Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk
akan kebutuhan sumber daya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin
meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang
menyertainya. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin
beragamnya fungsi dikawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa
serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam hal ketersediaan fasilits dan
kemudahan aksesibilitas sehingga mampu menarik berbagai kegiatan
Kebutuhan lahan untuk tempat tinggal yang semakin menipis dan tingkat
pertumbuhan penduduk yang meningkat, dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya,
Indonesia memiliki kota-kota besar dengan tren urbanisasi yang lebih dinamis,
bertambahnya macam kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan proporsi penduduk yang
cepat, seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya (Jones, 2002). Sebagai
dampaknya, perkembangan kota-kota tersebut diiringi dengan kebutuhan lahan dan ruang.
Namun, terbatasnya lahan dan ruang yang dapat dibangun di kawasan perkotaan
mengakibatkan perkembangan kota-kota diiringi upaya alih fungsi lahan, terutama
perubahan kawasan yang memiliki fungsi lindung menjadi kawasan terbangun (Firman,
2009; Partoyo and Shrestha, 2013).

Di beberapa kota di Indonesia, upaya alih fungsi lahan dilakukan juga dengan menimbun
lahan basah, seperti rawa dan gambut, dengan tanah kering untuk memperluas area
terbangun, seperti perumahan, komersial, infrastruktur, dan/atau lahan pertanian. Upaya
penimbunan atau reklamasi lahan basah lazim ditemukan pada kota-kota di Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan, seperti Pekanbaru, Jambi, Palembang, Pontianak dan
Banjarmasin (Dahliani, 2012; Khaliesh et al., 2012; Murod and Hanum, 2012; Pulungan,
2009; Sa'ad et al., 2010). Padahal, beberapa penelitian membuktikan keberadaan lahan
basah dapat menjadi fungsi retensi dan filterisasi air, pengatur iklim lokal, habitat
keanekaragaman hayati kota dan pencegah terjadinya banjir (Jia et al., 2011; Kim et al.,
2010; Lantz et al., 2013). Sebagai pengendali banjir, vegetasi di dalam ekosistem lahan
basah dapat menangkap dan melepas air permukaan dan air hujan. Vegetasi ini juga dapat
mengurangi kecepatan air banjir di daerah banjir. Berkurangnya lahan basah di dataran
banjir kota Lagos (Nigeria) karena perubahan fungsi lahan menjadi permukiman kumuh
dari tahun 1986 2006 mengakibatkan munculnya bencana banjir di daerah ini, seperti di
tahun 2002 dan 2006 (Adelekan, 2010).

B. Tujuan Penulisan Makalah


Penulisan makalah ini untuk mengetahui dampak negatif terhadap
lingkungan dan dampak positif terhadap pemenuhan kebutuhan lahan untuk
pembangunan rumah penduduk, dengan mempertimbangkan besaran dampak

untuk tetap memperhatikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan


lingkungan, diantaranya :
1. Pemanfaatan lahan rawa menjadi lebih berguna untuk masyarakat luas
dengan berkembangnya perekonomian masyarakat.
2. Membentuk masyarakat yang peduli akan lingkungan
3. Mendapatkan tatanan pembangunan yang dapat diterapkan di areal rawa
yang telah mengalami reklamasi menjadi lahan terbangun
4. Mencagah hilangnya ekosistem rawa dari

kepunahan

dengan membangun ruang terbuka hijau dan areal resapan


air
5. Mengendalikan terjadinya penurunan permukaan tanah
(subsidensi

rawa)

yang

dipantau

melalui

tinggi

air

permukaan rawa.
6. Mengurangi tejadinya penurunan kualitas air permukaan
7. Perubahan hamparan rawa menjadi perkotaan
8. Memaparkan kemungkinan dampak-dampak yang timbul akibat aktifitas
pemanfaatan terhadap areal rawa untuk perkotaan.
9. Mewujudkan dan memaparkan rekomendasi apa yang dapat dilakukan
untuk pengelolaan lahan rawa secara berkelanjutan dengan konsep tetap
memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan dari lahan rawa itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahan Rawa
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu
yangpanjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang
(waterlogged) air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan
berbagai istilah,seperti swamp, marsh, bog dan fen, masing-masing
mempunyai arti yang berbeda.
Swamp

adalah

istilah

umum

untuk

rawa,

digunakan

untuk

menyatakanwilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air,
permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang
waktu dalam setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir
(stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp
ditumbuhi oleh berbaga vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan,
dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.
Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen,
namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut
secaraperiodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai

seringkaldiendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal.


Marshbiasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa
reeds(tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti
Phragmites
sp.), sedges (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti
familiCyperaceae), dan rushes (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau
mendong, dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar,
topi, ataukeranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau
saltwater marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh)
(SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978).
Bog adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan
tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum
sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi)
masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog, dan "raised bog. Blanket bog
adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit
gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada
permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam
yang tebal, disebut hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan
membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.
Fed adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa
sejenis reeds, sedges, dan rushes, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis,
biasanya mengandung kapur (CaCO), atau netral. Umumnya membentuk lapisan
gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut laagveen atau lowmoor.
Lahan rawa merupakan lahan basah, atau wetland, yang menurut definisi
Ramsar Convention mencakup wilayah marsh, fen, lahan gambut
(peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak
bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk
juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak
melebihi enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997).
Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di
antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara
daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands)

dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan
daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam
setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air
tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan
rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan
rushes), vegetasi semak maupun kayukayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau
mempunyai permukaan air tanah dangkal,atau bahkan tergenang dangkal.

Perkotaan adalah
Kota

pada

dasarnya

merupakan

desa

yang

berkembang

dan

dalam

perkembangannya terjadi perubahan-perubahan baik fisik maupun sosial budaya


masyarakatnya, sehingga menjadikan kota lebih dinamis. Kota sering diartikan
sebagai keseluruhan unsur-unsur bangunan, jalan dan sejumlah manusia di suatu
tempat tertentu, kesatuan dan keseluruhan unsur-unsur tersebut, pada akhirnya
akan menetukan corak terhadap manusianya.
Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi sering memberikan
perubahan yang besar dan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis pada lahan
gambut tersebut. Aktivitas pembukaan dan pembersihan lahan (landclearing) dan
pembuatan saluran (drainase) menyebabkan terjadinya perubahan tata air
(hidrologi). Laset al.(2009) menyebutkan bahwa kondisi ini berpengaruh pada
terjadinya perubahan tingkat kesuburan lahan, penurunan muka tanah(subsidensi)
dan dapa tmenimbulkan kering tidak balik (irreversibel drying). Untuk itu, telah
dilakukan pengamatan guna mengetahui aspek biofisik dan faktor penting yang
mempengaruhi perubahan karakteristik biofisik lahan gambut akibat kegiatan
pembukaan lahan pada perkebunan kelapa sawit.
Pembukaan lahan sawit yang diperuntukan untuk perkebunan sawit akan
dibahas dari berbagai aspek diantaranya yaitu :
1.

Aspek Pembangunan yang berkaitan dengan keuntungan (profit) yang

2.

diperoleh oleh masyarakat;


Aspek Lingkungan yang berkaitan dengan efek yang ditimbulkan dari
pembukaan lahan gambut untuk perkebunan sawit;

3.

Aspek penengah yang dijadikan sebagai solusi dari pembukaan lahan sawit
untuk perkebunan sawit.

Berikut ini akan dibahas tentang pembukaan lahan gambut untuk perkebunan
sawit yang dipandang dari berbagai aspek.

I.

