Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung
dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien
ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapatkan pertolongan
sehingga terhindar dari kecatatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat
sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat kedalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit maka
akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan napas
adalah bahwa penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan napas, keterlambatan
memberikan pertolongan, kesulitan teknik dan kurangnya keterampilan.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-8% memiliki anatomi jalan nafas
yang sulit, dari jumlah ini sebagian kasus pasien tidak dapat di intubasi dengan baik.
Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam mulai dari kerusakan otak hingga
kematian. Salah satu usaha mutlak yang harus dilakukan adalah menjaga berjalannya
fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh berarti akibat proses
pembedahan.
Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita
tidak sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya,
stroke, radang otak), trauma/kecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala,
keracunan). Tetapi apapun penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya tetap sama.
Berdasarkan hal itu, maka pada kasus ini, pasien dapat mengalami sumbatan
jalan napas akibat tindakan anestesi sehingga akan dibahas mengenai manajemen
jalan napas pada operasi tonsilektomi anak.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. L
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 12 tahun
Alamat
: Jl. Kelor
Pekerjaan
: Siswi
Agama
: Islam
Tanggal masuk RS : 20 Oktober 2015
Tanggal Operasi
: 21 Oktober 2015

II.

ANAMNESIS
Keluhan utama
: Nyeri menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri menelan yang dialami 1 minggu
sebelum masuk RS. Keluhan ini disertai demam (+), batuk (+) tidak berdahak.
Beringus (-), Nyeri kepala (-), pusing (-), Nyeri pada telinga (-), telinga
berdengung (-), keluar cairan dari telinga (-), penurunan pendengaran (-). Mual
(-),muntah (-). Pasien sering mengalami keluhan serupa sejak 2 tahun terakhir,
dimana dirasakan >5 kali setiap tahun.Keluhan sudah berkurang sekarang.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat asma disangkal, riwayat alergi obat dan makanan disangkal,
riwayat operasi sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat asma, alergi dan riwaya tpenyakit yang sama dengan pasien disangkal.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Status General
Keadaan Umum : Baik
Gizi
: Cukup, BB :36 Kg
Kesadaran
: Compos mentis (GCS E4M6V5)
b. Tanda vital
TD
: 120/70 mmHg
RR
: 22x/menit
Nadi : 90x/menit

Suhu : 36,5C
c. Kepala-leher
:
Konjungtiva anemis -/-, Sclera ikterus -/-, pupil isokor.
Tonsil T3-T3, hiperemis (-), detritus (+). Faring tidak hiperemis
Pembesaran KGB (+/+) jugularis interna, pembesaran kel. Tiroid (-),
Massa tumor (-)
Skor mallampati 1 (pilar laring, uvula dan palatum molle terlihat jelas)
d. Thorax
:
Inspeksi
: Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), vocal fremitus kanan=kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar SIC VI
LMD, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler +/+, Rhonchi -/-, Wheezing -/-.
Bunyi jantung I/II murni reguler.
e. Abdomen :
Inspeksi
: Pergerakan abdomen seirama gerak nafas, sikatrik (-)
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Perkusi
: Timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), hepar dan lien tidak teraba
f. Ekstremitas: Akral hangat, edema -/IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin :
WBC : 10,42 x 103 L

(5-14.5)

RBC

: 4.40 x 106 L

(4.11-5.95)

HGB
PLT
HCT
BT
CT

: 11,5 g/dl
: 533 x 103 L
: 34,5%
: 3
: 8

(11.5-13.5)
(150-500)
(34-40)
(1-3)
(5-11)

b. Foto thoraks PA :
Kesan : Tidak tampak kelainan pada foto thorax
V.

DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronik

VI.

PENATALAKSANAAN
IVFD RL 18 tpm
Drips adona 1 amp dalam 500 ml RL
Inj. Ceftriaxone 500mg/12jam/iv

Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam


Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Rencana Tonsilektomi
Informed Consent Operasi
Konsul ke Bagian Anestesi
Informed Consent Pembiusan
A. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI
- Status Fisik ASA II
- Acc Anestesi

VII.

LAPORAN ANESTESI
1.
2.
3.
4.

