Anda di halaman 1dari 20

REFLEKSI KASUS I

Seorang Anak dengan Demam Berdarah Dengue dan Status Gizi Baik

oleh :
Nadya Noor Firdhausa

Pembimbing :
dr. Slamet Widi Saptadi, Sp. A
dr. Zuhriah Hidajati, Sp. A
dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A
dr. Neni Sumarni, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2015

I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An. G

Umur

: 4 tahun 10 bulan

II.

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Kristen

Suku

: Jawa

Alamat

: Delik rejo RT 04/XI

Nama Ayah

: Tn. K

Umur

: 31 tahun

Pekerjaan

: Karyawan

Pendidikan

: SMP

Nama Ibu

: Ny. I

Umur

: 29 Tahun

Pekerjaan

: Karyawan

Pendidikan

: SMA

Bangsal

: Nakula

No. CM

: 3388xx

Masuk RS

: 10 Oktober 2015

DATA DASAR
1. Anamnesis ( Alloanamnesis )
Alloanamnesis dengan ibu penderita dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2015
pukul 15.00 WIB di ruang Nakula 4.1 dan didukung dengan catatan medis.
a. Keluhan Utama : Demam
b. Keluhan tambahan : nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelum masuk rumah sakit :
-

3 hari SMRS ibu pasien mengatakan pasien demam yang terjadi secara
mendadak, menetap sepanjang hari dan tidak dipengaruhi waktu. Demam
membaik dengan pemberian obat penurun panas namun demam hanya
hilang sebentar dan kemudian timbul kembali. Saat demam tidak mengigau,
tidak mengggigil, tidak kejang, tangan dan kaki tidak dingin. Tidak terdapat
batuk, pilek, ruam di kulit, dan buang air kecil dam buang air besar dalam
batas normal.
1

2 hari SMRS demam disertai nyeri kepala dan nyeri ulu hati. Mual juga
dirasakan oleh pasien sehingga nafsu makan menurun, lemas tetapi tidak
disertai muntah. Tidak terdapat mimisan, gusi berdarah, bintik-bintik merah
pada kulit, sesak napas, serta kaki tangan tidak dingin, BAB dan BAK
dalam batas normal.

Anak kemudian dibawa ke poli anak RSUD Kota Semarang untuk


mendapatkan penanganan lebih lanjut dan oleh dokter poli Anak RSUD
Kota Semarang disarankan untuk rawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Terdapat riwayat demam
saat pasien berusia 3 tahun tetapi demam dapat diatasi dengan obat
penurun panas. Tidak ada riwayat alergi dan dirawat di RS sebelumnya.
Riwayat maag (-).

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Keluarga pasien tidak memiliki keluhan yang sama

Teman sekolah ada yang sakit seperti ini

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayah dan ibu pasien bekerja
sebagai karyawan. Biaya pengobatan ditanggung sendiri.
Kesan : Sosial ekonomi cukup
g. Riwayat Persalinan dan Kehamilan :
Saat hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan.
Pasien merupakan anak perempuan yang lahir dari ibu G 2P1A0, hamil 38
minggu, lahir spontan di bidan, langsung menangis, berat badan lahir 3200
gram, panjang badan, lingkar kepala dan lingkar dada saat lahir ibu tidak
ingat, tidak ada kelainan bawaan.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan per vaginam, vigorous baby
h. Riwayat Pemeliharaan Prenatal :

Ibu memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan terdekat. Mulai


saat mengetahui kehamilan hingga usia kehamilan 7 minggu pemeriksaan
dilakukan 1x/bulan. Saat usia kehamilan memasuki usia kandungan ke-8
bulan, pemeriksaan rutin dilakukan 2x/bulan hingga lahir. Selama hamil ibu
telah mendapat suntikan TT 2x Ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit
selama kehamilan. Riwayat perdarahan dan trauma saat hamil disangkal.
Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu disangkal.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik
i. Riwayat Pemeliharaan Postnatal :
Pemeliharaan postnatal dilakukan di bidan dan anak dalam keadaan sehat.
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik
j. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak :
Pertumbuhan :
Pasien sering dibawa kontrol ke puskesmas untuk mengisi KMS dan selalu
di garis hijau.
Perkembangan :
-