ASPEK PEMBANGUNAN
Berbicara tentang Pembangunan, tentu berhubungan dengan perubahan,

yang mana perubahan itu bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat
yang diharapkan meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Tentu saja pembangunan
itu diharapkan berbasis lingkungan dan secara terencana dan bijaksana yang tetap
memperhatikan analisis dampak lingkungan.
Penggunaan lahan gambut telah dimulai pada tahun 1900-an. Sejalan
dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian dan perkebunan
menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan
pertanian maupun untuk pemukiman penduduk.
Secara Ekonomi dimana kita ketahui dimana manfaat pembukaan lahan
gambut untuk lahan sawit adalah dimana :
a. Adanya Penyerapan Tenaga Kerja dan peningkatan aktifitas ekonomi
masyarakat terhadap pembukaan lahan gambut untuk perkebunan sawit;
b. Adanya Upaya dari dibukanya lahan gambut sekala besar oleh Perusaan untuk
kepentingan

masyarakat

lokal

dibawah

skema

Corporate

Social

Responsibility (CSR) yang merupakan suati bentuk pembangunan dan


menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat setempat. Selain itu adalah
pembangunan instalasi penampungan air bersih yang lebih baik untuk
kemudian disalurkan ke rumah penduduk dan berbagai kebutuhan masyarakat
lainnya di berikan oleh Perusahaan;
c. Hasil Produksi Kelapa Sawit meningkat seiring pembukaan lahan;
d. Selanjutnya pengolahan limbah Sawit juga dapat dimaksimalkan menjadi
berbagai hasil yang dapat dimanfaatkan dan dikembalikan kembali
bentuk pupuk yang dapat diserap oleh kelapa sawit tersebut;

dalam

II.

ASPEK LINGKUNGAN
Secara Aspek Lingkungan dimana kita ketahui bahwa efek dari

pembukaan lahan sawit adalah dimana :


a. Menurunkan keanekaragaman hayati ;
b. Perubahan karakteristik biofisik lahan gambut yang menyebabkan terjadinya
perubahan tata air (hidrologi) air tanah;
c. Pencemaran yang diakibatkan oleh pembukaan lahan dan pembuangan limbah

cair dan gas perkebunan sawit seperti halnya :


1. Limbah gas terutama berupa asap dan debu yang berasal dari boiler, sabut
kering, serta kulit biji. Limbah tersebut mengandung bahan pencemar, yang
terukur dari kandungan BOD, COD, sisa minyak, dan padatan tersuspensi
yang tinggi.
2. Limbah cair Secara visual limbah ini berwarna merah kehitaman yang akan
menurunkan tingkat kecerahan air.
d. Kebakaran Hutan yang diakibatkan pembukaan lahan kelapa sawit, yang
terkadang menjadi agenda tahunan khususnya di Provinsi Riau.

III. ASPEK PENENGAH (SOLUSI)


Permasalahan pokok dalam pengelolaan lahan gambut adalah pengelolaan
subsidensi atau pemadatan gambut. Kesalahan fatal dalam mengelola subsidensi
akan berdampak kerusakan gambut yang irreversible karena apabila gambut
tersebut kembali digenangi air, maka kepadatannya tidak akan berbalik kembali.
Pemanfaatan lahan gambut untuk areal perkebunan memerlukan suatu perlakuan
khusus, yaitu berupa:
1.

pengendalian tata air gambut dengan membangun jaringan drainase yang


kompleks. Pembuatan saluran drainase tersebut perlu dilakukan dengan
perhitungan yang akurat dengan memperhitungkan ketebalan gambut,
kondisi hidrologis dan curah hujan. Pada prinsipnya pengelolaan bertujuan
agar gambut tidak terlalu kering pada musim kemarau maupun terlalu
basah. Dalam pembuatan parit perlu diperhatikan kedalamannya, sehingga
lahan gambut masih sedikit basah, namun daun, ranting, dan pohon di
atasnya jika ditebang masih dapat mengering.

2. Dalam mengelola tata air tersebut dimanfaatkan pula dam, waduk, dan
pintu air pengendali ketinggian permukaan air. Dengan cara tersebut
potensi terjadinya subsidensi meskipun ada, akan lebih terkendali.
3. Dengan kita mengubah ekosistem alami gambut menjadi ekosistem buatan,
maka pengelolaan tata air harus terus menerus dilakukan, Apabila usaha
perkebunan karena suatu alasan tidak diteruskan, maka sistem drainase
akan menjadi tidak terkendali, dan akibatnya adalah kerusakan permanen
pada ekosistem gambut.