Diagnosis Pra Bedah


Diagnosis Pasca Bedah
Penatalaksanaan Preoperasi
Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan
b. Dokter bedah
c. Dokter Anestesi
d. Jenis Anestesi
e. Teknik Anestesi

: Tonsilitis Kronik
: Tonsilitis Kronik
: IVFD RL 500 cc + adona 1 amp.
:
: Tonsilektomi
: dr. Nur Musa, Sp. THT-KL
: dr. Donni, Sp.An
: General anesthesia
: Intubasi semi-closed Endotracheal Tube

No. 5 cuff(+)
f. Mulai Anestesi
g. Mulai Operasi
h. Premedikasi

: 21 Oktober 2015, pukul 09.55 WITA


: 21 Oktober 2015, pukul 10.00 WITA
: Sedacum (midazolam) 2 mg, petidin 30

i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.

mg
Induksi
Intubasi
Maintanance
Relaksasi
Respirasi
Posisi
Cairan Durante Operasi
Pemantauan HR
Selesai operasi

: Propofol 70 mg
: ETT no. 5
: O2, Sevoflurane
: Atracurium 15 mg
: Spontan Respirasi
: Supine
: RL 500 ml + drips adona 1 ampul
: Terlampir
: 11.00 WITA

Tanggal 21 Oktober 2015 pukul 09.05, An. L, 12 tahun tiba di ruang


operasi dengan terpasang infus RL + drips adona 18 tpm. Dilakukan
pemasangan dan pemeriksaan tanda-tanda vital 120/70 mmHg, nadi 90x/menit,
dan SpO2 99%. Pukul 09.55 diberikan premedikasi dengan injeksi sedacum
(midazolam) 2 mg secara intravena dan petidin 30 mg. Setelah diberikan
4

premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi propofol 70 mg intravena.


Kemudian dilakukan injeksi atracurium 15 mg intravena.Setelah itu dipasang
sungkup muka untuk mengalirkan oksigen dan juga menunggu kerja dari
atracurium sebagai relaksan otot sehingga ketika pemasangan endotrakeal tube
akan lebih mudah.
Setelah pasien terinduksi, diberikan oksigen 7 liter/menit dengan
menggunakan sungkup.Setelah itu dilakukan pemasangan ETT (endotracheal
tube) no.5 dengan menggunakan laringoskop dengan blade no. 2. Setelah
intubasi dilakukan, ETT dikunci dan dihubungkan dengan mesin anestesi untuk
mengalirkan O2 sebesar 5 liter per menit. Setelah itu dilakukan auskultasi paru
kanan dan kiri untuk mengetahui apakah ETT sudah terpasang dengan benar.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2 dan
sevoflurane. Pada pasien ini diberikan O2 5 liter/menit. Maintenance
sevoflurane dapat diatur baik diturunkan maupun dinaikkan sesuai kebutuhan
pasien. Ventilasi dilakukan dengan respirasi spontan hingga operasi selesai.
Selama maintenance diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign dicatat
setiap 5 menit.

Pemantauan Tanda Vital


160
140

Premedikasi:
Sedacum 2
mg

120
100
Nadi

Tekanan Darah Sistolik

80

Tekanan Darah Diastolik

Maintenance O2 +

60
40
20
0
mulai anestesi 09:55

10:10

10:25

10:40

10:55

BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien di diagnosa dengan Tonsilitis Kronik. Berdasarkan
status fisik, diklasifikasikan dalam PS ASA klas II yakni pasien merupakan pasien
anak. Pasien yang akan dilakukan anestesi dan pembedahan dinilai status fisiknya
berdasarkan kriteria American Society of Anestesiologist ( ASA ) sebagai berikut
a. Klas I Pasien tanpa gangguan organik,fisiologik maupun psikiatrik
b. Klas II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang yang harus
diobatidengan pembedahan maupun olehproses patofisiologis
c. Klas III Pasien dengan gangguan sistemik berat apapun penyebabnya
d. Klas IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa
yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan
e. Klas V Pasien yang hanya mempunyai peluang hidup kecil
Pada kasus ini pasien anak dengan tonsillitis kronik yang dilakukan anestesi
umum membutuhkan manajemen airway (jalan napas) agar selama operasi
kebutuhan jaringan oksigen tetap terpenuhi.
Manajemen jalan nafas dilakukan dengan intubasi setelah dilakukan
maintenance General Anesthesia menggunakan sevofluran. Sevofluran merupakan
anastesi inhalasi. Pemilihan intubasi endotrakheal dimaksudkan agar tidak
menghalangi lapangan operasi saat dilakukan tonsilektomi.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal. Intubasi
endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam trachea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trachea antara
pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut :
o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan
napas, dan lain-lainnya.
o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

Pemasangan Guedel atau yang lebih dikenal dengan Oro-Pharyngeal Airway


yaitu untuk mencegah dan menahan lidah agar tidak jatuh menutup hipofaring tidak
dilakukan selama dilakukan operasi, karena akan menyebabkan terhalangnya
lapangan operasi jika digunakan.
Endotracheal tube (ETT) yang digunakan pada pasien ini adalah ETT no. 5
dengan cuff. Berdasarkan teori, pemilihan ETT saat intubasi disesuaikan dengan
umur pasien, dimana untuk ETT dengan cuff digunakan rumus: 3 + umur (tahun)
4
Berdasarkan rumus tersebut sebenarnya digunakan ETT no. 4 dengan cuff.
Perbedaan ini kemungkinan disesuaikan dengan saluran pernapasan pasien.
Penilaian kesulitan intubasi dapat dilakukan dengan beberapa metode sebagai
berikut :
a. Mallampati Score
Mallampati I : nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan pilar
faring bilateral.
Mallampati II : nampak palatum durum, palatum Molle, uvula
Mallampati III : nampak palatum durum dan palatum Molle
Mallampati IV : nampak hanya palatum durum
b. Penilaian membuka mulut
Membuka mulut dengan 3 jari
Jarak hipomental 3 jari. 3jari antara ujung rahang dan dagu bawah
2 jari antara thyroid notch dan dasar mandibula
1 jari subluksasi anterior rahang bawah
c. Malformation of the skull, teeth, obstruction, pathology ( STOP)
- S = Skull ( hidrocephalus dan mikrocehpalus )
- T = Teeth ( buck, gigi ompong, gigi seri menonjol, makro dan mikro
-

mandibula )
O = Obstruction ( obesitas, leher pendek , edema sekitar kepala dan leher )
P = Pathologi ( kraniofacial abnormal & syndromes : Treacher Collins,
Goldenhars

Faktor resiko lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :
-

Lidah besar
Gerakan sendi tempro-mandibular terbatas
Mandibula menonjol
Gigi ompong
Maksilla atau gigi depan menonjol
Mobilitas leher terbatas

Tumor dan kista


Trauma
Benda asing jalan napas
Sindrom kongenital seperti pada klippell-fell
Penyakit endokrinopaty seperti acromegali, struma,
Kurangnya keterampilan, pengalam atau terburu-buru
Pada kasus ini, saat dilakukan pemeriksaan pre operasi, didapatkan skoring

mallampati I nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan pilar faring bilateral.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap
(suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Adapun syarat untuk
dilakukan ekstubasi yaitu :
- Pasien dalam keadaan sadar.
- Tidak ada insufisiensi nafas
- Tidak ada gangguan sirkulasi ( Tekanan darah stabil )
- Mampu bergerak bila diperintah
- Kekuatan otot telah pulih
- PaO2 diatas 80 mmHg
Setelah ekstubasi, dipasang oropharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan
dengan sungkup.
MANAGEMEN AIRWAY
A. Obstruksi Jalan Napas
Macam Sumbatan Jalan Napas
Partial
Ringan - Berat
Total
B. Penilaian Jalan Napas
Pada keadaaan penderita yang masih bernapas, mengenali ada tidaknya
sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara Lihat (look), Dengar (listen),
dan Raba (feel).
1. Lihat (Look)
Melakukan penilaian dengan melihat pergerakan dada dan perut waktu
bernapas, normalnya pada posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada
bergerak keatas dinding-dinding perut bergerak keatas dan waktu ekspirasi
dinding dada turun dinding perut juga turun. Pada sumbatan jalan napas total
atau partial berat, waktu inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding
perut bergerak naik, sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak
napas ini disebut see saw atau rocking respiration.
9

Penilaian

Membuka mulut: jarak gigi seri 3 cm (orang dewasa)


Uji gigitan bibir Atas : gigi bagian bawah di depan gigi atas

memperkirakan rentang gerak sendi temporomandibular


Klasifikasi Mallampati :
i. M I: nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan pilar farings
ii.

bilateral.
M II: nampak palatum durum, palatum Molle, uvula dan bagian atas pilar

farings
iii.
M III: nampak palatum durum dan palatum Molle
iv. M IV: nampak hanya palatum durum
Jarak thyromental: jarak antara mentum dan tiroid notch superior > 3 jari
Lingkar Leher : lingkar leher > 27 inch kesulitan dalam visualisasi
pembukaan glotis.

2. Dengar (Listen)
Pemeriksaan suara napas menunjukan ada tidaknya suara tambahan. Adanya
suara napas tambahan berarti ada sumbatan jalan napas partial. Suara napas
tambahan dapat berupa :

10

Dengkuran (snowring) disebabkan oleh lidah yang menutup orofaring.


Kumuran (gurgling) disebabkan karena adanya sekret, darah atau muntahan
Siulan (crowing/stridor) disebabkan adanya penyempitan jalan napas oleh

karena spasme, edema, atau pendesakan.


Suara bicara penderita yang normal menunjukan tidak ada sumbatan jalan
napas sedangkan suara yang parau menunjukan adanya masalah didaerah laring.

3. Raba (Feel)
Meraba atau merasakan hembusan udara ekspirasi yang keluar dari lubang
hidung atau mulut, dan ada tidaknya getaran dileher waktu bernapas. Adanya
getaran dileher menunjukan sumbatan partial ringan. Pada penderita trauma
perlu diraba apakah adanya fraktur didaerah maksilofasial dan bagaimana posisi
trakhea penderita.
C. Pengelolaan Jalan Napas
I.
Tatalaksana Jalan Napas dengan Manual / Tanpa Alat
1. Head Tilt - Chin Lift
Cara melakukan metodeHead-tilt chin-lift yaitu :

Letakkan telapak tangan Anda di dahi korban dan letakkan jari-jari tangan

anda yang lain dibawah dagu korban.


Kemudian tekan dahi ke bawah sambil angkat dagu keatas sehingga
kepala korban mendongak keatas dan mulut korban terbuka.
Empat jari salah satu tangan diletakkan dibawah rahang ibu jari diatas
dagu, kemudian secara hati- hati dagu diangkat kedepan. Bila perlu ibu
jari dipergunakan untuk membuka mulut/ bibir atau dikaitkan pada gigi
seri bagian bawah untuk mengangkat rahang bawah. Manuver chin lift ini
tidak boleh menyebabkan posisi kepala hiperekstensi.

11

Head Tilt - Chin Lift

chin lift
2. Jaw Thrust
Mendorong angulus mandibula kanan dan kii ke depan dengan jari jari
kedua tangan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas,
kedua ibu membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua
pipi penderita untuk melakukan immobilisasi kepala.
Tindakan Jaw Thrust, Membuka mulut dan Head Tilt disebut Triple
Airway Maneuver.

Jaw Thrust
II.

Tatalaksana Jalan Napas dengan Alat


1. Oro-Pharyngeal Airway
Alat ini dipasang lewat mulut sampai ke faring sehingga menahan lidah
tidak jatuh menutup hipofaring. Ukuran harus tepat yaitu dari tengah mulut
sampai ke angulus mandibula atau tepi mulut sampai ke tragus. Bila

12

kekecilan malah akan mendorong lidah kebelakang hingga makin


menyumbat.
Alat ini berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet
lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma
mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.

2. Naso-Pharyngeal Airway
Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan
menahan jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.
Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita. Pada
waktu memasang pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah
yang ada di rongga hidung. Alat ini lebih dapat di terima oleh penderita dan
lebih kecil kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan napas
oropharyngeal.
Alat ini berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang
ditengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih
keras untuk

mencegah kalau penderita menggigit lubang tetap paten,

sehingga aliran udara tetap terjamin. Alat ini juga dipasang bersama pipa
trachea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut ari
gigitan pasien.

