PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk
akan kebutuhan sumber daya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin
meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang
menyertainya. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin
beragamnya fungsi dikawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa
serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam hal ketersediaan fasilits dan
kemudahan aksesibilitas sehingga mampu menarik berbagai kegiatan
Kebutuhan lahan untuk tempat tinggal yang semakin menipis dan tingkat
pertumbuhan penduduk yang meningkat, dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya,
Indonesia memiliki kota-kota besar dengan tren urbanisasi yang lebih dinamis,
bertambahnya macam kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan proporsi penduduk yang
cepat, seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya (Jones, 2002). Sebagai
dampaknya, perkembangan kota-kota tersebut diiringi dengan kebutuhan lahan dan ruang.
Namun, terbatasnya lahan dan ruang yang dapat dibangun di kawasan perkotaan
mengakibatkan perkembangan kota-kota diiringi upaya alih fungsi lahan, terutama
perubahan kawasan yang memiliki fungsi lindung menjadi kawasan terbangun (Firman,
2009; Partoyo and Shrestha, 2013).
Di beberapa kota di Indonesia, upaya alih fungsi lahan dilakukan juga dengan menimbun
lahan basah, seperti rawa dan gambut, dengan tanah kering untuk memperluas area
terbangun, seperti perumahan, komersial, infrastruktur, dan/atau lahan pertanian. Upaya
penimbunan atau reklamasi lahan basah lazim ditemukan pada kota-kota di Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan, seperti Pekanbaru, Jambi, Palembang, Pontianak dan
Banjarmasin (Dahliani, 2012; Khaliesh et al., 2012; Murod and Hanum, 2012; Pulungan,
2009; Sa'ad et al., 2010). Padahal, beberapa penelitian membuktikan keberadaan lahan
basah dapat menjadi fungsi retensi dan filterisasi air, pengatur iklim lokal, habitat
keanekaragaman hayati kota dan pencegah terjadinya banjir (Jia et al., 2011; Kim et al.,
2010; Lantz et al., 2013). Sebagai pengendali banjir, vegetasi di dalam ekosistem lahan
basah dapat menangkap dan melepas air permukaan dan air hujan. Vegetasi ini juga dapat
mengurangi kecepatan air banjir di daerah banjir. Berkurangnya lahan basah di dataran
banjir kota Lagos (Nigeria) karena perubahan fungsi lahan menjadi permukiman kumuh
dari tahun 1986 2006 mengakibatkan munculnya bencana banjir di daerah ini, seperti di
tahun 2002 dan 2006 (Adelekan, 2010).
kepunahan
rawa)
yang
dipantau
melalui
tinggi
air
permukaan rawa.
6. Mengurangi tejadinya penurunan kualitas air permukaan
7. Perubahan hamparan rawa menjadi perkotaan
8. Memaparkan kemungkinan dampak-dampak yang timbul akibat aktifitas
pemanfaatan terhadap areal rawa untuk perkotaan.
9. Mewujudkan dan memaparkan rekomendasi apa yang dapat dilakukan
untuk pengelolaan lahan rawa secara berkelanjutan dengan konsep tetap
memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan dari lahan rawa itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahan Rawa
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu
yangpanjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang
(waterlogged) air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan
berbagai istilah,seperti swamp, marsh, bog dan fen, masing-masing
mempunyai arti yang berbeda.
Swamp
adalah
istilah
umum
untuk
rawa,
digunakan
untuk
menyatakanwilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air,
permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang
waktu dalam setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir
(stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp
ditumbuhi oleh berbaga vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan,
dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.
Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen,
namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut
secaraperiodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai
dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan
daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam
setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air
tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan
rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan
rushes), vegetasi semak maupun kayukayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau
mempunyai permukaan air tanah dangkal,atau bahkan tergenang dangkal.
Perkotaan adalah
Kota
pada
dasarnya
merupakan
desa
yang
berkembang
dan
dalam
2.
3.
Aspek penengah yang dijadikan sebagai solusi dari pembukaan lahan sawit
untuk perkebunan sawit.
Berikut ini akan dibahas tentang pembukaan lahan gambut untuk perkebunan
sawit yang dipandang dari berbagai aspek.
I.
ASPEK PEMBANGUNAN
Berbicara tentang Pembangunan, tentu berhubungan dengan perubahan,
yang mana perubahan itu bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat
yang diharapkan meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Tentu saja pembangunan
itu diharapkan berbasis lingkungan dan secara terencana dan bijaksana yang tetap
memperhatikan analisis dampak lingkungan.
Penggunaan lahan gambut telah dimulai pada tahun 1900-an. Sejalan
dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian dan perkebunan
menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan
pertanian maupun untuk pemukiman penduduk.
Secara Ekonomi dimana kita ketahui dimana manfaat pembukaan lahan
gambut untuk lahan sawit adalah dimana :
a. Adanya Penyerapan Tenaga Kerja dan peningkatan aktifitas ekonomi
masyarakat terhadap pembukaan lahan gambut untuk perkebunan sawit;
b. Adanya Upaya dari dibukanya lahan gambut sekala besar oleh Perusaan untuk
kepentingan
masyarakat
lokal
dibawah
skema
Corporate
Social
dalam
II.
ASPEK LINGKUNGAN
Secara Aspek Lingkungan dimana kita ketahui bahwa efek dari
2. Dalam mengelola tata air tersebut dimanfaatkan pula dam, waduk, dan
pintu air pengendali ketinggian permukaan air. Dengan cara tersebut
potensi terjadinya subsidensi meskipun ada, akan lebih terkendali.
3. Dengan kita mengubah ekosistem alami gambut menjadi ekosistem buatan,
maka pengelolaan tata air harus terus menerus dilakukan, Apabila usaha
perkebunan karena suatu alasan tidak diteruskan, maka sistem drainase
akan menjadi tidak terkendali, dan akibatnya adalah kerusakan permanen
pada ekosistem gambut.
BAB III
KESIMPULAN
1. pengelolaan tata air yang merupakan hal yang paling penting dalam mengelola
lahan gambut karena tata air yang benar akan memper kecil kondisi subsidensi
gambut;
2. Untuk mencegah kerusakan lahan gambut harus berpatokan dengan Peraturan
Menteri Pertanian no. 14 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan
Gambut biofue untuk Budidaya Kelapa Sawit;
Dalam Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa pengusahaan budidaya kelapa
sawit dapat dilakukan di lahan gambut tetapi harus memenuhi persyaratan yang
dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut. Persyaratan tersebut antara
lain:
(a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya;
(b) ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter;
(c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan
tanah sulfat masam;
(d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik(setengah matang);
(e) tingkat kesuburan tanah gambut tergolong eutropik.
banyak mengalami kerugian, baik kehilangan unsur hara yang terkandung dalam
bahan organik, kehilangan musuh alami hama, dan secara umum akan terjadi
pelepasan karbon dalam bentuk asap.
Kesehatan manusia
Kebakaran hutan dan lahan gambut telah menimbulkan asap yang
padaperkebunan
sawit
tersebut.
Noor
(2001)
menyebutkan
sawit.
Selanjutnya
terdapat
hubunganyang
sangat
signifikan
Pembukaan
lahan.
Akibat
pembangunan
kelapa
sawit
yang
Pengaturan tinggi muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu-pintu
pengatur air pada kanal-kanal drainase dan memonitornya setiap saat sebagai
upaya mengantisipasi kelebihan air yang mengakibatkan areal tergenang ataupun
kekurangan
air
yang
mengakibatkan
kekeringan.Untuk
mempertahankan
DAFTAR PUSTAKA