Disusun oleh:
Akhmad Ulil Albab
01.210.6076
Pembimbing:
dr. Endang Widiastuti, Sp.An
Pembimbing,
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Sulastri
Umur : 32 th/9 bl/26 hr
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
No RM : 46-65-71
Tanggal masuk : 6 Juni 2015
Perawatan : Hari ke-2
Pasien bangsal : Bougenville
2. Keluhan Utama
Pasien datang dengan tanpa keluhan. Pasien ingin melahirkan anaknya yang kedua.
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien berusia 32 tahun G2P1A0 hamil 38 minggu dengan riwayat bekas SC
5 tahun yang lalu. Tidak ada keluhan yang dikeluhkan pasien. Kunjungan ke
dokter saat kehamilan rutin dilakukan setiap trimester.
Infus :
RL 20 tpm
Paracetamol 100mg
PEMBAHASAN
1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre
operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan
terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui
adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan
di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan
pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat
yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian
salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi
lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya
dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen
anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan
dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit
sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat
herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi
dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan
tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah
medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik
dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking,
sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu
yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat
dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate,
respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system
musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional
sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang
signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah
yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint
atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya
abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar
hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram,
dan foto polos toraks pada semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah
satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak
mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring.
Klasifikasi status fisik ASA
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan
terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.
Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman
bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan
maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit
cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa
50 % selama jam I operasi
25 % selama jam II operasi
25 % selama jam III operasi
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml. Ondansetron
ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah.
2. Durante Operasi
Pemakaian Obat Anestesi
Pada kasus ini induksi anestesi regional menggunakan bupivakain. Bupivakain
hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida dengan rumus kimianya 2-
piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil) monoklorida. Oleh karena lama kerja
yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi lokal ini dengan teknik
satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih lama dapat dipasang kateter
dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi berkurang oleh karena
selang waktu pemberian obat yang cukup lama. Kerugian dari anestesi lokal ini adalah
toksisitasnya sangat hebat, bahkan mungkin sampai fatal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
obat ini dapat menimbulkan toksisitas pada jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi
jantung. Oleh karena itu pada pemakaian jenis obat ini untuk anestesi regional diperlukan
pengawasan yang sangat ketat.
Farmakologi
Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu menghambat impuls saraf
dengan cara :
a. Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium. Obat
ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium (sodium chanel). Dengan
demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari membran sel saraf sehingga tidak
terjadi potensial aksi dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf.
b. Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler. Obat ini bekerja
dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel
saraf, sehingga menutup pori-pori membran dengan demikian menghambat gerak ion
termasuk Na+ .
Maintenace Anestesi
Pada pasien ini digunakan rumatan inhalasi menggunakan campuran O2 3L/menit.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008. Stoelting’s Anethesia and Co-existing Disease.
5th edition. New York: Elsevier.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Katzung, B. G., Masters, S. B., Trevor, A. J.: Basic & Clinical Pharmacology, 11th Edition:
http://www.acssmedicine.com
Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies, Inc.