Senyum
: 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap
: 5 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan
: 12 bulan
Berbicara 1 kata : 12 bulan
Menyusun kalimat : 2 tahun
Saat ini anak berusia 4 tahun 10 bulan, berbicara lancar, interaksi dengan
keluarga baik, tidak ada gangguan emosional.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur.
k. Riwayat Makan dan Minum Anak :
ASI diberikan sejak lahir sampai usia 1,5 tahun. Setelah usia 6 bulan,
selain ASI anak juga mendapat diberikan makanan pendamping ASI berupa
pisang yang dilumat halus, bubur susu, nasi tim, dan buah. Mulai usia 1,5
tahun sampai sekarang, anak diberikan makanan padat seperti anggota

keluarga yang lain. Anak saat ini mengonsumsi nasi, daging, tahu, tempe,
telur, sayur, dan buah-buahan dengan frekuensi makan 3 kali sehari.
Kesan : kualitas dan kuantitas makanan baik
Riwayat Imunisasi :
BCG

: 1x (1 bulan ), scar (+) di lengan kanan atas

DPT

: 3x (2, 4, 6 bulan)

Polio

: 4x (0, 2, 4, 6 bulan)

Hepatitis B

: 3x (0, 1, 6 bulan)

Campak

: 1x (9 bulan)

Kesan : Imunisasi dasar sesuai dengan umur dan tepat waktu.


III.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 13 Oktober 2015 pukul 16.00 WIB
Anak perempuan usia 4 tahun 10 bulan, berat badan 14 kg, tinggi badan 104 cm.
1. Keadaan Umum

: compos mentis, lemah, tampak sakit sedang.

2. Tanda vital :
-

Tekanan Darah

: 100/70 mm Hg

Nadi

: 90 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup, equal


kanan kiri.

Laju nafas

: 28x/ menit

Suhu

: 38,5 C ( aksila )

3. Status Gizi

WAZ = BB - Median =
SD

14 17,4 = - 1,78 SD (normal)


1,9

HAZ = TB - Median =104 107,3 = - 0,75 SD (normal)


SD

4,4

WHZ = BB - Median = 14 16,5 = - 1,06 SD (normal )


SD

1,5

Kesan : status gizi baik dengan perawakan normal


4. Status Internus

a.

Kepala

: Normocephale, ubun-ubun besar tidak menonjol, kulit kepala tidak

kelainan, rambut hitam dan distribusi merata, tidak ada kaku

ada
kuduk.

b.

Kulit

: Tidak sianosis, turgor kembali cepat <2 detik, ikterus (-), petechie (-)

c.

Mata

: Pupil bulat, isokor, 4mm/ 4mm, refleks cahaya (+/+) normal,


konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

d.

Hidung

: bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)

e.

Telinga

: bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri (-/-)

f.

Mulut

: bibir kering (+), sianosis (-), pendarahan gusi (-) lidah kotor di tengah,

tepi hiperemis, tidak tremor


g.

Tenggorok : tonsil ukuran T1-T1, permukaan rata, kripte tonsil tidak melebar,
tidak hiperemis, faring hiperemis (-)

h.

Leher

: simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe


i. Thorax

Paru
- Inspeksi

: Hemithoraks dextra et sinistra simetris

dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal,


intercostal dan epigastrial (-).
Palpasi

: stem fremitus dextra et sinistra simetris

Perkusi

: sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: suara dasar : vesikuler


suara tambahan : ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi

: pulsasi Ictus cordis tidak tampak


-

Palpasi
mid clavicula

: Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial linea


sinistra, tidak melebar, tidak kuat angkat

Perkusi batas jantung :


atas

: ICS III linea parasternalis sinistra

pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra


kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah
-

: ICS V, 2 cm medial linea mid clavicula sinistra

Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), bising (-)