BAB III
KESIMPULAN

Banyak kontroversi mengenai pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian


maupun perkebunan serta sektor kehidupan lainnya sepertihalnya perumahan.
Setiap ekosistem lahan gambut secara ideal memang seharusnya dibiarkan alami
seperti adanya sehingga kekayaan keanekaragaman hayatinya terjaga. Namun
demikian, untuk Negara yang berpenduduk banyak, masti dipertimbangkan pula
kepentingan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, sehingga alih fungsi lahan alami
terjadi. Apabila alih fungsi lahan terjadi, seperti alih fungsi lahan gambut menjadi
perkebunan kelapa sawit, maka upaya-upaya harus dilakukan agar dampak
negatifnya sekecil mungkin, dan lingkungan dikelola untuk mempertahankan
keberlanjutannya.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan :

1. pengelolaan tata air yang merupakan hal yang paling penting dalam mengelola
lahan gambut karena tata air yang benar akan memper kecil kondisi subsidensi
gambut;
2. Untuk mencegah kerusakan lahan gambut harus berpatokan dengan Peraturan
Menteri Pertanian no. 14 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan
Gambut biofue untuk Budidaya Kelapa Sawit;
Dalam Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa pengusahaan budidaya kelapa
sawit dapat dilakukan di lahan gambut tetapi harus memenuhi persyaratan yang
dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut. Persyaratan tersebut antara
lain:
(a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya;
(b) ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter;
(c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan
tanah sulfat masam;
(d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik(setengah matang);
(e) tingkat kesuburan tanah gambut tergolong eutropik.

Tingkat keberhasilan dari budidaya kelapa sawit dilahan gambut


merupakan upaya yang terintegrasi dari berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan
lahan, penanaman dengan menggunakan bibit yang unggul dan sesuai,
pemeliharaan tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan hama
penyakit tanaman, manajemen pengelolaan drainase. Seperti diketahui bahwa lahan
gambut merupakan lahan yang rapuh atau marginal sehingga apabila salah dalam
mengelolanya akan berdampak pada kerusakan fungsi gambut itu sendiri. Apabila
kondisinya sudah rusak maka akan sulit untuk memperbaikinya.
Pengolahan Lahan Tanpa Bakar/zero burning adalah hal yang harus
diperhatikan juga, karena lahan gambut yang sudah kering dan terbakar akan

banyak mengalami kerugian, baik kehilangan unsur hara yang terkandung dalam
bahan organik, kehilangan musuh alami hama, dan secara umum akan terjadi
pelepasan karbon dalam bentuk asap.

Dampak kebakaran di lahan gambut adalah


1.

Terdegradasinya kondisi lingkungan

Penurunan kualitas fisik gambut


Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut
Menurunkan keanekaragaman hayati
Rusaknya siklus hidrologi
emisi gas karbon-dioksida dalam jumlah besar.
2.

Kesehatan manusia
Kebakaran hutan dan lahan gambut telah menimbulkan asap yang

berakibat terjadinya pencemaran udara sehingga akan menimbulkan penyakit


pernapasan, asma, bronchitis, pneumonia, kulit dan iritasi mata.
3.

Hilangnya kesempatan ekonomi bagi masyarakat

Dampak langsung kebakaran bagi masyarakat yaitu berupa hilangnya


sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya
pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan)serta terganggunya
transportasi.
Kegiatan pembukaan PLTB dapat dilakukan dengan Pemotongan pohon,
Pemancangan jalur tanam, perumpukan searah jalur tanam, Pembuatan jalan dan
saluran tata air, Desain kebun dan Penanaman cover crops.
D. Tata Air (Water Management)
Tata air merupakan hal yang harus diperhatikan karena sifat tanah gambut
yang sudah kering tidak dapat lagi menjadi basah. Beberapa tujuan mengelola air
adalah:

Mengatur muka air, dipertahankan pada 50-75cm (ruang akar)

mencegah pengeringan dan penurunan muka gambut

mencegah oksidasi pirit (tanah sulfat masam)

mencegah akumulasi garam (salinitas)

Bagian bagian yang dipergunakan untuk terlaksananya tata air adalah:


