Anda di halaman 1dari 19

Gangguan obsesif kompulsif (OCD): strategi praktis untuk pengobatan farmakologis

dan somatik pada orang dewasa

Abstrak
Ulasan naratif ini mengumpulkan sejumlah ahli-ahli internasional untuk secara kritis
mengapresiasi bukti berbasis uji coba yang ada terkait dengan kemanjuran dan tolerabilitas
dari farmakoterapi untuk kelainan obsesif kompulsif pada orang dewasa. Kami
mendiskusikan evaluasi diagnostik dan karakteristik klinis diikuti dengan pilihan terapi yang
cocok untuk dokter yang bekerja dari tingkat primer hingga tingkat perawatan spesialis
psikiatri. Data kuat yang mendukung efektivitas dari pengobatan dengan selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI) dan clomipramin dalam pengobatan jangka pendek dan jangka
yang lebih panjang dan untuk pencegahan relaps. Karena tolerabilitas yang lebih baik, SSRI
diakui sebagai pilihan pengobatan farmakologis lini pertama. Untuk pasien dimana
pengobatan lini bertama tidak efektif, terdapat bukti yang mendukung penggunaan terapi
antipsikotik adjuvan, dan beberapa bukti mendukung penggunaan SSRI dosis tinggi. Banyak
komponen yang juga masih diteliti saat ini. Terapi bedah syaraf, termasuk operasi ablasi lesi
dan stimulasi otak dalam, diberikan hanya pada individu dengan gejala yang parah yang
belum mengalami respons tetap baik terhadap terapi farmakologis dan terapi perilaku
kognitif.

1. Pendahuluan
Kelainan obsesif kompulsif merupakan kelainan neuropsikiatrik yang umum dan
sering kali bertahan lama. Penyakit ini mempengaruhi 2-3% populasi orang dewasa (dan 1%
dari anak-anak) tanpa memandang etnis, letak geografis atau status sosioekonomis (Robins
et al., 1984; Weissman et al., 1994; Heyman et al., 2003; Wittchen dan Jacobi, 2005).
Besarnya gangguan psikososial sangat tinggi (Hollander et al., 2010). OCD merupakan
penyakit yang tidak terlalu disadari dan pasien biasanya datang untuk pengobatan pada
tahap akhir dari perjalanan penyakit. Rata-rata durasi penyakit yang tidak tertangani yang
telah dilaporkan adalah selama sekitar 17 tahun (Hollander dan Wong, 1998). Penundaan
pengobatan berkaitan dengan hasil akhir yang lebih buruk, dimana pengobatan
farmakologis yang efektif meningkatkan kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan
(HRQOL), menggarisbawahi pentingnya diagnosis dan intervensi secara cepat. Relaps, di
sisi lain, dikaitkan dengan hilangnya HRQOL (Hollander et al., 2010), menekankan
pentingnya pencegahan relaps untuk menjaga kesejahteraan.
Jangkauan dari pengobatan farmakologis yang efektif terbatas. Akan tetapi, hasil
penelitian yang dilakukan di pusat spesialis menyarankan hasil yang lebih baik dapat
diharapkan. Kegagalan teknik pengobatan tampaknya merupakan penyebab umum untuk
refrakter yang jelas yaitu, pasien tidak mendapat dosis, durasi, atau tipe pengobatan yang
memadai. Artikel ini mensintesis bukti yang ada berkaitan dengan dokter yang bekerja di
pelayanan primer, dan untuk pelayanan spesialis psikiatri. Kami memperluas ulasan kami
untuk memperhitungkan perujukan dari kasus refrakter terhadap pengobatan untuk
pengobatan bedah syaraf pada pusat yang sangat terspesialisasi. Jika pemberian

pengobatan farmakologi, berdasarkan bukti terbaik yang tersedia, dapat dioptimalkan,


diharapkan bahwa keseluruhan standar pelayanan untuk pasien OCD dapat ditingkatkan
2. Skrining untuk kemungkinan besar OCD: lingkungan dan alat
Pengenalan dan diagnosis yang segera dan akurat merupakan kunci dalam
pengobatan yang efektif. Pasien dapat enggan mendiskusikan gejala mereka, dan diagnosis
seringkali terlewatkan. Dokter oleh karena itu perlu waspada dan proaktif menanyakan
mengenai gejala OCD pada pasien yang datang dengan sindroma afektif dan kecemasan,
sebab OCD sering kali komorbid dengan gangguan ini, dan dengan keberadaan sindroma
tersebut, diagnosis dapat terlewatkan (Fullana et al., 2009). Gejala obsesif kompulsif (OC)
juga umum pada pasien dengan skizofrenia, mempengaruhi sekitar satu dari lima kasus
(Mukhopadhaya et al., 2009; de Haan et al., 2013). OCD sangat familial, dan sekitar 10%
dari keluarga tingkat pertama dari pasien dewasa dengan OCD proband terkena gangguan
ini (Pauls et al., 1995). Tingkat OCD yang lebih tinggi (sekitar 20%) dilaporkan pada
keluarga dari kasus onset masa kanak-kanak (Pauls, 2010). Penemuan terbaru, bahwa
individu dengan OCD dari keluarga dimana beberapa anggota terkena gangguan ini akan
cenderung tidak datang untuk pengobatan (DellOsso, 2012 [Oral Presentation ICOCS]),
menyarankan bahwa dokter harus memberi perhatian lebih terhadap kemungkinan
gangguan yang tidak diobati pada anggota keluarga dari pasien OCD yang ada, dimana
normalisasi atau penyangkalan dari patologi dapat terjadi.
Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) (Sheehan et al., 1998)
merupakan wawancara skrining yang terstruktur dan tervalidasi dengan baik yang
kompatibel dengan ICD-10 dan DSM-IV. Wawancara ini memiliki keuntungan telah
diterjemahkan ke beberapa bahasa. Instrumen skrining yang sangat singkat, seperti fiveitem Zohar-Fineberg OC Screen, juga dapat bermakna dalam mengidentifikasi orang
dengan peningkatan kemungkinan OCD, dan dapat juga diaplikasikan dalam lingkungan
pelayanan kesehatan non psikiatri yang dikenal untuk menarik frekuensi yang tinggi dari
pasien dengan OCD atau gangguan tubuh dismorfik (BDD), seperti dermatologi atau klinik
bedah kosmetik (Fineberg et al., 2008).
3. Diagnosis: DSM-IV, DSM-5, ICD-10 dan perkembangan baru
Uji coba pengobatan farmakologi kontemporer telah bergantung pada DSM-IV
(American Psychiatrci Association, 1994) untuk diagnosis dan rekrutmen. Oleh karena itu,
farmakoterapi berbasis bukti sebagian besar didasarkan pada kemanjuran pada pasien
dengan DSM-IV OCD. Terdapat kekurangan dalam kriteria OCD pada DSM-IV, seperti
kurangnya persetujuan tentang dimana harus menetapkan ambang batas diagnostik,
diferensisasi dari subtipe OCD yang spesifik, dan durasi yang diperlukan untuk stabilitas
gejala. Sesuai dengan bukti yang menyarankan hubungan yang kuat antara OCD dan
sekelompok yang lebih dikenal sebagai spektrum gangguan obsesif kompulsif, meliputi BDD
(gangguan tubuh dismorfik), hoarding disorder, trikotilomania (gangguan menarik rambut)
dan gangguan ekskoriasi (memetik kulit), OCD telah dihapus dari DSM-5 kategori gangguan
kecemasan dan dimasukkan ke kategori DSM-5 yang baru dan tersendiri yaitu obsesif
kompulsif dan gangguan yang berkaitan (Leckman et al., 2010; American Psychiatric
Association, 2013). Hanya sedikit perubahan yang dibuat terhadap kriteria diagnosis pada
DSM-5. Akan tetapi, dua perubahan bermakna dibuat lebih spesifik sebagai berikut: (1)
tambahan kriteria yang lebih spesifik untuk pasien dengan riwayat sekarang atau dahulu

