Anda di halaman 1dari 9

URTIKARIA

I. PENDAHULUAN
Urtikaria ialah reaksi vaskular akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat
dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Angioedema
ialah urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di
submukosa atau subkutis, juga dapat mengenai saluran napas, saluran cerna dan organ
kardiovaskular.(1)
Urtikaria dapat timbul dengan singkat selama 30 menit dan bahkan dapat timbul
selama 36 jam. Dapat berukuran milimeter sampai beruuran besar, 6-8 inci. Dilatasi
pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas merupakan karakteristik urtikaria pada kulit
yang superfisial. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme yang sama pada urtikaria,
tetapi proses patologisnya pada kulit yang lebih dalam, pada jaringan subkutaneus, dan
bengkak yang merupakan manifestasi utama dari penyakit ini. (2)
II. EPIDEMIOLOGI
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih
banyak mengalamai urtikaria dibanding dengan usia muda. Sheldon (1951), menyatakan
bahwa rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10
tahun atau lebih dari 60 tahun. Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria
bersamaan dengan angioedema, dan 11% angioedema saja. Sekitar 50% pasien dengan
urtikaria kronik ( dengan atau tanpa urtikaria) bebas dari lesi dalam waktu 1 tahun, 65%
dalam waktu 3 tahun dan 85% dalam waktu 5 tahun. Penderita atopi lebih mudah mengalami
urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin,
baik laki-laki maupun wanita. Umur, ras, pekerjaan, geografis, dan perubahan musim dapat
mempengaruhi hipersensitivitas yag diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang
lebih sering menimbulkan urtikaria.(1,2)
III.ETIOLOGI
Pada penelitian hampir 80% tidak diketahui penyebabnya tidak diketahui. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya : obat, makanan, gigitan seranggga,
bahkan fotosensitezer, inhalan, trauma fisik, dan infeksi parasit, psikis, genetik, dan penyakit
sistemik.(1,2)
1

1. Obat
Hampir semua obat sistemik dapat menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau
tipe II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, anagesik, pencahar,
hormon, dan diuretik. Ada pula obat yang secara nonimunologik langsung meransang sel mas
untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium dan zat kontras. Aspirin menimbulkan
urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.(1)
2. Makanan
Makanan protein atau bahan lain yang dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna,
penyedap rasa, atau bahan pengawet. (1)
3. Gigitan/sengatan serangga
Lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Nyamuk, kepinding
dan serangga lainnya dapat menyebabkan urtikaria. (1)
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik dan sabun germisid
sering menimbulkan urtikaria. (1)
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga, spora jamur, debu, bulu binatang, dan aerosol
umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe 1). (1)
6. Trauma fisik
Dapat disebabkan oleh faktor dingin, yakni berenang dan memegang benda dingin; faktor
panas misalnya sinar matahari, sinar U.V, radiasi, dan panas pembakaran; faktor tekanan
yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang. Dapat timbul urtika akibat goresan dengan benda
tumpul beberapa ment sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme
atau fenomena Darier. (1)
7. Infeksi
Infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Misalnya infeksi bakteri, tonsil,
gigi, dan sinusitis. (1)
8. Psikis
Dapat memacu sel mast dan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi vaskular. (1)
9. Genetik
Genetik berperan, meskipun jarang menunjukkan autosomal dominan.(1)
IV. PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.
Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Histamin merupakan

merupakan mediator yang sangta penting dalam urtikaria, ketika histamin masuk di kulit,
maka tubuh memproduksi 3 respons Lewis, eritema lokal (vasodilatasi), eritema yang
berlebihan pada batas dari eritema lokal, dan edema. Pada nonimunologik, siklik AMP
(adenosine mono phospate) memegang peranan penting dalam pelepasan mediator. Beberapa
bahan kimia golongan amin dan derivat amidin, seperti morfin, kodein, polimiksin, dan
beberapa anibiotik berperan dalam keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin. Faktor
fisik, misalnya dingin, trauma tumpul, sinar X. Beberapa keadaan misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol. Pada imunologik, lebih berperan pada urtikaria akut dibanding kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil, karena adanya reseptor Fc,
bila ada antigen yang berikatan dengan IgE, maka terjadi granulasi sel, sehingga mampu
melepaskan mediator. Keadaan ini tampak jelas pada reaksi tipe I (anafilaksis) misalnya
alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik
maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu
merangsang sel mas dan basofil, mislanya akibat toksin bakteri. (2,3)

Gambar 1. Diagram sistematik aktivasi sel mas kutaneus oleh antibodi antireseptor Imunoglobulin G
(IgG) , diikuti oleh aktivasi komplemen, pelepasan C5a, dan augmentasi pelepasan sel mast.