j. Abdomen :
-

Inspeksi

: datar

Auskultasi

: BU (+) normal

Perkusi

: timpani (+)
- Palpasi

: supel, defense muscular (-), nyeri tekan pada

regio epigastrium (+), hepar membesar 2 jari dibawah arcus


costa, tepi tumpul, konsistensi kenyal, permukaan rata
k. Genitalia

: perempuan, tidak ada kelainan

l. Kulit

: petechie (-)

m. Ekstremitas

:
Superior

Inferior

Akral Dingin

-/-

-/-

Akral Sianosis

-/-

-/-

Udem

-/-

-/-

Petechie

-/-

-/-

<2"

<2"

Capillary Refill Time


IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes rumple leed : (+) (tgl 13-10-2015)

Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan

10/10/2015

11/10/2015

12/10/2015

13/10/2015

Hb

11,1 g/dL

10.2 g/dL

10.1 g/dL

9,6 g/dL

Ht

32.1 %

40.1 %

36.9%

34.8%

Leukosit

5.600/ mm3

4.900/ mm3

4.300/ mm3

4.100/ mm3

Trombosit

98.000/ mm3

43.000/ mm3

65.000/ mm3

105.000/ mm3

Pemeriksaan Serologi
Widal :
1. S. typhi O : negatif
2. S. typhi H : negatif
Pemeriksaan foto rontgen thorax RLD :
- Cor : dbn
- Pulmo : dbn
6

Usulan Pemeriksaan :
-

V.

Pemeriksaan serologi IgM, IgG anti dengue

DIAGNOSIS BANDING
1. Demam dengue
2. Sindrom syok dengue
3. Demam chikungunya

VI.

DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Demam berdarah dengue grade I
2. Status gizi baik

VII.

TERAPI
o Infus RL 7cc/kgBB/jam selama 2 jam (7x14 = 98 cc/jam)
o Pantau tanda-tanda vital, keadaan umum, tanda-tanda perdarahan, distress
napas, tanda syok tiap 2-4 jam.
o Pantai diuresis (>1cc/kgBB/jam)
o Cek darah rutin ulang setelah 6 jam
o Turunkan tetesan menjadi 5 cc/ kgbb/jam selama 4 jam (5ccx14kg= 70cc/jam)
Jika tanda vital dan keadaan umum pasien baik
o Turunkan tetesan menjadi 3 cc/kgbb/jam setelah ada perbaikan
o Berikan paracetamol syrup 3x1,5 cth
o Evaluasi urin output tiap 8-12 jam sekali.

Non medikamentosa
-

Tirah baring

Cukup minum

Makan makanan yang bergizi

Bila suhu meningkat, kompres dengan air hangat

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: ad bonam
7

IX.

RESUME
Telah diperiksa seorang anak perempuan 5 tahun, BB 14 kg, TB 104 cm
dengan keluhan demam , lemas, nyeri kepala, nyeri ulu hati, dan mual. 3 hari sebelum
masuk rumah sakit, anak mengalami demam tinggi mendadak terus menerus epanjang
hari. 2 hari sebelum masuk rumah sakit demam disertai nyeri ulu hati, lemas, nyeri
kepala dan mual sehingga tidak nafsu makan, frekuensi dan jumlah BAK menurun.
Tidak terdapat mimisan, gusi berdarah, bintik-bintik merah di kulit, sesak napas
ataupun tangan dan kaki dingin. Saat pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
composmentis, tampak sakit sedang, gizi baik. Tanda vital TD : 110/70 mmHg, HR :
90X/ menit, RR : 28x/menit, suhu : 38,5 derajat celcius.
Terdapat pembesaran hati pada palpasi abdomen dengan konsistensi kenyal, tepi
tumpul, permukaan rata, dan teraba 2 jari dibawah arcus costa.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan tes rumple leed (+). Hasil laboratorium darah
rutin saat ditegakkan diagnosa hb:10.2 ; ht: 40.1 ; leukosit 3900/ mm3; trombosit:
43.000/ mm3

TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM BERDARAH DENGUE
Virus
Virus Dengue adalah anggota genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus
berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single stranded RNA. Virionnya terdiri atas
nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris yang terbungkus dalam sampul lipoprotein.
Genome dari virus Dengue berukuran panjang 11.000 base pairs, dan terbentuk dari tiga
gen protein struktural yaitu selubung protein (E), nucleocapsid atau protein core ( C ),
membrane associated protein (M) suatu protein envelope dan serta tujuh gen protein non
struktural (NS) yaitu NS1, NS2a,NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. NS1 adalah protein
nonstruktur 1, merupak glikoprotein yang berfungsi dalam siklus kehidupan virus yang belum
jelas diketahui. NS1 dideteksi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi virus dengue
dengan reaksi imun sekunder, tetapi jarang dijumpai pada penderita yang menunjukkan reaksi
imun primer. NS2 memiliki 2 protein (NS2a dan NS2b) yang berperan pada proses
lipoprotein sedangkaan NS3 memiliki sebagian proteinase yang berfungsi sebagai sitosol.
Gen NS4 memiliki 2 protein hidrofob (NS4a dan NS4b) yang berperan pada kompleks
replikasi membrane RNA. NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda
8

protein Flavivirus.Envelope glycoprotein berhubungan dengan aktifitas hemaglutinasi dan


netralisasi virus.Terdapat empat serotipe virus yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3 dan
Den-4. Keempat serotype ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype Den-3
sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah yang dominant adalah virus
Den-2. Jika seseorang terinfeksi dengan salah satu serotipe tersebut, akan terjadi kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat virus memiliki
daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski
baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu serotipe. Keempat serotipe dapat
menyebabkan penyakit berat dan fatal (Suroso T, 2003), (Soegijanto S 2004)
Vektor
Penularan virus dengue dari orang ke orang lain adalah melalui gigitan nyamuk Aedes ( Ae)
dari sub genus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama. Vektor
sekunder lain yang juga berperanan pada penularan virus Dengue adalah Ae. albopictus, Ae.
polynesiensis, anggota dari Ae. scuttelaris complex dan Ae. ( finlaya) niveus. Selain Ae.
agypti semua vektor sekunder mempunyai daerah distribusi geografis tersendiri yang
terbatas. Yang paling efisien sebagai vektor epidemi adalah Ae. Agypti (Suroso T, 2003)
Nyamuk Aedes tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, oleh karena itu seluruh wilayah
Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD kecuali pada daerah dengan
ketinggian diatas 1000 m diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara
terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk Aedes (Sungkar S,
2002), (Darlan DM, 2004)
Siklus hidupnya dimulai setelah nyamuk betina meletakkan telurnya pada dinding tempat air
jernih dan terlindung sinar matahari langsung ataupun tempat air yang sedikit terkontaminasi
seperti bak mandi, drum, tangki air, tempayan, vas bunga, perangkap semut dan tempat
minuman burung. Dalam suasana optimum, perkembangan dari telur sampai dewasa
memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang telah dewasa siap
mengisap darah manusia dan kawin sehari atau dua hari setelah keluar dari pupa
(kepompong). Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat berkembang biak karena
menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Umumnya nyamuk betina akan mati
dalam waktu 10 hari, tetapi masa tersebut cukup bagi nyamuk untuk inkubasi virus (3-10
hari) dan menyebarkan virus (Sungkar S, 2002)
Host
Sebagai hospes atau pejamu dari virus Dengue adalah manusia dan beberapa spesies
primata rendah. Tubuh manusia merupakan urban reservoir yang utama bagi virus tersebut
(Suroso T, 2003)
Patogenese DBD
DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian virus
ini mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2 3 hari menyebar ke sirkulasi
dan jaringan-jaringan. Dalam siekulasi virus dengue menginfeksi sel fagosit yaitu makrofag,
monosit , sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini berlangsung untuk pertama kali
dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau bahkan simptomatik, bergantung pada
jumlah dan virulensi virus serta daya tahan host. Seseorang yang terinfeksi pertama kali akan
menghasil kan antibodi terhadap virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila infeksi
9

