Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Endometriosis adalah suatu penyakit yang lazim menyerang wanita diusia

reproduksi.1 Penyakit ini merupakan kelainan ginekologis yang menimbulkan


keluhan nyeri haid, nyeri saat senggama, pembesaran ovarium dan infertilitas.2
Endometriosis terjadi ketika suatu jaringan normal dari lapisan uterus yaitu
endometrium menyerang organ-organ di rongga pelvis dan tumbuh di sana.
Jaringan endometrium yang salah tempat ini menyebabkan iritasi di rongga
pelvis dan menimbulkan gejala nyeri serta infertilitas.1
Jaringan endometriosis memiliki gambaran bercak kecil, datar, gelembung
atau flek-flek yang tumbuh di permukaan organ-organ di rongga pelvis. Flek-flek
ini bisa berwarna bening, putih, coklat, merah, hitam, atau biru. Jaringan
endometriosis dapat tumbuh di permukaan rongga pelvis, peritoneum, dan
organ-organ di rongga pelvis, yang ke semuanya dapat berkembang membentuk
nodul-nodul. Endometriosis bisa tumbuh di permukaan ovarium atau menyerang
bagian dalam ovarium dan membentuk kista berisi darah yang disebut sebagai
kista endometriosis atau kista coklat. Kista ini disebut kista coklat karena terdapat
penumpukan darah berwarna merah coklat hingga gelap. Kista ini bisa berukuran
kecil seukuran kacang dan bias tumbuh lebih besar dari buah anggur.
Endometriosis dapat mengiritasi jaringan di sekitarnya dan dapat menyebabkan
perlekatan (adhesi) akibat jaringan parut yang ditimbulkannya.1
Endometriosis terjadi pada 10-14% wanita usia reproduksi dan mengenai
40-60% wanita dengan dismenorhea dan 20-30% wanita subfertil. Saudara
perempuan dan anak perempuan dari wanita yang menderita endometriosis
berisiko 6-9 kali lebih besar untuk berkembang menjadi endometriosis.3
Endometriosis menyebabkan nyeri panggul kronis berkisar 70%. Risiko untuk
menjadi tumor ovarium adalah 15-20%, angka kejadian infertilitas berkisar 3040%, dan risiko berubah menjadi ganas 0,7-1%. Endometriosis sekalipun sudah
mendapat pengobatan yang optimum memiliki angka kekambuhan sesudah
pengobatan berkisar 30%.2
Penanganan endometriosis baik secara medikamentosa maupun operatif
tidak memberikan hasil yang memuaskan disebabkan patogenesis penyakit

tersebut

belum

terungkap

secara

tuntas.

Keberhasilan

penanganan

endometriosis hanya dapat dievaluasi saat ini dengan mempergunakan


laparoskopi. Laparoskopi merupakan tindakan yang minimal invasif tetapi
memerlukan keterampilan operator, biaya tinggi dan kemungkinan dapat terjadi
komplikasi dari yang ringan sampai berat. Alasan yang dikemukakan tadi
menyebabkan banyak penderita endometriosis yang tidak mau dilakukan
pemeriksaan laparoskopi untuk mengetahui apakah endometriosis sudah
berhasil diobati atau tidak.2
Kista coklat endometriosis ini dapat menimbulkan masalah besar dalam
kesehatan dan terapi yang paling efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali
informasi mengenai etiologi kista coklat itu sendiri. Dalam laporan kasus ini akan
dibahas mengenai pasien dengan endometriosis khusus kista coklat. Tujuan dari
laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai faktor resiko terjadinya
kista coklat, cara penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien dalam laporan kasus ini. Dengan harapan laporan
kasus ini dapat menambah informasi dan wawasan mengenai kista coklat.
1.2

Tujuan

Tujuan pembahasan laporan kasus ini adalah :


1.

Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya


kista coklat pada pasien dalam laporan kasus ini.

2.

Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis kista coklat pada pasien


dalam laporan kasus ini.

3.

Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan kista coklat.

4.

Untuk mengetahui prognosis pada pasien dengan kista coklat

1.3

Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

dan pemahaman dokter muda mengenai kista coklat dalam hal pelaksanaan
anamnesa,

pemeriksaan

fisik

dan

penunjang,

penegakan

diagnosis,

penatalaksanaan, komplikasi serta monitoring pada pasien dengan kista coklat.

BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1

IDENTITAS

2.1.1

Pasien
No. Reg.

11218xxx

Nama

Ny. NL

Umur

36 tahun

Agama

Islam

Pendidikan

Pekerjaan

Ibu rumah tangga

Suku

Jawa

Bangsa

Indonesia

Alamat

Krajan RT 01/02 Gondang Wetan Kabupaten


Pasuruan

2.1.2

Status

Menikah, 1X sejak usia 16 tahun

Kehamilan

P1001 Ab100

Tgl periksa

Pasangan
Nama

Umur

Agama

Pendidikan

Pekerjaan

2.2

SUBYEKTIF

2.2.1

Keluhan Utama

Islam

Pasien kontrol ke RSSA post operasi laparoskopi kistektomi D/S atas


indikasi kista coklat/ kista edometriosis
2.2.2

Perjalanan Penyakit Saat Ini


Tidak ada hipertensi, tidak ada jantung berdebar-debar, dan tidak ada
mual serta muntah.

Hari pertama haid terakhir (HPHT)

14 Januari 2015

Menarche

Siklus

28 hari

Lamanya haid

5 - 7 hari

Banyaknya haid

Sedang, ganti pembalut 2 3


kali/ hari saat haid

2.2.3

Nyeri haid

ada

Fluor Albus

tidak ada

Riwayat Pernikahan
1 kali selama 20 tahun

2.2.4

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


NO.

Usia
Kehamilan

BBL

1.
2.
2.2.5

Cara

Tempat

Lahir

Persalinan

abortus

L/P

Umur

H/M

15 th
-

H
M

Riwayat Kontrasepsi
-

Pasien pernah menggunakan KB suntik tiap 3 bulan selama 20 bulan


dan sudah berhenti selama 13 tahun

2.2.6

Pasien tidak menggunakan kontrasepsi saat ini

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Tidak ada riwayat penurunan berat badan


- Riwayat penyakit seperti hipertensi, DM, penyakit jantung, liver, dan
asma disangkal oleh pasien

2.2.7

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keluarga dengan keganasan disangkal
- Riwayat keluarga pasien memiliki penyakit seperti hipertensi, DM,
penyakit jantung, liver, dan asma disangkal oleh pasien

2.2.8

Riwayat Ginekologi
4

Bulan januari 2015 pasien kontrol ke SpOG untuk merencanakan


program kehamilan dan dilakukan pemeriksaan USG. Ternyata hasil
USG menunjukkan bahwa terdapat kista di sebelah kanan dengan
ukuran 7,7cm x 6,2 cm dengan hasil CA 125 (14 Januari 2015) 279,5.
Kemudian pasien dirujuk ke RSSA.

