Refleksi Kasus
Refleksi Kasus
PENDAHULUAN
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung
dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien
ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapatkan pertolongan
sehingga terhindar dari kecatatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat
sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat kedalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit maka
akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan napas
adalah bahwa penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan napas, keterlambatan
memberikan pertolongan, kesulitan teknik dan kurangnya keterampilan.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-8% memiliki anatomi jalan nafas
yang sulit, dari jumlah ini sebagian kasus pasien tidak dapat di intubasi dengan baik.
Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam mulai dari kerusakan otak hingga
kematian. Salah satu usaha mutlak yang harus dilakukan adalah menjaga berjalannya
fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh berarti akibat proses
pembedahan.
Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita
tidak sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya,
stroke, radang otak), trauma/kecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala,
keracunan). Tetapi apapun penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya tetap sama.
Berdasarkan hal itu, maka pada kasus ini, pasien dapat mengalami sumbatan
jalan napas akibat tindakan anestesi sehingga akan dibahas mengenai manajemen
jalan napas pada operasi tonsilektomi anak.
BAB II
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. L
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 12 tahun
Alamat
: Jl. Kelor
Pekerjaan
: Siswi
Agama
: Islam
Tanggal masuk RS : 20 Oktober 2015
Tanggal Operasi
: 21 Oktober 2015
II.
ANAMNESIS
Keluhan utama
: Nyeri menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri menelan yang dialami 1 minggu
sebelum masuk RS. Keluhan ini disertai demam (+), batuk (+) tidak berdahak.
Beringus (-), Nyeri kepala (-), pusing (-), Nyeri pada telinga (-), telinga
berdengung (-), keluar cairan dari telinga (-), penurunan pendengaran (-). Mual
(-),muntah (-). Pasien sering mengalami keluhan serupa sejak 2 tahun terakhir,
dimana dirasakan >5 kali setiap tahun.Keluhan sudah berkurang sekarang.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat asma disangkal, riwayat alergi obat dan makanan disangkal,
riwayat operasi sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat asma, alergi dan riwaya tpenyakit yang sama dengan pasien disangkal.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Status General
Keadaan Umum : Baik
Gizi
: Cukup, BB :36 Kg
Kesadaran
: Compos mentis (GCS E4M6V5)
b. Tanda vital
TD
: 120/70 mmHg
RR
: 22x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,5C
c. Kepala-leher
:
Konjungtiva anemis -/-, Sclera ikterus -/-, pupil isokor.
Tonsil T3-T3, hiperemis (-), detritus (+). Faring tidak hiperemis
Pembesaran KGB (+/+) jugularis interna, pembesaran kel. Tiroid (-),
Massa tumor (-)
Skor mallampati 1 (pilar laring, uvula dan palatum molle terlihat jelas)
d. Thorax
:
Inspeksi
: Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), vocal fremitus kanan=kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar SIC VI
LMD, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler +/+, Rhonchi -/-, Wheezing -/-.
Bunyi jantung I/II murni reguler.
e. Abdomen :
Inspeksi
: Pergerakan abdomen seirama gerak nafas, sikatrik (-)
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Perkusi
: Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), hepar dan lien tidak teraba
f. Ekstremitas: Akral hangat, edema -/IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin :
WBC : 10,42 x 103 L
(5-14.5)
RBC
: 4.40 x 106 L
(4.11-5.95)
HGB
PLT
HCT
BT
CT
: 11,5 g/dl
: 533 x 103 L
: 34,5%
: 3
: 8
(11.5-13.5)
(150-500)
(34-40)
(1-3)
(5-11)
b. Foto thoraks PA :
Kesan : Tidak tampak kelainan pada foto thorax
V.
DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronik
VI.
PENATALAKSANAAN
IVFD RL 18 tpm
Drips adona 1 amp dalam 500 ml RL
Inj. Ceftriaxone 500mg/12jam/iv
VII.