13

3. Laryngeal Mask Airway


Laryngeal Mask Airway atau sungkup laring ialah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai
sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trachea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

14

D. Jalan Napas Defenitif


Jalan napas defenitif adalah pipa jalan napas yang dilengkapi dengan balon
(Cuff) yang dapat dikembangkan yang dapat dipasang ditrakhea. Tujuan
pemasangan jalan napas defenitif untuk mempertahankan jalan napas, pemberian
ventilasi, oksigensasi dan pencegahan aspirasi.
Terdapat 2 macam jalan napas defenitif :
1. Intubasi Endotrakheal
2. Surgical Airway
Krikotiroidotomi
Trakheostomi
Beberapa keadaan klinik yang memerlukan jalan napas defenitif antara lain
apneu, tidak mampu mempertahankan jalan napas dengan cara-cara yang lain,
pencegahan aspirasi darah atau muntahan, ancaman terjadinya sumbatan jalan
napas (contoh : trauma inhalasi, status konvulsi, trauma maksilofasial,
trauma/cedera kepala tertutup dengan GCS kurang dari 8, tidak berhasil
memperoleh oksigenasi yang adekuat dengan menggunakan masker.
Intubasi Endotrakheal
Intubasi endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa trachea ke dalam
trachea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trachea antara pita suara dan bifurkasio trachea. Indikasi sangat
bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut :
o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas, dan lain-lainnya.
o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
15

o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.


Kesulitan Intubasi antara lain sebagai berikut :
o Leher pendek berotot
o Mandibula menonjol
o Maksila/gigi depan menonjol
o Uvula tidak terlihat (mallampati 3 atau 4)
o Gerak sendi temporo-mandibular terbatas.
o Gerak vertebra servikal terbatas.
Komplikasi selama dilakukan intubasi :
o Trauma gigi-geligi
o Laserasi bibir, gusi, laring
o Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardia)
o Intubasi bronkus
o Intubasi esophagus
o Aspirasi
o Spasme bronkus
Komplikasi setelah ekstubasi :
o Spasme laring
o Aspirasi
o Gangguan fonasi
o Edema glottis-subglotis
o Infeksi laring, faring dan trachea.

16

17

Surgical Airway
Prosedur ini dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi
endotrakheal yang dapat berupa :
o Krikotiroidotomi (penusukan needle canula) ke trahkea kearah distal pada
membrane krikotiroidea. Cara ini disebut jet insufflations untuk
memberikan oksigen dengan cepat.
o Krikotiroidotomi dengan pembedahan, dilakukan insisi pada membrane
krikotiroidea dan kemudian dimasukan kanula trakheostomi atau pipa
endotracheal.
Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran misalnya pada tindakan
anestesi, penderita trauma kepala atau oleh karena suatu penyakit, maka akan
terjadi relaksasi otot-otot termasuk otot lidah dan sphingter cardia akibatnya bila
posisi penderita terlentang maka pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutup
orofaring, sehingga menimbulkan sumbatan jalan napas. Sphingter cardia yang
relaks,

menyebabkan

isi

lambung

mengalir

kembali

ke

orofaring

(regurgitasi).Hal ini merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan napas oleh


aspirat yang padat dan aspirasi pneumonia oleh aspirat cair, sebab pada keadaan
ini pada umumnya refleks batuk sudah menutup atau hilang.
Trauma di daerah wajah dapat menyebabkan edema, patah tulang,
perdarahan, lepasnya gigi dan hipersekresi yang dapat menimbulkan
masalah/sumbatan jalan napas. Patah tulang mandibula bilateral dapat
menyebabkan lidah kehilangan penyanggga sehingga penderita sulit untuk
menelan dan bila berbaring lidah akan jatuh menutup jalan napas walaupun
pasien dalam keadaaan sadar. Pada keadaan seperti ini posisi penderita paling
enak adalah duduk agak membungkuk.Trauma tajam pada leher dapat
menimbulkan perdarahan dan hematoma yang dapat menggeser posisi jalan
napas.Pendesakan oleh hematoma dapat menyebabkan sumbatan jalan napas dan
menyulitkan pada waktu intubasi endotrakeal.Apabila tidak memungkinkan
dilakukan intubasi endotrakeal, harus segera dilakukan krikotiroidotomi atau
tracheostomi.Trauma tumpul pada leher juga dapat menyebabkan edema dan
kerusakan pada laring dan trakhea yang dapat menyumbat jalan napas.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Dobson M., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta Price, A. Sylvia., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit. EGC: Jakarta
2. Latief dkk, 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta
3. Oedono T., 2002, Airway Obstruction, Emergency Case Respiratory, Gadjah
Mada University ; Yogyakarta
4. Prasenohadi., 2010, Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan
Gawat Darurat Napas. FK UI, Jakarta
5. Wiryoatmodjo K., 2000, Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan

S1

Kedokteran,

Direktorat

Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta

19

Jenderal

Pendidikan

Tinggi

Anda mungkin juga menyukai