Pasien datang ke RSSA dari rujukan RSUD Bangil dengan cystoma


ovarii suspect ganas pada 10 januari 2015, kemudian dilakukan
anamnesis kembali, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(darah lengkap, USG gyn, USG Collor Dopler, foto thorax PA) dan
direncanakan untuk laparoskopi kistektomi sambil konsul bagian
anestesi dan kardiologi

20 januari 2015 pasien kontrol untuk persiapan operasi dan


melakukan pemeriksaan USG, laboratorium lengkap, dan foto thorax
PA

22

januari

2015

pasien

kontrol

sambil

menyerahkan

hasil

laboratorium dan thorax PA


-

23 januari 2015 pasien konsul dan diperiksa Sp.JP

14 april 2015 pasien kontrol post kistektomi

4 mei 2015 pasien kontrol post kistektomi

7 Juli 2015 pasien kontrol untuk injeksi indrolin dan ada keluhan tidak
haid

2.2.9

Riwayat Sosial
Hubungan pasien dengan suami dan keluarga baik. Keluarga dan
suami pasien sangat mendukung pasien untuk menggunakan kontrasepsi
metode suntik setiap 3 bulan. Pasien beragama Islam, rajin menjalankan
shalat 5 waktu, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Lingkungan tempat
tinggal dan tempat bekerja pasien juga mendukung penggunaan
kontrasepsi atau tidak terdapat larangan atas penggunaan kontrasepsi.

2.3

OBYEKTIF

2.3.1

Status Generalis
Keadaan umum

Baik

Kesadaran

Compos Mentis

Tinggi badan

Berat badan

Tekanan darah

110/70 mmHg

Nadi

80 x/menit, reguler

RR

20 x/menit, dyspnea (-)

Suhu

36,5o C

Kepala dan leher

Anemis - / -, ikterik - / pembesaran kelenjar getah bening - / -

Thorax
Jantung

S1S2 tunggal, murmur (-)

Paru

v/v

Rhonki - / -

Wheezing - / -

v/v

-/-

-/-

v/v

-/-

-/-

Abdomen

Flat, soefl, bising usus (+), bekas luka operasi


(+), nyeri (-), shifting dullness (-)

Ekstremitas

Status Ginekologi

Simetris, anemis (-), edema (-)

Genitalia eksterna

: v/v flux (-), fluor (-), edema (-), varises (-),


pembengkakan kelenjar bartholini (-)

2.3.2

Inspekulo

: v/v fluor (-), flux (-), POMP tertutup licin

VT

: v/v fluor (-), flux (-), POMP tertutup licin

CUAF (corpus uteri antefleksi) dalam batas normal

AP (adnexa parametrium) D/S : Massa, nyeri (-)

CD : dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
(21 Januari 2015)

Darah lengkap

: 13/ 5570/ 38,5/ 374.000

Faal hemostasis

: 10,8/ 20,2

SGOT/ SGPT

: 17/ 12

Albumin

: 4,06

Gula darah sewaktu

: 88

Ur/Cr

: 13,3/ 0,71

Ca 125

: 267,40

Serum elektrolit

: 133/ 3,60/ 112

(3 Februari 2015 Laboratorium Patologi Klinik RSSA)


Nilai Rujukan
Jenis Pemeriksaan
Hematologi

Hemoglobin (HGB)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
RDW
PDW
MPV
P-LCR
PCT
Hitung Jenis :
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Lain-lain

Hasil

Satuan

Dewasa

13,60
4,70
6,88
39,70
407
84,50
28,90
34,30
11,90
8,8
8,9
15,7
0,36

g/dl
106/L
103/L
%
103/L
fL
Pg
g/dl
%
fL
fL
%
%

Normal
11,4-15,1
4,0-5,0
4,7-11,3
38-42
142-424
80-93
27-31
32-36
11,5-14,5
9-13
7,2-11,1
15,0-25,0
0,150-0,400

2,3
0,4
52,2
387
6,4
-

%
%
%
%
%
-

0-4
0-1
51-67
25-33
2-5
-

Ultrasonografi (USG) Gynecologi


(20 Januari 2015)

Vesika urinaria terisi cukup

Uterus ukuran 7,2 cm x 4,6 cm

AP (S)

: tampak massa kistik ukuran 7,4 cm x 4,8 cm, berdinding tebal,


batas tidak jelas, internal echo meningkat

Tidak tampak papil bersepta

Cairan bebas (-)


Foto Thorax PA

(20 Januari 2015)

Tidak didapatkan proses metastase


Pemeriksaan Dopler
(22 Januari 2015)

Contour uterus normal. Posisi anteversi

Endometrium normal

Tidak tampak mass pada uterus

Tampak small cyst pada adnexa dextra : 53 x 36 mm


dan pada adnexa sinistra : 33 x 37 mm

Flow Velocity pada dinding cyst = Pi = 1,91 RI= 0,79

Tidak tampak tanda-tanda neurovaskularisasi

Kesan

: benign ovarial cyst dext/sin

Pemeriksaan Patologi Anatomi


(23 April 2015 Laboratorium Patologi Anatomi RSSA)

Lokalisasi

: Ovarium (kista kiri)

Jawaban

Diterima potongan jaringan bentuk tak teratur mirip bentukan kista


yang sudah terbuka berukuran 3,5x1,5x0,3cm kecil-kecil putih
keabuan

Pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan:

Potongan2 jaringan fibrocollagen dengan perdarahan dan


terdapat timbunan pigmen coklat

Tidak tampak sel-sel anaplastik

Kesimpulan:

Bagian dari kista coklat

Tidak didapatkan keganasan dalam sediaan ini

Penilaian Skor Keganasan


(10 Februari 2015)
CA 125

:2

2.4

Penurunan berat badan

:0

Papil

:0

Ascites

:0

RI/PI

:0+

Total

:2

ASSESSMENT
Post operasi laparoskopi kistektomi D/S atas indikasi kista coklat/ kista
endometriosis

2.4

PLANNING

PDx.

PTx.

injeksi endrolin 6 siklus

PMo

Vital sign dan keluhan subyektif

PEdu :

KIE (Komunikasi, Infomasi, Edukasi) pasien dan keluarga


tentang:
1.

Kondisi pasien saat ini

2.

Efek samping dan komplikasi dari pengobatan

3. Rencana kontrol kembali

BAB 3
PERMASALAHAN
3.1

Faktor Resiko

Apa saja faktor resiko kista cokelat/ kista edometriosis pada pasien ini?
3.2

Diagnosis
Bagaimana cara menegakkan kista cokelat/ kista edometriosis pada
pasien ini?