Benteng berfungsi untuk menahan air pasang, sepanjang laut-sungai-parit
Parit berfungsi untuk mengumpulkan-menyalurkan air keluar kebun
Pintu air berfungsi untuk mempertahankan muka air, menahan air pasang
E. Pemadatan Gambut
Bertujuan untuk pamadatan gambut sehingga daya topang terhadap
tanaman meningkat dan tanaman tidak mudah doyong.
F. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Jalan

Pemasangan (gabungan dari batang kayu)

Penimbunan dengan tanah mineral (20-30cm)

Perataan dan pemadatan

Pengerasan (dengan pasir dan kerikil/batu)

G. Waspada Terhadap Api

Antisipasi terjadinya kebakaran lahan dan kebun diperlukan beberapa hal


diantaranya adalah pembangunan menara pengawas api, penyiapan sarana dan
prasarana pemadam api, perlunya marka tingkat bahaya api dan pembuatan
organisasi pengendalian kebakaran.
H. Pengelolaan air Gambut
Air merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman. Disamping
berfungsi langsung dalam proses pertumbuhan tanaman, air di lahan gambut juga
berperan dalam mengendalikan gulma, mencuci senyawa-senyawa beracun,
mensuplai unsur hara, media budidaya ikan, mencegah kebakaran, mencegah
oksidasi pirit, dan sarana transportasi. Dilain pihak, air juga menjadi kendala jika
volumenya berlebihan, keberadaanya tidak bisa diatur, dan kualitasnya kurang
baik.seluruh faktor tersebut harus diperhatikan.
Reklamasi gambut untuk pertanian tanaman tahunan memerlukan jaringan
drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam suatu wilayah dan
drainase mikro untuk mengendalikan air di tingkat lahan. Sistem drainase yang
tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk tanaman pangan
maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat
kerusakan lahan gambut.
Komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah
bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk
mengatur muka air tanah agar tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam.
Tanaman tahunan memerlukansaluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda.
Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm, tanaman kelapa
sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase
sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (3 m diperuntukan sebagai kawasan
konsevasi). Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang
rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.
Kawasan budidaya adalah kawasan yang dinilai layak untuk usaha di
bidang pertanian dan berada di luar kawsan non budidaya dan preservasi.
Pemanfaatan lahan rawa dikawasan budidaya selanjutnya harus disesuaikan
dengan tipologinya, yaitu: (a). Lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida
dalam, gambut dangkal sampai kedalaman 75 cm dapat ditata sebagai sawah; (b).

Gambut dengan kedalaman 75-150 cm untuk hortikultura semusim, padi gogo,


palawija, dan tanaman tahunan; (c). Gambut hingga kedalaman 2,5 m hanya untuk
perkebunan seperti Kelapa, Kelapa sawit, dan Karet; (d). Gambut lebih dari 2,5 m
sebaiknya digunakan untuk budidaya tanaman kehutanan.

Aktivitas pembukaan lahan pada hutan rawa gambutmenjadi perkebunan


kelapa sawit menyebabkan terjadinyaperubahan profil horizon pada lahan
gambut tersebut. Halini terlihatdari perubahan lapisan horizon dan
kedalamanserta tingkat kematangan gambut. Perubahan kedalamanhorizon
hemik menjadi semakin dangkal dengan pertambahan
umur perkebunan kelapa sawit (Tabel 1). Kondisi inidisebabkan oleh
perubahan tingkat kematangan gambut darifibrik menuju kondisi hemik dan
saprik. Hal ini dapat dilihatdari warna gambut menjadi hitam kemerahan pada
lapisan033 cm.Aktivitas pembukaan lahan pada perkebunan kelapasawit juga
menyebabkan terjadinya perubahan ketebalan
gambut, muka air tanah dan kadar air (Gambar 2). Tingkatketebalan
(kedalaman) gambut bervariasi, dimana semakinke arah kubah gambut (dome)
akan semakin meningkat.Berdasarkan fisiografi kedalaman gambut pantai
diperkebunan sawit berkisar 3040 cm, gambut transisi antara44440 cm dan
hutan rawa gambut >440 cm.Semakin lama umur tanam perkebunan sawit
akan semakin rendah kadar air pada lahan gambut tersebut.
Dimana kondisi ini terjadi pada gambut pantai mau pun transisi. Kondisi ini
disebabkan oleh perubahan tingkatkematangan (dekomposisi) gambut yang
terjadi

padaperkebunan

sawit

tersebut.