menderita gangguan tic (yang mungkin dapat lebih responsif terhadap obat antipsikotik
augmentasi dari serotonin reuptake inhibitor daripada mereka yang tidak menderita tic) dan
(2) ekspansi dari kriteria penglihatan buruk untuk meliputi penglihatan yang bagus atau
normal, penglihatan buruk, dan tanpa penglihatan/delusi yang berasal dari keyakinan pasien
OCD.
Kriteria diagnostik International Classification of Disorders (ICD-10) dari World
Health Organization (World Health Organization, 1992) (akan segera diperbarui) secara luas
konsisten dengan kriteria diagnosis yang ada di DSM-IV dan DSM-5, namun dapat
dikatakan lebih deskriptif dan kurang dalam hal perspektif, yang dapat memberikan fungsi
tambahan bagi dokter namun juga dapat mengurangi spesifisitas. Sebagai contoh, ICD-10
tidak secara cepat mengeksklusi kekhawatiran mengenai masalah di kehidupan nyata
(seperti pada gangguan kecemasan menyeluruh) dan tidak memerlukan obsesi yang
memakan waktu, oleh karena itu menurunkan ambang batas dari diagnosis ICD-10 relatif
terhadap DSM-IV dan DSM-5 dan mengijinkan penyertaan kasus yang kurang parah atau
mereka dengan kekhawatiran yang berkaitan dengan kecemasan atau ruminasi yang
berkaitan dengan suasana hati.
4. Evaluasi tingkat keparahan gejala, disabilitas global, dan gangguan fungsional
Skala obsesif kompulsif Yale-Brown (Y-BOCS) (Goodman et al., 1989a, 1989b)
muncul sebagai skala penilaian utama untuk tingkat keparahan OCD pada orang dewasa
dan telah digunakan untuk mengevaluasi kemanjuran dari hampir semua pengobatan
farmakologis yang tersedia. Y-BOCS merupakan instrumen berisi 10 pertanyaan yang dinilai
oleh pengamat. Skala ini telah diadaptasi sebagai alat penilaian mandiri (Steketee et al.,
1996). Instrumen ini menilai keseluruhan tingkat keparahan dari obsesi dan kompulsi secara
terpisah dan dalam kombinasi. Pertanyaan meliputi durasi, interferensi, kesulitan,
kemampuan untuk melawan dan mengontrol. Dari semua ini, pertanyaan yang mengukur
resistensi adalah yang paling tidak dapat diandalkan, namun berbagai usaha untuk merevisi
sifat psikometrik dari skala ini belum disetujui secara umum, dan skala ini lebih sering
digunakan dalam bentuk aslinya. Y-BOCS relatif singkat dan sensitif terhadap perubahan
dan telah memberikan fungsi untuk mengukur perkembangan klinis dalam lingkungan klinis
maupun penelitian.
Skala lain yang dapat digunakan sebagai alternatif pengukuran hasil akhir OCD, dan
hal ini juga telah terbukti sensitif terhadap perubahan pada populasi OCD, meliputi skala
OCD Comprehensive Psychopathological Rating Scale (CPRS) (Asberg et al., 1978),
National Institute for Mental Health Global Obsessive-Compulsive Scale (Insel et al., 1983b),
Dimensional Y-BOCS (Rosario-Campos et al., 2006), yang mengijinkan evaluasi dimensidimensi seorang OCD, dan Obsessive-Compulsive Inventory-Revised (OCI-R) (Foa et al.,
2002). Instrumen tambahan yang telah digunakan pada populasi OCD meliputi Clinical
Global Impression Severity and Improvement Scale (Guy, 1976), skala disabilitas Sheehan
(SDS) (Sheehan et al., 1996) dan Medical Outcomes Survey 36-Item Short Form Survey
Instrument (SF-36) (Ware dan Sherbourne, 1992), yang mengukur, secara berurutan, tingkat
keparahan dan perbaikan penyakit secara global, gangguan psikososial akibat penyakit dan
kualitas hidup sehubungan dengan kesehatan. OCD dikaitkan dengan sejumlah besar
gangguan fungsi dan disfungsi eksekutif. Cognitive Assessment Instrument of Obsessions
and Compulsions (CAIOC-13) (Dittrich et al., 2011) merupakan skala baru yang didesain

untuk mengukur gangguan fungsional akibat OCD pada lingkungan klinis. Sensitivitas skala
ini terhadap perubahan masih belum dievaluasi.
5. Mendefinisikan respons pengobatan, remisi, prebaikan, relaps, dan resistensi
Perbaikan yang bermakna dapat dicapai pada banyak pasien, namun untuk sekitar
50% respons pengobatan belum lengkap. Pallanti et al. (2002) mengadvokasi penggunaan
kriteria operasional terstandarisasi dari semua uji pengobatan, menyarankan bahwa respons
klinis yang bermakna dapat secara konservatif ditunjukkan dengan perbaikan dari 25-35%
dari skor Y-BOCS awal, atau skor banyak atau sangat berkembang pada Clinical Global
Impression of Improvement Scale. Menurut Pallanti et al. (2002), remisi dinyatakan bila
total skor Y-BOCS kurang dari 16 (dari total skor 40). Respons parsial, sebaliknya,
didefinisikan sebagai perbaikan dari nilai awal Y-BOCS sebesar 25-35% dan relaps setelah
periode remisi jika mengalami perburukan 25% dari skor Y-BOCS saat remisi (atau nilai
CGI-I sebesar enam). Akan tetapi, total skor Y-BOCS 15 tidak menggambarkan remisi klinis
seperti yang telah didefinisikan oleh banyak dokter/peneliti: pasien memenuhi kriteria untuk
ikut dalam beberapa penelitian pada tahap ini. Stein et al. (2007) mengusulkan kriteria
remisi yang lebih ketat, membutuhkan skor total Y-BOCS untuk diturunkan hingga 10 atau
kurang, dan dalam bidang CBT, Sookman dan Steketee (2010) mendefinisikan remisi
sebagai tidak lagi memenuhi kriteria DSM untuk OCD dan Y-BOCS skor = atau < 7.
Definisi dari respons klinis yang lebih bermakna atau remisi dan konsep dari relaps
tetap memicu perdebatan dan dapat menjadi susah untuk diaplikasikan pada penyakit yang
biasanya memiliki perjalanan yang kronis dan fluktuatif atau perjalanan penyakit yang
secara progresif memburuk jika tidak diobati, dan menunjukkan hanya respons parsial
terhadap pengobatan farmakologis jangka panjang (Simpson et al., 2006; Farris et al.,
2013). Kriteria relaps yang masuk akal meliputi perburukan nilai setelah nilai awal Y-BOCS
50%, 5 poin perburukan dari skor total Y-BOCS, sebuah skor total Y-BOCS 19, dan skor
CGI-I dari sangat atau amat sangat buruk (Fineberg et al., 2007a, 2007b). Semua definisi
yang berbeda yang digunakan di lapangan dapat menuntun ke pendapat yang berbeda
tentang kemanjuran dan mengenai relaps (Simpson et al., 2005).
Hollander et al. (2010) berusaha memvalidasi yang sebelumnya kriteria perespons
empiris dan relaps (Pallanti et al., 2002) dengan mengorelasikan gangguan fungsional
(menggunakan SDS) dan kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan (HRQoL)
(menggunakan SF-36) dengan perubahan skor Y-BOCS. Perbedaan yang secara statistik
signifikan dan secara klinis relevan dari pengukuran fungsional/HRQoL diamati antara
perespons dan bukan perespons ketika respons pengobatan didefinisikan sebagai
setidaknya perbaikan 25% dari skor Y-BOCS relatif terhadap skor awal. Hal ini
mengindikasikan bahwa perbaikan 25% dari skor awal Y-BOCS merupakan perubahan yang
relevan secara klinis dan menggambarkan minimal respons parsial. Maka, relaps, ketika
didefinisikan sebagai perburukan 5 poin dari skor remisi Y-BOCS berkorelasi dengan
perburukan yang signifikan dari HRQoL dan fungsi sosial; pasien yang relaps menurut
kriteria ini memiliki hasil akhir yang lebih buruk secara statistik pada SDS dan SF-36
dibandingkan mereka yang tidak (Hollander et al., 2010). Akan tetapi, pendekatan ini
memiliki batasan bila diawali dengan skor Y-BOCS yang sangat rendah dan, yang
terpenting, tingkat perbaikan 25% sering menggambarkan simtomatologi yang besar dan
berlanjut.

Tingkat resistensi pengobatan didefinisikan sesuai dengan jumlah pengobatan yang


gagal (Pallanti et al., 2002), dan istilah refrakter terhadap pengobatan dikhususkan untuk
mereka yang tidak berespons terhadap semua pengobatan yang tersedia. Kekurangan dari
pendekatan yang terakhir adalah bahwa saat ini tidak jelas dari pengobatan spesifik yang
berbasis bukti manakah istilah semua pengobatan yang tersedia mengacu.
6. Dimensi OCD dan subtipe
Data dari faktor analisis, genetik, pencitraan fungsional dan penelitian pengobatan
menyarankan sebuah model dimensi untuk OCD (Mataix-Cols et al., 2010) yang
menguntungkan dalam pertimbangan perencanaan pengobatan sebab dimensi-dimensi
dapat menentukan hasil akhir dari pengobatan. Dari semua dimensi yang telah diidentifikasi,
hoarding mungkin yang paling banyak diteliti dan diperkirakan menyebabkan sindroma yang
berbeda (Mataix-Cols et al., 2010) yang diperkenalkan sebagai hoarding disorder dalam
DSM-5 (American Psychiatric Association, 2013). Compulsive hoarding seringkali egosintonik, dan Y-BOCS bukan pengukur spesifik untuk gangguan ini. Frost et al. telah
mengembangkan pengukur spesifik untuk hoarding (Frost et al., 2012). Analisis dari sebuah
bank data uji coba mengindikasikan bahwa dimensi hoarding/simetris memperkirakan hasil
akhir yang lebih buruk terhadap pengobatan SSRI dibandingkan dengan dimensi OCD
lainnya (Stein et al., 2008). Meskipun demikian, daya tanggap gejala hoarding terhadap
farmakoterapi tetap tidak jelas, mengingat bahwa penelitian lain menyarankan hasil yang
positif untuk pasien tertentu (Saxena, 2011).
Penelitian terhadap onset awal subtipe OCD sejauh ini terhambat dengan
penggunaan batasan umur yang berbeda untuk mendefinisikannya (Mataix-Cols et al.,
2010) dan ketidakjelasan mengenai perkembangan stabilitas dari gejala obsesif kompulsif.
Dan lagi, masih belum jelas apakah subtipe ini merujuk pada mereka dengan onset awal
dari gejala subklinis atau gangguan menyeluruh. Terdapat efek perancu yang signifikan
antara OCD onset awal, durasi penyakit tidak diobati dan OCD akibat tic (lihat di bawah).
Penelitian telah membuktikan bahwa anak-anak dengan penyakit onset awal berespons
dengan baik terhadap pengobatan, dibandingkan dengan orang dewasa, jika pengobatan
diberikan tanpa penundaan (Krebs dan Heyman, 2010). Semakin lama durasi penyakit tidak
diobati telah dikaitkan dengan hasil akhir yang semakin buruk (DellOsso et al., 2010). Oleh
karena itu, sangat penting untuk memberikan pengobatan pada tahap awal. Secara
keseluruhan, respons pengobatan pada orang muda dengan OCD mungkin sama dengan
mereka yang memiliki OCD onset lama (Leckman et al., 2010).
Subtipe OCD sehubungan dengan tic dapat berperan dalam 40% kasus yang
terdiagnosis pada masa kanak-kanak atau remaja. Anak-anak dengan OCD akibat tic dapat
memiliki insiden yang lebih tinggi dari komorbid attention deficit hyperactivity disorder
(ADHD), berlawanan dengan gangguan pemberontak, dan trikotilomania (diulas dan dipakai
sebagai acuan dalam Geller et al., 2012). Sejumlah besar gejala seperti simetris dan
kompulsi mengatur/menyusun telah diketahui pada individu dengan subtipe ini dari banyak
budaya. Pada penelitian kohort yang besar pada orang Brazil dewasa, pasien OCD dengan
komorbid tic, dibandingkan dengan mereka yang tanpa tic, menunjukkan gejala yang lebih
agresif, seksual/religius dan hoarding, lebih sering terkena pada laki-laki, dan menunjukkan
peningkatan komorbiditas dengan gangguan kecemasan, gangguan kontrol impuls, dan
memetik kulit (de Alvarenga et al., 2012). Meskipun baik OCD yang berkaitan dengan tic dan
yang tidak berkaitan dengan tic dapat merespons intervensi perilaku kognitif, OCD yang