3.3

Tatalaksana
Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan kista coklat/ kista
endometriosis pada pasien ini?

3.4

Prognosis
Bagaimana prognosis kista coklat pada pasien ini?

BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA
4.1

Definisi

10

Endometrioma, atau yang dikenal juga dengan kista coklat atau kista
endometrium, adalah lokasi dari endometriosis yang biasanya di ovarium.
Diagnosis biasanya menggunakan ultrasound atau USG (Kurda et al., 2015).
4.2

Epidemiologi
Kejadian endometriosis terus meningkat selama kurang lebih 30 tahun

terakhir ini. Pada semua operasi pelvis, ditemukan angka kejadian 5 15%.
Uniknya, endometriosis lebihsering ditemukan pada wanita yang tidak menikah
pada umur muda dan tidak mempunyai banyak anak (Wiknjosastro, 2007).
Di Amerika Serikat, endometriosis terjadi pada 7 10% populasi,
terutama pada wanita usia produktif. Prevalensi endometriosis pada wanita
infertil adalah sebesar 20 50% dan besarnya 80% pada wanita dengan nyeri
pelvis. Terdapatketerkaitan keluarga, dimana resiko meningkat hingga 10 kali
lipat pada wanita dengan riwayat keluarga derajat pertama yang memiliki
penyakit tersebut (Kapoor, 2009).
4.3

Etiologi
Teori tentang terjadinya endometriosis adalah sebagai berikut:
4.3.1 Teori retrograde menstruasi
Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai

teori implantasi jaringan endometrium yangviable(hidup) dari Sampson. Teori ini


didasari atas 3 asumsi, yaitu terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii,
sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga
peritoneum, dan sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat
menempel ke peritoneumdengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi.
(Wellbery, 2015, Overton 2007)
Teori di atas berdasarkan penemuan penelitian terkini dengan memakai
laparoskopi saat pasien sedang haid, ditemukan darahhaid berbalik dalam cairan
peritoneum pada 75-90% wanita dengan tuba falopii paten. Sel-sel endometrium
dari darah haid berbalik tersebut diambil dari cairan peritoneum dandilakukan
kultur sel ternyata ditemukan hidup dan dapat melekat serta menembus
permukaan mesotelial dari peritoneum. Endometriosis lebih sering timbul pada
wanita dengan sumbatan kelainan mulerian daripada perempuan dengan
malformasi yang tidak menyumbat saluran keluar dari darah haid. Insiden

11

endometriosis meningkat pada wanita dengan permulaan menars, siklus haid


yang pendek atau menoragia (Wellbery, 2015, Overton 2007).
4.3.2 Teori metaplasia soelomik
Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori
ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan
dalam sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam
peritoneum dan pleura). Perubahan metaplasia inidirangsang sebelumnya oleh
beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksilainnya. Teori
ini dapat menerangkan endometriosis yang ditemukan pada laki-laki, sebelum
pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta
yang terdapat ditempat yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks,
saluran kencing dan saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana
faktor lain juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel
endometrium. (Wellbery, 2015, Overton 2007)
4.3.3 Teori transplantasi langsung
Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang
kurang hati-hatiseperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan
episiotomi, dapat mengakibatkantimbulnya jaringan endometriosis pada bekas
parut operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut (Lee,
2009).
4.3.4 Teori genetik dan imun
Semua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua wanita
yang mengalami haid menderita endometriosis, kenapa pada wanita tertentu
penyakitnya berat, wanita lain tidak, dan juga tidak dapat menerangkan beberapa
tampilan dari lesi. Penelitian tentang genetik danfungsi imun wanita dengan
endometriosis dan lingkungannya dapat menjawab pertanyaan di atas (Wellbery,
2015, Overton 2007).
Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga
ibu dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai
suatu dasar genetik. Matriks Metalo Proteinase (MMP) merupakan enzim yang
menghancurkan matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium

12

normal dan pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen.


Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh
progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP dikaitkan dengan
penyakit- penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita
endometriosis, MMP yang disekresi oleh endometri-um luar biasa resisten
(kebal) terhadap penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap di dalam
sel-sel endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasif
terhadap endometrium yang berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari
permukaan peritoneum dan selanjutnya terjadi proliferasi sel (Wellbery, 2015,
Overton 2007).
Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang
menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif.
Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun
yang tidak antigen-spesifik dan tidak mencakup memori imunologik. Makrofag
mempertahankan

tuan

rumah

melalui

pengenalan,

fagositosis,

dan

penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan,


membantu untuk membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag
mensekresi

berbagai

prostaglandin

macam

dan membantu

sitokin,

faktor

fungsi-fungsi

pertumbuhan,

faktor

di atas,

enzim

dan

di samping

merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat
dalam cairan peritoneum normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada
wanita dengan endometriosis. Pada penderita endometriosis, makrofag yang
terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar teraktivasi sehingga
penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhandan sitokin yang
merangsang proliferasi dari endometrium ektopik dan menghambat fungsi
pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam
proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas
terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut (Wellbery, 2015,
Overton 2007).
4.3.5 Faktor endokrin
Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung kepada
estrogen

(estrogen-dependent

disorder).

Penyimpangan

sintesa

dan

metabolisme estrogen telah diimplikasikan daam patogenesa endometriosis.

13

Aromatase,

suatu

enzim

yang

merubah

androgen,

androstenedion

dantestosteron menjadi estron dan estradiol. Aromatase ini ditemukan dalam


banyak sel manusia seperti sel granulosa ovarium, sinsisiotrofoblas di plasenta,
sel lemak dan fibroblas kulit (Wellbery, 2015, Overton 2007). Lihat gambar 4.1.

Gambar 4.1 Biosintesa estrogen wanita usia reproduksi

Kista

endometriosis

dan

susukan

endometriosis

diluar

ovarium

menampilkan kadar aromatase yang tinggi sehingga dihasilkan estrogen yang


tinggi pula. Dengan kata lain, wanita dengan endometriosis mempunyai kelainan
genetik dan membantu perkembangan produksi estrogen endometrium lokal. Di
samping itu, estrogen juga dapat merangsang aktifitas siklooksigenase tipe-2
lokal (COX-2) yang membuat prostaglandin (PG)E2, suatu perangsang poten
terhadap aromatase dalam sel stroma yang berasal dari endometriosis, sehingga
produksi estrogen berlangsung terus secara local (Wellbery, 2015, Overton
2007). Lihat gambar 4.2.