LAPORAN ANESTESI
1.
2.
3.
4.
: Tonsilitis Kronik
: Tonsilitis Kronik
: IVFD RL 500 cc + adona 1 amp.
:
: Tonsilektomi
: dr. Nur Musa, Sp. THT-KL
: dr. Donni, Sp.An
: General anesthesia
: Intubasi semi-closed Endotracheal Tube
No. 5 cuff(+)
f. Mulai Anestesi
g. Mulai Operasi
h. Premedikasi
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
mg
Induksi
Intubasi
Maintanance
Relaksasi
Respirasi
Posisi
Cairan Durante Operasi
Pemantauan HR
Selesai operasi
: Propofol 70 mg
: ETT no. 5
: O2, Sevoflurane
: Atracurium 15 mg
: Spontan Respirasi
: Supine
: RL 500 ml + drips adona 1 ampul
: Terlampir
: 11.00 WITA
Premedikasi:
Sedacum 2
mg
120
100
Nadi
80
Maintenance O2 +
60
40
20
0
mulai anestesi 09:55
10:10
10:25
10:40
10:55
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien di diagnosa dengan Tonsilitis Kronik. Berdasarkan
status fisik, diklasifikasikan dalam PS ASA klas II yakni pasien merupakan pasien
anak. Pasien yang akan dilakukan anestesi dan pembedahan dinilai status fisiknya
berdasarkan kriteria American Society of Anestesiologist ( ASA ) sebagai berikut
a. Klas I Pasien tanpa gangguan organik,fisiologik maupun psikiatrik
b. Klas II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang yang harus
diobatidengan pembedahan maupun olehproses patofisiologis
c. Klas III Pasien dengan gangguan sistemik berat apapun penyebabnya
d. Klas IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa
yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan
e. Klas V Pasien yang hanya mempunyai peluang hidup kecil
Pada kasus ini pasien anak dengan tonsillitis kronik yang dilakukan anestesi
umum membutuhkan manajemen airway (jalan napas) agar selama operasi
kebutuhan jaringan oksigen tetap terpenuhi.
Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah dilakukan
maintenance General Anesthesia menggunakan sevofluran. Sevofluran merupakan
anastesi inhalasi. Pemilihan intubasi endotrakheal dimaksudkan agar tidak
menghalangi lapangan operasi saat dilakukan tonsilektomi.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal. Intubasi
endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam trachea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trachea antara
pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut :
o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan
napas, dan lain-lainnya.
o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
mandibula )
O = Obstruction ( obesitas, leher pendek , edema sekitar kepala dan leher )
P = Pathologi ( kraniofacial abnormal & syndromes : Treacher Collins,
Goldenhars
Faktor resiko lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :
-
Lidah besar
Gerakan sendi tempro-mandibular terbatas
Mandibula menonjol
Gigi ompong
Maksilla atau gigi depan menonjol
Mobilitas leher terbatas
mallampati I nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan pilar faring bilateral.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap
(suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Adapun syarat untuk
dilakukan ekstubasi yaitu :
- Pasien dalam keadaan sadar.
- Tidak ada insufisiensi nafas
- Tidak ada gangguan sirkulasi ( Tekanan darah stabil )
- Mampu bergerak bila diperintah
- Kekuatan otot telah pulih
- PaO2 diatas 80 mmHg
Setelah ekstubasi, dipasang oropharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan
dengan sungkup.
MANAGEMEN AIRWAY
A. Obstruksi Jalan Napas
Macam Sumbatan Jalan Napas
Partial
Ringan - Berat
Total
B. Penilaian Jalan Napas
Pada keadaaan penderita yang masih bernapas, mengenali ada tidaknya
sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara Lihat (look), Dengar (listen),
dan Raba (feel).
