Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis (mikobakterium) adalah bakteri berbentuk

batang aerob yang tidak membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberkulosis
adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4x3 m. Mikobakterium
tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram-positif atau gram-negatif. Basil
tuberkulosis ditandai dengan tahan asam. Sifat tahan asam ini tergantung pada
integritas selubung yang terbuat dari lilin (Jawetz, 2008).
Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat (asam
lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfat. Di dalam sel, lipid banyak terikat
dengan protein dan polisakarida. Muramil dipeptida (dari peptidoglikan) yang
membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan
granuloma fosfolipid penginduksi nekrosis kaseosa. Penghilangan lipid dengan
menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini, yang
tergantung dari integritas dinding sel dan adanya lipid-lipid tertentu (Jawetz,
2008).
Polisakarida dapat menginduksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat
berperan sebagai antigen dalam reaksi dengan serum pasien yang terinfeksi
(Jawetz, 2008).
2.1.1. Sifat Pertumbuhan
Mikobakterium bersifat aerob obligat dan mendapatakan energi dari
oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan CO2 mendukung
pertumbuhan. Waktu replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk
saprofitik cenderung untuk tumbuh lebih cepat, untuk berproliferasi dengan baik
pada suhu 22-23 oC, untuk memproduksi pigmen, dan tidak terlalu bersifat tahan
asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Jawetz, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Reaksi terhadap Bahan Fisik dan Kimia


Mikobakterium cenderung lebih resisten terhadap bahan-bahan kimia
daripada bakteri lainnya karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan
pertumbuhannya yang berkelompok. Bahan celup (misalnya, malakit hijau) atau
zat antibakteri (misalnya, penisilin) yang bersifat bakteriostatik terhadap bakteri
lain dapat dimasukkan ke dalam medium tanpa menghambat pertumbuhan basil
tuberkulosis. Basil tuberkel tahan pengeringan dan dapat hidup untuk waktu yang
lama pada sputum yang dikeringkan (Jawetz, 2008).
2.2.

Patogenesis Kuman TB
Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman dalam percik renik

(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB, namun sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Akhirnya menyebabkan makrofag mengalami lisis dan kuman TB membentuk
koloni. Lokasi petama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer
Ghon (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Kuman TB dapat ditularkan dengan berbagai cara, yaitu: (Keputusan
Menteri Kesehatan, 2009)

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3.000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada


dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Universitas Sumatera Utara

Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap
dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang


dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh


konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.3.

TB Paru Anak
Menurut Kartasasmita (2009), sulitnya konfirmasi diagnosis TB pada anak

mengakibatkan penanganan TB anak terabaikan, sehingga sampai beberapa tahun


TB anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat di banyak negara,
termasuk Indonesia. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir dengan penelitian yang
dilakukan di negara berkembang, penanggulangan TB anak mendapat cukup
perhatian.
2.3.1 Faktor Risiko
2.3.1.1. Risiko Infeksi TB

Anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB


positif)

Daerah endemis

Kemiskinan

Lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik)

Tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan


lain)

Yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif


Sumber infeksi pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, tutama dengan BTA positif. Berarti, bayi
dari seorang ibu dengan sputum BTA positif memiliki risiko tinggi

Universitas Sumatera Utara

terinfeksi TB. Semakin erat bati tersebut dengan ibunya, semakin besar
pula kemungkinan bayi terpajan renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa
penjelasan:

Jumlah kuman TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena


imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit itu mampu menyebabkan
sakit

Lokasi infeksi primer berkembang menjadi sakit TB primer viasanya


terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, swhingga tidak terjadi
produksi sputum

Tidak ada/ sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor


batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk
pada TB anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010).

2.3.1.2. Risiko Sakit TB

Usia. Anak usia mulai 5 tahun kebawah mempunyI risiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya
belum berkembang sempurna (immature). Akan retapi risiko sakit TB ini
akan berkurang seiring bertambahnya usia. Risiko tertinggi terjadinya
progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan singkat (kurang dari 1 tahun) dan
biasanya timbul gejala yang akut.

Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir

Malnutrisi

Keadaan imunokompromais (infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ,


dan pengobatan imunosupresi)

Epidemiologi TB

Universitas Sumatera Utara

Status sosioekonomi yang rendah

Penghasilan yang kurang

Kepadatan hunian

Pengangguran

Pendidikan yang rendah

Kyrangnya dana untuk pelayanan masyarakat

Virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya (Ikatan Dokter Anak


Indonesia, 2010).
Tabel 2.1. Risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB
Risiko sakit

Umur saat
infeksi Primer

TB Diseminata

Tidak sakit

TB Paru

<1

50%

30-40%

10-20%

1-2

75-80%

10-20%

2-5%

2-5

95%

5%

0,5%

5-10

98%

2%

<0,5%

>10

80-90%

10-20%

<0,5%

(tahun)

(milier, meningitis)

(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010)


2.3.2. Penegakan Diagnosa
Diagnosa pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung cairan serebrospinal, cairan pleura,
atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosa pasti
disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan
spesimen, dalam hal ini adalah sputum. Jumlah kuman TB di sekret bronkus
pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB
paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer.
Kuman TB baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit

Universitas Sumatera Utara

5.000 kuman dalam 1 ml sputum (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI,


2008).
Kesulitan kedua, pengambilan spesimen berupa sputum sulit dilakukan.
Pada anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastric tube (NGT) dan
harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi
pasien dan sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis
adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan
volume 3-5 ml (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Tabel 2.2. Bentuk klinis TB pada anak
Infeksi TB
Uji tuberkulin positif tanpa kelainan
klinis, radiologis, dan laboraorium
Penyakit TB
Paru

TB paru primer (pembesaran kelenjar


hilus

dengan

atau

tanpa

kelainan

parenkim)
TB paru progresif (pneumonia, TB
endobronkial)
TB paru kronik (kavitas, fibrosis,
tuberkuloma)
TB milier
Efusi pleura TB
Di luar paru

Kelenjar limfe
Otak dan selaput otak
Tulang dan sendi
Saluran cerna termasuk hati, kantung

Universitas Sumatera Utara

empedu, pankreas.
Saluran kemih termasuk ginjal
Kulit
Mata
Telinga dan mastoid
Jantung
Membran

serous

(peritonium,

perikardium)
Kelenjar endokrin (adrenal)
Saluran napas bagian atas (tonsil,
laring, kelenjar endokrin)
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010)
2.3.2.1. Sistem Penilaian TB Anak
Dibuat suatu kesepakatan oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini untuk
memudahkan penanganan anak secara luas, terutama di daerah perifer atau pada
fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yang telah
tersebar luas dan telah diadopsi oleh Departemen Kesehatan sebagai program
Pemberantasan TB Nasional. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
kekurangan sehingga memerlukan revisi. Revisi yang diajukan menggunakan
sistem penilaian (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis yang dijumpai (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Tabel 2.3. Sistem penilaian (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB
Parameter

Kontak TB

Tidak

Laporan

BTA (+)

jelas

keluarga BTA
(-), tidak tahu

Universitas Sumatera Utara

atau

tidak

jelas
Uji tuberkulin

Negatif

Positif (10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
immunosupresan
)

badan/ -

Berat

Bawah

garis Klinis

gizi -

merah (KMS) buruk

keadaan gizi

atau

BB/U (BB/U<60%)

<8%
Demam tanpa -

2 minggu

sebab jelas
Batuk*

3 minggu

Pembesaran

1 cm jumlah -

>1, tidak nyeri

kelenjar limfe
koli,

aksila,

inguinal
Pembengkakan -

Ada

tulang/

pembengkakan

sendi

panggul, lutut,
falang
Foto

rontgen Normal/

Kesan TB

tidak

toraks

jelas
Sumber: Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008 *
Catatan*:

Diagnosa dengan sistem penilaian ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai scrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosa TB.

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada anak.

Universitas Sumatera Utara

Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
penilaian TB anak.

Anak didiagnosa TB jika jumlah nilai 6 (skor maksimal 13).

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk dievaluasi


lebih lanjut.

2.3.2.2. Uji Tuberkulin Mantoux Test


Menurut WHO, mantoux tuberculin skin test (TST), atau disebut juga uji
tuberkulin Mantoux test merupakan pemeriksaan untuk menentukan apakah
seseorang terinfeksi kuman TB ataukah tidak. Tenaga kesehatan yang terpercaya
dalam membaca hasil uji tuberkulin Mantoux test adalah seseorang yang telah
mengikuti standarisasi dan pelatihan (CDC, 2011).
Tes tuberkulin berguna dalam menentukan diagnosis penderita (terutama
pada anak-anak yang mempunyai kontak dengan penderita TB yang menular),
namun penderita tersebut harus diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Pada
anak,

uji

tuberkulin

merupakan

pemeriksaan

paling

bermanfaat

untuk

menunjukkan sedang/ pernah terinfeksi kuman TB dan sering digunakan dalam


screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi kuman TB dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90% (Sidhi, 2010).
Terdapat dua jenis tuberkulin yang dipakai, yaitu: Old Tuberculin (OT)
dan tuberkulin Purified Protein Derivative (PPD). Ada dua jenis tuberkulin PPD
yang dipakai, yaitu PPD-S 5 TU dan PPD RT-23 2TU. Tuberkulin yang tersedia
di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU buatan Statens Serum Institute
Denmark dan PPD dari Biofarma (Sidhi, 2010).
Alat-alat yang dibutuhkan dalam melakukan uji tuberkulin Mantoux Test
antara lain sebagai berikut: (Sidhi, 2010)