14

Gambar 4.2 Sintesis estrogen pada susukan endometriosis

Estron dan estradiol saling dirubah oleh kerja 17-hidroksisteroid


dehydrogenase (17HSD), yang terdiri dari 2 tipe: tipe-1 merubah estron menjadi
estradiol (bentuk estrogen yang lebih poten) dan tipe-2 merubah estradiol
menjadi estron. Dalam endometrium eutopik normal, progesteron merangsang
aktifitas tipe-2 dalam kelenjar epitelium, enzim tipe-2 inisangat banyak ditemukan
pada kelenjar endometrium fase sekresi. Dalam jaringan endometriotik, tipe-1
ditemukan secara normal, tetapi tipe-2 secara bersamaan tidak ditemukan.
Progesteron tidak merangsang aktiftas tipe-2 dalam susukan endometriotik
karena tampilan reseptor progesteron juga abnormal. Reseptor progesteron
terdiri dari 2 tipe: PR-A dan PR-B, keduanya ini ditemukan pada endometrium
eutopik normal, sedangkan pada jaringan endometriotik hanya PR-A saja yang
ditemukan (Wellbery, 2015, Overton 2007).
4.4

Patofisiologi
Teori histogenesis endometriosis yang paling banyak dipakai adalah

teori Sampson. Menururt teori tersebut, endometriosis terjadi karena darah


menstruasi mengalir kembali melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah
dibuktikan bahwadalam darah haid terdapat sel-sel endometrium yang masih
hidup.

Sel

sel

inikemudian

dapat

mengadakan

implantasi

di

pelvis(Wiknjosastro, 2007).
Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh
Meyer.Pada teori ini dikemukakan

bahwa

endometriosis terjadi karena

rangsangan padasel-sel epitel berasal dari coelom yang dapat mempertahankan


15

hidupnya didaerah pelvis. Rangsangan tersebutmenyebabkan metaplasia dari


sel-sek epitel tersebut sehingga terbentuk jaringan endometrium(Wiknjosastro,
2007).
Endometrium dan peritoneum adalahderivat dari dindingepitel coelom
yang sama. Mesotel peritoneum telahditeliti masih memiliki kemampuan
embriogenik untuk berubah menjadi selreproduksi. Perubahan ini dapat timbul
secara spontan atau karena difasilitasi oleh paparan iritasi kronik oleh cairan
menstrual yang retrograde.Penelitian terbaru mengatakan adanya keterlibatan
sistem imun pada pathogenesis endometriosis. Wanita dengan endometriosis
menampakkan peningkatan respon imun humoral dan kativasi makrofag dan
hilangnya sistem imun yang diperantarai sel dengan berkurangnya sel T
danrespon selnatural killer(Saol, 2010).
Gejala

dismenorea

disebabkan

peningkatan

tekanan

dalam

ronggaendometrial yang bergantung pada kekuatan kontraksi dan tekana


intrauterin.

Menstruasi

melibatkan

cetusan

dari

prostaglandin

yang

menimbulkanvasospasme dan kontraksi uterus untuk meningkatkan tekanan


intrauterine danmengeluarkan isi uterus.Gejala dispareuni dan nyeri pelvis
disebabkan

oleh

implantasi

yang

cukup

dalam

yaitu

>5mm,

dimana

endometriosis tersebut dilapisi oleh material fibrotik kasar yang berisi jaringan
glandular endometriosis yang aktif cukup rapuh terhadap sentuhan (Rosevear,
2002).
4.5

Manifestasi Klinis
Endometriosis dapat menimbulkan gejala-gejala berupa dismenore

parah (severe dysmenorrhea), dispareunia dalam (deep dyspareunia), nyeri


pelvik kronis, gejala perimenstruasi atau siklis (seperti usus atau kandung kemih
dengan atau tanpa pendarahan abnormal atau nyeri), infertilitas, fatigue kronis,
dan dyschezia (nyeri atau defaecation). Salah satu keluhan umum para wanita
yang menderita gejala endometriosis adalah nyeri pelvik. Gejala-gejala yang lain
dapat berupa dismenore, nyeri intermenstruasi, dan dyspareunia (Djuwantono,
2008).
Nyeri pelvis dapat terjadi karena perlengketan yang lama kelamaan
dapat menyebabkan yeri pelvik yang kronis. Rasa nyeri tersebut dapat menyebar
jauh ke dalam panggul, punggung, dan paha, dan bahkan bisa menjalar sampai

16

ke

rektum

dan

menyebabkan

diare.

Duapertiga

perempuan

dengan

endometriosis mengalami rasa nyeri intermenstrual.Para wanita dengan penyakit


endometriosis

yang

lebih

parah

mungkin

hanya

merasakan

sedikit

ketidaknyamanan, sedangkan para wanita dengan penyakit yang lebih ringan


bisa saja justru merasakan nyeri tak tertahankan (Djuwantono, 2008, Sarwono,
2011).
Dismenore adalah nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan
akibat sekresi sitokin dalam rongga peritoneum, akibat perdarahan lokal pada
sarang endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam syaraf
pada rongga panggul. Dismenore yang berkaitan dengan endometriosis
seringkali dimulai sebelum aliran menstruasi muncul dan biasanya bertahan
selama menstruasi berlangsung, bahkan terkadang lebih lama dari itu. Nyeri
biasanya menyebar, berada di daerah pelvis, dan dapat menjalar ke punggung
dan paha(Djuwantono, 2008, Sarwono, 2011).
Dispareunia paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah
tumbuh di sekitar kavum douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi. Dispareunia terkait
endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi, lalu terasa semakin nyeri
tepat di awal menstruasi. Dispareunia lebih umum pada para wanita dengan
penyakit yang melibatkan sekat rektovagina. Selain dispareunia juga bisa muncul
gejala diskezia. Diskezia adalah keluhan sakit buang air besar bila endometriosis
sudah tumbuh dalam dinding rektosigmoid dan terjadi hematokezia saat siklus
haid (Djuwantono, 2008, Sarwono, 2011).
Keluhan berupa subfertilitas juga dapat muncul, subfertilitas ini akibat
perlengketan pad aruang pelvis yang diakibatkan endometriosis sehingga dapat
mengganggu pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan ovum
untuk bertemu dengan sperma. Endometriosis meningkatkan volume cairan
peritoneal, peningkatan konsentrasi makrofag yang teraktivasi, prostaglandin,
interleukin-1,

tumor

nekrosis

faktor

dan

protease.

Cairan

peritoneum

mengandung inhibitor penangkap ovum yang menghambat interaksi normal


fimbrial kumulus. Perubahan ini dapat memberikan efek buruk bagi oosit,
sperma, embrio, dan fungsi tuba. Kadar tinggi nitric oxidase akan memperburuk
motilitas sperma, implantasi, dan fungsi tuba. Antibodi IgA, IgG, dan limfosit
dapat meningkat di endometrium perempuan yang terkena endometriosis.