berkaitan dengan tic dapat merespons lebih baik terhadap augmentasi SSRI dengan
antipsikotik dibandingkan dengan SSRI saja (Bloch et al., 2006; Leckman et al., 2010).
7. Komorbiditas psikiatri pada OCD
OCD diasosiasikan dengan cukup banyak komorbiditas psikiatri, yang juga perlu
diperhitungkan ketika merencanakan pengobatan, meskipun sayangnya penelitian yang
berfokus pada OCD dengan gangguan komorbid sedikit, dan kami tidak memiliki bukti kuat
untuk menuntun kami. Gangguan kecemasan dan afeksi terjadi pada lebih dari sebagian
kasus dimana pasien mencari pengobatan. Campuran dengan khasiat spektrum luas dari
anxiolytic dan antidepresan, seperti SSRI dan clomipramin, dapat dipertimbangkan pada
kasus ini. Penelitian oleh Hoehn-Saric et al. (2000) menunjukkan khasiat yang lebih
menguntungkan dari SSRI sertraline dibandingkan dengan non SRI desipramin pada pasien
depresi dengan OCD, menekankan pentingnya memilih campuran dengan khasiat intrinsik
pada OCD dengan keberadaan gangguan komorbid.
Terdapat peningkatan prevalensi yang makin tampak dari gejala afeksi bipolar dan
labilitas emosi pada beberapa pasien dengan OCD (Fineberg et al., 2013a). Untuk kasus
dengan komorbiditas seperti ini, pengobatan adjuvan dengan penstabil mood seperti
topiramat (Berlin et al., 2011) atau quetiapin (Denys et al., 2004) dapat berguna, meskipun
masih tidak ada cukup bukti uji klinis untuk secara spesifik merekomendasikan
penggunaannya pada pasien dengan komorbid OCD. Gangguan penggunaan senyawa
telah diketahui terjadi pada tingkat yang relatif tinggi pada beberapa sampel epidemiologis
OCD (Ruscio et al., 2010), namun prevalensinya dalam penelitian kohort klinis biasanya
tidak dilaporkan meningkat (diulas dalam Fineberg et al., 2013a). Tingkat ADHD juga dapat
meningkat (Geller et al., 2007). Sebagai contoh, dalam sejumlah individu sampel yang dipilih
dengan onset OCD pada masa kanak-kanak dengan atau tanpa komorbid tic, tingkat ADHD
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, dan terdapat asosiasi kuat antara ADHD
dan perilaku hoarding yang secara klinis signifikan (Sheppard et al., 2010). Spektrum
gangguan obsesif kompulsif yang diduga, meliputi BDD, hoarding disorder, trikotilomania,
hipokondriasis, dan gangguan kepribadian obsesif kompulsif, sering terjadi bersamaan
dengan OCD dan saling berhubungan dalam keluarga. Dampak dari gangguan ini pada
hasil pengobatan pada pasien komorbid masih belum diketahui.
Hingga 50% pasien dengan skizofrenia mengalami gejala obsesif kompulsif yang
muncul bersama dengan psikosis, dan antara 8% dan 46% pasien dengan skizofrenia
memiliki OCD full-blown (Poyurovsky et al., 2004; Schirmbeck dan Zink, 2012). Gejala
obsesif kompulsif dapat memiliki onsetnya selama pengobatan dengan antipsikotik generasi
kedua (seperti clozapin) pada skizofrenia. Hal ini dapat berhubungan dengan efek
antagonistik dari reseptor serotonin mereka menyarankan mekanisme farmakodinamik
sebagai kemungkinan etiologi untuk asal gejala ini (Schonfelder et al., 2011; Schirmbeck
dan Zink, 2012). Masih tidak jelas hingga sejauh mana pengobatan dengan farmakoterapi
atau CBT dapat berguna pada kasus komorbid ini, meski sejumlah kecil data open-label
menyarankan uji pada SSRI (Stryjer et al.,2013), adjuvan lamotrigin (Poyurovsky et al.,
2010), atau adjuvan aripiprazol (Schonfelder et al., 2011) dapat berguna.
8. Farmakoterapi berbasis bukti untuk OCD
Laporan mendetil dari dasar bukti untuk pengobatan farmakologis yang disarankan
pada makalah ini telah baru-baru ini dipublikasi dan diperbarui oleh beberapa assisten

penulis (Fineberg dan Brown, 2011; Fineberg et al., 2012, 2013c). Khasiat yang
dibandingkan dengan plasebo pada OCD masa dewasa telah diperoleh untuk SSRI yang
ada (fluvoxamin, fluoxetin, sertraline, paroxetin, citalopram dan escitalopram) pada sejumlah
besar rangkaian penelitian selama hampir 20 tahun (diulas dan dikutip dari Fineberg et al.,
2012). Sebuah metaanalisis dari SSRI dibanding plasebo yang meliputi 17 penelitian pilihan
(3079 peserta) secara tegas mendemonstrasikan khasiat SSRI pada OCD (Soomro et al.,
2008). Analisis di atas mengindikasikan bahwa SSRI hampir dua kali lipat dari plasebo
dalam menghasilkan respon klinis (didefinisikan sebagai 25% pengurangan nilai awal YBOCS). Bukti untuk khasiat clomipramin sebagai agen yang manjur pada orang dewasa dan
anak-anak dan keuntungannya dibanding antidepresan trisiklik dan MAOI telah diulas oleh
Fineberg dan Gale (2005).
8.1 SSRI atau clomipramin?
Meskipun metaanalisis melaporkan ukuran efek yang lebih kecil untuk SSRI relatif
terhadap clomipramin, penelitian yang membandingkan langsung cenderung
mendemonstrasikan khasiat yang ekuivalen (diulas dan dikutip dari Fineberg et al.,
2005,2012). SSRI, dibandingkan dengan clomipramin, memiliki akseptabilitas dan
tolerabilitas yang lebih baik secara keseluruhan dan oleh karena alasan ini SSRI secara
umum merupakan opsi yang dipilih sebagai pengobatan lini pertama ketika dibandingkan
dengan clomipramin. Untuk alasan ini, National Institute for Health and Clinical Exellence
(NICE) Inggris (2006) merekomendasikan SSRI sebagai lini pertama pengobatan, dengan
clomipramin disimpan untuk pasien yang gagal merespons atau tidak dapat menoleransi
SSRI. American Psychiatric Association Practice Guidelines (Koran et al., 2007; Koran dan
Simpson, 2013) juga merekomendasikan SSRI sebagai lini pertama pengobatan.
8.2 SSRI yang mana?
Terdapat sedikit bukti yang mendukung keunggulan tiap SSRI dalam hal kemanjuran
atau tolerabilitas pada OCD. Penelitian single-blind yang tidak cukup kuat (Mundo et al.,
1997) tidak mendeteksi perbedaan antara fluvoxamin, paroxetin, atau citalopram dengan
hanya 10 pasien per grup. Dalam penelitian pembanding double-blind antara sertraline
(n=77) dan fluoxetin (n=73) (Bergeron et al., 2001), tidak didapat perbedaan signifikan yang
tampak pada titik akhir 24 minggu terhadap berbagai pengukuran khasiat primer. Akan tetapi
terdapat tren non signifikan terhadap efek awal dari grup sertraline, dan sejumlah besar
pasien yang diobati dengan sertraline mengalami remisi, didefinisikan sebagai skor CGI-I 2
dan skor Y-BOCS 11. Pada penelitian 24 minggu oleh Stein et al. (2007), perbaikan
simtomatik dari escitalopram 20mg/hari dan paroxentin 40 mg/hari tampak sama mulai dari
minggu ke 12 dan seterusnya.
SSRI, akan tetapi, berbeda satu dengan lainnya dalam hal selektifitas dan potensi
dari efek pada penransport serotonin dan aksi farmakologis sekundernya (Stahl, 2008), dan
konsekuensinya seseorang dapat memrediksi perbedaan dalam profil khasiat klinis dan efek
samping pada OCD. Fluoxetin dapat dipilih untuk mereka dengan kepatuhan pengobatan
yang rendah, seperti individu yang sangat impulsif, dikarenakan waktu paruhnya yang
panjang. Selain itu,fluoxetin juga cenderung memiliki efek putus obat yang ringan dan,
bersama dengan sertraline, diduga berkaitan dengan sedikitnya penambahan dosis dari
SSRI (Serretti dan Mandelli, 2010). Sebaliknya, efek putus obat sangat tampak pada
paroxetin. Sertraline, citalopram, dan escitalopram merupakan pilihan yang rasional juka