Semprit tuberkulin (spuit 1 CC)

Jarum suntik no. 26 atau 27

Tuberkulin

Universitas Sumatera Utara

Mantoux test dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberculin purified


protein derivative (PPD) secara intrakutan dibagian lengan bawah. Penyuntikan
dilakukan menggunakan tuberculin syringe dengan posisi bevel jarum menghadap
ke atas. Jika lokasi penyuntikan telah benar, maka akan terbentuk indurasi pada
kulit. Dalam pembacaan hasil uji tuberkulin Mantoux test dilakukan dalam
rentang waktu 48-72 jam setelah dilakukan penyuntikan (CDC, 2011).
Indurasi tersebut terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin,
dan meningkatnya sel radang lain di daerah suntikan. Ukuran dan bentuk reaksi
tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktifitas dan beratnya proses penyakit.
Uji ini dilakukan berdasarkan adanya hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi
kuman TB terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifisitas di atas 90%
(Sidhi, 2010).
Tabel 2.4. Klasifikasi reaksi positif uji tuberkulin Mantoux test
Ukuran Indurasi
5 mm

Dengan Pertimbangan

Dengan riwayat kontak erat dengan penderita


TB

Anak dengan gejala klinis atau dengan


gambaran noduler atau fibrotik pada X-foto
torax

Anak dengan imun yang lemah (imunosupresi)


termasuk infeksi HIV, gizi buruk, pernah
melakukan transplantasi organ

Menggunakan prednison >15 mg/ hari selama


satu bulan atau lebih, menggunakan TNF-
antagonist

10 mm

Infeksi TB alamiah (imunisasi BCG atau M.


atipic)

Seorang

imigran

<5

tahun

dari

negara

prevalens tinggi TB

Universitas Sumatera Utara

Seorang anak < 4 tahun yang terpapar orang


dewasa dengan kategori resiko inggi

Anak dengan kondisi resiko tinggi (diabetes,


terapi kortikosteroid jangka panjang, leukimia,
penyakit

ginjal

stadium

akhir,sindroma

malabsorbsi kronik, berat badan rendah,


pengguna obat-obat suntik, dll)
15 mm

Anak >4 tahun tanpa faktor resiko apapun

Seseorang yang tanpa diketahui memiliki


faktor resiko TB

Sumber: Sidhi, 2010; CDC 2011


Tabel 2.5. Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu uji Tuberkulin
Mantoux
Positif palsu

Negatif palsu

Penyuntikan salah

Masa inkubasi

Interpretasi tidak betul

Interpretasi tidak benar

Reaksi silang dengan Mycobacterium

Penyimpanan tidak baik dan

atipik

penyuntikan salah
Menderita TB luas dan berat
Dsertai infeksi virus (campak, rubella,
cacar air, influenza, HIV)
Immunokompetensi selular, termasuk
pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis

Universitas Sumatera Utara

Terkena sinar UV (matahari, solaria)


Defisiensi pernisiosa
Uremia
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010)
2.3.3. Penatalaksanaan
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah: (Kelompok Kerja
TB Anak Depkes-IDAI, 2008)

Obat TB yang diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan


sebagai monoterapi

Pemberian gizi yang adekuat

Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan

2.3.3.1.Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase, yaitu fase
intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman juga
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. OAT pada anak
diberikan setiap hari. Hal ini bertujuan mengurangi ketidakteraturan minum obat
yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Pada fase intensif
diberikan rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan diberikan
rifampisin dan INH (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk kombipak berisi obat fase
intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg,
serta obat fase lanjutan yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket (Kelompok
Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Di tempat dengan sarana yang lebih memadai, untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah
obat yang banyak, dalam program penanggulangan TB anak telah dibuat TB