17

Abnormalitas ini dapat mengubah reseptivitas endometrium dan implantasi


embrio. Autoantibodi terhadap antigen endometrium meningkat dalam serum,
implan endometrium, dan cairan peritoneum dari penderita endometriosis. Pada
penderita endometriosis dapat terjadi gangguan hormonal (hiperprolaktinemia)
dan ovulasi, termasuk sindroma Luteinized Unruptured Follicle (LUF), defek fase
luteal, pertumbuhan folikel abnormal, dan lonjakan LH dini (Djuwantono, 2008,
Sarwono, 2011).
Keparahan
berkorelasi

penyakit

dengan

pada

kedalaman

para

dan

wanita

volume

penderita
infiltrasi.

endometriosis

Sementara

itu,

endometriosis ekstrapelvis dapat berkaitan dengan bermacam-macam gejala


siklik yang merefleksikan organ-organ terkait: parut (goresan bekas luka)
abdominal, saluran gastrointestinal dan urinaria, diafragma, pleura, dan saraf
perifer. Munculnya
menunjukkan

gejala

adanya

tersebut

pada pasien

endometriosis,

gejala-gejala

memang
ini

dapat

belum

pasti

mempunyai

penyebab lain. Endometrioisis juga dapat diperoleh tanpa gejala (asymptomatic).


Jika diagnosis endometriosis didasarkan hanya pada gejala-gejala yang muncul
dapat menjadi sulit, sebab tampilannya sangat bervariasi dan mungkin tumpang
tindih dengan kondisi lain seperti sindrom usus teriritasi (irritable bowel
syndrome) dan penyakit radang pelvis. Sebagai hasilnya, seringkali terdapat
penundaan hingga 12 tahun ketika gejala mulai muncul hingga diagnosis yang
jelas dan pasti ditemukan (Djuwantono, 2008).
4.6

Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk mengetahui data dan faktor resiko yang

memungkinkan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien. Anamnesis secara


lengkap berdasarkan status ginekologi dapat mencakup data sebagai berikut :
1. Identitas
a.

Nama lengkap

b.

Alamat (Jalan, gang, RT/ RW, Desa/ Kelurahan, Kecamatan,


Kabupaten/ Kota, Provinsi)

c.

Nomor telepon/ handphone

d.

Usia/ tanggal lahir

e.

Pendidikan

f.

Pekerjaan

18

g.

Status perkawinan

h.

Jumlah dan lama perkawinan

i.

Umur pertama kali kawin

j.

Identitas suami (jika perlu) : nama lengkap, pekerjaan, usia,


pendidikan

2. Keluhan utama, yaitu keluhan yang menjadikan pasien datang untuk


berobat.
3. Riwayat
a.

Riwayat penyakit sekarang

b.

Riwayat obstetri (jumlah hamil, jumlah melahirkan, total anak


hidup, kondisi ketika anak lahir, riwayat abortus/ kehamilan
ektopik/

mola,

partus

terakhir,

abortus

terakhir,

sedang

menggunakan kontrasepsi atau tidak, jenis kontrasepsi)


c.

Riwayat haid (lama dan banyak haid selama 6 bulan terakhir, usia
menarche, siklus haid, lama haid, jumlah ketika haid, hari pertama
haid terakhir)

d.

Riwayat nyeri perut (sifat nyeri, sejak kapan)

e.

Riwayat keputihan (sejak kapan, bau atau tidak, warna, gatal dan
keterangan tambahan lain)

f.

Riwayat keadaan umum (penurunan atau penambahan berat


badan, miksi, dan defekasi)

4.7

g.

Riwayat operasi/ penyakit

h.

Riwayat kesehatan keluarga

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik genital eksternal biasanya normal. Penyakit pada

wanita penderita endometriosis yang menginfiltrasi dalam biasanya melibatkan


sekat rektovagina dan seringkali terpalpasi. Endometriosis dicurigai bila
ditemukan gejala nyeri didaerah pelvis dan adanya penemuan bermakna saat
pemeriksaan fisik. Melalui pemeriksaan rektovaginal (1 jari di vagina dan 1 jari di
rektum) akan teraba nodul atau jaringan endometrium di belakang uterus dan
disepanjang ligamentum yang ada di dinding pelvis. Nodul/ benjolan bisa saja
tidak teraba, tetapi dengan pemeriksaan ini dapat menyebabkan rasa tidak
nyaman dan nyeri. Uterus seringkali menunjukkan penurunan mobilitas atau

19

fiksasi. Para wanita dengan endometrioma ovarium mungkin mempunyai massa


adneksal tetap. Focal tenderness dan nodularitas ligamen uterosakral mengacu
pada dugaan penyakit dan seringkali menjadi satu-satunya gejala fisik yang
ditemui. Secara umum, uji fisik mempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan nilai
prediktif yang relatif lebih rendah daripada diagnosis endometriosis dengan
standar emas operasi (Djuwantono, 2008).
4.8

Pemeriksaan penunjang
4.8.1

Gambaran Radiografi

4.8.1.1 Foto polos


Kurang bisa membantu dalam diagnosis, hanya sekitar 10%
endometrioma yang mengalami kalsifikasi. Membantu dalam melihat
adanya kemungkinan metastase (Kurda et al., 2015).
4.8.1.2 Ultrasonografi (USG)
Gambaran endometrioma dapat bervariasi dalam pemeriksaan USG.
Seperti pada 50% kasus dapat menunjukkan gambaran kista unilokular
acoustic enhancement dengan diffuse homogeneous ground-glass echoes
yang merupakan akibat dari debris perdarahan. Gambaran endometrioma
yang lain dapat berupa multipel lokus (85% terdapat <5 lokus), fokus
dengan dinding hiperekoik, lesi cystic-solid (15%), lesi purely solid (1%),
dan kista anekoik (jarang, 2%) (Van Holsbeke, 2010, Kurda et al., 2015).
4.8.3

MRI

Karakter gambaran dapat bervariasi berdasarkan usia dan komplikasi


perdarahan. Gambaran MRI endometrioma dapat berupa (Umaria, 2001,
Glastonburry, 2002, Kurda et al., 2015) :
a. T1
- Umumnya lesi tergambarkan hiperintens, tetapi jika perdarahan
akut tergambarkan hipointens.
b. T2
- Umumnya

gambaran

hipointens

deoxyhaemoglobin dan methaemoglobin


- Perdarahan lama tergambar hiperintensi.