Noor

(2001)

menyebutkan

bahwakemampuan menjerap (absorbing) dan memegang(retaining) air dari

gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan menyerap dan


mengikat airpada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan
saprik,sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik.Ketebalan gambut
mempunyai hubungan yang eratdengan kandungan karbon dan penambahan
biomassakelapa sawit (Gambar 3). Hooijeret al. (2006), dan Handayani(2009),
menyebutkan bahwa semakin tebal gambut makakandungan karbon (C) akan
semakin meningkat dengantingkat korelasi yang tinggi (R 2=0,996). Kedalaman
muka airtanah berpengaruh dengan fluks CO2pada lahan gambut diperkebunan
kelapa

sawit.

Selanjutnya

terdapat

hubunganyang

sangat

signifikan

( R2=0,964) antara pertambahan umurkelapa sawit dengan peningkatan


biomassa(t ha-1). Hal inimengindikasikan bahwa tanaman kelapa sawit
dapatmenyerap CO2(carbon sink) yang cukup signifikan. Kondisiini terlihat
pada tanaman kelapa sawit umur > 10 tahunmempunyai biomassa lebih besar
dari hutan rawa gambutsekunder.Meillinget al.(2005), menyebutkan bahwa
alih fungsilahan gambut untuk kelapa sawit dapat menurunkan emisiCO 2.
Potensial emisi CO2dari hutan rawa gambut mencapai7850 g CO 2m-2tahun-1,
sedangkan pada perkebunan kelapasawit mencapai 5706 g CO 2m-2tahun-1. Hal
ini disebabkanoleh tingginya respirasi tanah pada hutan rawa gambut
yangmencapai 7817 g CO2m-2tahun-1, sedangkan padaperkebunan kelapa sawit
masing-masing 4074 g CO2m-2tahun-1dan 5652 g CO2m-2tahun-1. Handayani
(2009),menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan emisi CO2akansemakin
berkurang dengan pertambahan umur kelapa sawit.Gambar 2 Karakteristik
biofisik pada hutan rawa gambut dan perkebunan sawit (a. Gambut

Perubahan karakteristik biofisik lahan gambutdisebabkan oleh pembukaan lahan


yang menyebabkanterjadinya perubahan tata air (hidrologi) yaitu muka air
tanahpada kawasan tersebut. Kondisi ini mempengaruhi tingkatdekomposisi dan

merubah karakteristik lahan gambutdibandingkan dengan kondisi alami. Laset al.


(2009), danSabiham (2007), menyebutkan bahwa pengaturan tata airmakro
maupun tata air mikro sangat mempengaruhi
karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akanmempengaruhi
dekomposisi gambut (subsiden) dan keringtak balik (irreversibel drying)

Dampak Pembangunan Kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi


pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan,
pengolahan hasil dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan
berbeda jauh ketika dilakukan di lahan gambut, dibandingkan dengan dilakukandi
lahan mineral, mengingat lahan gambut merupakan lahan yang unik dan rentan
terhadap kerusakan.
Pertama,

Pembukaan

lahan.

Akibat

pembangunan

kelapa

sawit

yang

mengesampingkan kelestarianakan berdampak terhadap lingkungan diantaranya


adalah lenyapnya vegetasi alam serta flora dan fauna yang unik dan akan menjadi
sangat berbahaya apabila mengalami kepunahan yang total pada sebagian besar
kawasan di Indonesia. Pembukaan lahan gambut akan menurunkan fungsi hutan
gambut sebagai pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan
dan daging satwa, rotan, getah dan tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh
masyarakat lokal. Pembukaan lahan gambut juga akan menurunkan fungsi
konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, satwa langka dan tumbuhan
penting, komunitas dan ekosistem.
Kedua, Pembuatan Kanal Drainase. Pembukaan kanal-kanal drainase akan
mengurangi fungsi lahan gambut sebagai pengendali hidrologi wilayah yang
berfungsi sebagai penambat air dan mencegah banjir dan kebakaran, karena
berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh adanya drainase yang berlebih
sehingga berdampak pada pengeringan gambut. Penuruan muka air tanah juga
akan mempercepat laju pemadatan tanah (subsidensi), sehingga akan mengurangi
kemampuannya dalam menyimpan air. Penurunan muka gambut mambuat lahan