berikutnya terjadi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan kebal.
Tetapi mengapa pada daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat pula
kasus yang berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non neutralisasi,
yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini mengakibatkan semakin
mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat bahwa infeksi sekunder
adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD (Ginting Y, 2004)
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a) respons
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE); b)limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL5, IL-6 dan IL-10; c)monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin
Halsted pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila sesorang terinfeksi ulang virus dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun (antigen antibodi) yang tinggi . Keadaan ini mengakibatkan
terjadinya reaksi imunologis berupa.
1. Aktivasi sistem komplemen Aktivasi sistem komplemen mengakibatkan aktivasi C3 dan
C5 sehingga dilepaskan anafilatoksin C3a dan C5a. Anafilatoksin C3a dan C5a
mengnakibatkan peninggian permeabilitas kapiler dengan konsekwensinya yaitu
perembesan plasma ke ekstravaskuler yang mengakibatkan anjloknya volume darah
dan dapat berakibat hipotensi, hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan
shok. Hipovolemik ini juga berakibat pada hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian. Perembesan plasma ini telah terjadi pada saat permulaan penyakit dan
memuncak pada saat terjadi renjatan.
2. Disfungsi trombosit . Kompleks antigen-antibodi melekat pada permukaan trombosit
mengakibatkan kerusakan trombosit yang berakibat pada: . Gangguan agregasi
trombosit . Trombosit dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial terutam hati dan
limpa. Hal ini akan mengakibatkan trombositopenia yang tentunya mengakibatkan
perdarahan.
Trombosit yang aktif dalam agregasi melepaskan aminovasoaktif yang
mengakibatkan meningginya permeabilitas kapiler yang bisa berakibat pada shok.
3. Pelepasan mediator . Virus dengue menginfeksi sel-sel fagosit. Hal ini menyebabkan sel
yang terinfeksi mengeluarkan mediator yaitu sitokin-sitokin, antara lain interferon
(IFN), interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosing Factor (TNF).
Sitokin-sitokin ini yang mengakibatkan peninggian permeabilitas kapiler. Selain itu
sitokin akan merangsang hipotalamus anterior dan korteks serebelum yang
mengakibatkan demam. Pelepasan sitokin juga dapat diakibatkan oleh karena

10

endotoksin dari sel gram negatif yang masuk ke sirkulasi. Hal ini dapat terjadi apabila
pasien mengalami syok yang berakibat pada iskemia dan nekrosis usus.
4. Koagulopati Sitokin yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi akan menstimulasi sistem
koagulasi, sehingga terjadi penurunan faktor fibrinogen, faktor V, VII, VIII, X dan XII.
Gangguan pada sistem koagulasi ini dapat menyebabkan koagulasi intravascular
disseminata(KID) (Ginting Y, 2004), (Suhendro dkk, 2009)
Mekanisme patofisiologi yang utama pada DBD adalah meningginya permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopeni dan diatesis hemoragik. Plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit menimbulkan dugaan bahwa
syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler
yang rusak.
Trombositopenia terjadi akibat destruksi trombosit yang meningkat dan depresi fungsi
megakariosit. Perdarahan kulit pada penderita DBD umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif terjadi akibat
kelainan mekanisme yang lebih kompleks lagi yaitu trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan dan kemungkinan besar oleh adanya Koagulasi Intravaskular Diseminata ( KID)
(Sungkar S, 2002)
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum tulang,
dan 2).destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase
awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematoppoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petaanda degranulasi trombosit. (Suhendro dkk, 2009)
Diagnosa demam berdarah (WHO, 1997), (Suhendro dkk, 2009)
Diagnosa demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1997.WHO
telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD :
A. Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2 7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan : a. Uji
torniquet positip
b. Petekie, ekimosis, purpura.
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain
11

d. Hematemesis dan atau melena.