20

karena

adanya

4.9 Standar diagnosis


Dalam menentukan diagnosis endometriosis diperlukan anamnesis
mengenai gejala klinis yang dirasakan oleh pasien. Salah satu keluhan umum
para wanita yang menderita gejala endometriosis adalah nyeri pelvik. Gejalagejala lain mencakup dismenore, nyeri intermenstruasi, dan dyspareunia.
Dismenore merupakan gejala yang paling umum dilaporkan, tetapi bukan
patokan untuk mendiagnosis endometriosis. Dismenore yang berkaitan dengan
endometriosis seringkali dimulai sebelum aliran menstruasi muncul dan biasanya
bertahan selama menstruasi berlangsung, bahkan terkadang lebih lama dari itu.
Nyeri biasanya menyebar, berada dalam pelvik, dan dapat menjalar ke
punggung, paha, atau berhubungan dengan tekanan usus, kegelisahan, dan
diare episodik. Dyspareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum
menstruasi, lalu terasa semakin nyeri tepat di awal menstruasi. Nilai prediktif
terhadap gejala-gejala yang muncul memang masih belum pasti, seperti halnya
gejala-gejala ini dapat mempunyai penyebab lain (Yeni dkk, 2009). Diagnosis
endometriosis yang hanya didasarkan pada gejala-gejala yang muncul dapat
menjadi sulit, karena itu dibutuhkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan adanya nyeri tekan pada
pelvic yang lebih mudah dideteksi saat menstruasi. Melalui pemeriksaan
rektovaginal (satu jari didalam vagina dan satu jari didalam rektum) akan teraba
nodul (jaringan endometrium) dibelakang uterus dan disepanjang ligamentum
dinding pelvis tetapi pada beberapa kasus, nodul juga bisa tidak teraba karena
itu dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pencitraan dan laparoskopi yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi yang merupakan gold standard untuk
diagnosis endometriosis, termasuk kista endometriosis (Tono, 2008).
Pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis. Ultrasonografi merupakan lini pertama dalam mendiagnosis suspek
endometriosis. USG dapat mendeteksi kista ovarium dan penyakit pelvik lainnya
seperti fibroid uterin. Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra
ultrasonografis, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kista dengan echo
homogeny internal derajat rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik
kering (crisp echogenic capsule) (Leyland et al, 2010). Ketika keberadaan
karakteristik gejala ditemukan, ultrasound transvagina diketahui mempunyai

21

sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi untuk mendeteksi endometrioma.


Pencitraan dengan aliran Color Doppler umumnya menambahkan sedikit
diferensiasi endometrioma dari kista hemorrhagic, teratoma sistik jinak, dan
neoplasma sistik lainnya yang mungkin berpenampilan sama (Mounsey et al,
2006).
Seperti ultrasonografi transvagina, magnetic resonance imaging (MRI)
mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari
massa ovarium sistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi kecil
peritoneum.

Kelebihan

utama

dari

MRI

terhadap

ultrasonografi

adalah

kemampuannya untuk membedakan hemorrhage akut dan produk-produk darah


terdegenerasi. Ketika endometrioma biasanya menunjukkan intensitas sinyal
tinggi yang relatif homogen pada citra T1-weighted dan sebuah sinyal dengan
hipointensitas pada citra T2-weighted (shading), hemorrhage akut umumnya
mempunyai intensitas sinyal rendah pada citra T1- maupun T2-weighted
(Mounsey et al, 2006).
Gold Standard untuk diagnosis adalah laparoskopi dan pemeriksaan
histologi. Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan keparahan penyakit
dengan memperlihatkan penampakan dan lokasi lesi endometriosis dan
beberapa organ yang terlibat(Leyland et al, 2010). Endometrioma biasanya
tampak sebagai kista halus dan gelap, khususnya berkaitan dengan adhesi dan
mengandung cairan berwarna coklat pekat. Endometrioma yang lebih besar
seringkali multilokular (Tono, 2008)

Gambar 4.3 Kista Endometriosis (Yeni dkk, 2009)

22

4.10 Diagnosis Banding


Diagnosis banding kista endometriosis berdasarkan hasil pencitraan
adalah kista perdarahan ovarium, ovarian dermoid cyst, cystic neoplasm, abses
tubo-ovarian (Kurda et al, 2015).
4.11 Tatalaksana
Endometriosis bisa diterapi dengan medika mentosa dan/ atau
pembedahan. Pengobatan endometriosis juga bertujuan untuk menghilangkan
nyeri dan/ atau memperbaiki fertilitas (Wellbery, 2015, Kapoor, 2009, Stoppler,
2009). Adhesi peritubal and periovarian dapat menginterferensi transportasi
ovum secara mekanik dan berperan dalam menyebabkan subfertilitas.
Endometriosis

peritoneal

telah

terbukti

berperan

dalam

menyebabkan

subfertilitas dengan cara berinterferensi dengan motilitas tuba, follikulogenesis,


dan fungsi korpusluteum. Aromatase dipercaya dapat meningkatkan kadar
prostaglandin E melalui peningkatan ekspresi COX-2. Endometriosis juga dapat
menyebabkan subfertilitas melalui peningkatan jumlah sperma yang terikat ke
epitel ampulla sehingga mempengaruhi interaksi sperm-endosalpingeal.
Pemberian medikamentosa pada endometriosis minimal atau sedang
tidak terbukti meningkatkan angka kehamilan. Endometriosis sedang sampai
berat harus dioperasi. Pilihan lainnya untuk mendapatkan kehamilan ialah
inseminasi intrauterin, superovulasi, dan fertilisasi invitro. Pada suatu penelitian
case-contol , rata-rata kehamilan dengan injeksi sperma intra sitoplasmik tidak
dipengaruih

oleh

kehadiran

endometriosis.

Lebih

jauh,

analisi

lainnya

menunjukkan peningkatan kejadian kehamilan akibat fertilisasi in vitro dengan


preterapi endometriosis tingkat 3 dan 4 dengan agonis gonadotropin-releasing
hormone (GnRH).
4.11.1 Terapi interval
Beberapa peneliti mempercayai bahwa endometriosis dapat ditekan
dengan

pemberian

profilaksis

berupa

kontrasepsi

oral

kombinasi

berkesinambungan, analog GnRH, medroksi progesteron, atau danazol sebagai


upaya untuk meregresi penyakit yang asimtomastik dan mengatasi fertilitas
subsekuen. Ablasi melalui pembedahan untuk endometriosis simptomatik juga
dapat meningkatkan kesuburan dalam 3 tahun setelah follow-up. Tidak ada