menjadi amblas.Subsidensi gambut di lahan perkebunan kelapa sawit ditandai


dengan rebahnya pokok sawit atau pokok doyong.Kondisi ini tentu merugikan
kebun itu sendiri. Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau
tanah dengan sulfat masam dan intrusi air laut
Ketiga, Kebakaran Lahan. Kebakaran pada lahan gambut terjadi karena
pembukaan lahan gambut dengan cara membakar, rata-rata menurunkan tingkat
permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka
akan berakibat tanah akan kehilangan kemampuan menyimpan air sebanyak 800
m3 per hektar.
Dan keempat, Emisi Gas Rumah Kaca. Lahan gambut dengan vegatasi tanaman
kelapa sawit akan menghasilkan emisi karbon (CO2) sebanyak 1.540 g
C/m2/tahun. Sebaliknya tanaman kelapa sawit di lahan gambut selama lima tahun
akan menyimpan karbon sebanyak 27 ton C/ha, yang disumbangkan dari batang,
pelepah dan akarnya. Emisi gas tersebut akan meningkat seiring dengan
menurunnya tinggi muka air tanah akibat drainase yang berlebih.
Untuk meminimalkan dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan
gambut yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan, maka perlu suatu
strategi atau upaya pengelolaan yang baik dan benar yang memenuhi kaidahkaidah pembangunan berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut yang sesuai dengan
sifat dan karakteristik lahan gambut. Apabila hutan rawa gambut diperlakukan
secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya,
maka hasil yang diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan.
Sebaiknya pengelolaan lahan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan
gambut, kubah gambut sama sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada
lahan gambut harus diatur dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan
muka air, termasuk muka air tanah yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran
tanaman.
Secara khusus hal-hal yang harus diperhatikan untuk menahan laju degradasi
lahan gambut pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah memembuat suatu
sistem tata air (water management system) yang betul-betul terencana dengan baik

Pengaturan tinggi muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu-pintu
pengatur air pada kanal-kanal drainase dan memonitornya setiap saat sebagai
upaya mengantisipasi kelebihan air yang mengakibatkan areal tergenang ataupun
kekurangan

air

yang

mengakibatkan

kekeringan.Untuk

mempertahankan

keanekaragaman hayati maka lahan-lahan yang menjadi kawasan lindung harus


tetap dipertahankan, Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tentang
keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi atau high
conservation value (HCV) selajutnya melakukan pembatasan-pembatasan dan
upaya pengelolaannya.
Upaya untuk mencegah kebakaran lahan gambut adalah dengan tidak membuka
lahan dengan cara bakar, tidak melakukan drainase yang berlebihan, membuat
menara pemantau api, membuat regu pemadam yang dilengkapi dengan
peralatannya dll, yang sifatnya mudah dilakukan di lapangan. **
* Penulis, Staf Teknis Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kementerian
Pertanian Provinsi Kalimantan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Sastrosayono, S., 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka, Jakarta.


Setyamidjaja, D. 2006. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta.
62 Hal. Sunarko, 2008.
Pengendalian Gulma di Kebun Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Kawan Batu
Estate, PT. Teguh Sempurna, Minamas Plantation, Kalimantan Tengah.
Zaman, F.F.S.B. 2006. Manajemen Pengendalian Hama dan penyakit
pada Tanaman Belum Mengahasilkan di Perkebunan Kelapa Sawit
(Elaeis guinensis Jacq.)
Galbraith, H., Amerasinghe, P & Lee, H.A.2005. The effectsof Agricultural
Irrigation on Wetland Ecosystems in Developing Countries: A
literature review.CA Discussion Paper 1 Colombo,Sri Lanka:
Comprehensive Assessment Secretariat.

Anda mungkin juga menyukai