3. Pembesaran hati ( hepatomegali ).
4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah
B.Kriteria laboratorium :
1. Trombositopenia ( 100.000 / ml atau kurang )
2.Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan
permeabilitas kapiler dengan manifestasi :
- peningkatan hematokrit 20 % dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
- penurunan hematokrit 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia.
.
Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD.
Derajat Penyakit (WHO, 1997)
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue terdiri dari demam dengue dan DBD
diklasifikasikan dalam 4 derajat ( pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi )
Demam Dengue Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro
orbital, mialgia, artralgia
-

DBD Derajat I Demam disertai gejala seperti diatas dan satu-satunya


manifestasi perdarahan ialah uji Tourniquet.
- DBD Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain.
- DBD Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab serta gelisah
- DBD Derajat IV Syok berat disertai nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus
dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue. Ini dapat
dilihat pada gambar 2.4
Klasifikasi dengue dan derajat keparahan (WHO, 2009)

12

13

Manifestasi Klinis
WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3
fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery.
1.Fase Demam
Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit memerah,
nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri tenggorokan,
faring hiperemis, konjunctiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum terjadi.
Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase demam, uji torniquet positip
mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi virus dengue. Diperlukan monitor
untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke
fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan
membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Perdarahan pervaginam
yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi
pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa
hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit
(leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus
dengue.
2.Fase Kritis
Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi 37,5-38 oC dan bertahan
pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler bersamaan
dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda awal fase kritis.
Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan
kebocoran plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran
plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat
digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites. Shok dapat terjadi didahului oleh
timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat subnormal saat shok terjadi.
Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan kegagalan organ,
metabolik asidosis dan disseminated intravascular coagulation (DIC). Hepatitis akut yang
berat, encephalitis, mmiokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi
3.Fase Recovery
Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen
extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu makan,
berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan
perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah
karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan
meningkatnya trombosit. (WHO, 2009)
Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara,
isolasi virus, deteksi antigen virus atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodispesifik dalam
serum pasien (Wuryadi S, 2000)

14

Diagnosis serologis
Dikenal 6 jenis uji serologic yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus
dengue, yaitu :
2.8.1.1.Haemagglutination Inhibition test (HI test)
Diantara uji serologi, uji HI adalah uji serologi yang paling sering dipakai dan
dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada uji HI ini :
a. Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka uji ini baik
dipergunakan pada studi sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosa pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali kelipatan dari titer serum
akut atau konvalesen dianggap sebagi presumtif positif, atau diduga keras positif
infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection) (Wuryadi S, 2000)
2.8.1.2.Complement Fixation test (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagostik secara rutin, oleh karena
selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang
berpengalaman. Berbeda dengan antibody HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3 tahun) (Wuryadi S, 2000)
2.8.1.3.Neutralization test (NF test)
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive untuk virus dengue.
Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut plaque reduction neutralization test
(PRNT) yaitu berdasarkan reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibody neutralisasi
dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari
antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (> 48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit
dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin( Wuryadi S, 2000)
2.8.1.4.Uji ELISA Anti-Dengue IgM
Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody IgM terhadap virus
dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer maupun sekunder. IgM timbul
sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat pada akhir minggu pertama sampai dengan
minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan
mencapai kadar tertinggi pada hari ke-14, kemudian bertahan sampai berbulan-bulan.
Pada infeksi sekunder kadar IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi kadar IgM. Uji
ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus dengue dari infeksi virus Japanese B
ensefalitis.
Penelitian yang dilakukan Wu SJL dkk dengan menggunakan tes dipstick ELISA untuk
mendeteksi IgG dan IgM Anti dengue di dalam serum mennunjukkan sensitivitas 97,9 %
dan spesifitas 100 % (Wu SJL dkk, 1997). Sedangkan dengan pemeriksaan rapid
immunochromatographic untuk mendiagnosa adanya IgM dan IgG Anti Dengue
mendapatkan sensitivitas 100 % dan spesifitas 88 % pemeriksaan ini juga untuk
membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder dengue, Japanese Encephalitis
disebabkan virus dan bukan infeksi flavivirus (Vaughn DW dkk, 1998).Ada juga
15