(dikutip dari kepustakaan 2)


V. DIAGNOSIS
V.1 Manifestasi Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih
pucat, terdapat juga elevasi pada kulit yang terkena lesi. Bentuknya dapat papular seperti
urtikaria akibat sengatan serangga. Besarnya dapat lentikular, numular sampai plakat. Bila
mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan,
3

juga berberapa alat dalam seperti saluran napas dan cerna yang disebut angioedema. Pada
keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak napas, serak dan
rinitis. (1,4,5)
Ukuran lesi bervariasi dari 2 mm smapai 4 mm berupa papul edematosa pada
urtikaria kolinergik, sampai bintik yang besar seperti sarang lebah yang merupakan lesi
tunggal yang dapat menutupi ekstremitas. Bentuknya dapat berbentuk bundar atau oval;
ketika konfluen, dapat menjadi polisiklik. Lesi pada urtikaria sendiri timbul tiba-tiba, jarang
menetap lebih dari 24 sampai 48 jam dan dan dapat terus berulang sampai waktu yang tak
dapat ditentukan. Pada keadaan ini, rasa gatal terasa hebat.(2,3)
Gambar 2. Urtikaria dan angioedema. Pasien ini
mengalami urtikaria pada muka, leher, dan badan
bagian atas dengan angioedema pada mata.

Gambar 3. Reaksi topikal dermografik yang muncul


pada garukan di kulit.

(dikutip dari kepustakaan 2)


V.2 Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, ditemukan protein dasar mayor pada granula
eosinofil yang secara abnrmal meninggi pada lebih dari 40% penderita urtikaria kronik,
meskipun hitung jenis eosinofil periferal normal. Pada pemeriksaan fungsi tiroid, sering
ditemukan autoantibodi tiroid pada wanita dengan urtikaria kronik idiopatik, tetapi klinis
yang berhubungan dengan peningkatan fungsi tiroid jarang ditemukan dan pada umumnya
penanganan dari kelainin ini tidak menyembuhkan urtikaria tersebut. (4)
Pada pemeriksaan histopatologis, ditemukan kelainan edema dermal ringan dan
marginasi dari neutrofil dalam kapiler dan venula. Kemudian, neutrofil berpindah dari
pembuluh darah menuju ke ruang intersisium, eosinofil dan limfosit juga terlihat di dalam
infiltrat. Karioreksis (fragmen hasil destruksi sel) dan deposit fibrin dalam pembuluh darah
tidak terlihat, sehingga dapt membantu membedakan antara urtikaria dan vaskulitis. Pada
biopsi memperlihatkan perivaskular yang kaya akan infiltrat neutrofil. Pada Urtikaria kronik,
dapat digunakan tes in vivo dan in vitro untuk melihat pelepasan histamin fungsional dari
basofil dan sel mast. Tes kulit autolog merupakan tes in vivo yang memperlihatkan
autoreaktifitas pada pasien urtikaria kronik, pemeriksaan in vitro sendiri memperihatkan
autoantibodi seperti uji pelepasan histamin basofil dan immunoassay

(4,)

VI. DIAGNOSIS BANDING


Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisis yang cermat serta ditunjang
dengan pemeriksaan tambahan, maka ditegakkan diagnosis urtikaria dan penyebabnya.
Walaupun demikian, hendaknya dipikirkan beberapa penyakit yang mirip dan sering disertai
dengan urtikaria.(1,3)
1. Urtikaria Vaskulitis
Merupakan episode berulang dari angioedema dan urtikaria kronik. Bentuk
edematosa yang dari venulitis neksrositik, yang terjadi pada pasien dengan dengan
kelainan serum, gangguan jaringan ikat, infeksi dan urtikaria fisik. Lesi kulitnya berupa
eritematosa, kadang disertai indurasi, dan dpat berupa purpura, nodul dan bulla.
Gejalanya dapat berupa gatal hebat dan rasa terbakar.(2,3)

Gambar 4. Urtikaria vaskulitis : karakter perisiten dari lesi yang ditemukan pada 24 jam sebelumnya

(dikutip dari kepustakaan 2)


2. Fixed Drug Eruption
Penyakit ini biasa menampakkan eritemoatosa, soliter, makula yang berwarna merah
terang dan dapat barupa plak edematosa. Kebanyakan pasien mengeluh serasa terbakar
dan tersengat. Sering juga disertai dengan demam, malaise dan rasa tidak nyaman
diperut. Disebabkan oleh lebih dari 100 jenis obat, termasuk ibuprofen, naproksen dan
tetrasiklin(2,3)

Gambar 4. Fixed Drug Eruption: tetrasiklin. Plak yang terlihat jelas pada lutut. Bersatu dengan lesi satelit

(dikutip dari kepustakaan 2)


3. Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit yang menahun dan residif, ruam
bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik, serta
disertai rasa gatal yang hebat. Tempat predileksinya ialah punggung, daerah sakrum,
bokong, daerah ekstensor, di lengan atas, sekitar siku, dan lutut.(1,2)

Gambar 5. Dermatitis herpetiformis: Kelompok berupa papul, vesikel dan krusta di punggung

(dikutip dari kepustakaan 2)

VII.