interaksi obat berkaitan dengan sitokrom P450 relevan. Demonstrasi terbaru mengenai
pemanjangan interval QT pada EKG diasosiasikan dengan tingkat dosis yang lebih tinggi
dari citalopram (dan pada tingkat dosis yang lebih rendah pada escitalopram) (FDA Drug
Safety Communication, 2013) mendebatkan tingkat kewaspadaan dalam penggunaan dosis
yang lebih tinggi dari citalopram pada OCD, terutama jika individu tersebut mengonsumsi
obat lain yang meningkatkan QT interval. Akan tetapi, penelitian besar baru-baru ini tidak
menemukan peningkatan resiko dari aritmia ventrikel atau semua penyebab mortalitas,
kardiak atau non kardiak dikaitkan dengan dosis citalopram di atas 40mg/hari (Zivin et al.,
2013), menghilangkan keraguan akan kewaspadaan tersebut.
8.3 Dosis yang mana?
SSRI fluoxetin, paroxetin, sertraline, citalopram, dan escitalopram masing-masing
telah diteliti dalam penelitian dosis multipel, dosis tetap. Hubungan respons-dosis positif
telah diamati untuk fluoxetin, paroxetin, dan escitalopram (diulas dan dikutip dari Fineberg et
al., 2012 (2013c)). Paroxetin efektif pada dosis 40 mg/hari dan 60 mg/hari (Hollander et al.,
2003a). Hasil yang sama juga dilaporkan untuk fluoxetin, dengan keuntungan terbesar
diamati pada dosis 60 mg/hari (Montgomery et al., 1993; Tollefson et al., 1994), yang juga
secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan dosis 20 mg/hari pada metaanalisis
(Wood et al., 1993). Demikian juga dosis 20 mg/hari dari escitalopram telah diketahui lebih
manjur dibandingkan 10 mg/hari (Stein et al., 2007). Hubungan respons-dosis masih belum
jelas untuk sertraline dan citalopram (Greist et al., 1995; Ushijima et al., 1997; Montgomery
et al., 2001). Metaanalisis dari sembilan penelitian SSRI dilakukan untuk menentukan
perbedaan hubungan dosis dengan kemanjuran dan tolerabilitas menggunakan model efek
tetap. Dosis SSRI tinggi diasosiasikan dengan khasiat yang lebih besar dibandingkan dosis
rendah atau sedang, menggunakan skor Y-BOCS atau proporsi responder sebagai
pengukur hasil (Bloch et al., 2010).
Tidak ada hubungan respons-dosis yang tampak untuk fluvoxamin atau clomipramin.
Fluvoxamin telah terbukti memberikan efek signifikan dibandingkan plasebo pada rentang
dosis dari 150 hingga 300 mg/hari. Penelitian dosis tunggal telah menunjukkan kemanjuran
dibandingkan dengan plasebo untuk dosis tetap clomipramin yang relatif rendah (75 mg/hari
dan 125 mg/hari) (Montgomery et al., 1980). Akan tetapi, studi kontrol juga menunjukkan
kemanjuran dan tolerabilitas untuk dosis clomipramin setinggi 300 mg/hari (DeVeaugh-Geiss
et al.,1989) dan fluoxetin 80 mg/hari (Jenike et al., 1997; Liebowitz et al., 2002). Karena
clomipramin diasosiasikan dengan kardiotoksisitas yang relevan secara klinis dan
menurunkan ambang batas kejang, obat ini biasanya hanya diberikan dalam batas dosis
yang terlisensi. Dosis clomipramin melebihi 250 mg/hari harus diresepkan dengan waspada
dan monitor EKG/plasma level dipertimbangkan.
8.4 Titrasi Dosis
Dalam uji OCD randomized control dari SSRI dan clomipramin, perbaikan tampak
pada obsesi dan kompulsi dalam 1 atau 2 minggu setelah inisiasi (March et al., 1998; Riddle
et al., 2001; Hollander et al., 2003b; diulas dalam Fineberg et al., 2012). Eksaserbasi dari
kecemasan pada tahap awal pengobatan OCD jarang terjadi. Akan tetapi, terlepas dari
dosis, perbaikan dapat memakan waktu beberapa minggu hingga bulan untuk terjadi.
Meskipun penelitian dapat menunjukkan perubahan kecil pada skor gejala di awal
pengobatan, hal ini biasanya tidak menjadi bermakna secara klinis hingga tahap lanjut

pengobatan; memang hal ini dapat terjadi beberapa minggu hingga beberapa bulan
sebelum perbaikan disadari oleh pasien. Oleh karena itu, pasien harus disarankan untuk
tetap menjalani pengobatan, meskipun hanya terdapat bukti perubahan langsung yang
sangat kecil. Karena keuntungan yang dapat diamati mungkin tidak tampak untuk beberapa
bulan, dokter dapat merasa tertekan untuk mengubah pengobatan atau meningkatkan dosis
SRI secara prematur. Keseimbangan disarankan antara tolerabilitas dan tingkat peningkatan
dosis.
Tidak ada konsensus tentang seberapa cepat titrasi dosis harus dilakukan. British
Association for Psychopharmacology (Baldwin et al., 2005, 2014) menyarankan periode
pengobatan awal lebih dari 12 minggu mungkin diperlukan untuk menilai kemanjuran.
Pedoman menyarankan untuk mulai dengan dosis SSRI harian dengan khasiat terendah,
yang dapat ditingkatkan bila tidak ada respons dari dosis yang rendah. Akan tetapi,
kekurangan dari pendekatan titrasi perlahan adalah jika dosis yang lebih tinggi diperlukan,
ini dapat memakan waktu yang lama untuk mencapai respons, yang mana dapat menjadi
masalah, terutama dengan pasien yang lebih sakit berat. Sebaliknya, pedoman APA (Koran
et al., 2007) menyarankan titrasi ke atas dari dosis SSRI ke dosis maksimum yang diakui
FDA dalam 4-6 minggu, setelah itu tunggu hingga 6 minggu untuk mengevaluasi
kemanjurannya. Usaha dalam pulse-loading, menggunakan baik clomipramin oral maupun
intravena, tidak menghasilkan keuntungan yang bertahan dalam sejumlah kecil penelitian,
meskipun perbaikan dapat terjadi lebih cepat dibandingkan titrasi dosis konvensional (Koran
et al., 1997).
8.5 Manajemen respons pengobatan dan tahap awal dari resistensi
Hingga sekarang, kami tidak memiliki alat ukur sementara yang terpercaya untuk
memrediksi, jauh di awal perjalanan pengobatan OCD, pasien yang mana yang mungkin
akan atau tidak akan terus merespons pengobatan. Selama efek pengobatan memakan
cukup banyak waktu untuk terbentuk, sangat penting untuk memastikan (a) bahwa sejumlah
uji yang cukup untuk pengobatan telah tercapai, dan juga untuk mencegah putus obat
prematur yang ternyata bisa jadi efektif, dan (b) bahwa metode untuk mengevaluasi respons
klinis dilakukan. Hal ini biasanya menyusul setidaknya 12 minggu dari dosis SSRI optimisasi
(maksimum yang ditoleransi) dengan bukti kepatuhan yang baik. Datang ke klinik secara
reguler telah terbukti meningkatkan kepatuhan (Santana et al., 2010).
Penilaian batas awal secara rutin direkomendasikan. Setelah fase awal pengobatan,
penilaian kembali mengijinkan diferensiasi ke dalam kategori berdasarkan tingkat respons
misal, respons penuh (> 35% perubahan Y-BOCS), respons parsial (25 35% perubahan
Y-BOCS), tanpa respons (<25% perubahan Y-BOCS) (Pallanti et al., 2002). Pada keadaan
dimana respons penuh, pengobatan dapat dilanjutkan ke fase maintenance (lihat di bawah).
Pada kasus respons parsial terhadap SSRI pada tahap awal pengobatan, langkah
selanjutnya dapat mengombinasikan pengobatan dengan jenis obat terapi perilaku kognitif
(CBT) untuk OCD. Pada kasus parsial respons menetap atau tanpa respons, pengujian
SSRI lain atau clomipramin (lihat di bawah) dapat dipertimbangkan dan strategi yang mirip
dengan kasus pada uji pertama dapat diikuti.
Akan tetapi, keputusan mengenai pengobatan lebih lanjut harus merefleksikan tidak
hanya persen perbaikan dalam gejala namun juga keparahan dari gejala yang tersisa.
Sebagai contoh, jika gejala pasien awalnya sangat parah, bahkan respons sebesar >35%

dapat tetap merefleksikan gejala penuh dari OCD yang sedang berlangsung; pada kasus ini,
dokter akan ingin memberikan pengobatan tambahan dengan tujuan untuk memperbaiki
lebih lanjut gejala pasien. Demikian pula, pada beberapa kasus seperti penyakit parah atau
kompleks, mungkin terdapat argumen klinis untuk meningkatkan dosis SSRI lebih lanjut,
beralih SRI atau ditambah dengan pengobatan farmakologis lainnya (lihat subbab 8.8.1
hingga 8.8.7), bahkan pada tahap awal dari resistensi pengobatan.
8.6 Kombinasi CBT dan farmakoterapi
Meskipun banyak pusat spesialis menawarkan kombinasi pengobatan, tingkat di
mana menambahkan CBT ke SSRI meningkatkan hasil dibandingkan dengan monoterapi,
baik dalam jangka pendek atau jangka panjang, merupakan area penting untuk diteliti lebih
lanjut. Bukti mengindikasikan bahwa pasien yang merespons hanya parsial terhadap SRI
bernasib lebih baik, dibandingkan dengan SRI monoterapi, jika CBT (termasik paparan dan
prevensi respons) ditambahkan (Kampman et al., 2002; Tolin et al., 2004; Tenneij et al.,
2005; Tundo et al., 2007; Simpson et al., 2008). Akan tetapi, masih tidak jelas apakah kedua
pengobatan dilakukan bersamaan dari awal memiliki keuntungan dibandingkan pemberian
hanya salah satu dari keduanya. Sebagai contoh, beberapa penelitian menyarankan
gabungan CBT dan farmakoterapi mengalahkan performa monoterapi CBT, dimana
penelitian lain melaporkan tidak terdapat perbedaan (diulas dalam Fineberg dan Brown,
2011). Pedoman Praktis APA (Koran et al., 2007; Koran dan Simpson, 2013) menyarankan
menggunakan baik SRI atau CBT saja sebagai lini pertama pengobatan. Berdasarkan
analisis efektivitas biaya, pedoman NICE Inggris (NICE 2006) merekomendasikan
penggunaan kombinasi CBT dan SRI hanya pada kasus yang lebih parah atau resisten
terhadap pengobatan. Sebuah 8 minggu penelitian fase akut randomized control pada 108
orang dewasa dengan OCD dan respons SSRI parsial (Simpson et al., 2008) menunjukkan
bahwa tambahan 17 sesi CBT dua kali seminggu dengan paparan dan prevensi respons
terhadap SSRI jauh lebih baik dibandingkan tambahan latihan manajemen stres. Maka,
setidaknya, percobaan kombinasi CBT dan pengobatan SSRI akan tepat untuk pasien yang
gagal merespons secara cukup terhadap monoterapi SSRI. Akan tetapi, seperti yang telah
ditunjukkan di sini dan oleh penulis lain, 17 sesi tidak cukup untuk menolong hampir semua
pasien dalam mencapai gejala minimal dan percobaan CBT yang lebih lama sebaiknya
diindikasikan. Studi lanjutan yang meneliti perespons dari penelitian ini diobati dengan
pengobatan maintenance hingga 24 minggu (Foa et al., 2013). Perbedaan dalam skor YBOCS antar kondisi pengobatan tetap signifikan dan sama besarnya pada 8 minggu dan 24
minggu selanjutnya (total skor Y-BOCS pada mereka yang menerima Paparan dan Prevensi
Respons dibandingkan Latihan Manajemen Stres: pada 8 minggu: 14.3 dibanding 22.7;
p>0.001 dan pada 24 minggu: 14.69 dibanding 21.37; p=0.005), lebih memperkuat
dukungan untuk peran dari terapi kombinasi pada individu yang memiliki respons parsial
terhadap monoterapi SRI. Akan tetapi, tidak ada perbedaan antar kelompok dalam laju
perubahan dalam skor Y-BOCS selama fase maintenance dan proporsi perespons yang
memasuki fase maintenance dan yang menjaga status respons mereka tidak secara
signifikan berbeda antara kedua kelompok pengobatan. Perbedaan kelompok yang diamati
pada akhir fase maintenance dapat disebabkan oleh perbedaan kelompok setelah
pengobatan akut, dimana dipertahankan selama fase maintenance.
8.7 Prevensi relaps (pengobatan lanjutan dan maintenance)

Perjalanan alami dari OCD secara tradisional dianggap kronis dan akan relaps, dan
penelitian lanjutan pada penelitian kohort klinis menyarankan bahwa remisi tidak umum
terjadi (Eisen et al., 2013). Akan tetapi, penelitian epidemiologis baru-baru ini menyarankan
bahwa sekitar 50% kasus berbasis komunitas diikuti selama sekitar 30 tahun tampak
mencapai remisi pada usia 50 tahun, mencatat bahwa hanya minoritas (40%) mencari
pengobatan progesional untuk OCD mereka (Fineberg et al., 2013b). Penyakit yang lebih
parah dan durasi yang lebih panjang dari penyakit diasosiasikan dengan kemungkinan kecil
remisi, menyoroti pentingnya deteksi dini dan pengobatan (Marcks et al., 2011; Eisen et al.,,
2013; Fineberg et al., 2013b). Akhir-akhir ini, penelitian longitudinal prospektif oleh Eisen et
al. (2013), partisipan dengan obsesi primer lebih cenderung mengalami remisi, dimana
mereka dengan primary hoarding lebih jarang untuk remisi, dan lebih dari sekitar peserta
yang mengalami remisi selanjutnya mengalami relaps. Partisipan dengan gangguan
kepribadian obsesif kompulsif dua kali lebih cenderung mengalami relaps. Partisipan juga
secara khusus rentan relaps jika mereka mengalami remisi parsial daripada remisi penuh,
menekankan pentingnya mencapai remisi total sebagai target pengobatan.
Rangkaian penelitian terkontrol pada orang dewasa dengan OCD telah menunjukkan
bahwa, terlepas dari durasi pengobatan (hingga 2 tahun), diskontinuasi farmakoterapi
biasanya, namun tidak selalu, dihubungkan dengan relaps simtomatik (diulas dalam
Fineberg et al., 2013c). Pada penelitian clomipramin awal, gejala muncul kembali dalam
beberapa minggu setelah pemberhentian terapi, dimana perbaikan ke tingkat yang
mendekati sebelum diskontinuasi diperoleh dengan pemberian kembali clomipramin (diulas
dalam Fineberg et al., 2007c). Sebaliknya penelitian pencegahan relaps dari obat SSRI
menggunakan kontrol plasebo pada OCD menghasilkan hasil campuran. Penelitian dengan
sertraline (Koran et al., 2002) dan fluoxetin (Romano et al., 2001), yang mungkin kurang
kuat, tidak menemukan perbedaan signifikan antara kontinuasi pengobatan pada obat aktif
atau plasebo, meskipun pasien yang tetap pada dosis fluoxetin yang lebih tinggi (60 mg/hari)
menunjukkan tingkat relaps yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan
mereka yang menggunakan plasebo (Romano et al., 2001). Terlebih, peningkatan terus
menerus dari Y-BOCS, NIMH-OC, skor CGI, dan pengukuran kualitas hidup dikaitkan
dengan pengobatan sertraline dan menurun dengan diskontinuasi sertraline. Keuntungan
yang lebih jelas untuk tetap pada pengobatan aktif ditunjukkan dalam penelitian
diskontinuasi paroxetin (Dunbar et al., 1995; Hollander et al., 2003b) dan escitalopram
(Fineberg dan Craig, 2007a). Sebuah metaanalisis mendeteksi keunggulan menyeluruh dari
SSRI dibandingkan dengan plasebo dalam mencegah relaps diantara perespons
pengobatan orang dewasa (Fineberg et al., 2007c). Dilihat secara kolektif, hasil dari
penelitian-penelitian menyarankan bahwa SSRI efektif dalam mencegah relaps dan bahwa
pengobatan, selama dilanjutkan, memberikan proteksi dari relaps. Bukti lebih lanjut juga
menyarankan dampak positif dalam maintenance pengobatan SSRI (sebaliknya jika
didiskontinuasi) pada kualitas hidup dan fungsi psikososial (Hollander et al., 2010).
Maka dari itu, pencegahan relaps, melalui kontinuasi farmakoterapi, menggambarkan
target pengobatan rasional untuk pasien OCD yang telah berespons terhadap SSRI atau
clomipramin. Pedoman (Koran et al., 2007) dari American Psychiatric Association (APA)
merekomendasikan kontinuasi farmakoterapi untuk minimal 1-2 tahun pada induvidu yang
berespons terhadap pengobatan dan menekankan pentingnya pengobatan jangka panjang
dari awal.

Terdapat sedikit bukti yang mendukung penurunan dosis sebagai strategi dalam
manajemen jangka panjang OCD. Observasi bahwa dosis fluocetin 60 mg/hari tampak
paling efektif (dibandingkan dengan 20 mg/hari dan 40 mg/hari; 80 mg/hari tidak disertakan)
selama 24 minggu dengan kontrol plasebo pada fase ekstensi, menyarankan pengobatan
harus dilanjutkan pada dosis yang lebih tinggi untuk mereka yang membutuhkannya di awal
(Romano et al., 2001). Jika diberlakukan diskontinuasi harus secara bertahap: pedoman
APA menyarankan pengurangan dosis dengan penurunan 10-25% setiap 1-2 bulan
sementara mengawasi kembalinya gejala atau eksaserbasi, dimana farmakoterapi dapat
diberikan kembali sebagai strategi penyelamatan, meskipun perbaikan dengan tingkat yang
sama tidak dapat dijamin (Koran et al., 2007).
8.8 Manajemen OCD dengan resisten SSRI
Jika respons terhadap percobaan SSRI kedua tidak cukup, pengkajian ulang
diagnosis diperlukan bersama dengan pemeriksaan untuk kelainan komorbid yang mungkin
mengganggu respons pengobatan. Pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit neurologis atau penyakit medis yang dapat berkontribusi terhadap gejala obsesif
kompulsif sebagai contoh Sydenhams korea, sindroma Tourette, kelainan seputar autistik,
atau penyakit Parkinson pada orang dewasa yang lebih tua juga dapat diperlukan.
Kegagalan teknik pengobatan, menggambarkan kurangnya respons terhadap pengobatan
sebagai akibat dari kepatuhan yang buruk, dan tidak adanya tindak lanjut terstruktur dikenal
sebagai kontributor terhadap kegagalan pengobatan pada OCD (Nakatani et al., 2011).
Seperti yang disebut di atas, pemeriksaan klinis reguler untuk menilai kepatuhan terhadap
pengobatan maka dari itu penting. Pemantauan level plasma juga dapat berguna misal
pada kasus metabolisme SSRI yang abnormal. Uji farmakogenetik untuk enzim metabolik
seperti enzim sitokrom P450 2D6, 1A2 dan 2C19 menjanjikan, namun memerlukan validasi
lebih lanjut sebagai alat klinis dan masih belum digunakan atau tersedia secara luas
(Mrazek, 2010; Brandl et al., 2012; Brandl et al., 2014). Kerjasama dengan keluarga pasien
penting, termasuk diskusi akomodasi dengan ritual pasien.
Pilihan pengobatan farmakoterapi untuk OCD resisten SSRI termasuk sebagai
berikut. Opsi ini dipaparkan tanpa memandang urutan. Data yang ada berdasarkan jumlah
uji randomized control mendukung tambahan dengan antipsikotik generasi kedua.
8.8.1 SSRI dosis tinggi
Strategi yang relatif dapat ditolerir dan pragmatik adalah dengan meningkatkan dosis
SSRI melebihi yang disetujui pihak yang berwenang (Koran et al., 2007). Pada tahap ini,
disarankan untuk menjelaskan pada pasien bahwa dosis ini off label dan dimintakan serta
mendokumentasikan informed consent. Akantetapi, data yang mendukung strategi ini
terbatas. Kasus retrospektif survey tertulis dari 26 pasien dengan OCD menggunakan
berbagai SSRI dicatat bahwa, pada evaluasi terakhir, pasien dengan pengobatan dosis
tinggi SSRI menunjukkan signifikasi perbaikan dalam kelompok dibandingkan dengan nilai
awal (skor Y-BOCS 25.35 dibanding 20.95), meskipun skor akhir untuk kelompok dosis
tinggi tetap lebih tinggi dibanding grup kontrol pasien yang tidak memerlukan pengobatan
dosis tinggi. SSRI dosis tinggi juga ditoleransi dengan baik (Pampaloni et al., 2010). Dua
penelitian open label selama 16 minggu menguji dosis escitalopram yang lebih tinggi dari
biasanya. Penelitian oleh Rabinowitz et al. (2008) mencatat bahwa 64% pasien yang
mendapat dosis rerata 33.8 mg/hari pada titik akhir mencapai status perespons dengan

pengukuran Y-BOCS. Pada studi kedua (Dougherty et al., 2009), hampir 80% dari mereka
yang dengan escitalopram (rentang dosis 35-50 mg) merespons pengobatan. Penelitian
randomized control (non-plasebo) yang membandingkan dua dosis sertraline mencatat
perbaikan gejala yang lebih baik pada mereka yang diberikan 400 mg dibanding mereka
yang diberi 200 mg/hari dan kedua dosis dapat ditoleransi dengan baik (Ninan et al., 2006).
Pedoman OCD APA (Koran et al., 2007, diulas dalam Koran dan Simpson, 2013)
memberikan daftar peningkatan dosis yang sering kali diresepkan. Untuk orang dengan
metabolisme cepat atau mereka yang gagal merespon dosis konvensional dan tidak
mengalami efek samping yang tidak diharapkan, Pedoman (Koran et al., 2007)
menyarankan dosis yang seringkali diresepkan dengan escitalopram hingga 60 mg/hari,
fluoxetin hingga 120 mg/hari, fluvoxamin 450 mg/hari, paroxetin hingga 100 mg/hari dan
sertraline hingga 400 mg/hari. Pengalaman klinis penulis konsisten dengan dosis
rekomendasi ini; dosis ini tampaknya paling menjanjikan jika pasien memiliki respons parsial
terhadap dosis yang lebih rendah dan dapat menoleransi pengobatan dengan baik. Namun,
pendekatan seperti ini bukan tanpa resiko. Pada kasus dimana beberapa SSRI misal
citalopram dan mungkin juga escitalopram, yang diketahui memiliki efek sesuai dosis pada
pemanjangan QT interval pada EKG (meskipun, penelitian terbaru tidak menunjukkan
peningkatan resiko kardiak pada dosis tinggi citalopram (Zivin et al., 2013)), dan pada orang
tua atau mereka dengan riwayat jantung, kewaspadaan harus diberikan jika melebihi dosis
harian yang diakui dan disarankan untuk memantau efek samping terhadap konduksi
jantung (misal dengan pemantauan EKG). Orang tua juga rentan terhadap gangguan
elektrolit akibat SSRI dan kecenderungan perdarahan, dan untuk mereka dengan terapi
antikoagulan, terutama jika menggunakan fluoxetin dosis tinggi, International Normalized
Ratio (INR) mungkin membutuhkan pemantauan yang lebih ketat.
8.8.2 Uji clomipramin
Opsi lain adalah mempertimbangkan uji coba clomipramin. Meski clomipramin
diketahui semanjur SSRI, profil efek sampingnya biasanya lebih bermasalah dibandingkan
dengan SSRI (NICE, 2006). Obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada mereka yang
memiliki riwayat overdosis. Dosis clomipramin melebihi maksimal yang diperbolehkan (250
mg/hari) harus diberikan dengan hati-hati, dan pemantauan EKG dan level plasma
dipertimbangkan (Szegedi et al., 1996). Akan tetapi, pada kasus respons parsial, pilihan
meningkatkan dosis melebihi batas yang diijinkan terbatas sampai 300 mg/hari dapat
dipertimbangkan, sebab dosis clomipramin 300 mg/hari telah secara sistematis diteliti pada
OCD dan dapat diterima (DeVeaugh-Geiss et al., 1989).
8.8.3 Berganti antar SRI/berganti ke SNRI
Jika respons terhadap SSRI pertama tidak cukup (dengan asumsi kepatuhan baik),
atau pasien gagal menoleransinya, berganti ke SSRI lain merupakan pilihan lain yang dapat
diterima. March et al. (1997) merekomendasikan beralih ke SRI lain jika efek klinis tidak
sempurna setelah 8-12 minggu pada dosis maksimal. Mereka memperkirakan kemungkinan
berespons terhadap SRI kedua pada 40%, dan yang ketiga pada tingkat yang lebih rendah,
dan menyarankan berganti ke clomipramin setelah dua atau tiga kali gagal uji SSRI.
American Psychiatric Association (Koran et al., 2007) merekomendasikan melanjutkan
dengan SSRI selama 8-12 minggu, dimana enam minggu harus pada dosis maksimal yang
ditoleransi, sebelum penambahan atau peralihan ke SSRI lain dipertimbangkan. Akan tetapi,

terkadang lebih tepat untuk bertahan lebih dari 12 minggu dengan SRI yang diberikan,
bahkan pada pasien yang menunjukkan sedikit perbaikan, sebab respons klinis dapat terjadi
setelah beberapa bulan (Rasmussen et al., 1997). Tidak ada penelitian dengan kontrol
plasebo yang mendemonstrasikan kemanjuran venlafaxin untuk OCD. Terlebih, Denys et al.
(2003) menunjukkan bahwa dimana peralihan dari venlafaxin ke SSRI meningkatkan hasil
pada mereka yang tidak berespons, sebaliknya tidak dibenarkan.
8.8.4 Antipsikotik adjuvan
Bukti yang meyakinkan mendukung penggunaan antipsikotik adjuvan, yang mungkin
merupakan nilai khusus pada mereka yang dengan OCD akibat tic (Bloch et al., 2006).
Haloperidol, risperidon, quetiapin, olanzapin, dan aripiprazol telah masing-masing
diasosiasikan dengan setidaknya satu hasil positif dari uji randomized dengan kontrol
plasebo (Fineberg dan Brown, 2011). Akan tetapi, strategi ini efektif hanya sekitar sepertiga
kasus (Bloch et al., 2006). Efek menguntungkan secara relatif onsetnya cepat (misal 2-4
minggu), dan oleh karena itu memperlama paparan terhadap antipsikotik adjuvan, jika
mereka tidak tampak membantu, biasanya tidak disarankan. Terdapat sedikit bukti untuk
membedakan antar antipsikotik, meskipun setidaknya sebuah metaanalisis menyarankan
ukuran dampak yang lebih besar dapat diperoleh dengan risperidon (Dold et al., 2013). Akan
tetapi, perbandingan terbaru randomized dengan kontrol pill plasebo dari adjuvan risperidon
dan CBT mencatat bahwa mereka yang diberikan CBT dan SSRI memiliki performa yang
lebih baik dibandingkan dengan mereka yang diberikan risperidon dan SSRI (Simpson et al.,
2013). Pada penelitian perbandingan langsung single blind, adjuvan risperidon diasosiasikan
dengan efek samping relatif terhadap seksual, dimana olanzapin diasosiasikan dengan efek
metabolik dan peningkatan berat badan pada pasien OCD (Maina et al., 2008).
Pilihan adjuvan agen antipsikotik dapat bergantung pada SSRI yang digunakan.
Sebagai contoh, fluoxetin/clomipramin dapat berinteraksi secara farmakokinetik dengan
risperidon. Penelitian untuk menemukan dosis dari antipsikotik pada OCD sejauh ini belum
dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang meneliti campuran ini menurut pertimbangan penulis,
cenderung menggunakan dosis antipsikotik rendah atau sedang. Rentang dosis antipsikotik
yang tercatat efektif meliputi; haloperidol (2-4 mg/hari), risperidon (1-2 mg/hari), quetiapine
(150-600 mg/hari), olanzapine (5-10 mg/hari) dan aripiprazol (15-30 mg/hari) (diulas dalam
Fineberg et al., 2012).
Saat ini tidak jelas berapa lama pengobatan adjuvan antipsikotik diperlukan.
Beberapa bukti, termasuk dari data tindak lanjut naturalistik (Marazziti et al., 2005;
Matsunaga et al., 2009), menyarankan bahwa jika pasien telah merespons mungkin
terdapat keuntungan dalam melanjutkan antipsikotik setidaknya selama 1 tahun. Penelitian
retrospektif kecil (Maina et al., 2003) menunjukkan bahwa mayoritas pasien (15 dari 18),
yang berespons terhadap tambahan antipsikotik terhadap SRI mereka, akhirnya relaps
ketika antipsikotik dihentikan. Setelah 12 bulan keberhasilan pengobatan antipsikotik,
perencanaan perawatan kolaboratif secara individu, dengan memperhitungkan tolerabilitas
pengobatan, profil gejala (misal keberadaan tic), dan riwayat relaps, dapat membantu
menentukan apakah diskontinuasi antipsikotik tepat. Untuk mereka yang memilih untuk
menjalani adjuvan antipsikotik jangka panjang dengan agen generasi kedua, pemantauan
metabolik dapat disarankan. Bukti diperoleh untuk komplikasi metabolik berkaitan dengan
penggunaan jangka panjang generasi kedua antipsikotik (Pramyothin dan Khaodhiar, 2010).
Sebagai tambahan, terdapat laporan produksi de novo atau eksaserbasi dari gejala obsesif

