TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis (mikobakterium) adalah bakteri berbentuk
batang aerob yang tidak membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberkulosis
adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4x3 m. Mikobakterium
tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram-positif atau gram-negatif. Basil
tuberkulosis ditandai dengan tahan asam. Sifat tahan asam ini tergantung pada
integritas selubung yang terbuat dari lilin (Jawetz, 2008).
Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat (asam
lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfat. Di dalam sel, lipid banyak terikat
dengan protein dan polisakarida. Muramil dipeptida (dari peptidoglikan) yang
membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan
granuloma fosfolipid penginduksi nekrosis kaseosa. Penghilangan lipid dengan
menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini, yang
tergantung dari integritas dinding sel dan adanya lipid-lipid tertentu (Jawetz,
2008).
Polisakarida dapat menginduksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat
berperan sebagai antigen dalam reaksi dengan serum pasien yang terinfeksi
(Jawetz, 2008).
2.1.1. Sifat Pertumbuhan
Mikobakterium bersifat aerob obligat dan mendapatakan energi dari
oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan CO2 mendukung
pertumbuhan. Waktu replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk
saprofitik cenderung untuk tumbuh lebih cepat, untuk berproliferasi dengan baik
pada suhu 22-23 oC, untuk memproduksi pigmen, dan tidak terlalu bersifat tahan
asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Jawetz, 2008).
Patogenesis Kuman TB
Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman dalam percik renik
(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB, namun sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Akhirnya menyebabkan makrofag mengalami lisis dan kuman TB membentuk
koloni. Lokasi petama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer
Ghon (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Kuman TB dapat ditularkan dengan berbagai cara, yaitu: (Keputusan
Menteri Kesehatan, 2009)
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3.000 percikan dahak.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap
dan lembab.
2.3.
TB Paru Anak
Menurut Kartasasmita (2009), sulitnya konfirmasi diagnosis TB pada anak
Daerah endemis
Kemiskinan
terinfeksi TB. Semakin erat bati tersebut dengan ibunya, semakin besar
pula kemungkinan bayi terpajan renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa
penjelasan:
Usia. Anak usia mulai 5 tahun kebawah mempunyI risiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya
belum berkembang sempurna (immature). Akan retapi risiko sakit TB ini
akan berkurang seiring bertambahnya usia. Risiko tertinggi terjadinya
progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan singkat (kurang dari 1 tahun) dan
biasanya timbul gejala yang akut.
Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir
Malnutrisi
Epidemiologi TB
Kepadatan hunian
Pengangguran
Umur saat
infeksi Primer
TB Diseminata
Tidak sakit
TB Paru
<1
50%
30-40%
10-20%
1-2
75-80%
10-20%
2-5%
2-5
95%
5%
0,5%
5-10
98%
2%
<0,5%
>10
80-90%
10-20%
<0,5%
(tahun)
(milier, meningitis)
dengan
atau
tanpa
kelainan
parenkim)
TB paru progresif (pneumonia, TB
endobronkial)
TB paru kronik (kavitas, fibrosis,
tuberkuloma)
TB milier
Efusi pleura TB
Di luar paru
Kelenjar limfe
Otak dan selaput otak
Tulang dan sendi
Saluran cerna termasuk hati, kantung
empedu, pankreas.
Saluran kemih termasuk ginjal
Kulit
Mata
Telinga dan mastoid
Jantung
Membran
serous
(peritonium,
perikardium)
Kelenjar endokrin (adrenal)
Saluran napas bagian atas (tonsil,
laring, kelenjar endokrin)
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010)
2.3.2.1. Sistem Penilaian TB Anak
Dibuat suatu kesepakatan oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini untuk
memudahkan penanganan anak secara luas, terutama di daerah perifer atau pada
fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yang telah
tersebar luas dan telah diadopsi oleh Departemen Kesehatan sebagai program
Pemberantasan TB Nasional. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
kekurangan sehingga memerlukan revisi. Revisi yang diajukan menggunakan
sistem penilaian (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis yang dijumpai (Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
Tabel 2.3. Sistem penilaian (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB
Parameter
Kontak TB
Tidak
Laporan
BTA (+)
jelas
keluarga BTA
(-), tidak tahu
atau
tidak
jelas
Uji tuberkulin
Negatif
Positif (10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
immunosupresan
)
badan/ -
Berat
Bawah
garis Klinis
gizi -
keadaan gizi
atau
BB/U (BB/U<60%)
<8%
Demam tanpa -
2 minggu
sebab jelas
Batuk*
3 minggu
Pembesaran
1 cm jumlah -
kelenjar limfe
koli,
aksila,
inguinal
Pembengkakan -
Ada
tulang/
pembengkakan
sendi
panggul, lutut,
falang
Foto
rontgen Normal/
Kesan TB
tidak
toraks
jelas
Sumber: Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008 *
Catatan*:
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
penilaian TB anak.
uji
tuberkulin
merupakan
pemeriksaan
paling
bermanfaat
untuk
Tuberkulin
Dengan Pertimbangan
10 mm
Seorang
imigran
<5
tahun
dari
negara
prevalens tinggi TB
ginjal
stadium
akhir,sindroma
Negatif palsu
Penyuntikan salah
Masa inkubasi
atipik
penyuntikan salah
Menderita TB luas dan berat
Dsertai infeksi virus (campak, rubella,
cacar air, influenza, HIV)
Immunokompetensi selular, termasuk
pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination=FDC). FDC ini
dibuat dengan komposisi rifampisin, INH, dan pirazinamid, masing-masing 75
mg/ 50 mg/ 150 mg untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4 bulan
berikutnya terdiri dari rifampisin dan INH masing-masing 7 mg dan 50 mg. Dosis
yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.6. Dosis kombinasi pada TB anak
Berat badan
2 bulan
4 bulan
(kg)
RHZ (75/50/150)
RH (75/50)
5-9
1 tablet
1 tablet
10-14
2 tablet
2 tablet
15-19
3 tablet
3 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
didapatkan nilai 5 (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit
TB (profilaksis sekunder). Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 5-10
mg/ kg BB/ hari selama 6 bulan, bila anak belum pernah mendapat terapi BCG
perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH sampai selesai
(Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI, 2008).
2.4.
Program Pengendalian TB
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Tantangan
tersebut
juga dihadapi oleh rumah sakit atau FPK yang telah menerapkan strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan, 2011).
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi,
terdiri dari 4 strategi umum dan didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh
strategi ini berkesinambungan dengan strategi nasional sebelumnya, dengan
rumusan strategi yang mempertajam respon terhadap tantangan pada saat ini.
Strategi
nasional
program
pengendalian
TB
nasional
sebagai
berikut:
kapasitas
diagnosis
yang
berkualitas
dan
melaksanakan
International
Standard for TB Care (ISTC). Demikian pula diseminasi dari sistem penilaian
yang terstandardisasi pada TB anak, pelatihan berjenjang untuk tenaga kesehatan
serta monitoring dan validasi sistem scoring TB anak. Peningkatan kapasitas
diagnosis membutuhkan ketersediaan suplai untuk tes tuberkulin (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2011).