maupun umum yang sering
menangani kasus TB anak, pemahaman yang benar tentang TB anak harus dikuasai.
Pemahaman terhadap TB anak harus didasari oleh pengertian tentang patogenesis
infeksi TB primer yang mempunyai lika-liku yang kompleks.
PENULARAN DAN PATOGENESIS
Penularan tuberkulosis biasanya dari orang dewasa kepada anak, dan jarang
penularan dari anak ke anak. Anak yang tertular tuberkulosis, atau yang juga disebut
mendapat infeksi primer tuberkulosis (TB), akan membentuk imunitas sehingga uji

tuberkulin akan memberi hasil positif Tetapi tidak semua anak yang terinfeksi TB
primer ini akan menderita tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak, dan pengobatan sumber
infeksi yaitu penderita tuberkulosis dewasa.
Patogenesis
Penularan biasannya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nukleus
yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus'ukuran 1 5 (mikron) yang
dapat melewati atau menembus sistim mukosilier saluran nafas sehingga dapat
mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Di tempat ini basil tuberkulosis
berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa
perlawanan berarti dari pejamu karena belum ada kekebalan awal. Di alveolus
tersebut terjadi reaksi inflamasi nonspesifik. Makrofag dalam alveolus akan
memfagositosis sebagian basil tuberkulosis, tetapi belum mampu membunuhnya,
sehingga basil TB dalam makrofag umumnya tetap hidup dan berkembang biak. Ba.
sil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe regional,
sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh, terutama
organ dengan tekanan oksigen yang tinggi, seperti hepar, limpa, ginjal, tulang, otak,
bagian lain dari paru, dan lain lain. Basil TB dapat langsung menyebabkan penyakit
di organ-organ tersebut, atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat
menyebabkan TB aktif bertahun-tahun kemudian.
Tuberkel dapat juga hilang dengan resolusi, berkalsifikasi membentuk
kompleks Ghon, atau terjadi nekrosis dengan masa kiju yang dibentuk dari makrofag.
Kalau masa kiju mencair maka dapat berkembang biak ekstraseluler sehingga dapat
meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis, dan dapat
menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di di organ-organ lainnya atau TB
milier.
Pada anak, komplikasi biasanya terjadi dalam 5 tahun pertama setelah infeksi,
terutama dalam l tahun pertama. Menurut Walgren ada 3 bentuk dasar TB paru pada
anak yaitu penyebaran timfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Pada
TB penyebaran limfohematogen, 0,5%-3% menjadi TB milier atau meningitis
tuberkulosis hal ini biasanya terjadi 3 - 6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial lesi segmental karena pembesaran kelenjar regional terjadi lebih
kemudian. TB tulang dan sendi terjadi pada 5 - 10% anak yang terinfeksi dan timbul
setelah 1 tahun. TB ginjal biasanya 5 25 tahun setelah infeksi primer. Terjadinya TB
kronik sangat bervariasi tergantung pada umur terjadinya infeksi primer.
Diagnosis
Diagnosis pasti TB bila ditemukan basil M. tuberlosis pada bahan yang
diambil dari sputum bilasan lambung, biopsi, dan lain-lain. Tetapi pada anak hal ini
sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak
didasarkan atas gambaran klinis, radiologis, dan uji tuberkulin. Untuk itu penting
dipikirkan adanya tuberkulosis pada anak kalau terdapat keadaan atau tanpa-tanda
yang mencurigakan, misalnya:

1. Kontak erat atau serumah dengan penderita tuberkulosis dengan sputum BTA
positif
2. Terdapat reaksi kemerahan setelah penyuntikan BCG dalam 3 sampai 7 hari
3. Terdapat gejala umum
Gejala-gejala yang harus dicurigai:
I. Gejala umum/tidak spesifik
1. Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas.
Berat badan tidak naik dalam satu bulan dengan penanganan gizi yang baik.
2. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidaak
naik (failure to thrive)
3. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, dapat disertai keringat malam
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel,
paling sering di daerah leher, aksila, dan inguinal.
5. Gejala respiratorik Pada anak kecil, tuberkulosis tidak selalu disertai batuk,
dahak, dan hemoptisis seperti penderita dewasa. Batuk tidak selalu merupakan
gejala utama dan jarang disertai batuk darah. Batuk dapat terjadi karena iritasi
oleh kelenjar yang membesar dan menekan bronkus. Pada anak yang lebih besar
gejala tuberkulosis dapat seperti penderita dewasa, yaitu terdapat batuk dengan
dahak dan dapat pula terjadi hemoptisis.
6. Gejala gastrointestinal
- diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare
- benjolan / massa di abdomen
- tanda-tanda cairan dalam abdomen
II. Gejala spesifik
1. TB kulit / skrofuloderma
2. TB tulang dan sendi
- tulang punggung (spondilitis): gibus
- tulang panggul (koksitis): pincang
- tulang lutut: pincang dan / atau bengkak
- tulang kaki dan tangan dengan gejala pembengkakan sendi, gibus, pincang,
sulit membungkuk
3. TB otak dan syaraf meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntahmuntah, dan kesadaran menurun
4. Gejala mata
- konjungtivitis ftiktenularis
- tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

III. Uji tuberkulin (Mantoux)


Uji kulit tuberkulin dapat menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Infeksi
Mycobacterium tuberculosis membentuk sensitivitas terhadap beberapa komponen
antigen basil TB yang dibuat tuberkulin. Ada 2 jenis tuberkulin yang dibuat yaitu OT
(old tuberculin) dan tuberkulin PPD (purified protein derivative). Ada 2 jenis
tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan PPD RT23. Dosis standar
tuberkulin adalah PPD-S 5TU atau sama dengan PPD RT23 2TU. Uji tuberkulin
dibaca setelah 48-72 jam, tetapi sekarang lebih dianjurkan setelah 72 jam. Diameter
indurasi 10 mm atau lebih dinyatakan positif sedangkan diameter 5-9 mm masih
meragukan dan harus dinilai lagi, diameter kurang dari 5 mm dinyatakan negatif.
Imunisasi BCG juga menyebabkan Uji tuberkulin positif. Tetapi uji
tuberkulin akibat imunisasi BCG biasanya tidak kuat reaksinya sehingga meskipun
telah ada parut BCG bila uji tuberkulin menunjukkan reaksi 15 mm atau lebih, harus
dicurigai ada superinfeksi alami basil TB, sehingga perlu diperiksa lebih lanjut untuk
kemungkinan TB aktif. Infeksi dengan Mikobakterium atipik dapat juga
menyebabkan uji tuberkulin positif, tetapi biasanya reaksi tersebut kecil.
Kadang-kadang dipedukan pengulangan uji tuberkulin untuk memastikan ada
tidaknya infeksi TB, tetapi sebaiknya uji tuberkulin diulang dengan tuberkulin yang
sama, 1-2 minggu kemudian untuk mencegah efek booster. Bahkan ada yang
menganjurkan untuk melakukan 3 kali uji tuberkulin untuk mendapatkan reaksi
tuberkulin yang sebenarnya.
Pada beberapa kasus TB, uji tuberkulin dapat negatif atau anergi karena
berbagai hal, misalnya TB berat, dalam pengobatan imunosupresif, atau sedang
menderita infeksi berat.
IV. Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan
indurasi > 5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.
V. Pemeriksaan radiologis
Secara rutin dilakukan foto rontgen paru pada tiap anak yang dicurigai TB.
Foto rontgen organ lainnya dilakukan sesuai gambaran klinis misalnya foto tulang
punggung pada spondilitis. Gambaran foto rontgen paru tidak selalu dapat
mendeteksi TB aktif karena gambarannya tidak khas. Hati-hati akan kemungkinan
overdiagnosis atau underdiagnosis. Gambaran rontgen yang paling mungkin ialah
kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal.
Gambaran rontgen paru pada TB dapat berupa milier, atelektasis, infiltrat dengan
pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal, konaolidasi (lobus), reaksi
pleura dan/ atau efusi pleura, kalsifikasi bronkiektasis, kavitas, destroyed lung, dan
lain-lain. Bila ditemukan ketimpangan (disconcurrence) antara gambaran klinis dan
gambaran radiologis, harus dicurigai TB. Foto rontgen paru sebaiknya dilakukan
dalam posisi postero-anterior (PA) dan lateral, atau minial PA saja.

VI. Pemeriksaan mikrobiologi dan Nerologi.

Pemeriksaan BTA langsung dari sputum atau bilasan lambung


Biakan basil TB memakan waktu lama
Pemeriksaan serologi anatomi (PAP, ELISA, Mycodot, dll) belum dapat dipakai
secara klinis praktis karena mahal dan perlu penelitian lebih lanjut.

Pada TB anak sering sulit untuk mendapatkan bahan yang cukup untuk
pembiakan. Biasanya dilakukan bilasan lambung yang mengandung sputum yang
tertelan untuk pemeriksaan bakteriologis. Dari 18.578 kali pemeriksaan bilasan
lambung yang dilakukan oleh Gerberaux pada 4.250 pasien hanya 16,8%
menghasilkan kultur positif; sedangkan penelitian di Lledical College of Virginia
mendapatkan jika bilasan lambung dilakukan 1 kali hanya 6% positif, tetapi bila
dilakukan 3 kali berturut-turut bisa mencapai 50% positif. Namun biakan basil TB
dengan media kultur seperti Lowenstein-Jensen memerlukan waktu yang lama (6-8
minggu), sedangkan sistem BACTEC mampu mendeteksi dalam 1-3 minggu.
Serodiagnosis untuk TB telah lama diselidiki, namun umumnya masih
dibuktikan dalam penelitian laboratorium. Serologis TB umumnya dilakukan dengan
cara ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Maekura dkk. (1993) menyatakan
bahwa deteksi antibodi IgG terhadap cord factor berguna untuk serodiagnosis TB
paru aktif. Titer antibodi anticord factor menurun sampai normal setelah diobati
dengan obat anti tuberkulosis.
Uji aglutinasi kaolin yang pertama kali dilakukan pada tahun 1962 mulai
dikembangkan kembali. Metode ini mendeteksi antibodi tuberkulofosfolipid. Uji
aglutinasi kaolin ini mudah dan menurut Jindal dkk. (1993) tekniknya mudah dan
dapat dipercaya dengan sensitivitas 86,9% dan spesifisitas 100%.
Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) merupakan uji serologi imunoperoksidase
yang menggunakan pewarnaan (staining) histogen imunoperoksidase untuk
menentukan adanya imunoglobulin G (IgG) spesifik terhadap basil TB. Hasil
penelitian dengan PAP ini masih kontroversial.
Pemakaian serodiagnosis untuk klinik masih belum dapat dikerjakan secara luas
karena hasilnya belum memuaskan.
VII. Pemeriksaan biomolekuler.
Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction / PCR) merupakan
pemeriksaan yang sensitif. PCR menggunakan DNA spesifik yang dapat mendeteksi
meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen seperti sputum, bilasan
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau darah. PCR dapat pula mendeteksi
adanya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis. Teknik biologi molekuler PCR
merupakan harapan meskipun peranannya dalam klinik belum cukup diteliti.
VIII. Pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan. patologi anatomi dapat membantu menegakkan diagnosis
tuberkulosis pada anak dengan pemeriksaan biopsi yang biasanya dilakukan pada

kelenjar getah bening superfisial leher. Penelitian oleh Widodo d.kk. (1999) di RSAB
Harapan Kita pada 58 penderita didapatkan hash biopsi limfadenitis TB positif pada
16 penderita (27,5%).
IX. Respons terhadap pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT)
Kalau dalam 2 bulan terdapat perbaikan klinis yang nyata memperkuat
diagnosis TB. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga nembuat kriteria untuk
menegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak seperti terlihat pada Tabel 2.
Tata laksana TB
Tujuan terpenting dalam tata laksana tuberkulosis adalah eradikasi cepat M.
tuberculosis, mencegah timbulnya resistensi, dan mencegah terjadinya komplikasi.
Jenis dan dosis OAT
1. Isoniasid (H)
Isoniasid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 -15 mg/kgBB. Efek samping berat
berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi
ikterus, pengobatan dapat dikurangi dosisnya atau dihentikan sampai ikterus
membaik. Efek samping ringan dapat benxpa kesemutan, nyed otot, gatal-gatal.
Pada keadaan ini pemberian INH dapat dilanjutkan sesuai dosis.
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat. membunuh kuman semi-dorman (persisten) yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 - 15 mg/ kgBB/hari, diberikan sebelum
makan.
Salah satu efek samping berat rifampisin adalah hepatitis, walaupun jarang
terjadi. Bila terjadi ikterik, maka pengobatan dihentikan atau. dosis dikurangi.
Setelah sembuh pengobatan dapat dilanjutkan lagi. Rifampisin dapat
menyebabkan Warna merah atau jingga pada air seni dan keringat, yang harus
diberitahukan pada penderita agar penderita tidak menjadi cemas. Warna merah
tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Efek
samping lain yang dapat ditemukan antara lain mual dan trombositopenia.
3. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman, yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 -35,mg/kgBB, sebaiknya dibagi
dalam 2 doses. Efek samping utama dari penggunaan pirazinamid adalah
hepatitis. juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan
serangan artritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitivicas misalnya demam, mual,
kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.

4. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 - 30 mg/kgBB
intramuskular. Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan nervus
kranialis VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi
pada 2 bulan pertama, dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing,
dan kehilangan keseimbangan. Streptomisin juga bersifat nefrotoksik.
5. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 - 20 mg/kgBB.
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman penglihatan, buta wama untuk wama merah dan hijau, maupun
neuritis optik.
Selain obat anti tuberkulosis (OAT) pada beberapa kasus TB diperlukan
penggunaan steroid. %Valaupun steroid telah lama dipakai sebagai acuan dalam
terapi TB, tetapi peran sebenarnya belum begitu jelas. Pemberian steroid
dimaksudkan untuk mempercepat pengurangan inflamasi dan edema pada meningitis TB, mempercepat absorbsi cairan dan mencegah perlengketan pada efusi
pleura dan efusi perikardium, menurunkan sumbatan kapiler alveoli pada TB
milier, serta mengurangi obstruksi dan atelektasis pada TB bronkial.

Steroid yang biasa digunakan adalah predinson,dengan 1-2 mg/kg berat badan
per hari. Untuk meningitis TB, Predinson diberikan selama 4 minggu dosis
penuh, kemudian diturunkan (tapering off ) dalam waktu sama. Untuk indikasi
lain, Predinson diberikan 2 minggu dan kemudian dosis diturunkan.
Reisistensi Obat
Obat-obat yang disebutkan diatas merupakan obat lini pertama pada pengobatan
tuberkulosis. Apabila terjadi resistensi atau terdapat masalah dalam penggunaan oabt
lini pertama tersebut, dapat digunakan obat lini kedua antara lain, siprofloksasin,
kanamisin, para amino salisilat, tiasetazon, etionamid, sikloserin, kapremisin. Obat
lini kedua ini efektivitasnya lebih rendah serta justru lebih toksik dibandingkan
dengan obat lini pertama.
Profillaksis
Untuk tujuan profilaksis diberikan INH 5-10 mg/kgBB/hari.
Terdapat 2 jenis profilaksis :
1. Profilaksis primer
Diberikan pada anak yang kontak erat dengan penderita TB dengan BTA positif
2. Profilaksis sekunder
Diberikan selama 1 tahun pada anak dengan infeksi TB, yaitu uji tuberkulin
positif dan klinis baik :
- usia dibawah 5 tahun
- foto torak normal
- menderita penyakit infeksi virus (morbili, varisela)
- mendapat obat imunosupresif lama (sitostatik, steroid)
- usia pubertas
- infeksi baru TB (kurang dari 12 bulan atau koversi baru uji tuberkulin)
Evaluasi
* Bila setelah 2 bulan pengobatan klinis baik, obat diteruskan
* Bila setelah 2 bulan pengobatan klinis kurang baik, rujuk ke RS atau dokter ahli
(untuk evaluasi diagnosis)
* Bagi yang tidak teratur minum obat (tidak minum obat setelah minum obat teratur
selama 2 bulan) diberikan tambahan etamburol selama 2 bulan
Penghentian Pengobatan
1. Bila setelah 6 bulan pengobatan, dilakukan evaluasi :
- Batuk menghilang
- Perbaikan klinis
- Peningkatan berat badan

2. Bila setelah 6 bulan tidak ada perbaikan, kemungkinan :


- MDR (multiple drug resistant)
- Obat perlu diganti atau ditambah
- Diagnosis bukan TB
Startegi DOTS
Dalam usaha untuk menanggulangi TB sejak tahun 1995 Indonesia mencoba
menerapkan stategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang dire
komendasikan oleh WHO. Dalam strategi ini, setiap penderita baru yang ditemukan
harus selalu didampingi oleh seseorang yang telah dilatih singkat tentang cara
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari (pengawas minum
obat / PMO). Maksudnya adalah untuk menjamin pengobatan lengkap, mencegah
resistensi. Termasuk PMO adalah petugas kesehatan, keluarga penderita, kader,
penderita yang sudah sembuh, tokoh masyarakat yang sudah dilatih mengenai
strategi baru penanggulangan TB. Strategi DOTS dipandang cukup efektif, namun
sampai saat ini secara resmi DOTS hanya dilaksanakan di puskesmas. Karena
memang belum ada kebijakan umum yang melibatkan seluruh unit pelayanan
kesehatan dalam pelaksanaan strategi DOTS, dengan pertimbangan ekspansi yang
dilakukan tanpa persiapan matang hanya akan menimbulkan mu1ti drug resistance.
rumah sakit di Indonesia juga memberikan pelayanan terhadap pcnderita TB,
meskipun belum seluruh rumah sakit menerapkan DOTS yang diadopsi oleh Gerakan
Terpadu nasional TB (Gerdunas TB). Namun saaat ini telah ada kesepakatan antara
pemerintah dengan organisasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI), Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). Iakatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI), dan sebagainya untuk menanggulangi TB secara terpadu dan
berskala nasional.

EPIDEMOLOGI ASMA
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan,
terutama di negara maju. Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak.
Dilaporkan bahwa sejak dua dekade (terakhir prevalens asma meningkat, baik pada
anak-anak maupun dewasa. Asma mempunyai dampak negatif pada kehidupan
penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk
sekolah dan membatasi kegiatan olah raga, maupun aktivitas seluruh keluarga.
Prevalens total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6%pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalens tersebut sangat bervariasi, terdapat perbedaan antar negara bahkan
di beberapa daerah di suatu negara.
Masalah epidemiologi lain yang ada saat ini adalah mortalitas asma yang relatif
tinggi. Beberapa waktu yang lalu penyakit asma tidak merupakan penyebab kematian
yang berarti. Namun belakangan ini dilaporkan dari berbagai negara terjadi
peningkatan kematian karena penyakit asma, juga pada anak.
Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai yang berat dan mengancam
kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara
lain latihan, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap
iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain sebagainya. Selain itu juga berbagai
faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, antara lain
umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi prevalens asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan,
status asma dan kematian karena penyakit asma.
1.1. Definisi
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas saluran respiratorik
terhadap berbagai rangsangan. Definisi di atas memang sangat lengkap, namun
dalam penerapan klinis untuk anak kurang praktis.
Pengertian kronik dan berulang mengacu pada kesepakatan UKK
Pulrnonologi pada KONIKA V di Medan tahun 1981 tentang Batuk Kronik
Berulang (BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan/atau tiga
atau lebih episod dalam waktu 3 bulan berturut-turut.
1.2. Prevalensi Asma
Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara, meliputi 155
senter, pada anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Penelitian ISAAC
menggunakan kuesioner standar dengan pertanyaan: " Have you (your child)
had wheezing or whistling in the chest in the last 12 months?" Untuk
mengelompokkan dalam diagnosis asma bila jawabannya "Ya". Pada anak usia
13 - 14 tahun selain diminta mengisi kuesioner juga diperlihatkan video asma.
Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun yang terendah di
Indonesia (1,6%) dan yang tertinggi di Inggris, sebesar 36,8%.

Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia telah dilakukan di


beberapa pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner
standar. Pada Tabel 1.1 dapat dilihat beberapa hasil survei prevalens asma pada
anak di Indonesia.
Tabel 1.1. Prevalensi Asma di Indonesia
Peneliti (kota)
Tahun
Djajanto B (Jakarta)
Rosmayudi O (Bandung)
Dahlan (Jakarta)
Arifin (Palembang)
Rosalina I (Bandung)
Yunus F (Jakarta)
Kartasasmita CB (Bandung)

1991
1993
1996
1996
1997
2001
2002

Rahajoe NN (Jakarta)

2002

Jumlah
Sample
1200
4865
1296
3188
2234
2678
2836
1296

Umur
(Tahun)
6-12
6-12
6-12
13-15
13-15
13-14
6-7
13-14
13-14

Prevalens
(%)
16,4
6,6
17,4
5,7
2,6
11,5
3,0
5,2
6,7

DIAGNOSIS
DAN KLASIFIKASI
3.1. Diagnosis
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, khususnya
anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid
sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi
lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau
yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis,
sangat menunjang diagnosis.5 Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis
asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya :
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 > 15%.
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil
PFR dalarn satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan. dengan
variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung > 2 minggu.
2. Reversibilitas pada PFR atau FEVI > 15%.
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan > 20% pada FEV 1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus
dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu.
diupayakan, karena Selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui
keberhasilan tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak selalu ada, maka
Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai altenatif karena mempunyai
korelasi yang baik dengan faal paru.
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap
pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik
lebih lanjut : Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan
diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi
adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat
sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik.
Bila semua aspek tersebut sudah diakukan dengan baik dan benar maka perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonates, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan
fokal paru, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemenksaan yang perlu dilakukan
adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga
perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranaslis, uji keringat, uji imunologis, uji
defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.

Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai


dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik : berulang. Oleh karena itu uji
tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun
yang bukan asma.
Berdasarkan alur diagnosis asma anak, setiap anak yang menunjukkan gejala
batuk dan/atau wheezing maka diagnosis akhirnya dapat berupa :
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
3.2. Klasifikasi Derajat Penyakit
Secara arbitreri PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit, dengan
kriteria yang lebih lengkap dibandingkan Konsensus Intemasional, seperti dapat
dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.1. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak
Parameter klinis,
Kebutuhan obat,
Asma Episodik
Asma Episodik
dan faal paru.
Jarang
Sering
1. Frekuensi serangan < 1x / bulan
>1x /bulan
2. Lama serangan
<1 minggu
>1 minggu

Asma
persisten
Sering hampir
sepanjang tahun,
tidak ada remisi
Biasanya berat
Gejala siang dan
malam

3. Intensitas serangan
4. Diantara serangan

biasanya ringan
tanpa gejala

biasanya sedang
sering ada gejala

5. Tidur dan aktifitas


6. Pemeriksaan fisis
diluar serangan

tidak terganggu
Normal (tidak
ditemukan
kelainan)
tidak perlu

sering terganggu
mungkin tergangu
(ditemukan
kelainan)
perlu

PEF/FEV1>80%

PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1<60%


Variabilitas 20-30%
Variabilitas > 30% Variabilitas >50%

7. Obat pengendali
(anti inflamasi)
8. Uji faal paru
(diluar serangan)
9. Variabilitas faal
paru (bila ada
serangan)

Variabilitas > 15%

Sangat terganggu
Tidak pernah
normal
perlu

Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi 4, yaitu


Asma Intermiten, Asma Persisten Ringan, Asma Persisten Sedang, dan Asma
Persisten Berat. Dasar pembagiannya adalah gambaran klinis, faal paru dan obat
yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA
dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV 1 untuk penilaiannya. Konsensus

Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan keadaan
klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu, Asma episodik jarang yang meliputi 75%
populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20% populasi, dan Asma
persisten meliputi 5% populasi. Klasifikasi asma seperti ini juga, dikemukakan oleh
Martin dkk dari Melbourne asthma Study Group.

TATALAKSANA
JANGKA PANJANG
4.1. Tujuan Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang
ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mugkin. tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya.
4.2. Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutnya obat
pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua
adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat
profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu
inflamasi respiratorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit
asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-obat
pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.
Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator
b-agonis hirupan kerja pendek (Short Acting 2-Agonist- SABA) atau golongan
santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. (Evidence A)
Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut
mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat
hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik
penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk
anak kecil/ bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat
hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka b-agonis diberikan per oral.
(Evidence D)
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di

Indonesia obat -agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu
penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan
efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin. (Evidence F).
Konsensus Internasional III dan juga Pedoman Nasional Asma Anak
seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pemberian antiinflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Jadi secara tegas PNAA
tidak menganjurkan pemberian obat controller pada Asma Episodik Jarang. Hal
ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada
Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan
(derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau
kromoglikat hirupan. (Evidence A) Dalam alur tatalaksana jangka panjang
(Lampiran 3) terlihat bahwa jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah
adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, maka
tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering.
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana
yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada
Asma Episodik jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada
kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di
lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma
Persisten yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma
yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma,
misalnya dari Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma
Episodik Jarang, bahkan sampai asmanya asimtomatik.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan P-agonis hirupan sudah lebih dari 3x'perminggu (tanpa
menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi.'-5 (Evidence A) Pada awalnya, anti-inflamasi
tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10
mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi
hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi
menjadi 2-3 kali perhari. Penelitian terakhir, Tasche dkk,b mendapatkan hasil
bahwa pemberian kromolin kurang bermanfaat pada tatalaksana asma jangka
panjang. Dengan dasar tersebut PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan
kromolin (kromoglikat dan nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan
steroid hirupan dosis rendah sebagai anti-inflamasi (Lampiran 3). (Evidence A)
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah
yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakar.
pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah
steroid hirupan adalah setara dengan 100-200ug/han budeso3 i_d (50-100
ug/hari flutikason) untuk ana~ berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400
ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12

tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200


ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek
samping jangka panjang.'
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali
berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi.
Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu
yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama
6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak respons (masih terdapat
gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas seharihan), maka dilanjutkan
dengan tahap kedua (Lampiran 3) yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sarnpai
dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika
tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya
tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksananya berpindah ke
yang lebih berat (step-up).
Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih
ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan
dihentikan penggunaannnya.',3 Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran
pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit.
pengendalian asma_ seperti rinitis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa
penatalaksaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asmayang
terjadi secara bersamaan.'
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah
selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke
tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam
_' keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan
untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek x
(3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil
a
yang masih optimal.'
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400
ug/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan
dengan dosis 800 ug/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA
(hipotalamus-hipofisis-adrenal)
sehingga
dapat
berdampak
terhadap
pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan pen;gunaan
alat remberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi
di daerah orofaringeai sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan
meningkatkan deposisi obat di paru.' Selain itu untuk mengurangi efek samping
steroid hirupan, bila sudah mampu pasien dianjurkan berkumur dan air
kumurannya dibuang setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang
baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi
dosis medium atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA
(Long Acting /3-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR)
atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR).',' (Evidence A) Yang

dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600
ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun.' (Evidence D)
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan
dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB V Rectum
    BAB V Rectum
    Dokumen1 halaman
    BAB V Rectum
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Tiva 4
    Tiva 4
    Dokumen8 halaman
    Tiva 4
    Raden Ira Ayupuspitha
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen26 halaman
    Bab Iii
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen28 halaman
    Bab Ii
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • MSCT RECTAL
    MSCT RECTAL
    Dokumen6 halaman
    MSCT RECTAL
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Ca Recti
    BAB IV Ca Recti
    Dokumen3 halaman
    BAB IV Ca Recti
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • KankerRektum38Tahun
    KankerRektum38Tahun
    Dokumen1 halaman
    KankerRektum38Tahun
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Cover CA Rektum Radioterapi FSNBA
    Cover CA Rektum Radioterapi FSNBA
    Dokumen1 halaman
    Cover CA Rektum Radioterapi FSNBA
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Vascular Dementia Refrat
    Vascular Dementia Refrat
    Dokumen32 halaman
    Vascular Dementia Refrat
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • IMUNISASI
    IMUNISASI
    Dokumen31 halaman
    IMUNISASI
    susi susanti
    Belum ada peringkat
  • Konsep Konsepannnnnn
    Konsep Konsepannnnnn
    Dokumen1 halaman
    Konsep Konsepannnnnn
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • BAB II Ca Recti
    BAB II Ca Recti
    Dokumen28 halaman
    BAB II Ca Recti
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Efusi Pleura Ganas
    Efusi Pleura Ganas
    Dokumen18 halaman
    Efusi Pleura Ganas
    Najwa
    Belum ada peringkat
  • KOmpetensi
    KOmpetensi
    Dokumen1 halaman
    KOmpetensi
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat
  • Askeb 3
    Askeb 3
    Dokumen6 halaman
    Askeb 3
    Bianda Axanditya
    Belum ada peringkat