kompulsif dengan antipsikotik generasi kedua pada pasien dengan skizofrenia (Schirmbeck
dan Zink, 2012). Akan tetapi tidak jelas apakah hal yang sama berlaku untuk pasien dengan
OCD dengan keberadaan pengobatan SSRI yang beriringan.
8.8.5 SSRI parenteral atau clomipramin
Pemberian intravena dari senyawa meningkatkan bioavailabilitas dengan memotong
first pass hepato-enteric metabolism. Pilihan-pilihan termasuk infusi pelan dari clomipramin
atau citalopram intravena dalam normal salin. Meskipun beberapa hasil positif tercatat
selama 14 hari dari pengobatan harian (Fallon et al., 1998), pengobatan intravena umumnya
tidak efisien dan sulit untuk disiapkan dengan rutin pada klinik kesehatan mental. Dan juga
harus terdapat pemantauan terus menerus dari aktivitas jantung dan tanda vital selama dan
beberapa saat setelah infusi.
8.8.6 Kombinasi SSRI dan clomipramin
Strategi ini harus dilakukan dengan berhati-hati; pemantauan EKG dan level plasma
disarankan, mengingat potensi interaksi farmakokinetik pada isoenzim hepatik sitokrom
P450 yang dapat menyebabkan penumpukan clomipramin yang berbahaya, terutama
dengan pemberian bersama dengan fluoxetin dan paroxetin dan juga resiko untuk sindroma
serotonin. Citalopram, escitalopram dan sertraline pada tingkat yang lebih kecil secara teori
lebih jarang berinteraksi secara farmakokinetik dengan clomipramin dibanding SSRI lain.
Rangkaian kasus kecil dan tidak terkontrol telah menunjukkan hasil positif dalam
mengombinasikan SSRI dan clomipramin (Pallanti et al., 1999), meski perubahan EKG telah
dilaporkan pada kasus yang melibatkan kombinasi clomipramin dan fluvoxamin (Szegedi et
al., 1996). Pada uji randomized open-label, sembilan pasien refrakter terhadap
farmakoterapi diberikan citalopram dengan clomipramin, dan tujuh teratasi dengan
citalopram saja. Peningkatan yang lebih besar secara signifikan pada skor Y-BOCS
dilaporkan pada mereka yang diberikan kombinasi, yang semuanya mengalami penurunan
35% dari nilai awal. Kombinasi ini dapat ditoleransi dengan baik dan tidak mengubah
metabolisme clomipramin (Pallanti et al., 1999). Demonstrasi terbaru dari pemanjangan
interval QT pada EKG diasosiasikan dengan dosis yang lebih tinggi dari citalopram (dan
lebih rendah pada escitalopram) (FDA Drug Safety Communication, 2011) memperdebatkan
derajat kewaspadaan dalam penggunaan kombinasi citalopram dan clomipramin. Pada
penelitian lain, kombinasi fluoxetin dan clomipramin tidak lebih efektif dibandingkan fluoxetin
dan plasebo pada individu yang tidak berespons terhadap SSRI (Diniz et al., 2011). Tidak
ada studi kontrol mengenai koadministrasi SSRI lain yang terpublikasi.
8.8.7 Agen baru, sebagai strategi monoterapi atau augmentasi
Komponen berikut sedang diteliti untuk OCD dan telah menunjukkan beberapa bukti
kemanjuran, namun karena mereka sejauh ini kurang balidasi dalam penelitian terkontrol,
mereka tidak bisa saat ini ditentukan efektif. Senyawa glutamatergik, memantin tampak
berguna sebagai adjuvan terhadap SSRI pada beberapa uji open label dan dua uji
randomized dengan kontrol plasebo (Ghaleiha et al., 2013; Haghighi et al., 2013). Hasil awal
dari penelitian open-label menyarankan khasiat untuk riluzole (Coric et al., 2005), agen
modulasi glutamat lain, sejauh ini belum dibuktikan. Pada uji dengan kontrol plasebo dari
riluzole pada anak-anak dengan OCD refrakter, tidak ada perbedaan signifikan yang tercatat
dari pengukuran hasil primer atau sekunder (Grant et al., 2014). Hipotesis glutamatergik
telah lebih jauh diteliti melalui penelitian ketamin pada OCD. Uji randomized control cross-

over infusi ketamin dengan plasebo menyebabkan penurunan >35% dari skor Y-BOCS pada
50% dari mereka yang diinfusi dengan ketamin (n=8) (Rodriguez et al., 2013). Akan tetapi,
dalam uji open label lain selama 3 hari dari ketamin pada 10 subyek dengan OCD refrakter
dan depresi tidak tampak respons dari pasien OCD dan meskipun gejala depresif membaik,
perbaikan nilai Y-BOCS dari nilai awal hanya sebesar <12% (Bloch et al., 2012). Lebih
lanjut, ketamin harus digunakan secara hati-hati, mengingat asosiasinya dengan kerusakan
saluran kemih bawah (kandung kemih) (Winstock et al., 2012). Antagonis reseptor 5-HT3
ondansetron, diberikan dalam kombinasi dengan fluoxetin, menunjukkan efek yang lebih
besar dibandingkan plasebo degnan fluoxetin pada Y-BOCS dalam penelitian pendahuluan
randomized control dalam mengobati pasien dengan resistensi terhadap pengobatan
(Soltani et al., 2010). Akan tetapi, hasil dari sebuah uji multisenter yang belum dipublikasikan
tidak memenuhi titik tuju dari khasiat primer untuk mendemonstrasikan perbaikan pada
gejala OCD dibandingkan dengan plasebo (Biotechnologyevents.com, 2013). Mirtazapin
sebagai monoterapi telah dilaporkan meningkatkan secara signifikan hasil pengobatan
dalam penelitian diskontinuasi dengan kontrol plasebo dari 15 responden open-label
mirtazapin. Dalam minggu ke 8, double blind, fase diskontinuasi dengan kontrol plasebo,
rerata skor Y-BOCS dari kelompok mirtazapin mengalami penurunan dengan meanSD
2.68.7 poin sementara skor kelompok plasebo mengalami peningkatan dengan meanSD
9.17.5 poin (Koran et al., 2005). Clonazepam, sebagai adjuvan terhadap SRI, dapat
menghasilkan keuntungan simtomatik (Helwett et al., 1992), kemungkinan melalui perbaikan
kecemasan yang berkaitan. Obat ini tidak cocok untuk mereka dengan riwayat
penyalahgunaan atau ketergantungan pada benzodiazepin atau substansi lain.
Telah disarankan bahwa penstabil mood antiepileptik dapat, dalam kombinasi
dengan SSRI, memiliki peran dalam pengobatan OCD, namun bukti pendukung saat ini
tidak kuat dan uji coba lebih lanjut dengan kontrol plasebo diperlukan. Hasil positif diperoleh
dalam uji coba kecil randomized control dari lamotrigin (Bruno et al., 2012). Uji coba
randomized dengan kontrol plasebo dari tambahan topiramate menghasilkan efek terapeutik
(mengurangi kompulsi saja) pada sebuah penelitian (Berlin et al., 2011) dimana penelitian
lain (Mowla et al., 2010) mencatat perbaikan signifikan dalam topiramate dibandingkan
dengan kelompok plasebo. Adjuvan pregabalin telah diteliti dalam sebuah rangkaian kasus
open label saja, dengan beberapa tanda kemungkinan manjur (Oulis et al., 2011), begitu
juga dengan gabapentin (Cora-Locatelli et al., 1998). Sebuah uji randomized dengan kontrol
plasebo dari dosis tunggal d-amphetamine menghasilkan keuntungan yang singkat (Insel et
al., 1983a), sementara uji randomized control lain membandingkan d-amphetamine dan
kafein secara menarik mencatat bahwa kedua senyawa diasosiasikan dengan perbaikan
cepat dari gejala obsesif kompulsif dalam seminggu (Koran et al., 2009), mengisyaratkan
bahwa stimulan seperti d-amphetamine dapat memegang peran dalam menangani OCD,
kemungkinan dalam konteks komorbid ADHD.
9. Pengobatan somatik pada OCD
Kegagalan berespons pada pengobatan farmakologikal di atas, termasuk
pengobatan kombinasi dengan CBT intensif secara rawat inap dan/atau di rumah, atau di
klinik, dengan bantuan terapis, dapat mengindikasikan refrakter terhadap pengobatan. Pada
tahap ini, jika gejala tetap berat dan sangat mengganggu, mungkin perlu untuk bekerjasama
dengan jasa spesialis yang menawarkan pengobatan somatis seperti stimulasi otak dalam
atau pembedahan syaraf.