23

hubungan antara endometriosis dengan abortus rekuren dan tidak ada penelitian
yang menunjukkan bahwa terapi medikamentosa atau pembedahan dapat
mengurangi angka kejadian abortus.
Terapi

medis

pil

kontrasepsi

oral

kombinasi,

danazol,

agen

progestational, dan analog GnRH. Semua obat ini memiliki efek yang sama
dalam mengurangi nyeri dan durasinya. Pil kontrasepsi oral kombinasi berperan
dalam supresi ovarium dan memperpanjang efek progestin. Semua agen
progesteron berperan dalam desidualisasi dan atrofi endometrium. Medroksi
progesterone asetat berperan dalam mengurangi nyeri. Megestrol asetat juga
memiliki efek yang sama. Levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) berguna
dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis. Analog GnRH berguna untuk
menurunkan gejala nyeri, namun tidak berefek dalam meningkatkan angka
fertilitas. Terapi dengan GnRH menurunkan gejala nyeri pada 85-100% wanita
dengan endometriosis. Danazolber peran untuk menghambat siklus folliclestimulating hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) dan mencegah
steroidogenesis di korpus luteum.
4.11. 2 Terapi Bedah
Terapi bedah bias diklasifikasikan menjadi terapi bedah konservatif (jika
fungsi reproduksi berusaha dipertahankan), semi konservatif (jika kemampuan
reproduksi dikurangi tetapi fungsi ovarium masih ada), dan radikal (jika uterus
dan ovarium diangkat secara keseluruhan). Usia, keinginan untuk memperoleh
anak lagi, perubahan kualitas hidup, adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan
ketika memutuskan suatu jenis tindakan operasi. (Wellbery, 2015, Kapoor, 2009,
Stoppler, 2009)
4.11.2.1 Pembedahan konservatif
Tujuannya adalah merusak jaringan endometriosis dan melepaskan
perlengketan perituba dan periovarian yang menjadi sebab timbulnya gejala nyeri
dan mengganggu transportasi ovum. Pendekatan laparoskopi adalah metode
pilihan untukm engobati endometriosis secara konservatif. Ablasi bisa dilakukan
dengan laser atau elektrodiatermi. Secara keseluruhan, angka rekurensi adalah
19%. Pembedahan ablasi laparoskopi dengan diatermi bipolar atau laser efktif
dalam menghilangkan gejala nyeri pada 87%. Kista endometriosis dapat diterapi

24

dengan drainase atau kistektomi. Kistektomi laparoskopi mengobati keluhan


nyeri lebih baik dari pada tindakan drainase. Terapi medis dengan agonis GnRH
mengurangi ukuran kista tetapi tidak berhubungan dengan hilangnya gejala
nyeri.
Flushing tuba dengan media larut minyak dapat meningkatkan angka
kehamilan pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis.
Untuk dismenorhea yang hebat dapat dilakukan neurektomi presakral. Bundel
saraf yang dilakukan transeksi adalah pada vertebra sakral III, dan bagian
distalnya diligasi. Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) berguna untuk
mengurangi gejala dispareunia dan nyeri punggung bawah. Untuk pasien dengan
endometriosis sedang, pengobatan hormonal adjuvant postoperative efektif
untuk mengurangi nyeri tetapi tidak ada berefek pada fertilitas. Analog GnRH,
danazol, dan memproduksi progesteron berguna untuk hal ini.
4.11.2.2 Pembedahan semikonservatif
Indikasi pembedahan jenis ini adalah wanita yang telah melahirkan anak
dengan lengkap, dan terlalu muda untuk menjalani pembedahan radikal, dan
merasa ter ganggu oleh gejala-gejala endometriosis. Pembedahan yang
dimaksud adalah histerektomi dan sitoreduksi dari jaringan endometriosis pelvis.
Kista endometriosis bias diangkat karena sepersepuluh dari jaringan ovarium
yang berfungsi diperlukan untuk memproduksi hormon. Pasien yang dilakukan
histerektomi dengan tetap mempertahankan ovarium memiliki risiko enam kali
lipat lebih besar untuk mengalami rekurensi dibandingkan dengan wanita yang
dilakukan histerektomi dan ooforektomi. Terapi medis pada wanita yang telah
memiliki cukup anak yang juga memiliki efek dalam mereduksi gejala.
4.11.2.3 Pembedahan radikal
Histerektomi total dengan ooforektomi bilateral dan sitoreduksi dari
endometrium yang terlihat. Adhesio lisis ditujukan untuk memungkinkan mobilitas
dan menormalkan kembali hubungan antara organ-organ di dalam rongga pelvis.
Obstruksi ureter memerlukan tindakan bedah untuk mengeksisi bagian yang
mengalami kerusakan. Pada endometriosis dengan obstruksi usus dilakukan
reseksi anastomosis jika obstruksi berada di rektosigmoid anterior.

25

Suspek endometriosis berdasarkan keluhan nyeri atau infertilitas

Nyeri
Sedang - Berat

Ringan - Sedang

Infertilitas (eksklusi
penyebab lain) :
Faktor lain yang
bersamaan
menyebabkan
infetilitas

Program Kehamilan

Diagnosis dengan
Laparoskopi

Pemilihan
pengobatan
empiris dengan
OCPs atau
progestin

Bedah eksisi
dan abalasi lesi

Diagnosis dengan
Laparoskopi

In Vitro
Fertilization atau
superovulation

Bedah eksisi
dan abalasi lesi
Terapi segera post operasi
dengan danazol
(Danocrine), OCPs, GnRH
agonis, atau progestin

Rekuren

Terapi medis
selama 6-9
bulan

Nyeri yang parah


dan hamil bukan
faktor

Hysterectomy, oophorectomy
Gambar 4.4 Algoritma Penatalaksanaan Endometriosis

4.12 Prognosis
Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan
dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral.

Angka kejadian rekurensi

endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20% dalam waktu 5


tahun. Ablasi komplit dari endometriosis efektif dalam menurunkan gejala nyeri
sebanyak 90% kasus. Beberapa ahli mengatakan eksisi lesi adalah metode yang
baik

untuk

menurunkan

angka

kejadian

rekurensi

dari

gejala-gejala

endometriosis. Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah berhubungan


dengan tingkat berat atau ringannya penyakit. Pasien dengan endometriasis
sedang memiliki peluang untuk hamil sebanyak 60%, sedangkan pada kasuskasus endometriosis yang berat keberhasilannya hanya 35%.