PENATALAKSANAAN
Strategi pengelolaan urtikaria akut mencakup langkah-langkah pencegahan,

antihistamin dan kortikosteroid. Untuk urtikaria, antihistamin adalah terapi utama.


Kortikosteroid dan berbagai imunomodulator/terapi imunosupresif juga dapat digunakan
untuk kasus yang lebih parah atau untuk pasien-pasien yang mengalami respon yang buruk
terhadap antihistamin. Antihistamin H1 merupakan obat yang diremondasikan sebagai terpai
6

lini pertama pada urtikaria kronik, antagonis reseptor leukotrin diindikasikan sebagai terapi
lini kedua, sedangkan obat-obatan imunosupresif seperti kortikosteroid, azatioprin, atau
siklosporin A digunakan untuk penyakit yang lebih berat

(5)

1. Pengobatan Sistemik
Antihistamin
-

Antihistamin H1-reseptor, misalnya, feksofenadin, desloratadin, loratadin,


setirizin, merupakan terapi utama untuk urtikaria. Agen ini telah terbukti secara
signifikan lebih efektif dibandingkan plasebo untuk pengobatan urtikaria akut dan

kronis. (5)
Antihistamin H2-reseptor, seperti simetidin, ranitidin dan nizatidin, juga dapat
membantu pada beberapa pasien dengan urtikaria. Namun, agen ini tidak boleh
digunakan sebagai monoterapi karena mereka memiliki efek terbatas pada
pruritus. (5)

Antihistamin efektif jika diminum setiap hari sesuai dengan kebutuhan. Jika gejala
dapat dikendalikan dengan dosis antihistamin standar, maka pengobata tersebut dapat
dilanjutkan selama beberapa bulan. Kadang-kadang menghentikan terapi untuk waktu yang
singkat digunakan untuk mengetahui apakah urtikaria secara spontan telah diselesaikan. Pada
pasien yang tidak mencapai kontrol gejala yang memadai pada dosis standar, maka biasanya
dosis yang digunakan diatas standar terapi. Bahkan, berdasarkan konsensus dan pedoman
Eropa saat ini menyarankan penderita antihistamin hingga empat kali dari dosis yang
dianjurkan pada pasien yang gejalanya menetap meskipun telah diberi terapi standar. Sebagai
contoh, dosis hingga 40 mg cetirizine, 20 mg desloratadine, dan 480 mg fexofenadine dapat
digunakan pada orang dewasa. Pendekatan ini cukup efektif, tapi masih membutuhkan
konfirmasi lebih lanjut. Jika target dari terapi tersebut tidak tercapai, maka dapat diberikan
kortikosteroid jangka pendek. (5)
Kortikosteroid
Untuk beberapa pasien dengan urtikaria berat yang tidak cukup responsif terhadap
antihistamin, kortikosteroid oral (misalnya, prednison, hingga 40 mg / hari selama 7 hari) dapat
diberikan. Namun, terapi jangka panjang kortikosteroid harus dihindari mengingat efek
samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid dan kemungkinan peningkatan toleransi
7

untuk agen ini. Hipersensitivitas kortikosteroid dapat terjadi pada kortikosteroid itu sendiri.
Hidrokortison Succinate esters merupakan bahan yang paling bertanggung jawab terhadap
reaksi tipe 1 alergi yang selanjutnya dapat merubah molekul steroid menjadi antigen yang
komplit. (5)

2. Pengobatan Topikal
Dapat diberikan secara simtomatik, misalnya antipruritus didalam bedak atau
bedak kocok.(1)

VIII. PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik, karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.(1)

IX.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah S, Urtikaria, dalam Djanda A, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi V.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007, p: 169-175
2. Kaplan P. A, Urticaria and Angioedema. Fritzpatrick Dermatology in General
Medicine, 7th edition. New York : Mcgraw-Hill Medicine, 2008, p : 330-343
3. Habif PT. Urticaria and Angiodema. Clinical Dermatology : A Color Guide to
Diagnosis and Therapy, 4th Edition. Philadelphia : Elsevier Mosby, 2004.
4. Burns DA, Acne, Erhytema and Urticaria. Andrews Disease of The Skin :
Clinical Dermatology. 9th edition. 2000.
5. Kanani, et.al. Urticaria and angioedema. Allergy, Asthma and Clinical
Immunology. 2011, 7 (Suppl 1): S9.

Anda mungkin juga menyukai