penelitian yang membandingkan 2 tes komersial antara dipstick ELISA (Integrated


Diagnostics, Baltimore, Md) dan test immunochromatographic (Panbio, Brisbane,
Australia) untuk menilai Ig M Anti Dengue, dengan Dipstik ELISA mendapatkan hasil
sensitivitas 92,6 % dan spesifitas 94,3 %. Sedangkan test ICT Panbio mendapatkan
senstivitas 97,9 % dan spesifitas 97,1 % ( Wu SJL, 2000).
2.8.1.5.Uji Dengue NS1 antigen
Tahun 2002, team dari Institut Pasteur menjelaskan percobaan untuk mendeteksi
Dengue NS1 antigen untuk infeksi DBD primer dan sekunder selama fase akut (Alcon S
dkk, 2002). Penelitian lain mendapatkan sensitivitas pada infeksi DBD primer fase akut
sebesar 97,3 % dibanding infeksi DBD sekunder sebesar 70 % dengan nilai prediksi
positif 100 % dan nilai prediksi negatif 97,3 % (Kumarasamy V dkk, 2007). (Dussart P
dkk, 2006 ) melakukan penelitian dari 239 sampel serum pasien infeksi akut yang
ditesting positip dengan RT-PCR atau isolasi virus terhadap satu dari empat serotipe
dengue mendapatkan sensitivitas 88,7 % (95 % confidence interval, 84,0 % 92,4 %)
212 sampel positip dari 239 sampel dengan spesivitas 100 % (95 % confidence interval,
84,9 % 100 %)
2.8.2. Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe
tertentu. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah,
jaringan tubuh manusia dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus,
PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam
penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi
hasil dari PCR. Selain untuk menentukan adanya RNA virus dengue juga dapat menetukan
serotipe virus dengue yang ditemukan. Hal ini penting untuk dapat membuat pola distribusi
serotipe virus dengue di berbagai wilayah khususnya yang berbeda kondisi geografis dan
klimatologisnya, seperti daerah dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi.Hingga
saat ini telah diketahui ada 4 serotipe virus dengue yaitu : Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4
(Wuryudi S, 2000)
Isolasi virus
Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur sel. Ada
beberapa cara isolasi yang dikembangkan yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 3 hari
b.Inokulasi pada biakan jaringan mammalia dan nyamuk Aedes albopictus
c.Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi virus adalah pengambilan spesimen yang
awal biasanya dalam lima hari setelah demam, penanganan spesimen serta pengiriman
spesimen yang baik ke laboratorium. Bahan untuk isolasi virus dengue dapat berupa serum,
plasma atau lapisan buffy-coat darah-heparinized. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya
peralatan serta memerlukan waktu dua sampai tiga minggu untuk mendapatkan hasil
(Wuryudi S, 2000)
Diagnosa Banding (Suhendro dkk, 2009)

16

Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan Demam Chikungunya,


Malaria, Epstein-Barr Virus (EBV), Leptospirosis, Demam Thypoid, Scarlet fever, Rickettsial
diseases, Heapatitis A, Hantavirus (Suhendro dkk, 2009)
Penatalaksanaan (Suhendro dkk, 2009)
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi sportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1
%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dubutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien
berdasarkan kriteria :
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan
indikasi.
Praktis dalam penatalaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa syok
Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD di
Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin
(Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %


Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5 %.
Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit menurun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7
ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
17

meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesusi
dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue. Bila syok telah teratasi maka pemberian
cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD adalah : perdarahan hidung/epistaksis
yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna
(hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostasis
harus segera dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan APTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapat pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatini.
Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 1530 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120

18

menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 2448 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup maka pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam
waktu 48 jam pertama setelah terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20 % saja yang menetap dalam
pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan
ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi
20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan,
tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn (internal bleeding) maka pada
penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan kristaloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tesebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan caian dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pembeian koloid dapat
ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18
cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan
vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka
dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

19

Anda mungkin juga menyukai