9.1 Terapi elektrokonvulsif (ECT)


Bukti yang mendukung penggunaan ECT pada OCD terbatas karena masalah
jumlah sampel dan desain penelitian, dengan tidak adanya uji kontrol blinded. National
Institute for Health and Clinical Excellence Inggris (NICE 2006) dan Pedoman praktis APA
untuk OCD (Koran et al., 2007) menyimpulkan bahwa tidak terdapat cukup bukti untuk
mendasarkan rekomendasi penggunaan ECT dalam pengobatan OCD, terutama karena
adanya potensi resiko akibat terapi ini.
9.2 Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS)
Repetisi TMS memodulasi aktivitas neuronal dengan menginduksi gelombang
medan magnet. Efek inhibisi dari rTMS pada peningkatan aktivitas neuronal di sirkuit
prefrontal subkortikal diduga menguntungkan dalam pengobatan OCD (Blom et al., 2011).
Sebuah ulasan sistematis dari penelitian yang meneliti khasiat dari rTMS pada OCD antara
1996 dan 2010 (Jaafari et al., 2012) dan metaanalisis yang baru saja dipublikasi (Berlim et
al., 2013) memperoleh data dari 10 uji randomized control melibatkan 282 subyek dengan
OCD. Ukuran efek untuk skor pre-post Y-BOCS adalah 0.59 (z=2.73, p=0.006) dan tingkat
respons sebesar 35% dan 13% untuk pasien yang mendapat rTMS aktif dan tipuan secara
berurutan, yang menjanjikan dalam pengobatan OCD. Area target yang paling menjanjikan
untuk stimulasi meliputi korteks orbitofrontal dan area motorik prasuplementer. rTMS
umumnya bentuk pengobatan yang aman dan non invasif. Jarang sekali, frekuensi tinggi
rTMS menyebabkan kejang. Efek samping lain yang dilaporkan meliputi nyeri lokal,
parestesia, perubahan pendengaran, perubahan hormon stimulasi tiroid dan tingkat laktat
darah, dan hipomania; akan tetapi, masalah ini biasanya transien (Blom et al., 2011).
Namun, saat ini tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan rTMS sebagai
pengobatan untuk OCD, dan hal ini tetap merupakan prosedur eksperimental.
9.3 Stimulasi otak dalam (DBS)
Stimulasi otak dalam (DBS) merupakan terapi pembedahan syaraf yang melibatkan
penanaman elektroda yang mengirim impuls listrik ke lokasi yang spesifik dalam otak,
dengan area yang dipilih sesuai dengan tipe gejala yang dimaksud. Pendekatan ini
mengijinkan fokal, cenderung resiko rendah, dan modulasi yang relatif reversibel untuk
penjalaran otak. DBS dapat memberikan efek terapeutik pada OCD dengan memodulasi
neurosirkuit kortiko-striatal yang secara luas diusulkan untuk memediasi OCD (Bourne et al.,
2012). Stimulasi dari kapsul ventral/striatum ventral tampaknya meningkatkan mood, obsesi
dan kompulsi, dimana stimulasi ke nukleus subtalamik dapat secara selektif meningkatkan
kompulsi (Milan et al., 2010). Penelitian kecil dengan desain kontrol parsial terbaik telah
melaporkan rerata dari keseluruhan Y-BOCS yang turun signifikan berkisar dari 6.2 hingga
31 poin (pada pasien yang sangat sakit dengan nilai awal Y-BOCS biasanya melebihi 30),
dan rerata tingkat perespons keseluruhan adalah 50%. Prosedur ini dilaporkan relatif aman
dengan efek samping terbatas (de Koning et al., 2011). Namun, efek yang tidak diharapkan
sempat dilaporkan. Pada penelitian (Greenberg et al., 2006) yang mengikuti hasil akhir
setelah 3 tahun sesudah stimulasi bilateral pada area kapsul ventral/striatum ventral pada
10 pasien OCD dewasa memenuhi kriteria ketat untuk keparahan dan resistensi
pengobatan, efek buruk dari pembedahan berikut dilaporkan: perdarahan asimtomatik,
sebuah kejang, dan infeksi superfisial. Efek buruk psikiatri meliputi gejala hipomania transien
dan juga perburukan depresi dan OCD ketika DBS disela. Efek buruk yang akut dari DBS

meliputi kesedihan, kecemasan, dan euforia atau rasa pusing yang transien. Kecemasan
lebih sering dengan stimulasi monopolar dibandingkan dengan bipolar. Kejadian bunuh diri
tidak tercatat saat DBS disela, dan kejadian kognitif dilaporkan relatif jinak. Pada saat ini,
DBS tetap merupakan pengobatan eksperimental yang tinggi, dengan bukti yang secara
besar berdasarkan serangkaian kasus.
9.4 Pembedahan syaraf ablatif
Prosedur pembedahan syaraf ablatif modern menggunakan panduan stereotaktikal,
menghasilkan lesi yang kecil dan akurat. Hal ini biasanya didapat menggunakan stimuli
termal, meskipun terdapat penelitian yang sedang berlangsung mengenai penggunaan
teknik radiosurgikal seperti pisau gamma. Terdapat dua prosedur yang ditawarkan oleh
pusat internasional yang berkaitan dengan ketersediaan terapi tersebut. Cingulotomi
anterior, melibatkan lesi yang diletakkan pada korteks cingulum dorsal anterior (Sheth et al.,
2013) dan anterior kapsulotomi, melibatkan lesi yang diletakkan di dalam hubungan frontotalamik inferior dalam tungkai anterior dari kapsula interna (Ruck et al., 2003, merupakan
prosedur yang paling umum. Kedua prosedur dipercaya memodulasi fungsionalitas di dalam
penjalaran kortiko-striatal-talamik. Keseluruhan bukti yang tersedia menyarankan bahwa
prosedur seperti ini menawarkan keuntungan terapeutik yang signifikan pada 30-60% pasien
dengan kelainan selain refrakter OCD yang tinggi. Reaksi buruk yang serius biasanya tidak
umum, namun telah dilaporkan pada kedua prosedur (misal perdarahan intrakranial, kejang
berulang). Cingulotomi anterior tampak menawarkan profil keamanan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kapsulotomi anterior. Kualitas bukti yang mendukung tiap prosedur
tampak dari pembedahan syaraf secara keseluruhan. Tidak ada uji randomized control, dan
kebanyakan data berasal dari rangkaian kasus prospektif dan penelitian kohort kecil
unblinded. Intervensi pembedahan oleh karena itu disimpan untuk pasien dengan OCD
berat dan sangat mengganggu yang telah gagal dalam serangkaian yang melelahkan dari
uji pengobatan yang secara handal diberikan dan CBT berdasarkan bukti yang intensif.
10. Rangkuman
Khasiat dari SSRI dan clomipramin telah ditegakkan. SSRI biasanya lebih dipilih
dibandingkan dengan clomipramin, dengan melihat keuntungan di bidang tolerabilitas,
terutama sebab dosis yang kemungkinan perlu dipertahankan secara konsisten pada tingkat
yang relatif tinggi untuk menjaga keefektifan. Perbaikan biasanya akan terjaga setelah
beberapa waktu, selama pasien patuh terhadap pengobatan. Pencegahan relaps, didapat
melalui pengobatan yang dipertahankan, tampak sebagai tujuan realistik untuk kebanyakan
perespons SSRI. Namun, respons pengobatan terhadap SRI sering kali tidak lengkap, dan
banyak pasien gagal dalam mencapai remisi simtomatik. Uji coba kombinasi CBT dan
pengobatan SSRI lebih cocok untuk pasien yang gagal berespons secara adekuat terhadap
monoterapi SSRI. Penelitian pada gangguan psikiatri lain menyarankan bahwa untuk
mencapai hasil yang optimal, dokter perlu tidak hanya meresepkan pengobatan yang tepat
namun juga memotivasi dan memastikan kepuasan dari kepatuhan terhadap pengobatan,
yang memerlukan tindak lanjut klinis yang cukup dan pengkajian ulang (Demyttenaere et al.,
2001). Penting bagi dokter untuk memastikan bahwa pasien secara tepat diberi informasi
mengenai keuntungan dan resiko dari pengobatan SRI terus menerus dan bahwa resiko
diskontinuasi SRI juga telah didiskusikan lengkap. Jika perlu, diskontinuasi harus
direncanakan dengan matang, dengan strategi penyelamatan yang diidentifikasi
sebelumnya. Oada kasus tersebut dimana respons pengobatan tidak cukup, berbagai

strategi farmakologis dapat diperhitungkan, dimana, tambahan SRI dengan adjuvan


antipsikotik generasi kedua tampak sebagai opsi paling manjur, berdasarkan bukti yang
tersedia. Pengobatan somatik non farmakologis dapat memegang peran pada mereka yang
tidak berespons terhadap psikofarmakologikal dan CBT (kasus refrakter). DBS dan rTMS,
meskipun menjanjikan, tetap eksperimental. Pembedahan syaraf ablatif tetap sebagai usaha
terakhir untuk sekelompok kecil pasien yang sangat sakit yang tidak berespons terhadap uji
farmakoterapi dan CBT yang diberikan secara handal sesuai dengan dosis/konten, durasi,
dan cara pemberian yang optimal seperti yang dievaluasi oleh ahli yang berpengalaman
pada pengobatan khusus untuk OCD.

Pengakuan
Penulis merupakan anggota Accreditation Task Force of the Canadian Institute for
Obsessive Compulsive Disorders. Beberapa penulis merupakan anggota dari European
College of Neuropsychopharmacology Obsessive Compulsive and Related Disorder
Research Network dan International College of Obsessive Compulsive Disorder, dimana
para anggota memfasilitasi eksplorasi masalah ini. Dan Stein didukung oleh Medical
Research Council di Afrika Selatan.

Anda mungkin juga menyukai