Universitas Sumatera Utara

dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination=FDC). FDC ini
dibuat dengan komposisi rifampisin, INH, dan pirazinamid, masing-masing 75
mg/ 50 mg/ 150 mg untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4 bulan
berikutnya terdiri dari rifampisin dan INH masing-masing 7 mg dan 50 mg. Dosis
yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.6. Dosis kombinasi pada TB anak
Berat badan

2 bulan

4 bulan

(kg)

RHZ (75/50/150)

RH (75/50)

5-9

1 tablet

1 tablet

10-14

2 tablet

2 tablet

15-19

3 tablet

3 tablet

20-32

4 tablet

4 tablet

Sumber: Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008*


Keterangan:
Bayi dengan berat badan <5 kg, pemberian OAT secara terpisah.
Sebaiknya dirujuk ke RS tipe C atau lebih tinggi
Anak dengan berat badan 15-19 kg dapat diberkan 3 tablet
Anak dengan berat badan 33 kg dosisnya sama dengan dosis dewasa
Tablet obat harus diberikan dalam keadaan utuh (tdak boleh digerus dan
tidak boleh dibelah)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/ dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (disperable).
Setelah pemberian OAT selama 2 bulan, respon pasien dievaluasi. Respon
pengobatan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat
badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan.
Sedangkan bila respon pengobatan kurang atau tidak baik, maka pengobatan tetap
dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap (Kelompok
Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan


melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto
rontgen dada. Apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan
dapat dihentikan (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
2.3.3.2. Profilaksis
Profilaksis merupakan tindakan pencegahan. Terapi profilaksis TB
diberikan pada anak yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan
BTA sputum positif

(+), namun pada evaluasi dengan sistem penilaian

didapatkan nilai 5 (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit
TB (profilaksis sekunder). Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 5-10
mg/ kg BB/ hari selama 6 bulan, bila anak belum pernah mendapat terapi BCG
perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH sampai selesai
(Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
2.4.

Program Pengendalian TB
Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis


(TB) memiliki tujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya Multidrug Resistance
(MDR).
Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas manajemen TB Anak,
Kementerian Kesehatan berencana menyediakan logistik larutan tuberkulin yang
didahului dengan Operational trial penggunaan tuberkulin dalam mendukung
diagnosis TB anak dengan sistem penilaian di 5 provinsi yaitu Sumatera Utara,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Timur.
Operational trial direncanakan dilaksanakan selama 6 bulan (Warta Tuberkulosis
Indonesia volume 21, 2012).
TB pada anak mencerminkan transmisi TB yang terus berlangsung di
populasi. Masalah ini masih memerlukan perhatian yang lebih baik dalam
program pengendalian TB. Secara umum, tantangan utama dalam program

Universitas Sumatera Utara

pengendalian TB anak adalah kecenderungan diagnosis yang berlebihan


(overdiagnosis), disamping juga masih adanya underdiagnosis, penatalaksanaan
kasus yang kurang tepat, dan pelacakan kasus yang belum secara rutin
dilaksanakan serta kurangnya pelaporan pasien TB anak.

Tantangan

tersebut

juga dihadapi oleh rumah sakit atau FPK yang telah menerapkan strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Direktorat

Jenderal

Pengendalian

Penyakit

dan

Penyehatan

Lingkungan, 2011).
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi,
terdiri dari 4 strategi umum dan didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh
strategi ini berkesinambungan dengan strategi nasional sebelumnya, dengan
rumusan strategi yang mempertajam respon terhadap tantangan pada saat ini.
Strategi

nasional

program

pengendalian

TB

nasional

sebagai

berikut:

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan, dan swasta melalui pendekatan Public-Private
Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB
Care.
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program
TB.
7. Mendorong penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan informasi
strategis.
Strategi 1 sampai dengan strategi 4 merupakan strategi umum, dimana
strategi ini harus didukung oleh strategi fungsional yang terdapat pada strategi 5

Universitas Sumatera Utara

sampai dengan strategi 7 untuk memperkuat fungsi-fungsi manajerial dalam


program pengendalian TB. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).
Intervensi untuk meningkatkan pengendalian TB anak dimulai dengan
meningkatkan

kapasitas

diagnosis

yang

berkualitas

dan

melaksanakan

penatalaksanaan kasus sesuai standar nasional berdasarkan

International

Standard for TB Care (ISTC). Demikian pula diseminasi dari sistem penilaian
yang terstandardisasi pada TB anak, pelatihan berjenjang untuk tenaga kesehatan
serta monitoring dan validasi sistem scoring TB anak. Peningkatan kapasitas
diagnosis membutuhkan ketersediaan suplai untuk tes tuberkulin (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai