Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Dari semua cedera yang terdapat dalam unit gawat darurat, 10 %


diantaranya merupakan cedera sistem urogenitalia. Kebanyakan dari cedera
tersebut terabaikan dan sulit untuk mendiagnostik dan memerlukan keahlian
diagnostik yang baik. Diagnosis awal sangat perlu untuk mencegah komplikasi
lanjut. 1

Cedera uretra merupakan cedera yang jarang dan paling sering terjadi pada
laki-laki. Cedera uretra jarang terjadi pada wanita. Beberapa bagian dari uretra
dapat mengalami laserasi, terpotong, atau memar. Penatalaksaannya bermacam-
macam tergantung pada derajat cedera. 1

Menurut anatomisnya, uretra dibedakan menjadi dua, uretra posterior


terdiri atas pars prostatika dan pars membranasea dan uretra anterior yang terdiri
atas pars bulbosa dan pars pendulosa. Secara klinis trauma uretra dibedakan
menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena
keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis,
pengelolaan serta prognosisnya. Cedera uretra posterior terletak di uretra pars
membranosa dan uretra pars prostatika. Cedera ini yang paling sering
berhubungan dengan trauma tumpul besar seperti tabrakan kendaraan bermotor
dan jatuh, dan sebagian besar kasus tersebut disertai dengan patah tulang panggul.
Cedera pada uretra anterior terletak distal uretra pars membranosa. Kebanyakan
cedera uretra anterior disebabkan oleh trauma tumpul ke perineum (straddle
injury), dan banyak yang manifestasinya tertunda, muncul beberapa tahun
kemudian sebagai striktur uretra. 1,2

Trauma tembus eksternal ke uretra jarang terjadi, tetapi luka iatrogenik


cukup umum di kedua segmen uretra. Kebanyakan berhubungan dengan
kateterisasi uretra yang sulit. 1,2,3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli


melalui proses miksi. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra
pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan
keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. 2

Uretra anterior pada pria dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan
bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar
tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah. Uretra
posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea.
Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian
selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari
semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang
membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan
kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranasea terdapat dibawah
dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat
mencederai uretra membranasea. 1,2,3

Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada


perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh,
sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot lurik dipersarafi oleh
sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada
saat miksi sfingter ini tetap terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan miksi. 2

2
Uretra dapat dibedakan ke dalam 5 segmen yaitu :

a. Uretra posterior
- Uretra pars prostatika
- Uretra pars membranasea
b. Uretra anterior
- Uretra pars bulbosa
- Uretra pars pendulosa
- Fossa naviculare 7

Uretra pars prostatika berjalan menembusi prostat, mulai dari basis prostat
sampai pada apeks prostat. Panjang linea mediana terdapat crista urethralis, yang
kearah cranialis berhubungan dengan uvula vesicae, dan ke arah caudal
melanjutkan diri pada pars membranasea. Pada crista urethralis terdapat suatu
tonjolan yang dinamakan collicus seminalis (verumontanum), berada pada
perbatasan segitiga bagian medial dan sepertiga bagian caudal uretra pars
prostatika. Pada puncak dari colliculus terdapat sebuah lubang, disebut utriculus
prostaticus, yang merupakan bagian dari suatu diverticulum yang menonjol sedikit
ke dalam prostat. Bangunan tersebut tadi adalah sisa dari pertemuan kedua ujung
caudalis ductus paramesonephridicus (pada wanita ductus ini membentuk uterus
dan vagina). Di sisi-sisi utriculus prostaticus terdapat muara dari ductus
ejaculatorius (dilalui oleh semen dan secret dari vesicula seminalis). Saluran yang
berada di sebelah lateral utriculus prostaticus, disebut sinus prostaticus, yang pada
dinding posteriornya bermuara saluran-saluran dari glandula prostat (kira-kira
sebanyak 30 buah). 6

Uretra pars membranasea berjalan kearah caudo-ventral, mulai dari apeks


prostat menuju ke bulbus penis dengan menembusi diaphragma pelvis dan
diaphragma urogenitale. Merupakan bagian yang terpendek dan tersempit, serta
kurang mampu berdilatasi. Ukuran panjang 1 2 cm, terletak 2,5 cm di sebelah
dorsal tepi caudal symphysis osseum pubis. Dikelilingi oleh m.sphincter urethrae
membranasea pada diaphragma urogenitale. Tepat di caudalis diaphragma
urogenitale, dinding dorsal urethra berjalan sedikit di caudalis diaphragma. Ketika
memasuki bulbus penis urethra membelok ke anterior membentuk sudut lancip.

3
Glandula bulbourethralis terletak di sebelah cranial membrana perinealis,
berdekatan pada kedua sisi uretra. Saluran keluar dari kelenjar tersebut berjalan
menembusi membrana perinealis, bermuara pada pangkal uretra pars spongiosa. 6

Uretra pars spongiosa berada di dalam corpus spongiosum penis, berjalan


di dalam bulbus penis, corpus penis sampai pada glans penis. Panjang kira-kira 15
cm, terdiri dari bagian yang fiks dan bagian yang mobil. Bagian yang difiksasi
dengan baik dimulai dari permukaan inferior membrane perinealis, berjalan di
dalam bulbus penis. Bulbus penis menonjol kira-kira 1,5 cm di sebelah dorsal
uretra. Bagian yang mobil terletak di dalam bagian penis yang mobil. Dalam
keadaan kosong, dinding uretra menutup membentuk celah transversal dan pada
glans penis membentuk celah sagital. Lumen uretra pars spongiosa masing-
masing di dalam bulbus penis, disebut fosssa intrabulbaris, dan pada glans penis,
dinamakan fossanavicularis urethrae. Lacunae urethrales ( = lacuna morgagni )
adalah cekungan-cekungan yang terdapat pada dinding uretra di dalam glans penis
yang membuka kearah ostium uretra eksternum, dan merupakan muara dari
saluran keluar dari glandula urethrales. Ostium uretra eksternum terdapat pada
ujung glans penis dan merupakan bagian yang paling sempit. 6

Uretra pars bulbosa bermula di proksimal setinggi aspek inferior dari


diafragma urogenitalia, yang menembus dan berjalan melalui korpus spongiosum.
Korpus spongiosum merupakan jaringan serabut otot polos dan elastin yang kaya
akan vaskularisasi. Kapsul fibrosa yang dikenal sebagai tunika albuginea
mengelilingi korpus spongiousum. Korpus spongiosum dan korpus kavernosum
bersama-sama ditutupi oleh dua lapisan berurutan. Lapisan ini antara lain fascia
bucks dan fascia dartos, fascia bucks merupakan lapisan paling tebal terdiri dari
dua lapisan dan masing-masing terdiri atas lamina interna dan eksterna. Dua
lamina dari fascia bucks membagi diri untuk menutupi korpus spongiosum.
Fascia dartos merupakan lapisan jaringan ikat longgar subdermal yang
berhubungan dengan fascia colles di perineum. 4

4
Lumen uretra terletak di tengah bagian posterior korpus spongiosum
melalui uretra pars bulbosa, tetapi terpusat pada uretra pars pendulosa.
Berdasarkan defenisinya, uretra pars bulbosa tidak hanya ditutupi oleh korpus
spongiosum, tetapi juga oleh penggabungan garis tengah dari otot
ischiokavernosus. Otot bulbospongiosum berakhir hanya pada proksimal sampai
penoskrotal junction, dimana uretra berlanjut ke distal sebagai uretra pars
pedunlosa. Uretra pars pendulosa dekat dengan korpus korporal di bagian dorsal.
Di distal sebagian besar bagian dari uretra anterior adalah fossa naviculare, yang
dikelilingi oleh jaringan spongiosa dari glans penis. 4

Uretra wanita dewasa berukuran panjang sekitar 4 cm dan berjalan


uretrovesikal junction pada kollumna vesika urinaria ke vestibulum vagina. Dua
lapisan otot polos berjalan ke distal dari kollumna vesika urinaria mengelilingi
bagian proksimal uretra lapisan dalam merupakan bagian sirkuler, sedangkan
lapisan luar berjalan secara longitudinal. Otot polos dikelilingi oleh lapisan otot
lurik yang paling tebal setinggi pertengahan uretra dan berkurang pada aspek
posteriornya. 4

Vaskularisasi dan aliran limfe

Pada uretra maskulina, pars prostatika mendapat suplai darah terutama dari
arteri vesikalis inferior dan arteri rektalis media. Uretra pars membranasea diberi
suplai darah dari cabang-cabang arteri dorsalis penis dan arteri profunda penis.
Aliran darah venous menuju pleksus venosus prostatikus dan ke vena pudenda
interna. Aliran limfe dari uretra pars prostatika dan pars membranasea dibawa
oleh pembuluh-pembuluh limfe yang berjalan mengikuti vasa pudenda interna
menuju ke lymphonodus iliaka interna (sebagian besar) dan ke lymphonodus
iliaka eksterna (sebagian kecil). Aliran limfe dari uretra pars spongiosa, sebagian
besar dibawa menuju lymphonodus inguinalis profunda dan sebagian besar
dibawa menuju ke lymphonodus iliaka interna. 6

Uretra feminine pars kranialis mendapatkan vaskularisasi dari arteri


vesikalis. Pars medialis mendapatkannya dari arteri vesikalis inferior dan cabang-

5
cabang dari arteri uterine, sedangkan pars kaudalis disuplai oleh arteri pudenda
interna. Pembuluh darah vena membawa aliran darah venous menuju ke plexus
venosus vesikalis dan vena pudenda interna. 6

Innervasi

Uretra maskulina, pars prostatika menerima persarafan dari pleksus


nervosus prostatikus. Uretra pars membranasea dipersarafi oleh nervus
kavernosus penis, pars sponsiosa dipersarafi oleh pleksus nervosus vesikalis dan
pleksus nervosus uretrovaginalis, pars kaudalis dipersarafi oleh nervus
pudendus. 6

Gambar 1: Potongan sagital organ pelvis pada pria dan wanita

2.2 Ruptur Uretra

Ruptur uretra adalah trauma yang terjadi pada uretra baik anterior maupun
posterior. Ruptur uretra merupakan suatu kegawatdaruratan bedah yang sering
terjadi oleh karena fraktur pelvis akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh dari
ketinggian. Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari
kecelakaan lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari
ketinggian, dan 90% kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara

6
keseluruhan pada fraktur pelvis akan terjadi pula cedera uretra bagian posterior
(3,5%-19%) pada pria, dan (0%-6%) pada uretra perempuan.1,2

Fraktur pada daerah pelvis biasanya karena cedera akibat terlindas (crush
injury), dimana kekuatan besar mengenai pelvis. Trauma ini juga seringkali
disertai dengan cedera pada anggota tubuh lainnya seperti cedera kepala, thorax,
intra abdomen, dan daerah genitalia. Angka kematian sekitar 20 % kasus fraktur
pelvis akibat robekan pada vena dan arteri dalam rongga pelvis.2
Fraktur pelvis yang tidak stabil atau fraktur pada ramus pubis bilateral
merupakan tipe fraktur yang paling memungkinkan terjadinya cedera pada urethra
posterior. Dilaporkan, cedera pada urethra posterior sekitar 16% pada fraktur
pubis unilateral dan meningkat menjadi 41% pada fraktur pubis bilateral. Cedera
urethra prostatomembranaceus bervariasi mulai dari jenis simple ( 25%), ruptur
parsial ( 25%) dan ruptur komplit ( 50%).2
2.3 Etiologi
Terjadinya ruptur uretra dapat disebabkan oleh cedera eksternal yang
meliputi fraktur pelvis atau cedera tarikan (shearing injury). Selain itu, juga dapat
disebabkan oleh cedera iatrogenik, seperti akibat pemasangan kateter, businasi,
dan bedah endoskopi.
Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling
sering) atau trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra anterior
pars bulbosa akibat trauma tumpul.
1. Fraktur pelvis
Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang
menurut kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :
Cedera akibat kompresi anterior-posterior
Cedera akibat kompresi lateral
Cedera tarikan vertikal.
Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan
biasanya lebih stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe
tarikan vertical. Pada fraktur tipe III ini seringkali akibat jatuh dari
ketinggian, paling berbahaya dan bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak
stabil (unstable) meliputi cedera pelvis anterior disertai kerusakan pada

7
tulang posterior dan ligament disekitar articulation sacroiliaca sehingga
salah satu sisi lebih ke depan dibanding sisi lainnya (Fraktur Malgaigne).
Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen fraktur atau paling
sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus dan
ligamentum puboprostatika.
2. Cedera tarikan ( shearing injury)
Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di
sepanjang pars membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan
yang mendadak akibat migrasi ke superior dari buli-buli dan prostat yang
menimbulkan tarikan di sepanjang urethra posterior. Cedera ini juga terjadi
pada fraktur pubis bilateral (straddle fraktur) akibat tarikan terhadap
prostat dari segmen fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga menimbulkan
tarikan pada urethra pars membranaceus.
3. Cedera uretra karena pemasangan kateter
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi
karena edema atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat
mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat
lebih meluas. Pada ekstravasasi ini, mudah timbul infiltrate urin yang
mengakibatkan sellulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.
2.4 Klasifikasi

Berdasarkan anatomi, rupture uretra dibagi menjadi:3

1. Rupture uretra posterior


Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur

tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars

membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial

bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di

diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau

inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum

puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke kranial.3


2. Rupture uretra anterior

8
Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu:8
a. Bulbous urethra
b. Pendulous urethra
c. Fossa navicularis

Namun, yang paling sering terjadi adalah rupture uretra pada pars bulbosa

yang disebabkan oleh Saddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara

ramus inferior os pubis dan benda yang menyebabkannya.3

Gambar 2: Uretra pada laki-laki.6

Menurut Collpinto dan McCallum tahun 1977 cedera uretra posterior

dapat diklasifikasikan berdasarkan luas dari cederanya, menjadi:1,10,11

Tipe I :Cedera tarikan uretra


Tipe II :Cedera pada proksimal diafragma genitourinaria
Tipe III :Cedera uretra pada proksimal dan distal diafragma

genitourinaria
2.4 Diagnosis

Dapat diduga terjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma yang nyata

pada pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar , riwayat miksi perlu

9
diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urine, nyeri saat miksi

dan adanya hematuria.

1. Ruptur uretra posterior


Rupture uretra posterior harus dicurigai jika terdapat tanda fraktur

pelvis.12
- Perdarahan per uretra
Merupakan tanda utama dari rupture uretra posterior,

ditemukan pada 37%-93% penderita dengan cedera urethra

posterior .Dengan timbulnya darah, setiap instrumentasi terhadap

urethra ditunda sampai keseluruhan urethra sudah dilakukan

pencitraan (uretrografi). Darah di introitus vagina ditemukan pada

80% penderita perempuan dengan fraktur pelvis dan cedera

urethra.12
-
Retensi urin 12
-
Pada pameriksaan Rectal Toucher didapatkan Floating prostat

yakni prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada

diafragma urogenital.12
-
Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras dan

terdapat fraktur pelvis.12

10
2. Ruptur uretra anterior
Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis,

pars pendulans, dan pars bulbosa.12

Pada ruptur uretra anterior, didapatkan:12, 14

- Perdarahan per-uretra/ hematuri.


- Kadang terjadi retensi urine.
- Hematom kupu-kupu/butterfly hematom/ jejas perineum.

Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus

spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia

Buck dan fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum

darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan

11
secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia

Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia

Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding

abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-

kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.14,15

2.5 Penatalaksanaan
Pertama kali yang perlu dilakukan dalam mengatasi kegawatan

yang mungkin timbul setelah trauma utamanya gangguan hemodinamik

.Syok sering terjadi akibat perdarahan rongga pelvis. Bila hal ini terjadi,

maka ditangani dengan pemberian cairan maupun transfuse darah, obat-

obat koagulansia, analgetik dan antibiotika.9,10


Terdapat beberapa kontroversi akan penaganan ruptur urethra

posterior akibat fraktur pelvis, pilihan penanganan yang dapat dilakukan

yaitu :
- Realignment primer
Awalnya teknik ini dilakukan repair secara open dengan

mengeluarkan hematom, jaringan dan melakukan jahitan secara

langsung. Teknik ini tidak dilakukan lagi karena dilaporkan

12
menimbulkan banyak kehilangan darah selama operasi, meningkatkan

impotensi, striktur dan inkontinensia. Kemudian teknik ini berubah

yaitu melakukan stenting dengan kateter secara indirect maupun

endoskopik tanpa melakukan jahitan atau diseksi pelvis.1,2


Diskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa

variasi. Dapat dilakukan open sistostomy dan melihat buli-buli untuk

adanya kemungkinan rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak massif

dapat dilakukan realignment. Pertama kateter uretra dimasukkan

dengan panduan jari kedalam buli-buli. Kemudian dilakukan perabaan

pada anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan.Bila hal ini

gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel. Ada pula yang

menggunakan teknik dengan memasang tube sonde no 8 secara

antegrade sampai tube keluar di meatus kemudian diikatkan dengan

kateter utnuk kembali dimasukkan ke buli-buli. Pemasangan kateter

secara retrograde dapat pula dilakukan dengan panduan melalui jari

pada bladder neck.1,2


Pada penderita politrauma dengan fraktur pelvis yang berat

paling mungkin dilakukan teknik dengan memasukkan sistoskopi

fleksibel melalui jalur suprapubik, sistoskopi rigid melalui uretra dan

kawat pemandu diantara keduanya sehingga kateter dapat lewat

melalui kawat pemandu. Pasien ditempatkan dalam posisi litotomy

rendah dengan tetap memperhatikan adanya segmen fraktur pelvis.1


Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal,

kemungkinan untuk timbulnya komplikasi striktur berkurang bila

dibandingkan dengan hanya memasang sistostomi saja. Keuntungan

13
lainnya yaitu urethra yang avulse dan prostat yang awalnya berjauhan

kembali didekatkan sehingga akan memudahkan saat dilakukan

uretroplasty. Beberapa penulis menilai dengan pemasangan kateter dini

dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya

dilakukan sesegera mungkin (dalam 72 jam setelah cedera). Kateter

urethra dipertahankan selama 6 minggu, dan dilanjutkan dengan

pemeriksaan uretrosistografi, bila tidak didapatkan ekstravasasi maka

kateter dapat dikeluarkan dengan tetap mempertahankan kateter

suprapubik.1
- Uretroplasty Primer
Repair primer dengan end-to-end anastomosis hanya dapat

dilakukan pada penderita non trauma atau tidak disertai dengan fraktur

pelvis, pasien dalam keadaan optimal dan terbukti mengalami ruptur

urethra posterior.7
Standar baku dalam penanganan rekonstruksi uretra posterior

adalah kateterisasi suprapubik selama 3 bulan dan dilanjutkan

anastomosis end-to-end bulboprostatika. Setelah 3 bulan, jaringan scar

pada tempat disrupsi urethra sudah stabil dan matang menjadi indikasi

untuk dilakukaknnya prosedur rekonstruksi. selain itu cedera penyerta

lainnya telah stabil dan pasien sudah rawat jalan.1


Sebelum rekonstruksi dilakukan, dilakukan pencitraan

uretrosistografi retrograde untuk mengetahui karakteristik defek uretra.

Saat dilakukan pencitraan ini pasien diminta untuk berusaha berkemih

sehingga bladder neck terbuka dan defek rupture dapat dievaluasi lebih

akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan MRI. Teknik yang

14
digunakan yaitu transperineal, dimana pasien ditempatkan pada posisi

litotomi dan insisi midline atau flap inverted. Urethra bulbosa

dibebabaskan dan disisihkan menjauhi defek urethra ke mid-scrotum.

Jaringan skar defek rupture uretra dieksisi dan urethra prostatica

diidentifikasi pada apex prostat. Untuk membuat anastomosis yang

non tension atau karena ujung-ujung defek berjauhan, dapat dilakukan

beberapa maneuver seperti pemisahan krus, pubektomi inferior dan re-

routing uretra untuk mendekatkan gap.1,7


2.6 Komplikasi

Komplikasi dari cedera pada pelvis sulit dibedakan dengan

komplikasi akibat pasca uretroplasti atau cedera buli-buli. Komplikasi dini

yang dapat terjadi setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, hematoma,

abses periuretral, fistel uretrokutan. dan epididimitis.3

Sedangkan komplikasi lanjut yang sering terjadi, yaitu:1,2,7,9

1. Impotensi

Ditemukan 13-30% dari penderita dengan fraktur pelvis dan pada

cedera uretra yang dirawat dengan pemasangan kateter. Cedera pada saraf

parasimpatis penil merupakan penyebab terjadinya impotensi setelah fraktur

pelvis.

2. Inkontinesia
Insiden terjadinya inkontinensia urine rendah ( 2-4 %), dan disebabkan

oleh kerusakan pada Bladder Neck. Oleh karena itu, inkontinensia

meningkat pada penderita yang dilakukan Open Bladder Neck sebelum

dilakukan operasi.

15
3. Striktur
Setelah dilakukan rekonstruksi rupture uretra posterior, 12-15% penderita

terbentuk striktur. Biasanya 96% kasus berhasil ditangani dengan

dilakukan penangan secara endoskopi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daller M, Carpinto G. Genitourinary trauma and emergencies. In : Siroky


MB, Oates RD, Babayan RK, editors. Handbook of urology diagnosis and
therapy. 3rd Edition. Philadelpia : Lippincott William & Wilkins; 2004. p. 165-
82
2. Purnomo B. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto; 2003. p.97-9
3. Tanagho EA, et al. Injuries to the genitourinary tract. In : McAninch, editor.
Smiths general urology. 17th Edition. United States of America : Mc Graw
Hill; 2008. p.278-93
4. Rosentein DI, Alsikafi NF . Diagnosis and classification of urethral injuries.
In : McAninch JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america.
Philadelpia : Elseivers Sanders; 2006 . p. 74-83
5. Schauberger JS. Male reproductive system anatomy & histology. 2010. [cited
2011 October 20]. Available from:
URL:http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/APIINotes2%20
male%20reproductive%20anatomy.htm
6. Datu AR. Diktat Urogenitalia. Makassar : FKUH; 2003

16
7. Schreiter F, et al. Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In :
Schreiter F, et al, editors. Urethral reconstructive surgery. Germany : Springer
Medizin Verlag Heidelberg; 2006 . p.107-20
8. Smith JK, Kenney P. Urethra trauma. 2009. [cited 2011 October 11].
Available from :URL : www.emedicine.com
9. Brandes S. Initial management of anterior and posterior urethral injuries . In :
McAninch JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america.
Philadelpia : Elseivers Sanders; 2006. p. 87-95
10. Sjamsuhidajat R, Jong WM. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC;
2005. p. 770-2
11. Reksoprodjo S, et al. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta : FK UI; 2004. p.
149-52
12. Reynard J, Brewster S, Biers S. Oxford handbook of urology. England:
Oxford University; 2006. p. 442-7
13. Kawashima A, Sandler CM, Wasserman NF, et al. Imaging of urethral
disease: a pictorial review. 2004. [cited 2011 October 20]. Available from:
URL : http://radiographics.rsna.org/content/24/suppl_1/S195.full.pdf+html
14. Palinrungi AM. Lecture notes on urological emergencies & trauma.
Makassar: Division of Urology, Departement of Surgery, Faculty of
Medicine, Hasanuddin University; 2009. p. 131-6
15. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. Campbell-walsh
urology. 9th Edition. Philadelphia : Saunders elsevier; 2007

17

Anda mungkin juga menyukai