26

BAB 5
PEMBAHASAN
Endometriosis

uteri

adalah

suatu

keadaan

di

mana

jaringan

endometrium yang masih berfungsi terdapat diluar kavum uteri. Jaringan ini
terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma yang peka terhadap hormon terutama
esterogen. Bila jaringan endometrium tumbuh menembus membrana basalis dan
terdapat di dalam miometrium, maka penyakit ini disebut adenomiosis. Ketika
kelenjar dan stroma endometrium ditemukan di rongga pelvik, ovarium, kavum
Douglasi, rektum maupun kandung kemih maka disebut endometriosis eksterna.
Insiden endometriosis pada ovarium menempati urutan pertama kejadian
endometriosis eksterna. Secara khusus penyakit ini disebut endometriosis ovarii
atau endometrioma. Umumnya akan terbentuk kista berdinding tipis rata berisi
cairan berwarna coklat, itu sebabnya endometrioma sering disebut kista coklat
(Prawirohardjo, 2011).
Insiden kista coklat sulit dikuantifikasi karena sering gejalanya
asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sensitifitasnya rendah. Perempuan dengan endometriosis bisa tanpa gejala,
subfertil, atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis terutama waktu
menstruasi (dismenorea). Kejadian endometriosis 10-20% pada usia reproduksi
perempuan. Jarang sekali terjadi pada perempuan pramenarke ataupun
menopause. Faktor resiko terutama yang terjadi pada perempuan yang haidnya
banyak dan lama serta perempuan yang menarkenya pada usia dini (Dhooghe,
1996).
Berdasarkan identitas pasien, diketahui pasien berusia 36 tahun dengan
riwayat menstruasi teratur setiap bulan dengan lama haid 5-7 hari, ganti
pembalut 2-3 kali sehari dengan adanya nyeri saat haid. Pasien belum memasuki
masa menopause karena didapatkan mengalami haid terakhir pada tanggal 14
Januari 2015 (periksa ke RS tanggal 10 Februari 2015). Pasien telah menikah
dan memiliki 1 anak, Pasien meyangkal adanya riwayat tumor atau kanker
kandungan pada keluarga
Berdasarkan identitas dan hasil anamnesa pasien, maka tidak dijumpai
kelainan pada siklus menstruasi. Diperkirakan, terdapat faktor keturunan yang
tidak diketahui. Faktor resiko kista coklat tidak hanya meningkat pada faktor

27

keturunan di saudara paling dekat (first-degree relatives) tapi juga signifikan pada
saudara jauh, keponakan hingga 5-6 generasi sebelumnya. Pada faktor resiko
keturunan ini, kemungkinan terdapat mutasi genetik yang diturunkan misalnya
pada kromosom 10q26, kromosom 20p13, gen EMX2 untuk perkembangan
saluran reproduksi atau PTEN, tumor suppressor gen (Bischoff, 2000).

28

BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Faktor resiko yang menyebabkan kista coklat atau kista endometriosis
pada pasien ini, berdasarkan identitas dan hasil anamnesa pasien, tidak
dijumpai kelainan pada siklus menstruasi. Diperkirakan, terdapat faktor
keturunan yang tidak diketahui seperti kemungkinan mutasi. Penegakan
diagnosis pada pasien ini dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (USG, laboratorium, USG Dopler, dan foto polos).
Tatalaksana yang diberikan adalah operasi laparoskopi dan injeksi endrolin
setelah operasi sambil kontrol untuk memantau perkembangan dan
kemungkinan adanya efek samping atau komplikasi tindakan serta
pengobatan. Untuk prognosis pada pasien ini cukup baik karena segera
dilakukan penanganan, tetapi gangguan infertilitas adalah masalah utama
yang dirasakan pasien yang berencana ingin memiliki anak kembali. Pasien
yang berencana memiliki anak kembali akan mengalami kesulitan akibat
penyakit yang diderita sehingga harus dilakukan pengangkatan ovarium.
6.2 Saran
Penilaian faktor resiko pada pasien perlu digali lebih dalam lagi dan
perlu dilakukan monitoring keberlanjutan terhadap fertilitas pasien untuk
mengetahui komplikasi dari kista endometriosis terhdap kesuburan pasien.

29

DAFTAR PUSTAKA
Dhooghe MT, Hill Aj. Endometriosis in, Berek JS, Adashi EY, Hillard PA (ed),
Novaks Gynecology. 12th Edition. Pensylvania: Williams & Wilkins,
1996: 887-905.
Djuwantono, T. 2008. Diagnosis Endometriosis dalam Praktik. Subbagian
Fertilitas Endokrinologi ReproduksiBagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan FK UNPAD/RSHS. Bandung
Djuwantono, Tono. 2008. Diagnosis Endometriosis dalam Praktik. Seminar
Endometriosis, from basic science to management. Bandung, Indonesia
Glastonburry CM. 2002. The Shading Sign. Radiology. 224 (1) : 199 201.
Radiology (full text) doi:10.1148/radiol.2241010361 Pubmed citation
Kapoor, Dharmesh. Endometriosis. 2009. http://emedicine.medscape.com/article/
271899-print (diakses tanggal 6 September 2015)
Kurda

et
al.
2015.
Endometrioma.
(Online
:
http://radiopaedia.org/articles/endometrioma). Diakses 5 September
2015.

Lee

BM,
The
Endometriosis
cyst. http://ezinearticles.com/?CystEndometriosis---Cyst-in-the-Walls-of-the-Womb&id=1794678 [diakses 6
September 2015]

Leyland N., Casper R., Laberge P., Singh S. 2010. Endometriosis: Diagnosis and
Management. Journal of Obstetric and Gynaecology Canada. Volume
32, Number 7. Page 4-8
Mounsey A., Wilgus A., Slawson D. 2006. Diagnosis and Management of
Endometriosis. American Family Physician. Volume 74, Number 4. Page
594-602
Overton C, Davis C, McMilliantL, Shaw R. An Atlas Of Endometriosis, 3 rd ed.
London: Informa Healthcare, 2007, p.2-3,36
Prawirohardjo. Ilmu Kandungan. Jakarta YBP-SP, 2010, p.314-36

30

Rosevear, Sylvia K. Endometriosis and Chronic Pelvic Pain dalamHandbook of G


ynaecology Management. 2002. Oxford : BlackwellScience Ltd.
Saol, Turandot. Endometriosis. 2010. http://emedicine.medscape.com/article/795
771-print (diakses tanggal 6 September 2015)
Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan : Endometriosis. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Halaman 239 -250.
Umaria N, Olliff JF. 2001. Imaging Features of Pelvic Endometriosis. Br J Radiol.
74 (882): 556 62. Br J Radiol (full text) Pubmed citation
Van Holsbeke C et al. 2010. Endometriomas : their ultrasound characteristics.
Ultrasound Obstet Gynecol. 35 (6) : 730 40. Doi:10.1002/uog.7668
Pubmed citation.
Wellberry
C.
Diagnosis
and
Treatment
of
Endometriosis
2015,
(http://www.aafp.org/afp/991015ap/contentshtml(diakses 6 September
2015)
Wiknjosastro H. Endometriosis. Ilmu Kandungan edisi ke-2. Jakarta:Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007.
Yeni A., Wedyanti A., Putri D., Raihana. 2009. Kista Endometriosis. Bagian
Obstetri dan Ginekologi RSU Arifin Achmad. Riau, Indonesia

31

Anda mungkin juga menyukai