1. Lihat (Look)
Melakukan penilaian dengan melihat pergerakan dada dan perut waktu
bernapas, normalnya pada posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada
bergerak keatas dinding-dinding perut bergerak keatas dan waktu ekspirasi
dinding dada turun dinding perut juga turun. Pada sumbatan jalan napas total
atau partial berat, waktu inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding
perut bergerak naik, sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak
napas ini disebut see saw atau rocking respiration.
9
Penilaian
bilateral.
M II: nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan bagian atas pilar
farings
iii.
M III: nampak palatum durum dan palatum Molle
iv. M IV: nampak hanya palatum durum
Jarak thyromental: jarak antara mentum dan tiroid notch superior > 3 jari
Lingkar Leher : lingkar leher > 27 inch kesulitan dalam visualisasi
pembukaan glotis.
2. Dengar (Listen)
Pemeriksaan suara napas menunjukan ada tidaknya suara tambahan. Adanya
suara napas tambahan berarti ada sumbatan jalan napas partial. Suara napas
tambahan dapat berupa :
10
3. Raba (Feel)
Meraba atau merasakan hembusan udara ekspirasi yang keluar dari lubang
hidung atau mulut, dan ada tidaknya getaran dileher waktu bernapas. Adanya
getaran dileher menunjukan sumbatan partial ringan. Pada penderita trauma
perlu diraba apakah adanya fraktur didaerah maksilofasial dan bagaimana posisi
trakhea penderita.
C. Pengelolaan Jalan Napas
I.
Tatalaksana Jalan Napas dengan Manual / Tanpa Alat
1. Head Tilt - Chin Lift
Cara melakukan metodeHead-tilt chin-lift yaitu :
Letakkan telapak tangan Anda di dahi korban dan letakkan jari-jari tangan
11
chin lift
2. Jaw Thrust
Mendorong angulus mandibula kanan dan kii ke depan dengan jari jari
kedua tangan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas,
kedua ibu membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua
pipi penderita untuk melakukan immobilisasi kepala.
Tindakan Jaw Thrust, Membuka mulut dan Head Tilt disebut Triple
Airway Maneuver.
Jaw Thrust
II.
12
2. Naso-Pharyngeal Airway
Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan
menahan jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.
Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita. Pada
waktu memasang pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah
yang ada di rongga hidung. Alat ini lebih dapat di terima oleh penderita dan
lebih kecil kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan napas
oropharyngeal.
Alat ini berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang
ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih
keras untuk
sehingga aliran udara tetap terjamin. Alat ini juga dipasang bersama pipa
trachea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut ari
gigitan pasien.
13
14
16
17
Surgical Airway
Prosedur ini dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi
endotrakheal yang dapat berupa :
o Krikotiroidotomi (penusukan needle canula) ke trahkea kearah distal pada
membrane krikotiroidea. Cara ini disebut jet insufflations untuk
memberikan oksigen dengan cepat.
o Krikotiroidotomi dengan pembedahan, dilakukan insisi pada membrane
krikotiroidea dan kemudian dimasukan kanula trakheostomi atau pipa
endotracheal.
Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran misalnya pada tindakan
anestesi, penderita trauma kepala atau oleh karena suatu penyakit, maka akan
terjadi relaksasi otot-otot termasuk otot lidah dan sphingter cardia akibatnya bila
posisi penderita terlentang maka pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutup
orofaring, sehingga menimbulkan sumbatan jalan napas. Sphingter cardia yang
relaks,
menyebabkan
isi
lambung
mengalir
kembali
ke
orofaring
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Dobson M., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta Price, A. Sylvia., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit. EGC: Jakarta
2. Latief dkk, 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta
3. Oedono T., 2002, Airway Obstruction, Emergency Case Respiratory, Gadjah
Mada University ; Yogyakarta
4. Prasenohadi., 2010, Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan
Gawat Darurat Napas. FK UI, Jakarta
5. Wiryoatmodjo K., 2000, Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan
S1
Kedokteran,
Direktorat
19
Jenderal
Pendidikan
Tinggi